PEMBAHASAN
KAIZEN, QUALITY CONTROL CIRCLE, TOTAL QUALITY
CONTROL & JUST IN TIME
Oleh :
150403053
1. Kaizen
1.1. Pengertian Keizen
Kaizen secara harfiah berarti continuous improvement, atau improvisasi
berkelanjutan. Konsep ini, pada awalnya lahir karena kekecewaan orang Jepang
yang belajar kepada perusahaan di Amerika. Setelah beberapa puluh tahun,
ternyata perusahaan Amerika tidak pernah melakukan perubahan atau
pengembangan dalam usaha, bahkan tetap persis sama dengan berpuluh tahun
yang lalu ketika mereka ke sana pertama kali. Hingga lahirlah konsep kaizen ini.
Kaizen berarti peningkatan dalam keahlian. Hal ini memiliki maksud,
kaizen erat sekali berhubungan dengan kesadaran akan pencarian masalah,
kreativitas dan penciptaan ide, serta implementasinya. Ary Ginanjar Agustian
mendefinisikan dengan lebih sederhana, bahwakaizen berarti mengambil yang
baik, membuang yang buruk dan menciptakan yang baru. Dibuktikan dengan
produk-produk mobil Jepang yang irit, murah dan ringan. Yang secara sekaligus
mengganti mobil buatan Barat yang boros, berat dan mahal.
Bagi yang bekerja di perusahaan swasta terutama perusahaan Jepang
tentu tidak asing lagi dengan Kaizen (baca: kai-seng). Kai = merubah dan Zen =
lebih baik. Secara sederhana pengertian Kaizen adalah usaha perbaikan
berkelanjutan untuk menjadi lebih baik dari kondisi sekarang. Sasaran utama dari
Kaizen adalah menghilangkan 7 setan Muda (pemborosan) yang tidak
memberikan nilai tambah produk/jasa dari perspektif konsumen. Pemborosan-
pemborosan itu perlu dieliminir karena menimbulkan biaya-biaya yang
menyebabkan berkurangnya profit. Disamping itu konsumen tidak mau
menanggung biaya-biaya yang tidak perlu tersebut.
Kaizen dilakukan oleh semua lapisan karyawan, mulai dari level operator
hingga top manajemen. Dua pilar utama Kaizen adalah QCC/QCP (Quality
Control Circle/Project) dan SS (Suggestion System). Budaya Kaizen di sebuah
perusahaan dapat tumbuh jika ditopang oleh kedua pilar tersebut.
Menurut kaizen, kemajuan yang diraih bukanlah hasil satu atau dua
lompatan besar. Kemajuan menurut kaizen dapat diraih karena perbaikan kecil
tanpa henti dalam beratus-ratus bahkan beribu-ribu kali perubahan dalam
menghasilkan produk atau jasa, ide tentang perbaikan biasanya berasal dari para
karyawan Asumsi yang mendasari perubahan dalamkaizen adalah bahwa
kesempurnaan itu sebenarnya tidak ada, artinya tidak ada kemajuan, produk,
hubungan, sistem atau struktur yang sempurna. Kaizen selalu berusaha
meningkatkan apa yang pernah dicapainya dan pasti selalu ada orang lain yang
menemukan ruang untuk mengadakan peningkatan.
Kaizen identik dengan Siklus Rencana-Kerjakan-Periksa-Tindakan
(Plan, Do, Check, Acts atauPDCA). PDCA adalah prinsip dasar untuk perbaikan
secara terus-menerus. Penjabaran dari siklus PDCA adalah sebagai berikut:[3]
1. Planning berarti memahami apa yang ingin dicapai, memahami bagaimana
melakukan suatu pekerjaan, berfokus pada masalah, menemukan akar
permasalahan, menciptakan solusi yang kreatif serta merencanakan implementasi
yang terstruktur.
2. Doing tidak semudah seperti yang dilihat. Didalamnya berisi pelatihan dan
manajemen aktivitas. Biasanya masalah besar dan mudah sering berubah pada
saat-saat terakhir. Bila terjadi kondisi seperti ini maka tidak dapat dilanjutkan lagi
tetapi harus mulai dari awal kembali.
3. Checking berarti pengecekan terhadap hasil dan membandingkan sesuai dengan
yang diinginkan. Bila segala sesuatu menjadi buruk dan hasil baik tidak
ditemukan, pada bagian ini keberanian, kejujuran, kecerdasan sangat dibutuhkan
untuk mengendalikan proses. Kata kunci ketika hasil memburuk adalah kenapa.
Dengan dokumentasi proses yang baik maka kita dapat kembali pada titik yang
mana keputusan yang salah dibuat.
4. Acting berarti Menindak lanjuti atas apa yang didapatkan selama tahap
pengecekan. Arti lainnya adalah mencapai tujuan dan menstandarisasikan proses
atau belajar dari pengalaman untuk memulai lagi pada kondisi yang tepat.
1.2. Sejarah Keizen
Setelah melalui sebuah fase sejarah spektakuler yang menciptakan
nasionalisme sektarian, Jepang merasa diri menjadi besar. Lalu, muncul ambisi
untuk menguasai dunia. Jepang mencanangkan diri sebagai penguasa Asia Timur
Raya. Atas motif provokasi, Jepang lalu menyerang Amerika. Di pagi hari, 8
Desember 1941, pesawat dan kapal selam Jepang mengadakan serangan
mengejutkan pada Amerika yang kemudian dikenal sebagai Pertempuran Pearl
Harbor.
Pemboman ini kemudian membawa Amerika ke kancah Perang Dunia II.
Amerika membalas dengan serangan telak, berupa pemboman dua kota
penyangga ekonomi Jepang: Hiroshima dan Nagasaki. Dua kota itu hancur, dan
Jepang terhenyak lalu mundur teratur. Kaisar Hirohito yang sangat dimuliakan
rakyatnya memerintahkan agar perang dihentikan. Bala tentara Dai Nippon yang
bersemboyan Asia Timur Raya akhirnya takluk tanpa syarat kepada Sekutu dalam
PD II yang menelan korban jutaan orang. Seluruh pasukan yang masih tersisa
ditarik kembali.
Namun, akhirnya Jepang mampu bangkit lagi dari keterpurukan yang
diciptakan oleh perang. Pertanyaan yang pertama kali terlontar dari Kaisar Jepang
ketika mendengar kehancuran dua kota itu, bukanlah tentang jumlah panglima
perang atau amunisi yang tersisa. Justru adalah, berapa guru yang masih ada?.
Jika dirunut ke belakang, sebetulnya kebangkitan Jepang ini memang dipengaruhi
satu faktor, yaitu mereka menempatkan ilmu dan pengetahuan dalam posisi
penting sejak zaman Restorasi Meiji. Restorasi ini berkonsentrasi di bidang
pendidikan, yaitu mengubah sistem pendidikan dari tradisional menjadi modern.
Programnya antara lain wajib belajar, pengiriman mahasiswa Jepang untuk belajar
ke luar negeri (ke Perancis dan Jerman), dan meningkatkan anggaran sektor
pendidikan secara drastis. Apa yang telah dilakukan Kaisar Meiji ketika itu adalah
suatu keberanian yang nampaknya belum terpikirkan oleh para pemimpin kita saat
ini.
Buktinya, anggaran pendidikan 20 % hanya berhenti di kertas konstitusi.
Kembali kepada kebangkitan setelah pemboman Hiroshima, Jepang segera
menyusun langkah kebangkitan. Seluruh waktunya lalu kembali digunakan untuk
memperkuat basis ekonomi. Selain bertumpu pada karakter bangsa Jepang yang
ulet dan tekun bekerja, faktor sentral kebangkitan itu karena konsentrasi Jepang
yang hampir 100 persen di bidang ekonomi, sehingga ia dijuluki sebagai bangsa
asongan. Untuk sementara, konflik politik Perang Dingin dan partisipasi dalam
perdamaian dunia tak pernah diikuti Jepang. Langkah ini menuntun pada
bangkitnya Jepang. Kunci utamanya ternyata adalah Jepang menerapkan prinsip
Kaizen yang kemudian menjadi acuan bagi pola manajemen modern, terutama
dunia bisnis.
4. Just in Time
4.1 Pengertian Just In Time (JIT) dan Filosofinya
Sistem produksi tepat waktu (Just In Time) adalah sistem produksi atau
sistem manajemen fabrikasi modern yang dikembangkan oleh perusahaan-
perusahaan Jepang yang pada prinsipnya hanya memproduksi jenis-jenis barang
yang diminta sejumlah yang diperlukan dan pada saat dibutuhkan oleh konsumen
(Simamora, 2000). Just In Time dapat berarti sebagai suatu keseluruhan filosofi
operasi manajemen dimana segenap sumber daya, termasuk bahan baku dan suku
cadang, personalia, dan fasilitas dipakai sebatas dibutuhkan.
JIT juga merupakan filosofi pemanufakturan yang memiliki implikasi
penting dalam manajemen biaya. Ide dasar JIT sangat sederhana, yaitu produksi
hanya apabila ada permintaan (pull sistem) atau dengan kata lain hanya
memproduksi sesuatu yang diminta dan hanya sebesar kuantitas yang diminta.
Filosofi JIT digunakan pertama kali oleh Toyota dan kemudian diadopsi oleh
banyak perusahaan manufaktur di Jepang .
Konsep Just In Time (JIT) adalah suatu konsep di mana bahan baku yang
digunakan untuk aktifitas produksi didatangkan dari pemasok atau suplier tepat
pada waktu bahan itu dibutuhkan oleh proses produksi, sehingga akan sangat
menghemat bahkan meniadakan biaya persediaan barang / penyimpanan barang /
stocking cost.
JIT juga berarti filosofi manajemen dari pemecahan masalah yang
berkelanjutan dan dipaksakan, sehingga pemasok-pemasok dan komponen-
komponen ditarik melalui sistem untuk menunjukkan dimana dan kapan mereka
dibutuhkan.
Bila JIT merupakan suatu filosofi manajemen operasi yang berusaha untuk
menghilangkan pemborosan pada semua aspek dari kegiatan-kegiatan produksi
perusahaan. Sasaran utama JIT adalah meningkatkan produktivitas sistem
produksi atau operasi dengan cara menghilangkan semua macam kegiatan yang
tidak menambah nilai bagi suatu produk.
Just in Time (JIT) mendasarkan pada delapan kunci utama, yaitu :
1. menghasilkan produk yang sesuai dengan jadwal yang didasarkan pada
permintaan.
2. memproduksi dengan jumlah kecil
3. menghilangkan pemborosan
4. memperbaiki aliran produksi
5. menyempurnakan kualitas produk
6. orang-orang yang tanggap
7. menghilangkan ketidakpastian
8. penekanan pada pemeliharaan jangka panjang.
Dalam menerapkan JIT ini, ada tiga hal yang tidak boleh dilakukan. Ketiga hal
tersebut adalah MUDA, MURA dan MURI.
MUDA dalam bahasa Jepang berarti pemborosan, yang bila diterapkan dalam
manajemen tidak akan memberikan nilai tambah.
MURA dalam bahasa Jepang berarti ketimpangan, keragaman, atau
ketidakteraturan (variability and irregularity).
MURI dalam bahasa Jepang berarti keterpaksaan, kesulitan, lewat ambang batas.
Keadaan timpang, beragam maupun terpaksa merupakan indikasi dalam suatu
masalah.
Just In Time adalah suatu keseluruhan filosofi operasi manajemen dimana
segenap sumber daya, termasuk bahan baku dan suku cadang, personalia, dan
fasilitas dipakai sebatas dibutuhkan. Tujuannya adalah untuk mengangkat
produktifitas dan mengurangi pemborosan. Just In Time didasarkan pada konsep
arus produksi yang berkelanjutan dan mensyaratkan setiap bagian proses produksi
bekerja sama dengan komponen-komponen lainnya.
Tenaga kerja langsung dalam lingkungan Just In Time dipertangguh
dengan perluasan tanggung jawab yang berkontribusi pada pemangkasan
pemborosan biaya tenaga kerja, ruang dan waktu produksi. Ide dasar sistem
produksi tepat waktu (Just In Time) yaitu menghasilkan sejumlah barang yang
diperlukan pada saat diminta dengan menghilangkan segala macam bentuk
pemborosan waktu yang tidak diperlukan sehingga diperoleh biaya produksi yang
rendah dan melakukan proses yang berkesinambungan. JIT mulai digunakan pada
sistem produksi Toyota sebagai dampak dari krisis minyak di tahun 1973,
kemudian banyak dipakai oleh perusahaan Jepang untuk mengantisipasi semakin
variatifnya permintaan konsumen dan semakin kritisnya konsumen dalam
menentukan produk yang diinginkannya.
Just In Time menekankan bahwa semua material harus menjadi bagian
aktif dalam sistem produksi dan melarang timbulnya masalah yang
mengakibatkan hadir pada biaya persediaan. Dalam Just In Time persediaan
diminimalisasi dengan tetap menjaga keberlangsungan produksi. Ini berarti bahan
maupun barang tersedia dalam waktu, jumlah dan kualitas yang tepat saat
diperlukan. Metode Just In Time dalam keberadaannya tidak sekedar diterapkan
untuk bidang persediaan, melainkan juga dapat diimplementasikan dalam bidang
produksi.
Dalam bidang produksi, Just In Time menekankan upaya kontinuitas
pengurangan pemborosan dan ketidakefisienan lewat lot size yang kecil, kualitas
tinggi, koordinasi tim kerja. Produksi Just In Time menunjukan sistem produksi
dimana aktifitas operasi terjadi hanya jika diperlukan. Selain demikian berposisi
sebagai alat pendekatan untuk penyeimbang produksi, alat pengendali kualitas
produk, dan mekanisme untuk motivasi serta keterlibatan para tenaga kerja.
Sistem produksi tepat waktu (Just In Time-JIT) bukanlah ilmu yang
memerlukan analisis kuantitatif maupun kualitatif yang tidak begitu rumit, secara
lebih tepatnya Just In Time (JIT) bisa dikatakan sebagai metode pendekatan,
filosofi kerja, konsep ataupun strategi manajemen yang dimaksud dan tujuannya
adalah mencapai performansi yang tinggi dalam proses manufacturing. JIT adalah
filosofi manufacturing untuk menghilangkan pemborosan waktu dalam total
prosesnya mulai dari proses pembelian sampai proses distribusi. Adapun 7 (tujuh)
jenis pemborosan disebabkan karena :
1) Over produksi.
2) Waktu menunggu.
3) Transportasi.
4) Pemrosesan.
5) Tingkat persediaan barang.
6) Gerak.
7) Cacat produksi.