Tifoid

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 33

PRESENTASI KASUS

SEORANG ANAK LAKI LAKI 4 TAHUN DENGAN


THYPHOID FEVER

DISUSUN OLEH:
MADE VIDYASTI LAKSITA G99172106 (A-10)
SARAH AZZAHRO G99172150 (A-11)

PEMBIMBING :
dr. NOOR ALIFAH, Sp.A., M.Kes.

KEPANITERAAN KLINIK/ PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PANDAN ARANG
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Presentasi kasus ini disusun untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik


Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret / RSUD
Pandan Arang Boyolali. Presentasi kasus dengan judul:

Seorang Anak Laki – Laki 4 tahun dengan


Thyphoid Fever

Hari, tanggal : Sabtu, 23 Februari 2019

Oleh:
Made Vidyasti Laksita W G99172106 (A-10)
Sarah Azzahro G99172150 (A-11)

Mengetahui dan menyetujui,


Pembimbing Presentasi Kasus

dr. Noor Alifah, Sp.A., M.Kes


BAB I
STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. HF
Tanggal lahir : 30 November 2014
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Tawangrejo, Boyolali
BB : 14 kg
TB : 98 cm
Tanggal Masuk : 19 Februari 2019
Tanggal Pemeriksaan : 21 Februari 2019
No. RM : 1958xxxx

B. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan terhadap orangtua pasien (alloanamnesis)
saat pasien berada di bangsal anak RSUD Pandan Arang, Boyolali.
1. Keluhan Utama
Demam

2. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RSUD Pandan Arang Boyolali dengan
keluhan demam. Demam dirasakan sejak 4 hari SMRS. Demam
dirasakan mendadak tanpa sebab yang jelas, naik turun, dan tinggi
terutama saat sore menjelang malam hari. Pasien juga mengeluh
mual namun tidak muntah, keluhan batuk dan pilek juga dirasakan
sejak 4 hari SMRS. Keluhan nyeri perut, diare, konstipasi, mimisan,
dan gusi berdarah disangkal. BAB dan BAK tidak ada keluhan.
Orangtua pasien mengaku bahwa pasien memiliki kebiasaan jajan
sembarangan.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat demam sebelumnya : disangkal
Riwayat mondok di RS : disangkal
Riwayat alergi obat/makanan : disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat alergi obat/makanan : disangkal

5. Riwayat Lingkungan Sekitar


Berdasarkan alloanamnesis dengan ibu pasien, pasien tinggal
dengan kedua orang tua dan kakaknya. Tetangga pasien tidak ada
yang mengeluhkan keluhan serupa dengan pasien.

6. Riwayat Kehamilan dan Prenatal


Ibu pasien mengaku tidak merasakan keluhan apapun saat
hamil. Ante natal care dilakukan secara rutin setiap bulan di bidan
desa. Ibu pasien mengaku mendapatkan suplemen tambahan dan
vitamin dari bidan. Ibu pasien tidak mengonsumsi obat-obatan.

7. Riwayat Kelahiran
Pasien lahir spontan di RS Natalia saat usia cukup bulan (38
mgg), dengan berat lahir 3000 gram, panjang badan 49 cm, menangis
spontan (+), kebiruan (-) dan geraknya aktif (+).

8. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan


Pertumbuhan :
- BB = 14 kg, PB 98 cm
- Berat pasien tampak sebanding dengan teman seusianya.
- Tinggi pasien juga tampak sebanding dengan teman seusianya.
Perkembangan :
- Saat ini pasien bersekolah di TK dan dapat mengikuti
pelajaran dengan baik, serta dapat bermain dengan teman
sebayanya.
- Kesan : pertumbuhan dan perkembangan sesuai usia.

9. Status Imunisasi
Riwayat imunisasi pasien : lengkap
0 bulan : Hep B0
1 bulan : BCG, Polio 1 `
2 bulan : DPT-HB-Hib 1, Polio 2
3 bulan : DPT-HB-Hib 2, Polio 3
4 bulan : DPT-HB-Hib 3, Polio 4
9 bulan : campak

10. Riwayat Nutrisi


Pasien mendapatkan ASI eksklusif hingga usia 6 bulan,
kemudian dilanjutkan dengan ASI dan MP-ASI setelah usia 6 bulan.
Di usia 1 tahun, pasien mendapatkan tambahan susu formula. Saat
ini, nafsu makan pasien baik. Pasien sehari-hari makan nasi dan lauk
pauk sebanyak 3x sehari secara teratur dengan porsi yang cukup.
Kesan nutrisi cukup

11. Riwayat Sosial


Pasien merupakan anak kedua dari Tn.S yang bekerja sebagai
karyawan swasta, sedangkan ibu pasien adalah ibu rumah tangga.
Pasien memeriksakan diri ke RSUD Pandan Arang Boyolali
menggunakan layanan umum.
12. Pohon Keluarga

II

III

An. HF usia 5 tahun

Keterangan:

Laki-laki Pasien
Perempuan

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum
Sikap / keadaan umum : tampak sakit sedang
Derajat kesadaran : kompos mentis (E4V5M6)
Derajat gizi : cukup

2. Tanda vital
BB : 14 kg
PB : 75 cm
SiO2 : 98%
Nadi : 123 x/menit, reguler
Pernafasan : 24 x/menit, reguler
Suhu : 37,7˚C
3. Kepala
Mesocephal
4. Mata
Pupil isokor 2mm/2mm, sklera ikterik (-/-), konjungtiva anemis
(-/-), refleks cahaya (+/+)
5. Telinga
Sekret (-), tidak ada nyeri tekan telinga
6. Hidung
NCH (-/-), sekret (-)
7. Mulut
Stomatitis (-), mukosa bibir basah, tonsil T1-T1, faring hiperemis
(-), pseudomembran (-), lidah kotor (-)
8. Leher
Pembesaran KGB (-)
9. Thorax
Simetris, retraksi (-), normochest (+)
10. Cor
Inspeksi : iktus cordis tak tampak
Palpasi : iktus cordis tidak teraba
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : bunyi Jantung I-II intensitas normal, regular,
bising (-)
11. Pulmo
Inspeksi : pengembangan dinding dada kanan = kiri
Palpasi : fremitus raba kanan = kiri
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : SDV (+/+), suara tambahan (-/-)
12. Abdomen
Inspeksi : dinding dada sejajar dinding perut
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), BU (+)
13. Ekstremitas
Akral dingin (-/-), ADP teraba kuat, CRT < 2 detik, petekie (-)
14. Status gizi
Perhitungan Status Gizi
PB/U : -2 SD < PB/U < 2 SD, normoheight
BB/U : -2 SD < BB/U < 2 SD, normoweight
PB/BB : -2 SD < PB/BB < 2 SD, gizi baik
Kesan gizi baik, normoweight, normoheight.

D. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan 19/02/2019 Satuan Rujukan
HEMATOLOGI RUTIN
DARAH LENGKAP
Hemoglobin 12,5 g/dl 11.3 – 14.1
Leukosit 5690 uL 6.000-17.500
LED 2 /mm <10
Hitung Jenis Sel
Eosinofil% 0,5 % 1-5
Basofil% 0,3 % 0-1
Neutrofil Batang% % 3-6
Neutrofil Segmen% 58,9 % 25 - 60
Limfosit% 26,0 % 25 - 50
Monosit% 14,3 % 1-6
Hematocrit 35,6 % 35 –43
Protein Plasma g/dl 6–8
Trombosit 258 10^3/uL 217–497
Eritrosit 4,63 10^6/uL 3.6–5.2
MCV 76.8 fL 80 – 100
MCH 27,0 Pg 27 – 32
MCHC 35,2 g/dl 32 - 36
RDW 12,2 %
IMMUNOSEROLOGI
IgM salmonella 6 - <= 2 Negatif

E. RESUME
Pasien datang ke IGD RSUD Pandan Arang Boyolali dngan keluhan
demam. Demam dirasakan sejak 4 hari SMRS yang dirasakan mendadak, naik
turun, tinggi ketika menjelang malam hari. Keluhan mual didapatkan namun
muntah disangkal oleh pasien, keluhan batuk pilek sejak 4 hari SMR. Nafsu
makan menurun. Keluhan diare, nyeri telan, nyeri saat BAK disangkal.
Dari Keadaan umum pasien tampak sakit sedang, kesadaran compos
mentis (E4V5M6) dengan HR: 132x/menit, RR: 24x/menit, SpO2: 99% dan suhu
37,40C. Pemeriksaan fisik semua dalam batas normal. Dari hasil pemeriksaan
darah tanggal 19/02/19 didapatkan IgM Salmonella +6. Hasil tes Urine dalam
batas normal.

F. DAFTAR MASALAH
1. Anamnesis:
a. Demam sejak 4 hari yang lalu, naik turun, tinggi saat malam hari
b. Mual namun tidak muntah
c. Batuk pilek sejak 4 hari yang lalu
d. Nyeri telan, nyeri perut dan nyeri saat BAK disangkal
e. Riwayat bepergian ke daerah endemis malaria disangkal
2. Pemeriksaan Fisik:
a. Nadi: 132x/menit
b. Pernapasan: 24x/menit
c. Suhu: 37,8 0C peraxilla
d. Tidak didapatkan pembesaran KGB pada leher
e. Tidak didapatkan pembesaran hepar pada pasien
G. DIAGNOSIS BANDING
1. TF
2. DHF

H. DIAGNOSIS KERJA
Tifoid Fever

I. PENATALAKSANAAN
- Infus RL 14 tpm
- Anadex 3x5ml PO

J. PLAN
1. Rawat inap bangsal anak
2. Cek lab darah rutin
3. Cek imunoserologi IgM Salmonella
4. Urinalisis

K. MONITORING
Keadaan umum dan tanda vital tiap 8 jam

L. EDUKASI
1. Mengenai penyakit pasien
2. Mengenai pengobatan dan kesembuhan pasien
3. Mengenai kemungkinan dan pencegahan kekambuhan penyakit

M. PROGNOSIS
Ad vitam : bonam
Ad sanam : bonam
Ad fungsionam : bonam
Follow Up 20/02/2019 21/02/2019 22/02/2019
S Demam (-) batuk (+) Demam (-) batuk (+) nyeri Demam (-) batuk (+)
nyeri perut (-) mual (-) perut (-) mual (-) muntah nyeri perut (-) mual (-)
muntah (-), BAK dan (-), BAK dan BAB dbn muntah (-) BAK dan
BAB dbn BAB dbn
O KU: tampak sakit sedang, KU: tampak sakit sedang, KU: tampak baik,
Compos Mentis Composmentis (E4V5M6), Compos Mentis
(E4V5M6), gizi kesan gizi kesan cukup (E4V5M6), gizi kesan
cukup cukup
Tanda Vital HR: 120x/menit HR: 121x/menit HR: 89x/menit
RR: 23x/menit RR: 24x/menit RR: 22x/menit
SpO2: 97% SpO2: 99% SpO2: 99%
T: 37,30C T: 36,70C T:36,50C
Kepala Mesocephal Mesocephal Mesocephal
Telinga Sekret (-) Sekret (-) Sekret (-)
Mata CA(-/-), SI (-/-) CA(-/-), SI (-/-) CA(-/-), SI (-/-)
Hidung Nafas cuping hidung (-), Nafas cuping hidung (-), Nafas cuping hidung (-),
sekret (-/-) sekret (-/-) sekret (-/-)
Mulut Mukosa basah (+), lidah Mukosa basah (+), lidah Mukosa basah (+), lidah
kotor (-) kotor (-) kotor (-)
Tenggorok Tonsil T1-T1, hiperemis Tonsil T1-T1, hiperemis Tonsil T1-T1, hiperemis
(-), faring hiperemis (-) (-), faring hiperemis (-) (-), faring hiperemis (-)
Thorax Retraksi (-) Retraksi (-) Retraksi (-)
Cor Inspeksi : iktus cordis tak Inspeksi : iktus cordis tak Inspeksi : iktus cordis tak
tampak tampak tampak
Palpasi: iktus cordis tidak Palpasi: iktus cordis tidak Palpasi: iktus cordis tidak
teraba teraba teraba
Perkusi : batas jantung Perkusi : batas jantung Perkusi : batas jantung
dalam batas normal dalam batas normal dalam batas normal
Auskultasi:bunyi Jantung Auskultasi:bunyi Jantung Auskultasi:bunyi Jantung
I-II intensitas normal, I-II intensitas normal, I-II intensitas normal,
regular, bising (-) regular, bising (-) regular, bising (-)
Pulmo Inspeksi : pengembangan Inspeksi : pengembangan Inspeksi : pengembangan
dinding dada kanan = kiri dinding dada kanan = kiri dinding dada kanan = kiri
Palpasi : fremitus raba Palpasi : fremitus raba Palpasi : fremitus raba
kanan=kiri kanan=kiri kanan=kiri
Perkusi : sonor/sonor Perkusi : sonor/sonor Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : SDV (+/+), Auskultasi : SDV (+/+), Auskultasi : SDV (+/+),
suara tambahan (-/-) suara tambahan (-/-) suara tambahan (-/-)
Abdomen Inspeksi : dinding dada Inspeksi : dinding dada Inspeksi : dinding dada
sejajar dinding perut sejajar dinding perut sejajar dinding perut
Auskultasi : bising usus Auskultasi : bising usus Auskultasi : bising usus
(+) normal (+) normal (+) normal
Perkusi : timpani Perkusi : timpani Perkusi : timpani
Palpasi : supel, nyeri Palpasi : supel, nyeri Palpasi : supel, nyeri
tekan (-), turgor kulit tekan (-), turgor kulit tekan (-), turgor kulit
kembali cepat kembali cepat kembali cepat

Ekstremitas Akral dingin (-), ADP Akral dingin (-), ADP Akral dingin (-), ADP
kuat, Sianosis (-), kuat, Sianosis (-), CRT<2” kuat, Sianosis (-),
CRT<2” CRT<2”
Assesment Thyphoid fever Thyphoid fever Thyphoid fever
Terapi - Infus KaEN 3A12 tpm - Infus KaEN 3A12 tpm - Infus KaEN 3A12 tpm
- Inj. Colsansetin - Inj. Colsansetin 3x250mg  aff
3x250mg - Anadex syr 3x 1 Cth - Inj. Colsansetin
- Anadex syr 3x 1 Cth 3x250mg  Colsansetin
3x1 Cth P.O
- Anadex syr 3x 1 Cth
- BLPL
Monitoring KUVS/8jam KUVS/8jam KUVS/8jam
BAB II
ANALISIS KASUS

Pada kasus ini didapatkan keluhan demam sejak 4 hari SMRS pada
seorang anak laki-laki usia 5 tahun, yang dibawa orangtua nya ke IGD RSUD
Pandan Arang yang dirasakan mendadak dan tanpa sebab yang jelas. Suhu
naik turun, meningkat terutama menjelang malam hari. Berdasarkan
anamnesis, pasien mengalami demam persisten dimana demam sejak hari
pertama hingga keempat tidak menurun. Pada pasien demam hal yang perlu
ditanyakan adalah sebagai berikut: lama dan sifat demam, ada ruam
kemerahan pada kulit, kaku kuduk atau nyeri leher, nyeri saat BAK, nyeri
perut, nyeri telan, nyeri telinga, tempat tinggal atau riwayat berpergian
sebelum keluhan demam timbul. Adakah keluhan penyerta yang lain seperti
mual muntah atau batuk pilek.
Pada pasien ini keluhan demam dirasakan sejak 4 hari SMRS, tidak
menurun, keluhan mual didapakan namun muntah disangkal, batuk pilek
sejak 4 hari yang lalu, nyeri saat BAK disangkal.BAB tidak ada keluhan.
Anak dengan demam dapat mengalami dehidrasi karena evaporasi dimana
kadar elektrolit naik dan menyebabkan suhu tubuh mengalami kenaikan.
Demam dapat mempengaruhi intake makanan yang dapat memperngarui gizi
anak.
Kriteria rawat inap pada pasien dengan demam adalah apabila terdapat
demam persiten 2-7 hari, terdapat komlikasi lain seperti kejang, dehidrasi,
atau membutuhkan observasi lebih lanjut untuk menegakkan etiologi dari
demam tersebut.
Penegakan diagnosis pada pasien ini dilakukan melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis didapatkan
demam persisten 4 hari disertai gejala lain seperti mual dan bauk pilek. Dari
pemeriksaan vital sign didapatkan kenaikan suhu pada pasien dan
pemeriksaan fisik lain dalam batas normal. Dilakukan pemeriksaan
penunjang yaitu pemeriksaan Lab Darah Rutin dan Urine Rutin. Hasil Lab
tanggal 19/02/2019 pada pasien didapatkan tkan IgM salmonella (+6) dan
hasil pemeriksaan lainnya dalam batas normal. Sementara hasil Urine rutin
dalam batas normal.
Pengelolaan demam pada pasien dapat dilakukan secara self-management
dan nonself management (Plipat, Hakim & Ahrens, 2002). Tatalaksana anak
dengan demam dapat diberikan antipiretik. Dosis antipiretik yang diberikan
yaitu 15mg/KgBB/6jam. Dapat dilakukan dengan mengompres air hangat di
bagian tubuh yang memiliki pembuluh darah besar seperti leher, ketiak dan
lipatan paha. Apabila anak mengalami tanda-tanda dehidrasi diberikan
resusitasi cairan di fasilitas kesehatan agar tidak jatuh pada keadaan syok.
Untuk terapi definitifnya perlu mencari etiologi demam. Pada pasien ini
didapatkan IgM salmonella yang menandakan terinfeksi bakteri salmonella
sehingga perlu diobati dengan antibiotik.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Epidemiologi demam tifoid


Demam tifoid merupakan salah satu penyakit infeksi sistemik yang
menjadi masalah dunia. Tidak hanya di negara-negara tropis, namun di negara-
negara subtropis pun prevalensi demam tifoid cukup tinggi, terlebih di negara
berkembang. WHO mencatat pada tahun 2003 lebih dari 17 juta kasus demam
tifoid terjadi di seluruh dunia, dengan angka kematian mencapai 600.000, dan
90% dari angka kematian tersebut terdapat di negara-negara Asia.1
Surveilans Departemen Kesehatan RI mencatat frekuensi kejadian demam tifoid
di Indonesia pada tahun 1994 meningkat hingga 15,4 per 10.000 penduduk. Dari
survey berbagai rumah sakit di Indonesia tahun 1981 sampai dengan 1986
memperlihatkan peningkatan jumlah penderita sekitar 35,8%, yaitu dari 19.596
menjadi 26.606 kasus.6
WHO mencatat Indonesia sebagai salah satu negara endemik untuk
demam tifoid. Di Indonesia, terdapat rata-rata 900.000 kasus demam tifoid dengan
angka kematian lebih dari 20.000 setiap tahunnya.1 Berdasarkan Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) 2007, prevalensi demam tifoid secara nasional adalah 1,6%.3
Gambar 2.1. Distribusi global daerah endemik dari Salmonella Enteric
serotipe Typhi, 1990-2002.5

Insidens demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya berhubungan


dengan sanitasi lingkungan; di daerah rural 157 kasus per 10.000 penduduk,
sedangkan di daerah urban ditemukan 760-810 kasus per 10.000 penduduk.
Perbedaan insidens di perkotaan berhubungan erat dengan penyediaan air bersih
secara merata yang belum memadai, serta sanitasi lingkungan terutama cara
pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan ligkungan.7
Case fatality rate (CFR) demam tifoid di tahun 1996 sebesar 1,08% dari
seluruh kematian di Indonesia. Namun berdasarkan hasil Survei Kesehatan
Rumah Tangga Departemen Kesehatan RI (SKRT Depkes RI) tahun 1995, demam
tifoid tidak termasuk dalam 10 penyakit dengan mortalitas tinggi.8

2.2. Etiologi demam tifoid


Penyebab demam tifoid adalah bakteri dari Genus Salmonella. Salmonella
memiliki dua spesies yaitu Salmonella enterica dan Salmonella bongori.
Salmonella enterica terbagi dalam enam subspesies, yaitu : I. Salmonella enterica
subsp. enterica; II. Salmonella enterica subsp. salamae; IIIa. Salmonella enterica
subsp. arizonae; IIIb. Salmonella enterica subsp. diarizonae; IV. Salmonella
enterica subsp. hotenae; V. Salmonella enterica subsp. indica. 9
Salmonella enterica subsp. enterica memiliki setidaknya 1454 serotipe,
beberapa diantaranya adalah : Salmonella Choleraesuis, Salmonella Dublin,
Salmonella Enteritis, Salmonella Gallinarum, Salmonella Hadar, Salmonella
Heidelberg, Salmonella Infantis, Salmonella Paratyphi, Salmonella Typhi,
Salmonella Typhimurium, dan Salmonella Genrus.9 Salmonella Typhi dan
Salmonella Paratyphi adalah bakteri penyebab demam tifoid.
Bakteri ini berbentuk batang, Gram-negatif, tidak membentuk spora, motil,
berkapsul dan mempunyai flagela. Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa
minggu di alam bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu. Bakteri ini dapat
mati dengan pemanasan (suhu 66o C) selama 15 – 20 menit, pasteurisasi,
pendidihan dan klorinasi.10
Gambar 2.2. Struktur antigenik Salmonellae. 10

Salmonella Typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu : 11


1. Antigen O (antigen somatik), terletak pada lapisan luar tubuh kuman. Bagian
ini mempunyai struktur lipopolisakarida atau disebut juga endotoksin. Antigen ini
tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.
2. Antigen H (antigen flagela), terletak pada flagela, fimbriae atau pili dari kuman.
Antigen ini mempunyai struktur protein dan tahan terhadap formaldehid tetapi
tidak tahan terhadap panas dan alkohol.
3. Antigen Vi, terletak pada kapsul (envelope) kuman yang dapat melindungi
kuman terhadap fagositosis.
Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan
menimbulkan pula pembentukan 3 macam antibodi yang disebut aglutinin.
2.3.Patogenesis demam tifoid
Masuknya kuman Salmonella Typhi dan Salmonella Paratyphi ke dalam
tubuh manusia terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi
kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke
dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral
mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel usus
dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan
difagosit oleh sel-sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan
berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak Peyeri ileum
distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika.11

Gambar 2.3. Mekanisme infeksi Salmonella Typhi .12


Selanjutnya melalui duktus torasikus, kuman yang terdapat di dalam
makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama
yang asimptomatik) kemudian menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial
tubuh terutama hati dan limpa. Dengan periode waktu yang bervariasi antara 1-3
minggu, kuman bermultiplikasi di organ-organ ini kemudian meninggalkan
makrofag dan kemudian berkembang biak di luar makrofag dan selanjutnya
masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua
kalinya dengan disertai tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.11
Di dalam hati, kuman masuk ke kantung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan kembali ke dalam lumen usus secara
intermiten. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke
dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, oleh
karena makrofag telah teraktivasi sebelumnya maka saat fagositosis kuman
Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi (IL-1, IL-6, IL-8, TNF-
β, INF, GM-CSF, dsb.) yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi
inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut,
instabilitas vaskuler, gangguan mental, dan koagulasi.11
Di dalam plak Peyeri, makrofag yang telah hiperaktif menimbulkan reaksi
hiperplasia jaringan dan menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat.
Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah di sekitar plak
Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel
mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat
berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus dan dapat mengakibatkan
perforasi usus.11

2.4. Manifestasi klinis demam tifoid


Pengetahuan tentang gambaran klinis demam tifoid sangatlah penting
untuk membantu mendeteksi secara dini. Masa tunas demam tifoid berlangsung
antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan
sampai berat, dari asimptomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai
komplikasi hingga kematian.11
Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat.
Pada minggu pertama, ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan penyakit
infeksi akut umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia,
mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan
epistaksis.10 Karakteristik demamnya adalah demam yang meningkat secara
perlahan-lahan berpola seperti anak tangga dengan suhu makin tinggi dari hari ke
hari, lebih rendah pada pagi hari dan tinggi terutama pada sore hingga malam hari.
Pada akhir minggu pertama, demam akan bertahan pada suhu 39-40°C. Pasien
akan menunjukkan gejala rose spots, yang warnanya seperti salmon, pucat,
makulopapul 1-4 cm lebar dan jumlahnya kurang dari 5; dan akan menghilang
dalam 2-5 hari. Hal ini disebabkan karena terjadi emboli oleh bakteri di dermis.11
Pada minggu kedua, gejala klinis menjadi semakin berkembang jelas,
berupa demam, bradikardia relatif dimana setiap peningkatan 1o C tidak diikuti
peningkatan denyut nadi 8 kali per menit, kemudian didapatkan pula lidah yang
berselaput (kotor ditengah, tepi dan ujung lidah merah serta tremor),
hepatomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan mental berupa somnolen,
stupor, koma, delirium, atau psikosis.11 Beberapa penderita dapat menjadi karier
asimptomatik dan memiliki potensi untuk menyebarkan kuman untuk jangka
waktu yang tidak terbatas.

2.5.Diagnosis Demam Tifoid


Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi klinis
yang diperkuat oleh pemeriksaan laboratorium penunjang. Sampai saat ini masih
dilakukan berbagai penelitian yang menggunakan berbagai metode diagnostik
untuk mendapatkan metode terbaik dalam usaha penatalaksanaan penderita
demam tifoid secara menyeluruh. Pemeriksaan laboratorium untuk membantu
menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu : (1)
pemeriksaan darah tepi; (2) pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan
kuman; (3) uji serologis; dan (4) pemeriksaan kuman secara molekuler.12
2.5.1. Pemeriksaan darah tepi
Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit
normal, bisa menurun atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia dan
hitung jenis biasanya normal atau sedikit bergeser ke kiri, mungkin didapatkan
aneosinofilia dan limfositosis.13 Penelitian oleh beberapa ilmuwan mendapatkan
bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta laju endap darah tidak mempunyai
nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal yang cukup tinggi untuk dipakai
dalam membedakan antara penderita demam tifoid atau bukan, akan tetapi adanya
leukopenia dan limfositosis menjadi dugaan kuat diagnosis demam tifoid.14

2.5.2. Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman


Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri
Salmonella Typhi dalam biakan dari darah, urine, feses dan sumsum tulang.
Bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal
penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses.12,16 Hasil
biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor,
seperti : (1) Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan
kultur darah telah mendapat antibiotik, pertumbuhan kuman dalam media biakan
terhambat dan hasil mungkin negatif; (2) Jumlah darah yang diambil terlalu
sedikit (diperlukan kurang lebih 10 cc darah). Bila darah yang dibiak terlalu
sedikit hasil biakan bisa negatif; (3) Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau
menimbulkan antibodi dalam darah pasien. Antibodi ini dapat menekan
bakteremia sehingga biakan darah dapat negatif; dan (4) Waktu pengambilan
darah yang dilakukan setelah minggu pertama, pada saat aglutinin semakin
meningkat. 10,12
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil
dibutuhkan 2-4 mL.17 Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk
kultur hanya sekitar 0.5-1 mL.18 Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih
sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini
mendukung teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila
dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit
dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya.12,19 Media pembiakan yang
direkomendasikan untuk Salmonella Typhi adalah media empedu dari sapi. Media
ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya Salmonella Typhi dan
Salmonella Paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut.17
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan
pada perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 70-
90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir
minggu ketiga.12,17 Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang
telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah dan
rasio darah dengan media kultur yang dipakai.20
Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%)
hingga minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif
setelah minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan metode yang
mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada 80-95%
kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada
fase penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah
pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya.17,20
Namun prosedur ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-
hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu yang
diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak
digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak. 13,16,17

2.5.3. Uji serologis


2.5.3.1. Uji Widal
Dasar reaksi uji Widal adalah reaksi aglutinasi antara antigen kuman
Salmonella Typhi dengan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap
Salmonella Typhi terdapat dalam serum penderita demam tifoid, orang yang
pernah tertular Salmonella Typhi, dan orang yang pernah mendapatkan vaksin
demam tifoid. Antigen yang digunakan pada uji Widal adalah suspensi Salmonella
Typhi yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan uji Widal adalah
untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita yang diduga menderita
demam tifoid.11,22
Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O dan H
yang ditentukan titernya untuk diagnosis. Secara umum, aglutinin O mulai muncul
pada hari ke 6-8 dan aglutinin H mulai muncul pada hari ke 10-12 dihitung sejak
hari timbulnya demam. Semakin tinggi titer aglutininnya, semakin besar pula
kemungkinan didiagnosis sebagai penderita demam tifoid. Pada infeksi yang aktif,
titer aglutinin akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan pada
selang waktu minimal 5 hari. Peningkatan titer aglutinin empat kali lipat selama 2
sampai 3 minggu memastikan diagnosis demam tifoid.22
Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut :
a. Titer aglutinin O yang tinggi ( > 160) menunjukkan adanya infeksi akut.
b. Titer aglutinin H yang tinggi ( > 160) menunjukkan sudah pernah mendapat
imunisasi atau pernah menderita infeksi.
c. Titer aglutinin yang tinggi terhadap antigen Vi terdapat pada carrier.

2.5.3.2. Uji Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA)


Prinsip dasar uji ELISA adalah reaksi antigen-antibodi. 13 Uji ini sering
dipakai untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen O9 LPS,
antibodi IgG terhadap antigen flagela d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi
Salmonella Typhi. Chaicumpa dkk mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95%
pada sampel darah, 73% pada sampel feses, dan 40% pada sampel sumsum
tulang.1,24

2.5.3.3. Pemeriksaan Dipstik


Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda
dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS Salmonella
Typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen
Salmonella Typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human
immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen
yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan
di tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap. 4,29
Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 69.8%
bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang dan 86.5% bila dibandingkan
dengan kultur darah dengan spesifisitas sebesar 88.9% dan nilai prediksi positif
sebesar 94.6%.20 Penelitian lain oleh Ismail dkk (2002) terhadap 30 penderita
demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 90% dan spesifisitas sebesar
96%.30

2.5.3.4. Uji Tubex®


Tubex® merupakan alat diagnostik demam tifoid yang diproduksi oleh IDL
Biotech, Broma, Sweden.27 Tes ini sangat cepat, hanya membutuhkan waktu 5-10
menit, sederhana dan akurat. Tes ini mendeteksi serum antibodi IgM terhadap
antigen O9 LPS yang sangat spesifik terhadap bakteri Salmonella Typhi. Pada
orang yang sehat normalnya tidak memiliki IgM anti-O9 LPS.23,27

Gambar 2.5. Prinsip dari tes Tubex®. Bagian atas, hasil negatif;
bagian bawah, hasil positif.27
Tes Tubex® merupakan tes yang subjektif dan semikuantitatif dengan cara
membandingkan warna yang terbentuk pada reaksi dengan Tubex® color scale
yang tersedia. Range dari color scale adalah dari nilai 0 (warna paling merah)
hingga nilai 10 (warna paling biru).27
Cara membaca hasil tes Tubex ® adalah sebagai berikut menurut IDL
Biotech 2008: 11,27
1. Nilai < 2 menunjukan nilai negatif (tidak ada indikasi demam tifoid).
2. Nilai 3 menunjukkan inconclusive score dan memerlukan pemeriksaan ulang.
3. Nilai 4-5 menunjukan positif lemah.
4. Nilai > 6 menunjukan nilai positif (indikasi kuat demam tifoid).
Nilai Tubex® yang menunjukan nilai positif disertai dengan tanda dan
gejala klinis yang sesuai dengan gejala demam tifoid, merupakan indikasi demam
tifoid yang sangat kuat.27

2.5.3.5. Uji Typhidot®


Uji Typhidot® merupakan alat diagnostik demam tifoid yang diproduksi
oleh Biodiagnostic Research, Bangi, Malaysia. Hasil uji Typhidot® dinilai positif
apabila didapatkan reaksi dengan intensitas yang sama dengan atau lebih besar
dari reaksi kontrol, terlihat pada kertas saring komersial yang telah disiapkan. Tes
ini memperingatkan, jika hasil yang diperoleh tak tentu, tes harus diulang setelah
48 jam.28
Gambar 2.6. Prinsip dari tes Typhidot®. Bagian atas, prosedur tes;
bagian bawah, interpretasi hasil tes.28

2.5.4. Identifikasi kuman secara molekuler


Metode lain untuk identifikasi bakteri Salmonella Typhi yang akurat
adalah mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri Salmonella Typhi
dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA.

2.6. Terapi Demam Tifoid


Pemberian terapi antibiotik yang tepat dan cepat, mencegah komplikasi
demam tifoid yang berat dan mengurangi kasus fatal menjadi < 1%. Terapi
antibiotik inisial bergantung terhadap kerentanan dari S. Typhi dan S. Paratyphi
pada tiap tiap area. Terapi demam tifoid yang paling efektif adalah agen
fluorokuinolon, dengan angka kesembuhan 98% dan angka relaps dan karier fecal
<2%. Pemberian terapi singkat degan ofloxacin memiliki angka kesuksesan yang
sama dengan pemberian agen kuinolon terhadap salmonela yang sensitif. Di Asia,
penggunaan luas agen fluorokuinolon secara bebas, menyebabkan kenaikan angka
kejadian DCS ( decreased ciprofloxacin susceptibility). Oleh karena itu
penggunaan agen fluorokuinolon sebainya dibatasi dan tidak menjadi terapi
empiris. Pasien yang terinfeksi dengan golongan S.typhi DCS sebaiknya diterapi
menggunakan ceftriaxone, azithromycin atau ciprofloksasin dalam dosis besar.
Penggunaan fluorokuinolon dosis besar dalam 7 hari sebagai terapi demam
typhoid DCS, menyebabkan keterlambatan resolusi dan meningkatkan angka
karier fecal. Oleh karena itu, terapi demam typhoid DCS dengan menggunakan
ciprofloxacin dosis besar diberikan dalam waktu 14 hari.
Ceftriaxone, cefotaxime dan cefixime oral merupakan terapi efektif untuk
demam tifoid MDR ( multi drug resistant), termasuk DCS dan salmonella yang
resisten dengan fluorokuinolon. Agen ini menurunkan panas dalam waktu ± 1
minggu, dengan angka kegagalan 5-10%, angka karier fekal <3% dan angka
relaps 3-6%. Pemberian azithromycin oral, menurunkan demam dalam 4-6 hari,
dengan angka relaps dan karier fekal <3%. Pada demam tifoid DCS, pemberian
azithromycin berhubungan dengan angka kegagalan terapi yang rendah, dan
durasi hospitalisasi yang pendek dibandingkan pemberian fluorokuinolon.
Sefalosporin generasi satu, generasi generasi kedua dan aminoglikosida tidak
efektif pada terapi demam tifoid.
Pada pasien dengan demam tifoid tanpa komplikasi, dapat diterapi di
rumah dengan antibiotik oral dan antipiretik. Pasien dengan muntah menetap,
diare menetap atau distensi abdomen sebaiknya dirawat di rumah sakit dan
diberikan terapi suportif (tirah baring dan dukungan nutrisi )disertai pemberian
antibiotik parenteral sefalosporin generasi ketiga atau fluorokuinolon, tergantung
dari tingkat sensitif bakteri. Terapi sebaiknya diberikan selama 10 hari atau selama
5 hari setelah resolusi demam.
Pada 1-5% pasein yang menderita karies Salmonella kronis dapat diterapi
dengan pemberian antibiotik oral yang tepat selama 4 sampai 6 minggu. Terapi
menggunakan amoxicillin oral, TMP-SMX, ciprofloxacin atau norfloxacin efektif
dalam mengeradikasi karier kronis ( 80% efektif). Siprofloksasin 750 mg, 2 kali
sehari selama 28 hari terbukti efektif. Bila tidak ada siprofloksasin dan galur
tersebut peka, 2 tablet ko-trimoksaszol 2 kali sehari selama 3 bulan , atau 100
mg/kg/hari amoksisilin dikombinasi dengan probenesid 30 mg/kg/hari, keduanya
diberikan selama 3 bulan juga efektif. Karier dengan batu empedu hanya
memperlihatkan respons sementara terhadap kemoterapi, dan diperlukan
kolesistektomi untuk mengakhiri keadaan karier pada kasus tersebut.

Tabel 2.1 Terapi antibiotik untuk demam tifoid


Tabel 2.2 Antibiotik untuk Pengobatan Demam Tifoid Tahun 2010
( KONSENSUS KONAS PETRI - BALI )
2.7. Komplikasi Demam Tifoid
Demam typhoid dapat menjadi penyakit yang semakin berat dan
mengancam nyawa, terggantung dari faktor inang ( terapi imunosupresi, terapi
antasida, riwayat vaksinasi), virulensi dari bakteri dan pemilihan terapi antibiotik.
Pendarahan gastrointestinal *10-20%) dan perforasi intestinal (1-3%), hal ini
biasa terjadi minggu ke-3 dan minggu ke-4. Pendarahan gastrointestinal dan
perforasi intestinal terjadi akibat hiperplasia, ulsersi dan nekrosis dari plak peyeri
ileocecal. Keuda komplikasi ini dapat mengancam nyawa dan membutuhkan
resusistasi cairan segera dan intervensi bedah dengan pemberian antibiotik
spektrum luas untu periotinits polimikrobial. Manifestasi neurologikal dapat
ditemukan pada 2 -40% berupa, meningitis, guillain-barre syndrome, neuritits dan
gejala neuropsikiatrik.
Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa disseminated intravascular
coagulation, hematophagotic syndrome, pankreatitis, hepatitis, miokarditis,
orkitis, glomerulonefritis, pieloneftitis, pneumonia berat, arthritis, osteomielitis.
Namun komplikasi ini sudah jarnag terjadi akibat pemberian antibiotik yang tepat.

Gambar 2.7 : Perforasi ileum akibat infeksi S. typhi


BAB IV
KESIMPULAN

Demam tifoid merupakan salah satu penyakit infeksi sistemik yang


menjadi masalah dunia. WHO mencatat Indonesia sebagai salah satu negara
endemik untuk demam tifoid. Di Indonesia, terdapat rata-rata 900.000 kasus
demam tifoid dengan angka kematian lebih dari 20.000 setiap tahunnya.
Diagnosis demam tifoid bisa dilakukan dengan berbagai cara, tidak hanya
dengan melihat manifestasi klinis yang muncul pada pasien namun juga
didukung dengan pemeriksaan penunjang untuk diagnosis definitif. Pada
intinya, segala jenis pemeriksaan tersebut bertujuan untuk mengidentifikasi
bakteri penyebab demam tifoid. Diantara berbagai pemeriksaan serologis yang
ada, widal sebagai pemeriksaan yang paling tua sudah tidak lagi menjadi
pemeriksaan yang direkomendasikan. Saat ini sudah ada pemeriksaan serologis
lain dengan sensitifitas dan spesitifitas yang lebih baik seperti TUBEX dan
Typhidot.
Terapi demam tifoid yang paling efektif adalah agen fluorokuinolon,
dengan angka kesembuhan 98% dan angka relaps dan karier fecal <2%.
Penggunaan luas agen fluorokuinolon secara bebas, menyebabkan kenaikan
angka kejadian DCS (decreased ciprofloxacin susceptibility). Oleh karena itu
penggunaan agen fluorokuinolon sebainya dibatasi dan tidak menjadi terapi
empiris. Ceftriaxone, cefotaxime dan cefixime oral merupakan terapi efektif
untuk demam tifoid.
DAFTAR PUSTAKA

1. [WHO] Background document : The diagnosis, treatment and prevention of


typhoid fever. World Health Organization; 2003: 17-18.
2. Ochiai RL, Acosta CJ, Danovaro-Holliday MC, Baiging D, Bhattacharya SK,
Agtini MD, et al. WHO | A study of typhoid fever in five Asian countries:
disease burden and implications for controls. http://www.who.int/
bulletin/volumes/86/4/06039818/ en/#content.
3. [DEPKES] Riset Kesehatan Dasar 2007. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2008.
http://www.litbang.depkes. go.id/ bl_riskesdas2007.
4. Olga. Tubex®, Cepat dan Akurat Diagnosis Demam Tifoid. J. Med.
Kedokteran Indonesia. 2012; XXXVIII (08). http://jurnalmedika.com /edisi-
tahun-2012/edisi-no-08-vol-xxxvii/2012/463-kegiatan/965-Tubex®-cepat-dan-
akurat-diagnosis-demam-tifoid.
5. Keddy KH, Sooka A, Letsoalo ME, Hoyland G, Chaignat CL, Morrissey AB,
et al. Bull. World Health Organisation. 2011 Sep 1;89(9):640-7.
http://www.who. int/bulletin/online_first/11-087627.pdf.
6. Kawano RL, Leano SA, Agdamag DM. Comparison of Serological Test Kits
for Diagnosis of Typhoid Fever in the Philippines. J Clin Microbiol. Jan
2007; 45(1): 246–247. http://www.ncbi.nlm. nih.gov/pmc/articles/PMC
1828988/.
7. Septiawan IK, Herawati S, Sutirtayasa IW. Examination of The
Immunoglobulin M Anti Salmonella in Diagnosis of Typhoid Fever. E-Jurnal
Medika Udayana 2.6; 2013: 1080-1090. http://ojs.unud.ac.id
/index.php/eum/article/view/5626.
8. Aru W. Demam Tifoid. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi I. Jilid II.
Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2006: 1774.
9. Kidgell C, Reichard U, Wain J, Linz B, Torpdahl M, Dougan G, et al.
Salmonella Typhi, the causative agent of typhoid fever. Infect Genet Evol.
2002 Oct;2(1):39-45. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/ 12797999.
10. Widodo D. Demam Tifoid. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jilid III.
Jakarta : Interna Publishing. 2009:2797-2800.
11. Parry M, Hien TT, Dougan G, White NJ, Farrar JJ. A Review of Typhoid
Fever. New England Journal of Medicine. 2002; 347:1770-1782.
http://www.nejm.org/doi/ full/10.1056/NEJMra020201.
12. Tumbelaka AR. Tata laksana terkini demam tifoid pada anak. Simposium
Infeksi – Pediatri Tropik dan Gawat Darurat pada Anak. IDAI Cabang Jawa
Timur. Malang : IDAI Jawa Timur, 2005:37-50.
13. Hoffman SL. Typhoid Fever. Dalam : Strickland GT, Ed. Hunter’s Textbook
of Pediatrics, edisi 7. Philadelphia : WB Saunders, 1991:344-358.
14. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam :
Soegijanto S, Ed. Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, Edisi
1. Jakarta : Salemba Medika, 2002:1-43.
15. Darmowandowo W. Demam tifoid. Media IDI 1998;23:4-7.
16. Tumbelaka AR, Retnosari S. Imunodiagnosis Demam Tifoid. Dalam :
Kumpulan Naskah Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan
Anak XLIV. Jakarta : BP FKUI, 2001:65-73.
17. [WHO] Diagnosis of typhoid fever. Dalam : Background document : The
diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever. World Health
Organization, 2003;7-18.
18. Wain J, Bay PVB, Vinh H, Duong NM, Diep TS, Walsh AL, et al.
Quantitation of bacteria in bone marrow from patients with typhoid fever :
relationship between counts and clinical features. J Clin Microbiol
2001;39(4):1571-6.
19. Chaicumpa W, Ruangkunaporn Y, Burr D, Chongsa-Nguan M, Echeverria P.
Diagnosis of typhoid fever by detection of Salmonella Typhi antigen in urine.
J Clin Microbiol 1992;30(9):2513-5. [Abstract]
20. Parry CM. Typhoid fever. N Engl J Med 2002; 347(22): 1770-82.
http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMra020201.
21. Darmowandowo D. Demam Tifoid. Dalam : Continuing Education Ilmu
Kesehatan Anak XXXIII. Surabaya : Surabaya Intellectual Club, 2003:19-34.
22. [DEPKES]. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. Mei 2006. www.hukor.depkes.go.id/up_prod_kepmenkes
/KMK%20No. %20364%20ttg%20Pedoman%20Pengendalian%20Demam
%20Tifoid.pdf.
23. Harahap, NH. Demam Tifoid. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara. 2011. repository.usu.ac.id/bitstream/4/Chapter %20II.pdf.
24. Drive, Nancy R. 2009. A Review Article of Salmonella Typhi IgM ELISA.
www.genwaybio.com.
25. Gasem MH, Smits HL, Goris MG, Dolmans WM. Evaluation of a simple and
rapid dipstick assay for the diagnosis of typhoid fever in Indonesia. J Med
Microbiol 2002; 51:173-177.
26. Sherwal BL, Dhamija RK, Randhawa VS, Jais M, Kaintura A, Kumar M . A
Comparative Study of Typhoid and Widal Test in Patient of Typhoid Fever.
JIACM 2004; 5(3) : 244-6. http:// medind.nic.in/jac/t04/i3/jact 04i3p244.pdf.
27. A review article of Rapid Detection of Typhoid fever. IDL Botech, 2008.
www.idl.se.
28. Anagha K, Deepika B, Shahriar R, Sanjeev K. The Easy and Early Diagnosis
of Typhoid Fever. JDCR. 2012;4058:2034. www.jcdr.net /articles/pdf/
2034/12a-%204058.A.pdf.
29. Kasper DL, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, Loscalzo J.
Salmonellosis. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 19th edition.
United States : Mc Graw Hill. 2015:1049-1052.
30. KONAS PETRI Bali 2010. Konsensus Penatalaksanaan Demam Tifoid. Bali.
2010.

Anda mungkin juga menyukai