Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

Neonatus merupakan bayi yang berumur 0-28 hari. Masa ini merupakan

masa transisi dimana bayi memulai kehidupan diluar rahim ibunya. Begitu banyak

perubahan yang dialami mulai dari organ fisik maupun fungsi organ tubuhnya.

Pada sebagian neonatus, ikterus akan ditemukan dalam minggu pertama

kehidupannya, ikterus terdapat pada 60% bayi cukup bulan dan pada 80% bayi

kurang bulan. Ikterus terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah,

keadaan ini timbul akibat akumulasi pigmen bilirubin yang berwarna ikterus pada

sklera dan kulit. 1,2

Pada masa transisi setelah lahir,hepar belum berfungsi secara optimal,

sehingga proses glukuronidasi bilirubin tidak terjadi secara maksimal. Keadaan ini

menyebabkan dominasi bilirubin tak terkonjugasi di dalam darah. Pada

kebanyakan bayi baru lahir ini merupakan fenomena transisional yang normal,

tetapi pada beberapa bayi, terjadi peningkatan bilirubin secara berlebihan

sehingga berpotensi menjadi toksik dan dapat menyebabkan kematian dan bila

bayi tersebut dapat bertahan hidup pada jangka panjang akan menimbukan

sekuele nerologis. Dengan demikian setiap bayi yang mengalami kuning, harus

dibedakan apakah ikterus yang terjadi merupakan keadaan yang fisiologis atau

patologis serta dimonitor apakah mempunyai kecenderungan untuk berkembang

menjadi hiperbilirubinemia yang berat.1,3

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Ikterus neonatorum adalah keadaan klinis pada bayi baru lahir yang

ditandai oleh pewarnaan ikterus pada kulit, sklera dan mukosa akibat akumulasi

bilirubin tak terkonyugasi yang berlebihan. Ikterus secara klinis akan mulai

tampak pada bayi baru lahir bila kadar bilirubin darah 5-7 mg/dL atau disebut

dengan hiperbilirubinemia. . Kadar bilirubin tidak terkonjugasi (indirect) pada

neonatus cukup bulan dapat mencapai 6-8 mg/dl pada usia 3 hari, setelah itu

berangsung menurun. Ikterus umumnya mulai tampak pada sklera (bagian putih

mata) dan muka, selanjutnya meluas secara sefalokaudal (dari atas ke bawah) ke

arah dada, perut dan ekstremitas. 1,2

2.2 Epidemiologi

Pada sebagian besar neonatus, ikterus akan ditemukan dalam minggu

pertama kehidupannya. Angka kejadian ikterus pada bayi cukup bulan sekitar

50%-70%, dan sekitar 80%-90% pada bayi prematur. Ikterus dapat berbentuk

fisiologik dan sebagian lagi patologik yang dapat menimbulkan gangguan yang

menetap atau menyebabkan kematian.1

2.3 Klasifikasi

2.3.1 Ikterus fisiologik

Ikterus fisiologis merupakan masalah yang sering terjadi pada bayi kurang

maupun cukup bulan selama minggu pertama kehidupan yang frekuensi pada bayi

4
cukup bulan dan kurang bulan berturut-turut adalah 50-60% dan 80%, kadar

bilirubin tak terkonjugasi pada minggu pertama > 2 mg/dL. Dalam keadaan

normal, kadar bilirubin indirek dalam serum tali pusat adalah sebesar 1-3 mg/dl

dan akan meningkat dengan kecepatan kurang dari 5 mg/dl/24 jam; dengan

demikian ikterus baru terlihat pada hari ke 2-3, biasanya mencapai puncaknya

antara hari ke 2-4, dengan kadar 5-6 mg/dl untuk selanjutnya menurun sampai

kadarnya lebih rendah dari 2 mg/dl antara lain ke 5-7 kehidupan. Ikterus akibat

perubahan ini dinamakan ikterus fisiologis dan untuk kebanyakan bayi fenomena

ini ringan dan dapat membaik tanpa pengobatan, hal ini terjadu akibat hancurnya

sel darah merah janin yang disertai pembatasan sementara pada konjugasi dan

ekskresi bilirubin oleh hati.1

Ikterus fisiologik adalah ikterus yang memiliki karakteristik

1) Timbul pada hari ke-2 dan ke-3 yang tampak jelas pada hari ke-5 dan ke-6.

2) Kadar bilirubin indirek (tak terkonjugasi) setelah 2 x 24 jam tidak melewati

15 mg% per hari pada neonatus cukup bulan dan 10 mg% per hari pada bayi

kurang bulan.

3) Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tak melebihi 5 mg% per hari.

4) Kadar bilirubin direk kurang dari 1 mg%

5) Ikterus hilang pada 10 hari pertama

6) Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologis tertentu.4

5
2.3.2 Ikterus Patologik

Ikterus non fisiologis mungkin merupakan petunjuk penting untuk

diagnosis awal dari banyak penyakit neonatus, walaupun kadar bilirubin masih

dalam batas-batas fisiologik, tetapi klinis mulai terdapat tanda-tanda Kern ikterus

maka keadaan ini disebut ikterus non fisiologi. Ikterus non fisiologis timbul dalam

36 jam pertama kehidupan biasanya disebabkan oleh kelebihan produksi bilirubin,

karena klirens bilirubin yang lambat jarang menyebabkan peningkatan konsentrasi

diatas 10 mg/dl pada umur ini. 1,5,7

Karakteristik ikterus patologis adalah :

1) Timbul sebelum usia 24 jam pertama kehidupan.

2) Ikterus menetap sesudah bayi berumur 8 hari pada bayi cukup bulan dan lebih

dari 14 hari pada bayi kurang bulan.

3) Peningkatan kadar bilirubin total serum > 0,5 mg/dl/jam.

4) Setiap peningkatan kadar bilirubin serum yang memerlukan fototerapi.

5) Adanya tanda-tanda penyakit yang mendasari pada bayi seperti muntah,

letargi, malas menetek, penurunan berat badan yang cepat, apnea, takipnea,

atau suhu yang tidak stabil. 4

2.4 Etiologi

2.4.1 Penyebab ikterus fisiologik

Kadar bilirubin tidak terkonjugasi (unconjugated bilirubin, UCB) pada

neonatus cukup bulan dapat mencapai 6-8 mg/dL pada usia 3 hari, setelah itu

berangsur turun. Pada bayi prematur, awitan ikterus terjadi lebih dini, kadar

bilirubin naik perlahan tetapi dengan kadar puncak lebih tinggi, serta memerlukan

6
waktu lebih lama untuk menghilang, mencapai 2 minggu. Kadar bilirubin pada

neonatus prematur dapat mencapai 10-12 mg/dl pada hari ke-5 dan masih dapat

naik menjadi > 15 mg/dl tanpa adanya kelainan tertentu. Kadar bilirubin akan

mencapai < 2 mg/dl setelah usia 1 bulan, baik pada bayi cukup bulan maupun

pada bayi prematur.

Ikterus fisiologi dapat disebabkan oleh beberapa mekanisme :1

1) Peningkatan produksi bilirubin yang disebabkan oleh :

a) Masa hidup eretrosit yang lebih singkat.

b) Peningkatan eritropoiesis infektif.

2) Peningkatan sirkulasi enterohepatik.

3) Defek uptake bilirubin oleh hati oleh karena kurangnya protein Y dan Z

dalam sel hepatosit.

4) Defek konjugasi karena aktivitas uridin difosfat glukoronil trasferase

(UDPG-T) yang rendah, sehingga enzim glucoronyl transferase yang

belum cukup jumlahnya.

5) Penurunan sekkresi hepatik. 1

2.4.2 Penyebab ikterus patologi

1) Produksi yang berlebihan

Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada

hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas darah Rh, AB0, golongan

darah lain, defisiensi enzim G-6-PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan

sepsis. 3

2) Gangguan dalam proses “uptake” dan konjugasi hepar

7
Gangguan ini dapat disebabkan oleh bilirubin, gangguan fungsi hepar,

akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil

transferase (sindrom criggler-Najjar). Penyebab lain yaitu defisiensi protein.

Protein Y dalam hepar yang berperan penting dalam “uptake” bilirubin ke sel

hepar. 3

3) Gangguan transportasi

Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkat ke hepar.

Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya

salisilat, sulfafurazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak

terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke

sel otak. 3

4) Gangguan dalam ekskresi

Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau diluar hepar.

Kelainan diluar hepar biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi

dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain. 3

2.5 Metabolisme Bilirubin

1) Produksi

Bilirubin adalah pigmen kristal berwarna jingga ikterus yang merupakan

bentuk akhir dari pemecahan katabolime heme melalui proses reaksi oksidasi-

reduksi. Langkah oksidasi pertama kali adalah biliverdin yang dibentuk dari heme

dengan bantuan enzim heme oksigenase yaitu suatu enzim yang sebagaian besar

terdapat dalam sel hati, dan organ lain. Dalam pembentukkan itu akan terbentuk

besi yang digunakan kembali untuk pembentukkan hemoglobin dan

8
karbonmonosida (CO) yang diekskresikan kedalam paru. Biliverdin kemudian

akan direduksi menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin reduktase. Biliverdin

bersifat larut dalam air dan secara cepat akan diubah menjadi bilirubin melalui

reaksi bilirubin reduktase. Bilirubin bersifat lipofilik dan terikat dengan hidrogen

serta pada pH normal bersifat tidak larut. Jika tubuh akan mengekskresikan,

diperlukkan mekanisme transport dan eliminasi bilirubin. Pada bayi baru lahir,

sekitar 75% produksi bilirubin berasal dari katabolime heme haemoglobin dan

sisanya 25% disebut early labelled bilirubin yang berasal dari pelepasan

hemoglobin karena eritopoesis yang tidak efektif didalam sumsum tulang,

jaringan yang mengandung protein heme dan heme bebas. Bayi baru lahir akan

memproduksi bilirubin 8-10 mg/kgBB/hari. Peningkatan produksi bilirubin pada

bayi baru lahir disebabkan masa hidup eritrosit yang pendek (70-90

hari),peningkatan degradasi heme,turn over sitokrom yang meningkat dan juga

reabsorbsi bilirubin dari usus yang meningkat. 1

2) Transportasi

Pembentukkan bilirubin yang terjadi di sistem retikuloendotelial,

selanjutkan dilepaskan ke sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin. Bayi

baru lahir memiliki kapasitas ikatan plasma yang rendah terhadap bilirubin karena

konsentrasi albumin yang rendah dan kapasitas ikatan molar yang kurang.

Bilirubin yang pada albumin serum ini merupakan zat non polar dan tidak larut

dalam air kemudian akan ditransferkan ke sel hepar. Bilirubin yang terikat dengan

albumin tidak dapat memasuki susunan saraf pusat dan bersifat non toksik. Saat

kompleks bilirubin-albumin mencapai membran plasma hepatosit, albumin terikat

9
ke reseptor permukaan sel. Kemudian bilirubin, ditransfer melalui sel membran

yang berikatan dengan ligandin (protein Y), mungkin juga dengan protein ikatan

sitosolik lainnya. Keseimbangan antara jumlah bilirubin yang masuk ke sirkulasi,

perpindahan bilirubin antar jaringan, pengambilan bilirubin oleh sel hati dan

konjugasi bilirubin akan menentukkan konsentrasi bilirubin tak terkonjugasi

dalam serum, baik pada keadaan normal ataupun tidak normal. Berkurangnya

kapasitas pengambilan hepatik bilirubin tak terkonjugasi akan berpengaruh

terhadap pembentukan ikterus fisiologis. Walaupun demikian defisiensi ambilan

ini dapat menyebabkan hiperbilirubinemia terkonjugasi ringan pada minggu kedua

kehidupan saat konjugasi bilirubin hepatik mencapai kecepatan normal yang sama

dengan orang dewasa.1

3) Konjugasi

Bilirubin tak terkonjugasi dikonversikan ke bentuk bilirubin konjugasi yang

larut dalam air diretikulum endoplasma dengan bantuan enzim uridine diphospat

glucoronosyl transferase (UDPG-T). katalisa oleh enzim ini akan merubah bentuk

bilirubin monoglukoronide menjadi diglukoronide. Bilirubin kemudian

diekskresikan ke dalam kanalikulus empedu. Sedangkan satu molekul bilirubin

tak terkonjugasi akan kembali ke retikulum endoplasmik untuk rekonjugasi

berikutnya. Pada keadaan peningkatan beban bilirubin yang dihantarkan ke hati

akan terjadi retensi bilirubin tak terkonjugasi seperti halnya pada keadaan

hemolisis kronik yang berat pigmen yang tertahan adalah bilirubin

monoglukoronida. 1

4) Ekskresi

10
Sesudah konjugasi bilirubin ini menjadi bilirubin direk yang larut dalam air

dan di ekskresi dengan cepat ke sistem empedu kemudian memasuki saluran

pencernaan dan diekskresikan melalui feses. Dalam usus bilirubin direk ini tidak

diabsorpsi; sebagian kecil bilirubin direk dihidrolisis menjadi bilirubin indirek dan

direabsorpsi. Siklus ini disebut siklus enterohepatis. Selain itu pada bayi baru

lahir, lumen usus halusnya steril sehingga bilirubin konjugasi tidak dapat dirubah

menjadi sterkobilin (suatu produk yang tidak dapat diabsorbsi). 1

5) Metabolisme bilirubin pada janin dan neonatus

Pada likuor amnion yang normal dapat ditemukan bilirubin pada kehamilan

12 minggu, kemudian menghilang pada kehamilan 36-37 minggu. Pada

inkompatibilitas darah Rh, kadar bilirubin dalam cairan amnion dapat dipakai

untuk menduga beratnya hemolisis. Peningkatan bilirubin amnion juga terdapat

pada obstruksi usus fetus. Bagaimana bilirubin sampai ke likuor amnion belum

diketahui dengan jelas, tetapi kemungkinan besar melalui mukosa saluran nafas

dan saluran cerna. Produksi bilirubin pada fetus dan neonatus diduga sama

besarnya tetapi kesanggupan hepar mengambil bilirubin dari sirkulasi sangat

terbatas. Demikian pula kesanggupannya untuk mengkonjugasi. Dengan demikian

hampir semua bilirubin pada janin dalam bentuk bilirubin indirek dan mudah

melalui plasenta ke sirkulasi ibu dan diekskresi oleh hepar ibunya. Dalam keadaan

fisiologis tanpa gejala pada hampir semua neonatus dapat terjadi akumulasi

bilirubin indirek sampai 2 mg%. Hal ini menunjukkan bahwa ketidakmampuan

fetus mengolah bilirubin berlanjut pada masa neonatus. Pada masa janin hal ini

diselesaikan oleh hepar ibunya, tetapi pada masa neonatus hal ini berakibat

11
penumpukan bilirubin dan disertai gejala ikterus. Pada bayi baru lahir karena

fungsi hepar belum matang atau bila terdapat gangguan dalam fungsi hepar akibat

hipoksia, asidosis atau bila terdapat kekurangan enzim glukoronil transferase atau

kekurangan glukosa, kadar bilirubin indirek dalam darah dapat meninggi.

Bilirubin indirek yang terikat pada albumin sangat tergantung pada kadar albumin

dalam serum. Pada bayi kurang bulan biasanya kadar albuminnya rendah sehingga

dapat dimengerti bila kadar bilirubin indek yang bebas itu dapat meningkat dan

sangat berbahaya karena bilirubin indirek yang bebas inilah yang dapat melekat

pada sel otak. Inilah yang menjadi dasar pencegahan ‘kernicterus’ dengan

pemberian albumin atau plasma. Bila kadar bilirubin indirek mencapai 20 mg%

pada umumnya kapasitas maksimal pengikatan bilirubin oleh neonatus yang

mempunyai kadar albumin normal telah tercapai. 1

12
Gambar 1. Metabolisme Bilirubin pada Neonatus. 1

2.6 Manifestasi klinis dan Diagnosis

2.6.1 Anemnesis

1) Riwayat ibu melahirkan bayi yang lalu dengan kuning.

2) Golongan darah ibu dan ayah (bila bayi ikterus pada hari 1).

3) Riwayat ikterus hemolitik, defisiensi glukose-6-fosfat dehidrogenase

(G6PD) , atau inkompabilitas faktor Rhesus atau golongan darah

ABO pada kelahiran sebelumnya.

4) Riwayat anemia, pembesaran hati, atau limpa pada keluarga. 5

13
2.6.2 Pemeriksaan fisik

Ikterus dapat dideteksi secara klinis dengan mengobservasi warna kulit

dengan cara melakukan penekanan menggunakan jari, bayi akan

tampak berwarna kuning. Ikterus dimulai dari kepala kemudian

menyebar ke tubuh dan ekstremitas (sefalokaudal). Pemeriksaan akan

lebih baik pada siang hari dengan sinar lampu yang cukup. 5

Gambar 1. Ikterus pada kulit dan mukosa bayi

Gambar 2. Cara pemeriksaan ikterus pada kulit. Tampak normal atau tidak kuning

(kanan) dan tampak kulit kuning (kiri)

14
Tabel 1. Penentuan derajat ikterus menurut kremer

2.6.3 Pemeriksaan penunjang

1) Bilirubin serum total. Pemeriksaan bilirubin serum direk dianjurkan bila

ikterus menetap sampai usia lebih 2 minggu atau dicurigai adanya

kolestasis.

2) Darah lengkap dan morfologi darah tepi untuk melihat morfologi eritrosit

dan ada tidaknya hemolisis.

3) Golongan darah rhesus, dan direct Coombs’ test dari ibu dan bayi untuk

mencari penyakit hemolitik. Bayi dari ibu dengan Rhesus negatif harus

menjalani pemeriksaan golongan darah, Rhesus, dan direct coombs’tes

segera setelah lahir.

4) Kadar enzim G6PD pada eritrosit. 1

2.7 Penatalaksanaan

Metode terapi pada ikterus meliputi : terapi sinar (fototerapi), transfusi

pengganti (exchage tranfusion), pemberian ASI.

15
1) Terapi sinar (fototerapi)

Fototerapi terdiri dari radiasi dengan lampu energi foton yang akan merubah

struktur molekul bilirubin dari suau senyawa tetrapirol yang sulit larut menjadi

senyawa dipirol yang mudah larut dalam air sehingga bilirubin dapat

diekskresikan ke dalam empedu atau urin tanpa membutuhkan glukoronidase

hepatik. Fototerapi digunakan untuk mencegah kadar bilirubin yang memerlukan

transfusi pengganti. Fototerapi diberikan jika kadar bilirubin darah indirek lebih

dari 10 mg% pada bayi dengan usia gestasi > 35 minggu. 1,2,6

Tabel 2. Panduan terapi sinar untuk bayi prematur

Berat Indikasi terapi sinar bilirubin serum total

1. < 1000 g Dimulai dalam 24 jam pertama

2. 1000-1500 g 7-9 mg/dl

3. 1500-2000 g 10-12 mg/dl

4. 2000-2500 g 13-15 mg/dl

Sumber : Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Anak Indonesia, 2009. Modifikasi


dari Cloherty JP, et al. Manual of neonatal care. Edisike-6

16
Diagram 1. Panduan terapi sinar untuk bay dengan usia gestasi > 35 minggu.
Sumber : Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Anak Indonesia, 2009. Modifikasi
dari American Academi of Pediatry (APP)

Gambar 3. Fototerapi pada ikterus neonatorum

2) Transfusi pengganti

Transfusi pengganti merupakan metode tercepat untuk menurunkan

konsentrasi bilirubin serum. Indikasi transfusi pengganti yakni adanya anemia

atau peningkatan kadar bilirubin serum. Padapenyakit hemolitik neonatal, indikasi

transfusi yakni anemia (nilai hematokrit < 45%), direct Coombs’s (+), dan kadar

bilirubin darah umbilikus > 4 mg/dl, peningkatan kadar bilirubin seum > 1

mg/dl/jam selama lebi dari 6 jam. 6

17
Tabel 3. Panduan terapi trasfusi tukar

Berat Indikasi trasfusi tukar bilirubin serum total

1. < 1000 g 10-12 mg/dl

2. 1000-1500 g 12-15 mg/dl

3. 1500-2000 g 15-18 mg/dl

4. 2000-2500 g 18-20 mg/dl

Sumber : Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Anak Indonesia, 2009. Modifikasi


dari Cloherty JP, et al. Manual of neonatal care. Edisike-6

Diagram 2. Panduan terapi sinar untuk bay dengan usia gestasi > 35 minggu.
Sumber : Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Anak Indonesia, 2009. Modifikasi
dari American Academi of Pediatry (APP)

3) Pemberian ASI

Dianjurkan ibu memberikan ASI dengan interval 2 jam dan tidak memberikan

makanan tambahan, atau setidaknya ASI 8-10 kali per 24 jam. Pemberian ASI

yang sering mungkin tidak akan meningkatkan intake bayi, tetapi dapat

18
meningkatkan peristaltik dan frekuensi BAB sehingga menigkatkan ekskresi

bilirubin. 6

2.8 Pencegahan

1) Evaluasi harus dilakukan pada setiap bayi baru lahir untuk menilai

kemungkinan bayi mengalami hiperbilirubinemia. Evaluasi dapat dilakukan

dengan 2 cara yakni dengan memeriksa kadar bilirubin serum total atau

pencarian faktor risiko hiperbilirubinemia. Hasil pemeriksaan kadar bilirubin

total yang diperoleh kemudian diplot pada normogram. Sehingga dapat

diketahui apakah bayi berada pada zona resiko rendah, menengah, atau tinggi

untuk terjadinya hiperbilirubinemia berat. 6

2) Pemeriksaan golongan darah dan faktor Rhesus wajib dilakukan pada setiap

ibu hamil. 6

19
BAB III

PENUTUP

Ikterus merupakan disklorisasi pada kulit atau organ lain akibat


penumpukan bilirubin. Bila ikterus terlihat pada hari ke 2-3 dengan kadar
bilirubin indirek 5-6 mg/dl dan untuk selanjutnya menurun hari ke 5-7 kehidupan
maka disebut ikterus fisiologis sedangkan ikterus patologis yaitu bila bilirubin
serum meningkat dengan kecepatan lebih besar dari 5 mg/dl / 24 jam pertama
kehidupan yang selanjutnya dapat terjadi kernikterus bila tidak didiagnosa dan
ditangani secara dini. 1

Gejala klinik yang dapat ditimbulkan antara lain letargik, nafsu makan
yang menurun dan hilangnya refleks moro merupakan tanda-tanda awal yang
lazim ditemukan tanda-tanda kernikterus jarang timbul pada hari pertama
terjadinya kernikterus. 2

Pengobatan yang diberikan pada ikterus bertujuan untuk mencegah agar


konsentrasi bilirubin indirek dalam darah tidak mencapai kadar yang
menimbulkan neurotoksitas, pengobatan yang sering diberikan adalah fototerapi
dan transfusi tukar. Prognosis ikterus tergantung diagnosa secara dini dan
penatalaksanan yang cepat dan tepat. 3

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2010. Buku Ajar Neonatologi. Pengurus Pusat

Ikatan Dokter Anak Indonesia: Jakarta

2. Direktorat Jendral Bina Upaya Kesehatan. 2004. HTA Indonesia 2004

Tatalaksana Ikterus Neonatorum. Kementrian kesehatan RI: Jakarta

3. Etika, R., Harianto, A., Indarso, F., Damanik, Sylviati M. 2004.

Hiperbilirubinemia Pada Neonatus. Divisi Neonatologi Bagian Ilmu

Kesehatan Anak Fk Unair/Rsu Dr. Soetomo – Surabaya

4. Kliegman, Robert M. 2004. Neonatal Jaundice And Hyperbilirubinemia

Dalam : Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB Editors. Nelson Textbook

Of Pediatrics. 17Th Edition. Philadelphia, Pennsylvania : Saunders.

5. Pudjadi Antonius, Hegar Badriul, Handrayastuti Setyo, dkk. Pedoman

Pelayanan Medis Edisi II, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Jakarta.

2011.

6. Martiza Iesje. Buku Ajar Gastroenterologi-Hepatologi Jilid 1 : Bab XV

Ikterus IDAI. Jakarta. 2015.

21

Anda mungkin juga menyukai