Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gout merupakan diagnosis klinis sedangkan hiperurisemia adalah kondisi
biokimia. Gout ditandai dengan episode arthritis akut yang berulang, disebabkan oleh
timbunan monosodium urat pada persendian dan kartilago, dan pembentukan batu
asam urat pada ginjal (nefrolitiasis). Hiperurisemia yang berlangsung dalam periode
lama merupakan kondisi yang diperlukan tetapi tidak cukup untuk menyebabkan
terjadinya gout.
Gout adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan keadaan penyakit
yang berkaitan dengan hiperurisemia. Hiperurisemia dapat terjadi karena peningkatan
sintesis prekursor purin asam urat atau penurunan eliminasi/pengeluaran asam urat
oleh ginjal, atau keduanya.
Hiperurisemia adalah keadaan dimana terjadi peningkatan kadar asam urat darah
diatas normal. Secara biokomiawi akan terjadi hiper-asam urat darah diatas normal.
Secara biokomiawi akan terjadi hiper-saturasi yaitu kelarutan asam urat di serum
yang melewati ambangsaturasi yaitu kelarutan asam urat di serum yang melewati
ambang batasnya. Batasan hiperurisemia secara ideal yaitu kadar asam uratbatasnya.
Batasan hiperurisemia secara ideal yaitu kadar asam urat diatas 2 standar deviasi hasil
laboratorium pada populasi normal.diatas 2 standar deviasi hasil laboratorium pada
populasi normal. Namun secara pragmatis dapat digunakan patokan kadar asam
uratNamun secara pragmatis dapat digunakan patokan kadar asam urat >7 mg% pada
laki-laki, dan >6 mg% pada perempuan, berdasarkan >7 mg% pada laki-laki, dan >6
mg% pada perempuan, berdasarkan berbagai studi epidemologi selama ini. Keadaan
hiperurisemia akan berbagai studi epidemologi selama ini. Keadaan hiperurisemia
akan beresiko timbulnya arthritis gout, nefropati gout, atau batu ginjal.beresiko
timbulnya arthritis gout, nefropati gout, atau batu ginjal. Hiperurisemia dapat terjadi
bisa terjadi akibat peningkatan metabolisme asam urat (overproduction), penurunan
ekskresi asam urat urin (underexcretion), atau gabungan keduanya.

B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BABII
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
GOUT (pirai) adalah penyakit yang sering ditemukan,merupakan kelompok
penyakit heterogen sebagai akibat deposisi kristal monosodium urat pada jaringan,
akibat gangguan metabolisme berupa hiperurisemia. Manifestasi klinik deposisi urat
meliputi arthritis gout, akumulasi kristal di jaringan yang merusak tulang (tofus), batu
urat,dan nefropati gout.
Gout merupakan diagnosis klinis sedangkan hiperurisemia adalah kondisi
biokimia. Gout ditandai dengan episode arthritis akut yang berulang, disebabkan oleh
timbunan monosodium urat pada persendian dan kartilago, dan pembentukan batu
asam urat pada ginjal (nefrolitiasis). Hiperurisemia yang berlangsung dalam periode
lama merupakan kondisi yang diperlukan tetapi tidak cukup untuk menyebabkan
terjadinya gout.

B. Epidemologi
Prevalensi hiperurisemia kira-kira 2,6-47,2% yang bervariasi pada berbagai
populasi. Sedangkan prevalensi gout juga bervariasi antara 1-15,3%. Pada suatu studi
didapatkan insidensi gout 4,9% pada kada asam urat darah >9 mg/dL, 0,5% pada
kadar 7-8,9%, dan 0,1% pada kadar <7 mg/dL. Insidensi kumulatif gout mencapai
angka 22% setelah 5 tahun, pada kadar asam urat >9 mg/dL.urat >9 mg/dL

C. Penyebab GOUT dan Hiperurisemia


Penyebab hiperurisemia sebagai suatu proses metabolik yang bias menimbulkan
manifestasi gout, dibedakan menjadi penyebab primer pada sebagian besar kasus,
penyebab sekunder dan idiopatik. Penyebab primer berarti tidak penyakit atau sebab
lain, berbeda dengan kelompok sekunder yang didapatkan adanya penyebab yang
lain, baik genetik maupun metabolik. Pada 99% kasus gout dan hiperurisemia dengan
penyebab primer, ditemukan kelainan moleku yang tidak jela (undefined) meskipun
diketahui adanya mekanisme undersecretion pada 80-90% kasus dan overproduction
pada 10-20% ka-pada 10-20% kasus.
Sedangkan kelompok hiperurisemia dan gout sekunder, bias melalui mekanisme
overproduction, seperti ganguan metabolism purin pada defisi enzim gucose-6-
phosphataseatase atau fructose-1-phospate aldolase. Hal yang sama juga terjadi pada
keadaan infark miokard, status epileptikus, penyakit hemolisis kronis, polisitemia,
psoriasis, keganasan mieloproliferatif dan limfoproliferatif; yang meningkatkan
pemecahan ATP dan asam nukleat dari inti sel. Sedangkan mekanisme
undersecretion bisa ditemukan pada keadaan penyakit ginjal kronik, dehidrasi,
diabetes insipidus, peminum alkohol, myxodema, hiperparatiroid, ketoasidosis dan
keracunan berilium. Selain itu juga dapat terjadi pada pemakaian obat seperti
diuretik, salisilat dosis rendah, pirazinamid, etambutol dan siklosporin.
Hiperurisemia diketahui juga berkaitan dengan adanya berbagai keadaan
gangguan metabolik seperti diabetes melitus, hipertrigliseridemia, obesitas, sindrom
metabolik, dan hipotiridism dan sebaliknya hiperurisemia diduga menjadi factor
risiko hipertensi, aterosklerosis dan penyakit jantung koroner.

D. Patogenesis
Kadar asam urat dalam serum merupakan hasil keseimbangan antara produksi dan
sekresi. Dan ketika terjadi ketidakseimbangan dua proses tersebut maka terjadi
keadaan hiperurisemia, yang menimbulkan hipersaturasi asam urat yaitu kelarutan
asam urat di serum yang telah melewati ambang batasnya, sehingga merangsang
timbunan urat dalam bentuk garamnya terutama monosodium urat diberbagai
tempat/jaringan. Menurunnya kelarutan sodium urat pada temperatur yang lebih
rendah seperti pada sendi perifer tangan dan kaki, dapat menjelaskan kenapa kristal
MSU (monosodium urat) mudah diendapkan di pada kedua tempat tersebut. Predileks
untuk pengendapan kristal MSU pada metatarsofalangeal-1 (MTP-1) berhubungan
juga dengan trauma ringan yang berulang-ulang pada daerah tersebut.daerah tersebut.
Awal serangan gout akut berhubungan dengan perubahan kadar asam urat serum,
meninggi atau menurun. Pada kadar asam urat yang stabil jarang muncul serangan.
Pengobatan dengan allopurinol pada awalnya juga dapat menjadi faktor yang
mempresipitasi serangan gout akut. Penurunan asam urat serum dapat mencetuskan
pelepasan kristal monosodium urat dari depositnya di sinovium atau tofi (crystals
shedding). Pelepasan kristal MSU akan merangsang proses inflamasi dengan
mengaktifkan kompleman melalui jalur klasik maupun alternatif. Sel makrofag
(paling penting), netrofil dan sel radang lain juga teraktivasi, yang akan menghasilkan
mediatormediator kimiawi yang juga berperan pada proses inflamasi. Penyebab
hiperurisemia sebagai suatu proses metabolik yang bias menimbulkan manifestasi
gout, dibedakan menjadi penyebab primer pada sebagian besar kasus, penyebab
sekunder dan idiopatik. Penyebab primer berarti tidak penyakit atau sebab lain,
berbeda dengan kelompok sekunder yang didapatkan adanya penyebab yang lain,
baik genetik maupun metabolik.

E. Gambaran Klinis
Gout dan Hiperurisemia
Gambaran klinik dapat berupa:
1. Hiperurisemia asimptomatik
Hiperurisemia asimptomatik adalah keadaan hiperurisemia (kadar asam urat
serum tinggi) tanpa adanya manifestasi klinik gout. Fase ini akan berakhir ketika
muncul serangan akut arthritis gout, atau urolitiasis, dan biasanya setelah 20
tahun keadaan hiperurisemia asimptomatik. Terdapat 10-40% subyek dengan gout
mengalami sekali atau lebih serangan kolik renal, sebelum adanya serangan
arthritis.
2. Arthritis gout, meliputi 3 stadium:
a. Artritis gout akut
Serangan pertama biasanya terjadi antara umur 40-60 tahun pada laki-laki,
dan setelah 60 tahun pada perempuan. Onset sebelum 25 tahun merupakan
bentuk tidak lazim arthritis gout, yang mungkin merupakan manifestasi
adanya gangguan enzimatik spesifik, penyakit ginjal atau penggunaan
siklosporin. Pada 85-90% kasus, serangan berupa arthritis monoartikuler
dengan predileksi MTP-1 yang biasa disebut podagra. Gejala yang muncul
sangat khas, yaitu radang sendi yang sangat akut dan timbul sangat cepat
dalam waktu singkat. Pasien tidur tanpa ada gejala apapun, kemudian bangun
tidur terasa sakit yang hebat dan tidak dapat berjalan. Keluhan monoartikuler
berupa nyeri, bengkak, merah dan hangat, disertai keluhan sistemik berupa
demam, menggigil dan merasa lelah, disertai lekositosis dan peningkatan laju
endap darah. Sedangkan gambaran radiologis hanya didapatkan
pembengkakan pada jaringan lunak periartikuler. Keluhan cepat membaik
setelah beberapa jam bahkan tanpa terapi sekalipun.
Pada perjalanan penyakit selanjutnya, terutama jika tanpa terapi yang
adekuat, serangan dapat mengenai sendi-sendi yang lain seperti pergelangan
tangan/kaki, jari tangan/kaki, lutut dan siku, atau bahkan beberapa sendi
sekaligus. Serangan menjadi lebih lama durasinya, dengan interval serangan
yang lebih singkat, dan masa penyembuhan yang lama. Faktor pencetus
serangan akut antara lain trauma lokal, diet tinggi purin, minum alkohol,
kelelahan fisik, stress, tindakan operasi, pemakaian diuretik, pemakaian obat
yang meningkatkan atau menurunkan asam urat. Diagnosis yang definitif/gold
standard, yaitu ditemukannya kristal urat (MSU) dicairan sendi atau tofus.
Untuk memudahkan penegakan diagnosis arthritis gout akut, dapat
digunakan kriteria dari ACR (American College of Rheumatology) tahun
1977:
a) Ditemukannya kristal urat di cairan sendi, atau
b) Adanya tofus yang berisi kristal urat, atau
c) Terdapat 6 dari 12 kriteria klinis, laboratoris dan radiologis berikut:
1. Terdapat lebih dari satu kali serangan arthritis akut
2. Inflamasi maksimal terjadi dalam waktu satu hari
3. Arthritis monoartikuler
4. Kemerahan pada sendi
5. Bengkak dan nyeri pada MTP-1
6. Artritis unilateral yang melibatkan MTP-1
7. Artritis unilateral yang melibatkan sendi tarsal
8. Kecurigaan adanya tofus
9. Pembengkakan sendi yang asimetris (radiologis)
10. Kista subkortikal tanpa erosi (radiologis)
11. Kultur mikroorganisme negative pada cairan sendi
Yang harus menjadi catatan, adalah diagnosis gout tidak bias digugurkan
meskipun kadar asam urat darah normal.
b. Stadium interkritikal
Stadium ini merupakan kelanjutan stadium gout akut, dimana secara klinik
tidak muncul tanda-tanda radang akut, meskipun pada aspirasi cairan sendi
masih ditemukan kristal urat, yang menunjukkan proses kerusakan sendi yang
terus berlangsung progresif. Stadium ini bisa berlangsung beberapa tahun
sampai 10 tahun tanpa serangan akut. Dan tanpa tata laksana yang adekuat
akan berlanjut ke stadium gout kronik.
c. Artritis gout kronik = kronik tofaseus gou
Stadium ini ditandai dengan adanya tofi dan terdapat di poliartikuler,
dengan predileksi cuping telinga, MTP-1, olekranon, tendon Achilles dan jari
tangan. Tofi sendiri tidak menimbulkan nyeri, tapi mudah terjadi inflamasi di
sekitarnya, dan menyebabkan destruksi yang progresif pada sendi serta
menimbulkan deformitas. Selain itu tofi juga sering pecah dan sulit sembuh,
serta terjadi infeksi sekunder. Kecepatan pembentukan deposit tofus
tergantung beratnya dan lamanya hiperurisemia, dan akan diperberat dengan
gangguan fungsi ginjal dan penggunaan diuretik. Pada beberapa studi
didapatkan data bahwa durasi dari serangan akut pertama kali sampai masuk
stadium gout kronik berkisar 3-42 tahun, dengan rata-rata 11,6 tahun. Pada
stadium ini sering disertai batu saluran kemih sampai penyakit ginjal
menahun/gagal ginjal kronik. Timbunan tofi bias ditemukan juga pada
miokardium, katub jantung, system konduksi,beberapa struktur di organ mata
terutama sklera, dan laring.
Pada analisa cairan sendi atau isi tofi akan didapatk an Kristal MSU,
sebagai kriteria diagnostik pasti. Gambaran radiologis didapatkan erosi pada
tulang dan sendi dengan batas sklerotik dan overhanging edge.
3. Penyakit ginjal
Sekitar 20-40% penderita gout minimal mengalamai albuminuri sebagai akibat
gangguan fungsi ginjal. Terdapat tiga bentuk kelainan ginjal yang diakibatkan
hiperurisemia dan gout:
 Nefropati urat, yaitu deposisi kristal urat di interstitial medulla dan pyramid
ginjal, merupakan proses yang kronik, ditandai dengan adanya reaksi sel giant
di sekitarnya.
 Nefropati asam urat, yaitu presipitasi asam urat dalam jumlah yang besar
pada duktur kolektivus dan ureter, sehingga menimbulkan keadaan gagal
ginjal akut. Disebut juga sindrom lisis tumor, dan sering didapatkan pada
pasien leukemia dan limfoma pasca kemoterapi.
 Nefrolitiasis, yaitu batu ginjal yang didapatkan pada 10-25% dengan gout
primer.
F. Diagnosis
Diagnosis artritis gout dilakukan sesuai dengan criteria dari The American
College of Rheumatology (ACR) yaitu terdapat kristal urat dalam cairan sendi
atau tofus dan/atau bila ditemukan 6 dari 12 kriteria yaitu, Inflamasi maksimum
pada hari pertama, serangan akut lebih dari satu kali, arthritis monoartikuler,
sendi yang terkena berwarna kemerahan, pembengkakan dan nyeri pada sendi
metatarsofalangeal, serangan pada sendi metatarsofalangeal unilateral, adanya
tofus, hiperurisemia, pada foto sinar-X tampak pembengkakan sendi asimetris dan
kista subkortikal tanpa erosi, dan kultur bakteri cairan sendi negatif.
Sedangkan menurut Fauci et al (2008), diagnosis artritis gout meliputi kriteria
analisis cairan sinovial, terdapat kristal-kristal asam urat berbentuk jarum baik di
cairan eksraseluler maupun intraseluler, asam urat serum, asam urat urin, ekskresi
>800 mg/dl dalam diet normal tanpa pengaruh obat, yang menunjukkan
overproduksi, skrining untuk menemukan faktor resiko, seperti urinalisis, serum
kreatinin, tes fungsi hati, kadar glukosa dan lemak, dan hitung darah lengkap, jika
terbukti karena overproduksi, konsentrasi eritrosit hypoxantine guanine
phosporibosyl transferase (HGPRT) dan 5phosphoribosyl-1-pyrophosphate
(PRPP) terbukti meningkat, foto sinar-X, menunjukkan perubahan kistik, erosi
dengan garis tepi bersklerosi pada artritis gout kronis.
Artritis gout memiliki diagnosis banding seperti arthritis septik, psoriasis,
calcium pyrophosphate deposition disease (CPPD), dan artritis rematik. Untuk
diagnosis definitif artritis gout dikonfirmasikan dengan analisis cairan sendi
dimana pada penderita artritis gout mengandung monosodium urat yang negatif
birefringent (refraktif ganda) yang juga ditelan oleh neutrofil (dilihat dengan
mikroskop sinar terpolarisasi) (Setter dan Sonnet, 2005). Analisis cairan sinovial
dan kultur sangat penting untuk membedakan artritis septik dengan artritis gout.
Artritis gout cenderung tidak simetris dan faktor reumatoid negatif, sedangkan
pada artritis rematik cenderung terjadi simetris dan lebih dari 60% kasus memiliki
faktor reumatoid positif. Hiperurisemia juga sering terjadi pada penderita
psoriasis dan adanya lesi kulit membedakan kasus ini dengan artritis gout
(Depkes, 2006).

G. Penatalaksanaan
Tujuan terapi gout adalah:
1. Menghentikan serangan akut secepat mungkin
2. Mencegah serangan akut berulang
3. Mencegah komplikasi akibat timbunan Kristal urat di sendi, ginjal atau tempat
lain
Modalitas yang tersedia untuk terapi gout dan hiperurisemia:
1. Edukasi
Sebagian besar kasus gout dan hiperurisemia (termasuk hiperurisemia
asimptomatik) mempunyai latar belakang penyebab primer, sehingga memerlukan
pengendalian kadar asam urat jangka panjang. Perlu compliance yang baik dari
pasien untuk mencapai tujuan terapi di atas, dan hal itu hanya didapat dengan
edukasi yang baik. Pengendalian diet rendah purin juga menjadi bagian tata
laksana yang penting (Wortmann RL, 2009; Tehupeiroy ES, 2006).

2. Terapi serangan akut: kompres dingan, kolkisin, OAINS, steroid, ACTH


Pada keadaan serangan akut pemberian kompres dingin dapat membantu
mengurangi keluhan nyeri. Semua yang meningkatkan dan menurunkan asam urat
harus dikendalikan. Tidak diperbolehkan minum alkohol. Penggunakan obat
penurun asam urat dihindari, kecuali sebelumnya sudah mengkonsumsinya secara
rutin, maka harus diteruskan dan tidak boleh dihentikan (Wortmann RL, 2009).
Kolkisin mempunyai efek anti inflamasi yang kuat, namun batas amannya
sangat sempit, dan sering menimbulkan efek samping. Secara tradisional dulu
kolkisin digunakan pada serangan akut arthritis dengan dosis 0,5-0,6 mg tiap jam
peroral sampai terjadi tiga hal yaitu keluhan arthritis membaik; muncul efek
samping mual, muntah, diare; atau sudah mencapai dosis maksimal sebanyak 10
dosis. Saat ini para ahli lebih menganjurkan pemberian tiap 2-6 jam sehingga
tidak menimbulkan banyak efek samping, dan lebih berharap pada efek prevensi
serangan berikutnya. Pemberian kolkisin intravena menjadi alternatif, namun
dengan risiko efek samping yang lebih besar. Hati-hati pada gangguan fungsi
ginjal (Wortmann RL, 2009; Terkeltaub RA, 2008).
Terapi dengan obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) menjadi pilihan utama
untuk diberikan pada serangan akut dengan dosis yang optimal, dengan syarat
fungsi ginjal yang masih baik (Choi HK, 2008). Jenis OAINS termasuk yang
selektif COX-2 tidak terlalu berpengaruh terhadap respon klinik, tapi sebaiknya
digunakan yang jenis dengan onset kerja cepat, dan dengan pertimbangan efek
sampingnya (Wortmann RL, 2009; Terkeltaub RA, 2008).
Pemakaian kortikosteroid intrartikuler cukup bermanfaat pada arthritis
monoartikuler atau yang melibatkan bursa. Sedangkan kortikosteroid sistemik
dapat digunakan terutama pada gangguan fungsi ginjal, atau intoleran dengan
kolkisin dan OAINS. Dosis steroid yang diperlukan sesuai dengan prednisone 20-
60 mg perhari.( Wortmann RL, 2009; Tehupeiroy ES, 2006) Adrenocorticotropic
(ACTH) injeksi intra muskuler dapat mengatasi serangan akut pada pemberian
pertama kali, meskipun kadang-kadang diperlukan pengulangan 24-48 jam
kemudian.
3. Kontrol hiperurisemia:
xanthine oxidase inhibitors, urikosurik agent
Kontrol hiperurisemia dilakukan dengan diet rendah purin, serta menghindari
obat-obatan yang meningkatkan kadar asam urat serum terutama diuretik
(Wortmann RL, 2009; Tehupeiroy ES, 2006). Selanjutkan diperlukan urate
lowering agent seperti golongan xanthine oxidase inhibitor, maupun uricosuric
agent, dengan catatan tidak boleh dimulai pada saat serangan akut. Pada
hiperurisemia asimptomatik terapi farmakologik dimulai jika kadar asam urat
serum >9 mg/dL. Sedangkan pada penderita gout telah diketahui bahwa
pemberian urate lowering agent juga menjadi faktor pencetus serangan akut,
sehingga diberikan juga kolkisin dosis prevensi 0,6 mg 1-3 kali perhari, atau
OAINS dosis rendah, dan dimulai setelah tidak adanya tanda-tanda inflamasi akut
(Wortmann RL, 2009; Tehupeiroy ES, 2006; Emmerson BT, 2003) Rilonacept,
suatu inhibitor IL-1 sedang dikembangkan sebagai obat pencegah serangan akut
pada awal terapi penurun asam urat (Terkeltaub R, 2007). Target terapi adalah
menurunkan kadar asam urat serum sampai di bawah 6,8 mg/dL (lebih baik
sampai 5-6 mg/dL) (Wortmann RL, 2009; Tehupeiroy ES, 2006; Emmerson BT,
2003).
Jenis urate lowering agent yang pertama yaitu golongan xanthine oxidase
inhibitor dengan cara kerja penghambatan oksidasi hipoxantin menjadi xantin,
dan xantin menjadi asam urat. Obat yang termasuk golongan ini adalah
allopurinol. Diberikan mulai dosis 100 mg/hari dan dinaikkan tiap minggu sampai
tercapai target (rata-rata diperlukan minimal 300 mg/hari). Pada gangguan fungsi
ginjal dosis harus disesuaikan (Wortmann RL,2009).Jenis obat yang lain
seperti febuxostat, non-purine xanthine oxidase inhibitor yang juga cukup poten,
maupun pegylated recombinant uricas, masih dikembangkan (Emmerson BT,
2003; Becker MA, 2005; Chohan S, 2009)
Sedangkan jenis urate lowering agent yang kedua yaitu golongan uricosuric
agent, bekerja dengan cara menghambat reabsorsi urat di tubulus renalis. Yang
paling sering dipakai adalah probenesid dan sulfinpirazon. Probenesid dengan
dosis 0,5-3 gram dibagi 2-3 kali perhari. Sedangkan sulfinpirazon diberikan
dengan dosis 300-400 mg dibagi 3-4 kali perhari. Pemakaian obat urikosurik ini
lebih diindikasikan pada keadaan dengan ekskresi asam urat di urin <800 mg
perhari, dan dengan fungsi ginjal yang masih baik (creatinine clearance
>80ml/menit). Risiko batu ginjal semakin besar pada kadar asam urat di urin yang
tinggi. Pada beberapa kasus yang sulit dikendalikan dengan obat tunggal,
kombinasi uricosuric agent dan xanthine oxidase inhibitor dapat dibenarkan.
(Wortmann RL, 200; Terkeltaub RA,2008; Emmerson BT, 2003).
BAB III
STUDI KASUS
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA

Fauci et al. 2008, Gout, Pseudogout, and Related Disease in Harrisons’s Manual of
Medicine 17th Edition, The McGraw Hill Companies, USA pp. 903-904

Departemen Kesehatan Republik Indonesia 2006, Pharmaceutical Care Untuk Pasien


Penyakit Artritis Rematik, Jakarta

Setter SM, Sonnet TS 2005, New Treatment Option in the Management of Gouty
Arthritis, US Pharmacist,

Wortmann RL. Gout and hyperuricemia. In: Firestein GS, Budd RC, Harris ED, Rudy
S, Sergen JS, editors. Kelley’s Textbook of Rheumatology. 8 ed.
Philadelphia:Saunders; 2009.p.1481-506

Tehupeiroy ES. Artrtritis pirai (artritis gout). Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, Editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi ke-4. Jakarta:Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI;
2006.hal.1218-20

Terkeltaub RA. Gout: treatment. In: Klippel JH, Stone JH, Crofford LJ, White PH,
Editors. 13th ed. New York:Springer;2008.p.258-262

Choi HK. Gout : Epidemology , pathology and pathogenesi s. In: Klippel JH, Stone
JH, Crofford LJ, White PH, Editors. 13th ed. New York:Springer; 2008.p.250-
7

Terkeltaub R, Schumacher H, Sundy J, Murphy F, Bookbinder S, Biedermann S, et


al. Placebo-controlled pilot study of rilonacept (IL-1 Trap), A long acting IL-1
inhibitor, in refractory chronic active gouty arthritis. Annual Scientific
Meeting 2007; American College of Rheumatology

Emmerson BT. The Management of gout. In: Hochberg MC, Silman AJ, Smo-len JS,
Weinblatt ME, Weisman MH, Editors. Rheumatology. 3 ed. Edinburg:
Elsevier; 2003.p.1925-36

Becker MA, Schumache HR, Wortmann RL, MacDonald PA, Eustace D, Palo WA,
et al. Febuxostat compared with Allopurinol in Patients with Hyperuricemia
and Gout. NEJM 2005; 353(23):2450-61

Chohan S, Becker MA. Update on emerging urate-lower ing therapies. Current


Opinion in Rheumatology 2009; 21(2):143-9

Anda mungkin juga menyukai