RHINOSINUSITIS AKUT
Penyaji :
Daniel Ivan Sembiring (140100136)
Pembimbing :
Prof. dr. Askaroellah Aboet, Sp. THT-KL (K)
Nilai :
Penguji
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan
berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan refarat ini dengan
judul “Rhinosinusitis Akut”.
Penulisan refarat ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok dan Bedah Kepala Leher Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen
pembimbing yang telah meluangkan waktunya dan memberikan banyak masukan
dalam penyusunan refarat ini sehingga dapat selesai tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa penulisan refarat ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik isi maupun susunan bahasanya, untuk itu penulis
mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sebagai masukan dalam penulisan
refarat selanjutnya. Semoga refarat ini bermanfaat, akhir kata penulis
mengucapkan terima kasih.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
iv
DAFTAR GAMBAR
v
BAB I
PENDAHULUAN
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
dan sinus sfenoid. Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding
lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus
maksila, dan sinus etmoid anterior. Meatus inferior terletak di antara konka
inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada daerah ini
terdapat muara duktus nasolakrimalis.4,5
Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan
tulang rawan. Bagian atas dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid dan
bagian posterior dibentuk oleh os vomer. Bagian tulang rawan yaitu kartilago
septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela. Pada bagian tulang rawan septum
dilapisi perikondrium, bagian tulang dilapisi periosteum, sedangkan bagian luar
dilapisi mukosa hidung.4,5
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung yang dibentuk oleh os
maksila dan os palatum (permukaan atas palatum durum). Dinding superior atau
atap hidung yang sempit dibentuk oleh lamina kribosa, yang memisahkan rongga
tengkorak dari rongga hidung. Lamina kribosa merupakan lempeng tulang berasal
dari os etmoid, tulang ini berlubang-lubang tempat masuknya serabut saraf
olfaktorius. Di bagian posterior, atap rongga hidung dibentuk os sfenoid.5
Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari arteri etmoid anterior
dan posterior. Bagian bawah hidung diperdarahi oleh cabang arteri maksilaris
interna, yaitu ujung arteri palatina mayor, dan arteri sfenopalatina. Bagian depan
hidung mendapat perdarahan dari cabang-cabang arteri fasialis. Bagian depan
septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri
etmoid anterior, arteri labialis anterior, dan arteri palatina mayor, yang disebut
pleksus Kiesselbach (little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan
mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis. Vena-vena
hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya.
Vena-vena ini membentuk suatu pleksus kavernosus yang rapat di bawah
membrana mukosa. Drainase vena terutama melalui vena oftalmika, fasialis
anterior, dan sfenopalatina.5
Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Nervus maksilaris dari
nervus trigeminus berfungsi untuk impuls aferen sensorik, nervus fasialis untuk
4
gerakan otot pernapasan pada hidung luar. Ganglion sfenopalatina berguna
mengontrol diameter vena dan arteri hidung, dan juga produksi mukus, sehingga
dapat mengubah pengaturan hantaran, suhu, dan kelembaban aliran udara.5
5
obstruksi pada KOM, maka akan terjadi perubahan patologis yang signifikan pada
sinus yang terkait.4
Pada saat lahir, sinus paranasal belum terbentuk, kecuali beberapa sel etmoid.
Kemudian baru pada sekitar umur dua belas tahun, semua sinus paranasal
terbentuk secara lengkap. Kadang-kadang, salah satu dari sinus frontal tidak
terbentuk. Bagian belakang nasofaring berbatasan dengan fossa sfeno-palatina.6
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga
hidung dan perkembangannya dimulai dari pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali
sinus sfenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid sudah ada sejak
saat bayi lahir, sedangkan sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior
pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai
pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung.
Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18
tahun.4
6
Gambar 2.3 Kompleks Osteomeatal13
7
kira 2 mm secara vertikal dan 3 mm anteroposterior. Proses perkembangan
tersebut mulai menurun pada usia 7 tahun, diikuti fase pertumbuhan kedua
berikutnya. Pada usia 12 tahun, pneumatisasi mencapai bagian lateral, yaitu di
bawah bagian lateral dinding orbita pada sisipan prosesus zigomatikus, secara
inferior ke bagian dasar hidung dan setelah pertumbuhan gigi (dentisi) kedua di
bawah dasar hidung. Setelah proses dentisi, sinus hanya akan membesar secara
perlahan-lahan dan mencapai ukuran maksimum pada usia 17 hingga 18 tahun.
Ukuran standar volume sinus maksila pada orang dewasa adalah sekitar 15 cm2
dan secara kasar bentuknya menyerupai piramid. Dasar piramid dibentuk oleh
dinding medial sinus maksilaris dengan sisi apeks piramid ke arah resesus
zigomatikus.6
Hal yang diperhatikan dari segi anatomi sinus maksila berdasarkan segi klinis
adalah bahwa dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas,
yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), dan terkadang gigi taring (C)
dan gigi moral M3. Selanjutnya sinusitis maksilaris juga dapat menimbulkan
komplikasi orbita. Selain itu, letak ostium sinus maksila yang lebih tinggi dari
dasar sinus menyebabkan drenase hanya tergantung dari gerak silia. Drenase yang
harus melalui infundibulum yang sempit juga dapat menyebabkan sinusitis jika di
daerah tersebut mengalami inflamasi.7
2.2.2. Sinus Etmoid
Selama 9 dan 10 minggu masa gestasi, 6 hingga 7 lipatan muncul di bagian
dinding lateral dari kapsul nasalis janin. Lipatan-lipatan ini dipisahkan dari satu
dengan yang lain sesuai alurnya. Lebih dari seminggu kemudian, lipatanlipatan
tersebut berfusi menjadi 3-4 puncak dengan sebuah bagian anterior 'ascending'
dan sebuah bagian posterior 'descending' (ramus asendens dan ramus desendens).
Semua struktur permanen etmoid berkembang dari puncak tersebut.7
Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di
bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm dan
lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior. Pada bagian
terdepan sinus etmoid anterior terdapat resesus frontal yang berhubungan dengan
8
sinus frontal. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu area penyempitan disebut
infundibulum yang merupakan tempat bermuaranya ostium sinus maksila.
Peradangan di resesus frontal mengakibatkan sinusitis frontal. Sementara jika
peradangan terjadi di infundibulum mengakibatkan sinusitis maksila.7
Sinus etmoid dipisahkan oleh rangkaian resesus yang dibatasi 5 sekat tulang
atau lamela. Lamela ini diberi nama dari yang paling anterior ke posterior :
prosesus uncinatus, bula etmoidalis (sel etmoid yang terbesar), dasar atau lamela
basalis dan konka superior. Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis
berbatasan dengan lamina kribosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea
yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian
belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus sfenoid.7
2.2.3. Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid merupakan sinus paranasal yang terletak paling posterior. Sinus
sfenoid mulai dapat dikenal pada sekitar bulan ketiga intrauterin sebagai sebuah
evaginasi dari resesus sfenoetmoidal dan kemudian menjadi sebuah rongga kecil
berukuran 2 x 2 x 1.5 mm pada bayi baru lahir. Pada usia 3 tahun, pneumatisasi
tulang sfenoid berkembang dan pada usia 7 tahun mencapai dasar sella. Ukuran
sinus sfenoid adalah 2 cm (tinggi) x 1,7 (lebar) x 2,3 (dalamnya). Volumenya
bervariasi dari 5 sampai 7,5 ml.4 Pada orang dewasa, derajat pneumatisasinya
berubah-ubah dan keasimetrisan menjadi hal utama yang harus diperhatikan.7
Sebelah superior sinus sfenoid terdapat fosa serebri media dan kelenjar
hipofisa, sebelah inferiornya adalah atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan
dengan sinus kavernosus dan arteri karotis interna dan pada sebelah posteriornya
berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons.7
2.2.4. Sinus Frontal
Sinus frontal adalah sinus yang paling bervariasi dalam ukuran dan bentuk.
Secara embriologik, sinus frontal mungkin dikenal sebagai sebuah sel etmoidalis
anterior. Ukurannya tergantung pada derajat pneumatisasi, mungkin tidak ada
sama sekali (5%) dan biasanya dibagi atau dibatasi dengan sebuah septum
intersinus. Pada fetus usia 4 bulan, perkembangan sinus frontal yang berasal dari
resesus frontal dapat dilihat. Dari bagian yang paling anterior dan segmen superior
9
dari kompleks etmoid anterior ini, tulang frontal secara berangsur-angsur
mengalami pneumatisasi, menghasilkan sinus frontal yang ukurannya bervariasi.
Saat lahir, sinus frontal kecil dan pada foto x-ray sulit dibedakan dari sel
etmoid anterior yang lain. Berbeda dengan pneumatisasi sinus maksilaris yang
cepat, proses pneumatisasi sinus frontal secara inisial sangat lambat. Meskipun
begitu, pneumatisasinya akan tampak jelas pada gambaran CTscan pada akhir
tahun usia pertama. Saat usia 5 tahun, pneumatisasi akan meluas secara superior
dan pada usia 12 tahun sinus sudah tampak besar. Pneumatisasi mungkin akan
berlanjut selama masa remaja. Bentuk sinus dan resesus frontal merupakan hal
yang sangat penting dalam menentukan variasi.7
Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm (tinggi) x 2,4 cm (lebar) x 2 cm
(dalamnya). Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk.4
10
Gambar 2.4. Klasifikasi Rhinosinusitis7
2.4. Etiologi
Faktor-faktor yang berhubungan dengan patogenesis rinosinusitis dibagi
dalam 2 besar, yaitu faktor manusia dan lingkungan. Faktor manusia misalnya
seperti genetik / kelainan kongenital (kista fibrosis, sindrom silia imotil), alergi /
kondisi imun tubuh, kelainan anatomi, penyakit sistemik, kelainan endokrin,
gangguan metabolik, dan keganasan. Sedangkan faktor lingkungan misalnya
seperti infeksi (virus, bakteri, dan jamur), trauma, bahan kimia berbahaya,
iatrogenik (medikamentosa ataupun pembedahan).9
Sinusitis yang disebabkan oleh infeksi ada 3 agen penyebabnya, yaitu virus,
bakteri, dan jamur. Rhinosinusitis akibat virus disebut common cold. Virus yang
menginfeksi antara lain : rhinovirus (50%), coronavirus (20%), influenza,
parainfluenza, respiratory syncytial virus, adenovirus dan enterovirus. Sementara
rinosinusitis bakterial akut disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae dan
Haemophilus influenza (sekitar 60% kasus rinosinusitis akibat bakteri). Sisanya
disebabkan oleh Streptococcus grup A, Streptococcus milleri, Staphylococcus
aureus, Neisseria spp., basil gram negatif, Klebsiella sp., Moraxella catarrhalis,
dan Pseudomonas sp. Patogen anaerobik seperti Peptostreptococcus, Bacteroides
spp., dan Fusobacteria ditemukan pada kasus sinusitis maksilaris yang merupakan
infeksi sekunder terhadap penyakit gigi. Jenis jamur yang paling sering
menyebabkan infeksi sinus paranasal ialah spesies Aspergillus dan Candida.9
Beberapa faktor predisposisi selain yang di atas adalah lingkungan berpolusi,
udara dingin dan kering serta kebiasaan merokok. Keadaan tersebut secara
11
perlahan akan menyebabkan perubahan mukosa dan kerusakan silia dalam hidung
dan sinus paranasal.9
2.5. Patofisiologi
Sinus normal biasanya dalam keadaan yang steril. Bakteri yang masuk ke
sinus dapat dieliminasi dengan cepat melalui sekresi mukus yang dikeluarkan oleh
sel epitel kolumnar bersilia. Mukus itu sendiri dihasilkan oleh sel goblet dan
kelenjar submukosa. Oleh karena itu, jika ada kelainan pada silia, maka proses
eliminasi bakteri pun terhambat.10
Baik atau tidak baiknya keadaan sinus dipengaruhi oleh 2 hal, yaitu patensi
ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens mukosiliar (mucocilliary clearance) di
dalam kompleks ostio-meatal (KOM). Mukus sangat bermanfaat dalam menjaga
kesehatan sinus karena mengandung substansi antimikrobial (immunoglobulin)
dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman
yang masuk bersama-sama dengan udara pernafasan.10
Inflamasi hidung dan sinus dari berbagai penyebab dapat mengakibatkan
obstruksi ostium-ostium sinus dan menjadi faktor predisposisi terhadap infeksi.
Faktor yang berperan dalam terjadinya acute bacterial sinusitis (ABRS) banyak,
secara garis besar dibagi atas 2 bagian, yaitu faktor manusia dan lingkungan.
Faktor-faktor yang berhubungan dengan penderita itu sendiri (faktor manusia),
yaitu faktor genetik seperti sindrom silia imotil atau kista fibrosis, abnormalitas
anatomi (konka bulosa, kelainan septum, atau turbinatum paradoksal), penyakit
sistemik, keganasan, dan alergi. Sedangkan faktor lingkungan meliputi infeksi
bakteri, virus, jamur, atau paparan primer maupun sekunder asap tembakau, akut
atau kronik bahan iritan atau bahan kimia berbahaya, faktor iatrogenik termasuk
pembedahan, medikamentosa ataupun pemasangan NGT. Berdasarkan bukti-bukti
yang ada saat ini, para individu dengan riwayat alergi memiliki tingkat insidensi
yang lebih tinggi terjadinya rinosinusitis akut dan kronik.10
Rinosinusitis akut biasanya terjadi karena infeksi virus pada saluran
pernafasan bagian atas. Infeksi ini lebih umum terjadi pada individu yang
memiliki faktor-faktor predisposisi yang telah dijelaskan sebelumnya. Infeksi
12
tersebut akan menyebabkan pembengkakan mukosa hidung sehingga
mengakibatkan oklusi atau obstruksi ostium sinus. Apapun penyebabnya, sekali
saja ostium mengalami oklusi, hipoksia lokal akan terjadi pada kavum sinus dan
sekresi sinus menjadi terakumulasi. Kombinasi antara keadaan hipoksia dan
sekresi yang tertumpuk tadi akan menyebabkan tumbuhnya bakteri patogen di
dalam sinus . Peradangan juga menyebabkan mukus menjadi lebih kental dan
gerakan silia lebih lambat daripada normal.10
Alergi sangat berperan penting pada kejadian rinosinusitis. Reaksi
antigenantibodi pada keadaan alergi menyebabkan pelepasan mediator inflamasi,
termasuk histamin. Mediator-mediator ini meningkatkan permeabilitas vaskular,
edema mukosa, dan pada akhirnya mengakibatkan obstruksi ostia. Walaupun agen
infeksius dapat menjadi penyebab utama inflamasi sinus, mereka juga ditemukan
sebagai infeksi sekunder pada individu yang mengalami rinitis alergi.10
Berbeda dengan rinosinusitis akut, patofisiologi rinosinusitis kronik masih
belum dapat diketahui secara jelas, namun faktor predisposisi lebih berperan
penting, misalnya seperti penyakit sistemik dan lingkungan. Pada pasien
rinosinusitis kronis yang penyebabnya bakteri patogen, organisme terbanyak
adalah Staphylococcus sp. (55%) dan Staphylococcus aureus (20%).10
13
sinusitis kronis sering perhatikan tekanan wajah kusam yang tampaknya
memburuk dengan ketergantungan. Pasien dengan sinusitis akut mungkin
memiliki rasa sakit wajah diskrit atau sakit gigi, tetapi juga memiliki discharge
purulen pada hidung, sering dengan demam. Hal ini penting untuk dicatat bahwa
nyeri wajah bukanlah gejala sinusitis kronis dengan tidak adanya tanda-tanda dan
gejala hidung lain. Umumnya, sinusitis diduga terjadi atas dasar setidaknya dua
faktor utama, salah satu faktor utama dan dua faktor minor, atau purulensi pada
pemeriksaan hidung.8
2.7. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis penting untuk ditanyakan mengenai
gejala yang dirasakan serta durasi, lokalisasi gejala, tingkat severitasnya, faktor
yang memberatkan atau menghilangkan, serta obat yang pernah digunakan.11
Menurut durasi gejala oleh Rhinosinusitis Task Force 1996, rhinosinusitis
didefinisikan sebagai akut apabila gejala berlangsung selama 4 minggu atau
kurang, subakut bila gejala berlangsung 4 minggu hingga 12 minggu, atau kronis
untuk gejala yang berlangsung lebih dari 12 minggu. Istilah rhinosinusitis akut
berulang adalah untuk pasien dengan 4 atau lebih episode per tahun dengan
interval bebas penyakit diantara keduanya. Eksaserbasi akut RSK didefinisikan
sebagai tiba-tiba memburuknya gejala pada pasien yang sudah didiagnosis dengan
RSK, dengan kembali ke gejala awal setelah perawatan. Sebuah riwayat yang kuat
sesuai dengan rhinosinusitis akan memerlukan adanya 2 kriteria mayor atau 1
mayor dan 2 minor.11
Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan
nasoendoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini. Pada
rinoskopi anterior bisa ditemukan Pada pemeriksaan bisa ditemukan nasal
inflamasi, edema mukosa, dan discharge purulen, dan juga terkadang ditemukan
hal yang tidak dicurigai sebelumnya seperti polip atau abnormalitas anatomi.
Tanda khas ialah adanya pus di meatus medius (pada rhinosinusitis maksial dan
etmoid anterior dan frontal) atau di meatus superior (pada sinusitis etmoid
14
posterior dan sfenoid). Pada rinosinusitis akut, mukosa edema dan hiperemis. Pada
anak sering ada pembengkakan dan kemerahan di daerah kantus medius.11
Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos atau CT Scan. Foto
polos posisi Waters, PA dan Lateral, umumnya hanya mampu menilai kondisi
sinus-sinus besar seperti sinus maksila dan frontal. Kelainan akan terlihat
perselubungan, batas udara-caira (air fluid level) atau penebalan mukosa. CT Scan
sinus merupakan gold standard diagnosis rhinosinusitis karena mampu menilai
anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara
keseluruhan dan perluasannya. Namun karena mahal hanya dikerjakan sebagai
penunjangdiagnosis rhinosinusitis kronis yang tidak membaik dengan pengobatan
atau pra-operasi sebagai panduan operator saat melakuka operasi sinus.3
Pada pemeriksaan transiluminasi sinus yang sakit akan menjadi suram atau
gelap. Pemeriksaan ini sudah jarang digunakan karena sangat terbatas
kegunaannya. Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan dengan
mengambil sekret dari meatus medius/superior, untuk mendapat antibiotik yang
tepat guna. Lebih baik lagi bila diambil sekret yang keluar dari pungsi sinus
maksila. Sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial sinus
maksila melalui meatus inferior, dengan alat endoskop bisa dilihat kondisi sinus
maksila yang sebenarnya, selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus untuk terapi.3
15
2.8. Tatalaksana
Tujuan terapi sinusitis ialah mempercepat penyembuhan, mencegah
komplikasi, dan mencegah perubahan akut menjadi kronik. Jenis terapi dibagi
menjadi 2 pilihan, yaitu secara medikamentosa dan pembedahan12
2.8.1. Medikamentosa
Prinsip pengobatan ialah membuka sumbatan di KOM sehingga drenase dan
ventilasi sinus-sinus pulih secara alami. Antibiotik dan dekongestan merupakan
terapi pilihan pada sinusitis bakterial akut. Antibiotik yang dipilih adalah yang
berspektrum lebar, yaitu golongan penisilin seperti amoksisilin. Jika kuman
resisten terhadap amoksisilin, maka diberikan amoksisilin-klavulanat atau
sefalosporin generasi ke-2. Antibiotik diberikan selama 10-14 hari meskipun
gejala klinik sudah hilang. Jika penderita tidak menunjukkan perbaikan dalam 72
jam, maka dilakukan reevaluasi dan mengganti antibiotik yang sesuai.12
Selain dekongestan oral dan topikal, terapi lain dapat diberikan jika
diperlukan, seperti analgetik, mukolitik seperti guaifenesin, steroid oral/ topikal,
pencucian rongga hidung (irigasi) dengan NaCl atau pemanasan (diatermi).
Steroid hidung (spray) sering diberikan untuk terapi pemeliharaan/maintenance
pada rinosinusitis kronik. Nasal saline irrigation adalah jenis terapi yang penting
dalam mengobati rinosinusitis kronik. Bilasan hidung tersebut akan mencegah
akumulasi krusta-krusta di hidung dan membantu lancarnya klirens mukosiliar.
Irigasi antibiotik seperti gentamisin (80 mg/L) dipertimbangkan pemberiannya
pada rinosinusitis kronik yang refrakter.
Untuk pasien dengan riwayat alergi dapat ditangani dengan cara
menghindarkan faktor pencetus, pemberian steroid topikal, dan imunoterapi.
Antihistamin generasi ke-2 diberikan bila ada alergi berat.
16
Inisial Terapi Efikasi Opsi Switch Therapy (improvement -
Klinis /< stlh 72 jam)
(%)
Derajat ringan tanpa riwayat pemakaian antimikroba dalam 4-6 minggu
Amoxicillin/Clavulanate 90-91 -
(1.75-4 g/250 mg/d)
Amoxicillin (1.5-4 g/d) 87-88 Lefofloxacin/Gatifloxacin/moxifloxacin
Cefpodoxime 87 Amoxicilin/clavulanate
Cefuroxime 85 Ceftriaxone
Cefdinir 83 Combination therapy
Gejala ringan dengan riwayat penggunaan antimikroba 4-6 minggu
terakhir/gejala sedang
Gatifloxacin/Lefofloxacin 92 Re-evaluasi
Amoxicillin/ clavulanate 91
Ceftriaxone 91
Combination therapy
Gambar 2.6. Panduan Pilihan Anti Mikroba pada Rhinosinusitis12
17
Gambar 2.7. Skema Penatalaksanaan ARS pada Layanan Primer8
2.8.2. Pembedahan
Tatalaksana pembedahan yang dilakukan ada beberapa cara, antara lain :
bedah sinus endoskopi fungsional dan operasi sinus terbuka, seperti operasi
Caldwell-Luc, etmoidektomi eksternal, trepinasi sinus frontal dan irigasi sinus.
A. Bedah Sinus Endoskopi Fungsional
Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/ FESS) merupakan operasi terkini
untuk sinusitis kronik yang memerlukan operasi. Indikasinya berupa: sinusitis
kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat, sinusitis kronik disertai kista
18
atau kelainan yang irreversibel, polip ekstensif, adanya komplikasi sinusitis serta
sinusitis jamur.12
B. Operasi Caldwell-Luc
Operasi dengan metode Caldwell-Luc dilakukan pada kelainan sinus
maksilaris. Indikasi operasi dengan metode ini yaitu jika terlihat manifestasi klinis
seperti mukokel sinus maksilaris, polip antrokoanal, misetoma, atau benda asing
yang tidak dapat dijangkau melalui endoskopi intranasal.
C. Etmoidektomi Eksternal
Etmoidektomi eksternal telah banyak digantikan oleh bedah endoskopi.
Meskipun begitu, masih ada keuntungan dalam menggunakan metode operasi ini.
Misalnya, biopsi dapat dilakukan secara eksternal pada lesi sinus etmoid atau
frontal. Manfaat lain dari metode ini yaitu dapat memperbaiki komplikasi orbita
dari sinusitis etmoid akut atau frontal dengan cepat dan aman.
D. Trepinasi Sinus Frontal
Metode operasi ini bermanfaat untuk infeksi akut ketika endoskopi nasal sulit
dilakukan akibat perdarahan mukosa hidung. Operasi ini aman dan dekompresi
pus pada sinus frontalis cepat dilakukan.
E. Irigasi Sinus
Irigasi sinus bermanfaat sebagai diagnostik sekaligus terapi. Irigasi sinus
dilakukan pada sinusitis maksilaris akut yang tidak dapat ditangani dengan
pengobatan konservatif dan juga dijadikan sebagai prosedur tambahan untuk
drainase eksternal pada komplikasi orbita yang akut. Pungsi antrum biasanya
dilakukan pada meatus inferior hidung.12
19
2.9. Komplikasi
Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya
antibiotik. Komplikasinya berupa komplikasi orbita atau intrakranial. Komplikasi
lain yang dapat dijumpai pada sinusitis kronik yaitu osteomielitis, abses
subperiostal serta kelainan paru.
A. Komplikasi Orbita
Komplikasi orbita disebabkan infeksi sinus paranasal yang berdekatan dengan
mata (orbita), paling sering ialah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan
maksila. Komplikasi orbita dibagi menjadi 5, yaitu selulitis preseptal, selulitis
orbita, abses subperiosteal, abses orbita, dan trombosis sinus kavernosus.
B. Komplikasi Intrakranial
Komplikasi intrakranial dapat berupa meningitis, abses subdural, abses
intraserebri , dan trombosis sinus kavernosus. Komplikasi intrakranial lebih
umum dijumpai pada pasien sinusitis kronik dibandingkan sinusitis akut.
C. Osteomielitis dan Abses Subperiosteal
Osteomielitis dan abses subperiosteal paling sering timbul akibat sinusitis
frontal dan biasanya ditemukan pada anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila
dapat timbul fistula oroantral atau fistula pada pipi.
D. Kelainan Paru
Kelainan paru akibat komplikasi rinosinusitis yaitu seperti bronkitis kronik
dan bronkiektasis. Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru
ini disebut sino-bronkitis. Selain itu dapat juga menyebabkan kambuhnya asma
bronkial yang sukar dihilangkan sebelum sinusitisnya disembuhkan.
2.11. Prognosis
Prognosis untuk penderita rhinosinusitis akut yaitu sebesar 40% akan sembuh
secara spontan tanpa pemberian antibiotik. Terkadang juga penderita bisa
mengalami relaps setelah pengobatan namun jumlahnya sedikit yaitu kurang dari
5 %. Sedangkan prognosi untuk rhinositis kronik yaitu jika dilakukan pengobatan
yang dini maka akan mendapatkan hasil yang baik.10
20
BAB III
KESIMPULAN
21
DAFTAR PUSTAKA
22
10. Salamone, Shah, et al. Chapter 14: Acute and Chronic Sinusitis. Dalam:
Lalwani, editor. Current Diagnosis and Treatment in Otolaryngology – Head
and Neck Surgery, Ed 2. USA, The McGraw-Hill Companies, Inc. 2007.
11. Bailey BJ, Johnson JT. Head and Neck Surgery Otolaryngology Fourth
Edition Volume One. Lippincott Williams & Wilkins
12. Husni, T. 2012. Diagnosis dan Penanganan Rinosinusitis. Divisi Rinologi,
Bagian Telinga Hidung Tenggorokan-Kepala Leher, Fakultas Kedokteran
Universitas Syahkuala/RSUD Dr. Zainoel Abidin, Banda Aceh, Hal : 212-228.
th
13. Dhingra PL. 2007. Disease of Ear Nose and Throat. 4 Ed.New Delhi, India :
Elsevier. pp : 129-135; 145-148.
23