Anda di halaman 1dari 49

I.

JUDUL
ANALISIS KESTABILAN TEROWONGAN DENGAN METODE
KLASIFIKASI MASSA BATUAN ROCK MASS RATING (RMR) DAN Q-
SYSTEM DI PT. CIBALIUNG SUMBER DAYA

II. LATAR BELAKANG MASALAH


Industri pertmbangan merupakan salah satu penyumbang devisa bagi Negara
yang tak lepas dari resiko besar. System penambangan bawah tanah secara garis
besar juga mempunyai resiko besar,salah satunya adalah kestabilan terowongan.
Terwongan yang tidak stabil biasanya di sebabkan oleh adanya ganguan-ganguan
seperti gejala-gejala geologi, pelapukan , swelling batuan, tekanan dan aliran air
tanah yang berlebihan serta tegangan yang berada di sekitar
terowongan.pembuatan lubang bukaan bawah tanah akan mengakibatkan
perubahan distribusi tegangan terutama pada daerah sekitar lubang bukaan dan
mengakibatkan lubang tidak stabil.
Dalam rangka itulah ,maka perlu adanya analisa terowongan guna
meminimalisir timbulnya resiko-resiko tertentu dalam kegiatan penambangan
khususnya penambangan bawah tanah menggunakan klasifikasi massa batuan.
Pada kegiatan penambangan, proses penggalian merupakan kegiatan yang
utama. Penggalian dilakukan terhadap massa batuan yang memiliki struktur
geologi yang kompleks didalamnya. Oleh karena itu, diperlukan suatu
perancangan yang tepat agar massa batuan tetap dalam kesetimbangannya.
Perancangan yang buruk dapat mengakibatkan bahaya ambrukan yang sewaktu-
waktu dapat terjadi yang dapat berakibat pada keselamatan pekerja, keamanan
peralatan, dan kelancaran produksi akan terganggu yang berujung pada kerugian.

Klasifikasi massa batuan yang terdiri dari beberapa parameter sangat


cocok untuk mewakili karakteristik massa batuan, khususnya sifat-sifat bidang
lemah atau kekar dan derajat pelapukan massa batuan. Atas dasar ini telah banyak

1
usulan modifikasi klasifikasi massa batuan yang dapat digunakan untuk
merancang kestabilan lubang bukaan
Konsep massa batuan merupakan susunan dari sistem blok-blok dan
fragmen-fragmen batuan yang dipisahkan bidang-bidang diskontinyu yang
masing-masing saling bergantung sebagai sebuah kesatuan unit. Sifat atau
karateristik massa batuan tidak dapat diperkirakan tetapi harus dilakukan
pengukuran dari hasil observasi, deskripsi dan melakukan test langsung maupun
tidak langsung yang didukung oleh test laboratorium dengan menggunakan
spesimen kecil dari batuan, dimana karakteristik dari parameter massa batuan
akan didapatkan (Palmstrom, 2001).
Menurut Edelbro (2003) sistem klasifikasi massa batuan dapat digunakan
dalam tahap awal sebuah proyek ketika sedikit atau tidak ada informasi rinci yang
tersedia. Akan tetapi, sistem klasifikasi yang dipilih harus digunakan secara tepat
dan benar. Ada beberapa sistem klasifikasi massa batuan yang dikembangkan
untuk tujuan umum tetapi ada juga yang digunakan untuk aplikasi khusus. Sistem
klasifikasi memperhitungkan faktor pertimbangan, yang diyakini mempengaruhi
stabilitas. Oleh karena itu klasifikasi massa batuan sering berhubungan dengan
diskontinuitas seperti jumlah kekar, jarak kekar, kakasaran alterasi dan isian
kekar, kondisi air tanah dan kadang-kadang juga kekuatan batuan dan besarnya
tekanan batuan utuh (intact rock).

III. RUMUSAN MASALAH


Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat dirumuskan beberapa
permasalahan yaitu:
1. Bagaimana klasifikasi massa batuan di PT. Cibaliung Sumber Daya ?
2. Bagaimana kondisi tingkat keamanan terowongan di PT. Cibaliung Sumber
Daya ?
3. Bagaimana recomendasi penyangga untuk kestabilan terowongan di PT.
Cibaliung Sumber Daya ?

2
IV. BATASAN MASALAH
Batasan masalah yang diuraikan dalam penelitian ini adalah:

1. Lokasi penelitian berada di IUP PT. Cibaliung Sumber Daya


2. Penelitian dibatasi dengan mengunakan metode empiris RMR dan Q-System
untuk rekomendasi
3. Tidak mengkaji analisa perhitungan ekonomi

V. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah:
1. Mengetahui Kelas massa batuan di daerah penelitian PT. Cibaliung Sumber
Daya.
2. Menentukan jenis penyanggaan untuk keamanan terowongan di PT.
Cibaliung Sumber Daya

VI. METODE PENELITIAN


Dalam melaksanakan penelitian ini, metode penelitian yang digunakan oleh
penulis adalah:
1. Studi literatur
Studi literatur dilakukan dengan mencari bahan-bahan pustaka penunjang
yang berasal dari:
a. Perpustakaan
b. Penelitian yang pernah dilakukan oleh perusahaan
c. Peta-peta, grafik, serta table dari materi yang bersangkutan
d. Pengaksesan bahan referensi dari internet
2. Penelitian Di Lapangan
a. Observasi dan pengamatan secara langsung dilapangan serta mencari
data-data pendukung.
b. Menentukan titik dan batas lokasi pengamatan agar penelitian tidak
meluas, tidak keluar dari permasalahan yang ada, serta data yang diambil
dapat dimanfaatkan secara efektif.

3
c. Mencocokan data-data yang telah ada dan disesuaikan dengan
pengambilan data tambahan di lapangan
3. Pengambilan data
Pengambilan data langsung di lapangan dipakai sebagai salah satu bahan
untuk mengetahui permasalahan yang ada sehingga dapat diambil suatu solusi
yang tepat.
Data-data yang diambil antara lain :
1. Data primer
a. Kekuatan batuan
b. RQD
c. Spasi kekar
d. Kondisi kekar
e. Kondisi air tanah
f. Orientasi kekar
2. Data sekunder
a. Peta lokasi penelitian
b. Curah hujan
c. Geologi regional (batuan, stratigrafi dan struktur geologi)
d. Hidrogeologi
4. Pengolahan data
Data yang telah terkumpul baik dari studi literatur maupun dari pengambilan
data di lapangan dikelompokan berdasarkan jenis dan kegunaannya, sehingga
akan terlihat apakah terjadi penyimpangan atau tidak.
Jika terjadi penyimpangan data yang cukup tinggi maka pengambilan data
harus semakin banyak sehingga dapat diambil rata-rata yang mewakili keadaan.
Data-data tersebut kemudian diolah menggunakan metode empiric sehingga
memperoleh hasil yang sesuai dengan tujuan penelitian. Kemudian dilakukan
pengecekan kembali atau diteliti ulang apakah kesimpulan tersebut cukup baik
5. Kesimpulan
Dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh kesimpulan sementara.
Kemudian kesimpulan sementara ini akan diolah lebih lanjut pada bagian

4
pembahasan. Kesimpulan diperoleh setelah dilakukan korelasi antara hasil
pengolahan data dengan permasalahan yang diteliti. Kesimpulan ini merupakan
hasil akhir untuk direkomendasikan dari semua masalah yang dibahas. Diagram
alir penelitian (lihat Gambar 6.1.).

5
STUDY LITERATUR

METODE PENELITIAN

PENGUMPULAN DATA

DATA PRIMER DATA SEKUNDER

1. Kekuatan batuan 1. Peta lokasi penelitian


2. RQD 2. Curah hujan
3. Spasi kekar 3. Geologi regional (batuan,
4. Kondisi kekar stratigrafi dan struktur
5. Kondisi air tanah geologi)
6. Orientasi kekar 4. Hidrogeologi
5. Geometri Terowongan

PENGOLAHAN

ANALISIS DATA

PEMBAHASAN

KESIMPULAN

Gambar 6.1. Diagram Alir Penelitian

6
VII. MANFAAT PENELITIAN
1. Sebagai dasar dari penentuan rekomendasi penyanggaan dan kestabilan
terowongan di PT. Cibaliung Sumber Daya
2. Dasar penentuan jumlah penyangga yang dibutuhkan dalam terowongan.

VIII. DASAR TEORI


8.1. Massa Batuan
Massa batuan adalah susunan blok-blok material batuan yang dipisahkan
oleh berbagai ketidakmenerusan geologi berdasarkan Hoek Brown tahun 1980.
Proses terbentuknya massa batuan berlangsung secara alamiah, sehingga memiliki
sifat yang cenderung unik (tidak ada kembarannya). Meskipun secara deskriptif
namanya sama tetapi antara batuan sejenis hampir pasti tidak sama persis.
Heterogen, artinya:

a. Mineralogis : Jenis mineral pembentuk batuan berbeda.


b. Butiran padat : Ukuran dan bentuknya berbeda.
c. Void : Ukuran, bentuk dan penyebarannya berbeda.
Anisotrop

Artinya mempunyai sifat-sifat yang berbeda pada arah yang berbeda.

Diskontinu

Artinya massa batuan selalu mengandung unsur struktur geologi yang


mengakibatkannya tidak kontinu seperti kekar, sesar, retakan, fissure, bidang
perlapisan, dan lain-lain. Struktur geologi ini cenderung memperlemah kondisi
massa batuan.

Kondisi alamiah massa batuan sebelum penambangan bersifat heterogen-


anisotrop-diskontinu. Jika dilakukan kegiatan penggalian bawah tanah, maka
keadaan tegangan disekitar lubang bukaan menjadi terganggu karena distribusinya
menjadi tidak ideal sehingga kekuatan massa batuan dapat berkurang. Hal ini
dapat menyebabkan kerusakan atau bahkan keruntuhan baik pada atap maupun
dinding lubang bukaan. Persoalan di atas akan menjadi lebih rumit apabila

7
penggalian dilakukan pada batuan yang lunak atau terkekarkan, karena harus
dapat mengantisipasi keruntuhan yang sewaktu-waktu dapat terjadi. Sebuah
filosofi rancangan yang baik diberikan oleh Evert Hoek (1980) sebagai berikut:
bahwa tujuan dasar dari setiap rancangan untuk penggalian di bawah tanah
(underground excavating) harus menggunakan batuan itu sendiri sebagai
penyangga utama, menghasilkan gangguan sekecil mungkin selama penggalian.
Prinsip utama penyanggaan adalah untuk membantu menambah kekuatan batuan
disekitar lubang bukaan agar dapat menyangga dirinya sendiri.

(Sumber : Ever Hoek,2006)


Gambar 8.1. Asumsi batuan ekuivalen dalam mekanika batuan

Pada pekerjaan tambang bawah tanah, lubang bukaan harus mampu


menerima perpindahan besar sebagai hasil dari perubahan kondisi distribusi
tegangan sebanding dengan kemajuan penambangan. Pada batuan yang harus
disangga, penyanggaan harus tetap efektif sebanding dengan penurunan kekuatan
batuan.

8
8.2. Klasifikasi Geomekanik
klasifikasi geomekanika dijelaskan sebagai berikut:

1. Kuat tekan percontoh batuan utuh/kuat tekan uniaksial (Mpa)


Kuat tekan batuan digunakan untuk menyatakan batas tegangan tertinggi
yang sanggup diterima oleh suatu massa batuan saat utuh, yang diperoleh dari
suatu percobaan di laboratorium. Kekuatan batuan dapat diketahui melalui
alat – alat yang digunakan untuk menggores atau memecahkan batuan.
Ada dua cara untuk mendapat kuat tekan batuan utuh yaitu pengujian di
lapangan dengan point load test dan pengujian di laboratorium menggunakan
Uniaxial Compressive Strenght Test (UCS).
a. Point Load Test
Uji Point Load dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kekuatan
batuan secara tidak langsung di lapangan. Dari uji point load didapat:
indeks point load (Is) dan kuat tekan σc. Contoh batuan yang digunakan
adalah batuan berbentuk silinder dengan diameter = 50mm (NX = 54m)
dan tidak beraturan.

Is = F/D2…………………………………………………….................(3.1)

Is(50) = k (F/D2) dimana k = (D/50)0.45……………………………….(3.2)

Keterangan :

Is = Point load strength index

P = Beban maksimum sampai perconto pecah

D = Jarak antara dua konus penekan

Hubungan antara kuat tekan dengan index Franklin menurut Bieniawski


(1975) untuk diameter 50mm adalah

σc = 18 – 23 Is……………………………………………………..….(3.3)

sedangkan untuk diameter lainnya

9
σc = (14 + 0.175D) x Is……………………………………………….(3.4)

Jika Is = 1 Mpa maka indeks tersebut tidak dapat digunakan untuk


menentukan kekuatan batuan.

b. Uniaxial Compressive Strength Test


Prinsip yang digunakan pada uji ini adalah mengetahui kekuatan batuan
setelah memperoleh gaya dari satu arah (uniaxial). Akibat dari tekanan
yang diberikan, contoh batuan akan menunjukan perilaku sebagai reaksi
atas tegangan yang diberikan dialaminya. Contoh batuan uji berupa
silinder dengan ukuran 2 < L/D < 2.5. Dari hasil uji kuat tekan ini, dapat
digambarkan kurva gambar 3.2.

(Sumber Z. T. Bieniawski, 1989)


Gambar 8. 2 Kurva tegangan – regangan.

10
Tabel 8. 1 Peringkat Kekuatan Batuan.

UCS
No. Macam Kekuatan Uji Lapangan
(Mpa)

Batuan Sangat
0 Tergores oleh kuku jari tangan 0.25 - 1.0
Lemah

Dapat diremukkan dengan ujung


1 Batuan Sangat Lunak palu geologi/dapat digores dengan 1.0 - 5.0
pisau lipat

Dapat digores oleh pisau lipat,


2 Batuan Lunak pecah dengan pukulan kuat ujung 5.0 – 25
palu geologi

Tidak dapat digores oleh pisau


Batuan Setengah lipat, dapat pecah dengan sekali
3 25 – 50
Keras pukulan yang kuat dari palu
geologi

Percontoh memerlukan pukulan


4 Batuan Keras lebih dari satu pukulan palu 50 – 100
geologi untuk memecahkannya

Percontoh memerlukan beberapa


5 Batuan Sangat Keras pukulan palu geologi untuk 100 – 250
memecahkannya

Batuan Sangat Kuat Percontoh hanya dapat pecah


6 > 250
& Masif sebagian dengan palu geologi

(Sumber: Z. T. Bieniawski, 1989)

2. Rock Quality Designation (RQD)


Rock Quality Designation (RQD) dikembangkan oleh Deere dan kawan –
kawan (1967) merupakan suatu cara yang sederhana dan murah untuk menilai
kualitas inti bor batuan. RQD diperoleh dengan cara menghitung presentase ini
bor yang lebih panjang atau sama dengan 10 cm, kemudian dibagi panjang
keseluruhan inti bor.

11
Palmston, 1982 ( dalam Bienawski, 1989 ) mengusulkan jika tidak tersedia
inti bor, maka RQD dapat dihitung atau diperkirakan dari jumlah kekar – kekar
(joints) yang ada, misalnya kekar untuk masing-masing set kekar dijumlahkan
(Jv).

RQD = 115 – 3,3Jv…………………..…….……………………….….(3.5)

Keterangan Jv = jumlah kekar dalam 1 m2

(Sumber : Deere & Deere, 1968, Bickel et. Al.,1996)


Gambar 8. 3 Prosedur Pengukuran dan Perhitungan RQD dengan Hasil Inti Bor

Sedangkan Priest dan Hudson (1976) mengusulkan agar RQD ditentukan


berdasarkan frekuensi kekar dengan persamaan :

RQD = 100 e -0,1 λ (0,1 λ+ 1)……………..…………………………....(3.6)

Dengan : λ = N/L = frekuensi kekar

N = Jumlah kekar

L = panjang scanline (cm)

12
Jadi setelah diperoleh besarnya RQD, maka dapat diketahui kualitas
batuannya.

Tabel 8. 2 Hubungan antara RQD dan Kualitas Batuan.

RQD (%) Kualitas Batuan

< 25 Sangat jelek

25 – 50 Jelek

50 – 75 Sedang

75 – 90 Baik

90 – 100 Sangat baik

(Sumber: Deere. 1963)

3. Spasi Ketidakmenerusan (Diskontinu)


Spasi ketidakmenerusan kekar adalah jarak tegak lurus antara bidang –
bidang ketidakmenerusan. Spasi kekar dihitung dengan cara pengukuran rata –
rata, yaitu dengan membagi jarak pengukuran tertentu dengan jumlah kekar
yang ada. Pegukuran rata-rata cocok digunakan untuk kondisi spasi kekar yang
hampir sama. Klasifikasi spasi ketidak menerusan didasarkan pada jarak rata-
rata antar kekar. Jarak antar kekar adalah jarak tegak lurus antara 2 kekar
berurutan sepanjang garis pengukuran garis pengukuran kekar (scanline;
gambar 3.4.) yang dibuat sembarang. Klasifikasi spasi kekar menurut Deere,
dapat dilihat pada tabel 8.3.

13
(Sumber: Z. T. Bieniawski, 1989)

Gambar 8. 4 Prosedur Pengukuran Kekar

Tabel 8. 3 Pemerian Spasi Kekar


Spasi Kekar (mm) Pemerian Spasi

< 20 Ekstrim rapat

20 – 60 Sangat rapat

60 – 200 Rapat

200 – 600 Menengah

600 – 2000 Lebar

2000 – 6000 Sangat lebar

> 6000 Ekstrim lebar

(Sumber: Z. T. Bieniawski, 1989)


4. Kondisi Bidang Diskontinu
Pembobotan parameter ditentukan berdasarkan pengamatan terhadap kondisi
ketidakmenerusan pada lubang bukaan yang meliputi:

14
Tabel 8. 4 Klasifikasi Spasi Ketidakmenerusan.

Jarak (m) Jenis

> 2.0 Sangat Lebar

0.6 - 2.0 Lebar

0.2 - 0.6 Sedang

0.06 - 0.2 Rapat

< 0.06 Sangat Rapat

(Sumber: Z. T. Bieniawski, 1989)

a. Panjang Ketidakmenerusan
Panjang ketidakmenerusan mempengaruhi kelakuan massa batuan.
Panjang ketidakmenerusan dalam pembuatan lubang bukaan dinyatakan
sebagai menerus jika panjangnya lebih besar daripada dimensi lubang
bukaan.

Tabel 8. 5 Klasifikasi Kemenerusan

Panjang
Deskripsi
Diskontinu

Persisten Sangat Rendah <1m

Persisten Rendah 1–3m

Persisten sedang 3 – 10 m

Persisten tinggi 10 – 20 m

Persisten sangat tinggi >20m

(Sumber: Z. T. Bieniawski, 1989)

15
b. Pemisahan
Pemisahan atau jarak antara permukaan ketidakmenerusan mempengaruhi
sifat permukaan yang saling berhadapan. Jika jarak antara permukaan
kecil, kekerasan dinding batuan cenderung akan lebih mengikat dan
material pengisi maupun batuan memberi dukungan terhadap kuat geser
ketidakmenerusan.

Tabel 8. 6 Pemerian Pemisah Kekar

Pemisah Deskripsi

< 0,1 mm Sangat tertutup

0,1 – 0,25 mm Ketat

0,25 – 0,5 mm Sebagian tertutup

0,5 – 2,5 mm Terbuka

2,5 – 10 mm Sangat terbuka

> 10 mm Lebar

1 – 10 cm Sangat lebar

10 – 100 cm Ekstrim lebar

> 1m Terbuka

(Sumber: Z. T. Bieniawski, 1989)

c. Kekasaran
Kekasaran merupakan factor peringkat kuat geser permukaan
ketidakmenerusan. Jika permukaan bersih dan rapat dapat mencegah
terjadinya geseran dipermukaan kekar. Kekasaran dibagi dalam lima kelas
yaitu sangat kasar, kasar, agak kasar, halus dan licin.

16
d. Material Pengisi
Untuk pengukuran material pengisi dilakukan dengan memperhatikan
ketebalannya. Semakin tebal material pengisi, maka pergeseran antar
permukaan rekahan dari kekar semakin sulit, selain itu sifat isian seperti
permeabilitas, perilaku deformasi, dan hubungan antara material pengisi
juga mempengaruhi kuat geser permukaan kekar.

e. Pelapukan Batuan
Tingkat pelapukan batuan dapat diketahui dengan mengamati ciri-ciri
pelapukan, yaitu sebagai berikut:
1) Tidak lapuk/segar
Batuan segar dan kristal-kristalnya jelas.
2) Pelapukan ringan
Terlihat lunturan atau noda disekitar ketidakmenerusan yang biasa
disebabkan oleh pengisian material tipis hasil alterasi.
3) Pelapukan sedang
Perubahan warna mencapai bagian yang lebih luas. Rekahan pada
kekar bernoda dan atau berisi bahan hasil proses pelapukan.
4) Sangat lapuk
Pelapukan mencapai semua bagian-bagian massa batuan dan
batuannya mudah pecah dan tidak mengkilap. Semua material selain
kuarsa telah berubah warna. Batuan dapat dipecahkan atau ditoreh
dengan palu geologi.
5) Pelapukan sempurna
Batuan secara keseluruhan sudah berubah warna dan telah mengalami
dekomposisi dengan kenampakan luarnya seperti tanah serta rapuh,
hanya tinggal sedikit kristalnya.
Pembobotan parameter kondisi ketidakmenerusan dapat dilihat
pada tabel 8.7.

17
Tabel 8. 7 Petunjuk Pembobotan Kondisi Ketidakmenerusan

Kondisi
Pembobotan
Ketidakmenerusan

3 - 10
<1m 1 -3 m 10 - 20 m > 20 m
Panjang m

(6) (4) (2) (1) (0)

Tidak 0.1 - 1
< 0.1 mm 1 - 5 mm > 5 mm
Pemisahan Ada mm

(6) (5) (4) (1) (0)

Sangat Agak
Kasar Lembut Licin
Kekasaran Kasar Kasar

(6) (5) (3) (1) (0)

Tidak Material Material


Ada Keras Lunak
Material Pengisi
< 5 mm > 5 mm < 5 mm > 5 mm
(6)
(4) (2) (2) (0)

Tidak Agak Sangat


Sedang Kuat
Pelapukan Lapuk Lapuk Lapuk

(6) (5) (3) (2) (0)

(Sumber: Z. T. Bieniawski, 1989)

5. Kondisi Air Tanah


Air tanah merupakan salah satu parameter penting yang harus diamati,
karena air tanah secara langsung akan mempengaruhi bobot massa batuan.
Kondisi air tanah diperoleh dengan cara mengamati kondisi umum kandungan
air tanahnya yang dapat dinyatakan sebagai kering, lembab, basah, menetes,
dan mengalir.

18
Klasifikasi massa batuan dalam pekerjaan pembuatan lubang bukaan
dimaksudkan untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih baik tentang sifat fisik
dan mekanik massa batuan setelah tegangan alamiahnya berubah karena
penggalian. Adapun tujuan dari suatu metode klasifikasi massa batuan antara lain:

1. Untuk mengelompokkan massa batuan tertentu pada kelompok yang


mempunyai kelas massa batuan yang sama.
2. Untuk lebih mudah dalam memahami karakteristik dari masing-masing
kelompok massa batuan.
3. Untuk menghasilkan data kuantitatif untuk keperluan rancangan lubang
bukaan.
Untuk memperoleh gambaran awal mengenai kondisi batuan dengan RMR
system, berikut adalah langkah – langkah yang harus ditempuh:

1. Menghitung nilai bobot total batuan dari 5 parameter awal sehingga


diperoleh nilai RMR dasar.
2. Memberikan penilaian dan pembobotan dari kedudukan sumbu
terowongan terhadap jurus dan kemiringan dari bidang – bidang
diskontinu.
3. Menentukan nilai RMR terkoreksi dengan cara menjumlahkan bobot
RMR dari langkah dan bobot dari langkah kedua.
4. Memasukan pengaruh peledakan, keberadaan sesar mayor, tegangan
insitu serta perubahan untuk mendapatkan nilai RMR termodifikasi.
5. Menentukan rekomendasi penyangga dari nilai RMR termodifikasi.

Pada klasifikasi geomekanik massa batuan dibedakan menjadi 5 kelas


berdasarkan jumlah bobot (RMR) pada tabel 8.8.

19
Tabel 8. 8 Pembobotan dan Klasifikasi Geomekanik Massa Batuan.

A Parameter Klasifikasi dan Pembobotannya


PARAMETER SELANG NILAI
1 Kekuatan Batuan Index Untuk nilai yang
Utuh kekuatan kecil dipakai hasil
Point 4 - 10 2-4 1-2 UCS
> 10 Mpa
Load Mpa Mpa Mpa
100 -
50 - 100 25 - 50
Uniaksial > 250 Mpa 250
Mpa Mpa
Mpa
Pembobotan 15 12 7 4 2 1 0
2 75 - 90 50 - 75 25 - 50
RQD 90 - 100 % < 25 %
% % %
Pembobotan 20 17 13 8 3
3 0,2-0,6 600-200
Spasi Rekahan >2m 0,6-2 m < 60 mm
m mm
Pembobotan 20 15 10 8 5
4
Permukaa
Agak Agak Slickensi
n sangat
kasar, kasar, de/gouge
kasar, tak Gouge lemah, tebal
renggan renggang <5
menerus, > 5 mm atau
Kondisi Rekahan gan < 1 an < 1 mm/reng
tidak renggangan 5 mm
mm mm gangan 1
renggang, menerus
agak sangat - 5 mm
tidak
lapuk lapuk menerus
rapuh

Pembobotan 30 25 20 10 0
5 Aliran/10
m
< 10 10 - 25 25 - 125
panjang Tidak ada > 125 l/menit
l/menit l/menit l/menit
terowong
an
Air Tanah Tekanan
Pori
tegangan 0 0,0 – 1 0,1 - 0,2 0,2 - 0,5 > 0,5
utama
max
Keadaan Lemba
Kering Basah Menetes Mengalir
Umum b
Pembobotan 15 10 7 4 0
(sumber: Z. T. Bieniawski, 1989)

20
Tabel 8. 9 Penentuan Kelas Massa Batuan

B. Kelas Massa Batuan Dari Pembobotan Total

Pembobotan 100 - 81 80 – 61 60 - 41 40 – 21 < 21

Nomor Kelas I II III IV V

Sangat
Baik Sedang Jelek Sangat Jelek
Pemerian baik

C. Arti Daripada Kelas Batuan

Nomor Kelas I II III IV V

20 tahun 1 bulan
1 minggu 10 jam
Stand Up Time untuk untuk 30 menit untuk
untuk untuk span
Rata-rata span 15 span 10 span 1 m
span 5 m 2,5 m
m m

> 400 300 - 200 - 300 100 - 200


Kohesi < 100 Kpa
Kpa 400 Kpa Kpa Kpa

Sudut Geser
> 45 35 – 45 25 - 35 15 - 25 < 15
Dalam (˚)

(sumber: Z. T. Bieniawski, 1989)

Pengaruh orientasi jurus dan kemiringan pada pembuatan lubang bukaan


dicantumkan pada tabel 8.10.

Serta Orientasi Jurus dan Kemiringan serta Pedoman untuk Penggalian dan
Penyanggaan di cantumkan pada table 8.11.

21
Tabel 8. 10 Pengaruh Orientasi Jurus dan Kemiringan pada Pembuatan Lubang
Bukaan.

Orientasi Bidang Diskontinu Terhadap Arah Bukaan/Tunnel

Arah Strike Tegak Lurus Terhadap Arah Strike Searah Terhadap Arah
Tunnel Tunnel

Searah dengan Dip 45 Searah dengan Dip


Dip 45 - 90˚ Dip 20 - 45˚
- 90˚ 20 - 45˚

0 -2 -12 -5

Sangat Sangat Tidak


Menguntungkan Sedang
Menguntungkan Menguntungkan

Berlawanan dengan Berlawanan dengan Dip 0 - 20˚ Memotong


Dip 45 - 90˚ Dip 20 - 45˚ Terhadap Arah Tunnel

-5 10 -5

Tidak
Sedang Tidak Menguntungkan
Menguntungkan

(Sumber: Z. T. Bieniawski, 1989)

Pedoman klasifikasi geomekanika untuk menentukan cara penggalian dan


jenis penyangga yang diperlukan, sehingga apabila batuannya jelek (poor rock)
penyanggaan harus segera dipasang 10 m dari permukaan kerja.

Tabel 8.11 Pedoman Penggalian dan Penyanggaan pada Lubang Bukaan


Berkaitan dengan Sistem Pembobotan Massa Batuan (RMR).

Rock bolts
Rock mass (20 mm
Excavation Shotcrete Steel sets
class diameter,
fully grouted)

I - Very
good rock Full Face. 3 m Generally no support required except spot
RMR : 81 – advance bolting.
100

22
Locally, bolts
Full Face. 1 - 1,5 in crown 3 m
II - Good 50 mm in
m advance long, spaced
rock RMR crown where None.
Complete suport 2.5 m with
61 – 80 required.
20 m from face. occasional
wire mesh.

Top heading and


Systematic
bench 1.5 - 3 m
bolts 4 m
advance in top
long, spaced
III - Fair heading. 50 - 100 mm in
1.5 - 2 m in
rock RMR: Commence crown and 100 None.
crown and
41 – 60 support after each mm in sides.
walls with
blast. Complete
wire mesh in
support 10 m from
crown.
face.

Top heading and


Systematic
bench 1.0 - 1.5 m
bolts 4 - 5 m Light no
advance in top 100 - 150 mm
IV - Poor long, spaced medium ribs
heading. Install in crown and
rock RMR: 1 - 1.15 m in spaced 1.5 m
support 100 mm in
21 – 40 crown and where
concurrently with sides.
walls with required.
excavation, 10 m
wire mesh.
from face.

Multiple drifts 0.5


Systematic Medium to
- 1.5 m advance in
bolts 5 - 6 m heavy ribs
top heading. 150 - 200 mm
long, spaced space 0.75 m
V - Very Install support in crown, 150
1 - 1.5 m in with steel
poor rock concurrently with mm in sides,
crown and lagging and
RMR < 20 excavation. and 50 mm on
walls with forepoling if
Shotcrete as soon face.
wire mesh. required.
as possible after
Bolt invert. Close invert.
blasting.

(Sumber: Z. T. Bieniawski, 1989)

23
8.3. Rock Tunneling Quality Index (Q-system)
Klasifikasi massa batuan yang disebut Q-system dikembangkan pada tahun
1974 di Norwegia oleh Barton, Lien, dan Lunde dari Norwegian Geothecnical
Institute (dalam Bieniawski,1989). Q-system memberikan konstribusi besar dalam
pengembangan klasifikasi massa batuan untuk beberapa alasan yaitu:

1. Sistem didasarkan pada analisis dari 212 kasus lubang bukaan di


Skandinavia.
2. Merupakan sistem klasifikasi kuantitatif.
3. Memberikan kemudahan pada rancangan penyanggaan lubang bukaan.
Q-system didasarkan pada penelitian numerik dari kualitas massa batuan
dengan menggunakan enam parameter, yaitu:

1. RQD (Rock Quality Designation).


2. Angka pasangan kekar atau Joint Set Number (Jn).
3. Angka kekasaran kekar atau Joint Roughness Number (Jr).
4. Angka alterasi kekar atau Joint Alteration Number (Ja).
5. Angka air kekar atau Joint Water Number (Jw).
6. Faktor pengurangan tegangan atau Stress Reduction Factor (Srf).

Q-system merupakan fungsi dari enam parameter yang dinyatakan dengan


persamaan berikut:

RQD J J
Q= × J r × SRF
w
………………………….……………………(3.6)
𝐽n 𝑎

Keterangan:

RQD = Rock Quality Designation

Jn = Angka pasangan kekar

Jr = Angka kekasaran kekar

Ja = Angka alterasi kekar

Jw = Angka reduksi karena air dalam kekar

24
SRF = Faktor pengurangan karena adanya tegangan

Keenam parameter ini dapat dikelompokkan menjadi tiga factor utama


yang diperhitungkan oleh Barton,dkk untuk mengetahui nilai Q, yaitu :

1. RQD/Jn mereprensentasikan struktur dari massa batuan, menunjukkan


ukuran blok batuan.
2. Jr/Ja menunjukan kekasaran (Roughness) dan karakteristik filling
material dari bidang diskontinu tersebut. Jr/Ja menunjukan shear
strength antar blok batuan. Suatu bidang diskontinu dengan permukaan
yang kasar tidak mempunyai filling material dan mengalami kontak
dengan permukaan bidang lainnya, akan mempunyai kuat geser yang
tinggi dan menguntungkan untuk kestabilan lubang bukaan. Adanya
lapisan mineral clay pada permukaan kontak antara kedua bidang
diskontinu tersebut, akan mengurangi kuat geser secara signifikan.
Selanjutnya kontak antar permukaan bidang diskontinu yang mengalami
pergeseran juga akan mempertinggi potensi failure pada lubang bukaan.
3. Jw/SRF merepresentasikan parameter stress. Secara empiris Jw/SRF
mewakili active stress yang dialami batuan. Parameter Jw adalah
ukuran tekanan air yang dapat mempengaruhi kuat geser dari bidang
diskontinu. Parameter SRF dianggap sebagai parameter total stress yang
dipengaruhi oleh letak dari lubang bukaan.

Kualitas massa batuan dapat berkisar dari Q = 0,001 sampai Q = 1000


pada skala logaritmik kualitas massa batuan.

Menurut Barton, Lien, dan Lunde, parameter Jn, Jr, dan Ja memiliki
peranan yang lebih penting dibandingkan pengaruh orientasi bidang diskontinu.

Penjelasannya sebagai berikut :

25
1. Rock Quality Designation (RQD)
Parameter ini merupakan RQD yang dikembangkan oleh Deere.
Besarnya RQD dinyatakan sebagai jumlah panjang core yang lebih dari
10cm dibagi dengan total core recovery dari suatu pengeboran.
Apabila tidak dilakukan borehole, maka RQD dapat di estimasi dari
jumlah joint per-meter. Persamaan yang digunakan untuk menentukan
nilai RQD batuan adalah sebagai berikut :
RQD = 115 – (3,3 x Jv)………………………………………….(3.7)
Dimana Jv adalah jumlah joint per meter kubik.
Dari nilai yang diperoleh, kemudian dilakukan pendiskripsian
pembobotan terhadap kualitas batuan seperti pada table 8.12 berikut:
Tabel 8. 12 Pemeriaan dan Pembobotan untuk Parameter RQD

Bobot RQD
Pemerian RQD
(%)

A Sangat Jelek 0 – 25

B Jelek 25 – 50

C Sedang 50 – 75

D Baik 75 – 90

E Baik Sekali 90 – 100

(Sumber: Z. T. Bieniawski, 1989)

2. Angka Pasangan Kekar atau Joint Set Number (Jn)


Angka pasangan kekar menunjukkan jumlah pasangan kekar yang
dapat diamati. Pengaruh kekar yang acak juga selalu diikutkan. Angka
pembobotan untuk pasangan kekar bervariasi.

Tabel 8. 13 Join Set Number (Jn)

Joint set number (Jn) Nilai Jn

Masif, tidak ada atau sedikit joint 0,5 - 1

26
Satu set joint 2

Satu set joint dan random 3

Dua set joint 4

Dua set joint dan random 6

Tiga set joint 9

Tiga set joint dan random 12

Empat set joint atau lebih, random, core hancur 15

Core sangat hancur menyerupai tanah 20

(Sumber: Z. T. Bieniawski, 1989)

3. Angka Kekasaran Kekar atau Joint Roughness Number (Jr)


Kekasaran merupakan parameter dari kondisi ketidakmenerusan
(kekar). Kekasaran kekar biasanya ditandai dengan terdapatnya pasir,
kerakal, hancuran batuan dan kekar yang kondisinya mirip slickenside.
Angka kekasaran kekar berkisar antara 1.0 – 4.0.

Tabel 8. 14 Joint Roughness Number (Jr)

Nilai
Joint Roughness Number
Jr

a. Untuk dinding joint yang langsung kontak

b. Untuk dinding joint yang disisipi material lunak kurang dari 10 cm

Joint tidak menerus 4,0

Bidang joint kasar atau iregular dan bergelombang 3,0

Permukaan bidang joint halus dan bergelombang 2,0

Permukaan bidang joint mirip slickenside dan bergelombang 1,5

27
Bidang joint kasar atau iregular dan datar 1,5

Permukaan bidang joint halus dan datar 1,0

Permukaan bidang joint mirip slickenside dan datar 0,5

c. Bidang joint tidak kontak disisipi material halus (clay)

Zona sisipan antar bidang kontak joint cukup tebal terisi oleh
1,0
material clay

Zona sisipan antar bidang kontak joint cukup tebal terisi pasir,
1,0
kerakal atau hancuran

(Sumber: Z. T. Bieniawski, 1989)

(Sumber: Z. T. Bieniawski, 1989)


Gambar 8. 5 Penentuan Nilai Jr
4. Angka Alterasi Kekar atau Joint Alteration Number (Ja)
Angka alterasi kekar menunjukkan tingkat pengisian pada bidang
diskontinuitas (kekar). Material pengisi pada kekar berupa clay, pasir dan
material lainnya. Kekuatan dan ketebalan dari isian menentukan kekuatan dari

28
kekar, sehingga dapat menjaga stabilitas dinding lubang bukaan (adit). Angka
untuk penilaian atau pembobotan tergantung dari beberapa faktor.

Tabel 8. 15 Joint Alteration Number (Ja)

Sudut
Geser
Joint Alteration Number (Ja) Nilai Ja
dalam
derajat

a. Kontak antar dinding joint

Dinding joint terekatkan oleh material keras, stabil


0,75
tidak berubah menjadi lunak, dan kedap air.

Dinding joint tidak terubah, tampak sedikit noda 1 (25-35)

Dinding joint sedikit terubah, tidak terdapat clay pada


2 (25-30)
bidang joint, hanya ada sedikit material pasir.

Sisipan pada dinding jointterdiri dari material pasir


3 (20-25)
hanya sedikit clay ( material pengisi keras )

Bidang joint disisipi mineral clay lunak, seperti


kaolin dan mika, juga khlorite, talk, gypsum grafit,
4 (8-16)
dan sedikit mineral clay yang mengembang (tebal
sisipan 1 - 2 mm dan tidak menerus )

b. Sisipan antar dinding joint kurang dari 10 cm

Sisipan antar dinding joint terdiri atas material


4 (25- 30)
berukuran pasir tidak mengandung clay

Sisipan antar dinding joint menerus dengan ketebalan


kurang dari 5 mm mengandung mineral lempung tapi 6 (16-24)
masih tetap keras

Sisipan antar dinding joint tebal kurang dari 5 mm


8 (12-16)
menerus mengandung material clay agak lunak

Sisipan antar dinding joint mengandung material clay


yang mengembang, tebal kurang dari 5 mm dan 8 - 12 (6-12)
menerus. Nilai Ja tergantung dari presentase material
clayyang mengembang dan banyaknya air yang bisa

29
melewati sisipan antar bidang joint.

c. Dinding joint tidak kontak

Sisipan antar dinding joint menerus dengan ketebalan


kurang dari 5 mm mengandung mineral lempung tapi 6
masih tetap keras

Sisipan antar dinding joint tebal kurang dari 5 mm


8
menerus mengandung material clay agak lunak

Sisipan antar dinding joint mengandung material clay


yang mengembang seperti tebal kurang dari 5 mm
dan menerus. Nilai Ja tergantung dari presentase clay 8 – 12 (6- 24)
yang mengembang dan banyaknya air yang bisa
melewati.

Sisipan lanau atau pasir lempungan, kandungan


5
lempung sedikit ( secara umum masih keras)

Sisipan lempung tebal, panjang dan menerus 10 – 13 (6-24)

Sisipan antar dinding joint menerus dengan ketebalan


kurang dari 5 mm mengandung mineral lempung tapi 13 – 20
masih tetap keras

Sisipan antar dinding join tebal kurang dari 5mm


13 – 20
menerus mengandung clay agak lunak

Sisipan antar dinding joint mengandung material clay


yang mengembang, tebal kurang dari 5 mm dan
menerus. Nilai Ja tergantung dari presentase material 13 – 20
clayyang mengembang dan banyaknya air yang bisa
melewati sisipan antar bidang joint.

(Sumber: Z. T. Bieniawski, 1989)

5. Angka Air Kekar atau Joint Water Number (Jw)


Pada adit atau drift, debit aliran air tanah dalam liter per menit untuk
setiap 10 meter penggalian perlu diketahui.

30
Hal ini dikarenakan dapat mengurangi ketahanan material pengisi pada
kekar, sehingga stabilitas antar blok ikut berkurang. Cara lain untuk
mengetahui air pada kekar adalah dengan mengetahui kondisi umum yang
dapat dinyatakan sebagai kering, lembab, basah, menetes, dan mengalir.
Untuk pembobotan secara umum dipengaruhi oleh tekanan air.

Tabel 8. 16 Joint Water Number (Jw)

Tekanan
Joint Water Number (Jw) Nilai Jw
air (Kpa)

Front kering atau aliran air kecil dan perkiraan


1 <1
debit air < 5 liter/menit

Aliran air sedang, kadang - kadang melarutkan


0,66 1,0 - 2,5
material sisipan antar dinding joint

Aliran air besar, tekanan air tinggi melewati


0,5 2,5 - 10,0
celah antar dinding joint yang keras

Aliran air besar, tekanan air tinggi dapat


melarutkan sisipan material pengisi antar 0,33 2,5 - 10,0
dinding joint

Aliran air deras sesaat setelah blasting dan


0,22 - 0,10 >10
makin lama aliran air makin kecil

Aliran air deras secara terus menerus tanpa ada


0,10 - 0,05 > 10
penurunan debit menurut waktu

(Sumber: Z. T. Bieniawski, 1989)

6. Faktor Pengurangan Tegangan atau Stress Reduction Factor (SRF)


Stress Reduction Factor (SRF) berhubungan dengan pengaruh stress yang
dialami oleh lubang bukaan. Perhitungan SRF dibedakan ke dalam beberapa
kasus berikut:

a. Hilangnya tekanan ketika lubang bukaan dibuat pada massa batuan


yang mengandung lapisan clay tebal atau pada weakness zone (fault
shear zone).

31
b. Bila lubang bukaan dibuat tidak pada weakness zone dimana hanya
terdapat sedikit bidang diskontinu dan tidak terdapat lapisan clay, maka
lubang bukaan lebih dipengaruhi oleh perbandingan antara tekanan dan
kekuatan batuan.
c. Tekanan yang dialami oleh batuan yang bersifat plastis dan tidak
kompak.

Tabel 8. 17 Stress Reduction Factor (SRF) untuk Kondisi a

a. Zona lemah yang terpotong oleh terowongan dapat mengakibatkan


keruntuhan massa batuan pada saat pembuatan terowongan

Keterangan SRF

A. Banyak zona lemah saling berpotongan mengandung clay


10,0
membentuk blok - blok yang mudah runtuh, terlepas

B. Zona lemah hanya satu mengandung clay, batuan mudah terlepas


5,0
oleh adanya sisipan (kedalaman ekskavasi < 50 m)

C. Zona lemah hanya satu mengandung clay, batuan mudah terlepas


2,5
oleh adanya sisipan (kedalaman ekskavasi > 50 m)

D. Banyak sisipan (shear zone) antar dinding joint pada batuan keras,
7,5
batuan mudah terlepas (pada berbagai kedalaman)

E. Zona lemah tidak mengandung clay (shear zone) hanya satu pada
5,0
batuan keras ( kedalaman ekskavasi < 50 m)

F. Zona lemah tidak mengandung clay (shear zone) hanya satu batuan
2,5
keras (kedalaman ekskavasi > 50m)

G. Joint terbuka lepas - lepas, terkekarkan intensif berbentuk kubus


5,0
(pada berbagai kedalaman)

(Sumber: Z. T. Bieniawski, 1989)

32
Tabel 8. 18 Stress Reduction Factor (SRF) untuk Kondisi b

b. Batuan keras, dengan tekanan tinggi (kedalaman tinggi)

Keterangan SRF

H. Tekanan kecil, dekat permukaan 2,5

I. Medium stress 1,0

J. Tekanan tinggi, retakan joint sangat rapat (pada


umumnya stabil, tetapi kemungkinan terjadi spalling 0,5 - 2,0
pada dinding lubang bukaan)

K. Rock burst ringan pada batuan keras 5,00 - 10,0

10,00 -
L. Rock burst besar pada batuan keras
20,0

(Sumber: Z. T. Bieniawski, 1989)

Tabel 8. 19 Stress Reduction Factor (SRF) untuk Kondisi c

c. Batuan mengembang, plastis, lunak di bawah tekanan insitu


tinggi

Keterangan SRF

M. Batuan mengembang sedang dibawah tekanan tinggi 5,0 - 10,0

N. Batuan sangat mengembang di bawh tekanan tinggi 10,0 - 20,0

(Sumber: Z. T. Bieniawski, 1989)

Tabel 8. 20 Stress Reduction Factor (SRF) untuk kondisi d


d. Batuan mengembang, tingkat pengembangan batuan tergantung
kandungan air.

Keterangan SRF

M. Batuan mengembang sedang dibawah tekanan tinggi 5,0 - 10,0

N. Batuan sangat mengembang di bawah tekanan tinggi 10,0 - 20,0

(Sumber: Z. T. Bieniawski, 1989)

33
8.4. Parameter Penyanggaan
8.4.1 Safety Factor
Salah satu faktor yang perlu diperhatikan dalam penyanggaan lubang
bukaan adalah perkiraan faktor keamanan (safety factor), yaitu hasil bagi antara
perkiraan kekuatan penyanggaan (ton/m2) dengan perkiraan beban penyanggaan
(ton/m2), atau dirumuskan :

kekuatan penyangga
SF (Safety Factor) = ……………………..……..(3.8)
beban penyangga

Standar faktor keamanan untuk lubang bukaan permanen (lubang


bukaan untuk development) sekitar 2,00 dan untuk lubang bukaan produksi
sekitar 1,50.

8.4.2 Equivalent Dimention (De)


Nilai Q dapat dihubungkan dengan penyangga lubang bukaan yang
diperlukan dengan menetapkan equivalent dimension (De) dari penggalian.
Rumus equivalent dimension (De) dapat dilihat dibawah ini:

S
De = 𝐸𝑆𝑅………………………………………………......................(3.9)

Keterangan :
De = Equivalent dimension (m)
S = Span atau tinggi dinding (m)
ESR = Excavation Support ratio
ESR = ± 3,00 untuk lubang bukaan sementara, dan
ESR = ± 1,60 untuk lubang bukaan permanen
Sedangkan untuk span maksimum dapat ditentukan dengan persamaan
sebagai berikut :
Span maksimum (tanpa penyanggaan) = 2 (ESR) Q 0,4…………….(3.10)
Hubungan antara nilai Q dan tekanan penyangga permanen Proof dapat
dihitung dari persamaan berikut :
2,0
Proof = 𝑄 −1,3……………………………………………………...(3.11)
𝐽𝑟

34
Jika jumlah set kekar kurang dari tiga, persamaan dinyatakan sebagai
berikut :

2
Proof = 3 Jn1/2 Jn Q-1,3…………………………………………………(3.12)

Keterangan :

Q = Kualitas massa batuan

Jr = Angka kekasaran kekar

Jn = Angka pasangan kekar

Gambaran aplikasi Q-system ditunjukkan dengan perkiraan korelasi Q dan


kebutuhan peyangga.

(Sumber: Barton et.al, 1974)


Gambar 8. 6 Perkiraan Korelasi Q Dan Kebutuhan Penyangga

35
Hubungan antara indeks Q dengan equivalent dimension juga dapat
menentukan ukuran penyangga yang sesuai untuk berbagai bidang konstruksi.
Apabila yang digunakan hanya baut batuan (rock bolt) bukan penyangga, maka
panjang dari baut batuan tidak ditentukan dari tabel penyangga, tetapi panjang
baut batuan ditentukan dari persamaan:

2+0,15B
L= ………………………………………………………….(3.13)
ESR

Keterangan:

L = Panjang baut (m)

B = Lebar lubang bukaan (m)

8.4.3 Hubungan Antara RMR dan Indeks-Q


Bieniawski (1989) telah mengembangkan hubungan antara indeks-Q
dengan RMR. Hubungan antara indeks-Q dan RMR dalam persamaan, sebagai
berikut :

RMR = 9 In Q + 44…………………………………………………(3.14)
Sehingga dengan persamaan tersebut dapat ditentukan mengenai :

1. Perkiraan tinggi beban batuan tanpa peyangga berdasarkan nilai RMR.


Hubungan antara nilai RMR dan perkiraan tinggi titik pusat beban pada
lubang bukaan tanpa penyangga setelah melewati stand up time
dirumuskan sebagai berikut :

100−Nilai RMR
T= × B………………………………………..…...(3.15)
100

Keterangan :
T = Perkiraan tinggi beban (m)
B = Lebar bukaan (m)
2. Perkiraan beban penyangga berdasarkan nilai RMR.
Hubungan antara beban penyangga dalam satuan ton/m2 dengan lebar
lubang bukaan dalam meter dan nilai RMR dirumuskan sebagai berikut :

36
100−Nilai RMR
P= × B × Y……………………………………….(3.16)
100

Keterangan :
P = Perkiraan beban penyangga (kg/m2)
B = Lebar bukaan (m)
Y = Density batuan (2,66 kg/m3)

8.4.4 Stand Up Time


Bila jarak dari permukaan kerja sampai penyangga lebih pendek daripada
lebar lubang bukaan, jarak tadi disebut span. Span digunakan untuk menentukan
jarak lubang bukaan yang boleh dibiarkan tanpa penyangga.

Stand Up Time adalah selang waktu tidak terjadinya runtuhan pada bagian
lubang bukaan yang belum disangga sejak penggalian dilakukan. Semakin lebar
span, maka akan semakin kecil stand up time yang tersedia. Begitu pula
sebaliknya, semakin sempit span, maka akan semakin besar stand up time yang
tersedia.

Hubungan antara stand up time dan roof span dapat dilihat pada gambar
berikut :

(Sumber: Barton et.al 1974)


Gambar 8. 7 Hubungan Stand Up Time dan Span Lubang Bukaan Menurut Sistem
RMR

37
8.4.5 Penentuan Penyangga Menurut Q-system
Setelah diketahui nilai Q berdasarkan keenam parameter yaitu RQD, angka
pasangan kekar (Jn), angka kekasaran kekar (Jr), angka alterasi kekar (Ja), angka
air kekar (Jw), dan Stress Reduction Factor (SRF) maka dapat ditentukan macam
penyanggaannya.

8.5. Jenis Penyanggaan batuan


Jenis penyangga dikelompokkan menjadi :

1. Berdasarkan waktu pemakaian, dibedakan menjadi penyangga sementara


dan penyangga tetap.
Peyangga sementara: diaplikasikan untuk menjamin keselamatan kerja
selama kegiatan penambangan.
Penyangga tetap : diaplikasikan untuk menjaga kestabilan lubang bukaan
selama kurun waku tertentu.
2. Berdasarkan proses pemasangan, dibedakan menjadi penyangga primer
dan penyangga sekunder.
Penyangga primer: dipasang sesaat setelah penggalian untuk menjamin
keselamatan kerja untuk penggalian selanjutnya.
Penyanggaan sekunder: dipasang pada tahap yang lebih lanjut.
3. Berdasarkan proses pembebanan, dibedakan menjadi penyangga aktif dan
pasif.
Penyangga aktif: apabila penyangga langsung mendapat pembebanan
setelah dipasang.
Penyangga pasif: apabila penyangga tidak langsung menapat pembebanan
setelah dipasang, penyangga akan memperoleh pembebanan setelah massa
batuan terdeformasi.
8.5.1 Rock Bolt
1. Friction dowels / split set stabilizers
System ini pertama kali dikembangkan oleh Scott (1976, 1983) dibuat dan
didistribusikan oleh Ingersoll-rand. System ini terdiri atas tabung baja
berkekuatan tinggi yang berlubang serta sebuah face plate. System ini

38
dipasang dengan mendorongnya ke dalam lubang bor yang berdiameter sedikit
lebih kecil dibandingkan diameter split set.

Gaya pegas radial yang ditimbulkan melalui penekanan lubang berbentuk


C menghasilkan penjangkaran friksional pada seluruh panjang lubang. System
ini cepat dan mudah untuk dipasang sehingga banyak digunakan di berbagai
tambang. System ini akan bekerja baik jika beban tidak melebihi kapasitasnya.
Masalah utama yang dihadapi adalah korosi, sehingga penggalvanisasi
merupakan langkah baik untuk mengurangi korosi. Bentuk split set ditunjukan
pada gambar 3.8.

(Sumber: Ever Hoek,2006)

Gambar 8. 8 Split set stabilizers


2. Mechanically Anchored Rockbolts
Bagian umum dari expansion shell ancore: sebuah kerucut runcung berulir
pada bagian dalam, sepasang pasak yang dijaga tetap oleh penahan. Kerucut
akan diputar pada ujung berulir dari bolt, dan keseluruhan rangkaian
dimasukkan ke dalam lubang bor yang minimal 100 mm lebih panjang dari
bolt. Jika tidak maka penahan akan lepas akibat desakan pada ujung lubang
bor. Jika rangkaian telah terpasang, tarikan keras akan mengaktifkan anchor.
Expansion shell anchor akan bekerja dengan baik pada batuan keras, tetapi
tidak begitu efektif untuk batuan sangat terkekarkan dan batuan lemah.
Contoh rock bolt ditunjukan pada gambar 8.9.

39
(Sumber: Ever Hoek,2006)
Gambar 8. 9 Mechanically Anchored Rockbolt
3. Thread bar
Thread Bar dapat digunakan sebagai penyangga primer ataupun sekunder.
Baut ini juga dapat dipasang di atap ataupun di dinding. Sistem pengikatan
baut adalah dengan menggunakan resin. Resin yang berbentuk kapsul akan
dipasang pada setiap baut yang dipasang.

4. Cable Bolt
Cable bolt adalah suatu untaian kawat fleksibel yang berbentuk tendon dan
mempunyai kapasitas tinggi yang biasanya dipasang dan di grouthing dakam
suatu lubang bor dalam jarak teratur untuk memberikan perkuatan dan
dukungan dalam penggalian batuan. Cable bolt adalah jenis baut batuan yang
sangat serbaguna karena dapat dipasang dengan ukuran yang disesuaikan
dengan kebutuhan di lapangan. Baut batuan jenis ini dapat menjangkau jauh
ke dalam massa batuan, memberikan perkuatan pada volume massa batuan
yang besar dan mencegah terjadinya pemisahan yang mungkin terjadi di
sekitar bidang – bidang lemah pada massa batuan.

a. Aplikasi Cable Bolt


Baut batuan kabel dapat digunakan untuk mendukung, memperkuat dan
mempertahankan massa batuan khususnya pada lubang bukaan tambang
bawah tanah seperti yang ditunjukkan pada gambar (8.10) antara lain:

40
1) Drift dan intersection 4) Cut and fill stopes

2) Open stope backs 5) Drawpoints

3) Open stope wall 6) Lubang bukaan permanen

b. Fungsi Cable Bolt


Gaya dukung yang diberikan oleh baut batuan kabel adalah kombinasi dari
fungsi perkuatan dan penahan. Sebagai penguatan, baut batuan mencegah
terjadinya pemisahan dan pergeseran disepanjang bidang lemah pada massa
batuan. Jika sebagian besar bidang – bidang lemah dapat dicegah dari
pemisahan, maka efek dari bidang diskontinuitas pada massa batuan dapat
diminimalisasikan.

(Sumber: Ever Hoek,2006)


Gambar 8. 10 Aplikasi Baut Batuan Kabel

Suatu massa batuan yang kontinu relatif memiliki kekuatan yang lebih
besar, akan tetapi baut batuan juga tidak dapet meningkatkan seluruh kekuatan
dari massa batuan dan mencegah batuan mengalami keretakan di bawah
tekanan tinggi. Jika kekuatan dalam batuan tidak cukup untuk melawan efek

41
induksi tegangan atau orientasi bidang diskontinu yang tidak menguntungkan
dapat menghasilkan blok batuan lepas, maka baut batuan kabel dapat menahan
blok batuan tersebut dari keruntuhan.

5. Penentuan Spasi Rock Bolt


Ada beberapa teori mengenai spasi untuk penyanggaan aktif pada lubang
bukaan, seperti anchor bolt, split set, thread bar ,dan cable bolt. Dalam hal ini
Coates and Cochrane (1970), peneliti dari U.S. Fedral Regulation CFR 30 Coal
Mines mandates, merumuskan spasi rock bolt berdasarkan pengamalan secara
photoelastic, merumuskan seperti formula sebagai berikut :

2
𝑏= ℎ………………………………………………………………………(3.16)
3

atau

2
𝑏= 𝐿………………………………………………………………………(3.17)
9

Keterangan:

b = Spasi rock bolt

h = Panjang rock bolt

L = Roof span

Mereka juga merumuskan hubungan antara spasi dengan panjang rock bolt
yang dihubungkan dengan densitas batuan yang disangga dan Bolt Yield Strength
dari jenis rock bolt yang digunakan seperti formula sebagai berikut :

𝑅𝑚𝑎𝑥
𝑏 = √𝑙 ……………………………………………………...…….(3.18)
𝑚𝑎𝑥 𝑥у

Keterangan:

b = Spasi rock bolt

𝑅𝑚𝑎𝑥 = Bolt Yield Strengh

42
𝑙𝑚𝑎𝑥 = Panjang Maksimum Rock bolt

У = Desintas batuan yang disangga

Sementara Unal (1983), merumuskan spasi rock bolt, lebih komprehensif


dibandingkan dengan penelitian sebelumnya, dengan kekuatan rock bolt, beban
pada roof berdasarkan pada nilai RMR (Bienawski, 1979) dan nilai safety faktor
sesuai dengan fungsi peruntukan lubang bukaan tersebut. Berikut rumusan spasi
penyanggaan menurut Unal, 1983 :

Ʈ
𝑏 = √𝑃 𝑥 𝑃𝑜𝑆…………………………………………………………….……(3.19)

Keterangan:

b = Spasi penyanggaan

Ʈ = Kekuatan rock bolt

P = Beban yang harus disangga pada atap

FoS = Harga faktor keamanan

f. Perhitungan Beban Penyanggaan Rock Bolt


Untuk menentukan besarnya beban yang ditanggung oleh baut batuan dapat
digunakan persamaan sebagai berikut :

W = f x s x c x h x ρ…………………………………………..(3.20)
Keterangan:
W = Berat batuan yang akan disangga perbaut batuan
F = Faktor keamanan
s = Spasi dari baut batuan tegak lurus sumbu penggalian
c = Spasi dari baut batuan sejajar sumbu penggalian
h = Tebal dari lapisan yang tidak stabil/tinggi runtuhan
ρ = Bobot isi batuan

43
8.5.2 Strap
Merupakan plat besi tipis dan panjang yang digunakan agar baut batuan
atau baut kabel dapat dipasang pada satu garis. Plat ini juga dapat meningkatkan
kekompakan batuan di daerah atap.

8.5.3 Jaring Kawat


Pada massa batuan lepas dengan kualitas sangat buruk, dimana adhesi
antara shotcrete dan permukaan batuan rendah, jaring kawat memberikan
perkuatan yang signifikan bahkan tanpa shotcrete. sehingga sering digunakan
untuk perkuatan pada batuan yang sangat buruk untuk melindungi pekerja dari
rontokan batuan dari bagian atap. Jaring kawat dapat bersamaan digunakan
sebagai perkuatan dengan rock bolt dan shotcrete. Jenis jaring kawat yang sering
digunakan pada tambang bawah tanah, yaitu :

1. Chainlink mesh
Digunakan di tambang bawah tanah untuk penyanggaan batuan lepas
dari atap ataupun didinding terowongan. Masalah utama yang
ditemukan adalah korosi, sehingga perlu adanya proses galvanisasi
untuk meminimalkan korosi. Jenis ini tidak cocok untuk shotcrete
karena ukuran jaring kawat terlalu kecil sehingga sulit untuk
melewatkan shotcrete.

2. Weld mesh
Terbuat dari kawat baja berbentuk persegi empat berdiameter 4 mm
dilas menjadi grid ukuran 100 mm x 100 mm grid. Jaring kawat jenis
ini dapat digunakan sebagai perkuatan shotcrete.

8.5.4 Beton Tembak (Shotcrete)


Rabcewics pada tahun 1969 adalah orang yang paling berperan dalam
penggunaan shotcrete untuk terowongan. Area utama penempatan shotcrete pada
tambang bawah tanah adalah sebagai penyangga bukaan permanen seperti ramp,
haulage, shaft dan crusher. Penggunaan steel fiber di dalam shotcrete merupakan
faktor penting, hal ini untuk mengurangi penggunaan wiremesh.

44
Shotcrete merupakan nama genetic untuk beton, semen, pasir dan agregat
halus yang dioperasikan secara pneumatik dengan dipadatkan secara dinamik di
bawah kecepatan tinggi. Batuan basah akan menghasilkan permukaan yang baik
untuk menempelkan lapisan pertama shotcrete. Jarak penyemprotan umumnya 1 –
1,5 m dari permukaan batuan. Keahlian operator, suplai ventilasi udara dan udara
bertekanan nozzle, serta komunikasi yang baik antar tim sangat berperan untuk
menghasilkan shotcrete yang baik. Jika shotcrete digunakan pada massa batuan
yang relatif basah, perlu dilakukan penyaliran pada lapisan shotcrete untuk
melepaskan tekanan air yang tinggi.

Dari sifat-sifat yang dimilikinya shotcrete mempunyai beberapa kelebihan


bila dibandingkan dengan sistem penyanggan dari kayu atau baja antara lain tidak
ada ruang kosong pada dinding terowongan dan waktu pelaksanaan lebih singkat.
Kombinasi shotcrete dengan weldmesh dan rock bolt agar pemasangan shotecrete
tidak terlalu tebal, sekitar 5 – 25 cm sesuai dengan kebutuhan dan kondisi batuan
yang ada, sehingga membentuk satu kesatuan yang disebut beton bertulang
(reinforced)

Keuntungan digunakannya shotcrete:

1. Sebagai material yang tahan terhadap tekanan, mempunyai kekuatan yang


tinggi dan relatif ekonomis.
2. Bahan penyusun (semen, material, air) dapat dengan mudah diperoleh.
3. Dapat diterapkan dengan mudah pada bermacam tempat.
4. Dalam aplikasinya (pencampuran, pergerakan, penuangan) dapat
dilakukan secara mekanis sehingga menghemat biaya
5. Material mempunyai ketahanan yang baik terhadap api, tidak terbakar.
6. Tidak dipengaruhi oleh cuaca dan mempunyai umur pakai yang panjang.
Kerugian digunakannya shotcrete :

a. Mempunyai ketahanan yang rendah terhadap tarikan, sehingga dalam


kondisi terdapat tarikan perlu diperkuat dengan baja.

45
b. Dapat pecah secara tiba-tiba tanpa adanya tanda terlebih dahulu,
sehingga menyulitkan selama pengawasan.
c. Shotcrete yang sudah pecah tidak dapet digunakan lagi, tidak seperti
baja atau kayu.

Persyaratan yang harus dipenuhi oleh beton tembak (shotcrrete) adalah :

1. Shotability : yaitu kemampuan untuk dapat melekat di atas dengan


kemungkinan kecil untuk lepas
2. Early Strength (kekuatan awal) sebesar 1Mpa umumnya.

8.5.5 Penyanggaan Besi


Kualitas yang baik dari penyangga besi baja dibanding penyangga kayu
menyebabkan penyangga kayu diganti dengan penyangga besi baja, terutama pada
lubang – lubang utama.

Keuntungan dari penggunaan penyangga besi baja ini antara lain :

1. Homogen dan mempunyai sifat elastisitas yang tinggi.


2. Tidak dipengaruhi oleh kelembaban.
3. Lebih tahan lama dibandingkan dengan kayu.

Kerugian dari penggunaan penyangga besi baja ini yaitu harganya yang
cukup mahal.

46
Berikut macam-macam dari penyangga besi baja, yaitu :

1. Two Piece Arch dan Three Piece Arch


Penyangga ini bentuknya seperti busur dan pada umumnya digunakan
di daerah lubang-lubang utama.

2. I-Beam
Penyangga ini biasanya dipasang untuk lubang yang bentuknya empat
persegi panjang dan umumnya digunakan di daerah lubang-lubang
produksi. Penyangga tersebut kadang-kadang dikombinasikan dengan
kayu atau dinding beton.

3. H-Beam

H-Beam merupakan suatu balok baja "Hot Rolled" dengan penampang


berbentuk H. Terutama digunakan pada tiang, pancang dan struktur
penahan, balok struktur baja atau composite beton.

Perbedaan antara H-Beam dengan I-Beam adalah H-Beam memiliki


luas flense yang lebih panjang dari I-Beam, profil baja yang melengkung
pada bagian flanges beam. Flanges tersebut lebih tebal dibandingkan
dengan bagian cross section dan lebih tipis pada bagian ujungnya,
ketebalannya 3 sampai 24 inch.

8.5.6 Penyanggaan Kayu


Penyangga kayu Kelas I dan II akan dipasang dalam bentuk single prop
sampai ke penyangga cribbing pada lokasi-lokasi yang diperlukan. Sehubungan
dengan keterbatasan persediaanya, maka penyangga kayu digunakan sebagai
penyangga sekunder di daerah-daerah tertentu yang jarang dilalui peralatan.

47
IX. RENCANA JADWAL PENELITIAN
Rencana waktu pelaksanaan Penelitian Tugas Akhir ini dilakukan selama
±1,5 bulan (7 minggu) mulai pada tanggal 25 Juni s/d tanggal 11 Agustus 2018
atau pada waktu lain yang telah ditentukan oleh perusahaan.

Tabel 9. 1 Rencana waktu pelaksanaan Penelitian Tugas Akhir

Waktu (Minggu)
Kegiatan 1 2 3 4 5 6 7
1-7 8-14 15-21 22-28 29 juli-4 5-11
25-30 juni juli juli juli juli agus agus
Studi Pustaka
Pengamatan
Pengambilan data
Pengolahan data
Penyusunan laporan

48
DAFTAR PUSTAKA

Bieniawski, Z. T. 1989. Engineering Rock Mass Classifications. New York:


A Wiley Interscience Publication.
Brown, B. H. 2004. Rock Mechanics for Underground Mining. New York:
Kluwer Academic Publishers.
FREng, J. P. 1997. Rock Mechanics. London: Pergoman.
Hudson, J.A. and Harrison, J.P. 1997. Engineering Rock Mechanics :
An Introduction to The Principles. Elsevier Science Ltd, Oxford
Kolymbas, D. 2005. Tunneling and Tunnel Mechanics. Berlin: Springer.
NGI. 2015. Using the Q-system Rock Mass Classification and Support Design.
.Oslo. Norway

Palmstrom, A. 2001. In-Situ Characterization of Rocks : Measurement and


characterization of Rock Mass Jointing. A.A Balkema Publisher, Oslo. Norway.
Rix Group Affiliates.2017.Shotcrete Dry Spray/gunite
/http://www.therixgroup.com.au diakses tanggal 16 oktober 2017
Tensar International .2012.Underground Application : Mining Roof and Wall
Support, http:// www.tensarcorp.com ,diakses tanggal 16 Oktober 2017

49

Anda mungkin juga menyukai