Anda di halaman 1dari 20

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kepuasan Kerja

2.1.1 Kepuasan Kerja

Definisi kepuasan kerja dari Dawis dan Lofquist (dalam Ghazi, Ali,

Shahzada, & Israr, 2010) adalah kondisi yang menyenangkan yang dihasilkan

dari penilaian seseorang tentang situasi kerja yang dialami memenuhi

kebutuhan, nilai-nilai, dan harapan seseorang.

Locke dalam Arnold, et al (2005) mendefinisikan kepuasan kerja

sebagai “kondisi emosional yang menyenangkan atau positif yang dihasilkan

dari penilaian pekerjaan atau pengalaman kerja. Konsep ini umumnya

mengacu pada berbagai aspek dari pekerjaan yang mempengaruhi tingkat

kepuasan seseorang. Ini biasanya termasuk sikap terhadap upah, kondisi

kerja, rekan kerja dan bos, prospek karir dan aspek intrinsik pekerjaan itu

sendiri.”

Definisi lain diungkapkan oleh Kovach (dalam Yuwono et al, 2005)

yang menyatakan bahwa kepuasan kerja lebih dikenal sebagai komponen dari

komitmen organisasi yang mempunyai arti sebagai keadaan yang

menyenangkan bagi seseorang sebagai akibat telah sesuainya nilai-nilai diri

dengan pekerjaan bahkan telah diaplikasikannya dengan baik.


Spector (2008) mengatakan bahwa kepuasan kerja merupakan

variabel sikap yang mencerminkan bagaimana perasaan seseorang tentang

pekerjaan mereka secara keseluruhan serta tentang berbagai aspek pekerjaan.

Secara sederhana, kepuasan kerja adalah sejauh mana seseorang menyukai

pekerjaan mereka, dan ketidakpuasan kerja adalah sejauh mana mereka tidak

menyukai pekerjaan mereka.

Hal yang serupa juga diungkapkan oleh Hughes, Ginnett, & Curphy

(2009) yang mengungkapkan bahwa kepuasan kerja bukan seberapa keras

seseorang bekerja atau seberapa baik mereka bekerja, melainkan seberapa

besar mereka menyukai suatu aktivitas atau jenis pekerjaan tertentu.

Kepuasan kerja berhubungan dengan sikap seseorang atau perasaan tentang

pekerjaan itu sendiri, bayaran, kesempatan promosi atau pendidikan,

pengawasan, rekan kerja, beban kerja, dan sebagainya

2.1.2 Theory of Work Adjustment

Theory of Work Adjustment dari Dawis, England, Lofquist, & Weiss

memperluas konsep kepuasan kerja dengan lebih lengkap menjelaskan

hubungan antara lingkungan kerja dan kebutuhan kepribadian individu.

Dawis, Lofquist, & Weiss (1968) mengatakan bahwa teori ini berdasar pada

konsep atas hubungan antara individu dengan lingkungannya. Hubungan

keduanya dapat digambarkan dengan hubungan yang harmonis antara

individu dengan lingkungannya, kecocokan individu dengan lingkungannya,

begitu juga sebaliknya, dan hubungan saling melengkapi antara individu

dengan lingkungannya. Setiap individu mempunyai keinginan yang harus

dipenuhi oleh lingkungannya, begitu juga lingkungan, juga memiliki


persyaratan untuk dipenuhi oleh individu. Asumsi dasar dari Theory of Work

Adjustment yang diungkapkan Dawis, Lofquist, & Weiss (1968) adalah

setiap individu ingin mencapai dan terus menjaga hubungan yang baik

dengan lingkungannya. Lingkungan kerjaa dalah lingkungan yang paling

besar, yang setiap individu harus dapat berhubungan baik.

Setiap individu membawa kemampuan kedalam lingkungan

pekerjaan, dan lingkungan pekerjaan menyediakan imbalan (gaji, prestige,

hubungan antar pribadi) atas kemampuan tersebut. Kemampuan yang dibawa

setiap individu membawa kepada pemenuhan persyaratan yang dimiliki oleh

lingkungan kerja, dan imbalan yang diberikan oleh lingkungan kerja

membawa kepada pemenuhan kebutuhan setiap individu. Ketika minimun

persyaratan keduanya sudah terpenuhi, maka mereka sudah dapat dikatakan

mempunyai hubungan. Proses yang berkelanjutan dimana setiap individu

terus berupaya membangun hubungan dengan lingkungan kerjanya disebut

dengan work adjustment.

Ketika seseorang memasuki lingkungan pekerjaan untuk pertama kali,

perilakunya mengarah kepada pemenuhan kebutuhannya, dan ia juga akan

merasakan imbalan yang diberikan oleh lingkungan kerjanya. Jika ia dapat

memiliki hubungan dengan lingkungan kerjanya maka ia akan berusaha

mempertahankannya. Namun, jika ia tidak menemukan hubungan tersebut, ia

akan berusaha membangun hubungan tersebut dan jika gagal maka akan

berujung pada ia meninggalkan pekerjaan tersebut. Ketika seorang individu

sudah dapat memenuhi persyaratan dari lingkungan kerjanya ia dapat

dikatakan sebagai pekerja yang memuaskan, dan jika lingkungan kerjanya


sudah dapat memenuhi kebutuhan seorang individu, maka ia dapat dikatakan

sebagai pekerja yang puas (Vidiasta, 2010).

Ada tiga dimensi kepuasan kerja yang dipergunakan Weiss, Dawis,

England, Loqfuist (dalam Vidiasta, 2010) untuk membuat sebuah alat tes

untuk mengukur tingkat kepuasan kerja, yaitu Minnesota Satisfaction

Questionnaire (MSQ). Adapun ketiga dimensi tersebut adalah:

1. Dimensi intrinsik

Kepuasan intrinsik didapat saat seseorang dapat berhasil

melaksanakan pekerjaannya dengan baik.

2. Dimensi ekstrinsik
Kepuasan ekstrinsik didapatkan dari imbalan yang didapat oleh

individu, imbalan tidak selalu dalam bentuk uang, namun bisa dalam

bentuk pengembangan, dan pengakuan.


3. Dimensi general satisfaction

General satisfaction didapatkan ketika individu merasa puas dengan

kondisi pekerjaan dan rekan kerja secara keseluruhan.

Ketiga dimensi tersebut diukur melalui 20 indikator atau kebutuhan

elemen atau kondisi penguat spesifik yang penting dalam menciptakan

kepuasan kerja. Berikut ini adalah tabelnya:

Tabel 2.1 Dimensi dan Indikator Kepuasan Kerja


Dimensi Indikator

Social Service

Creativity

Moral Values

Independence

Variety

Authority
Intrinsik
Ability Utilization

Social Status

Security

Responsibility

Achievement

Activity

Company Policies and Practices

Supervision – Human Relations

Compensation
Ekstrinsik
Advancement

Supervision – Technical

Recognition

Working Conditions
General Satisfaction
Co-workers

Indikator-indikator tersebut dijelaskan sebagai berikut (Dawis et al

dalam Vidiasta, 2010):

a. Ability Utilization adalah pemanfaatan kecakapan yang dimiliki oleh

karyawan.
b. Achievement adalah prestasi yang dicapai selama bekerja.
c. Activity adalah segala macam bentuk aktivitas yang dilakukan dalam

bekerja.
d. Advancement adalah kemajuan atau perkembangan yang dicapai

selama bekerja.
e. Authority adalah wewenang yang dimiliki dalam melakukan

pekerjaan.
f. Company policies and Practices adalah kebijakan yang dilakukan adil

bagi karyawan.
g. Compensation adalah segala macam bentuk kompensasi yang

diberikan kepada para karyawan.


h. Co-workers adalah rekan sekerja yang terlibat langsung dalam

pekerjaan.
i. Creativity adalah kreatifitas yang dapat dilakukan dalam melakukan

pekerjaan.
j. Independence adalah kemandirian yang dimiliki karyawan dalam

bekerja.
k. Moral Values adalah nilai-nilai moral yang dimiliki karyawan dalam

melakukan pekerjaannya seperti rasa bersalah atau terpaksa.


l. Recognition adalah pengakuan atas pekerjaan yang dilakukan.
m. Responsibility adalah tanggung jawab yang diemban dan dimiliki.
n. Security adalah rasa aman yang dirasakan karyawan terhadap

lingkungan kerjanya.
o. Social Service adalah perasaan sosial karyawan terhadap lingkungan

kerjanya.
p. Social Status adalah derajat sosial dan harga diri yang dirasakan

akibat dari pekerjaan.


q. Supervision-Human Relations adalah dukungan yang diberikan oleh

badan usaha terhadap pekerjanya.


r. Supervision-Technical adalah bimbingan dan bantuan teknis yang

diberikan atasan kepada karyawan.


s. Variety adalah variasi yang dapat dilakukan karyawan dalam

melakukan pekerjaannya.
t. Working Conditions adalah keadaan tempat kerja dimana karyawan

melakukan pekerjaannya.
2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja

1. Berdasarkan karakteristik dari pekerjaan dan lingkungan

kerja:

a. Ciri-ciri intrinsik pekerjaan

Menurut survei yang didasarkan pada pendapat Locke,

terdapat lima ciri yang memperlihatkan kaitannya dengan

kepuasan kerja untuk berbagai macam pekerjaan. Ciri-ciri tersebut

ialah:

1. Keragaman keterampilan. Banyak ragam keterampilan

yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan. Makin

banyak ragam keterampilan yang digunakan, makin kurang

membosankan pekerjaan.

2. Jati diri tugas (task identity). Sejauh mana tugas

merupakan suatu kegiatan keseluruhan yang berarti. Tugas

yang dirasakan sebagai bagian dari pekerjaan yang lebih

besar dan yang dirasakan tidak merupakan satu

kelengkapan tersendiri akan menimbulkan rasa tidak puas.

3. Tugas yang penting (task significance). Rasa pentingnya

tugas bagi seseorang. Jika tugas dirasakan penting dan

berarti oleh tenaga kerja, maka ia cenderung mempunyai

kepuasan kerja.

4. Otonomi. Pekerjaan yang memberikan kebebasan,

ketidakgantungan dan peluang mengambil keputusan akan

lebih cepat menimbulkan kepuasan kerja.


5. Pemberian balikan (feedback) pada pekerjaan membantu

meningkatkan tingkat kepuasan kerja.

b. Gaji penghasilan, imbalan yang dirasakan adil (Equitable Reward)

Dengan menggunakan teori keadilan dari Adams dilakukan

berbagai penelitian dan salah satu hasilnya adalah bahwa orang

yang menerima gaji yang dipersepsikan sebagai terlalu kecil atau

terlalu besar akan mengalami distress atau ketidakpuasan. Kajian

yang dilakukan dalam laboratorium mendukung hasil tentang gaji

yang terlalu kecil, namun hasil tentang gaji yang terlalu besar

tidak jelas meyakinkan. Yang penting ialah sejauh mana gaji yang

diterima dirasakan adil. Jika gaji dipersepsikan sebagai adil

didasarkan tuntutan-tuntutan pekerjaan, tingkat keterampilan

individu, dan standar gaji yang berlaku untuk kelompok pekerjaan

tertentu maka akan ada kepuasan kerja.

c. Penyeliaan kerja

Locke memberikan kerangka kerja teoretis untuk memahami

kepuasan tenaga kerja dengan penyeliaan. Ia menemukenali dua

jenis dari hubungan atasan-bawahan: hubungan fungsional dan

keseluruhan (entity). Hubungan fungsional mencerminkan sejauh

mana penyelia membantu tenaga kerja, untuk memuaskan nilai-

nilai pekerjaan yang penting bagi tenaga kerja. Hubungan

keseluruhan didasarkan pada ketertarikan antar pribadi yang

mencerminkan sikap dasar dan nilai-nilai yang serupa.

Berdasarkan model dari Locke ini orang dapat mempunyai

hubungan keseluruhan yang baik tanpa harus mempunyai


hubungan fungsional yang baik, dan sebaliknya. Menurut Locke,

tingkat kepuasan kerja yang paling besar dengan seorang atasan

ialah jika kedua jenis hubungan adalah positif.

d. Rekan Sejawat yang Menunjang

Kepuasan kerja akan didapat jika pekerja merasa

kebutuhannya (kebutuhan sosial, harga diri, aktualisasi diri, dll)

dapat terpenuhi melalui keberadaan pekerja yang ada disekitarnya.

e. Kondisi kerja yang menunjang

Perusahaan perlu memperhatikan kondisi kerja yang sesuai

dengan prinsip-prinsip ergonomi. Dalam kondisi kerja seperti itu

kebutuhan-kebutuhan fisik dipenuhi dan memuaskan tenaga kerja.

2. Berdasarkan karakteristik pribadi

Ada beberapa karakteristik pribadi yang mempengaruhi

kepuasan kerja seperti umur, gender, kemampuan kognitif (tingkat

pendidikan), pengalaman kerja, dan level pekerjaan (Schultz &

Schultz, 2006). Berikut ini adalah penjelasannya:

1. Umur

Secara umum, kepuasan kerja meningkat seiring dengan

pertambahan usia.

2. Gender

Bukti penelitian tentang perbedaan dalam kepuasan kerja

antara karyawan pria dan wanita karyawan tidak konsisten dan

kontradiktif. Psikolog menemukan tidak ada pola yang jelas dari

perbedaan gender dalam kepuasan kerja. Tetapi faktor-faktor


seperti misalnya, perempuan biasanya dibayar kurang dari laki-

laki untuk pekerjaan yang sama, dan kesempatan mereka untuk

promosi lebih sedikit, kemudian kebanyakan karyawan perempuan

percaya bahwa mereka harus bekerja lebih keras dan lebih luar

biasa daripada karyawan laki-laki sebelum mereka menerima

hadiah yang sebanding. Hal ini jelas mempengaruhi kepuasan

seseorang.

3. Kemampuan kognitif (tingkat pendidikan)

Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, akan semakin

tidak puas dengan pekerjaannya. Karena semakin tinggi

pendidikan seseorang maka semakin tinggi pula eskpektasinya

akan pekerjaan tersebut.

4. Pengalaman kerja

Karyawan baru cenderung lebih puas dengan pekerjaannya

karena mereka terstimulasi dan tertantang untuk mengembangkan

keterampilan dan kemampuannya di pekerjaan yang baru.

5. Level pekerjaan

Semakin tinggi level pekerjaan seseorang, maka akan semakin

tinggi pula kepuasan kerjanya. Hal ini disebabkan karena semakin

baik kesempatan untuk memenuhi kebutuhan motivator.

2.1.4 Dampak dari kepuasan dan ketidakpuasan kerja

Berikut ini adalah beberapa hasil penelitian tentang dampak kepuasan

dan ketidakpuasan kerja yang diungkapkan oleh Munandar (2008):


1. Produktivitas
Lawler dan Porter mengharapkan produktivitas yang tinggi

menyebabkan peningkatan dari kepuasan kerja hanya jika tenaga

kerja mempersepsikan bahwa ganjaran intrinsik (misalnya rasa

telah mencapai sesuatu) dan ganjaran esktrinsik (misalnya gaji)

yang diterima kedua-duanya adil dan wajar diasosiasikan dengan

unjuk-kerja yang unggul. Jika tenaga kerja tidak mempersepsikan

ganjaran intrinsik dan ekstrinsik berasosiasi dengan unjuk-kerja,

maka kenaikan dalam unjuk kerja tidak akan berkorelasi dengan

kenaikan dalam kepuasan kerja.


2. Ketidakhadiran dan Keluarnya Tenaga Kerja

Porter & Steers berkesimpulan bahwa ketidakhadiran dan

berhenti bekerja merupakan jenis jawaban-jawaban yang secara

kualitatif berbeda. Ketidakhadiran lebih spontan sifatnya dan

dengan demikian kurang mungkin mencerminkan ketidakpuasan

kerja. Lain halnya dengan berhenti atau keluar dari pekerjaan.

Model meninggalkan pekerjaan dari Mobley, Horner, dan

Hillingworth menunjukan bahwa setelah tenaga kerja menjadi

tidak puas terjadi beberapa tahap (misalnya berpikir untuk

meninggalkan pekerjaan) sebelum keputusan untuk meninggalkan

pekerjaan diambil. Dari penelitian ini ditemukan bukti yang

menunjukan bahwa tingkat dari kepuasan kerja berkolerasi dengan

pemikiran-pemikiran untuk meninggalkan pekerjaan, dan bahwa

niat untuk meninggalkan kerja berkolerasi dengan meninggalkan

pekerjaan secara aktual. Hal tersebut didukung oleh Robbins yang

mengungkapkan bahwa ketidakpuasan kerja pada tenaga kerja /

karyawan dapat diungkapkan ke dalam berbagai macam cara.


Misalnya, selain meninggalkan pekerjaan, karyawan dapat

mengeluh, membangkang, mencuri barang milik organisasi,

menghindari sebagian dari tanggung jawab pekerjaan mereka. Ada

4 kemungkinan cara mengungkapkan ketidakpuasan yang

berbeda-beda yang terletak pada dua dimensi: constructiveness –

destructiveness dan aktif – pasif, yaitu:

a. Keluar (Exit): Ketidakpuasan kerja yang diungkapkan

dengan meninggalkan pekerjaan. Termasuk mencari

pekerjaan lain.
b. Menyuarakan (Voice): Ketidakpuasan kerja yang

diungkapkan melalui usaha aktif dan konstruktif untuk

memperbaiki kondisi, termasuk memberikan saran

perbaikan, mendiskusikan masalah dengan atasannya.


c. Mengabaikan (Neglect): Ketidakpuasan kerja yang

diungkapkan melalui sikap membiarkan keadaan menjadi

lebih buruk, termasuk misalnya, sering absen, atau datang

terlambat, upaya berkurang, kesalahan yang dibuat

semakin banyak.
d. Kesetiaan (Loyalty): Ketidakpuasan kerja yang

diungkapkan dengan menunggu secara pasif sampai

kondisinya menjadi lebih baik, termasuk membela

perusahaan terhadap kritik dari luar dan percaya bahwa

organisasi dan manajemen akan melakukan hal yang tepat

untuk memperbaiki kondisi.


3. Kesehatan
Ada beberapa bukti tentang adanya hubungan antara kepuasan

kerja dengan kesehatan fisik dan mental. Dari satu kajian

longitudinal disimpulkan bahwa ukuran-ukuran dari kepuasan


kerja merupakan peramal yang baik bagi longevity atau panjang

umur atau rentang kehidupan. Salah satu temuan yang penting dari

kajian yang dilakukan oleh Kornhauser tentang kesehatan mental

dan kepuasan kerja, ialah bahwa untuk semua tingkatan jabatan,

persepsi dari tenaga kerja bahwa pekerjaan mereka menuntut

penggunaan efektif dari kecakapan-kecakapan mereka berkaitan

dengan skor kesehatan mental yang tinggi. Skor-skor ini juga

berkaitan dengan tingkat dari kepuasan kerja dan tingkat dari

jabatan.

2.2 Withdrawal Behavior

2.2.1 Definisi Withdrawal Behavior

Hulin (dalam Colquitt, LePine, & Wesson, 2012) mendefinisikan

withdrawal behavior sebagai serangkaian tindakan yang dilakukan karyawan

untuk menghindari situasi - perilaku kerja yang akhirnya dapat berujung

keluar dari organisasi.

Kaplan, et al (dalam Lishchinsky & Zohar, 2011) menjelaskan bahwa

withdrawal behavior mengacu pada seperangkat sikap dan perilaku yang

digunakan oleh karyawan ketika mereka berada dalam suatu pekerjaan tetapi

untuk beberapa alasan memutuskan untuk menjadi kurang partisipatif.

Rosse & Hulin (dalam Sager, Yi, & Futrell, 1998) mengungkapkan

withdrawal mengacu pada upaya individu untuk mengurangi partisipasi

dalam organisasi melalui absenteeism, lateness, job search activity,

restriction of effort, intention to leave, atau turnover.


2.2.2 Teori Withdrawal Behavior

Johns ; Koslowsky (dalam Lishchinsky & Zohar, 2011) menjelaskan

bahwa ada 4 konstruk teoritis utama untuk struktur internal dari withdrawal

attitudes and behaviors yang telah diusulkan untuk menjelaskan hubungan

antara berbagai perilaku penarikan, yaitu: independent, spillover,

compensatory, dan progression. Berikut ini adalah penjelasannya:

1. Independent model, yaitu model yang menyatakan bahwa

withdrawal behaviors memiliki penyebab dan fungsi yang

berbeda, sehingga tidak berhubungan satu sama lain. Dengan

demikian, karyawan dapat menentukan bentuk withdrawal mana

yang paling sesuai dengan mereka (Hulin, 1991).

2. Spillover model, yaitu model yang menyatakan bahwa withdrawal

behaviors berhubungan positif, tanpa menentukan hubungan yang

sementara atau berurutan (Beehr dan Gupta, 1978). Dengan

demikian, seorang individu cenderung bereaksi terhadap

anteseden tertentu dengan serangkaian / satu set withdrawal

behavior, bukan hanya dengan satu withdrawal behavior

(Koslowsky et al., 1997).

3. Compensatory model, yaitu model yang menyatakan bahwa

anteseden yang serupa menyebabkan bentuk-bentuk spesifik dari

withdrawal akan berkorelasi negatif (Nicolson dan Goodge,

1976).

4. Progressive model, yaitu model yang paling umum. Model ini

menyatakan bahwa manifestasi dari withdrawal yang terjadi akan


berkembang, dimulai dengan psychological withdrawal yang

relatif ringan, seperti sesekali terlambat, lalu pindah ke bentuk

yang lebih berat seperti tidak hadir, dan berakhir dengan bentuk

yang paling parah seperti niat untuk meninggalkan pekerjaan dan

meninggalkan pekerjaan secara aktual (Koslowsky et al., 1997).

2.2.3 Bentuk dari Withdrawal Behavior

Ada 2 bentuk dari withdrawal behavior, yaitu psychological

withdrawal dan physical withdrawal. Psychological withdrawal terdiri dari

tindakan yang merupakan pelarian mental dari lingkungan kerja.

Psychological withdrawal ini hadir dalam beberapa bentuk dan ukuran.

Berikut ini adalah 5 bentuk dari psychological withdrawal (Colquitt, LePine,

& Wesson, 2012):

1. Daydreaming, yaitu dimana seorang karyawan bekerja tetapi

sebenarnya terganggu dengan pikiran atau kekhawatiran yang

tidak menentu.

2. Socializing, yaitu mengacu pada obrolan lisan diluar topik

pekerjaan yang dilakukan di dalam kantor, dengan mailbox atau

pada vending machines.

3. Looking busy, yaitu melakukan sebuah tindakan yang disengaja

supaya terlihat bahwa ia sedang bekerja meskipun sebenarnya

tidak. Contohnya adalah dengan menata meja kerja, atau berjalan-

jalan di sekitar gedung.


4. Moonlighting, yaitu menggunakan waktu kerja dan sumber daya

untuk menyelesaikan suatu tugas diluar pekerjaan mereka seperti

tugas untuk pekerjaan lain.

5. Cyberloafing, yaitu menggunakan internet, email, dan akses pesan

instan untuk kesenangan pribadi daripada tugas pekerjaan. Bentuk

ini merupakan bentuk yang paling banyak dilakukan dan sangat

menurunkan produktivitas.

Sedangkan physical withdrawal terdiri dari tindakan pelarian dalam

bentuk fisik baik jangka pendek maupun panjang dari lingkungan

kerja. Physical withdrawal juga hadir dalam beberapa bentuk dan

ukuran. Berikut ini adalah 5 bentuk dari physical withdrawal:

1. Tardiness, yaitu kecenderungan untuk tiba di tempat kerja

terlambat atau pulang lebih cepat. Tentu saja hal ini kadang-

kadang tidak dapat dihindari seperti pada saat ada masalah pada

kendaraan atau harus berjuang melalui cuaca buruk. Tetapi

seringkali diperhitungkan sebagai keinginan untuk menghabiskan

waktu lebih sedikit di tempat kerja.

2. Long breaks, yaitu meliputi menghabiskan waktu makan siang

yang lebih lama, istirahat untuk minum kopi, dan sebagainya yang

memberikan kesempatan untuk melarikan diri (dalam bentuk fisik)

dari pekerjaan.

3. Missing meetings, yaitu karyawan mengabaikan fungsi kerja yang

penting saat tidak berada di kantor.


4. Absenteeism, yaitu saat karyawan tidak hadir atau melewatkan

kerja sepanjang hari. Berbagai alasan yang digunakan misalnya

sakit atau keadaan darurat dalam keluarga. Terdapat pula suatu

irama atau ritme yang sama dalam hal ini. Contohnya karyawan

cenderung tidak hadir pada hari Senin atau Jumat. Dalam

ketidakhadiran ini, norma kelompok dan departemen juga

mempengaruhi hal ini.

5. Quitting, yaitu dengan sukarela meninggalkan organisasi. Seperti

bentuk withdrawal lainnya, karyawan memilih berhenti bekerja

dengan berbagai alasan. Alasan yang paling sering digunakan

adalah gaji yang lebih besar, kesempatan karir yang lebih baik,

ketidakpuasan dengan atasan, kondisi kerja atau jadwal kerja,

faktor keluarga, dan kesehatan.

2.2.3.1 Keterlambatan

2.2.3.1.1 Definisi Keterlambatan

Menurut Koslowsky (dalam Lishchinsky &

Zohar, 2011) perilaku keterlambatan digambarkan

sebagai tiba terlambat di tempat kerja atau

meninggalkan tempat kerja sebelum jam kerja berakhir.

Definisi yang serupa juga diungkapkan oleh Shafritz

(dalam Lishchinsky, 2007), yaitu perilaku

keterlambatan digambarkan sebagai tiba di tempat

kerja terlambat atau pergi sebelum hari berakhir.


Definisi lain dari keterlambatan diungkapkan

oleh Adler & Golan (dalam Johns, 2001), yang

menyatakan bahwa keterlambatan adalah

kecenderungan karyawan untuk tiba di tempat kerja

lewat dari waktu yang sudah dijadwalkan.

2.2.3.1.2 Klasifikasi Keterlambatan

Blau (dalam Lishchinsky & Zohar, 2011)

mengklasifikasikan keterlambatan dalam tiga dimensi,

yaitu chronic, unavoidable, dan avoidable. Berikut ini

adalah penjelasannya:

1. Chronic lateness, yaitu respon dari karyawan

terhadap situasi kerja yang buruk. Relevant

antecedents dari chronic lateness ini contohnya

adalah kurangnya komitmen organisasi dan

kepuasan kerja.

2. Avoidable lateness, yaitu keterlambatan yang

terjadi ketika karyawan memiliki aktivitas /

kegiatan yang lebih baik atau lebih penting untuk

dilakukan daripada hadir tepat waktu. Leisure-

income tradeoff dan work–family conflicts mungkin

merupakan positive antecedents dari jenis

keterlambatan ini.
3. Unavoidable lateness, yaitu keterlambatan yang

terjadi karena faktor di luar kontrol karyawan.

Contohnya adalah masalah transportasi, cuaca yang

buruk, dan kecelakaan.

2.2.3.1.3 Dampak dari Keterlambatan

Koslowsky (2000) mengemukakan beberapa

dampak dari keterlambatan, yaitu keterlambatan

memiliki implikasi terhadap organisasi dari segi

ekonomi dan psikologis. Keterlambatan karyawan

yang memiliki fungsi kerja yang penting, dapat

mengganggu jadwal produksi organisasi (Groeneveld

& Shain, dalam Koslowsky, 2000). Jika karyawan

adalah dari bagian service, keterlambatan mereka dapat

mempengaruhi kualitas atau kuantitas layanan yang

diberikan, terutama ketika sesama pekerja atau

konsumen bergantung secara langsung maupun

tidak langsung pada kehadiran karyawan ini.

Secara umum, ketidakhadiran dan perilaku

organisasi lainnya seperti kinerja yang buruk,

keterlambatan karyawan dapat memiliki unsur

mengabaikan dan kurangnya rasa hormat terhadap

pekerjaan seseorang yang terkait dengannya. Dalam

kebanyakan kasus, pesan psikologisnya kepada orang

lain adalah negatif. Semangat dan motivasi kerja dalam


organisasi cenderung memburuk ketika beberapa

karyawan terlambat (Cascio; Jamal, dalam Koslowsky,

2000). Dengan demikian, rekan kerja yang melihat

salah satu rekan mereka tiba terlambat terus menerus,

dapat mulai berpikir untuk mengikuti jejak yang sama

dan mengubah perilaku mereka, terutama jika

sanksinya tidak jelas / pasti (Koslowsky, 2000).

2.3 Kerangka Berpikir

Keterlambatan merupakan salah satu bentuk dari withdrawal behavior.

Keterlambatan karyawan mempengaruhi mempunyai implikasi dari segi ekonomi

dan psikologis kepada organisasi. Seperti dapat mengganggu jadwal produksi

organisasi, kualitas dan kuantitas pelayanan yang diberikan, pesan psikologis yang

negatif kepada orang lain, semangat dan motivasi kerja yang memburuk, dan dapat

memicu rekan kerja untuk melakukan hal yang sama (Koslowsky, 2000).

Withdrawal behavior merupakan perilaku hasil dari sikap organisasi tertentu

seperti ketidakpuasan. Apabila anggota dalam sebuah organisasi tidak memiliki

kepuasan kerja, maka tujuan organisasi tidak akan tercapai, karena sumber daya

manusia merupakan sumber daya yang sangat berperan penting dalam sebuah

organisasi.

Berdasarkan penjelasan diatas, peneliti ingin mengetahui apakah ada

hubungan kepuasan kerja dengan keterlambatan pada anggota di organisasi non-

profit “X”.

Anda mungkin juga menyukai