Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

Trombosis adalah terjadinya bekuan darah di dalam sistem kardiovaskuler termasuk


arteri, vena, ruangan jantung dan mikrosirkulasi. Menurut Robert Virchow, terjadinya
trombosis adalah sebagai akibat kelainan dari pembuluh darah, aliran darah dan komponen
pembekuan darah.1
Istilah penyakit tromboembolik menunjukkan hubungan dengan trombosis yaitu
proses pembentukan bekuan darah (trombus) dan resiko emboli. Trombosis Vena Dalam
adalah kondisi dimana terbentuk bekuan dalam vena sekunder / vena dalam oleh karena
inflamasi /trauma dinding vena atau karena obstruksi vena sebagian. Trombosis Vena Dalam
menyerang pembuluh-pembuluh darah sistem vena dalam. Serangan awalnya disebut
trombosis vena dalam akut. Trombosis vena dalam dapat bersifat parsial atau total.
Kebanyakan trombosis vena dalam berasal dari ekstrimitas bawah. Penyakit ini dapat
menyerang satu vena bahkan lebih. Vena-vena di betis adalah vena-vena yang paling sering
terserang. Trombosis pada vena poplitea, femoralis superfisialis, dan segmen segmen vena
ileofemoralis juga sering terjadi. Banyak yang sembuh spontan, dan sebagian lainnya
berpotensi membentuk emboli. Emboli paru-paru merupakan resiko yang cukup bermakna
pada trombosis vena dalam karena terlepasnya trombus kemudian ikut aliran darah dan
terperangkap dalam arteri pulmonalis1
Kematian terjadi sebagai akibat lepasnya trombus vena, membentuk emboli yang
dapat menimbulkan kematian mendadak apabila sumbatan terjadi pada arteri di dalam paru-
paru ( emboli paru). Insidens trombosis vena di masyarakat sangat sukar di teliti, sehingga
tidak ada di laporkan secara pasti. Banyak laporan-laporan hanya me gemukakan data-data
penderita yang di rawat di rumah sakit dengan berbagai diagnosis.1
Di amerika serikat di laporkan 2 juta kasus trombosis vena dalam yang di rawat di
rumah sakit dan di perikirakan 600.000 kasus terjadi emboli paru dan 60.000 kasus
meninggal karena proses penyumbatan pembuluh darah.1
Pada kasus-kasus yang mengalami trombosis vena perlu pengawasan dan pengobatan
yang tepat terhadap trombosisnya dan melaksanakan pencegahan terhadap meluasnya
trombosis dan terbentuknya emboli di daerah lain, yang dapat menimbulkan kematian.
DVT merupakan kelaianan kardiovaskular tersering nomor tiga setelah penyakit
jantung koroner arteri dan stroke. DVT terjadi pada kurang lebih 0.1 % orang/ tahun
insidennya meningkat 30 kali lipat di banding dekade yang lalu. Faktor resiko DVT antara

1
lain faktor demografi/lingkungan ( usia tua dan imobilitas yang lama), kelainan patologi
(trauma, hiperkoagulabilitas kongenital, antiphospholipid syndrome, vena varikosa
ekstremitas bawah obesitas, riwayat tromboemboli vena, keganasan), kehamilan, tindakan
bedah, obat-obatan (kontrasepsi hormonal,kortikosteroid). Meskipun DVT umumnya timbul
karena adanya faktor resiko tertentu, DVT juga dapat timbul tanpa etiologi yang jelas
(idiopathic DVT). Untuk meminimalkan resiko fatal terjadinya emboli paru diagnosis dan
penatalaksanaan yang tepat sangat di perlukan. Kematian dan kecacatan dapat terjadi sebagai
akibat kesalahan diagnosa, kesalahan terapi dan perdarahan karena penggunaan antikoagulan
yang tidak tepat, oleh karena itu penegakan diagnosa dan penatalaksanaan yang tepat sangat
diperlukan. 2

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Trombosis Vena Dalam (TVD)


2.1.1 Definisi

Trombosis adalah terbentuknya bekuan darah dalam pembuluh darah.


Trombus atau bekuan darah dapat terbentuk pada vena, arteri, jantung, atau
mikrosirkulasi dan menyebabkan komplikasi akibat obstruksi atau emboli. Trombus
adalah bekuan abnormal dalam pembuluh darah yang terbentuk walaupun tidak ada
kebocoran. Trombus terbagi menjadi 3 macam yaitu trombus merah (trombus
koagulasi), trombus putih (trombus aglutinasi) dan trombus campuran.Trombus merah
dimana sel trombosit dan lekosit tersebar rata dalam suatu masa yang terdiri dari
eritrosit dan fibrin, sering terdapat pada vena.Trombus putih terdiri dari fibrin dan
lapisan trombosit, leukosit dengan sedikit eritrosit, biasanya terdapat dalam arteri.
Bentuk yang paling sering adalah trombus campuran. Trombosis Vena Dalam (DVT)
merupakan penggumpalan darah yang terjadi di pembuluh balik (vena) sebelah
dalam.Terhambatnya aliran pembuluh balik merupakan penyebab yang sering
mengawali TVD. Penyebabnya dapat berupa penyakit pada jantung, infeksi, atau
imobilisasi lama dari anggota gerak.3

2.1.2 Epidemiologi

Insiden DVT di Amerika Serikat adalah 159 per 100 ribu atau sekitar 398 ribu per
tahun. Tingkat fatalitas TVD yang sebagian besar diakibatkan oleh emboli pulmonal
sebesar 1% pada pasien muda hingga 10% pada pasien yang lebih tua.Tanpa profilaksis,
insidensi TVD yang diperoleh di rumah sakit adalah 10- 40% pada pasien medikal dan
surgikal dan 40-60% pada operasi ortopedik mayor. Dari sekitar 7 juta pasien yang
selesai dirawat di 944 rumah sakit di Amerika, tromboemboli vena adalah komplikasi
medis kedua terbanyak, penyebab peningkatan lama rawatan, dan penyebab kematian
ketiga terbanyak.1

3
2.1.3 Patogenesis

Dalam keadaan normal, darah yang bersirkulasi berada dalam keadaan cair,
tetapi akan membentuk bekuan jika teraktivasi atau terpapar dengan suatu permukaan.
Virchow mengungkapkan suatu triad yang merupakan dasar terbentuknya trombus.
Hal ini dikenal sebagai Triad Virchow. Triad ini terdiri dari: 2
1. Gangguan pada aliran darah yang mengakibatkan stasis,
2.Gangguan pada keseimbangan prokoagulan dan antikoagulan yang menyebabkan
aktivasi faktor pembekuan, dan
3.Gangguan pada dinding pembuluh darah (endotel) yang menyebabkan
prokoagulan.Trombosis terjadi jika keseimbangan antara faktor trombogenik dan
mekanisme protektif terganggu. Faktor trombogenik meliputi:
1. Gangguan sel endotel
2. Terpaparnya subendotel akibat hilangnya sel endotel
3. Aktivasi trombosit atau interaksinya dengan kolagen subendotel atau faktor von
Willebrand
4. Aktivasi koagulasi
5. Terganggunya fibrinolisis
6. Statis
Mekanisme protektif terdiri dari:
1. Faktor antitrombotik yang dilepaskan oleh sel endotel yang utuh
2. Netralisasi faktor pembekuan yang aktif oleh komponen sel endotel
3. Hambatan faktor pembekuan yang aktif oleh inhibitor
4. Pemecahan faktor pembekuan oleh protease
5. Pengenceran faktor pembekuan yang aktif dan trobosit yang beragregasi oleh aliran
darah
6. Lisisnya trombus oleh system fibrinolisis
Trombus terdiri dari fibrin dan sel-sel darah. Trombus arteri, karena aliran
yang cepat, terdiri dari trombosit yang diikat oleh fibrin yang tipis, sedangkan
trombus vena terutama terbentuk di daerah stasis dan terdiri dari eritrosit dengan
fibrin dalam jumlah yang besar dan sedikit trombosit.3

4
2.1.4. Faktor Resiko
Faktor-faktor resiko dari TVD adalah sebagai berikut :
1. Duduk dalam waktu yang terlalu lama, seperti saat mengemudi atau sedang naik
pesawat terbang. Ketika kaki kita berada dalam posisi diam untuk waktu yang cukup
lama, otot-otot kaki kita tidak berkontraksi sehingga mekanisme pompa otot tidak
berjalan dengan baik.
2. Memiliki riwayat gangguan penggumpalan darah. Ada beberapa orang yang memiliki
faktor genetic yang menyebabkan darah dapat menggumpal dengan mudah.
3. Bed Rest dalam keadaan lama, misalnya rawat inap di rumah sakit dalam waktu lama
atau dalam kondisi paralisis.
4. Cedera atau pembedahan
Cedera terhadap pembuluh darah vena atau pembedahan dapat memperlambat aliran
darah dan meningkatkan resiko terbentuknya gumpalan darah. Penggunaan anestesia
selama pembedahan mengakibatkan pembuluh vena mengalami dilatasi sehingga
meningkatkan resiko terkumpulnya darah dan terbentuk trombus.
5. Kehamilan
Kehamilan menyebabkan peningkatan tekanan di dalam pembuluh vena daerah kaki
dan pelvis. Wanita-wanita yang memiliki riwayat keturunan gangguan penjendalan
darah memiliki resiko terbentuknya trombus.
6. Kanker
Beberapa penyakit kanker dapat meningkatkan resiko terjadinya trombus dan
beberapa pengelolaan kanker juga meningkatkan resiko terbentuknya trombus
7. Inflamatory bowel sydnrome
8. Gagal jantung
Penderita gagal jantung juga memiliki resiko TVD yang meningkat dikarenakan darah
tidak terpompa secara efektif seperti jantung yang normal
9. Pil KB dan terapi pengganti hormon
10. Pacemaker dan kateter di dalam vena
11. Memiliki riwayat TVD atau emboli pulmonal
12. Memiliki berat badan yang berlebih atau obesitas
13. Merokok
14. Usia tua (di atas 60 tahun)
15. Memiliki tinggi badan yang tinggi.3

5
2.1.4.Diagnosis
Standar baku emas untuk diagnosis TVD adalah venografi intarvena, di mana
bahan kontras diinjeksikan pada vena kemudian difoto rontgen untuk melihat di mana
terdapat obstruksi vena. Pemeriksaan ini invasif sehingga jarang dilakukan. 2

2.1.5 Tanda dan Gejala


Gejala dan tanda pada TVD berhubungan dengan terjadinya obstruksi aliran
darah balik ke jantung yang menyebabkan darah terkumpul di lengan atau tungkai.
Gejala dan tanda klasik :
1. Nyeri tekan pada tungkai atau betis bila terjadi di tungkai dan di lengan atau leher
jika mengenai ekstrimitas atas.
2. Pembengkakan terlokalisir pada daerah yang terkena disertai pitting oedema. Untuk
TVD distalmpembengkakan sampai di bawah lutut dan TVD proksimal sampai
daerah pantat.
3. Perabaan kulit hangat dan kemerahan di sekitar daerah TVD terutama di bagian
belakang dan lutut, terdapat pelebaran vena superfisial dan pada obstruksi berat
kulit tampak sianosis.
4. Kadang TVD tidak memberikan gejala yang nyata, gejala timbul setelah terjadi
komplikasi misalnya terjadi emboli ke paru. 4
Diagnosis yang didasarkan pada temuan fisik saja tidak dapt diandalkan,
sedangkan untuk penatalaksanaan TVD secara optimal, perlu diagnosis yang obyektif.
Guna mempermudah pendekatan diagnosis, digunakan sistem skoring untuk
menentukan besarnya kemungkinan diagnosis klinik serta pemeriksaan laboratorium,
Compression ultrasonography, dan venografi, yang dijadikan bukti diagnosis
obyektif. Scarvelis dan Wells mengenalkan keadaan klinis yang dapat memprediksi
adanya TVD seperti pada tabel 5

Tabel skor wells untuk kecurigaan klinis trombosis vena dalam


Karakteristik Klinik Skor
Kanker aktif ( sedang di lakukan terapi dalam 6 bulan terakhir) 1
Paralisis, paresis atau imobilisasi pada tungkai 1
Tirah baring > 3 hari atau operasi besar dalam 12 minggu terakhir 1
Nyeri tekan terlokalosir sepanjang distribusi vena dalam 1

6
Bengkak pada seluruh tungkai 1
Bengkak pada tungkai > 3 cm di bandingkan sisi yang tidak sakit 1
Edema pitting pada tungkai sisi sakit 1
Diagnosis alternatif yang menyerupai TVD -2
Kolateral vena superfisial (non varicose) 1
Pernah terjadi TVD sebelumnya 1
Pretest probability:
- High >2
- Moderat 1 atau 2
- Low <1

2.1.6 Pemeriksaan penunjang


Pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk diagnosis TVD :
1. Compression Ultrasonography
CU merupakan pemeriksaan non invasive pilihan untuk membantu menegakkan
diagnosis pada kecurigaan TVD secara klinik. Prosedur ini cukup teliti untuk
mendeteksi TVD proksimal simtomatik (femoral, popliteal, calf bifurcation) dengan
sensitifitas 97% dan spesifitas 94%.12 Bila hasil abnormal, diadnosis trombosis vena
dapat ditegakkan, bila hasil normal maka diulang pada minggu berikutnya. Konversi
dari normal ke abnormal pada pemeriksaan CU ulang terdapat pada 2% pasien. CU
kurang sensitive untuk TVD distal, TVD asimtomatik dan TVD berulang.4

2. D-dimer
Pemeriksaan kadar d-dimer (hasil pemecahan fibrin ikat silang yang dipecah oleh
plasmin), merupakan pemeriksaan tambahan CU guna meningkatkan ketepatan
diagnosis TVD. Kadar d-dimer biasanya meningkat pada TVD dan / atau EP
(Emboli Paru). Peningkatan kadar ddimer menunjukkan adanya produk degradasi
fibrin dalam kadar yang abnormal tinggi. Peningkatan kadar ini mempunyai arti
bahwa telah terjadi trombus yang bermakna dan pemecahannya dalam tubuh ,
namun belum dapat menunjukkan lokasi. Kadar normal dapat membantu untuk
menyingkirkan TVD, namun kadar yang meningkat tidak spesifik dan mempunyai

7
nilai ramal positif yang rendah. Peningkatan kadar d-dimer bisa sebagai respon non
spesifik dari penyakit yang terjadi bersamaan.4

3. Venografi
Venografi merupakan pemeriksaan baku emas dari TVD. Keunggulan venografi
adalah mampu mendeteksi trombosis proksimal dan vena betis yang terisolasi.
Kelemahan pemeriksaan ini adalah :
a. Bersifat invasif
b. Menimbulkan rasa nyeri
c. Mahal dan memerlukan keahlian khusus dalam tekniknya
d. Membutuhkan waktu yang lama
e. Kemungkinana komplikasi trombosis
f. Alergi dan gangguan faal ginjal akibat cairan kontras
Karena alasan tersebut, pemeriksaan non invasif seperti CUdan d-dimer,
dikombinasi dengan pemeriksaan fisik, banyak digunakan sebagai pengganti
venografi.5

4. MRI (Magnetic Resonance Imaging)


MRI sangat akurat untuk diagnosis TVD, termasuk TVD distal (betis), pelvis dan
trombosis asimptomatik pada wanita hamil. Teknik ini sangat potensial untuk
membedakan thrombus lama dan baru, serta tidak memerlukan kontras. Namun
harganya masih relatif mahal.5

2.1.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan TVD adalah untuk mencegah bertambah besarnya bekuan,
mencegah emboli paru, sindroma post trombosis dan terjadinya TVD berulang. Terapi
farmakologi yang digunakan biasanya adalah antikoagulan dan trombolitik.
Antikoagulan
Antikoagulan digunakan untuk mencegah terjadi bekuan yang semakin besar,
dan mencegah pembentukan bekuan darah. Jika terapi antikoagulan diberikan segera
setelah TVD terbentuk, maka akan menurunkan risiko terjadinya emboli paru.
Antikoagulan yang biasa dipakai adalah heparin dan warfarin.2

8
Unfractionated Heparin
Terapi unfractionated heparin berdasarkan berat badan dan dosisnya dititrasi
berdasarkan nilai Activated Partial Thromboplastin Time (APTT). Nilai APTT yang
diinginkan adalah 1,5- 2,5 kontrol. Mekanisme kerja utama heparin adalah: 1).
meningkatkan kerja antitrombin III sebagai inhibitor faktor pembekuan, dan 2).
melepaskan tissue factor pathway inhibitor (TFPI) dari dinding pembuluh darah.
Diberikan dengan cara bolus 80 IU/kgBB intravena dilanjutkan dengan infus 18 IU/
kgBB/jam. APTT, masa protrombin (protrombin time /PT) dan jumlah trombosit
harus diperiksa sebelum memulai terapi heparin, terutama pada pasien berusia lebih
dari 65 tahun, riwayat operasi sebelumnya, kondisi-kondisi seperti peptic ulcer
disease, penyakit hepar, kanker, dan risiko tinggi perdarahan (bleeding tendency).3
Efek samping perdarahan dan trombositopeni. Pada terapi awal risiko
perdarahan kurang lebih 7%, tergantung dosis, usia, penggunaan bersama
antitrombotik atau trombolitik lain. Trombositopeni transien terjadi pada 10-20%
pasien. Heparin dapat dihentikan setelah empat sampai lima hari pemberian
kombinasi dengan warfarin jika International Normalized Ratio (INR) melebihi 2.0.1

Dosis Awal Bolus 80 unit/ kgBB, kemudian


18 unit/ kg/ jam dengan infus
APTT <35 detik (<1 kali Bolus 80 unit/ kgBB,
kontrol) kemudian 4 unit/ kg/ jam
dengan infus
APTT 35 – 45 detik (1,2- Bolus 40 unit/ kgBB, kemudian
1,5 kali kontrol) 2 unit/ kg/ jam dengan infus
APTT 46– 70 detik (1,5- Tidak ada perubahan
2,3 kali kontrol)
APTT 71– 90 detik (2,3- Kecepatan infus diturunkan 2
3,0 kali kontrol) unit/ kgBB/ jam
APTT >90 detik (>3 kali Hentikan infus selama 1 jam
kontrol) lalu turunkan kecepatan
infus rata-rata 3 unit/ kgBB/
jam

9
Low-Molecular-Weight Heparin (LMWH)
Dibandingkan dengan unfractionated heparin, LMWH lebih menguntungkan
karena waktu paruh biologis lebih panjang, dapat diberikan subkutan satu atau dua
kali sehari, dosisnya pasti dan tidak memerlukan pemantauan laboratorium. Pada
pasien DVT, heparin subkutan tidak kurang efektif dibandingkan unfractionated
heparin infus kontinyu.3
Seperti halnya unfractionated heparin, LMWH dikombinasi dengan warfarin
selama empat sampai lima hari, dihentikan jika kadar INR mencapai 2 atau lebih.
Enoxaparin disetujui oleh FDA (U.S. Food and Drug Administration) untuk
pengobatan DVT dengan dosis 1 mg/ kg dua kali sehari atau 1,5 mg/kg sekali sehari.
Dalteparin disetujui hanya untuk pencegahan DVT. Pada penelitian klinis, dalteparin
diberikan dengan dosis 200 IU/kgBB/hari (dosis tunggal atau dosis terbagi dua kali
sehari). FDA telah menyetujui penggunaan tinzaparin dengan dosis 175 IU/kg/hari
untuk terapi DVT.3
Pilihan lain adalah fondaparinux. Fondaparinux adalah pentasakarida sintetik
yang bekerja menghambat faktor Xa dan trombin. Diberikan subkutan,
bioavailabilitasnya 100%, dengan konsentrasi plasma puncak 1,7 jam setelah
pemberian. Dapat digunakan sebagai profilaksis dan terapi kondisi akut dengan dosis
5 mg (BB <50 kg), 7,5 mg (BB 50-100 kg), atau 10 mg (BB >100 kg) subkutan,
sekali sehari.3
Efek samping trombositopeni dan osteoporosis LMWH lebih jarang dibanding
pada penggunaan UFH. Kontraindikasi terapi antikoagulan antara lain kelainan darah,
riwayat stroke perdarahan, metastasis ke central nervous system (CNS), kehamilan,
peripartum, operasi abdomen atau ortopedi dalam tujuh hari dan perdarahan
gastrointestinal. LMWH diekskresikan melalui ginjal, pada penderita gangguan fungsi
ginjal, dosisnya harus disesuaikan atau digantikan oleh UFH.5

Warfarin
Warfarin adalah obat pilihan untuk antikoagulasi akut. Pemberian warfarin
segera setelah diagnosis DVT ditegakkan, namun kerjanya memerlukan satu minggu
atau lebih. Oleh karena itu, LMWH diberikan bersamaan sebagai terapi penghubung
hingga warfarin mencapai dosis terapeutiknya. Untuk pasien yang mempunyai
kontraindikasi enoxaparin (contohnya: gagal ginjal), heparin intravena dapat

10
digunakan sebagai tindakan pertama. Tindakan ini memerlukan perawatan di rumah
sakit.2
Dosis standar warfarin 5 mg/ hari, dosis disesuaikan setiap tiga sampai tujuh
hari untuk mendapatkan nilai INR antara 2,0-3,0. INR diusahakan antara 1,5-2,0,
meskipun masih menjadi pertentangan. Pada sebuah penelitian, INR lebih dari 1,9
didapat rata-rata 1,4 hari setelah dosis 10 mg.7 Dosis warfarin dipantau dengan waktu
protrombin atau INR. Untuk DVT tanpa komplikasi, terapi warfarin
direkomendasikan tiga sampai enam bulan. Kontraindikasi terapi warfarin, antara lain
perdarahan di otak, trauma, dan operasi yang dilakukan baru-baru ini. Pada pasien
dengan faktor risiko molekuler diturunkan seperti defisiensi antitrombin III, protein C
atau S, activated protein C resistance, atau dengan lupus antikoagulan/antibodi
antikardiolipin, antikoagulan oral dapat diberikan lebih lama, bahkan seumur hidup.
Pemberian antikoagulan seumur hidup juga diindikasikan pada pasien yang
mengalami lebih dari dua kali episode trombosis vena atau satu kali trombosis pada
kanker aktif.4

Trombolitik
Berbeda dengan antikoagulan yang berfungsi mencegah perluasan maupun
kekambuhan trombosis, obat trombolitik seperti steptokinase, urokinase dan tissue
plasminogen activator bekerja melarutkan trombin. Obat ini terutama digunakan pada
penderita emboli paru yang luas disertai gangguan kardiorespirasi dan risiko
perdarahan yang kecil. 2
Selain terapi farmakologi, juga dilakukan terapi non farmakologi untuk
pencegahan secara mekanik yaitu
1. Penggunaan kaos kaki yang dapat memberi penekanan (Compression Elastic
stockings). Digunakan pada pagi hari dan seharian saat aktivitas, dilepas pada saat
akan tidur, dapat digunakan pula saat istirahat dengan posisi menaikkan tungkai
pada saat tiduran.
2. Menaikkan tungkai, yaitu posisi kaki dan betis lebih tinggi dari pinggul, posisi ini
diharapkan dapat memperlancar aliran darah vena.
3. Intermittent pneumatic compresion, alat ini dapat memberikan penekanan dari luar
secara teratur pada tungkai bawah atau tungkai bawah dan paha; besarnya tekanan
35-40 mmHg selama 10 detik / menit.
4. Mobilisasi awal untuk meningkatkan aliran darah vena pada kondisi stasis.5

11
2.1.8. Pencegahan
Pencegahan TVD dapat dilakukan dengan cara :
1. Pemberian injeksi heparin dosis rendah pada pasien dengan risiko TVD yang
direncanakan operasi dan akan terjadi imobilisasi setelah operasi. Pada pasien
dengan risiko rendah disarankan untuk memakai compression stockings.
2. Kurangi merokok dan berat badan yang dapat meningkatkan terjadnya TVD.
3. Selama perjalanan jauh ( > 6 jam ) dianjurkan banyak minum air, menghindari
alkohol, melakukan olahraga sederhana untuk tungkai, serta menggunakan kaos
kaki compression stockings.3

2.1.9. Komplikasi
1. Pulmonary Embolism (PE)
Emboli paru adalah penyumbatan arteri pulmonalis atau percabangannya
akibat bekuan darah yang berasal dari tempat lain. Tanda dan gejalanya tidak khas,
seringkali pasien mengeluh sesak napas, nyeri dada saat menarik napas, batuk sampai
hemoptoe, palpitasi, penurunan saturasi oksigen. Kasus berat dapat mengalami
penurunan kesadaran, hipotensi bahkan kematian. Standar baku penegakan diagnosis
adalah dengan angiografi, namun invasif dan membutuhkan tenaga ahli. Dengan
demikian, dikembangkan metode diagnosis klinis, pemeriksaan D-Dimer dan CT
angiografi.4

2. Post-thrombotic syndrome
Post-thrombotic syndrome terjadi akibat inkompetensi katup vena yang terjadi
pada saat rekanalisasi lumen vena yang mengalami trombosis, atau karena sisa
trombus dalam lumen vena. Sindrom ini ditandai oleh bengkak dan nyeri berulang
dan progresif, dapat terjadi dalam 1 sampai 2 tahun setelah kejadian trombosis vena
dalam, pada 50% pasien. Pada beberapa pasien dapat terjadi ulserasi (venous ulcer),
biasanya di daerah perimaleolar tungkai. Ulserasi dapat diberi pelembap dan
perawatan luka. Setelah ulkus sembuh pasien harus menggunakan compressible
stocking untuk mencegah berulangnya post thrombotic syndrome. Penggunaan
compressible stocking dapat dilanjutkan selama pasien mendapatkan manfaat tetapi
harus diperiksa berkala.5

12
BAB III
LAPORAN KASUS

Pasien perempuan umur 57 tahun masuk pada tanggal 6 desember 2018 di ruangan
ICVCU RSUD Undata Palu dengan keluhan sesak yang dirasakan sejak kurang lebih 1 bulan
sebelum masuk rumah sakit. Dan memberat sejak dua hari sebelum masuk rumah sakit.
Pasien merasakan sesak saat pasien mau tidur, saat bangun tidur dan saat berjalan. Pasien
merasa sesak nya berkurang saat posisi bantal nya di tinggikan atau pasien dalam posisi
duduk, selain itu pasien juga mengeluh demam sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit.
Demam di rasakan terus menerus dan pasien juga mengeluh bengkak dan kemerahaan pada
kaki kanan dan terdapat benjolan pada bagian belakang paha, pasien mengeluhkan kakinya
seperti panas dan sakit saat di gunakan untuk berjalan. Mual muntah (+) 2 kali, BAB lancar,
BAK lancar. SUH (-), Riw. HT (-), Riw DM (-).
Pemeriksaan didapatkan keadaan umum sakit sedang, berat badan 49 kg, tinggi badan
157 cm, Indeks Massa Tubuh 19,91 Kg/m2. Pemeriksaan tanda vital tekanan darah 120/60
mmHg, nadi 98 kali per menit, pernapasan 30 kali per menit, dan suhu axilla 39,8°C.
Pemeriksaan fisik didapatkan wajah simetris, tidak ada deformitas, dan bentuk kepala
normocephali. Pada mata, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor
diameter 2,5 / 2,5 mm. Pada leher tidak didapatkan struma dan pembesaran kelenjar getah
bening, JVP 5+2. Pada dada, paru - paru simterris bilateral, vocal fremitus kanan sama
dengan kiri, perkusi sonor pada lapang paru, suara napas vesikular, tidak didapatkan rhonki
atau wheezing. Pada jantung, ictus cordis tidak tampak, ictus cordis teraba di SIC 5, perkusi
batas jantung normal, bunyi jantung 1 dan bunyi jantung 2 normal tidak didapatkan murmur
atau gallop, didapatkan penurunan intensitas bunyi jantung . Pada perut, tampak datar, bising
usus kesan normal, perkusi perut timpani, tidak terdapat nyeri tekan epigastrik, tidak ada
organomegali. Pada ekstremitas akral hangat pada tangan dan kaki, ditemukan nyeri tekan
pada tungkai dan pitting oedema pada kaki kanan dan benjolan dan kemerahan pada
belakang paha kanan
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan Kolesterol total: 144,8 mg/dl, Kolesterol
HDL: 14,8 mg/dl, Kolesterol LDL: 99,0 mg/dl, Asam urat: 6,9 mg/dl, SGOT: 30,5 u/L,
SGPT: 38,6 u/L. Urea: 2.9 mg/Dl. Kreatinin : 0,96 mg/Dl. Pada pemeriksaan laboratorium
darah rutin di dapatkan WBC: 28,1 X 103/mm3, RBC : 3,99 X 106/mm3, HGB: 12,1 G/Dl,
HCT : 36.1 %, PLT : 282 X 103/mm3.

13
Pada pemeriksaan EKG didapatkan irama jantung Normal Sinus Rhythm, nadi 92 kali,
axis 76 derajat normal, gelombang P normal 0.08 mm, interval PR normal 0,16, kompleks
QRS normal 0,04.
Dari informasi yang ada, pasien didiagnosis dengan Deep Vein Thrombosis (DVT)

Pasien telah diberikan terapi berupa NaCl 0,9% 20 tetes per menit, injeksi furosemid
3x1, inj ceftriaxone 2x1 g, isosorbid dinitrat (ISDN) sublingual 5 mg 3x1, aspilet 80 mg pada
malam hari, clopidogrel 75 mg pada pagi hari, simvastatin 20 mg pada malam hari, ramipril
8 mg pada malam hari, dan simarc 20 mg pada malam hari. Acetylsalicylic acid 80 mg pada
malam hari.

14
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada pasien ini didiagnosis dengan Deep Vein Thrombosis karena dari anamnesis
didapatkan pasien mengeluhkan sesak yang dirasakan sejak kurang lebih 1 bulan sebelum
masuk rumah sakit. Dan memberat sejak dua hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien
merasakan sesak saat pasien mau tidur, saat bangun tidur dan saat berjalan. Pasien merasa
sesak nya berkurang saat posisi bantal nya di tinggikan atau pasien dalam posisi duduk,
selain itu pasien juga mengeluh demam sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit. Demam di
rasakan terus menerus dan pasien juga mengeluh bengkak dan kemerahaan pada kaki kanan
dan terdapat benjolan pada bagian belakang paha, pasien mengeluhkan kakinya seperti panas
dan sakit saat di gunakan untuk berjalan, mual dan muntah (+). Pada pemeriksaan fisik di
dapatkan Pada ekstremitas akral hangat pada tangan dan kaki, ditemukan nyeri tekan pada
tungkai dan pitting oedema pada kaki kanan dan benjolan dan kemerahan pada belakang
paha kanan.
Untuk terapi pasien diberikan NaCl 0,9 sebagai terapi cairan karena sebelumnya pasien
muntah. Kemudian pasien diberikan injeksi furosemid untuk mengurangi caairan berlebih
dalam tubuh, pasien juga mendapat injeksi ceftriaxone karena pada pemeriksaan darah rutin
WBC pasien meningkat dan obat ini di gunakan sebagai antibiotik. isosorbid dinitrat (ISDN)
sebagai agen vasodilator yang berfungsi untuk melebarkan pembuluh darah agar aliran darah
lancar terutama pada pembuluh darah koroner dan mengurangi resiko terjadi
emboli,diberikan dengan cara sublingual dengan tujuan mempercepat distribusi dari obat.
Aspilet dan clopidogrel diberikan pada pasien sebagai agen antiplatelet, untuk mengurangi
agregasi trombosit pada pembuluh darah. ramipril 5 mg diberikan kepada pasien sebagai obat
antihipertensi.
Pada pasien juga diberikan simvastatin 20 mg pada malam hari sebagai agen
hipolipidemik. Selain agen hipolipidemik, simvastatin juga berfungsi sebagai penstabil plak
aterosklerosis, dimana plak aterosklerosis merupakan salah satu hal yang menyebabkan
elastisitas pembuluh darah menurun dan dapat menyebakan ruptur pembuluh darah.
Simvastatin merupakan salah satu obat golongan statin, dimana statin memiliki efek
pleiotropik. Statin juga berfungsi meningkatkan fungsi endotel dari pembuluh darah sehingga
endotel pembuluh darah tidak kaku. Statin juga memiliki efek antitrombotik dengan cara
memblok peningkatan faktor von willebrand selama minggu pertama pengobatan, juga
menghambat faktor V, protein C dan antitrombin III. Statin juga berperan dalam mengurangi

15
adhesi dan kemotaksis molekul yang akan menghambat aktivitas integrin yang juga
memegang peranan dalam proses inflamasi.5 Dan pasien juga mendapat terapi Acetylsalicylic
acid ini adalah sejenis obat turunan dari salisilat yang sering di gunakan sebagai senyawa
analgesik (penahan rasa sakit), antipiretik (penurun demam), dan anti inflamasi (peradangan).

16
BAB V
KESIMPULAN

Berdasarkan tabel interpretasi skor wells di dapatkan hasil interpretasi lebih dari 3 yang
dimana pasien mempunyai high pretest pribability. Penyakit ini tidak menimbulkan kematian,
akan tetapi mempunyai resiko besar untuk timbulnya emboli paru yang dapat menimbulkan
kematian.
Faktor resiko trombosis vena adalah operasi, kehamilan, immobilisasi, kontrasepsi oral,
penyakit jantung, proses keganan dan obesitas.
Manifestasi kliniknya tidak spesifik, sehingga memerlukan pemeriksaan obyektif
lanjutan.
Pengobatan adalah mencegah timbulnya emboli paru, mengurangi morbiditas dan
keluhan post flebitis dan mencegah timbulnya hipertensi pulmonal.
Pengobatan yang di anjurkan adalah pemberian heparin dan dilanjutkan dengan anti
koagulun oral.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Jayanegara AP, . Diagnosis dan tatalaksana Deep Vein Thrombosis. Dep Cardiology &
Vascular Medicine. RSUD dr Doris Sylvanus, palangka raya, kalimantan tengah,
indonesia .vol 43 no 9 tahun 2016.
2. Perhimpunan Dokter Spesialis penyakit jantung dan pembuluh darah Indonesia: Pedoman
Tatalaksana Pada Penyakit Trombosis vena dalam. 2016
3. Suharti C. Pathogenesis and clinical feature of thrombosis in special organ. Dalam :
Kumpulan makalah symposium. Thrombosis in special organ. Badan Penerbit
Universitas Diponegoro.Semarang. 2006: 1-3
4. Suromo L. D-dimer sebagai parameter tambahan untuk trombosis, fibrinolisis dan
penyakit jantung. Dalam : Petanda penyakit kardiovaskuler sebagai Point of Care Test
(POCT). Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang. 2006:31-40
5. Michiels JJ, Reeder-Boertje SWI, van den Bos RR, Wentel TD, Neumann HAM.
Prospective studies on diagnosis and management of deep vein thrombosis (dvt) and the
post-thrombotic syndrome (pts): filling up the gap part 1: deep-vein thrombosis
(dvt).2012:

18
LEMBAR PENGESAHAN REFERAT

Dengan Judul

“Deep Vein Thrombosis”

Dibuat Dalam Rangka Menyelesaikan Tugas Akhir Di Bagian Ilmu


Penyakit Dalam RSUD Undata Palu

24 januari 2019

Mengetahui

Pembimbing Klinik Dokter Muda

Dr. Hasannudin, Sp.JP, FIHA Gina Ayu Laksmita

19
Referat

24 januari 2019

DEEP VEIN THROMBOSIS

DISUSUN OLEH :

Gina Ayu Laksmita

N 111 17 121

PEMBIMBING KLINIK :

dr. Hasannudin, Sp. JP, FIHA

DIBUAT DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD UNDATA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2019

20
21

Anda mungkin juga menyukai