A. DEFINISI
DHF adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengan cirri demam
dan manifestasi perdarahan ( Pusdiknakes. Dep Kes RI, Asuhan Kesehatan Anak Dalam
Konteks Keluarga, 1992)
Dengue Haemoragic Fever adalah infeksi akut yang disebabkan oleh arbovirus dan
ditularkan melalui nyamuk Aedes Aegypti (Ngastiyah, 1997)
Dengue adalah suatu penyakit akut yang disebabkan oleh virus yang ditularkan oleh
nyamuk Aedes Aegypti atau Aedes Albopictus (Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 2 FKUI,
1982)
Dari beberapa sumber di atas dapat disimpulkan bahwa DHF adalah suatu penyakit
infeksi yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes (Aedes Albopictus dan Aedes Aegypti)
dan Arbovirus (Anthropoda virus) yang ditandai dengan adanya demam 5-7 hari dan tidak
atau disertai perdarahan atau renjatan, sehingga dapat meimbulkan kematian jika tidak
ditanggulangi sedini mungkin.
B. ETIOLOGI
Virus dengue
Virus dengue yang menjadi penyebab penyakit ini termasuk ke dalam Arbovirus
(Arthropodborn virus) group B, tetapi dari empat tipe yaitu virus dengue tipe 1,2,3 dan 4
keempat tipe virus dengue tersebut terdapat di Indonesia dan dapat dibedakan satu dari yang
lainnya secara serologis virus dengue yang termasuk dalam genus flavivirus ini berdiameter
40 nonometer dapat berkembang biak dengan baik pada berbagai macam kultur jaringan
baik yang berasal dari sel-sel mamalia misalnya sel BHK (Babby Homster Kidney) maupun
sel-sel Arthropoda misalnya sel Aedes albopictus (Soedarto, 1990; 36)
Vektor
Nyamuk Aedes aegypti maupun Aedes albopictus merupakan vektor penularan virus dengue
dari penderita kepada orang lain melalui gigitan nyamuk. Aedes aegypti merupakan vektor
penting di daerah perkotaan sedangkan di daerah pedesaan kedua nyamuk tersebut berperan
dalam penularan. Nyamuk Aedes berkembang biak pada genangan air bersih yang terdapat
bejana-bejana yang terdapat di dalam rumah maupun yang terdapat di luar rumah, di lubang-
lubang pohon di dalam potongan bambu, dilipatan daun dan genangan air bersih alami
lainnya. Nyamuk betina lebih menyukai menghisap darah korbannya pada siang hari
terutama pada waktu pagi hari dan senja hari (Soedarto, 1990 ; 37).
C. PATOFISIOLOGI
Hal pertama yang terjadi setelah virus masuk ke dalam tubuh penderita adalah virernia
yang menyebabkan penderita mengalami demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal-pegal
di seluruh tubuh, ruam atau bintik-bintik merah pada kulit (petekia), hipertermi dan hal lain
yang mungkin terjadi seperti pembesaran limfe (spleromegali), peningkatan permiabilitas
dinding kafiler mengakibatkan berkurangnya volume plasma, terjadi hipotensi,
hemokonsentrasi dan hipoproteinemia serta effuse plevro dan renjatan syok.
Haemokonsentrasi atau peningkatan hematokrit lebih dari 20 % menunjukkan atau
mengakibatkan adanya kebocoran plasma (perembesan) plasma (plasma kakage) sehingga
nilai hematokrit menjadi penting untuk patokan pemberian cairan intravena, peningkatan
jumlah trombosit menunjukkan kebocoran plasma.
Tingginya nilai hematokrit penderita DHF disebabkan karena :
1. Adanya kebocoran plasma ke daerah ekstraselular melalui kafiler yang rusak dengan
mengakibatkan menurunnya plasma dan meningkatnya nilai hemotokrit bersamaan dengan
menghilangnya plasma melalui endotekal dinding pembuluh darah.
2. Adanya cairan yang tertimbun dalam rongga serosa yaitu dalam rongga peritoneum pleura
pada otopsi ternyata melebihi cairan yang diberikan melalui infuse
PATHWAY
Virus Dengue
Viremia
Kehilangan
plasma
Resti Gangguan
Nutrisi kurang dari Hipovolemia
kebutuhan Resiko tjd Efusi pleura
Ascites
perdarahan
Hemokonsntrasi
Resiko syok
hipovolemia
Syok
Kematian
E. KLASIFIKASI
Berdasarkan patokan dari WHO (1975) DHF dibagi menjadi 4 derajat :
1. Derajat I
Demam disertai gejala tidak khas, hanya terdapat manifestasi perdarahan. Uji toniket
positif
2. Derajat II
Seperti derajat I disertai perdarahan spontan di kulit disertai perdarahan lain.
3. Derajat III
Ditemukan kegagalan sirkulasi darah dengan adanya nadi cepat dan lemah, tekanan nadi
menurun (hypotensi), gelisah, cianosis sekitar mulut dan ujung-ujung jari (tanda
renjatan) disertai kulit yang dingin dan lembab.
4. Derajat IV
Renjatan Berat (DDS) dengan nadi tidak teraba dan tekanan darah yang tidak dapat
diukur.
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada pemeriksaan Laboratorium didapat :
Haemokonsentrasi (Hematokrit meningkat 20 % atau lebih)
1. Trombositoperia (100.000 / mm3 atau kurang)
2. HB meningkat > 20 %
3. Hasil pemeriksaan kimia darah menunjukan hypoproteinemia dan hipokloremia
4. Lekosit
5. Diagnosis Serologis. Dikenal 5 jenis uji serologis yang biasa dipakai untuk menentukan
adanya infeksi virus dengue, yaitu:
G. PENATALAKSANAAN
1. Medik
a. DHF tanpa Renjatan
Beri minum banyak ( 1 ½ - 2 Liter / hari )
Obat anti piretik, untuk menurunkan panas, dapat juga dilakukan kompres
Jika kejang maka dapat diberi luminal ( antionvulsan ) untuk anak <1th dosis 50 mg
Im dan untuk anak >1th 75 mg Im. Jika 15 menit kejang belum teratasi , beri lagi
luminal dengan dosis 3mg / kb BB ( anak <1th dan pada anak >1th diberikan 5 mg/
kg BB.
Berikan infus jika terus muntah dan hematokrit meningkat
Pada saat fase panas penderita dianjurkan banyak minum air buah atau oralit
yang biasa dipakai untuk mengatasi diare. Apabila hematokrit meningkat lebih dari 20%
dari harga normal, merupakan indikator adanya kebocoran plasma dan ssebaiknya
penderita dirawat di ruang observasi di pusat rehidrasi selama kurun waktu 12-24 jam.
Penderita DBD yang gelisah dengan ujung ekstremitas yang teraba dingin, nyeri
perut dan produksi air kemih yang kurang sebaiknya dianjurkan rawat inap. Penderita
dengan tanda-tanda perdarahan dan hematokrit yang tinggi harus dirawat di rumah sakit
untuk segera memperoleh cairan pengganti.
Volume dan macam cairan pengganti penderita DBD sama dengan seperti yang
digunakan pada kasus diare dengan dehidrasi sedang (6-10% kekurangan cairan) tetapi
tetesan harus hati-hati. Kebutuhan cairan sebaiknya diberikan kembali dalam waktu 203
jam pertama dan selanjutnya tetesan diatur kembali dalam waktu 24-48 jam saat
kebocoran plasma terjadi. Pemeriksaan hematokrit ecara seri ditentukan setiap 4-6 jam
dan mencatat data vital dianjurkan setiap saat untuk menentukan atau mengatur agar
memperoleh jumlah cairan pengganti yang cuykup dan cegah pemberian transfusi
berulang. Perhitungan secara kasar sebagai berikut :
Jumlah cairan yang dibutuhkan adalah volume minimal cairan pengganti yang
cukup untuk mempertahankan sirkulasi secara efektif selama periode kebocoran (24-48
jam), pemberian cairan yang berlebihan akan menyebabkan kegagalan faal pernafasan
(efusi pleura dan asites), menumpuknya cairan dalam jaringan paru yang berakhir
dengan edema.
Kebutuhan Cairan
Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan tergantung dari umur dan
berat badan pasien serta derajat kehilangan plasma sesuai dengan derajat
hemokonsentrasi yang terjadi. Pada anak yang gemuk, kebutuhan cairan disesuaikan
dengan berat badan ideal anak umur yang sama. Kebutuhan cairan rumatan dapat
diperhitungkan dari tabel berikut.
Biasanya dijumpai kelaian asam basa dan elektrolit (hiponatremi). Dalam hal ini
perlu dipikirkan kemungkinan dapat terjadi DIC. Terkumpulnya asam dalam darah
mendorong terjadinya DIC yang dapat menyebabkan terjadinya perdarahan hebat dan
renjatan yang sukar diatasi.
Penggantian secara cepat plasma yang hilang digunakan larutan gaam isotonik
(Ringer Laktat, 5% Dekstrose dalam larutan Ringer Laktat atau 5% Dekstrose dalam larutan
Ringer Asetat dan larutan normal garam faali) dengan jumlah 10-20 ml/kg/1 jam atau pada
kasus yang sangat berat (derajat IV) dapat diberikan bolus 10 ml/kg (1 atau 2x).
Jika syok berlangsung terus dengan hematokrit yang tinggi, larutan koloidal
(dekstran dengan berat molekul 40.000 di dalam larutan normal garam faal atau plasma)
dapat diberikan dengan jumlah 10-20 ml/kg/jam.
Selanjutnya pemberian cairan infus dilanjutkan dengan tetesan yang diatur sesuai
dengan plasma yang hilang dan sebagai petunjuk digunakan harga hematokrit dan tanda-
tanda vital yang ditemukan selama kurun waktu 24-48 jam. Pemasangan cetral venous
pressure dan kateter urinal penting untuk penatalaksanaan penderita DBD yang sangat berat
dan sukar diatasi. Cairan koloidal diindikasikan pada kasus dengan kebocoran plasma yang
banyak sekali yang telah memperoleh cairan kristaloid yang cukup banyak.
Pada kasus bayi, dianjurkan 5% dekstrose di dalam setengah larutan normal garam
faali (5% dekstrose ½NSS) dipakai pada awal memperbaiki keadaan penderita dan 5%
dekstrose di dalam 1/3 larutan normal garam faali boleh diberikan pada bayi dibawah 1
tahun, jika kadar natrium dalam darah normal. Infus dapat dihentikan bila hematokrit turun
sampai 40% dengan tanda vital stabil dan normal. Produksi urine baik merupakan indikasi
sirkulasi dalam ginjal cukup baik. Nafsu makan yang meningkat menjadi normal dan
produksi urine yang cukup merupakan tanda penyembuhan.
Pada umumnya 48 jam sesudah terjadi kebocoran atau renjatan tidak lagi
membutuhkan cairan. Reabsorbsi plasma yang telah keluar dari pembuluh darah
membutuhkan waktu 1-2 hari sesudahnya. Jika pemberian cairan berkelebihan dapat terjadi
hipervolemi, kegagalan faal jantung dan edema baru. Dalam hal ini hematokrit yang
menurun pada saat reabsorbsi jangan diintepretasikan sebagai perdarahan dalam organ.
Pada fase reabsorbsi ini tekanan nadi kuat (20 mmHg) dan produksi urine cukup dengan
tanda-tanda vital yang baik.
H. KOMPLIKASI
Ensefalopati Dengue.
Pada umumnya ensefalopati terjadi sebagai komplikasi syok yang berkepanjangan dengan
perdarahan, tetapi dapat juga terjadi pada DHF yang tidak disertai syok. Gangguan
metabolik seperti hipoksemia, hiponatremia, atau perdarahan, dapat menjadi penyebab
terjadinya ensefalopati. Melihat ensefalopati DHF bersifat sementara, maka kemungkinan
dapat juga disebabkan oleh trombosis pembuluh darah otak sementara sebagai akibat dari
koagulasi intravaskular diseminata (KID).
Gagal Ginjal Akut.
Gagal ginjal akut pada umumnya terjadi pada fase terminal, sebagai akibat dari syok yang
tidak teratasi dengan baik.
Edema Paru.
Edema paru adalah komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat berlebihan pemberian
cairan. Pemberian cairan pada hari ketiga sampai kelima sesuai panduan yang diberikan,
biasanya tidak akan menyebabkan edema paru oleh karena perembesan plasma masih
terjadi. Akan tetapi apabila pada saat terjadi reabsorbsi plasma dari ruang ekstra, apabila
cairan masih diberikan (kesalahan terjadi bila hanya melihat penurunan kadar hemoglobin
dan hematokrit tanpa memperhatikan hari sakit) pasien akan mengalami distres pernafasan,
disertai sembab pada kelopak mata, dan tampak adanya gambaran edema paru pada foto
dada.
Komplikasi iatrogenik.
Komplikasi ini terjadi akibat infeksi pada tubuh pasien yang diakibatkan karena keteledoran
tenaga kesehatan dalam teknik steril, sehingga menimbulkan infeksi. Perawatan harus
dilakukan secara hati-hati untuk mencegah komplikasi iatrogenik dalm pengobatan DHF.
Komplikasi ini termasuk sepsis, pneumonia, infeksi luka dan dehidrasi berlebihan.
Penggunaan jalur intravena terkontaminasi dapat menyebabkan sepsis gram negatif yang
disertai dengan demam, syok, dan perdarahan berat.
Perdarahan Luas
Pecahnya pembuluh darah kapiler di kulit, terjadinya trombositopenia, menurunnya fungsi
trombosit dan faktor koagulasi (protombin dan fibrinogen) merupakan faktor penyebab
terjadinya perdarahan hebat dan luas, terutama perdarahan saluran gastrointestinal pada
DHF.
Syok dan penurunan kesadaran.
Dimulai dengan penurunan suhu tubuh secara tiba-tiba, akral dingin, nadi lemah, tekanan
darah sangat rendah, dan kebiruan pada bibir akan menyebabkan terjadinya penurunan
kesadaran kemudian akan menjadi syok atau renjatan.
Efusi Pleura.
Penumpukan cairan di daerah paru-paru dapat mengakibatkan terkumpulnya cairan di
rongga pleura sehingga dapat menimbulkan efusi pleura.
I. KONSEP ASKEP
Pengkajian
1) Identitas pasien
2) Keluhan utama
6) Riwayat psikososial
b. Data subyektif
atau keluarga pada pasien DHF, data subyektif yang sering ditemukan
antara lain :
2) Sakit kepala
4) Lemah
5) Nyeri ulu hati, otot dan sendi
6) Konstipasi
c. Data obyektif
Diagnosa Keperawatan
1. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi penyakit (viremia)
2. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan perpindahan cairan di
vaskuler
3. Resiko syok hipovolemik berhubungan dengan perdarahan (penurunan trombosit)
4. Resiko perdarahan berhubungan dengan penurunan faktor-faktor pembekuan darah
Rencana Dan Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Keperawatan NOC NIC
1 Hipertermia Setelah dilakukan tindakan Monitoring:
keperawatan ....x24 jam, suhu tubuh 1. Monitor temperature pasien secara teratur
Dihubungkan dengan: kembali dalam batas normal 2. Monitor kehilangan cairan
- Anesthesia Kriteria hasil: 3. Monitor hematokrit
- Penurunan perspirasi 4. Monitor intake and output
- Dehidrasi No Kriteria Score 5. Monitor elektrolit yang tidak normal
- Terpapar lingkungan
yang panas 1 Temperature : 5 Mandiri:
- Peningkatan metabolic (36,5 – 37,5 °c) 1. Mengkaji saat timbulnya demam
rate 2. Berikan kompres
- Penyakit 2 Tidak terdapat 5 3. Anjurkan klien memakai pakaian dari bahan
- Pengobatan pusing yang tipis/menyerap keringat
- Trauma
Aktivitas yang 3 Tidak terdapat 5 Pendidikan kesehatan:
berat perubahan warna 1. Jelaskan tanda-tanda hipertermia, seperti kulit
kulit keerahan, kelemahan, sakit kepala/bingung,
nafsu makan menurun
4 Tidak menggigil 5 2. Ajari pentingnya mempertahankan masukan
5 Nadi :(n : 60-100 5 cairan yang adekuat untuk mencegah dehidrasi
3. Berikan penjelasan tentang penyebab demam
x/mnt)
atau peningkatan suhu tubuh.
6 Tekanan darah : 5 4. Berikan penjelasan pada klien/keluarga tentang
hal-hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi
(100-140/60- demam
90mmhg)
Kolaborasi:
7 Respirasi : (18- 5 1. Kolaborasi pemberian antipiretik sesuai
24x/menit) dengan anjuran
8 Hidrasi adekuat 5 2. Berikan terapi intravena sesuai anjuran
Keterangan :
1. Ekstrim
2. Berat
3. Sedang
4. Ringan
5. Tidak
1. Staf Pengajar FKUI. 1985. Kuliah Ilmu Kesehatan Anak II. Jakarta
2. Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta : CGC
3. Marsjoer A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi II Jilid I. Jakarta : Media Aesculopius
4. Doenges, ME. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Panduan Untuk Perencanaan dan
Pendomentasian Perawatan Pasien Edisi III. DiIndonesiakan oleh made Kariasa dan Ni made
Sumarwati. Jakarta : CGC
5. Pusdiknakes Dep Kes RI. Asuhan Kesehatan Anak Dalam konteks Keluarga. 1992
n
KEMENTRIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN MALANG
JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN LAWANG
JANUARI 2019