Anda di halaman 1dari 19

1. Definisi hipersensitivitas.

Hipersensitivitas (atau reaksi hipersensitivitas) adalah reaksi berlebihan, tidak


diinginkan karena terlalu senisitifnya respon imun (merusak, menghasilkan
ketidaknyamanan, dan terkadang berakibat fatal) yang dihasilkan oleh sistem imun.

Reaksi hipersensitivitas berdasarkan mekanisme dan waktu yang dibutuhkan untuk


reaksi, dibagi menjadi empat tipe: tipe I, tipe II, tipe III, dan tipe IV. Penyakit tertentu
dapat dikarenakan satu atau beberapa jenis reaksi hipersensitivitas.[1]

Hipersensitifitas tipe I disebut juga sebagai hipersensitivitas tipe segera. Reaksi ini
berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring, jaringan bronkopulmonari, dan saluran
gastrointestinal. Reaksi ini dapat mengakibatkan gejala yang beragam, mulai dari
ketidaknyamanan kecil hingga kematian. Waktu reaksi berkisar antara 15-30 menit
setelah terpapar antigen, namun terkadang juga dapat mengalami keterlambatan
awal hingga 10-12 jam. Hipersensitivitas tipe I diperantarai oleh imunoglobulin
E (IgE). Komponen seluler utama pada reaksi ini adalah sel mast atau basofil.
Reaksi ini diperkuat dan dipengaruhi oleh trombosit, neutrofil, dan eosinofil.

Uji diagnostik yang dapat digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas tipe I adalah
tes kulit (tusukan dan intradermal) dan ELISA untuk mengukur IgE total dan antibodi
IgE spesifik terhadap alergen (antigen tertentu penyebab alergi) yang dicurigai.
Peningkatan kadar IgE merupakan salah satu penanda terjadinya alergi akibat
hipersensitivitas pada bagian yang tidak terpapar langsung oleh alergen). Namun,
peningkatan IgE juga dapat dikarenakan beberapa penyakit non-atopik seperti infeksi
cacing dan mieloma.

Pengobatan yang dapat ditempuh untuk mengatasi hipersensitivitas tipe I adalah


menggunakan antihistamin, penggunaan Imunoglobulin
G(IgG), hyposensitization (imunoterapi atau desensitization) untuk beberapa alergi
tertentu.[1]

Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi berupa imunoglobulin G (IgG)


dan imunoglobulin M (IgM) terhadap antigen pada permukaan sel dan matriks
ekstraseluler. Kerusakan akan terbatas atau spesifik pada sel atau jaringan yang
secara langsung berhubungan dengan antigen tersebut. Pada umumnya, antibodi
yang langsung berinteraksi dengan antigen permukaan sel akan bersifat patogenik
dan menimbulkan kerusakan pada target sel.[2]

Hipersensitivitas dapat melibatkan molekul komplemen yang berikatan dengan


antibodi sel sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan jaringan. Beberapa tipe
dari hipersensitivitas tipe II adalah:

 Pemfigus (IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler di antara sel epidermal),


 Anemia hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin yang dapat
menempel pada permukaan sel darah merah dan berperan seperti hapten untuk
produksi antibodi kemudian berikatan dengan permukaan sel darah merah dan
menyebabkan lisis sel darah merah)
 Sindrom Goodpasture (IgG bereaksi dengan membran
permukaan glomerulus sehingga menyebabkan kerusakan ginjal).[3]

Hipersensitivitas tipe III merupakan hipersensitivitas kompleks imun. Hal ini


disebabkan adanya pengendapan kompleks antigen-antibodi yang kecil dan terlarut
di dalam jaringan. Hal ini ditandai dengan timbulnya inflamasi atau peradangan.
Pada kondisi normal, kompleks antigen-antibodi yang diproduksi dalam jumlah besar
dan seimbang akan dibersihkan dengan adanya fagosit. Namun, kadang-kadang,
kehadiran bakteri, virus, lingkungan, atau antigen (spora fungi, bahan sayuran, atau
hewan) yang persisten akan membuat tubuh secara otomatis memproduksi antibodi
terhadap senyawa asing tersebut sehingga terjadi pengendapan kompleks antigen-
antibodi secara terus-menerus. Hal ini juga terjadi pada penderita penyakit autoimun.
Pengendapan kompleks antigen-antibodi tersebut akan menyebar pada membran
sekresi aktif dan di dalam saluran kecil sehingga dapat memengaruhi
beberapa organ, seperti kulit, ginjal, paru-paru, sendi, atau dalam bagian koroid
pleksus otak.[4]

Patogenesis kompleks imun terdiri dari dua pola dasar, yaitu kompleks imun karena
kelebihan antigen dan kompleks imun karena kelebihan antibodi. Kelebihan antigen
kronis akan menimbulkan penyakit serum (serum sickness) yang dapat memicu
terjadinya artritis atau glomerulonefritis. Kompleks imun karena kelebihan antibodi
disebut juga sebagaireaksi Arthus, diakibatkan oleh paparan antigen dalam dosis
rendah yang terjadi dalam waktu lama sehingga menginduksi timbulnya kompleks
dan kelebihan antibodi. Beberapa contoh sakit yang diakibatkan reaksi Arthus adalah
spora Aspergillus clavatus dan A. fumigatus yang menimbulkan sakit pada paru-
paru pekerja lahan gandum (malt) dan sporaPenicillium casei pada paru-paru
pembuat keju.[4]

Hipersensitivitas tipe IV dikenal sebagai hipersensitivitas yang diperantarai sel atau


tipe lambat (delayed-type). Reaksi ini terjadi karena aktivitas perusakan jaringan oleh
sel T dan makrofag. Waktu cukup lama dibutuhkan dalam reaksi ini untuk aktivasi
dan diferensiasi sel T, sekresi sitokin dan kemokin, serta akumulasi makrofag dan
leukosit lain pada daerah yang terkena paparan. Beberapa contoh umum dari
hipersensitivitas tipe IV adalah hipersensitivitas pneumonitis, hipersensitivitas kontak
(kontak dermatitis), dan reaksi hipersensitivitas tipe lambat kronis (delayed type
hipersensitivity, DTH).[5]

Hipersensitivitas tipe IV dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori berdasarkan


waktu awal timbulnya gejala, serta penampakan klinis dan histologis. Ketiga kategori
tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.[1]

Wakt
u Penampakan
Tipe Histologi Antigen dan situs
reak klinis
si

Epidermal (senyawa
Limfosit,
48-72 Eksem (ekze organik, jelatang atau po
Kontak diikuti makrofag;
jam ma) ison ivy, logam berat ,
edema epidermidis
dll.)

Pengerasan
Tuberkuli 48-72 Limfosit, monosit, Intraderma (tuberkulin,
(indurasi)
n jam makrofag lepromin, dll.)
lokal

Antigen persisten atau


Makrofag, epitheloid senyawa asing dalam
Granulo 21-28
Pengerasan dan sel raksaksa, tubuh
ma hari
fibrosis (tuberkulosis, kusta,
etc.)
2. Definisi alergi

Alergi adalah reaksi sistem kekebalan tubuh terhadap sesuatu yang


dianggap berbahaya walaupun sebenarnya tidak berbahaya. Ini bisa
berupa substansi yang masuk atau bersentuhan dengan tubuh Alergen
atau substansi pemicu alergi hanya berdampak pada orang yang memiliki
alergi tersebut. Pada orang lain, alergen tersebut tidak akan memicu
reaksi kekebalan tubuh. Beberapa jenis substansi yang dapat
menyebabkan reaksi alergi meliputi gigitan serangga, tungau debu, bulu
hewan, obat-obatan, makanan tertentu, serta serbuk sari.
Saat tubuh pertama kali berpapasan dengan sebuah alergen, tubuh akan
memproduksi antibodi karena menganggapnya sebagai sesuatu yang
berbahaya. Jika tubuh kembali kontak dengan alergen yang sama, tubuh
akan meningkatkan jumlah antibodi terhadap jenis alergen tersebut. Hal
inilah yang memicu pelepasan senyawa kimia dalam tubuh (histamin) dan
menyebabkan gejala-gejala alergi.

3. Definisi asma bronkial


Asma bronkial atau disebut juga bengek adalah suatu penyakit kronis
yang ditandai dengan adanya peningkatan kepekaan saluran napas
terhadap berbagai rangsang dari luar (debu, serbuk bunga, udara dingin,
makanan dll) yang menyebabkan penyempitan saluran napas yang
meluas dan dapat sembuh spontan atau dengan pengobatan.

4. PF asma bronkial
Obstruksi saluran napas pada asma merupakan kombinasi spasme otot bronkus,
sumbatan mukus, edema dan inflamasi dinding bronkus. Obstruksi bertambah
berat selama ekspirasi karena secara fisiologis saluran napas menyempit pada
fase tersebut. Hal ini mengakibatkan udara distal tempat terjadinya obstruksi
terjebak tidak bisa diekspirasi. Selanjutnya terjadi peningkatan volume residu,
kapasitas residu fungsional (KRF) dan pasien akan bernapas pada volume yang
tinggi mendekati kapasitas paru total (KPT). Keadaan hiperinflasi ini bertujuan
agar saluran napas tetap terbuka dan pertukaran gas berjalan lancar. Untuk
mempertahankan hiperinflasi ini diperlukan otot-otot bantu napas. Gangguan
yang berupa obstruksi saluran napas dapat dinilai secara obyektif dengan VEP1
(Volume Ekspirasi Paksa detik pertama) atau APE (Arus Puncak Ekspirasi)
sedangkan penurunan KVP (Kapasitas Vital Paru) menggambarkan derajat
hiperinflasi paru. Penyempitan saluran napas dapat terjadi baik pada saluran
napas yang besar, sedang maupun kecil. Gejala mengi menandakan ada
penyempitan di saluran napas besar, sedangkan pada saluran napas yang kecil
gejala batuk dan sesak lebih dominan dibanding mengi.
Penyempitan saluran napas ternyata tidak merata di seluruh bagian paru.
Ada daerah-daerah yang kurang mendapat ventilasi, sehingga darah
kapiler yang melalui daerah tersebut mengalami hipoksemia. Penurunan
PaO2 mungkin merupakan kelainan pada asma sub-klinis. Untuk
mengatasi kekurangan oksigen, tubuh melakukan hiperventilasi, agar
kebutuhan oksigen terpenuhi. Tetapi akibatnya pengeluaran CO2 menjadi
berlebihan sehingga PaCO2 menurun yang kemudian menimbulkan
alkalosis respiratorik. Pada serangan asma yang lebih berat lagi banyak
saluran napas dan alveolus tertutup oleh mukus sehingga tidak
memungkinkan lagi terjadinya pertukaran gas. Hal ini menyebabkan
hipoksemia dan kerja otot-otot pernapasan bertambah berat serta terjadi
peningkatan produksi CO2.Peningkatan produksi CO2 yang disertai dengan
penurunan ventilasi alveolus menyebabkan retensi CO2 (hiperkapnia) dan
terjadi asidosis respiratorik atau gagal napas. Hipoksemia yang
berlangsung lama menyebabkan asidosis metabolik dan konstriksi
pembuluh darah paru yang kemudian menyebabkan shunting yaitu
peredaran darah tanpa melalui unit pertukaran gas yang baik, yang
akibatnya memperburuk hiperkapnia. Dengan demikian penyempitan
saluran napas pada asma akan menimbulkan hal-hal sebagai berikut : 1).
Gangguan ventilasi berupa hipoventilasi. 2). Ketidakseimbangan ventilasi
perfusi di mana distribusi ventilasi tidak setara dengan sirkulasi darah
paru. 3). Gangguan difusi gas di tingkat alveoli. Ketiga faktor tersebut
akan mengakibatkan : hipoksemia, hiperkapnia, asidosis respiratorik pada
tahap yang sangat lanjut.

a. Epidemiologi
Asma merupakan penyakit dengan karakteristik meningkatnya reaksi trakea dan
bronkus oleh berbagai macam pencetus disertai dengan timbulnya penyempitan
luas saluran nafas bagian bawah yang dapat berubah-ubah derajatnya secara
spontan atau dengan pengobatan.
Asma merupakan penyebab utama penyakit kronis pada masa kanak-kanak,
menyebabkan kehilangan hari-hari sekolah yang berarti, karena penyakit kronis.
Asma merupakan diagnosis masuk yang paling sering di rumah sakit anak dan
berakibat kehilangan 5-7 hari sekolah secara nasional/tahun/anak.Sebanyak
10-15% anak laki-laki dan 7-10% anak wanita dapat menderita asma pada
suatu saat selama masa kanak-kanak. Sebelum pubertas sekitar dua kali
anak laki-laki yang lebih banyak terkena daripada anak wanita; setelah itu
insidens menurut jenis kelamin sama. Asma dapat menyebabkan gangguan
psikososial pada keluarga. Namun dengan pengobatan yang tepat,
pengendalian gejala yang memuaskan hampir selalu dimungkinkanDari
tahun ke tahun prevalensi penderita asma semakin meningkat. Di Indonesia,
penelitian pada anak sekolah usia 13-14 tahun dengan menggunakan kuesioner
ISAAC (International Study on Asthma and Allergy in Children) tahun 1995
menunjukkan, prevalensi asma masih 2,1%, dan meningkat tahun 2003 menjadi
dua kali lipat lebih yakni 5,2%. Kenaikan prevalensi di Inggris dan di Australia
mencapai 20-30%. National Heart, Lung and Blood Institute melaporkan bahwa
asma diderita oleh 20 juta penduduk amerika. Data pada pewarisan asma
adalah paling cocok dengan determinan poligenik atau multifaktorial. Anak
dengan satu orangtua yang terkena mempunyai resiko menderita asma sekitar
25%; risiko bertambah menjadi sekitar 50% jika kedua orangtua asmatis.
Namun, asma tidak secara universal ada pada kembar monozigot. Labilitas
bronkial dalam responsnya terhadap uji olahraga juga telah diperagakan pada
anggota keluarga anak asmatis yang sehat. Kecenderungan genetik bersama
dengan faktor lingkungan dapat menjelaskan kebanyakan kasus asma masa
kanak-kanak. Asma dapat timbul pada segala umur; 30% penderita
bergejala pada umur 1 tahun, sedang 80-90% anak asma mempunyai
gejala pertamanya sebelum umur 4-5 tahun. Perjalanan dan keparahan
asma sukar diramal. Sebagian besar anak yang terkena kadang-kadang
hanya mendapat serangan ringan sampai sedang, relatif mudah ditangani.
Sebagian kecil mengalami asma berat yang berlarut-larut, biasanya lebih
banyak yang terus menerus daripada yang musiman; menjadikannya tidak
mampu dan mengganggu kehadirannya di sekolah, aktivitas bermain, dan
fungsi dari hari ke hari.

Alergen, Infeksi, Exercise (Stimulus Imunologik dan Non Imunologik)

Merangsang sel B untuk membentuk IgE dengan bantuan sel T helper


IgE diikat oleh sel mastosit melalui reseptor FC yang ada di jalan napas

Apabila tubuh terpajan ulang dengan antigen yang sama, maka antigen tersebut akan diikat oleh IgE yang
sudah ada pada permukaan mastosit

Akibat ikatan antigen-IgE, mastosit mengalami degranulasi dan melepaskan mediator radang ( histamin )

Peningkatan permeabilitas kapiler ( edema bronkus )

Kontraksi otot polos secara langsung atau melalui persarafan simpatis ( N.X )

Hiperresponsif jalan napas

Astma

Gangguan pertukaran gas, tidak efektif bersihan jalan nafas, dan tidak efektif pola nafas berhubungan
dengan bronkospasme, edema mukosa dan meningkatnya produksi sekret.

Fatigue berhubungan dengan hypoxia meningkatnya usaha nafas.

Kecemasan berhubungan dengan hospitalisasi dan distress pernafasan

Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan meningkatnya pernafasan dan menurunnya intake
cairan

Perubahan proses keluarga berhubungan dengan kondisi kronik

Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan proses penyakit dan pengobatan


b. Etiologi

Faktor ekstrinsik :reaksi antigen- antibodi; karena inhalasi alergen


(debu, serbuk-serbuk, bulu-bulu binatang).
Faktor intrinsik; infeksi : para influenza virus,
pneumonia,Mycoplasma..Kemudian dari fisik; cuaca dingin,
perubahan temperatur. Iritan; kimia.Polusi udara ( CO, asap
rokok, parfum ). Emosional; takut, cemas, dan tegang. Aktivitas
yang berlebihan juga dapat menjadi faktor pencetus.

c. Faktor resiko
1. paparan alergen (tungau debu rumah, bulu binatang, kecoa, serbuk
sari, dan jamur >> hipersensitivitas tipe I),
2. pekerjaan (toluen diisosianat >> pembuatan plastik; metilik anhidrida
>> resin untuk lem, cat, dan lain-lain)
3. iritasi (asap rokok, GERD)
4. infeksi saluran pernapasan (virus >> menurunkan ambang rangsang
vagal subepitelial),
5. olahraga (CO2 >> kemoreseptor pada arcus aorta dan sinus caroticus –
medula oblongata – korteks – medula spinalis – saraf efektor – otot
pernapasan; suhu >> termoreseptor N. Vagus – otak – N. Vagus
motorik – asetilkolin – depolarisasi Ca – pecahnya sel mast karena
deposit kalsium bertambah di dalam sel itu – histamin – merupakan
amin vasoaktif – bronkokonstriksi dan edema bronkus karena
peningkatan permeabilitas vaskular),
6. ekspresi emosional yang kuat (meningkatkan rangsangan vagal >>
parasimpatis),
7. bahan kimia dan obat-obatan (aspirin >> jalur siklooksigenase
dihambat – jalur lipoksigenase berlebihan – leukotrien; beta-blocker –
menghambat adrenoreseptor beta-2 di paru-paru yang berfungsi untuk
bronkodilatasi, reseptor beta-1 terdapat di jantung).

d. Patogenesis
Dahulu diakui yang berperan pada patogenesis asma adalah spasme otot polos
bronkus yang disebabkan lepasnya mediator-mediator sel mast. Doktrin ini
kemudian direvisi setelah diketahui bahwa inflamasi saluran nafas merupakan
mekanisme utama yang bertanggung jawab terhadap hipereaktivitas saluran
nafas, dan ternyata berbagai sel inflamasi terlibat pada patogenesis ini terutama
limfosit dan eosinofil. Sel-sel inflamasi tersebut menghasilkan bermacam-macam
mediator yang saling berinteraksi menimbulkan berbagai efek patologik yang
bertanggung jawab terhadap hipereaktivitas saluran nafas dan gejala klinik asma.
Inflamasi saluran nafas pada asma dibuktikan dari gambaran histopatologik
mukosa bronkus dan gambaran sel pada kurasan bronkoalveolar (1).
Rangsangan atau pencetus yang sering menimbulkan serangan asma perlu
diketahui dan sedapatnya dihindarkan. Faktor-faktor tersebut adalah :

1. Alergen utama debu rumah, spora jamur dan tepung sari rerumputan.

2. iritan seperti asap, bau-bauan, polutan.

3. infeksi saluran nafas terutama yang disebabkan oleh virus.

4. Perubahan cuaca yang ekstrim.

5. Kegiatan jasmani yang berlebihan.

6. Lingkungan kerja.

7. Obat-obatan.

8. Emosi.

e. Manifestasi klinis
Biasanya pada penderita yang sedang bebas serangan tidak ditemukan
gejala klinis, tapi pada saat serangan penderita tampak bernafas cepat dan
dalam, gelisah, duduk dengan menyangga ke depan, serta tanpa otot-otot
bantu pernafasan bekerja dengan keras. Gejala klasik: sesak nafas, mengi
(wheezing), batuk, dan pada sebagian penderita ada yang merasa nyeri di
dada. Pada serangan asma yang lebih berat, gejala yang timbul makin
banyak, antara lain: silent chest, sianosis, gangguan kesadaran, hiperinflasi
dada, takikardi, dan pernafasan cepat-dangkal. Serangan asma sering
terjadi pada malam hari.

f. Komplikasi
1. Status asmatikus adalah setiap serangan asma berat atau yang
kemudian menjadi berat dan tidak memberikan respon (refrakter)
adrenalin dan atau aminofilin suntikan dapat digolongkan pada status
asmatikus. Penderita harus dirawat dengan terapi yang intensif.
2. Atelektasis adalah pengerutan sebagian atau seluruh paru-paru
akibat penyumbatan saluran udara (bronkus maupun bronkiolus) atau
akibat pernafasan yang sangat dangkal.
3. Hipoksemia adalah tubuh kekurangan oksigen
4. Pneumotoraks adalah terdapatnya udara pada rongga pleura yang
menyebabkan kolapsnya paru.
5. Emfisema adalah penyakit yang gejala utamanya adalah penyempitan
(obstruksi) saluran nafas karena kantung udara di paru menggelembung
secara berlebihan dan mengalami kerusakan yang luas.

5. Definisi urtikaria akut

Urtikaria (dikenal juga dengan “hives, gatal-gatal, kaligata, atau biduran”)


adalah kondisi kelainan kulit berupa reaksi vaskularterhadap bermacam-
macam sebab, biasanya disebabkan oleh suatu reaksi alergi, yang
mempunyai ciri-ciri berupa kulit kemerahan (eritema) dengan
sedikit oedem atau penonjolan (elevasi) kulit berbatas tegas yang timbul
secara cepat setelah dicetuskan oleh faktor presipitasi dan menghilang
perlahan-lahan.Meskipun pada umumnya penyebab urtikaria diketahui
karena rekasi alergi terhadap alergen tertentu, tetapi pada kondisi lain
dimana tidak diketahui penyebabnya secara signifikan, maka dikenal
istilah urtikaria idiopatik. Urtikaria adalah gangguan dermatologiyang paling
sering terlihat di UGD. Eritema berbatas tegas dan edema yang
melibatkan dermis dan epidermis yang sangat gatal. Urtikaria dapat
bersifat akut (berlangsung kurang dari 6 minggu) atau kronis (lebih dari 6
minggu). Berbagai macam varian urtikaria antara lain imunoglobulin E akut
(IgE)-dimediasi urtikaria, kimia-induced urticaria (non-IgE-mediated),
vaskulitis urtikaria, urtikaria autoimun, urtikaria kolinergik, urtikaria dingin,
mastositosis, Muckle-Wells syndrome, dan banyak lainnya. [1]Urtikaria
mungkin memiliki kemiripan dengan berbagai penyakit kulit lain yang serupa
dalam penampilan antara lain pruritustermasuk dermatitis atopik
(eksem), erupsi obat makulopapular, dermatitis kontak, gigitan serangga,
eritema multiforme, pityriasis rosea, dan lainnya biasanya.
Namun, dokter yang berpengalaman mampu membedakan ini dari urtikaria
karena penampilannya yang khas (lihat gambar). [2]Sejumlah faktor,
baik imunologi dan nonimunologik, dapat terlibat
dalam patogenesis terjadinya urtikaria. Urtikaria dihasilkan dari
pelepasan histamin dari jaringan sel mast dan dari sirkulasi basofil. Faktor-
faktor nonimunologik yang dapat melepaskan histamin dari sel tersebut
meliputi bahan-bahan kimia, beberapa obat-obatan
(termasuk morfin dan kodein), makan makanan laut sepertilobster, kerang,
dan makanan-makanan lain, toksin bakteri, serta agen fisik. Mekanisme
imunologik kemungkinan terlibat lebih sering pada urtikaria akut daripada
urtikaria kronik. Mekanisme yang paling sering adalah
reaksi hipersensitivitas tipe I yang distimulasi oleh antigen polivalen yang
mempertemukan dua molekul Ig E spesifik yang mengikat sel mast atau
permukaan basofil.

6. PF urtikaria akut

Proses urtikaria akut dimulai dari ikatan antigen pada reseptor IgE yang
saling berhubungan dan kemudian menempel pada sel mast atau basofil.
Selanjutnya, aktivasi dari sel mast dan basofil akan memperantarai
keluarnya berbagai mediator peradangan. Sel mast menghasilkan
histamine, triptase, kimase, dan sitokin. Bahan-bahan ini meningkatkan
kemampuan degranulasi sel mast dan merangsang peningkatan aktivitas
ELAM dan VCAM, yang memicu migrasi limfosit dan granulosit menuju
tempat terjadinya lesi urtikaria (Anonimous, 2007). Peristiwa ini memicu
peningkatan permeabilitas vascular dan menyebabkan terjadinya edema
lokal yang dikenal sebagai bintul (wheal). Pasien merasa gatal dan
bengkak pada lapisan dermal kulit. Urtikaria akut bisa terjadi secara
sistemik jika allergen diserap kulit lebih dalam dan mencapai sirkulasi.
Kondisi ini terjadi pada urtikaria kontak, misalnya urtikaria yang terjadi
karena pemakaian sarung tangan latex, dimana latex diserap kulit dan
masuk ke aliran darah, sehingga menyebabkan urtikaria sistemik.
Urtikaria akut juga bisa terjadi pada stimulasi sel mast tanpa adanya ikatan
IgE dengan allergen. Misalnya, pada eksposure pada media radiocontrast,
dimana pada saat proses radiologi berlangsung, akan terjadi perubahan
osmolalitas pada lingkungan yang mengakibatkan sel mast berdegranulasi
(Anonimous, 2007).
a. Epidemiologi

Urtikaria sering dijumpai pada semua umur, orang dewasa lebih banyak
mengalami urtikaria dibanding orang muda. Umur rata-rata penderita
urtikaria adalah 35 tahun, dan jarang dijumpai pada umur kurang dari 10
tahun atau lebih dari 60 tahun.(1,4,6,7) Beberapa referensi mengatakan
urtikaria lebih sering mengenai wanita dibanding laki-laki yaitu 4:1,
namun perbandingan ini bervariasi pada urtikaria yang lain.
Urtikaria merupakan penyakit kulit yang sering dijumpai. Usia, ras, jenis
kelamin, pekerjaan, lokasi geografik, dan musim dapat menjadi agen predisposisi
bagi urtikaria. Berdasarkan data dari National Ambulatory Medical Care Survey
dari tahun 1990 sampai dengan 1997 di USA, wanita terhitung 69% dari semua
pasien urtikaria yang datang berobat ke pusat kesehatan. Distribusi usia paling
sering adalah 0-9 tahun dan 30-40 tahun. Urtikaria disebut akut jika berlangsung
kurang dari 6 minggu. Paling sering episode akut pada anak-anak adalah karena
reaksi merugikan atau efek samping dari makanan atau karena penyakit-penyakit
virus. Episode urtikaria yang persisten melebihi 6 minggu disebut kronik dan
paling sering adalah urtikaria idiopatik atau urtikaria yang disebabkan karena
autoimun. Sekitar 50% pasien dengan urtiakria sendirian tanpa lesi kulit lainnya
dapat bebas dari lesi dalam 1 tahun, 65% dalam 3 tahun, dan 85% dalam 5 tahun;
kurang dari 5% lesi hilang lebih dari 10 tahun.
Lesi urtikaria dapat berupa papul-papul merah pea-sized (sebesar kacang
polong) sampai gambaran circinate (lingkaran) besar dengan batas-batas
kemerahan dan putih di sentral yang dapat menutupi seluruh bagian dari badan.
Vesikel-vesikel dan bula dapat tampak dalam kasus yang berat, bersamaan dengan
efusi hemoragik. Bentuk berat dari urtikaria disebut juga angioedema. Ia dapat
mengenai seluruh bagian tubuh, seperti bibir atau tangan. Oedem glotis dan
bronkospasme merupakan komplikasi yang serius yang dapat mengancam nyawa.
Kasus-kasus akut dapat ringan atau berat tetapi biasanya hilang dengan atau tanpa
pengobatan dalam beberapa jam atau hari. Bentuk kronik dapat mengalami remisi
dan eksaserbasi dalam hitungan beberapa bulan atau tahun.
b. Etiologi

1. Obat
Bermacam obat dapat menimbulkan urtikaria, baik secara imunologik maupun non-
imunologik. Hampir semua obat sistemik menimbulkan urtikaria, secara imunologik
terdapat 2 tipe, yaitu tipe I atau II. Contohnya ialah aspirin, obat anti inflamasi non
steroid, penisilin, sepalosporin, diuretik, dan alkohol. Sedangkan obat yang secara
non-imunologik langsung merangsang sel mast untuk melepaskan histamin,
misalnya opium dan zat kontras. Aspirin menimbulkan urtikaria karena menghambat
sintesis prostaglandin di asam arakidonat.(1,5)
2. Makanan
Peranan makanan ternyata lebih penting pada urtikaria akut, umumnya akibat reaksi
imunologik, pada beberapa kasus urtikaria terjadi setelah beberapa jam atau
beberapa hari setelah mengkonsumsi makanan tersebut. Makanan berupa protein
atau bahan yang dicampurkan ke dalamnya seperti zat warna, penyedap rasa, atau
bahan pengawet, sering menimbulkan urtikaria alergika. Makanan yang paling sering
menimbulkan urtikaria pada orang dewasa yaitu, ikan, kerang, udang, telur, kacang,
buah beri, coklat, arbei, keju. Sedangkan pada bayi yang paling sering yaitu, susu dan
produk susu, telur, tepung, dan buah-buah sitrus (jeruk).(1,2,5,8)
3. Gigitan atau sengatan serangga
Gigitan atau sengatan serangga dapat menimbulkan urtika setempat, agaknya hal ini
lebih banyak diperantarai oleh IgE (tipe I) dan tipe seluler (tipe IV). Tetapi venom
dan toksin bakteri, biasanya dapat pula mengaktifkan komplemen. Nyamuk,
kepinding, dan serangga lainnya menimbulkan urtika bentuk papular di sekitar
tempat gigitan, biasanya sembuh sendiri setelah beberapa hari, minggu, atau
bulan.(1.8)
4. Bahan fotosenzitiser
Bahan semacam ini, misalnya griseovulfin, fenotiazin, sulfonamid, bahan kosmetik,
dan sabun germisid sering menimbulkan urtikaria.(1)
5. Inhalan
Inhalan berupa serbuk sari bunga (polen), spora jamur, debu, asap, bulu binatang,
dan aerosol, umumnya lebih mudah menimbulkan urtikaria alergik.(1-3,8)
6. Kontaktan
Kontaktan yang sering menimbulkan urtikaria ialah kutu binatang, serbuk tekstil, air
liur binatang, tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, bahan kimia, misalnya insect
repellent (penangkis serangga), dan bahan kosmetik. Keadaan ini disebabkan bahan
tersebut menembus kulit dan menimbulkan urtikaria.(1,3)

7. Trauma Fisik
Trauma fisik dapat diakibatkan oleh

 Faktor dingin, yakni berenang atau memegang benda dingin.


 Faktor panas, misalnya sinar matahari, radiasi, dan panas pembakaran.
 Faktor tekanan, yaitu goresan, pakaian ketat, ikat pinggang, air yang menetes atau
semprotan air. Fenomena ini disebut dermografisme atau fenomena darier.(1,5,8)
8. Infeksi dan infestasi
Bermacam-macam infeksi dapat menimbulkan urtikaria, misalnya infeksi bakteri,
virus, jamur, maupun infeksi parasit.

 Infeksi oleh bakteri contohnya pada infeksi tonsil, infeksi gigi dan sinusitis.
 Infeksi virus hepatitis, mononukleosis dan infeksi virus coxsackie pernah dilaporkan
sebagai faktor penyebab. Karena itu pada urtikaria yang idiopatik perlu dipikirkan
kemungkinan infeksi virus subklinis.
 Infeksi jamur kandida dan dermatofit sering dilaporkan sebagai penyebab urtikaria.
Infeksi cacing pita, cacing tambang, cacing gelang juga Schistosoma atau
Echinococcus dapat menyebabkan urtikaria. Infeksi parasit biasanya paling sering pada
daerah beriklim tropis.(1,2,5,8)
9. Psikis
Tekanan jiwa dapat memacu sel mast atau langsung menyebabkan peningkatan
permeabilitas dan vasodilatasi kapiler. Penyelidikan memperlihatkan bahwa hipnosis
menghambat eritema dan urtika, pada percobaan induksi psikis, ternyata suhu kulit
dan ambang rangsang eritema meningkat.(1,2)
10. Genetik
Faktor genetik juga berperan penting pada urtikaria, walaupun jarang menunjukkan
penurunan autosomal dominan. (1,5)
11. Penyakt sistemik
Beberapa penyakit kolagen dan keganasan dapat menimbulkan urtikaria, reaksi lebih
sering disebabkan reaksi kompleks antigen-antibodi. Contoh penyakit sistemik yang
sering menyebabkan urtikaria yaitu, sistemik lupus eritematosa (SLE), penyakit
serum, hipetiroid, penyakit tiroid autoimun, karsinoma, limfoma, penyakit
rheumatoid arthritis, leukositoklast vaskulitis, polisitemia vera (urtikaria akne-
urtikaria papul melebihi vesikel), demam reumatik, dan reaksi transfusi darah.

c. Faktor risiko
1. Infeksi (panas, batuk, pilek)
2. Aktifitas Meningkat (menangis, berlari, tertawa keras)
3. Udara Dingin
4. Udara Panas
5. Stres
6. Gangguan Hormonal: (kehamilan, menstruasi)

d. Patogenesis
Sel mast adalah sel efektor utama pada kebanyakan bentuk urtikaria,
meskipun tipe-tipe sel lainnya juga dapat terlibat. Sel mast kutaneus
melepaskan histamin dalam respon terhadap C5a, morfin, dan kodein.
Neuropeptida substansi P (SP), vasoactive intestinal peptide (VIP), dan
somatostatin, neurokinin A dan B, bradikinin, dan calcitonin gene–
related peptide (CGRP), kesemuanya dapat mengaktivasi sel-sel mast
untuk mensekresi histamin. Tidak semua produk biologik potensial
tersebut diproduksi ketika sel mast kutaneus terstimulasi. Permeabilitas
vaskuler di kulit diakibatkan secara predominan oleh reseptor histamin
H 1, meskipun reseptor histamin H 2 juga dapat berperan. Urtikaria
disebabkan karena pelepasan histamin, bradikinin, leuketrien C4,
prostaglandin D2, dan substansi vasoaktif lainnya lainnya dari sel mast
dan basofil di kulit. Substansi-substansi tersebut menyebabkan
ekstravasasi cairan ke kulit, mengakibatkan timbulnya lesi urtikaria.
Intensitas pruritus dari urtikaria adalah hasil dari pelepasan histamin ke
kulit. Aktivasi reseptor histamin H1 pada sel-sel endotel dan otot polos
menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler. Sedangkan aktivasi
reseptor histaminH2 menyebabkan vasodilatasi arteriol dan venula.
Proses ini disebabkan oleh beberapa mekanisme. Respon alergi tipe I
IgE diinisiasi oleh kompleks imun antigen-mediated IgE yang
mengikat dan cross-link reseptor Fc pada permukaan sel-sel mast dan
basofil, hal tersebut menyebabkan pelepasan histamin. Respon alergi
tipe II dimediasi oleh sel-sel T sitotoksik, menyebabkan deposit Ig,
komplemen, dan fibrin di sekitar pembuluh darah. Hal ini
menyebabkan vaskulitis urtikaria. Penyakit kompleks imun tipe III
berhubungan dengan SLE dan penyakit autoimun lainnya yang dapat
menyebabkan urtikaria.
Komplemen-mediated urtikaria disebabkan oleh infeksi bakteri dan
virus, serum sickness, dan reaksi transfusi. Reaksi transfusi urtikaria
terjadi ketika substansi alergenik dalam plasma dari produk darah
donor bereaksi dengan antibodi Ig E resipien. Beberapa obat-obatan
(opioids, vecuronium, succinylcholine, vancomycin, dan lain-lain) juga
agen-agen radiokontras menyebabkan urtikaria karena degranulasi sel
mast melalui mekanisme mediasi non-Ig E. Urtikaria fisik pada
beberapa stimulus fisik yang menyebabkan urtikaria meliputi
immediate pressure urticaria, delayed pressure urticaria, cold urticaria,
dan cholinergic urticaria. Terakhir, urtikaria kronik dimana
penyebabnya tidak dapat ditemukan secara signifikan, merupakan
idiopatik.
e. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis urtikaria yaitu berupa munculnya ruam atau lesi
kulit berupa biduran yaitu kulit kemerahan dengan penonjolan atau
elevasi berbatas tegas dengan batas tepi yang pucat disertai dengan
rasa gatal (pruritus) sedang sampai berat, pedih, dan atau sensasi panas
seperti terbakar. Lesi dari urtikaria dapat tampak pada bagian tubuh
manapun, termasuk wajah, bibir, lidah, tenggorokan, dan telinga.
Diameter lesi dapat bervariasi dari sekitar 5 mm (0,2 inchi) sampai
dapat sebesar satu piring makan. Ketika proses oedematous meluas
sampai ke dalam dermis dan atau subkutaneus dan lapisan submukosa,
maka ia disebut angioedema. Urtikaria dan angioedema dapat terjadi
pada lokasi manapun secara bersamaan atau sendirian. Angioedema
umumnya mengenai wajah atau bagian dari ekstremitas, dapat disertai
nyeri tetapi jarang pruritus, dan dapat berlangsung sampai beberapa
hari. Keterlibatan bibir, pipi, dan daerah periorbita sering dijumpai,
tetapi angioedema juga dapat mengenai lidah dan faring. Lesi
individual urtikaria timbul mendadak, jarang persisten melebihi 24-48
jam, dan dapat berulang untuk periode yang tidak tentu.
f. Komplikasi

Angioedema
Penderita urtikaria kronis atau akut bisa mengalami angioedema, yaitu lapisan
dalam kulit yang bengkak karena penumpukan cairan. Bagian yang biasanya
terpengaruh oleh angioedema adalah kelopak mata, bibir, tangan, kaki, dan
sekitar alat kelamin.

Gangguan ini dapat bertahan lebih lama dibanding biduran, meski gejala
bengkak pada kulit biasanya berkurang dalam waktu 24 jam. Salah satu
penyebab kondisi ini adalah penggunaan obat-obat, seperti obat
antihipertensi (penghambat ACE), obat antihistamin non-steroid dan
pereda nyeri (codeine).
Untuk mengatasi angioedema, antihistamin dan steroid untuk jangka
waktu pendek bisa digunakan.

Anafilaksis
Anafilaksis adalah reaksi alergi langka yang parah dan terjadi secara tiba-
tiba. Kondisi ini bisa berakibat fatal karena gejalanya yang ekstrem.
Anafilaksis menyebabkan penurunan tekanan darah sehingga orang yang
mengalami bisa langsung pingsan atau hingga meninggal.

Selain itu, pembengkakan akan langsung terjadi khususnya pada bagian


wajah dan tenggorokan atau leher sehingga penderita akan sulit
bernapas. Gejala-gejala anafilaksis yang lain adalah:

 Bengkak pada kelopak mata, bibir, tangan, kaki

 Sakit atau mual pada bagian perut


 Detak jantung yang cepat atau sulit bernapas karena aliran udara menyempit

 Pusing
 Muntah-muntah

 Pingsan atau hilang kesadaran

Satu-satunya pengobatan yang digunakan untuk anafilaksis adalah


dengan memakai suntikan epinephrine. Obat ini berfungsi untuk
meredam reaksi gejala yang terjadi pada anafilaksis. Perlu diingat
bahwa ini adalah kondisi darurat, jika Anda mencurigai adanya gejala
anafilaksis, segera temui dokter di rumah sakit terdekat.

Anda mungkin juga menyukai