PENDAHULUAN
Insidensi kasus baru pada anak lebih tinggi dibanding dewasa dan sering
dimulai sejak usia bayi. Insidensi epilepsi pada anak di negara berkembang
berkisar 40 kasus per 100.000 anak per tahun. Data nasional megenai angka
kejadian epilepsi pada anak di Indonesia belum tersedia. Namun, di Rumah Sakit
Umum Pusat Nasional (RSUPN) Cipto Mangunkusumo Departemen Ilmu
Kesehatan Anak, dalam kurun waktu 2009 sampai 2010 terdapat 218 pasien baru
dengan epilepsi umum dan 71 dengan epilepsi fokal diantara 1700 pasien baru per
tahunnya. Epilepsi merupakan diagnosis terbanyak pada pasien yang mengunjungi
poliklinik RSUPN Cipto Mangunkusumo.
1
masyarakat pada umumnya. Penyebab kematian dini pada epilepsi diantaranya
adalah status epileptikus (37,7%), trauma karena kejang yang terjadi pada keadaan
yang berbahaya (11,4%), dan kematian mendadak tanpa penyebab yang jelas
(6,6%). Penyakit yang mendasari epilepsi, misalanya trauma susunan SSP atau
kelainan neurometabolik juga dapat merupakan faktor penyebab kematian dini
pada anak dengan epilepsi.
2
2. TINJAUAN PUSTAKA
a. Pendahuluan
Kata epilepsi berasal dari bahasa yunani ‘epilambanmein’ yang berarti
serangan. Epilepsi bukanlah suatu penyakit, melainkan sekumpulan gejala yang
manifestasinya adalah melalui serangan epileptik yang berulang. Epilepsi dapat
didefinisikan sebagai gangguan kronis yang ditandai dengan adanya bangkitan
epileptik berulang akibat gangguan fungsi otak secara intermitten yang terjadi
karena lepas muatan listrik abnormal neuron-neuron secara paroksismal akibat
berbagai etiologi.
3
Pelepasan aktifitas listrik abnormal dari sel-sel neuron di otak terjadi
karena fungsi sel neuron terganggu. Gangguan fungsi ini dapat berupa gangguan
fsiologik, biokimia, anatomi dengan manifestasi klinis baik lokal maupun general.
Gangguan tidak terbatas aktifitas motor yang terlihat oleh mata, tetapi juga oleh
aktifitas lain misalnya emosi, pikiran, dan persepsi.
b. Klasifikasi
4
Selain itu ILAE (1989) juga membagi epilepsi berdasarkan etiologi, dapat
dibagi menjadi :
Kejang umum
Tonik
Klonik
Tonik-klonik
Absans
o Tipikal absans
o Atipikal absans
Mioklonik
Atonik
Kejang parsial
Kejang parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
o Dengan gejala motorik
o Dengan gejala somatosensorik atau sensorik halusinasi
o Dengan gejala otonom
o Dengan gejala psikis
Kejang parsial kompleks
o Dengan gangguan kesadaran pada awal serangan
o Diawali parsial sederhana lalu diikuti gangguan kesadaran
Kejang parsial menjadi umum
o Parsial sederhana menjadi tonik-klonik
o Parsial kompleks menjadi tonik-klonik
Kejang yang belum terklasifikasi
Tabel 1. Klasifikasi epilepsi berdasarkan tipe bangkitan kejang (ILAE 1981)
5
A. Kejang umum
Suatu serangan kejang dikatakan kejang umum apabila semiologi kejang
umum disertai dengan gelombang epileptiform umum. Pada kejang umum terjadi
kehilangan kesadaran yang dapat merupakan gejala awal manifestasi kejang.
Gejala motorik bersifat bilateral. Beberapa kejang ditandai gejala dan gerakan
motorik yang terlihat yaitu tonik, klonik, tonik-klonik, mioklonik, atau absans.
Kejang tonik adalah kejang yang ditandai dengan kontraksi otot yang
berlangsung selama beberapa detik sampai beberapa menit. Kontrkasi saat kejang
menyebabkan ekstensi leher, kontraksi otot-otot wajah, dengan mata membuka
secara luas, bola mata terlihat ke atas, kontraksi otot-otot respirasi, dan spasme
otot-otot proksimal ekstremitas atas. Ekstremitas dan tubuh dapat terlihat kaku.
Kejang tonik lebih sering terjadi saat tidur, bila terjadi saat periode bangun dapat
mengakibatkan penderita terjatuh. Karateristik gambaran EEG adalah perlambatan
aktivitas yang bersifat umum, atau tampak gelombang epileptiform dengan
voltase tinggi dan frekuensi cepat.
Kejang klonik adalah kejang yang ditandai dengan sentakan mioklonik
sekelompok otot dengan pengulangan secara teratur lebih kurang 2-3 siklus per
detik serta berlangsung lama, pada umumnya melibatkan kedua sisi tubuh.
Gerakan tersebut tampak menyerupai serangan mioklonik, namun kejang klonik
bersifat repetitif dengan kecepatan yang lebih rendah dibanding serangan
miklonik. Gambaran EEG tipikal pada kejang klonik adalah adanya kompleks
paku-ombak lambat dengan frekuensi tinggi.
Kejang tonik-klonik merupakan bentuk kejang dengan kombinasi kedua
elemen tipe kejang sebelumnya, dapat tonik-klonik atau klonik-tonik-klonik.
Termasuk dalam klasifikasi ini adalah kejang tonik-klonik umum sering disebut
grand mal. Kejang tonik-klonik ditandai dengan kontraksi tonik simetrik, diikuti
kontrakasi klonik bilateral otot-otot somatis. Kejang jenis ini disertai fenomena
otonom, termasuk penuruan kesadaran atau apnea.
Kejang absans ditandai hilangnya kesadaran yang bersifat sementara.
Penderita sama sekali tidak berhubungan dengan lingkungan sekitar, tidak bisa
diajak berkomunikasi dan trlihat seperti pandangan kosong. Biasanya penderita
6
tidak mengalami kebingungan. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya
subkelas kejang absans terdiri atas absans tipikal, absans atipikal, dan absans
dengan gambaran khusus. Kejang absans tipikal ditandai dengan 2 manifestasi
utama, hilangnya kesadaran transiens dan gambaran EEG khas berupa gelombang
paku-omabk atau paku majemuk-ombak. Meskipun umumnya tipe ini muncul
tanpa disertai bentuk kejang lain, beberapa penderita dapat memperlihatkan
manifestasi motorik, yaitu komponen klonik dan tonik atau otomatisasi. Kejang
absans atipikal memiliki gambaran motorik yang sama dengan tipikal namun lebih
berat, tetapi proses kehilangan kesadaran berlangsung lebih perlahan dan
progresif, demikian juga pemulihannya membutuhkan waktu yang lebih lama.
Kejang absans dapat dipicu oleh kelelahan, mengantuk, relaksasi, atau
hiperventilasi. Kejang tidak khas berkembang dimasa anak-anak atau remaja.
Kejang mioklonik adalah kontraksi singkat otot tunggal atau multiple yang
terjadi secara tiba-tiba, cepat (< 100 milidetik), dengan topografi bervariasi.
Kejang mioklonik dapat terjadi unilateral atau bilateral. Hal ini dapat terjadi
berulang-ulang. Contohnya, penderita tba-tiba jatuh atau melempar benda di
tangannya. Kejang mioklonik dapat disebabkan oleh tindakan, kebisingan,
terkejut, atau stimulasi oleh cahaya.
Kejang mioklonik biasanya terjadi beberapa jam setelah bangun atau
sebelum tidur. Kejang mioklonik juga terjadi pada ensefalopati epilepsi.
Mioclonus Focal adalah gambaran dari fokus epilepsi lobus oksipital dan epilepsi
yang timbul di daerah pusat (jika terjadi terus menerus, diberi nama epilepsia
partialis continua). Mioklonik umum juga dapat terjadi pada epilepsi simtomatik
yang disebabkan oleh anoksia otak, infeksi otak, penyakit metabolik bawaan atau
yang didapat, obat-obatan, atau keracunan.
Kejang aotnik adalah kejang ditandai dengan hilangnya tonus otot tanpa
didahului kejang mioklonik atau tonik yang berlangsung 1-2 detik, melibatkan
kepala, batang tubuh, rahang, atau otot-otot ekstremitas. Penderita tiba-tiba jatuh
ke tanah seperti boneka kain. Biasanya kejang ini berlangsung sebentar dan diikuti
oleh pemulihan segera.
7
Gambar 1. Kejang tonik, kejang klonik, dan kejang tonik-klonik
B. Kejang parsial
Kejang parsial atau fokal bermula dari struktur kortikal atau subkortikal
dari satu hemisfer, namun dapat menyebar ke daerah lain, baik ipsilateral maupun
kontralateral. Kejang parsial dapat dibagi menjadi 3 kategori, yaitu kejang parsial
sederhana, kejang parsial kompleks, dan kejang parsial menjadi umum.
Kejang parsial sederhana adalah kejang fokal tanpa disertai gangguan
kesadaran. Gambaran EEG iktal akan menunjukkan gelombang epileptiform fokal
kontralateral dimulai di area korteks yang terpengaruh. Kejang parsial sederhana
ini dapat menunjukkan kejang disertai gejala motorik, somatosensorik, atau
sensorik khusus (special sensory), otonom, atau perilaku. Kejang ini disebabkan
kerusakan otak fokal. Bagian otak yang paling umum terkena adalah lobus frontal
dan temporal. Biasanya sebagian kejang partial sederhana dialami hanya beberapa
detik.
Kejang parsial kompleks adalah kejang fokal disertai hilang atau
perubahan kesadaran. Gambaran EEG iktal menunjukkan adanya cetusan
unilateral atau terkadang bilateral tidak bersamaan. Kejang parsial kompleks
adalah salah satu dari dua manifestasi :
8
1. Kejang parsial sederhana pada awal serangan diikuti hilangnya
kesadaran
2. Hilang kesadaran dimulai dari saat awal serangan
Kejang parsial kompleks berasala dari lobus temporal pada 60% kasus,
lobus frontal 30% kasus, dan daerah kortikal pada 10% kasus.
Kejang parsial menjadi general ditandai dengan kejang fokal yang diikuti
kejang umum. Kejang umum dapat berbentuk tonik, klonik atau tonik-klonik.
Gamabran EEG iktal menunjukkan cetusan lokal dimulai dari korteks yang
terpengaruh, diikuti gambaran cetusan umum.
Epilepsi pada bayi dan anak dianggap sebagai suatu sindrom. Dikenal 4
kelompok usia yang masing-masing mempunyai kolerasi dengan sindrom epilepsi
dapat di kelompokkan sebagai berikut :
9
epilepsi. Sindrom epilepsi yang sering terjadi pada kelompok ini adalah
sindro spasme infantile atau sindrom west dan sindrom Lennox-Gestant
atau epilepsi mioklonik.
3. Kelompok usia 4-9 tahun
Pada kelompok inimulai timbul manifestasi klinis dari epilepsi
umum primer terutama manifestasi dari epilepsi kriptogenik atau epilepsi
karena fokus epileptogenik herediter. Jenis epilepsi pada kelompok ini
adalah petitmal, grand mal, dan benign epilepsy of childhood woth
rolandic spikes (BERCS).
4. Kelompok usia lebih dari 9 tahun
a. Kelompok epilepsi herediter : BERCS, kelompok epilepsi fokal
atau epilepsi umu lesionik.
b. Kelompok epilepsi simptomatik : eilepsi lobus temporalis atau
epilepsi psikomotor. Kesuali BECRS, pasien epilepsi jenis tersebut
dapat tetap mengalami bangkitan epileptik pada kehidupan
selanjutnya. Epilepsi jenis absence dapat muncul pada kelompok
ini.
c. Etiologi
Manifestasi klinis dari epilepsi disebabkan oleh lesi di korteks serebri yang
mendasarinya. Lesi di otak pada umumnya telah ada beberapa bulan-tahun
sebelum gejala pertama epilepsi muncul, seperti hipoksia perinatal/asfiksia atau
dapat berupa perdarahan intraserebral. Namun demikian etiologi epilepsi secara
umum masih belum diketahui. ILAE tahun 2010 mengganti terminologi dari
idiopatik, simptomatik atau kriptogenik, menjadi genetik, struktural/metabolik,
dan tidak diketahui. Genetic epilepsy syndrome adalah epilepsi yang diketahui
disebabkan oleh kelainan genetik dengan kejang sebagai manifestasi utamanya.
Structrual metabolic syndrome adalah adanya kelainan struktural/metabolik yang
menyebabkan seseorang berisiko mengalami epilepsi , contohnya epilepsi setelah
mengalami stroke, trauma, infeksi SSP, atau adanya kelainan genetik seperti
10
tubersklerosis dengan kelainan struktur otak. Epilepsi dikatakan idiopatik jika
penyebabnya belum diketahui.
d. Fakto Resiko
Epilepsi dapat dianggap sebagai suatu gejala gangguan fungsi otak yag
penyebabnya bervariasi terdiri dari berbagai faktor. Epilepsi yang tidak diketahui
faktor penyebabnya dapat disebut idiopatik. Sedangkan epilepsi yang dapat
ditentukan faktor penyebabnya disebut epilepsi simptomatik.
1. Faktor prenatal
a. Usia ibu saat hamil
b. Kehamilan dengan eklampsia dan hipertensi
c. Kehamilan primipara atau multipara
d. Pemakaian bahan toksik
2. Faktor natal
a. Asfiksia neonatorum
b. Berat bayi lahir rendah
c. Prematur atau posterm
d. Persalinan dengan alat (forsep, vacum extraction, SC)
e. Perdarahan intrakranial
3. Faktor postnatal
a. Kejang demam
b. Trauma kepala
c. Infeksi sistem saraf pusat
d. Epilepsi akibat toksik
e. Gangguan metabolik
4. Faktor genetik
11
e. Patofisiologi
Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak teradi lebih
dominan daripada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen,
disinhibisi, dan pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler, voltage- gated ion
channel opening, dan menguatnya sinkronisasi neuron sangat penting artinya
dalm hal inisiasi dan perambatan aktivitas epileptik. Aktivitas neuron diatur oleh
konsentrasi ion di dalam ruang ekstraseluler dan intraseluler, dan oleh gerakan
keluar masuk ion-ion menembus membran neuron.
Lima buah elemen fisiologi dari neuron-neuron tertentu pada korteks
serebri penting dalam mendatangkan kecurigaan terhadap adanya epilepsi:
1. Kemampuan neuron kortikal untuk bekerja pada frekuensi tinggi dalam
merespon depolarisasi diperpanjang akan menyebabkan eksitasi sinaps dan
inaktivasi konduksi Ca2+ secara perlahan.
2. Adanya koneksi eksitatorik rekuren (recurrent excitatory connection),
yang memungkinkan adanyan umpan balik positif yang menyebarkan dan
membangkitkan aktivitas kejang.
3. Kepadatan komponen dan keutuhan dari pandangan umum terhadap sel-sel
piramidal pada daerah tertentu di korteks, termasuk pada hipokampus,
yang bisa dikatakan sebagai tempat paling rawan untuk terkena aktivitas
kejang. Hal ini menghasilkan daerah-daerah potensial luas, yang kemudian
memicu aktifitas penyebaran non-sinaptik dan aktifitas elektrik.
4. Bentuk dari frekuensi terjadinya potensiasi (termasuk juga merekrut
respon NMDA) menjadi ciri khas dari jaras sinaptik di korteks.
5. Efek berlawanan yang jelas (contohnya depresi) dari sinaps inhibitor
rekuren dihasilkan dari frekuensi tinggi peristiwa aktifasi.
Serangan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron abnormal
mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan cetusan potensial
aksi secara tepat dan berulang-ulang. Cetusan listrik abnormal ini kemudian
melibatkan neuron-neuron yang terkait di dalam proses. Secara klinis serangan
epilepsi akan tampak apabila cetusan listrik dari sejumlah neuron abnormal
12
muncul secara bersama-sama, membentuk suatu badai aktifitas listrik di dalam
otak.
Badai listrik tadi menimbulkan bermacam-macam serangan epilepsi yang
berbeda (lebih dari 20 macam), bergantung pada daerah dan fungsi otak yang
terkena dan terlibat.
Sebagi penyebab terjadinya epilepsi, terdiri dari 3 kategori yaitu :
1. Non Spesifik Predispossing Factor (NPF)
membedakan seorang peka atau tidaknya terhadap serangan epilepsi
dibanding orang lain. Setiap orang sebetulnya dapat dimunculkan
bangkitan epilepsi hanya dengan dosis rangsangan berbeda-beda.
2. Spesific Epileptogenic Disturbances (SED)
Kelainan ini dapat diwariskan maupun didapat dan inilah yang
bertanggung jawab atas timbulnya epileptiform activity di otak. Timbulnya
bangkitan epilepsi merupakan kerja sama antara SED dan NPF.
3. Presipitating Factor (PF)
Merupakan faktor pencetus terjadinya bangkitan epilepsi pada penderita
epilepsi yang kronis. Penderita dengan nilai ambang yang rendah, PF dapat
membangkitkan reactive seizure dimana SED tidak ada.
Ketiga hal di atas memegang peranan penting terjadinya epilepsi sebagai hal
dasar.
Hipotesis secara seluler dan molekular yang banyak dianut sekarang
adalah : membran neuron dalam keadaan normal mudah dilalui oleh ion kalium
dan ion klorida, tetapi sangat sulit dilalui ion natrium dan kalsium. Dengan
demikian konsentrasi yang tinggi ion kalium dalam sel (intraseluler), dan
konsentrasi ion natrium dan kalsium ekstraseluler tinggi. Sesuai dengan teori
Dean (Sodium pump), sel hidup mendorong ion natrium keluar sel, bila natrium
ini memasuki sel, keadaan ini sama halnya dengan ion kalsium.
Bangkitan epilepsi karena transmisi impuls yang berlebihan di dalam otak
yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls.
Sinkronisasi ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak secara
serentak, secara teori sinkronisasi ini dapat terjadi.
13
1. fungsi jaringan neuron penghambat (neurotransmiter GABA dan Glisin)
kurang optimal hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara
berlebihan.
2. keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik (Glutamat dan Aspirin)
berlebihan hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebihan juga.
Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimal antara lain bila konsentrasi
GABA (gamma aminobutyric acid) tidak normal. Pada otak manusia yang
menderita epilepsi ternyata kandungan GABA rendah. Hambatan oleh GABA
dalam bentuk inhibisi potensial presinaptik (IPSPs = inhibitory post synaptic
potentials) adalah lewat reseptor GABA.
Sinkronisasi dapat terjadi pada sekelompok kecil neuron sekelompok besar
atau selur uh neuron otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok
neuron ini menimbulkan manifestasi yang berbeda dari serangan epileptik. Secara
teoritis ada 2 penyebabnya yaitu fungsi neuron penghambat kurang optimal
(GABA) sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan, sementara
itu fungsi jaringan neuron eksitatorik (Glutamat) berlebihan.
Berbagai penyakit dapat menyebabkan terjadinya perubahan
keseimbangan antara neuron inhibitor dan eksitator, misalnya kelainan herediter,
kongenital, hipoksia, infeksi, tumor, vaskuler, obat atau toksin. Kelainan tersebut
dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi
neuron eksitasi, sehingga mudah timbul epilepsi bila ada serangan yang memadai.
Daerah yang rentan terhadap kerusakan bila ada abnormalitas otak antara
lain di hipokampus. Oleh karena setiap serangan kejang selalu menyebabkan
kenaikan eksitabilitas neuron, maka serangan kejang cenderung berulang dan
selanjutnya menimbulkan kerusakan yang lebih luas. Pada pemeriksaan jaringan
otak penderita epilepsi yang mati selalu didapatkan kerusakan di daerah
hipokampus. Oleh karena itu tidak mengherankan bila lebih dari 50% epilepsi
parsial fokus asalnya berada di lobus temporalis dimana terdapat hipokampus dan
merupakan tempat asal epilepsi dapatan.
Pada bayi dan anak-anak sel neuron masih imatur sehingga mudah terkena
efek traumatik, gangguan metabolik, gangguan sirkulasi, infeksi dan sebagainya.
14
Efek ini dapat berupa kemusnahan neuron-neuron serta sel-sel glia atau kerusakan
pada neuron atau glia, yang pada gilirannya dapat memebuat neuron glia atau
lingkungan neuronal epileptogenik. Kerusakan otak akibat trauma, infeksi,
gangguan metabolisme dan sebagainya, semuanya dapat mengembagkan epilepsi.
Akan tetapi anak tanpa brain demage dapat juga terjadi epilepsi, dalam hal ini
factor genetik dianggap penyebabnya, khususnya grand mal dan petit mal serta
benign centrotempora epilepsy. Walaupun demikian proses yang mendasari
serangan epilepasi idiopatik, melalui mekanisme yang sama.
f. Diagnosis
A. Anamnesis
Menegakkan diagnosis epilepsi dengan benar dan lengkap sangat penting.
Anamnesis yang lengkap dan rinci mengenai kejadian sangat diperlukan, terutama
dari orang tua atau keluarga yang mengetahui kejadian secara langsung.
Pertama hal yang harus diperhatikan adalah apakah serangan yang terjadi
itu merupakan suatu kejang atau bukan. Berikut merupakan perbedaan kejang dan
bukan kejang.
15
Klinis Kejang Bukan kejang
Awitan Tiba-tiba gradual
Kesadaran Terganggu (pada kejang fokal Tidak terganggu
sederhana kesadaran tidak
terganggu)
Gerakan ekstrimitas Sinkron asinkron
Sianosis sering jarang
Gerakan abnormal mata selalu jarang
Lama Detik-menit Beberapa menit
Dapat diprovokasi jarang Hampir selalu
Abnormalitas EEG (iktal) selalu Tidak pernah
Tabel 2. Perbedaan antara serangan kejang dan serangan non-kejang
16
4. Berapa kali anak kejang dalam 24 jam, berapa lama kejang
berlangsung
5. Apakah yang terjadi setelah kejang berhenti, apakah pasien sadar
6. Saat kejang ditemukan gangguan kesadaran, terlihat menatap
dengan pandangan kosong
7. Adakah gangguan fungsi otonom
8. Apakah bentuk bangkitan selalu sama
9. Riwayat perkembangan anak dan kejang dalam keluarga.
B. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
C. Pemeriksaan penunjang
1. Elektroensefalografi
Elektroensefalografi (EEG) merupakan pemeriksaan penunjang standar
yang harus dilakukan pada setiap kejadian paroksismal bangkitan/kejang. Rekam
17
EEG harus dilakukan selama 30 menit yang terdiri dari rekaman tidur dan bangun
tanpa menggunakan obat premedikasi. Pemeriksaan EEG dilakukan setelah
bangkitan kedua namun bila dirasakan perlu dapat dilakukan setelah kejang
pertama. Pemeriksaan EEG dapat diulang bila pada pemeriksaan pertama hasilnya
tidak jelas.
EEG bukanlah gold standart dalam menegakkan diagnosis epilepsi.
Kelainan pada EEG dapat ditemukan pada 2%-4% anak yang tidak pernah kejang
dan sebaliknya EEG interiktal pertama dapat normal pada 55% anak dengan
kejang pertama tanpa provokasi. Gambaran EEG saja tanpa memandang informasi
klinis tidak dapat menyingkirkan maupun menegakkan diagnosis epilepsi.
Pada gambaran EEG perlu diperhatikan frekuensi dan amplitudo
gelombang irama dasar, ada tidaknya asimetri, serta ada tidaknya aktivitas
epileptiform yang dapat berupa gelombang paku, gelombang tajam, paku-ombak,
tajam-ombak, paku-multipel,burst suppression, dan hipsaritmia. Peran EEG pada
epilepsi adalah sebagai berikut :
a. Membantu menentukan tipe kejang
b. Menunjukkan lokalisasi fokus kejang apabila ada, beserta
penyebarannya
c. Membantu menentukan sindrom epilepsi
d. Pemantauan keberhasilan terapi
e. Membantu menentukan apakah terapi farmakologis epilepsi dapat
dihentikan
Sensitivitas EEG dalam mendiagnosis epilepsi hanya 25%-56%,
sedangkan spesifitasnya 78%-98%. Jika hasil EEG dipadukan dengan temuan
klinis pada pasien yang sesuai dengan epilepsi maka sensitivitasnya menjadi
98,3% dan spesifitasnya 86%. Beberapa hal yang dapat meningkatkan nilai
diagnostik EEG antara lain :
a. Pemeriksaan EEG saat kejang/segera setelah kejang terjadi
b. Pengulangan EEG
c. Melakukan EEG saat tidur (sensitivitas 81%), terutama apabila
dilakukan pengulangan siklus bangun –tidur (sensitivitas 92%)
18
d. Deprivasi tidur parsial meningkatkan angka deteksi aktivitas
epileptiform pada EEG 100%
e. Hiperventilasi, pada epilepsi tipe absans
f. Stimulasi fotik
2. Pencitraan
Pencitraan dilakukan untuk menentukan etiologi, memperkirakan
prognosis, dan merencanakan tatalaksana klinis yang sesuai Peran pemeriksaan
pencitraan seperti CT-scan dan MRI adalah untuk mendeteksi lesi otak yang
mungkini menjadi faktor penyebab epilepsi atau kelainan neurodevelopmental
yang menyertai. bila dibandingkan dengan CT Scan maka MRI lebih sensitif
karena secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk
membandingkan hipokampus kiri dan kanan. Inidkasi MRI pada anak dengan
epilepsi adalah sebagai berikut :
a. Epilepsi fokal berdasarkan gambaran klinis atau EEG
b. Pemeriksaan neurologis klinis yang abnormal, misalnya ditemukan
adanya defisit neurologis fokal, stigmata kelainan neurokutan, tanda
malformasi otak, keterlambatan yang bermakna, atau adanya
kemunduran yang bermakna
19
c. Anak berusia kurang dari 2 tahun
d. Anak dengan gejala khas sindrom epilepsi simptomatik, misalnya
epilepsi spasme infantil atau sindrom Lennox-Gastaut
e. Epilepsi intraktabel
f. Status epileptikus
g. Diagnosis Banding
20
Spasmus nutans
Refluks gastroesofagus
Diskinesia/gerakan involunter
Pseudoseizures
Benign sleep myoclonus
Perubahan perilaku
Night terrors
Somnabulisme
Melamun
h. Penatalaksanaan
1. Tatalaksan umum
Tatalaksana umum dari epilepsi pada anak adalah pemberian informasi
terhadap anak, orang tua, dan keluarga tentang penyakit yang diderita, rencana
terapi, efek samping, interaksi OAE, dan aktivitas yang diperbolehkan serta
pengaruh epilepsi pada kehidupan sehari-hari. Informasi yang diberikan harus
sesuai dengan tingkat pendidikan, sosial-ekonomi, dan sosial budaya. Selain itu
informasi pada pihak sekolah juga patut di perhatikan mengingat anak akan lebih
banyak menghabiskan waktu di sekolah dibandingkan di rumah.
2. Tatalaksana medikamentosa
Sebelum memberikan obatanti epilepsi (OAE), diagnosis epilepsi atau
sindrom epilepsi haru sudah ditegakkan. Respons individu terhadap OAE
21
tergantung dari tipe kejang, klasifikasi dan sindrom epilepsi, serta harus dievaluasi
pada tiap kali kunjungan. Pengobatan epilepsi adalah pengobatan jangka panjang.
Oleh karena itu untuk mendapatkan keberhasilan terapi diperlukan kerja sama dan
pemahaman yang baik antara dokter, pasien, dan keluarga pasien.
Waktu pemberian dari obat anti epilepsi berdasarkan suatu studi
klinis acak dengan jumlah sampel yang besar menunjukkan bahwa pada anak
dengan first unprovoked generalized tonic clonic seizures, pemberian terapi OAE
segera setelah kejang pertama dibandingkan menunggu sampai kejang berulang
(kejang kedua) tidak mengubah prognosis jangka panjang dalam hal relaps, serta
memiliki angka yang sama. Manfaat pemberian OAE setelah serangan pertama
sepertinya hanya mengurangi kejang dalam waktu singkat, tetapi tidak
mempengaruhi angka kekambuhan jangka panjang.
Pada epilepsi yang baru tediagnosis, semua kelompok usia, dan semua
jenis kejang, dalam beberapa uji klinis acak menunjukkan bahwa karbamazepin,
asam valproat, klobazam, dan fenobarbital efektif sebagai obat anti epilepsi.
Namun penelitian tersebut tidak dapat membuktikan perbedaan yang bermakna
dalam hal efikasi obat-obat tersebut. Selain efikasi, efek samping pemberian obat
anti epilepsi juga harus menjadi pertimbangan. Perlu diingat pula bahwa OAE
jenis tertentu dapat menyebabkan eksaserbasi kejang pada beberapa sindrom
epilepsi. Selain itu pertimbangan lain adalah cost effectiveness. World Health
Organization merekomendasikan penggunaan fenobarbital sebagai terapi pilihan
untuk kejang fokal dan tonik-klonik umum pada negara dengan sumber daya yang
terbatas.
a. Epilepsi umum (general)
Sampai saat ini belum ada penelitian metaanalisis yang
menunjukkan bahwa obat tertentu lebih baik dibandingkan dengan
yang lain pada epilepsi umum idiopatik. Tetapi, beberapa
penelitian menunjukkan bahwa asam valproat efektif untuk
tatalaksana beberapa epilepsi umum idiopatik, yaitu jouvenile
myoclonic epilepsy, epilepsi dengan kejang tonik-klonik umum
saat bangun tidur di pagi hari, dan jouvinlle absence epilepsy.
22
Pada studi retrospektif yang membandingkan angka remisi
pada kasus epilepsi umum idiopatik yang diterapi dengan valproat,
topiramat, dan lamotrigin, menunjukkan bahwa angka remisi
tertinggi tercapai pada kelompok valproat, disusul topiramat, dan
paling sedikit pada kelompok lamotrigin.
b. Epilepsi fokal
Obat anti epilepsi spektrum luas seperti fenitoin, valproat,
karbamazepin, lamotrigin, topiramat, vigabatrin efektif sebagai
monoterapi pada kejang fokal. Hanya sedikit studi yang
menjelaskan perbandingan efektivitas masing-masing jenis obat
anti epilepsi.
23
absans, dan mioklonik 2-3 dosi
Oxcarbazepine Epilepsi fokal, benign 10-30mg/kgbb/hari dibagi
rolandic epilepsy 2-3 dosis. Mulai dengan
dosis 5-10 mg/kgbb/hari.
Dapat dinaikkan setiap 5-7
hari.
Lamotrigine Epilepsi umum, fokal, 0,5-5mg/kgbb/hari dibagi
absans, dan mioklonik 2-3 dosis. Dimulai dosis
0,5 mg/kgbb/hari dapat
dinaikkan setiap 2 minggu
Tabel 5. Penggunaan obat antiepilepsi lini kedua
24
5. Psikoterapi
Tidak terdapat bukti bahwa psikoterapi seperti cognitive behavior therapy
atau EEG biofeedback efektif dalam tatalaksana epilepsi pada anak.
25
Kecepatan Tappering off :
26
fokus epileptik. Pemilihan jenis operasi berdasarkan tipe dan lokalisasi kejang.
Jika bedah kuratif tidak mungkin dikerjakan, anak dengan epilepsi intraktabel
harus dirujuk dengan prosedur bedah paliatif.
i. Prognosis
Penderita epilepsi yang berobat teratur, 1/3 akan bebas serangan paling
sedikit 2 tahun. Bila lebih dari 5 tahun sesudah serangan terakhir, obat dihentikan
dan penderita tidak mengalami kejang lagi, dapat dikatakan bahwa penderita telah
mengalami remisi. 30% penderita tidak akan mengalami remisi walau sudah
minum obat teratur.
27
Umur onset yang relatif lambat sesudah usia 2 atau 3 tahun, juga
merupakan faktor yang menguntungkan. Resiko kekambuhan setelah penghentian
pengobatan tergantung pada faktor yang sama dengan remisi kejang. Kematian
atau mortalitas pada anak dengan epilepsi dapat diebabkan oleh komplikasi dari
kejang seperti aspirasi atau aritmia, kecelakaan saat kejang, kondisi komorbid
(hidrosefalus) dan suicide atau sudden enexpected death in epilepsy.
28
DAFTAR PUSTAKA
29
30