Anda di halaman 1dari 30

1.

PENDAHULUAN

Epilepsi merupakan salah satu penyakit yang berpotensi mengganggu


tumbuh kembang anak. Pada negara berkembang, termasuk Indonesia masih
banyak morbiditas pada masa perinatal yang diakibatkan karena kelainan
neurologis, termasuk epilepsi di dalamnya.

World Health Organization memperkirakan prevalens epilepsi yang


membutuhkan pengobatan sekitar 8,2 per 1000 penduduk dunia, 80% diantaranya
terdapat pada negara berkembang. Puncak prevalens epilepsi terdapat pada awal
usia remaja hingga dewasa muda.

Insidensi kasus baru pada anak lebih tinggi dibanding dewasa dan sering
dimulai sejak usia bayi. Insidensi epilepsi pada anak di negara berkembang
berkisar 40 kasus per 100.000 anak per tahun. Data nasional megenai angka
kejadian epilepsi pada anak di Indonesia belum tersedia. Namun, di Rumah Sakit
Umum Pusat Nasional (RSUPN) Cipto Mangunkusumo Departemen Ilmu
Kesehatan Anak, dalam kurun waktu 2009 sampai 2010 terdapat 218 pasien baru
dengan epilepsi umum dan 71 dengan epilepsi fokal diantara 1700 pasien baru per
tahunnya. Epilepsi merupakan diagnosis terbanyak pada pasien yang mengunjungi
poliklinik RSUPN Cipto Mangunkusumo.

Meskipun epilepsi jarang menyebabkan kematian secara langsung, epilepsi


berhubungan dengan berbagai komplikasi yang mengancam perkembangan otak,
kualitas hidup, maupun nyawa seorang anak. Kejang lama dan status epileptikus
dapat menyebabkan iskemia otak, kematian sel neuron, berkurangnya neuron di
hipokampus yang dapat menyebabkan gangguan kognitif dan perburukan dari
epilepsi. Dalam 1 tahun pertama diagnosis epilepsi 2% anak pernah mengalami
status epileptikus dan 20% pernah mengalami kejang dengan durasi lebih dari 5
menit. Dalam tahun kedua diagnosis epilepsi, terjadi peningkatan insidensi
terjadinya status epileptikus menjadi 6,1%. Selain itu, penyandang epilepsi
memiliki angka kematian dua sampai tiga kali lebih besar dibanding dengan

1
masyarakat pada umumnya. Penyebab kematian dini pada epilepsi diantaranya
adalah status epileptikus (37,7%), trauma karena kejang yang terjadi pada keadaan
yang berbahaya (11,4%), dan kematian mendadak tanpa penyebab yang jelas
(6,6%). Penyakit yang mendasari epilepsi, misalanya trauma susunan SSP atau
kelainan neurometabolik juga dapat merupakan faktor penyebab kematian dini
pada anak dengan epilepsi.

Diantara anak-anak dengan epilepsi sekitar dua pertiganya akan


mengalami bebas kejang dengan pemberian obat antiepilepsi (OAE) lini pertama
atau kedua. Sisanya sekitar 35% akan mengalami epilepsi intraktabel atau epilepsi
yang sulit disembuhkan.

Hingga saat ini masih terdapat heterogenitas yang bermakna dalam


pendekatan diagnosis dan tatalaksana epilepsi. Di negara maju yang sudah
memiliki guideline sekalipun kesalahan diagnosis masih dapat terjadi. Angka
kesalahan dalam diagnosis epilepsi di Inggris mecapai angka 20% hingga 31%.
Hal ini terjadi karena belum adanya keseragaman implementasi penatalaksanaan
dan diagnosis epilepsi. Angka kejadian epilepsi yang tinggi, potensi komplikasi,
kehilangan sumber daya manusia dan materi akibat dampak epilepsi, serta variasi
dalam diagnosis dan tatalaksan mendasari pentingnya suatu pengetahuan yang
komperhensif mengenai epilepsi pada anak.

2
2. TINJAUAN PUSTAKA

a. Pendahuluan
Kata epilepsi berasal dari bahasa yunani ‘epilambanmein’ yang berarti
serangan. Epilepsi bukanlah suatu penyakit, melainkan sekumpulan gejala yang
manifestasinya adalah melalui serangan epileptik yang berulang. Epilepsi dapat
didefinisikan sebagai gangguan kronis yang ditandai dengan adanya bangkitan
epileptik berulang akibat gangguan fungsi otak secara intermitten yang terjadi
karena lepas muatan listrik abnormal neuron-neuron secara paroksismal akibat
berbagai etiologi.

Kejang atau bangkitan epileptik merupakan manifestasi klinis disebabkan


oleh lepasnya muatan listrik secara sinkron dan berlebihan dari sekelompok
neuron otak yang bersifat transien. Aktivitas berlebihan tersebut dapat
menyebabkan disorganisasi paroksismal pada satu atau beberapa fungsi otak yang
dapat bermanifestasi eksitasi positif (motorik, sensorik, psikis) dan negatif
(hilangnya kesadaran, tonus otot, kemampuan bicara) atau gabungan keduanya.
Manifestasi bangkitan ditentukan oleh lokasi dimana bangkitan dimulai,
kecepatan,dan luasnya penyebaran. Bangkitan epileptik umumnya muncul secara
tiba-tiba dan menyebar dalam waktu beberapa detik atau menit dan sebagian besar
berlangung singkat. Sebelum terjadi bangkitan epileptik biasanya penderita dapat
merasakan akan terjadinya serangan, keadaan ini disebut fase prodormal.
Selanjutnya adalah fase setelah kejang (post ictal), penderita tertidur atau bingung
beberapa saat. Aura merupakan perasaan paroksismal berupa sensasi sensoris atau
motoris yang mendahului kejang fokal. Kejang pertama kali tanpa demam dan
tanpa provokasi (first unprovoked seizures) adalah satu atau lebih kejang tanpa
demam maupun gangguan metabolik akut yang terjadi dalam 24 jam disertai
pulihnya kesadaran diantara kejang. Epilepsi didefinisikan sebagai serangan
paroksismal berulang tanpa provokasi dengan interval lebih dari 24 jam tanpa
penyebab yang jelas.

3
Pelepasan aktifitas listrik abnormal dari sel-sel neuron di otak terjadi
karena fungsi sel neuron terganggu. Gangguan fungsi ini dapat berupa gangguan
fsiologik, biokimia, anatomi dengan manifestasi klinis baik lokal maupun general.
Gangguan tidak terbatas aktifitas motor yang terlihat oleh mata, tetapi juga oleh
aktifitas lain misalnya emosi, pikiran, dan persepsi.

Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa


(stereotipik) yang berlebihan dan abnormal, berlangsung secara mendadak dan
sementara, dengan atau tanpa perubahan kesadaran, disebabkan oleh hiperaktifitas
listrik sekelompok sel saraf di otak yang bukan disebabkan oleh suatu penyakit
otak akut (unprovoked). Sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda
klinis epilepsi yang terjadi bersama-sama meliputi berbagai etiologi, umur, onset,
jenis serangan, faktor pencetus, dan kronisitas.

b. Klasifikasi

Pada tahun 1981, The International League Against Epilepsy (ILAE)


membagi kejang menjadi kejang umum dan fokal berdasarkan tipe bangkitan,
apakah aktivitas kejang dimulai dari satu bagian otak, melibatkan banyak area,
atau melibatkan kedua hemisfer otak. ILAE membagi kejang menjadi kejang
umum dan kejang fokal (parsial), yang didefinisiakn sebagai berikut :

1. Kejang umum/general : gejala awal kejang dan/atau gambaran EEG


menunjukkan keterlibatan kedua hemisfer
2. Kejang fokal (parsial) : gejala awal kejang dan/atau gambaran EEG
menunjukkan aktivasi pada neuron terbatas pada suatu hemisfer saja dan
pasien sadar.

4
Selain itu ILAE (1989) juga membagi epilepsi berdasarkan etiologi, dapat
dibagi menjadi :

1. Epilepsi atau sindrom epilepsi idiopatik yaitu epilepsi tanpa adanya


kelainan struktur otak dan tidak ditemukan defisit neurologis. Faktor
genetik diduga berperan, dan pada umumnya khas mengenai usia tertentu.
2. Epilepsi atau sindrom epilepsi simptomatik yaitu epilepsi yang
disebabkan satu atau lebih kelainan anatomi dan ditemukan defisit
neurologis.
3. Epilepsi atau sindrom epilepsi kriptogenik yaitu epilepsi atau sindrom
epilepsi yang diasumsikan simptomatik tetapi etiologi masih belum
diketahui. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan klasifikasi kriptogenik
banyak yang dapat digolongkan sebagai epilepsi simptomatik.

Kejang umum
 Tonik
 Klonik
 Tonik-klonik
 Absans
o Tipikal absans
o Atipikal absans
 Mioklonik
 Atonik
Kejang parsial
 Kejang parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
o Dengan gejala motorik
o Dengan gejala somatosensorik atau sensorik halusinasi
o Dengan gejala otonom
o Dengan gejala psikis
 Kejang parsial kompleks
o Dengan gangguan kesadaran pada awal serangan
o Diawali parsial sederhana lalu diikuti gangguan kesadaran
 Kejang parsial menjadi umum
o Parsial sederhana menjadi tonik-klonik
o Parsial kompleks menjadi tonik-klonik
Kejang yang belum terklasifikasi
Tabel 1. Klasifikasi epilepsi berdasarkan tipe bangkitan kejang (ILAE 1981)

5
A. Kejang umum
Suatu serangan kejang dikatakan kejang umum apabila semiologi kejang
umum disertai dengan gelombang epileptiform umum. Pada kejang umum terjadi
kehilangan kesadaran yang dapat merupakan gejala awal manifestasi kejang.
Gejala motorik bersifat bilateral. Beberapa kejang ditandai gejala dan gerakan
motorik yang terlihat yaitu tonik, klonik, tonik-klonik, mioklonik, atau absans.
Kejang tonik adalah kejang yang ditandai dengan kontraksi otot yang
berlangsung selama beberapa detik sampai beberapa menit. Kontrkasi saat kejang
menyebabkan ekstensi leher, kontraksi otot-otot wajah, dengan mata membuka
secara luas, bola mata terlihat ke atas, kontraksi otot-otot respirasi, dan spasme
otot-otot proksimal ekstremitas atas. Ekstremitas dan tubuh dapat terlihat kaku.
Kejang tonik lebih sering terjadi saat tidur, bila terjadi saat periode bangun dapat
mengakibatkan penderita terjatuh. Karateristik gambaran EEG adalah perlambatan
aktivitas yang bersifat umum, atau tampak gelombang epileptiform dengan
voltase tinggi dan frekuensi cepat.
Kejang klonik adalah kejang yang ditandai dengan sentakan mioklonik
sekelompok otot dengan pengulangan secara teratur lebih kurang 2-3 siklus per
detik serta berlangsung lama, pada umumnya melibatkan kedua sisi tubuh.
Gerakan tersebut tampak menyerupai serangan mioklonik, namun kejang klonik
bersifat repetitif dengan kecepatan yang lebih rendah dibanding serangan
miklonik. Gambaran EEG tipikal pada kejang klonik adalah adanya kompleks
paku-ombak lambat dengan frekuensi tinggi.
Kejang tonik-klonik merupakan bentuk kejang dengan kombinasi kedua
elemen tipe kejang sebelumnya, dapat tonik-klonik atau klonik-tonik-klonik.
Termasuk dalam klasifikasi ini adalah kejang tonik-klonik umum sering disebut
grand mal. Kejang tonik-klonik ditandai dengan kontraksi tonik simetrik, diikuti
kontrakasi klonik bilateral otot-otot somatis. Kejang jenis ini disertai fenomena
otonom, termasuk penuruan kesadaran atau apnea.
Kejang absans ditandai hilangnya kesadaran yang bersifat sementara.
Penderita sama sekali tidak berhubungan dengan lingkungan sekitar, tidak bisa
diajak berkomunikasi dan trlihat seperti pandangan kosong. Biasanya penderita

6
tidak mengalami kebingungan. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya
subkelas kejang absans terdiri atas absans tipikal, absans atipikal, dan absans
dengan gambaran khusus. Kejang absans tipikal ditandai dengan 2 manifestasi
utama, hilangnya kesadaran transiens dan gambaran EEG khas berupa gelombang
paku-omabk atau paku majemuk-ombak. Meskipun umumnya tipe ini muncul
tanpa disertai bentuk kejang lain, beberapa penderita dapat memperlihatkan
manifestasi motorik, yaitu komponen klonik dan tonik atau otomatisasi. Kejang
absans atipikal memiliki gambaran motorik yang sama dengan tipikal namun lebih
berat, tetapi proses kehilangan kesadaran berlangsung lebih perlahan dan
progresif, demikian juga pemulihannya membutuhkan waktu yang lebih lama.
Kejang absans dapat dipicu oleh kelelahan, mengantuk, relaksasi, atau
hiperventilasi. Kejang tidak khas berkembang dimasa anak-anak atau remaja.
Kejang mioklonik adalah kontraksi singkat otot tunggal atau multiple yang
terjadi secara tiba-tiba, cepat (< 100 milidetik), dengan topografi bervariasi.
Kejang mioklonik dapat terjadi unilateral atau bilateral. Hal ini dapat terjadi
berulang-ulang. Contohnya, penderita tba-tiba jatuh atau melempar benda di
tangannya. Kejang mioklonik dapat disebabkan oleh tindakan, kebisingan,
terkejut, atau stimulasi oleh cahaya.
Kejang mioklonik biasanya terjadi beberapa jam setelah bangun atau
sebelum tidur. Kejang mioklonik juga terjadi pada ensefalopati epilepsi.
Mioclonus Focal adalah gambaran dari fokus epilepsi lobus oksipital dan epilepsi
yang timbul di daerah pusat (jika terjadi terus menerus, diberi nama epilepsia
partialis continua). Mioklonik umum juga dapat terjadi pada epilepsi simtomatik
yang disebabkan oleh anoksia otak, infeksi otak, penyakit metabolik bawaan atau
yang didapat, obat-obatan, atau keracunan.
Kejang aotnik adalah kejang ditandai dengan hilangnya tonus otot tanpa
didahului kejang mioklonik atau tonik yang berlangsung 1-2 detik, melibatkan
kepala, batang tubuh, rahang, atau otot-otot ekstremitas. Penderita tiba-tiba jatuh
ke tanah seperti boneka kain. Biasanya kejang ini berlangsung sebentar dan diikuti
oleh pemulihan segera.

7
Gambar 1. Kejang tonik, kejang klonik, dan kejang tonik-klonik

B. Kejang parsial
Kejang parsial atau fokal bermula dari struktur kortikal atau subkortikal
dari satu hemisfer, namun dapat menyebar ke daerah lain, baik ipsilateral maupun
kontralateral. Kejang parsial dapat dibagi menjadi 3 kategori, yaitu kejang parsial
sederhana, kejang parsial kompleks, dan kejang parsial menjadi umum.
Kejang parsial sederhana adalah kejang fokal tanpa disertai gangguan
kesadaran. Gambaran EEG iktal akan menunjukkan gelombang epileptiform fokal
kontralateral dimulai di area korteks yang terpengaruh. Kejang parsial sederhana
ini dapat menunjukkan kejang disertai gejala motorik, somatosensorik, atau
sensorik khusus (special sensory), otonom, atau perilaku. Kejang ini disebabkan
kerusakan otak fokal. Bagian otak yang paling umum terkena adalah lobus frontal
dan temporal. Biasanya sebagian kejang partial sederhana dialami hanya beberapa
detik.
Kejang parsial kompleks adalah kejang fokal disertai hilang atau
perubahan kesadaran. Gambaran EEG iktal menunjukkan adanya cetusan
unilateral atau terkadang bilateral tidak bersamaan. Kejang parsial kompleks
adalah salah satu dari dua manifestasi :

8
1. Kejang parsial sederhana pada awal serangan diikuti hilangnya
kesadaran
2. Hilang kesadaran dimulai dari saat awal serangan

Kejang parsial kompleks berasala dari lobus temporal pada 60% kasus,
lobus frontal 30% kasus, dan daerah kortikal pada 10% kasus.

Kejang parsial menjadi general ditandai dengan kejang fokal yang diikuti
kejang umum. Kejang umum dapat berbentuk tonik, klonik atau tonik-klonik.
Gamabran EEG iktal menunjukkan cetusan lokal dimulai dari korteks yang
terpengaruh, diikuti gambaran cetusan umum.

Pada klasifikasi 1989 terdapat klasifikasi baru yaitu sindrom epilepsi.


Sindrom epilepsi adalah suatu entitas klinis yang ditandai dengan sekumpulan
gambaran elektroklinis khas dan manifestasi yang khas pula. Tidak semua jenis
epilepsi masuk dalam suatu sindrom. Klasifiasi ILAE 2010 menerangkan sindrom
epilepsi adalah suatu entitas yang memiliki krakteristik elektroklinis khas meliputi
usia saat awitan, gambaran EEG, tipe kejang, perkembangan neurodevelopmental,
pola penurunan, respons terapi, dan prognosis.

Epilepsi pada bayi dan anak dianggap sebagai suatu sindrom. Dikenal 4
kelompok usia yang masing-masing mempunyai kolerasi dengan sindrom epilepsi
dapat di kelompokkan sebagai berikut :

1. Kelompok neonatus sampai umur 3 bulan


Serangan epilepsi pada anak usia kurang dari 3 bulan bersifat
fragmentaris, yaitu sebagian dari manifestasi serangan epileptik seperti
muscular twitching : mata berkedip sejenak basanya asimetris dan mata
berbalik keatas sejenak, lengan berkedut-kedut, badan melengkung/
menekuk sejenak.
2. Kelompok usia 3 bulan sampai 4 tahun
Pada kelompok ini sering terjadi kejang demam, karena kelompok
ini sangat peka terhadap infeksi dan demam. Kejang demam bukan
termasuk epilepsi, tetapi merupakan faktor resiko utama terjadinya

9
epilepsi. Sindrom epilepsi yang sering terjadi pada kelompok ini adalah
sindro spasme infantile atau sindrom west dan sindrom Lennox-Gestant
atau epilepsi mioklonik.
3. Kelompok usia 4-9 tahun
Pada kelompok inimulai timbul manifestasi klinis dari epilepsi
umum primer terutama manifestasi dari epilepsi kriptogenik atau epilepsi
karena fokus epileptogenik herediter. Jenis epilepsi pada kelompok ini
adalah petitmal, grand mal, dan benign epilepsy of childhood woth
rolandic spikes (BERCS).
4. Kelompok usia lebih dari 9 tahun
a. Kelompok epilepsi herediter : BERCS, kelompok epilepsi fokal
atau epilepsi umu lesionik.
b. Kelompok epilepsi simptomatik : eilepsi lobus temporalis atau
epilepsi psikomotor. Kesuali BECRS, pasien epilepsi jenis tersebut
dapat tetap mengalami bangkitan epileptik pada kehidupan
selanjutnya. Epilepsi jenis absence dapat muncul pada kelompok
ini.

c. Etiologi

Manifestasi klinis dari epilepsi disebabkan oleh lesi di korteks serebri yang
mendasarinya. Lesi di otak pada umumnya telah ada beberapa bulan-tahun
sebelum gejala pertama epilepsi muncul, seperti hipoksia perinatal/asfiksia atau
dapat berupa perdarahan intraserebral. Namun demikian etiologi epilepsi secara
umum masih belum diketahui. ILAE tahun 2010 mengganti terminologi dari
idiopatik, simptomatik atau kriptogenik, menjadi genetik, struktural/metabolik,
dan tidak diketahui. Genetic epilepsy syndrome adalah epilepsi yang diketahui
disebabkan oleh kelainan genetik dengan kejang sebagai manifestasi utamanya.
Structrual metabolic syndrome adalah adanya kelainan struktural/metabolik yang
menyebabkan seseorang berisiko mengalami epilepsi , contohnya epilepsi setelah
mengalami stroke, trauma, infeksi SSP, atau adanya kelainan genetik seperti

10
tubersklerosis dengan kelainan struktur otak. Epilepsi dikatakan idiopatik jika
penyebabnya belum diketahui.

d. Fakto Resiko

Epilepsi dapat dianggap sebagai suatu gejala gangguan fungsi otak yag
penyebabnya bervariasi terdiri dari berbagai faktor. Epilepsi yang tidak diketahui
faktor penyebabnya dapat disebut idiopatik. Sedangkan epilepsi yang dapat
ditentukan faktor penyebabnya disebut epilepsi simptomatik.

Beberapa faktor resiko terjadinya epilepsi antara lain :

1. Faktor prenatal
a. Usia ibu saat hamil
b. Kehamilan dengan eklampsia dan hipertensi
c. Kehamilan primipara atau multipara
d. Pemakaian bahan toksik
2. Faktor natal
a. Asfiksia neonatorum
b. Berat bayi lahir rendah
c. Prematur atau posterm
d. Persalinan dengan alat (forsep, vacum extraction, SC)
e. Perdarahan intrakranial
3. Faktor postnatal
a. Kejang demam
b. Trauma kepala
c. Infeksi sistem saraf pusat
d. Epilepsi akibat toksik
e. Gangguan metabolik
4. Faktor genetik

11
e. Patofisiologi

Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak teradi lebih
dominan daripada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen,
disinhibisi, dan pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler, voltage- gated ion
channel opening, dan menguatnya sinkronisasi neuron sangat penting artinya
dalm hal inisiasi dan perambatan aktivitas epileptik. Aktivitas neuron diatur oleh
konsentrasi ion di dalam ruang ekstraseluler dan intraseluler, dan oleh gerakan
keluar masuk ion-ion menembus membran neuron.
Lima buah elemen fisiologi dari neuron-neuron tertentu pada korteks
serebri penting dalam mendatangkan kecurigaan terhadap adanya epilepsi:
1. Kemampuan neuron kortikal untuk bekerja pada frekuensi tinggi dalam
merespon depolarisasi diperpanjang akan menyebabkan eksitasi sinaps dan
inaktivasi konduksi Ca2+ secara perlahan.
2. Adanya koneksi eksitatorik rekuren (recurrent excitatory connection),
yang memungkinkan adanyan umpan balik positif yang menyebarkan dan
membangkitkan aktivitas kejang.
3. Kepadatan komponen dan keutuhan dari pandangan umum terhadap sel-sel
piramidal pada daerah tertentu di korteks, termasuk pada hipokampus,
yang bisa dikatakan sebagai tempat paling rawan untuk terkena aktivitas
kejang. Hal ini menghasilkan daerah-daerah potensial luas, yang kemudian
memicu aktifitas penyebaran non-sinaptik dan aktifitas elektrik.
4. Bentuk dari frekuensi terjadinya potensiasi (termasuk juga merekrut
respon NMDA) menjadi ciri khas dari jaras sinaptik di korteks.
5. Efek berlawanan yang jelas (contohnya depresi) dari sinaps inhibitor
rekuren dihasilkan dari frekuensi tinggi peristiwa aktifasi.
Serangan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron abnormal
mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan cetusan potensial
aksi secara tepat dan berulang-ulang. Cetusan listrik abnormal ini kemudian
melibatkan neuron-neuron yang terkait di dalam proses. Secara klinis serangan
epilepsi akan tampak apabila cetusan listrik dari sejumlah neuron abnormal

12
muncul secara bersama-sama, membentuk suatu badai aktifitas listrik di dalam
otak.
Badai listrik tadi menimbulkan bermacam-macam serangan epilepsi yang
berbeda (lebih dari 20 macam), bergantung pada daerah dan fungsi otak yang
terkena dan terlibat.
Sebagi penyebab terjadinya epilepsi, terdiri dari 3 kategori yaitu :
1. Non Spesifik Predispossing Factor (NPF)
membedakan seorang peka atau tidaknya terhadap serangan epilepsi
dibanding orang lain. Setiap orang sebetulnya dapat dimunculkan
bangkitan epilepsi hanya dengan dosis rangsangan berbeda-beda.
2. Spesific Epileptogenic Disturbances (SED)
Kelainan ini dapat diwariskan maupun didapat dan inilah yang
bertanggung jawab atas timbulnya epileptiform activity di otak. Timbulnya
bangkitan epilepsi merupakan kerja sama antara SED dan NPF.
3. Presipitating Factor (PF)
Merupakan faktor pencetus terjadinya bangkitan epilepsi pada penderita
epilepsi yang kronis. Penderita dengan nilai ambang yang rendah, PF dapat
membangkitkan reactive seizure dimana SED tidak ada.
Ketiga hal di atas memegang peranan penting terjadinya epilepsi sebagai hal
dasar.
Hipotesis secara seluler dan molekular yang banyak dianut sekarang
adalah : membran neuron dalam keadaan normal mudah dilalui oleh ion kalium
dan ion klorida, tetapi sangat sulit dilalui ion natrium dan kalsium. Dengan
demikian konsentrasi yang tinggi ion kalium dalam sel (intraseluler), dan
konsentrasi ion natrium dan kalsium ekstraseluler tinggi. Sesuai dengan teori
Dean (Sodium pump), sel hidup mendorong ion natrium keluar sel, bila natrium
ini memasuki sel, keadaan ini sama halnya dengan ion kalsium.
Bangkitan epilepsi karena transmisi impuls yang berlebihan di dalam otak
yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls.
Sinkronisasi ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak secara
serentak, secara teori sinkronisasi ini dapat terjadi.

13
1. fungsi jaringan neuron penghambat (neurotransmiter GABA dan Glisin)
kurang optimal hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara
berlebihan.
2. keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik (Glutamat dan Aspirin)
berlebihan hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebihan juga.
Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimal antara lain bila konsentrasi
GABA (gamma aminobutyric acid) tidak normal. Pada otak manusia yang
menderita epilepsi ternyata kandungan GABA rendah. Hambatan oleh GABA
dalam bentuk inhibisi potensial presinaptik (IPSPs = inhibitory post synaptic
potentials) adalah lewat reseptor GABA.
Sinkronisasi dapat terjadi pada sekelompok kecil neuron sekelompok besar
atau selur uh neuron otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok
neuron ini menimbulkan manifestasi yang berbeda dari serangan epileptik. Secara
teoritis ada 2 penyebabnya yaitu fungsi neuron penghambat kurang optimal
(GABA) sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan, sementara
itu fungsi jaringan neuron eksitatorik (Glutamat) berlebihan.
Berbagai penyakit dapat menyebabkan terjadinya perubahan
keseimbangan antara neuron inhibitor dan eksitator, misalnya kelainan herediter,
kongenital, hipoksia, infeksi, tumor, vaskuler, obat atau toksin. Kelainan tersebut
dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi
neuron eksitasi, sehingga mudah timbul epilepsi bila ada serangan yang memadai.
Daerah yang rentan terhadap kerusakan bila ada abnormalitas otak antara
lain di hipokampus. Oleh karena setiap serangan kejang selalu menyebabkan
kenaikan eksitabilitas neuron, maka serangan kejang cenderung berulang dan
selanjutnya menimbulkan kerusakan yang lebih luas. Pada pemeriksaan jaringan
otak penderita epilepsi yang mati selalu didapatkan kerusakan di daerah
hipokampus. Oleh karena itu tidak mengherankan bila lebih dari 50% epilepsi
parsial fokus asalnya berada di lobus temporalis dimana terdapat hipokampus dan
merupakan tempat asal epilepsi dapatan.
Pada bayi dan anak-anak sel neuron masih imatur sehingga mudah terkena
efek traumatik, gangguan metabolik, gangguan sirkulasi, infeksi dan sebagainya.

14
Efek ini dapat berupa kemusnahan neuron-neuron serta sel-sel glia atau kerusakan
pada neuron atau glia, yang pada gilirannya dapat memebuat neuron glia atau
lingkungan neuronal epileptogenik. Kerusakan otak akibat trauma, infeksi,
gangguan metabolisme dan sebagainya, semuanya dapat mengembagkan epilepsi.
Akan tetapi anak tanpa brain demage dapat juga terjadi epilepsi, dalam hal ini
factor genetik dianggap penyebabnya, khususnya grand mal dan petit mal serta
benign centrotempora epilepsy. Walaupun demikian proses yang mendasari
serangan epilepasi idiopatik, melalui mekanisme yang sama.

Gambar 2. Neurotransmitter GABA dan Glutamat dalam transmisi sinaptik

f. Diagnosis
A. Anamnesis
Menegakkan diagnosis epilepsi dengan benar dan lengkap sangat penting.
Anamnesis yang lengkap dan rinci mengenai kejadian sangat diperlukan, terutama
dari orang tua atau keluarga yang mengetahui kejadian secara langsung.
Pertama hal yang harus diperhatikan adalah apakah serangan yang terjadi
itu merupakan suatu kejang atau bukan. Berikut merupakan perbedaan kejang dan
bukan kejang.

15
Klinis Kejang Bukan kejang
Awitan Tiba-tiba gradual
Kesadaran Terganggu (pada kejang fokal Tidak terganggu
sederhana kesadaran tidak
terganggu)
Gerakan ekstrimitas Sinkron asinkron
Sianosis sering jarang
Gerakan abnormal mata selalu jarang
Lama Detik-menit Beberapa menit
Dapat diprovokasi jarang Hampir selalu
Abnormalitas EEG (iktal) selalu Tidak pernah
Tabel 2. Perbedaan antara serangan kejang dan serangan non-kejang

Kemudian pada anamnesis penting untuk menentukan bentuk


bangkitan/kejang seperti apa, yaitu :
a. Kejang tonik (kaku), klonik (kelojotan), umum atau fokal
b. Kejang umum tonik-klonik
c. Tiba-tiba jatuh (atonik)
d. Bengong (absans)
e. Bayi seperti kaget berulang kali (spasme)
f. Gerakan otomatisasi (mengecap-ngecap)
g. Gerakan menyentak pada ekstremitas
h. Episode bingung dan kehilangan kesadaran
i. Perasaan tiba-tiba menjadi mual atau nyeri ulu hati,
halusinasi visual atau auditori, rasa kesemutan pada kejang
fokal.
Pada anamnesis lain juga perlu ditanyakan :
1. Pada keadaan apa kejang tersebut muncul
2. Apa yang dilakukan anak sebelum bangkitan kejang muncul
3. Apakah ditemukan aura

16
4. Berapa kali anak kejang dalam 24 jam, berapa lama kejang
berlangsung
5. Apakah yang terjadi setelah kejang berhenti, apakah pasien sadar
6. Saat kejang ditemukan gangguan kesadaran, terlihat menatap
dengan pandangan kosong
7. Adakah gangguan fungsi otonom
8. Apakah bentuk bangkitan selalu sama
9. Riwayat perkembangan anak dan kejang dalam keluarga.

B. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik umum dan neurologis

Pemeriksaan fisik pada penderita kejang diawali dengan observasi. Hal-hal


yang diobservasi antara lain cara berjalannya apakah normal, atau tampak
kelemahan bahkan spastisitas pada salah satu atau kedua sisi. Perlu pula
diperhatikan interaksi dengan lingkungan, normal atau hiperaktif dan apakah
perkembangan bicara sesuai dengan usia.

Pemeriksaan fisik dilakukan pada semua sistem. Perlu diperhatikan apakah


ada jaringan parut, perubahan warna kulit, adenoma sebaseum, haemangioma,
asimetri, anomali kongenital. Pada kondisi akut, perhatikan: demam, penonjolan
fontanel, kaku leher, ruam, penurunan kesadaran.

Pemeriksaan neurologis yang perlu diperhatikan antara lain mata: ukuran


dan reaksi pupil, lapangan pandang, nystagmus, funduskopi jika memungkinkan
serta saraf kranial lainnya, kekuatan otot, serta tonus (hiper atau hipotonus)
refleks apakah ada perbedaan antara kiri dengan kanan. Tanda-tanda keracunan
obat, seperti ataksia, mengantuk, nystagmus

C. Pemeriksaan penunjang
1. Elektroensefalografi
Elektroensefalografi (EEG) merupakan pemeriksaan penunjang standar
yang harus dilakukan pada setiap kejadian paroksismal bangkitan/kejang. Rekam

17
EEG harus dilakukan selama 30 menit yang terdiri dari rekaman tidur dan bangun
tanpa menggunakan obat premedikasi. Pemeriksaan EEG dilakukan setelah
bangkitan kedua namun bila dirasakan perlu dapat dilakukan setelah kejang
pertama. Pemeriksaan EEG dapat diulang bila pada pemeriksaan pertama hasilnya
tidak jelas.
EEG bukanlah gold standart dalam menegakkan diagnosis epilepsi.
Kelainan pada EEG dapat ditemukan pada 2%-4% anak yang tidak pernah kejang
dan sebaliknya EEG interiktal pertama dapat normal pada 55% anak dengan
kejang pertama tanpa provokasi. Gambaran EEG saja tanpa memandang informasi
klinis tidak dapat menyingkirkan maupun menegakkan diagnosis epilepsi.
Pada gambaran EEG perlu diperhatikan frekuensi dan amplitudo
gelombang irama dasar, ada tidaknya asimetri, serta ada tidaknya aktivitas
epileptiform yang dapat berupa gelombang paku, gelombang tajam, paku-ombak,
tajam-ombak, paku-multipel,burst suppression, dan hipsaritmia. Peran EEG pada
epilepsi adalah sebagai berikut :
a. Membantu menentukan tipe kejang
b. Menunjukkan lokalisasi fokus kejang apabila ada, beserta
penyebarannya
c. Membantu menentukan sindrom epilepsi
d. Pemantauan keberhasilan terapi
e. Membantu menentukan apakah terapi farmakologis epilepsi dapat
dihentikan
Sensitivitas EEG dalam mendiagnosis epilepsi hanya 25%-56%,
sedangkan spesifitasnya 78%-98%. Jika hasil EEG dipadukan dengan temuan
klinis pada pasien yang sesuai dengan epilepsi maka sensitivitasnya menjadi
98,3% dan spesifitasnya 86%. Beberapa hal yang dapat meningkatkan nilai
diagnostik EEG antara lain :
a. Pemeriksaan EEG saat kejang/segera setelah kejang terjadi
b. Pengulangan EEG
c. Melakukan EEG saat tidur (sensitivitas 81%), terutama apabila
dilakukan pengulangan siklus bangun –tidur (sensitivitas 92%)

18
d. Deprivasi tidur parsial meningkatkan angka deteksi aktivitas
epileptiform pada EEG 100%
e. Hiperventilasi, pada epilepsi tipe absans
f. Stimulasi fotik

Gambar 3. Pemeriksaan Elektroensefalografi

2. Pencitraan
Pencitraan dilakukan untuk menentukan etiologi, memperkirakan
prognosis, dan merencanakan tatalaksana klinis yang sesuai Peran pemeriksaan
pencitraan seperti CT-scan dan MRI adalah untuk mendeteksi lesi otak yang
mungkini menjadi faktor penyebab epilepsi atau kelainan neurodevelopmental
yang menyertai. bila dibandingkan dengan CT Scan maka MRI lebih sensitif
karena secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk
membandingkan hipokampus kiri dan kanan. Inidkasi MRI pada anak dengan
epilepsi adalah sebagai berikut :
a. Epilepsi fokal berdasarkan gambaran klinis atau EEG
b. Pemeriksaan neurologis klinis yang abnormal, misalnya ditemukan
adanya defisit neurologis fokal, stigmata kelainan neurokutan, tanda
malformasi otak, keterlambatan yang bermakna, atau adanya
kemunduran yang bermakna

19
c. Anak berusia kurang dari 2 tahun
d. Anak dengan gejala khas sindrom epilepsi simptomatik, misalnya
epilepsi spasme infantil atau sindrom Lennox-Gastaut
e. Epilepsi intraktabel
f. Status epileptikus

Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan untuk menetukan etiologi epilepsi,


menentukan tatalaksana dan prognosis adalah pemeriksaan sitogenetik, metabolik,
dan analisis kromosom.

g. Diagnosis Banding

Epilepsi harus dibedakan dengan kejang non-epileptik dan serangan


paroksismal bukan kejang. Kejang non epileptik adalah kejang demam, kejang
refleks, kejang anoksik, kejang akibat withdrawl alkohol, kejang yang dicetuksan
obat-obatan atau bahan kimiawi lainnya, kejang pascatrauma, dan kejang akibat
kelainan metabolik atau elektrolit akut. Untuk membedakan kejang epileptik,
kejang non-epileptik, dan serangan paroksismal bukan kejang dilakukan melalui
anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang sesuai indikasi yang
ditemukan. Pemeriksaan elektroensefalografi dengan rekaman video pada saat
terjadi serangan dapat membantu menentukan apakah serangan merupakan kejang
epileptik. Dalam menentukan suatu serangan merupakan kejang epileptik, perlu
disingkirkan berbagi bentuk serangan paroksismal non-epileptik seperti pada
tabel.

Perubahan atau penurunan kesadaran


 Breath-holding spells
 Sinkop

Gerakan menyerupai kejang


 Tic/sindrom tourette
 Hiperpleksia

20
 Spasmus nutans
 Refluks gastroesofagus
 Diskinesia/gerakan involunter
 Pseudoseizures
 Benign sleep myoclonus

Perubahan perilaku
 Night terrors
 Somnabulisme
 Melamun

Fenomena sensorik atau autonom


 migren
 vertigo paroksismal
 cyclic vomiting
 hiperventilasi

Tabel 3. Bebragai bentuk serangan paroksismal non-epileptik

h. Penatalaksanaan

1. Tatalaksan umum
Tatalaksana umum dari epilepsi pada anak adalah pemberian informasi
terhadap anak, orang tua, dan keluarga tentang penyakit yang diderita, rencana
terapi, efek samping, interaksi OAE, dan aktivitas yang diperbolehkan serta
pengaruh epilepsi pada kehidupan sehari-hari. Informasi yang diberikan harus
sesuai dengan tingkat pendidikan, sosial-ekonomi, dan sosial budaya. Selain itu
informasi pada pihak sekolah juga patut di perhatikan mengingat anak akan lebih
banyak menghabiskan waktu di sekolah dibandingkan di rumah.
2. Tatalaksana medikamentosa
Sebelum memberikan obatanti epilepsi (OAE), diagnosis epilepsi atau
sindrom epilepsi haru sudah ditegakkan. Respons individu terhadap OAE

21
tergantung dari tipe kejang, klasifikasi dan sindrom epilepsi, serta harus dievaluasi
pada tiap kali kunjungan. Pengobatan epilepsi adalah pengobatan jangka panjang.
Oleh karena itu untuk mendapatkan keberhasilan terapi diperlukan kerja sama dan
pemahaman yang baik antara dokter, pasien, dan keluarga pasien.
Waktu pemberian dari obat anti epilepsi berdasarkan suatu studi
klinis acak dengan jumlah sampel yang besar menunjukkan bahwa pada anak
dengan first unprovoked generalized tonic clonic seizures, pemberian terapi OAE
segera setelah kejang pertama dibandingkan menunggu sampai kejang berulang
(kejang kedua) tidak mengubah prognosis jangka panjang dalam hal relaps, serta
memiliki angka yang sama. Manfaat pemberian OAE setelah serangan pertama
sepertinya hanya mengurangi kejang dalam waktu singkat, tetapi tidak
mempengaruhi angka kekambuhan jangka panjang.
Pada epilepsi yang baru tediagnosis, semua kelompok usia, dan semua
jenis kejang, dalam beberapa uji klinis acak menunjukkan bahwa karbamazepin,
asam valproat, klobazam, dan fenobarbital efektif sebagai obat anti epilepsi.
Namun penelitian tersebut tidak dapat membuktikan perbedaan yang bermakna
dalam hal efikasi obat-obat tersebut. Selain efikasi, efek samping pemberian obat
anti epilepsi juga harus menjadi pertimbangan. Perlu diingat pula bahwa OAE
jenis tertentu dapat menyebabkan eksaserbasi kejang pada beberapa sindrom
epilepsi. Selain itu pertimbangan lain adalah cost effectiveness. World Health
Organization merekomendasikan penggunaan fenobarbital sebagai terapi pilihan
untuk kejang fokal dan tonik-klonik umum pada negara dengan sumber daya yang
terbatas.
a. Epilepsi umum (general)
Sampai saat ini belum ada penelitian metaanalisis yang
menunjukkan bahwa obat tertentu lebih baik dibandingkan dengan
yang lain pada epilepsi umum idiopatik. Tetapi, beberapa
penelitian menunjukkan bahwa asam valproat efektif untuk
tatalaksana beberapa epilepsi umum idiopatik, yaitu jouvenile
myoclonic epilepsy, epilepsi dengan kejang tonik-klonik umum
saat bangun tidur di pagi hari, dan jouvinlle absence epilepsy.

22
Pada studi retrospektif yang membandingkan angka remisi
pada kasus epilepsi umum idiopatik yang diterapi dengan valproat,
topiramat, dan lamotrigin, menunjukkan bahwa angka remisi
tertinggi tercapai pada kelompok valproat, disusul topiramat, dan
paling sedikit pada kelompok lamotrigin.
b. Epilepsi fokal
Obat anti epilepsi spektrum luas seperti fenitoin, valproat,
karbamazepin, lamotrigin, topiramat, vigabatrin efektif sebagai
monoterapi pada kejang fokal. Hanya sedikit studi yang
menjelaskan perbandingan efektivitas masing-masing jenis obat
anti epilepsi.

Nama obat indikasi Kontraindikasi Dosis


Fenobarbital Epilepsi umum Absans 4-6 mg/kgBB/hari
dan epilepsi dibagi 2 dosis
fokal
Fenitoin Epilepsi fokal Mioklonik dan 5-7 mg/kgBB/hari
dan epilepsi absans dibagi 2 dosis
umum
Asam valproat Epilepsi umum, - 15-40 mg/kgbb/hari
fokal, absans, dibagi 2 dosis
dan mioklonik Target awal : 15-25
mg/kgBB/hari
karbamazepin Epilepsi fokal Mioklonik dan 10-30 mg/kgbb/hari
absans dibagi 2-3 dosis
Tabel 4. Penggunaan obat antiepilepsi lini pertama

Nama obat Indikasi Dosis


Topiramat Epilepsi umum dan 5-9mg/kgbb/hari dibagi 2-
fokal 3 dosis. Mulai dari dosis
0,5-1mg/kgbb/hari.
Dinaikan setiap 1-2
minggu.
Levetiracetam Epilepsi fokal, general, 20-60mg/kgbb/hari dibagi

23
absans, dan mioklonik 2-3 dosi
Oxcarbazepine Epilepsi fokal, benign 10-30mg/kgbb/hari dibagi
rolandic epilepsy 2-3 dosis. Mulai dengan
dosis 5-10 mg/kgbb/hari.
Dapat dinaikkan setiap 5-7
hari.
Lamotrigine Epilepsi umum, fokal, 0,5-5mg/kgbb/hari dibagi
absans, dan mioklonik 2-3 dosis. Dimulai dosis
0,5 mg/kgbb/hari dapat
dinaikkan setiap 2 minggu
Tabel 5. Penggunaan obat antiepilepsi lini kedua

3. Kombinasi terapi OAE


Sekitar 70% epilepsi pada anak akan berespon baik terhadap OAE pertama
atau kedua. Jika OAE pertama dan kedua gagal sebagai monoterapi, peluang
untuk mencoba monoterapi lain dalam pengobatan epilepsi sangatlah kecil,
sehingga terapi OAE kombinasi patut dipertimbangkan. Pada epilepsi umum
idiopatik yang resisten terhadap monoterapi, topiramat, lamotrigin, dan klobazam
efektif sebagai terapi kombinasi. Sedangnkan pada epilepsi fokal penggunaan
kombinasi lamotrigin, gabapentin, topiramat, tiagabin, dan okskarbazepin efektif.

4. Efek samping OAE


Efek samping pemberian obat antiepilepsi seringkali terjadi dan
merupakan penyebab terbesar penghentian terapi. Beberapa efek samping terkait
dengan dosis dan dapat diprediksi. Hal tersebut dapat diminimalkan dengan
peningkatan dosis secara bertahap.
Reaksi idiosinkrasi pada obat antiepilepsi pada umumnya muncul pada
awal terapi, tetapi dapat muncul kapanpun. Rash/ruam adalah efek samping yang
sering terjadi pada anak dan berkaitan dengan karbamazepin, fenitoin, dan
lamotrigin. Sindrom hipersensitivitas berat yang mengancam jiwa dapat terjadi,
meskipun jarang.

24
5. Psikoterapi
Tidak terdapat bukti bahwa psikoterapi seperti cognitive behavior therapy
atau EEG biofeedback efektif dalam tatalaksana epilepsi pada anak.

6. Pengehentian obat epilepsi


Penghentian pemberian OAE harus dipertimbangkan jika anak sudah
bebas kejang selama 2 tahun atau lebih. Secara keseluruhan, 60% sampai 70%
anak dengan epilepsi yang telah bebas kejang selama 2 tahun atau lebih tidak akan
mengalami kejang kembali meskipun pemberian OAE dihentikan. Sekitar 30%-
40% akan tetap mengalami kekambuhan. Meskipun mengalami kekambuhan,
remisi jangka panjang dapat diperoleh kembali setelah mendapatkan terapi standar
epilepsi.
Beberapa faktor risiko yang dapat memprediksi kekambuhan adalah
epilepsi simptomatik, sindrom epilepsi, usia awitan kejang lebih dari 12 tahun,
periode bebas kejang kurang dari 6 bulan, dan hasil pemeriksaan EEG abnormal
pada saat penghentian obat. Jouvenile myoclonic epilepsy sindrom epilepsi yang
sering terjadi pada remaja memiliki angka kekambuhan yang tinggi dan mungkin
membutuhkan pengobatan seumur hidup. berikut akan dijelaskan panduan
penghentian obat pada OAE, sebagai berikut :
Waktu memulai penghentian obat antiepilepsi :
a. Setelah 2 tahun bebas kejang, jika syarat-syarat berikut terpenuhi
(rekomendasi A) :
 Epilepsi idiopatik : tonik-klonik, absans tipikal
 Pemeriksaan neurologis normal
 Gambaran EEG normal
b. Setelah 3 tahun bebas kejang, pada kasus (rekomendasi C) :
 Epilepsi simptomatik
 Sindrom epilepsi
 Gambaran EEG abnormal walau 2 tahun bebas kejang

25
Kecepatan Tappering off :

a. Tappering off selama 3 bulan, jika syarat berikut terpenuhi


(rekomendasi B) :
 Epilepsi idiopatik yang bebas kejang dengan satu jenis OAE
 Gambaran EEG sebelum tappering off normal
b. Tappering off selama 6 bulan pada kasus (rekomendasi C) :
 Epilepsi simptomatik
 Sindroma epilepsi
 Gambaran EEG sebelum tappering off masih menunjukkan
gelombang epileptiform
 Terdapat gangguan perkembangan
7. Tatalaksana non medikamentosa
A. Diet Ketogenik
Diet ketogenik adalah diet dengan kandungan lemak yang tinggi, rendah
karbohidrat, dan cukup protein. Diet tersebut menghasilkan energi untuk otak
bukan dari glukosa sebagai hasil glikolisis, namun dari keton sebagai hasil
oksidasi asam lemak. Rasio asam lemak dengan karbohidrat dan protein adalah
3:1 atau 4:1 (dalam gram). Diet ketogenik dapat diberikan sebagai terapi adjuvan
pada epilepsi intraktabel dan dapat menurunkan frekuensi kejang. Tetapi diet
ketogenik pada anak usia 6-12 tahun dapat menyebabkan pertumbuhan yang
lambat, batu ginjal, dan fraktur.
B. Tindakan pembedahan
Sebagian besar epilepsi pada anak dapat ditangani dengan terapi
medikamentosa saja. Tindakan bedah saraf dapat dipertimbangkan pada sebagian
kecil penyandang epilepsi yang tetap mengalami kejang meskipun telah
mendapatkan terapi OAE kombinasi, terdapat kontraindikasi atau gagal dengan
diet ketogenik.
Terapi pembedahan dikerjakan hanya jika tidak ada sumber epileptogenik
lain diluar area yang direncakan akan direseksi. Tindakan tersebut dapat berupa
pengangkatan area tempat kejang bermula atau pengangkatan lesi yang menjadi

26
fokus epileptik. Pemilihan jenis operasi berdasarkan tipe dan lokalisasi kejang.
Jika bedah kuratif tidak mungkin dikerjakan, anak dengan epilepsi intraktabel
harus dirujuk dengan prosedur bedah paliatif.

C. Stimulasi nervus vagus


Stimulasi nervus vagus merupakan terapi adjuvan yang dilakukan pada
pasien dengan kejang intraktabel dan bukan merupakan kandidat terapi bedah
reseksi. Terapi stimulasi nervus vagus dilaporkan efektif dala mmengurangi
frekuensi kejang pada epilepsi parsial dan epilepsi umum serta sindrom Lennox-
Gastaut yang refrakter terhadap terapi medikamentosa. Evaluasi dan keputusan
tindakan bedah harus dilakukan pada institusi khusus yang menangani bedah pada
epilepsi.

i. Prognosis

Penderita epilepsi yang berobat teratur, 1/3 akan bebas serangan paling
sedikit 2 tahun. Bila lebih dari 5 tahun sesudah serangan terakhir, obat dihentikan
dan penderita tidak mengalami kejang lagi, dapat dikatakan bahwa penderita telah
mengalami remisi. 30% penderita tidak akan mengalami remisi walau sudah
minum obat teratur.

Faktor yang mempengaruhi remisi adalah tingkat kecerdasan yang normal,


pemeriksaan neurologi normal, lamanya kejang, etiologi, tipe kejang, umur awal
terjadi kejang, kejang tonik-klonik, kejang parsial kompleks akan mengalami
remisi pada hampir lebih dari 50% penderita. Makin muda usia awal terjadinya
kejang, remisi lebih sering terjadi.

Beberapa jenis epilepsi memiliki prognosis baik, dalam arti menghilang


seiring bertambahnya usia. Analisis multivariat yang memperhitungkan faktor
klinis, diagnosis sindrom, respon terapi dalam waktu 6 bulan pertama terapi
memperlihatkan bahwa pada saat diagnosis pertama ditegakkan, 70% dapat
diprediksi apakah epilepsi dapt mencapai remisi atau tidak.

27
Umur onset yang relatif lambat sesudah usia 2 atau 3 tahun, juga
merupakan faktor yang menguntungkan. Resiko kekambuhan setelah penghentian
pengobatan tergantung pada faktor yang sama dengan remisi kejang. Kematian
atau mortalitas pada anak dengan epilepsi dapat diebabkan oleh komplikasi dari
kejang seperti aspirasi atau aritmia, kecelakaan saat kejang, kondisi komorbid
(hidrosefalus) dan suicide atau sudden enexpected death in epilepsy.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Bahrudin M. 2016. Neurologi Klnis. Malang: Penerbit Universitas


Muhammadiyah Malang.
2. Fisher RS, Acevedo C, dkk. ILAE Official Report: A practical clinical
definition of epilepsy. Epilepsia. 2014;55:475-82.
3. Haslam Robert. Sistem Saraf; Bab 543 Kejang-Kejang Pada Masa Anak.
Dalam: Nelson Waldo E, penyunting. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Edisi-
15. Volume-3, diterjemahkan oleh Wahab Samik. Jakarta: EGC; 2000:
h.2056-2060.
4. Lumbantobing SM. Etiologi Dan Faal Sakitan Epilepsi. Dalam:
Soetomenggolo Taslim, Ismael Sofyan, Penyunting. Neurologi Anak.
Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 1999: h.197-203.
5. Mangunatmadja I, Handryastuti S. 2016. Epilepsi Pada Anak. Jakarta:
Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.
6. Markam S, Gunawan S, Indrayana, Lazuardi S. Diagnostik Epilepsi.
Dalam: Markam Soemarmo, penyunting. Penuntun Neurologi. Edisi-1.
Tangerang: Binarupa Akasara; 2009: h. 103-113.
7. Pallgreno TR. Seizure and status Epilepticus in Adults, in Tintinoli JE,
Ruis E. Emergency Medicine. 4th ed. New York .Mc Graw Hill.1996

8. Passat Jimmy. Epidemiologi Epilepsi. Dalam: Soetomenggolo Taslim,


Ismael Sofyan, Penyunting. Neurologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit
IDAI; 1999: h.190-197.
9. Soetomenggolo Taslim. Pemeriksaan Penunjang Pada Epilepsi. Dalam:
Soetomenggolo Taslim, Ismael Sofyan, Penyunting. Neurologi Anak.
Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 1999: h.223-226.
10. World Health Organization. Epilepsy : Historical Overview. 1997. Fact
Sheet. URL http: //www.who.int/inf-fs/ en/fact 168. html.

29
30

Anda mungkin juga menyukai