Anda di halaman 1dari 36

Askep : Asuhan Keperawatan Anak Kejang Demam

Kejang Demam

Pengertian

Kejang demam atau febrile convulsion ialah bangkitan kejang yang


terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38oC) yang
disebabkan oleh proses ekstrakranium (Ngastiyah, 1997:229).

Kejang adalah pembebasan listrik yang tidak terkontrol dari sel syaraf
cortex serebral yang ditandai dengan serangan yang tiba – tiba
(marillyn, doengoes. 1999 : 252)

Etiologi

Penyebab dari kejag demam dibagi menjadi 6 kelompok, yaitu :

1. Obat – obatan
racun, alkhohol, obat yang diminum berlebihan

2. Ketidak seimbangan kimiawi


hiperkalemia, hipoglikemia dan asidosis

3. Demam
paling sering terjadi pada anak balita

4. Patologis otak
akibat dari cidera kepala, trauma, infeksi, peningkatan tik
5. Eklampsia
hipertensi prenatal, toksemia gravidarum

6. Idiopatik
penyebab tidak diketahui

Tanda dan Gejala

Ada 2 bentuk kejang demam, yaitu :

1. Kejang demam sementara


o Umur antara 6 bulan – 4 tahun
o Lama kejang lebih dari 15 menit
o Kejang bersifat umum
o Kejang terjadi dalam waktu 16 jam setelah timbulnya demam
o Tidak ada kelainan neurologis, baik klinis maupun
laboratorium
o Eeg normal 1 minggu setelah bangkitan kejang
2. Kejang demam komplikata
o Diluar kriteria tersebut diatas

Komplikasi

1. Kejang berulang
2. Epilepsi
3. Hemiparese
4. Gangguan mental dan belajar

Pemeriksaan Diagnostik

1. Darah
Glukosa Darah : Hipoglikemia merupakan predisposisi kejang (N
<>BUN : Peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan
merupakan indikasi nepro toksik akibat dari pemberian obat.
Elektrolit : K, Na
Ketidakseimbangan elektrolit merupakan predisposisi kejang
Kalium ( N 3,80 – 5,00 meq/dl )
Natrium ( N 135 – 144 meq/dl )

2. Cairan Cerebo Spinal : Mendeteksi tekanan abnormal dari CCS


tanda infeksi, pendarahan penyebab kejang.

3. Skull Ray : Untuk mengidentifikasi adanya proses desak ruang


dan adanya lesi

4. Tansiluminasi : Suatu cara yang dikerjakan pada bayi dengan


UUB masih terbuka (di bawah 2 tahun) di kamar gelap dengan
lampu khusus untuk transiluminasi kepala.

5. EEG : Teknik untuk menekan aktivitas listrik otak melalui


tengkorak yang utuh untuk mengetahui fokus aktivitas kejang,
hasil biasanya normal.

6. CT Scan : Untuk mengidentifikasi lesi cerebral infaik hematoma,


cerebral oedem, trauma, abses, tumor dengan atau tanpa kontras.

Penatalaksanaan Medik

1. Pemberian diazepam
o dosis awal : 0,3 – 0,5 mg/ kg bb/ dosis iv (perlahan)
o bila kejang belum berhenti dapat diulang dengan dosisi
ulangan setelah 20 menit.
2. Turunkan demam
o anti piretik : para setamol atau salisilat 10 mg/ kg bb/ dosis
o kompres air biasa
3. Penanganan suportif
o bebaskan jalan nafas
o beri zat asam

Sumber : http://kumpulan-asuhan-
keperawatan.blogspot.com/2010/01/askep-asuhan-keperawatan-anak-
kejang.html

Asuhan Keperawatan Pasien Anak Dengan Kejang Demam

Pengkajian

Pengumpulan data pada kasus kejang demam ini meliputi :

1. Data subyektif
o Biodata/Identitas
Biodata anak mencakup nama, umur, jenis kelamin.
Biodata orang tua perlu dipertanyakan untuk mengetahui
status sosial anak meliputi nama, umur, agama,
suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan, penghasilan, alamat.

o Riwayat Penyakit
1. Riwayat penyakit yang diderita sekarang tanpa kejang
ditanyakan : Apakah betul ada kejang ?
Diharapkan ibu atau keluarga yang mengantar
dianjurkan menirukan gerakan kejang si anak
2. Apakah disertai demam ?
Dengan mengetahui ada tidaknya demam yang
menyertai kejang, maka diketahui apakah infeksi
infeksi memegang peranan dalam terjadinya bangkitan
kejang. Jarak antara timbulnya kejang dengan demam.

3. Lama serangan
Seorang ibu yang anaknya mengalami kejang
merasakan waktu berlangsung lama. Lama bangkitan
kejang kita dapat mengetahui kemungkinan respon
terhadap prognosa dan pengobatan.

4. Pola serangan
 Perlu diusahakan agar diperoleh gambaran
lengkap mengenai pola serangan apakah bersifat
umum, fokal, tonik, klonik ?
 Apakah serangan berupa kontraksi sejenak
tanpa hilang kesadaran seperti epilepsi mioklonik
?
 Apakah serangan berupa tonus otot hilang
sejenak disertai gangguan kesadaran seperti
epilepsi akinetik ?
 Apakah serangan dengan kepala dan tubuh
mengadakan flexi sementara tangan naik
sepanjang kepala, seperti pada spasme infantile
?
Pada kejang demam sederhana kejang ini
bersifat umum.
5. Frekuensi serangan
Apakah penderita mengalami kejang sebelumnya,
umur berapa kejang terjadi untuk pertama kali, dan
berapa frekuensi kejang per tahun. Prognosa makin
kurang baik apabila kejang timbul pertama kali pada
umur muda dan bangkitan kejang sering timbul.

6. Keadaan sebelum, selama dan sesudah serangan


Sebelum kejang perlu ditanyakan adakah aura atau
rangsangan tertentu yang dapat menimbulkan kejang,
misalnya lapar, lelah, muntah, sakit kepala dan lain-
lain. Dimana kejang dimulai dan bagaimana
menjalarnya. Sesudah kejang perlu ditanyakan apakah
penderita segera sadar, tertidur, kesadaran menurun,
ada paralise, menangis dan sebagainya ?

7. Riwayat penyakit sekarang yang menyertai


Apakah muntah, diare, truma kepala, gagap bicara
(khususnya pada penderita epilepsi), gagal ginjal,
kelainan jantung, DHF, ISPA, OMA, Morbili dan lain-
lain.

8. Riwayat penyakit dahulu


 Sebelum penderita mengalami serangan kejang
ini ditanyakan apakah penderita pernah
mengalami kejang sebelumnya, umur berapa
saat kejang terjadi untuk pertama kali ?
 Apakah ada riwayat trauma kepala, radang
selaput otak, KP, OMA dan lain-lain.
9. Riwayat kehamilan dan persalinan
Kedaan ibu sewaktu hamil per trimester, apakah ibu
pernah mengalami infeksi atau sakit panas sewaktu
hamil. Riwayat trauma, perdarahan per vaginam
sewaktu hamil, penggunaan obat-obatan maupun jamu
selama hamil. Riwayat persalinan ditanyakan apakah
sukar, spontan atau dengan tindakan (forcep/vakum),
perdarahan ante partum, asfiksi dan lain-lain. Keadaan
selama neonatal apakah bayi panas, diare, muntah,
tidak mau menetek, dan kejang-kejang.

10. Riwayat imunisasi


Jenis imunisasi yang sudah didapatkan dan yang
belum ditanyakan serta umur mendapatkan imunisasi
dan reaksi dari imunisasi. Pada umumnya setelah
mendapat imunisasi DPT efek sampingnya adalah
panas yang dapat menimbulkan kejang.

11. Riwayat perkembangan


Ditanyakan kemampuan perkembangan meliputi :
 Personal sosial (kepribadian/tingkah laku sosial) :
berhubungan dengan kemampuan mandiri,
bersosialisasi, dan berinteraksi dengan
lingkungannya.
 Gerakan motorik halus : berhubungan dengan
kemampuan anak untuk mengamati sesuatu,
melakukan gerakan yang melibatkan bagian-
bagian tubuh tertentu saja dan dilakukan otot-
otot kecil dan memerlukan koordinasi yang
cermat, misalnya menggambar, memegang
suatu benda, dan lain-lain.
 Gerakan motorik kasar : berhubungan dengan
pergerakan dan sikap tubuh.
 Bahasa : kemampuan memberikan respon
terhadap suara, mengikuti perintah dan berbicara
spontan.
12. Riwayat kesehatan keluarga.
 Adakah anggota keluarga yang menderita kejang
(+ 25 % penderita kejang demam mempunyai
faktor turunan)
 Adakah anggota keluarga yang menderita
penyakit syaraf atau lainnya?
 Adakah anggota keluarga yang menderita
penyakit seperti ISPA, diare atau penyakit infeksi
menular yang dapat mencetuskan terjadinya
kejang demam.
13. Riwayat sosial
 Untuk mengetahui perilaku anak dan keadaan
emosionalnya perlu dikaji siapakah yanh
mengasuh anak?
 Bagaimana hubungan dengan anggota keluarga
dan teman sebayanya ?
14. Pola kebiasaan dan fungsi kesehatan
 Ditanyakan keadaan sebelum dan selama sakit
bagaimana ?
 Pola kebiasaan dan fungsi ini meliputi :
 Pola persepsi dan tatalaksanaan hidup
sehat
 Gaya hidup yang berkaitan dengan
kesehatan, pengetahuan tentang
kesehatan, pencegahan dan kepatuhan
pada setiap perawatan dan tindakan medis
?
 Bagaimana pandangan terhadap penyakit
yang diderita, pelayanan kesehatan yang
diberikan, tindakan apabila ada anggota
keluarga yang sakit, penggunaan obat-
obatan pertolongan pertama.
15. Pola nutrisi
 Untuk mengetahui asupan kebutuhan gizi anak.
Ditanyakan bagaimana kualitas dan kuantitas
dari makanan yang dikonsumsi oleh anak ?
 Makanan apa saja yang disukai dan yang tidak ?
Bagaimana selera makan anak ? Berapa kali
minum, jenis dan jumlahnya per hari ?
16. Pola eliminasi
 BAK : ditanyakan frekuensinya, jumlahnya,
secara makroskopis ditanyakan bagaimana
warna, bau, dan apakah terdapat darah ? Serta
ditanyakan apakah disertai nyeri saat anak
kencing.
 BAB : ditanyakan kapan waktu BAB, teratur atau
tidak ? Bagaimana konsistensinya
lunak,keras,cair atau berlendir ?
17. Pola aktivitas dan latihan
 Apakah anak senang bermain sendiri atau
dengan teman sebayanya?
 Berkumpul dengan keluarga sehari berapa jam?
 Aktivitas apa yang disukai?
18. Pola tidur/istirahat
 Berapa jam sehari tidur?
 Berangkat tidur jam berapa?
 Bangun tidur jam berapa?
 Kebiasaan sebelum tidur, bagaimana dengan
tidur siang ?
2. Data Obyektif
o Pemeriksaan Umum
Pertama kali perhatikan keadaan umum vital : tingkat
kesadaran, tekanan darah, nadi, respirasi dan suhu. Pada
kejang demam sederhana akan didapatkan suhu tinggi
sedangkan kesadaran setelah kejang akan kembali normal
seperti sebelum kejang tanpa kelainan neurologi.

o Pemeriksaan Fisik
1. Kepala
Adakah tanda-tanda mikro atau makrosepali? Adakah
dispersi bentuk kepala? Apakah tanda-tanda kenaikan
tekanan intrakarnial, yaitu ubun-ubun besar cembung,
bagaimana keadaan ubun-ubun besar menutup atau
belum ?

2. Rambut
Dimulai warna, kelebatan, distribusi serta karakteristik
lain rambut. Pasien dengan malnutrisi energi protein
mempunyai rambut yang jarang, kemerahan seperti
rambut jagung dan mudah dicabut tanpa menyebabkan
rasa sakit pada pasien.

3. Muka/ wajah
Paralisis fasialis menyebabkan asimetri wajah; sisi
yang paresis tertinggal bila anak menangis atau
tertawa, sehingga wajah tertarik ke sisi sehat. Adakah
tanda rhisus sardonicus, opistotonus, trimus ? Apakah
ada gangguan nervus cranial ?

4. Mata
Saat serangan kejang terjadi dilatasi pupil, untuk itu
periksa pupil dan ketajaman penglihatan. Apakah
keadaan sklera, konjungtiva ?

5. Telinga
Periksa fungsi telinga, kebersihan telinga serta tanda-
tanda adanya infeksi seperti pembengkakan dan nyeri
di daerah belakang telinga, keluar cairan dari telinga,
berkurangnya pendengaran.

6. Hidung
Apakah ada pernapasan cuping hidung? Polip yang
menyumbat jalan napas? Apakah keluar sekret,
bagaimana konsistensinya, jumlahnya ?

7. Mulut
Adakah tanda-tanda sardonicus? Adakah cynosis?
Bagaimana keadaan lidah? Adakah stomatitis? Berapa
jumlah gigi yang tumbuh? Apakah ada caries gigi?

8. Tenggorokan
Adakah tanda-tanda peradangan tonsil ? Adakah
tanda-tanda infeksi faring, cairan eksudat ?

9. Leher
Adakah tanda-tanda kaku kuduk, pembesaran kelenjar
tiroid ? Adakah pembesaran vena jugulans ?

10. Thorax
Pada infeksi, amati bentuk dada klien, bagaimana
gerak pernapasan, frekwensinya, irama, kedalaman,
adakah retraksi intercostale? Pada auskultasi, adakah
suara napas tambahan ?
11. Jantung
Bagaimana keadaan dan frekwensi jantung serta
iramanya ? Adakah bunyi tambahan ? Adakah
bradicardi atau tachycardia ?

12. Abdomen
Adakah distensia abdomen serta kekakuan otot pada
abdomen ? Bagaimana turgor kulit dan peristaltik usus
? Adakah tanda meteorismus? Adakah pembesaran
lien dan hepar ?

13. Kulit
Bagaimana keadaan kulit baik kebersihan maupun
warnanya? Apakah terdapat oedema, hemangioma ?
Bagaimana keadaan turgor kulit ?

14. Ekstremitas
Apakah terdapat oedema, atau paralise terutama
setelah terjadi kejang? Bagaimana suhunya pada
daerah akral ?

15. Genetalia
Adakah kelainan bentuk oedema, sekret yang keluar
dari vagina, tanda-tanda infeksi ?

Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul

1. Risiko trauma fisik berhubungan dengan kurangnya koordinasi


otot/kejang
2. Hipertermia berhubungan dengan proses infeksi

Intervensi

Diagnosa Keperawatan I :
Risiko trauma fisik berhubungan dengan kurangnya koordinasi
otot/kejang

Tujuan : Risk detection.

Kriteria Hasil :

 Tidak terjadi trauma fisik selama perawatan.


 Mempertahankan tindakan yang mengontrol aktivitas kejang.
 Mengidentifikasi tindakan yang harus diberikan ketika terjadi
kejang.
 Pengetahuan tentang risiko
 Memonitor faktor risiko dari lingkungan

Rencana Tindakan : NIC : Pencegahan jatuh

 Beri pengaman pada sisi tempat tidur dan penggunaan tempat


tidur yang rendah.
Rasional : meminimalkan injuri saat kejang

 Tinggalah bersama klien selama fase kejang..


Rasional : meningkatkan keamanan klien.
 Berikan tongue spatel diantara gigi atas dan bawah.
Rasional : menurunkan resiko trauma pada mulut.

 Letakkan klien di tempat yang lembut.


Rasional : membantu menurunkan resiko injuri fisik pada
ekstimitas ketika kontrol otot volunter berkurang.

 Catat tipe kejang (lokasi,lama) dan frekuensi kejang.


Rasional : membantu menurunkan lokasi area cerebral yang
terganggu.

 Catat tanda-tanda vital sesudah fase kejang


Rasional : mendeteksi secara dini keadaan yang abnormal.

Diagnosa Keperawatan II :
Hipertermia berhubungan dengan proses infeksi

Tujuan : Thermoregulation

Kriteria Hasil :

 Suhu tubuh dalam rentang normal


 Nadi dan RR dalam rentang normal
 Tidak ada perubahan warna kulit dan tidak ada pusing

Rencana Tindakan : NIC : Fever treatment

 Kaji faktor – faktor terjadinya hiperthermi.


Rasional : Mengetahui penyebab terjadinya hiperthermi karena
penambahan pakaian/selimut dapat menghambat penurunan suhu
tubuh.

 Observasi tanda – tanda vital tiap 4 jam sekali


Rasional : Pemantauan tanda vital yang teratur dapat menentukan
perkembangan keperawatan yang selanjutnya.

 Pertahankan suhu tubuh normal


Rasional : Suhu tubuh dapat dipengaruhi oleh tingkat aktivitas,
suhu lingkungan, kelembaban tinggiakan mempengaruhi panas
atau dinginnya tubuh.

 Ajarkan pada keluarga memberikan kompres dingin pada kepala /


ketiak .
Rasional : Proses konduksi/perpindahan panas dengan suatu
bahan perantara.

 Anjurkan untuk menggunakan baju tipis dan terbuat dari kain katun
Rasional : proses hilangnya panas akan terhalangi oleh pakaian
tebal dan tidak dapat menyerap keringat.

 Atur sirkulasi udara ruangan.


Rasional : Penyediaan udara bersih.

 Beri ekstra cairan dengan menganjurkan pasien banyak minum


Rasional : Kebutuhan cairan meningkat karena penguapan tubuh
meningkat.
 Batasi aktivitas fisik
Rasional : aktivitas meningkatkan metabolismedan meningkatkan
panas.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Kejang Demam

1. Pengertian

Kejang demam adalah kejang yang disebabkan kenaikan suhu tubuh lebih dari

38,40°c tanpa adanya infeksi susunan saraf pusat atau gangguan elektrolit akut pada

anak berusia di atas 1 bulan tanpa riwayat kejang sebelumnya (IDAI, 2009). Kejang

demam dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu kejang demam sederhana

dan kejang demam kompleks (Schwartz, 2005). Di Asia sekitar 70% - 90% dari seluruh

kejang demam merupakan kejang demam sederhana dan sisanya merupakan kejang

demam kompleks (Karemzadeh, 2008).

Kejang demam adalah kejang yang timbul pada saat bayi atau anak mengalami demam

akibat proses diluar intrakranial tanpa infeksi sistem saraf pusat. Kejang perlu

diwaspadai karena dapat terjadi berulang dan dapat menyebabkan kerusakan sel-sel

otak (Tikoalu J.R, 2009).

Berdasarkan pengertian diatas penulis menyimpulkan Kejang demam adalah kejadian

pada bayi atau anak yang mengalami peningkatan suhu tubuh diatas rentang normal

yaitu ≥ 38,8°C dan disertai dengan kejang


2. Anatomi Fisiologi Sistem Persyarafan

Sistem saraf manusia adalah suatu jalinan-jalinan saraf yang kompleks, sangat

khusus dan saling berhubungan satu dengan yang lain. Sistem saraf mengkoordinasi,

menafsirkan dan mengontrol interaksi antara individu dengan lingkungan sekitarnya.

a. Otak

Otak dibagi 2 yaitu otak besar (serebrum) dan otak kecil (serebelum). Otak besar

terdiri dari lobus frontalis, lobus parientalis, lobus oksipitalis dan lobus temporalis.

Permukaan otak bergelombang dan berlekuk-lekuk membentuk seperti sebuah

lekukan yang disebut girus.

1) Otak besar (serebrum)

Otak besar merupakan pusat dari :

 Motorik : impuls yang diterima diteruskan oleh sel-sel saraf kemudian

menuju ke pusat kontraksi otot

 Sensorik : setiap impuls sensorik dihantarkan melalui akson sel-sel saraf

yang selanjutnya akan mencapai otak antara lain ke korteks serebri.

 Refleks : berbagai kegiatan refleks berpusat di otak dan batang otak

sebagian lain dibagian medulla spinalis.

 Kesadaran : bagian batang otak yang disebut formasio retikularis bersama

bagian lain dari korteks serebri menjadi pusat kesadaran utama

 Fungsi luhur : pusat berfikir, berbicara, berhitung dan lain-lain.

2) Otak Kecil (Serebelum)

Otak kecil yang merupakan pusat keseimbangan dan koordinasi gerakan.Pada

daerah serebelum terdapat sirkulus willisi, pada dasar otak disekitar kelenjar

hipofisis, sebuah lingkaran arteri terbentuk diantara rangkaian arteri carotis

interna dan vertebral, lingkaran inilah yang disebut sirkulus willisi yang
dibentuk dari cabang-cabang arteri carotis interna, anterior dan arteri serebral

bagian tengah dan arteri penghubung anterior dan posterior. Arteri pada

sirkulus willisi memberi alternative pada aliran darah jika salah satu aliran

darah arteri mayor tersumbat.

b. Cairan Serebrospinal

Merupakan cairan yang bersih dan tidak berwarna dengan berat jenis 1,007

diproduksi didalam ventrikel dan bersirkulasi disekitar otak dan medulla spinalis

melalui sistem ventrikular. Cairan Serebrospinal atau Liquor Cerebro Spinalis

(LCS) diproduksi di pleksus koroid pada ventrikel lateral ketiga dan keempat,

secara organik dan non organik LCS sama dengan plasma tetapi mempunyai

perbedaan konsentrasi. LCS mengandung protein, glukosa dan klorida, serta

immunoglobulin.Secara normal LCS hanya mengandung sel darah putih sedikit

dan tidak mengandung sel darah merah.Cairan LCS didalam tubuh diserap oleh

villiarakhnoid.

c. Medula Spinalis

 Merupakan pusat refleks-refleks yang ada disana

 Penerus sensorik ke otak sekaligus tempat masuknya saraf sensorik

 Penerus impuls motorik dari otak ke saraf motorik

 Pusat pola gerakan sederhana yang telah lama dipelajari contoh melangkah.

d. Saraf Somatik

Merupakan saraf tepi berupa saraf sensorik dari perifer ke pusat dan saraf motorik

dari pusat ke perifer. Berdasarkan tempat keluarnya dibagi menjadi saraf otak dan

saraf spinal.

e. Saraf Spinal
Dari medulla spinalis keluar pasangan saraf kiri dan kanan vertebra :

 Saraf servikal 8 pasang

 Saraf torakal 12 pasang

 Saraf lumbal 5 pasang

 Saraf sacrum/sacral 5 pasang

 Saraf koksigeal 1 pasang

Saraf spinal mengandung saraf sensorik dan motorik, serat sensorik masuk

medula spinalis melalui akar belakang dan serat motorik keluar dari medula

spinalis melalui akar depan kemudian bersatu membentuk saraf spinal. Saraf-saraf

ini sebagian berkelompok membentuk pleksus (anyaman) dan terbentuklah

berbagai saraf (nervus) seperti saraf iskiadikus untuk sensorik dan motorik daerah

tungkai bawah. Daerah torakal tidak membentuk anyaman tetapi masing-masing

lurusdiantara tulang kosta (nervus inter kostalis). Umumnya didalam nervus ini

juga berisi serat autonom, terutama serat simpatis yang menuju ke pembuluh darah

untuk daerah yang sesuai. Serat saraf dari pusat di korteks serebri sampai ke perifer

terjadi penyeberang (kontra lateral) yaitu yang berada di kiri menyeberang ke

kanan, begitu pula sebaliknya. Jadi apabila terjadi kerusakan di pusat motorik kiri

maka yang mengalami gangguan anggota gerak yang sebelah kanan.

f. Saraf Otonom

Sistem saraf ini mempunyai kemampuan kerja otonom, seperti jantung, paru,

serta alat pencernaan. Sistem otonom dipengaruhi saraf simpatis dan parasimpatis.

Peningkatan aktifitas simpatis memperlihatkan :

- Kesiagaan meningkat

- Denyut jantung meningkat

- Pernafasan meningkat
- Tonus otot-otot meningkat

- Gerakan saluran cerna menurun

- Metabolisme tubuh meningkat

Saraf simpatis ini menyiapkan individu untuk bertempur atau lari, semua itu

tampak pada manusia apabila menghadapi masalah, bekerja, olahraga, cemas, dan

lain-lain.

Peningkatan aktifitas parasimpatis memperlihatkan :

- Kesiagaan menurun

- Denyut jantung melambat

- Pernafasan tenang

- Tonus otot-otot menurun

- Gerakan saluran cerna meningkat

- Metabolisme tubuh menurun

g. Saraf kranial :

1) Saraf Olfaktorius

Sistem olfaktorius dimulai dengan sisi yang menerima rangsangan

olfaktorius. Sistem ini terbagi dari bagian berikut : mukosa olfaktorius pada

bagian atas kavum nasal, fila olfaktoria, bulbus subkalosal pada sisi medial

lobus orbitalis. Saraf ini merupakan saraf sensorik murni yang serabut-

serabutnya berasal dari membran mukosa hidung dan menembus area

kribriformis dari tulang etmoidal untuk bersinaps di bulbus olfaktorius, dari sini

traktus olfaktorius berjalan dibawah lobus frontal dan berakhir di lobus

temporal bagian medial sisi yang sama.

Sistem olfaktorius merupakan satu-satunya sistem sensorik yang

impulsnya mencapai korteks tanpa dirilei disalurkan di talamus. Bau-bauan


yang dapat merangsang timbulnya nafsu makan dan induksi salivasi serta bau

busuk yang dapat menimbulkan rasa mual dan muntah menunjukkan bahwa

sistem ini ada kaitannya dengan emosi.

Serabut utama yang menghubungkan sistem penciuman dengan area

otonom adalah medial forebrain bundle dan stria medularis talamus. Emosi

yang menyertai rangsangan olfaktorius mungkin berkaitan ke serat yang

berhubungan dengan talamus, hipotalamus dan sistem limbik.

2) Saraf Optikus

Saraf optikus merupakan saraf sensorik murni yang dimulai di

retina.Serabut-serabut saraf ini, ini melewati foramen optikum di dekat arteri

optalmika dan bergabung dengan saraf dari sisi lainnya pada dasar otak untuk

membentuk kiasma optikum. Orientasi spasial serabut-serabut dari berbagai

bagian fundus maih utuh sehingga serabut-serabut dari bagian bawah retina

ditemukan pada bagian inferior kiasma optikum dan sebaliknya.

Serabut-serabut dari lapangan visual temporal (separuh bagian nasal

retina) menyilang kiasma, sedangkan yang berasal dari lapangan visual nasal

tidak menyilang. Serabut-serabut untuk indeks cahaya yang berasal dari kiasma

optikum berakhir di kolikulus superior, dimana terjadi hubungan dengan kedua

nuklei saraf okulomotorius. Sisa serabut yang meninggalkan kiasma

berhubungan dengan penglihatan dan berjalan didalam trakus optikus menuju

korpus genikulatum lateralis.

Dari sini serabut-serabut yang berasal dari radiasio optika melewati

bagian posterior kapsula interna dan berakhir dikorteks visual lobus oksipital.

Dalam perjalanannya serabut-serabut tersebut memisahkan diri sehingga

serabut-serabut untuk kuadran bawah melalui lobus parietal sedangkan untuk


kuadran atas melalui lobus temporal. Akibat dari dekusasio serabut-serabut

tersebut pada kiasma optikum serabut-serabut yang berasal dari lapangan

penglihatan kiri berakhir di lobus oksipital kanan dan sebaliknya.

3) Saraf Okulomotorius

Nukleus saraf okulomotorius terletak sebagian di depan substansia

grisea periakuaduktal (Nukleus motorik) dan sebagian lagi di dalam substansia

grisea (Nukleus otonom). Nukleus motorik bertanggung jawab untuk

persarafan otot-otot rektus medialis, superior, dan inferior, otot oblikus inferior

dan otot levator palpebra superior. Nukleus otonom atau nukleus Edinger-

westhpal yang bermielin sangat sedikit mempersarafi otot-otot mata inferior

yaitu spingter pupil dan otot siliaris.

4) Saraf Troklearis

Nukleus saraf troklearis terletak setinggi kolikuli inferior di depan

substansia grisea periakuaduktal dan berada di bawah Nukleus okulomotorius.

Saraf ini merupakan satu-satunya saraf kranialis yang keluar dari sisi dorsal

batang otak.Saraf troklearis mempersarafi otot oblikus superior untuk

menggerakkan mata bawah, kedalam dan abduksi dalam derajat kecil.

5) Saraf Trigeminus

Saraf trigeminus bersifat campuran terdiri dari serabut-serabut motorik

dan serabut-serabut sensorik. Serabut motorik mempersarafi otot masseter dan

otot temporalis. Serabut-serabut sensorik saraf trigeminus dibagi menjadi tiga

cabang utama yaitu saraf oftalmikus, maksilaris, dan mandibularis. Daerah

sensoriknya mencakup daerah kulit, dahi, wajah, mukosa mulut, hidung, sinus.

Gigi maksilar dan mandibula, dura dalam fosa kranii anterior dan tengah
bagian anterior telinga luar dan kanalis auditorius serta bagian membran

timpani.

6) Saraf Abdusens

Nukleus saraf abdusens terletak pada masing-masing sisi pons bagian

bawah dekat medula oblongata dan terletak dibawah ventrikel ke empat saraf

abdusens mempersarafi otot rektus lateralis.

7) Saraf Fasialis

Saraf fasialis mempunyai fungsi motorik dan fungsi sensorik fungsi

motorik berasal dari Nukleus motorik yang terletak pada bagian ventrolateral

dari tegmentum pontin bawah dekat medula oblongata. Fungsi sensorik berasal

dari Nukleus sensorik yang muncul bersama nukleus motorik dan saraf

vestibulokoklearis yang berjalan ke lateral ke dalam kanalis akustikus interna.

Serabut motorik saraf fasialis mempersarafi otot-otot ekspresi wajah

terdiri dari otot orbikularis okuli, otot buksinator, otot oksipital, otot frontal,

otot stapedius, otot stilohioideus, otot digastriktus posterior serta otot platisma.

Serabut sensorik menghantar persepsi pengecapan bagian anterior lidah.

8) Saraf Vestibulokoklearis

Saraf vestibulokoklearis terdiri dari dua komponen yaitu serabut-serabut

aferen yang mengurusi pendengaran dan vestibuler yang mengndung serabut-

serabut aferen yang mengurusi keseimbangan.

Serabut-serabut untuk pendengaran berasal dari organ corti dan berjalan

menuju inti koklea di pons, dari sini terdapat transmisi bilateral ke korpus

genikulatum medial dan kemudian menuju girus superior lobus temporalis.


9) Saraf Glosofaringeus

Saraf glosofaringeus menerima gabungan dari saraf vagus dan asesorius

pada waktu meninggalkan kranium melalui foramen tersebut, saraf

glosofaringeus mempunyai dua ganglion, yaitu gonglion intrakranialis superior

dan ekstrakranialis inferior. Setelah melewati foramen, saraf berlanjut antara

arteri karotis interna dan vena jugularis interna ke otot stilofaringeus. Diantara

otot ini dan otot stiloglosal, saraf berlanjut ke basis lidah dan mempersarafi

mukosa faring, tonsil dan sepertiga posterior lidah.

10) Saraf Vagus

Saraf Vagus juga mempunyai dua ganglion yaitu ganglion superior atau

jugulare dan ganglion inferior atau nodosum, keduanya terletak pada daerah

foramen ugularis, saraf vagus mempersarafi semua visera toraks dan abdomen

dan menghantarkan impuls dari dinding usus, jantung dan paru-paru.

11) Saraf Asesorius

Saraf asesorius mempunyai radiks spinalis dan kranialis.Radiks

kranialis adalah akson dari neuron dalam nukleus ambigus yang terletak dekat

neuron dari saraf vagus. Saraf aksesorius adalah saraf motorik yang

mempersarafi otot sternokleidomastoideus berfungsi memutar kepala ke

samping dan otot trapezius memutar skapula bila lengan diangkat ke atas.

12) Saraf Hipoglosus

Nukleus saraf hipoglosus terletak pada medula oblongata pada setiap

sisi garis tengah dan depan ventrikel ke empat dimana semua menghasilkan

trigonum hipoglosus. Saraf hipoglosus merupakan saraf motorik untuk lidah

dan mempersarafi otot lidah yaitu otot stiloglosus, hipoglosus dan genioglosus.
h. Aktivitas Saraf

Pemeriksaan aktifitas refleks dengan ketukan pada tendon menggunakan

refleks hammer. Skala untuk peringkat refleks yaitu :

0 = Tidak ada respon

1 = Hypoactive/penurunan respon, kelemahan (+)

2 = Normal (++)

3 = Lebih cepat dari rata-rata, tidak perlu dianggap abnormal (+++)

4 = Hyperaktif, dengan klonus (++++)

i. Refleks-refleks pada sistem persyarafan

1) Refleks patella

Pasien berbaring terlentang, lutut diangkat keatas sampai fleksi kurang

lebih 30°. Tendon patella (ditengah-tengah patella dan tuberositas tibiae)

dipukul dengan refleks hammer. Respon berupa kontraksi otot quadriceps

femoris yaitu, ekstensi dari lutut.

2) Refleks biceps

Lengan difleksikan terhadap siku dengan sudut 90°, supinasi dan lengan

bawah ditopang pada alas tertentu (meja periksa). Jari pemeriksa ditempatkan

pada tendon, biceps (diatas lipatan siku) kemudian dipukul dengan refleks

hammer.

Normal jika timbul kontraksi otot biceps, sedikit meningkat bila terjadi

fleksi sebagian dengan gerakan pronasi. Bila hyperaktif maka akan terjadi

penyebaran gerakan fleksi pada lengan dan jari-jari atau sendi bahu.

3) Refleks triceps
Lengan ditopang dan difleksikan pada sudut 900, tendon triceps diketok

dengan refleks hammer (tendon triceps berada pada jarak 1-2 cm diatas

olekranon)

Respon yang normal adalah kontraksi otot triceps, sedikit meningkat

bila ekstensi ringan dan hyperaktif bila ekstensi siku tersebut menyebar keatas

sampai otot-otot bahu atau mungkin ada klonus yang sementara.

4) Refleks achilles

Posisi kaki adalah dorsofleksi, untuk memudahkan pemeriksaan refleks

ini kaki yang diperiksa bisa diletakkan/disilangkan diatas tungkai bawah

kontralateral. Tendon achilles dipukul dengan refleks hammer, respon normal

berupa gerakan plantar fleksi kaki.

5) Refleks abdominal

Dilakukan dengan menggores abdomen diatas dan dibawah umbilikus.

Kalau digores seperti itu, umbilikus akan bergerak keatas dan kearah yang

digores.

6) Refleks babinski

Merupakan refleks yang paling penting. Refleks ini hanya dijumpai

pada penyakit traktus kortikospinal. Untuk melakukan test ini, goreslah kuat-

kuat bagian lateral telapak kaki dari tumit kearah jari kelingking dan kemudian

melintasi bagian jantung kaki. Respon babinski timbul bila ibu jari kaki

melakukan dorsifleksi dan jari-jari lainnya tersebar.Respon yang normal adalah

fleksi plantar semua jari kaki.

j. Pemeriksaan Khusus Sistem Persarafan

Untuk mengetahui rangsangan selaput otak (misalnya pada meningitis)

dilakukan pemeriksaan :
1) Kaku kuduk

Bila leher ditekuk secara pasif terdapat tahanan, sehingga dagu tidak

dapat menempel pada dada berarti kaku kuduk positif (+).

2) Tanda brudzinski I

Letakan satu tangan pemeriksa dibawah kepala klien dan tangan lain

didada klien untuk mencegah badab tidak terangkat. Kemudian kepala klien

difleksikan dedada secara pasif. Brudzinski I positif (+) bila kedua tungkai

bawah akan fleksi pada sendi panggul dan sendi lutut.

3) Tanda brudzinski II

Tanda brudzinski II positif (+) bila fleksi tungkai klien pada sendi

panggung secara pasif akan diikuti oleh fleksi tungkai lainnya pada sendi

panggul dan lutut.

4) Tanda kernig

Fleksi tungkai atas tegak lurus, lalu dicoba meluruskan tungkai bawah

pada sendi lutut. Normal, bila tungkai bawah membentuk sudut 135° terhadap

tungkai atas. Kernig + bila ekstensi lutut pasif akan menyebabkan rasa sakit

terhadap hambatan

5) Test Laseque

Fleksi sendi paha dengan sendi lutut yang lurus akan menimbulkan

nyeri sepanjang m. Ischiadicus.

Mengkaji abnormal postur dengan mengobservasi :

a. Kejang pada posisi Dekortikasi (Decorticate posturing), terjadi jika

ada lesi pada traktus corticospinal. Nampak kedua lengan atas menutup

kesamping, kedua siku, kedua pergelangan tangan dan jari fleksi,

kedua kaki ekstensi dengan memutar kedalam dan kaki plantar fleksi.
b. Kejang pada posisi Deserebrasi (Decerebrate posturing), terjadi jika

ada lesi pada midbrain, pons atau diencephalon.

c. Leher ekstensi, dengan rahang mengepal, kedua lengan pronasi,

ekstensi dan menutup kesamping, kedua kaki lurus keluar dan kaki

plantar fleksi.

3. Etiologi

Etiologi dari kejang demam masih tidak diketahui. Namun pada sebagian

besar anak dipicu oleh tingginya suhu tubuh bukan kecepatan peningkatan suhu

tubuh. Biasanya suhu demam diatas 38,8°C dan terjadi disaat suhu tubuh naik dan

bukan pada saat setelah terjadinya kenaikan suhu tubuh (Dona Wong L, 2008).

4. Patofisiologi

Pada keadaan demam, kenaikan suhu sebanyak 1º C akan menyebabkan kenaikan

kebutuhan metabolisme basal 10-15% dan kebutuhan oksigen meningkat sebanyak

20%. Pada seorang anak yang berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari

seluruh tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Pada kenaikan

suhu tubuh tertentu dapat menyebabkan terjadinya perubahan keseimbangan dari

membran sel neuron. Dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion Kalium

maupun ion Natrium melalui membran tadi, akibatnya terjadinya lepasan muatan

listrik. Lepasan muatan listrik ini dapat meluas ke seluruh sel maupun membran sel

tetangganya dengan bantuan neurotransmitter dan terjadilah kejang. Tiap anak

mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung pada tinggi atau rendahnya

ambang kejang seseorang anak pada kenaikan suhu tubuhnya. Kebiasaannya, kejadian

kejang pada suhu 38ºC, anak tersebut mempunyai ambang kejang yang rendah,

sedangkan pada suhu 40º C atau lebih anak tersebut mempunyai ambang kejang yang
tinggi. Dari kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih

sering terjadi pada ambang kejang yang rendah (Latief et al., 2007).

Bagan 2.1

Proses Penyakit

Suhu Tubuh Meningkat

Gangguan Keseimbangan Membran Sel

Pelepasan Ion Na dan K

Pelepasan Muatan Listrik Oleh Seluruh Sel Sangat Besar

Gangguan Muatan Listrik

KEJANG

(Sumber: Nugroho, 2011)

5. Manifestasi Klinis

Kejang demam berlangsung singkat, berupa serangan kejang klonik atau tonik klonik

bilateral. Seringkali kejang berhenti sendiri. Setelah kejang berhenti anak tidak

memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit anak

terbangun dan sadar kembali tanpa defisit neurologis. Adapun tanda- tanda kejang

demam meliputi :

a. Demam yang biasanya di atas (38,9 º C)


b. Jenis kejang (menyentak atau kaku otot)

c. Gerakan mata abnormal (mata dapat berputar-putar atau ke atas)

d. Suara pernapasan yang kasar terdengar selama kejang

b. Penurunan kesadaran

c. Kehilangan kontrol kandung kemih atau pergerakan usus

d. Muntah

e. Dapat menyebabkan mengantuk atau kebingungan setelah kejang dalam waktu

yang singkat (Lyons, 2012)

6. Pemeriksaan Diagnostik

Beberapa pemeriksaan penunjang yang diperlukan dalam mengevaluasi kejang

demam, diantaranya sebagai berikut :

a. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan ini tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam,

tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam, atau

keadaan lain misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan

laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya darah perifer, elektrolit, gula darah

dan urinalisis (Saharso et al., 2009). Selain itu, glukosa darah harus diukur jika

kejang lebih lama dari 15 menit dalam durasi atau yang sedang berlangsung ketika

pasien dinilai (Farrell dan Goldman, 2011).

b. Pungsi lumbal

Pemeriksaan cairan serebrospinal dengan pungsi lumbal dilakukan

untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis, terutama pada pasein kejang

demam pertama. Pungsi lumbal sangat dianjurkan untuk bayi kurang dari 12

bulan, bayi antara 12 - 18 bulan dianjurkan untuk dilakukan dan bayi > 18 bulan
tidak rutin dilakukan pungsi lumbal. Pada kasus kejang demam hasil pemeriksaan

ini tidak berhasil (Pusponegoro dkk, 2006).

c. Elektroensefalografi (EEG)

Pemeriksaan ini tidak direkomendasikan setelah kejang demam

sederhana namun mungkin berguna untuk mengevaluasi pasien kejang yang

kompleks atau dengan faktor risiko lain untuk epilepsi. EEG pada kejang demam

dapat memperlihatkan gelombang lambat di daerah belakang yang bilateral, sering

asimetris dan kadang-kadang unilateral (Jonston, 2007).

d. Pencitraan (CT-Scan atau MRI kepala)

Foto X-ray kepala dan pencitraan seperti computed tomography scan

(CT-scan) atau magnetic resonance imaging (MRI) jarang sekali dikerjakan dan

dilakukan jika ada indikasi seperti kelainan neurologis fokal yang menetap

(hemiparesis) atau kemungkinan adanya lesi struktural di otak (mikrosefali,

spastisitas), terdapat tanda peningkatan tekanan intrakranial (kesadaran menurun,

muntah berulang, UUB membonjol, paresis nervus VI, edema papil) (Saharso et

al., 2009).

7. Manajemen Medik

a. Terapi farmakologi

Pada saat terjadinya kejang, obat yang paling cepat diberikan untuk

menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena. Dosis

diazepam intravena adalah 0,3-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2

mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal sebanyak 20 mg.
Obat yang dapat diberikan oleh orangtua atau di rumah adalah diazepam

rektal. Dosisnya sebanyak 0,5-0,75 mg/kg atau 5 mg untuk anak dengan berat

badan kurang daripada 10 kg dan 10 mg untuk anak yang mempunyai berat badan

lebih dari 10 kg. Selain itu, diazepam rektal dengan dosis 5 mg dapat diberikan

untuk anak yang dibawah usia 3 tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak di atas usia 3

tahun. Apabila kejangnya belum berhenti, pemberian diapezem rektal dapat

diulangi lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit.

Anak seharusnya dibawa ke rumah sakit jika masih lagi berlangsungnya kejang,

setelah 2 kali pemberian diazepam rektal. Di rumah sakit dapat diberikan

diazepam intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg (UUK Neurologi IDAI, 2006).

Jika kejang tetap belum berhenti, dapat diberikan fenitoin secara intravena

dengan dosis awal 10-20 mg/ kg/ kali dengan kecepatan 1 mg/ kg/ menit atau

kurang dari 50 mg/menit. Sekiranya kejang sudah berhenti, dosis selanjutnya

adalah 4-8 mg/ kg/ hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal. Jika kejang belum

berhenti dengan pemberian fenitoin maka pasien harus dirawat di ruang intensif.

Setelah kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis

kejang demam, apakah kejang demam sederhana atau kompleks dan faktor

risikonya (UUK Neurologi IDAI, 2006).

Seterusnya, terapi antipiretik tidak mencegah kejang kekambuhan. Kedua

parasetamol dan NSAID tidak mempunyai manfaatnya untuk mengurangi

kejadian kejang demam. Meskipun mereka tidak mengurangi risiko kejang

demam, antipiretik sering digunakan untuk mengurangi demam dan memperbaiki

kondisi umum pasien. Dalam prakteknya, kita menggunakan metamizole

(dipirone), 10 sampai 25 mg/ kg/ dosis sampai empat dosis harian (100 mg/ kg/

hari), parasetamol 10 sampai 15 mg/ kg/ dosis, juga sampai empat dosis harian
(sampai 2,6 g/hari) dan pada anak-anak di atas usia enam bulan, diberikan

ibuprofen sebanyak 5 sampai 10 mg/ kg/ dosis dalam tiga atau empat dosis terbagi

(sampai 40 mg/ kg/ hari pada anak-anak dengan berat kurang dari 30 kg dan 1200

mg) (Siqueira, 2010).

Pengobatan jangka panjang atau rumatan hanya diberikan jika kejang demam

menunjukkan ciri-ciri berikut seperti kejang berlangsung lebih dari 15 menit,

kelainan neurologi yang nyata sebelum atau selapas kejadian kejang misalnya

hemiparesis, paresis Todd, palsi serebal, retardasi mental dan hidrosefalus, dan

kejadian kejang fokal. Pengobatan rumat dipertimbangkan jika kejang berulang

dua kali atau lebih dalam 24 jam, kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12

bulan dan kejang demam berlangsung lebih dari 4 kali per tahun. Obat untuk

pengobatan jangka panjang adalah fenobarbital (dosis 3-4 mg/ kgBB/ hari dibagi

1-2 dosis) atau asam valproat (dosis 15-40 mg/ kgBB/ hari dibagi 2-3 dosis).

Dengan pemberian obat ini, risiko berulangnya kejang dapat diturunkan dan

pengobatan ini diberikan selama 1 tahun bebas kejang, kemudian secara bertahap

selama 1-2 bulan (Saharso et al., 2009).

b. Terapi non-farmakologi

Tindakan pada saat kejang di rumah, (Ngastiyah, 2005, Mahmood et al., 2011

dan Capovilla et al., 2009):

1) Baringkan pasein di tempat yang rata.

2) Singkirkan benda-benda yang ada di sekitar pasein.

3) Semua pakaian ketat yang mengganggu pernapasan harus dibuka misalnya

ikat pinggang.

4) Tidak memasukkan sesuatu banda ke dalam mulut anak.

5) Tidak memberikan obat atau cairan secara oral.


6) Jangan memaksa pembukaan mulut anak.

7) Monitor suhu tubuh.

8) Pemberikan kompres dingin dan antipiretik untuk menurunkan suhu tubuh

yang tinggi.

9) Posisi kepala seharusnya miring untuk mencegah aspirasi isi lambung.

10) Usahakan jalan nafas bebas untuk menjamin kebutuhan oksigen.

11) Menghentikan kejang secepat mungkin dengan pemberian obat antikonvulsan

yaitu diazepam secara rektal.

Pengobatan kejang berkepanjangan di rumah sakit, (Capovilla et al., 2009):

1) Hilangkan obstruksi jalan napas.

2) Siapkan akses vena.

3) Monitor parameter vital (denyut jantung, frekuensi napas, tekanan darah,

SaO2).

4) Berikan oksigen, jika perlu (SaO2 <90%)

5) Mengadministrasikan bolus intravena diazepam dengan dosis 0,5 mg/kg pada

kecepatan infus maksimal 5 mg/menit, dan menangguhkan ketika kejang

berhenti. Dosis ini dapat diulang jika perlu, setelah 10 menit.

6) Memantau kelebihan elektrolit dan glukosa darah.

7) Jika kejang tidak berhenti, meminta saran seorang spesialis (ahli anestesi, ahli

saraf) untuk pengobatan.

B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan klien dengan Kejang Demam Sederhana

1. Pengkajian
Berdasarkan tanda dan gejala penyakit kejang demam, maka asuhan

keperawatan yang prioritas ditegakkan adalah pengkajian, diagnosa keperawatan,

perencanaan, implementasi, perencanaan pemulang yaitu :

Riwayat Keperawatan

Kaji gejala dan tanda meningkatnya suhu tubuh, terutama pada malam hari,

terjadinya kejang dan penurunan kesadaran.

a. Data biografi : nama, alamat, umur, status perkawinan, tanggal MRS, diagnose

medis, catatan kedatangan, keluarga yang dapat dihubungi.

b. Riwayat kesehatan sekarang

Mengapa pasien masuk Rumah Sakit dan apa keluhan utama pasien, sehingga

dapat ditegakkan prioritas masalah keperawatan yang dapat muncul.

c. Riwayat kesehatan dahulu

Apakah sudah pernah sakit dan dirawat dengan penyakit yang sama.

d. Riwayat kesehatan keluarga

Apakah ada dalam keluarga pasien yang sakit seperti pasien.

e. Riwayat psikososial

Intrapersonal : perasaan yang dirasakan klien (cemas / sedih)

Interpersonal : hubungan dengan orang lain.

f. Pola Fungsi kesehatan

1) Pola nutrisi dan metabolisme :

Pola nutrisi klien perlu dikaji untuk menentukan terjadinya gangguan

nutrisi atau tidak pada klien

2) Pola istirahat dan tidur


Selama sakit pasien merasa tidak dapat istirahat karena pasien

merasakan demam terutama pada malam hari

g. Pemeriksaan Fisik

1) Kesadaran dan keadaan umum pasien

Kesadaran pasien perlu di kaji dari sadar-tidak sadar (composmentis-

coma) untuk mengetahui berat ringannya prognosis penyakit pasien.

2) Tanda-tanda vital dan pemeriksaan fisik kepala-kaki

TD, Nadi, Respirasi, Temperatur yang merupakan tolak ukur dari

keadaan umum pasien / kondisi pasien dan termasuk pemeriksaan

dari kepala sampai kaki dengan menggunakan prinsip-prinsip

(inspeksi, auskultasi, palpasi, perkusi), disamping itu juga

penimbangan BB untuk mengetahui adanya penurunan BB karena

peningkatan gangguan nutrisi yang terjadi, sehingga dapat dihitung

kebutuhan nutrisi yang dibutuhkan (Wijaya,2013).

2. Diagnosa keperawatan

a. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses patologis

b. Gangguan volume cairan kurang dari kebutuhann tubuh b.d peningkatan suhu

tubuh

c. Tidak efektifnya bersihan jalan nafas b.d peningkatan sekresi mucus

d. Resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake yang tidak

adekuat (Doengoes, 2007)

Anda mungkin juga menyukai