Anda di halaman 1dari 21

ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY.

J DENGAN PRE DAN POST


PARTUM SC
DI KAMAR BERSALIN RSUD WATES

Dosen Pembimbing : Sari Candra Dewi, SKM., M.Kep

Disusun Oleh
Kristina Weningtyastuti (P07120216009)
Sekar Tunjung Maharani (P07120216010)

POLTEKKES KEMENKES YOGYAKARTA


JURUSAN KEPERAWATAN
2018

LEMBAR PENGESAHAN
ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN JUDUL

“Asuhan Keperawatan Pada Ny. J Dengan Pre dan Post Partum SC Di Kamar Bersalin RSUD
Wates”

Telah disetujui pada


Hari :
Tanggal :

Pembimbing Lapangan Pembimbing Akademik

Sari Candra Dewi, SKM., M.Kep


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di Negara berkembang seperti di Indonesia kejadian operasi SC yang semakin

banyak issue, tetapi masih ada suatu indikator yang dijadikan patokan masyarakat. Dari data

yang ada pada tahun 1975, di jaman operasi SC masih jarang dilakukan, angka kematian ibu

yang melahirkan sekitar 30 orang setiap 1000 orang ibu yang melahirkan. Melalui

keseriusan pemerintah untuk menekan angka kematian ibu terus di upayakan sehingga pada

tahun 1996 mencanangkan “ Gerakan Sayang Ibu (GSI)“ dan mematok angka 2,25% dari

semua persalinan sebagai target nasional untuk menurunkan angka kematian itu pada akhir

tahun 1999 (Cindy, dkk, 2005).

Dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan pada masyarakat perlu

dikembangkan, salah satunya adalah pelayanan keperawatan pada ibu post partum.

Umumnya pada beberapa negara berkembang seperti Indonesia, angka kematian ibu yang

mengalami persalinan masih tinggi. Penyebab terbesar kematian ibu pada persalinan adalah

karena komplikasi dan perawatan pasca persalinan yang tidak baik. Oleh karena itu,

pelayanan keperawatan pada ibu post partum sangat diperlukan dan perlu mendapatkan

perhatian yang utama untuk menurunkan angka kematian ibu post partum akibat komplikasi.

B. Tujuan

1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memahami tentang asuhan keperawatan pada pasien dengan post SC
2. Tujuan Khusus
a) Mahasiswa mampu melakukan pengkajian pasien dengan post SC

b) Mahasiswa mampu menganalisa data hasil pengakajian pasien dengan post SC

c) Mahasiswa mampu merumuskan diagnosa pada pasien dengan post SC

d) Mahasiswa mampu menyusun rencana asuhan keperawatan pada pasien dengan post
SC

e) Mahasiswa mampu melaukan tindakan keperawatan pada pasien dengan post SC

f) Mahasiswa mampu membuat evaluasi pada pasien dengan post SC


BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Definisi

Sectio caesarea adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding perut

dan dinding uterus. (Sarwono , 2005) Sectio caesarea adalah suatu cara melahirkan janin dengan

membuat sayatan pada dinding uterus melalui depan perut atau vagina. Atau disebut juga

histerotomia untuk melahirkan janin dari dalam rahim. (Mochtar, 1998) Sectio caesarea adalah

pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding perut dan dinding uterus atau

vagina atau suatu histerotomi untuk melahirkan janin dari dalam rahim. Dalam Operasi Caesar,

ada tujuh lapisan yang diiris pisau bedah, yaitu lapisan kulit, lapisan lemak, sarung otot, otot

perut, lapisan dalam perut, lapisan luar rahim, dan rahim.

B. Etiologi

Pada persalinan normal bayi akan keluar melalui vagina, baik dengan alat maupun dengan

kekuatan ibu sendiri. Dalam keadaan patologi kemungkinan dilakukan operasi sectio caesarea.

Faktor-Faktor Penyebab Sectio Caesarea

Menurut Mochtar (1998) faktor dari ibu dilakukannya sectio caesarea adalah plasenta previa ,

panggul sempit, partus lama, distosia serviks, pre eklamsi dan hipertensi. Sedangkan faktor dari

janin adalah letak lintang dan letak bokong. Menurut Manuaba (2001) indikasi ibu dilakukan

sectio caesarea adalah ruptur uteri iminen, perdarahan antepartum, ketuban pecah dini.
Sedangkan indikasi dari janin adalah fetal distres dan janin besar melebihi 4.000 gram. Dari

beberapa faktor sectio caesarea diatas dapat diuraikan beberapa penyebab sectio caesarea sebagai

berikut

1. CPD ( Chepalo Pelvik Disproportion Chepalo Pelvik Disproportion (CPD)

adalah ukuran lingkar panggul ibu tidak sesuai dengan ukuran lingkar kepala

janin yang dapat menyebabkan ibu tidak dapat melahirkan secara alami. Tulang-tulang

panggul merupakan susunan beberapa tulang yang membentuk rongga panggul yang

merupakan jalan yang harus dilalui oleh janin ketika akan lahir secara alami. Bentuk

panggul yang menunjukkan kelainan atau panggul patologis juga dapat menyebabkan

kesulitan dalam proses persalinan alami sehingga harus dilakukan tindakan operasi.

Keadaan patologis tersebut menyebabkan bentuk rongga panggul menjadi asimetris dan

ukuran-ukuran bidang panggul menjadi abnormal (Kasdu, 2003). Setiap pada diameter

panggul yang mengurangi kapasitas panggul, dapat menimbulkan distosia pada

persalinan.

2. PEB (Pre-Eklamsi Berat) Pre-Eklamsi Dan Eklamsi

merupakan kesatuan penyakit yang langsung disebabkan oleh kehamilan, sebab

terjadinya masih belum jelas. Setelah perdarahan dan infeksi, pre-eklamsi dan eklamsi

merupakan penyebab kematian maternal dan perinatal paling penting dalam ilmu

kebidanan. Karena itu diagnosa dini amatlah penting, yaitu mampu mengenali dan

mengobati agar tidak berlanjut menjadi eklamsi (Mochtar, 1998). Pre-eklamsi ialah

penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, edema, dan proteinuria yang timbul karena

kehamilan. Penyakit ini umumnya terjadi pada trimester III kehamilan, tetapi dapat

terjadi sebelumnya, misalnya pada mola hidatidosa. Hipertensi biasanya timbul lebih
dahulu dari pada tanda-tanda lain. Untuk menegakkan diagnosis pre-eklamsi, kenaikan

tekanan sistolik harus 30 mmHg atau lebih diatas tekanan yang biasanya ditemukan, atau

mencapai 140 mmHg atau lebih. Kenaikan tekanan diastolik sebenarnya lebih dapat

dipercaya. Apabila tekanan diastolik naik dengan 15 mmHg atau lebih, atau menjadi 100

mmHg atau lebih, maka diagnosis hipertensi dapat dibuat. Penentuan tekanan darah

dilakukan minimal 2 kali dengan jarak waktu 6 jam pada kedaan istirahat (Wiknjosastro,

2002).

Edema ialah penimbunan cairan secara umum dan berlebihan dalam jaringan

tubuh, dan biasanya dapat diketahui dari kenaikan berat badan serta pembengkakan kaki,

jari tangan, dan muka. Edema pretibial yang ringan sering ditemukan pada kehamilan

biasa, sehingga tidak seberapa berarti untuk penentuan diagnosis pre-eklamsi. Kenaikan

berat badan setengah kilo setiap minggu dalam kehamilan masih dapat dianggap normal,

tetapi bila kenaikan satu kilo seminggu beberapa kali,hal ini perlu menimbulkan

kewaspadaan terhadap timbulnya pre-eklamsia. Proteinuria berarti konsentrasi protein

dalam air kencing yang melebihi 0,3 gram/liter dalam air 24 jam atau pemeriksaan

kualitatif menunjukkan satu atau dua + atau satu gram per liter atau lebih dalam air

kencing yang dikeluarkan dengan kateter yang diambil minimal 2 kali dengan jarak

waktu 6 jam. Biasanya proteinuria timbul lebih lambat dari pada hipertensi dan kenaikan

berat badan karena itu harus dianggap sebagai tanda yang cukup serius (Wiknjosastro,

2002).

Pada penatalaksanaan pre-eklamsia untuk pencegahan awal ialah pemeriksaan

antenatal yag teratur dan bermutu serta teliti, mengenali tanda-tanda sedini mungkin, lalu

diberikan pengobatan yang cukup supaya penyakit tidak menjadi lebih berat. Tujuan
utama penanganan adalah untuk mencegah terjadinya pre-eklamsi dan eklamsi,

hendaknya janin lahir hidup dan trauma pada janin seminimal mungkin (Mochtar, 1998).

Menurut (Manuaba, 1998) gejala pre-eklamsi berat dapat diketahui dengan pemeriksaan

pada tekanan darah mencapai 160/110 mmHg, oliguria urin kurang 400 cc/24 jam,

proteinuria lebih dari 3 gr/liter. Pada ibu penderita pre-eklamsi berat, timbul konvulsi

yang dapat diikuti oleh koma. Mencegah timbulnya eklamsi jauh lebih penting dari

mengobatinya, karena sekali ibu mendapat serangan, maka prognosa akan jauh lebih

buruk.

3. KPD (Ketuban Pecah Dini)

Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda persalinan

dan ditunggu satu jam belum terjadi inpartu. Sebagian besar ketuban pecah dini adalah

hamil aterm di atas 37 minggu, sedangkan di bawah 36 minggu tidak terlalu banyak

(Manuaba, 2001). Ada dua macam kemungkinan ketuban pecah dini, yaitu premature

rupture of membran dan preterm rupture of membrane. Keduanya memiliki gejala yang

sama yaitu keluarnya cairan dan tidak ada keluhan sakit. Tanda-tanda khasnya adalah

keluarnya cairan mendadak disertai bau yang khas, namun berbeda dengan bau air seni.

Alirannya tidak terlalu deras keluar serta tidak disertai rasa mules atau sakit perut. Akan

terdeteksi jika si ibu baru merasakan perih dan sakit jika si janin bergerak (Barbara,

2009). Pada sebagian besar kasus, penyebabnya belum ditemukan. Faktor yang

disebutkan memiliki kaitan dengan KPD yaitu riwayat kelahiran prematur, merokok, dan

perdarahan selama kehamilan. Beberapa faktor resiko dari KPD yaitu polihidramnion,

riwayat KPD sebelumnya, kelainan atau kerusakan selaput ketuban, kehamilan kembar,

trauma dan infeksi pada kehamilan seperti bakterial vaginosis (Mochtar, 1998).
Robeknya kantung ketuban sebelum waktunya dapat menyebabkan bayi harus

segera dilahirkan. Pecahnya kantung ketuban pada kehamilan seringkali tidak disadari

penyebabnya. Namun, biasanya hal ini terjadi sesudah trauma. Misalnya, setelah

terjatuh, perut terbentur sesuatu, atau sesudah senggama. Dengan adanya hal ini dokter

akan mempercepat persalinan karena khawatir akan terjadi infeksi pada ibu dan janinnya

4. Janin Besar (Makrosomia)

Makrosomia atau janin besar adalah taksiran berat janin diatas 4.000 gram. Di

negara berkembang, 5 % bayi memiliki berat badan lebih dari 4.000 gram pada saat lahir

dan 0,5 % memiliki berat badan lebih dari 4.500 gram. Ada beberapa faktor ibu yang

menyebabkan bayi besar, yaitu ibu dengan diabetes, kehamilan post-term, obesitas pada

ibu, dan lain-lain. Untuk mencegah trauma lahir, maka bedah sesar elektif harus

ditawarkan pada wanita penderita diabetes dengan taksiran berat janin lebih dari 4500

gram dan pada wanita nondiabetes dengan taksiran berat janin lebih dari 5000 gram

(Glance, 2006). Pada posisi sungsang dengan berat janin lebih dari 3,6 kg sudah bisa

dianggap besar sehingga perlu dilakukan kelahiran dengan operasi. Keadaan ini yang

disebut bayi besar relatif (Kasdu, 2003).

5. Kelainan Letak Janin menurut Mochtar (1998) Antara Lain

a) Kelainan Pada Letak Kepala

- Letak kepala tengadah Bagian terbawah adalah puncak kepala, pada pemeriksaan

dalam teraba UUB yang paling rendah. Etiologinya kelainan panggul, kepala

bentuknya bundar, anaknya kecil atau mati, kerusakan dasar panggul.

- Presentasi muka Letak kepala tengadah (defleksi), sehingga bagian kepala yang

terletak paling rendah ialah muka. Hal ini jarang terjadi, kira-kira 0,27-0,5 %.
- Presentasi dahi Posisi kepala antara fleksi dan defleksi, dahi berada pada posisi

terendah dan tetap paling depan. Pada penempatan dagu, biasanya dengan

sendirinya akan berubah menjadi letak muka atau letak belakang kepala.

b) Letak sungsang Janin yang letaknya memanjang (membujur) dalam rahim, kepala

berada di fundus dan bokong di bawah (Mochtar, 1998). Menurut (Sarwono, 1992)

letak sungsang merupakan keadaan dimana janin terletak memanjang dengan kepala

difundus uteri dan bokong berada di bagian bawah kavum uteri. Dikenal beberapa

jenis letak sungsang, yakni presentasi bokong, presentasi bokong kaki, sempurna,

presentasi bokong kaki tidak sempurna dan presentasi kaki.

c) Bayi kembar Tidak selamanya bayi kembar dilahirkan secara caesar. Hal ini karena

kelahiran kembar memiliki resiko terjadi komplikasi yang lebih tinggi daripada

kelahiran satu bayi. Selain itu, bayi kembar pun dapat mengalami sungsang atau salah

letak lintang sehingga sulit untuk dilahirkan secara normal.

d) Faktor hambatan jalan lahir Adanya gangguan pada jalan lahir, misalnya jalan lahir

yang tidak memungkinkan adanya pembukaan, adanya tumor dan kelainan bawaan

pada jalan lahir, tali pusat pendek dan ibu sulit bernafas (Dini Kasdu, 2003)

C. Tujuan Sectio Caesarea


Tujuan melakukan sectio caesarea (SC) adalah untuk mempersingkat lamanya perdarahan dan
mencegah terjadinya robekan serviks dan segmen bawah rahim. Sectio caesarea dilakukan pada
plasenta previa totalis dan plasenta previa lainnya jika perdarahan hebat. Selain dapat
mengurangi kematian bayi pada plasenta previa, sectio caesarea juga dilakukan untuk
kepentingan ibu, sehingga sectio caesarea dilakukan pada placenta previa walaupun anak sudah
mati.

D. Manifestasi Klinik Post Sectio Caesaria


Persalinan dengan Sectio Caesaria , memerlukan perawatan yang lebih koprehensif yaitu:
perawatan post operatif dan perawatan post partum.Manifestasi klinis sectio
caesarea menurut Doenges (2001),antara lain :
a. Nyeri akibat ada luka pembedahan
b. Adanya luka insisi pada bagian abdomen
c. Fundus uterus kontraksi kuat dan terletak di umbilicus
d. Aliran lokhea sedang dan bebas bekuan yang berlebihan (lokhea tidak banyak)
e. Kehilangan darah selama prosedur pembedahan kira-kira 600-800 ml
f. Emosi labil / perubahan emosional dengan mengekspresikan ketidakmampuan menghadapi
situasi baru
g. Biasanya terpasang kateter urinarius
h. Auskultasi bising usus tidak terdengar atau samar
i. Pengaruh anestesi dapat menimbulkan mual dan muntah
j. Status pulmonary bunyi paru jelas dan vesikuler
k. Pada kelahiran secara SC tidak direncanakan maka bisanya kurang paham prosedur
l. Bonding dan Attachment pada anak yang baru dilahirkan.
E. Jenis - Jenis Operasi Sectio Caesarea (SC)
1. Abdomen (SC Abdominalis)
a) Sectio Caesarea Transperitonealis
b) Sectio caesarea klasik atau corporal : dengan insisi memanjang pada corpus uteri y a n g
mempunyai kelebihan mengeluarkan janin lebih c e p a t , tidak
mengakibatkan komplikasi kandung kemih tertarik, dan sayatan bias
diperpanjang proksimal atau distal . Sedangkan kekurangan dari cara ini adalah
infeksi mudah menyebar secara intra abdominal karena tidak ada reperitonealisasi yang baik
danuntuk persalinan berikutnya lebih sering terjadi ruptura uteri spontan.
c) Sectio caesarea profunda : dengan insisi pada segmen bawah rahim dengan kelebihan
penjahitan luka lebih mudah, penutupan luka dengan reperitonealisasi yang baik,
perdarahan kurang dan kemungkinan rupture uteri spontan kurang/lebih kecil. Dan
memiliki kekurangan luka dapat melebar kekiri, bawah, dan kanan sehingga
mengakibtakan pendarahan yang banyak serta keluhan pada kandung kemih.
d) Sectio caesarea ekstraperitonealis
e) Merupakan sectio caesarea tanpa membuka peritoneum parietalis dan dengan demikian
tidak membuka kavum abdominalis.
2. Vagina (sectio caesarea vaginalis)
Menurut arah sayatan pada rahim, sectio caesaria dapat dilakukan apabila :
a) Sayatan memanjang (longitudinal)
b) Sayatan melintang (tranversal)
c) Sayatan huruf T (T Insisian)
d. Sectio Caesarea Klasik (korporal)
Dilakukan dengan membuat sayatan memanjang pada korpus uteri kira-kira 10cm.
Kelebihan :
a) Mengeluarkan janin lebih memanjang
b) Tidak menyebabkan komplikasi kandung kemih tertarik
c) Sayatan bisa diperpanjang proksimal atau distal
Kekurangan :
a) Infeksi mudah menyebar secara intraabdominal karena tidak ada reperitonial yang baik.
b) Untuk persalinan berikutnya lebih sering terjadi rupture uteri spontan.
c) Ruptura uteri karena luka bekas SC klasik lebih sering terjadi dibandingkan dengan luka
SC profunda. Ruptur uteri karena luka bekas SC klasik sudah dapat terjadi pada akhir
kehamilan, sedangkan pada luka bekas SC profunda biasanya baru terjadi dalam
persalinan.
d) Untuk mengurangi kemungkinan ruptura uteri, dianjurkan supaya ibu yang telah
mengalami SC jangan terlalu lekas hamil lagi. Sekurang -kurangnya dapat istirahat
selama 2 tahun. Rasionalnya adalah memberikan kesempatan luka sembuh dengan baik.
Untuk tujuan ini maka dipasang akor sebelum menutup luka rahim.
3. Sectio Caesarea (Ismika Profunda)
Dilakukan dengan membuat sayatan melintang konkaf pada segmen bawah rahim kira-kira
10cm
Kelebihan :
a) Penjahitan luka lebih mudah
b) Penutupan luka dengan reperitonialisasi yang baik
c) Tumpang tindih dari peritoneal flap baik sekali untuk menahan isi uterus ke rongga
perineum
d) Perdarahan kurang
e) Dibandingkan dengan cara klasik kemungkinan ruptur uteri spontan lebih kecil
Kekurangan :
a) Luka dapat melebar ke kiri, ke kanan dan bawah sehingga dapat menyebabkan arteri
uteri putus yang akan menyebabkan perdarahan yang banyak.
b) Keluhan utama pada kandung kemih post operatif tinggi.

F. Komplikasi
1. Infeksi Puerpuralis
a) Ringan : dengan kenaikan suhu beberapa hari saja.
b) Sedang : dengan kenaikan suhu yang lebih tinggi disertai dehidrasi atau perut sedikit
kembung
c) Berat : dengan peritonitis, sepsis dan ileus paralitik. Hal ini sering kita jumpai
pada partus terlantar dimana sebelumnya telah terjadi infeksi intrapartum
karena ketuban yang telah pecah terlalu lama.
2. Pendarahan disebabkan karena :
a) Banyak pembuluh darah yang terputus dan terbuka
b) Atonia Uteri
c) Pendarahan pada placenta bled
3. Luka pada kandung kemih, emboli paru dan keluhan kandung kemih bila reperitonalisasi
terlalu tinggi.
4. Suatu komplikasi yang baru kemudian tampak ialah kurang kuatnya perut pada dinding uterus,
sehingga pada kehamilan berikutnya bisa terjadi ruptura uteri. Kemungkinan hal ini lebih banyak
ditemukan sesudah sectio caesarea klasik.

G. Patofisiologi
Adanya beberapa kelainan / hambatan pada proses persalinan yang menyebabkan bayi tidak
dapat lahir secara normal / spontan, misalnya plasenta previa sentralis dan lateralis, panggul
sempit, disproporsi cephalo pelvic, rupture uteri mengancam, partus lama, partus tidak maju, pre-
eklamsia, distosia serviks, dan malpresentasi janin. Kondisi tersebut menyebabkan perlu adanya
suatu tindakan pembedahan yaitu Sectio Caesarea (SC).
Dalam proses operasinya dilakukan tindakan anestesi yang akan menyebabkan pasien
mengalami imobilisasi sehingga akan menimbulkan masalah intoleransi aktivitas. Adanya
kelumpuhan sementara dan kelemahan fisik akan menyebabkan pasien tidak mampu melakukan
aktivitas perawatan diri pasien secara mandiri sehingga timbul masalah defisit perawatan diri.
Kurangnya informasi mengenai proses pembedahan, penyembuhan, dan perawatan post
operasi akan menimbulkan masalah ansietas pada pasien. Selain itu, dalam proses pembedahan
juga akan dilakukan tindakan insisi pada dinding abdomen sehingga menyebabkan terputusnya
inkontinuitas jaringan, pembuluh darah, dan saraf - saraf di sekitar daerah insisi. Hal ini akan
merangsang pengeluaran histamin dan prostaglandin yang akan menimbulkan rasa nyeri (nyeri
akut). Setelah proses pembedahan berakhir, daerah insisi akan ditutup dan menimbulkan luka
post op, yang bila tidak dirawat dengan baik akan menimbulkan masalah resiko infeksi.

H. Pemeriksaan Penunjang
a. Hemoglobin atau hematokrit (HB/Ht) untuk mengkaji perubahan dari kadar pra operasi dan
mengevaluasi efek kehilangan darah pada pembedahan.
b. Leukosit (WBC) mengidentifikasi adanya infeksi
c. Tes golongan darah, lama perdarahan, waktu pembekuan darah
d. Urinalisis / kultur urine
e. Pemeriksaan elektrolit

I. Penatalaksanaan
a. Pemberian cairan
Karena 24 jam pertama penderita puasa pasca operasi, maka pemberian cairan
perintavena harus cukup banyak dan mengandung elektrolit agar tidak terjadi hipotermi,
dehidrasi, atau komplikasi pada organ tubuh lainnya. Cairan yang biasa diberikan biasanya
DS 10%, garam fisiologi dan RL secara bergantian dan jumlah tetesan tergantung
kebutuhan. Bila kadar Hb rendah diberikan transfusi darah sesuai kebutuhan.
b. Diet
Pemberian cairan perinfus biasanya dihentikan setelah penderita flatus lalu dimulailah
pemberian minuman dan makanan peroral. Pemberian minuman dengan jumlah yang
sedikit sudah boleh dilakukan pada 6 - 10 jam pasca operasi, berupa air putih dan air teh.
c. Mobilisasi
a) Mobilisasi dilakukan secara bertahap meliputi :
b) Miring kanan dan kiri dapat dimulai sejak 6 - 10 jam setelah operasi
c) Latihan pernafasan dapat dilakukan penderita sambil tidur telentang sedini mungkin
setelah sadar
d) Hari kedua post operasi, penderita dapat didudukkan selama 5 menit dan diminta untuk
bernafas dalam lalu menghembuskannya.
e) Kemudian posisi tidur telentang dapat diubah menjadi posisi setengah duduk
(semifowler)
f) Selanjutnya selama berturut-turut, hari demi hari, pasien dianjurkan belajar duduk
selama sehari, belajar berjalan, dan kemudian berjalan sendiri pada hari ke-3 sampai
hari ke5 pasca operasi.
d. Kateterisasi
Kandung kemih yang penuh menimbulkan rasa nyeri dan tidak enak pada
penderita, menghalangi involusi uterus dan menyebabkan perdarahan. Kateter
biasanya terpasang 24 - 48 jam / lebih lama lagi tergantung jenis operasi dan keadaan
penderita.
e. Pemberian obat-obatan
1) Antibiotik
Cara pemilihan dan pemberian antibiotic sangat berbeda-beda setiap institusi
2) Analgetik dan obat untuk memperlancar kerja saluran pencernaan
a. Supositoria : ketopropen sup 2x/24 jam
b. Oral : tramadol tiap 6 jam atau paracetamol
c. Injeksi : penitidine 90-75 mg diberikan setiap 6 jam bila perlu
3) Obat-obatan lain
Untuk meningkatkan vitalitas dan keadaan umum penderita dapat diberikan
caboransia seperti neurobian I vit. C
4) Perawatan luka
Kondisi balutan luka dilihat pada 1 hari post operasi, bila basah dan berdarah harus
dibuka dan diganti
5) Perawatan rutin
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan adalah suhu, tekanan darah,
nadi,dan pernafasan.
6) Perawatan Payudara
Pemberian ASI dapat dimulai pada hari post operasi jika ibu memutuskan tidak
menyusui, pemasangan pembalut payudara yang mengencangkan payudara tanpa
banyak menimbulkan kompesi, biasanya mengurangi rasa nyeri. (Manuaba, 1999)

J. Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri akut berhubungan dengan pelepasan mediator nyeri (histamin, prostaglandin) akibat
trauma jaringan dalam pembedahan (section caesarea)

2. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan trauma jaringan / luka kering bekas operasi

3. Ansietas berhubungan dengan kurangnya informasi tentang prosedur pembedahan,


penyembuhan dan perawatan post operasi

4. Defisit perawatan diri b/d kelemahan fisik akibat tindakan anestesi dan pembedahan

5. Intoleransi aktivitas b/d tindakan anestesi


K. Rencana Asuhan Keperawatan

Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi Rasional


Keperawatan Hasil
Nyeri akutSetelah diberikan1. Lakukan pengkajian1. Mempengaruhi pilihan /
berhubungan asuhan keperawatan secara komprehensif pengawasan keefektifan
dengan pelepasan selama … x 24 jam tentang nyeri meliputi intervensi.
mediator nyeridiharapkan nyeri lokasi, karakteristik,
(histamin, klien berkurang / durasi, frekuensi,
prostaglandin) terkontrol dengan kualitas, intensitas nyeri
akibat trauma kriteria hasil : dan faktor presipitasi.
jaringan dalam 2. Observasi respon
1 Klien melaporkan 2. Tingkat ansietas dapat
pembedahan nyeri berkurang / nonverbal dari
mempengaruhi persepsi /
(section caesarea) ketidaknyamanan
terkontrol reaksi terhadap nyeri.
2 Wajah tidak tampak (misalnya wajah
meringis) terutama
meringis
3 Klien tampak rileks, ketidakmampuan untuk
berisitirahat, berkomunikasi secara
dapat
dan beraktivitas efektif.
3. Mengetahui sejauh mana
sesuai kemampuan 3. Kaji efek pengalaman
nyeri terhadap kualitas pengaruh nyeri terhadap
hidup (ex: beraktivitas, kualitas hidup pasien.
tidur, istirahat, rileks,
kognisi, perasaan, dan
hubungan sosial)

4. Ajarkan menggunakan4. Memfokuskan kembali


teknik nonanalgetik perhatian, meningkatkan
(relaksasi progresif, kontrol dan
latihan napas dalam, meningkatkan harga diri
imajinasi, sentuhan dan kemampuan koping
terapeutik.)
5. Kontrol faktor - faktor5. Memberikan ketenangan
lingkungan yang yang kepada pasien sehingga
dapat mempengaruhi nyeri tidak bertambah
respon pasien terhadap
ketidaknyamanan
6. Analgetik dapat
(ruangan, suhu, cahaya,
mengurangi pengikatan
dan suara)
mediator kimiawi nyeri
6. Kolaborasi untuk
pada reseptor nyeri
penggunaan kontrol
sehingga dapat
analgetik, jika perlu.
mengurangi rasa nyeri
Risiko tinggi Setelah diberikan1. Tinjau ulang kondisi 1. Kondisi dasar seperti
terhadap infeksi asuhan keperawatan dasar / faktor risiko yang diabetes / hemoragi
berhubungan selama … x 24 jam ada sebelumnya. Catat menimbulkan potensial
dengan trauma diharapkan klien waktu pecah ketuban. risiko infeksi /
jaringan / luka tidak mengalami penyembuhan luka yang
bekas operasi (SC) infeksi dengan buruk. Pecah ketuban
kriteria hasil : yang terjadi 24 jam
sebelum pembedahan
1 Tidak terjadi tanda -
dapat menimbulkan
tanda infeksi (kalor,
koriamnionitis sebelum
rubor, dolor, tumor,
intervensi bedah dan
fungsio laesea)
dapat mempengaruhi
2 Suhu dan nadi dalam
proses penyembuhan
batas normal ( suhu =
luka
36,5 -37,50 C,2. Kaji adanya tanda
frekuensi nadi = 60 - infeksi (kalor, rubor, 2. Mengetahui secara dini
100x/ menit) dolor, tumor, fungsio terjadinya infeksi
3 WBC dalam batas laesa) sehingga dapat
normal (4,10-10,9 dilakukan pemilihan
10^3 / uL) intervensi secara tepat
dan cepat
3. Lakukan perawatan luka 3. Meminimalisir adanya
dengan teknik aseptik kontaminasi pada luka
yang dapat menimbulkan
4. Inspeksi balutan infeksi
abdominal terhadap
eksudat / rembesan.
Lepaskan balutan sesuai 4. Balutan steril menutupi
indikasi luka dan melindungi
luka dari cedera /
kontaminasi. Rembesan
dapat menandakan
terjadinya hematoma
yang memerlukan
5. Anjurkan klien dan intervensi lanjut
keluarga untuk mencuci
tangan sebelum / sesudah 5. Cuci tangan
menyentuh luka menurunkan resiko
terjadinya infeksi
6. Pantau peningkatan nosokomial
suhu, nadi, dan
pemeriksaan
laboratorium jumlah 6. Peningkatan suhu, nadi,
WBC / sel darah putih dan WBC merupakan
salah satu data
penunjang yang dapat
mengidentifikasi adanya
bakteri di dalam darah.
Proses tubuh untuk
melawan bakteri akan
meningkatkan produksi
panas dan frekuensi
nadi. Sel darah putih
akan meningkat sebagai
kompensasi untuk
melawan bakteri yang
menginvasi tubuh.
7. Kolaborasi untuk 7. Risiko infeksi pasca
pemeriksaan Hb dan Ht. melahirkan dan proses
Catat perkiraan penyembuhan akan
kehilangan darah selama buruk bila kadar Hb
prosedur pembedahan rendah dan terjadi
kehilangan darah
8. Anjurkan intake nutrisi berlebihan.
yang cukup
8. Mempertahankan
keseimbangan nutrisi
untuk mendukung
perpusi jaringan dan
memberikan nutrisi yang
perlu untuk regenerasi
selular dan
penyembuhan jaringan
9. Kolaborasi penggunaan
antibiotik sesuai indikasi
9. Antibiotik dapat
menghambat proses
infeksi
Ansietas Setelah diberikan1.Kaji respon psikologis
1. Keberadaan sistem
berhubungan asuhan keperawatan terhadap kejadian dan pendukung klien
dengan kurangnya selama … x 6 jam ketersediaan sistem (misalnya pasangan)
informasi tentang diharapkan ansietas pendukung dapat memberikan
prosedur klien berkurang dukungan secara
pembedahan, dengan kriteria hasil : psikologis dan
penyembuhan, dan1 membantu klien dalam
Klien terlihat lebih
perawatan post mengungkapkan
tenang dan tidak
operasi masalahnya
gelisah
2 Klien2. Tetap bersama klien, 2. Keberadaan perawat
mengungkapkan bersikap tenang dan dapat memberikan
bahwa ansietasnya menunjukkan rasa empati dukungan dan perhatian
berkurang pada klien sehingga
klien merasa nyaman
dan mengurangi ansietas
yang dirasakannya
3. Ansietas seringkali
3. Observasi respon
tidak dilaporkan secara
nonverbal klien
verbal namun tampak
(misalnya: gelisah)
pada pola perilaku klien
berkaitan dengan ansietas
yang dirasakan secara nonverbal

4. Dukung dan arahkan 4. Mendukung mekanisme


kembali mekanisme koping dasar,
koping meningkatkan rasa
percaya diri klien
sehingga menurunkan
ansietas
5. Berikan informasi yang5. Kurangnya informasi
benar mengenai prosedur dan misinterpretasi klien
pembedahan, terhadap informasi yang
penyembuhan, dan dimiliki sebelumnya
perawatan post operasi dapat mempengaruhi
ansietas yang dirasakan

6.
Klien dapat mengalami
penyimpangan memori
Diskusikan
dari melahirkan. Masa
pengalaman / harapan
lalu / persepsi yang tidak
kelahiran anak pada
realistis dan
masa lalu
abnormalitas mengenai
proses persalinan SC
akan meningkatkan
ansietas.
7. Identifikasi keefektifan
intervensi yang telah
diberikan

Evaluasi perubahan
ansietas yang dialami
klien secara verbal

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, I.J. 2001. Diagnosa Keperawatan, Edisi 8. Jakarta : EGC


Doengoes, Marylinn. 2001. Rencana Asuhan Keperawatan Maternal / Bayi. Jakarta :
EGC
Manuaba, I.B. 2001. Kapita Selekta Penatalaksanaan Rutin Obstetri Ginekologi dan
KB. Jakarta : EGC
Manuaba, I.B. 1999. Operasi Kebidanan Kandungan Dan Keluarga Berencana Untuk
Dokter Umum. Jakarta : EGC
Mochtar, Rustam. 1998. Sinopsis Obstetri, Edisi 2, Jilid 2. Jakarta : EGC
Sarwono, Prawiroharjo,. 2005. Ilmu Kandungan, Cetakan ke-4. Jakarta : PT Gramedi

Anda mungkin juga menyukai