PENDAHULUAN
1
1.3 Tujuan
Di harapkan setelah membaca makalah ini pembaca mampu mengetahui :
a. Definisi penyakit syndrome uremik
b. Etiologi penyakit syndrome uremik
c. Patofisiologi syndrome uremik
d. Manifestasi syndrome uremik
e. Komplikasi syndrome uremik
f. Pemeriksaan Diagnostik syndrome uremik
g. Asuhan keperawatan pada pasien syndrome uremik
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 DEFINISI
Uremia adalah sindrom klinis yang berhubungan dengan ketidakseimbangan
cairan, elektrolit, hormon dan kelainan metabolik, yang berkembang secara paralel
dengan penurunan fungsi ginjal. Penyakit ginjal kronis (chronic kidney disease) lebih
sering berkembang menjadi uremia terutama stadium lanjut CKD, tetapi juga dapat
terjadi dengan gagal ginjal akut (AKI) jika hilangnya fungsi ginjal dengan cepat. Belum
ada uremik toksik tunggal yang telah di identifikasi menyumbang semua manifestasi
klinis uremia.
Racun, seperti hormon paratiroid (PTH), beta2 mikroglobulin, poliamina,
produk glikosilasi akhir mutakhir, dan molekul menengah lainnya, diperkirakan
berkontribusi terhadap sindrom klinis (Alper, 2015). Disebut Uremia bila kadar ureum
didalam darah di atas 50 mg/dl. Uremia adalah sindrom penyimpangan biokimia yang
ditandai oleh azotemia, asidosis, hiperkalemia, pengendalian volume cairan yang
buruk, hipokalsemia, anemia dan hipertensi. Uremia adalah sindrom klinis dengan
penurunan LFG < 10-15 ml/menit (L, Tao & K, Kendall, 2014).
2.2 ETIOLOGI
Pada penyakit ginjal kronis terjadi kerusakan regional glomerulus dan
penurunan LFG terhadap pengaturan cairan tubuh, keseimbangan asam basa,
keseimbangan elektrolit, sistem hematopoesis dan hemodinamik, fungsi ekskresi dan
fungsi metabolik endokrin. Sehingga menyebabkan munculnya beberapa gejala klinis
secara bersamaan, yang disebut sebagai sindrom uremia (Suwitra, 2006). Penyebab
dari uremia dapat dibagi menjadi tiga, yaitu prerenal, renal, dan post renal. Uremia
prerenal disebabkan oleh gagalnya mekanisme sebelum filtrasi glomerulus. Mekanisme
tersebut meliputi penurunan aliran darah ke ginjal (syok, dehidrasi, dan kehilangan
darah) dan peningkatan katabolisme protein.
Uremia renal terjadi akibat gagal ginjal (gagal ginjal kronis/chronic renal failure
atau juga pada kejadian gagal ginjal akut/acute renal failure apabila fungsi ginjal
menurun dengan cepat) yang dapat menyebabkan gangguan ekskresi urea sehingga urea
akan tertahan di dalam darah, hal ini akan menyebabkan intoksikasi oleh urea dalam
konsentrasi tinggi yang disebut dengan uremia. Sedangkan uremia postrenal terjadi
3
oleh obstruksi saluran urinari di bawah ureter (vesica urinaria atau urethra) yang
dapat menghambat ekskresi urin. Obstruksi tersebut dapat berupa batu/kristaluria,
tumor, serta peradangan (Ridwan, 2011).
2.3 PATOFISIOLOGI
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama.
Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang
masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul
vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi,
yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini
berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang
masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif,
walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktifitas aksis renin-
angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi,
sklerosis dan progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensin-
aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth factor
β(TFG-β). Beberapa hal yan juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit
ginjal kronik adalah albuminuria, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabiltas
interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstitial.
Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang ginjal
(renal reserve), pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian
secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai
dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien
masih belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan
kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti,
nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada
LFG di bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti,
anemia, peningkatan tekanan darah gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual,
muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih,
saluran pernafasan, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan
4
air seperti hipo atau hipervolemia. Gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan
kalium.
5
2.4 MANIFESTASI KLINIS
A. Biokimia :
B. Genitourinaria :
C. Kardiovaskuler :
Hipertensi
Retinopati dan ensofalopati hipertensif
Beban sirkulasi berlebihan
Edema
Gagal jantung kongestif
Perikarditis (friction rub)
Disritmia
D. Pernafasan :
6
E. Hematologik :
F. Kulit :
Pucat, pigmantasi
Perubahan rambut dan kuku (kuku mudah patah, tipis, bergerigi, ada garis-
garis merah-biru yang berkaitan dengan kehilangan protein)
Pruritis
”kristal” uremik
Kulit kering
Memar
G. Saluran Cerna :
H. Metabolisme Intermedier :
7
I. Neuromuskuler :
Hiperfosfatemia, hipokalsemia
Hiperparatiroidisme sekunder
Osteodistrofi ginjal
Fraktur patologik (demineralisasi tulang)
Deposit garam kalsium pada jaringan lunak (sekitar sendi, pembuluh darah,
jantung, paru)
Konjungtivitis (mata merah uremik)
2.5 KOMPLIKASI
1. Anemia
8
cerebral blood flow, sebagai kompensasi pemenuhan kebutuhan oksigen bagi otak (Haktanir et
al, 2005).
2. Trombositopenia
3. Gizi Buruk
4. Hiperamonemia
Ureum secara tipikal diangkut dari hati ke ginjal tempat ureum tersebut diekskresikan.
Ginjal yang mengalami kegagalan tidak dapat mengekskresikan ureum dan karena itu enzim
usus urease mengubah ureum tambahan menjadi amonia sehingga terjadi hiperamonemia.
5. Resistensi Insulin
Ketika laju filtrasi glomerulus turun dibawah 50 ml per menit per 1,73 m2 terjadi
resistensi insulin. Aktivitas fisik mengurangi kerja insulin, pada pasien uremia resistensi
insulin dapat berkembang sebagian karena kurang aktivitas (Meyer et al, 2007).
A. Urine
1. Volume : Biasanya kurang dari 400 ml / 24 jam (oliguria) anuria.
2. Warna : Secara abnormal urine keruh, mungkin disebabkan oleh pus, bakteri,
lemak, partikel koloid, fosfat lunak, sedimen kotor, kecoklatan
menunjukkan adanya darah Hb, mioglobulin, forfirin.
3. Berat jenis : < 1,051 (menetap pada 1.010 menunjukkan kerusakan ginjal berat).
4. Osmolalitas : < 350 Mosm/kg menunjukkan kerusakan mubular dan rasio
urine/sering 1:1.
5. Kliren kreatinin : mungkin agak menurun
9
6. Natrium : > 40 ME o /% karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi natrium.
7. Protein : derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara bulat, menunjukkan kerusakan
glomerulus jika SDM dan fagmen juga ada.
8. PH, kekeruhan, glokuso, ketan, SDP dan SDM.
B. Darah
1. BUN
Urea adalah produksi akhir dari metabolism protein, peningkatan BUN dapat
merupakan indikasi dehidrasi, kegagalan pre renal atau gagal ginjal.
2. Kreatinin
Produksi katabolisme otot dari pemecahan kreatinin otot dan kreatinin posfat. Bila 50
% nefron rusak maka kadar kreatinin meningkat.
3. Elektrolit
Natrium, kalium, calcium dan phosfat.
10
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
1) Aktivitas / istirahat
2) Sirkulasi
3) Integritas Ego
a) Gejala : factor setres, contoh tinansial, hubungan, perasaan tidak berdaya, tidak ada
kekuatan.
b) Tanda : menolak, ansietas, takut, marah, mudah terangsang, perubahan.
4) Kepribadian Eliminasi
a) Gejala : penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria (gagal tahap lanjut), abdomen
kembung, diare,atau konstipasi.
b) Tanda : perubahan warna urine, contoh kuning pekat, merah, coklat, berawan, oliguria,
dapat menjadi anuria.
5) Makanan / Cairan.
a) Gejala : peningkatan berat badan cepat (edema), penurunan berat badan (malnutrisi).
Anoreksia, nyeri ulu hati, mual / muntah, rasa metalik tidak sedap pada mulut
(pernafasan ammonia).
b) Tanda : distensi abdomen, pembesaran hati, perubahan turgor kulit, edema, ulserasi gusi,
perdarahan gusi / lidah, penurunan otot, penurunan lemak subkutan, penampilan
tidak bertenaga.
6) Neurosensori
a) Gejala : sakit kepala, penglihatan kabur, kram otot / kejang sindrom “kaki gelisah” kebas
rasa terbakar pada telapak kaki.
b) Tanda : gangguan status mental, contoh penurunan lapang perhatian, ketidakmampuan
berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau, penurunan tingkat kesadaran, kejang,
rambut tipis,kuku rapuh dan tipis.
11
7) Nyeri / kenyamanan
a) Gejala : Nyeri panggul, sakit kepala, kram otot / nyeri kaku (memburuk saat malam hari).
b) Tanda : Perilaku berhati-hati, distraksi, gelisah.
8) Pernafasan
a) Gejala : nafas pendek, dyspepsia nocturnal paroksismal, batuk dengan tanpa sputum
kental dan banyak.
b) Tanda : takipnea, dispnea, peningkatan frekuensi / kedalam (pernafasan kusmaul), batuk
produktif dengan sputum merah muda encer (edema paru).
9) Keamanan
10) Seksualitas
Gejala : penurunan libido, amenorea, infertilitas.
Tujuan
- Klien tampil santai, dapat beristirahat atau tidur cukup
- Klien melaporkan penurunan rasa takut dan cemas yang berkurang ke tingkat yang dapat
diatasi.
12
Intervensi 2 : Validasi sumber rasa takut. Sediakan informasi yang akurat dan faktual.
Rasional : Mengidentifikasi rasa takut yang spesifik membantu pasien untuk menghadapinya
secara realistis.
Intervensi 3 : Berikan petunjuk atau penjelasan yang sederhana pada pasien yang
tenang.
Rasional : Ketidakseimbangan dari proses pemikiran akan membuat pasien menemui
kesulitan untuk memahami petunjuk-petunjuk yang panjang dan berbelit-belit.
Tujuan
- Klien mengatakan nyeri hilang
- Klien menunjukan tindakan santai : Mampu berpartisifasi dalam aktivitas atau tidur atau
istirahat dengan tepat.
13
Intervensi 2 : Dorong klien menggunakan teknik manajemen stres, contoh relaklasi
progresif, latihan nafas dalam, imaji asai visualisasi.
Rasional : Memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa kontrol, dan dapat
meningkatkan kemampuan koping dalam manajemen nyeri, yang mungkin
menetap untuk periode lebih lama.
Intervensi 3 : Lakukan dan awasi latihan rentang gerak pasif atau aktif.
Rasional : Mempertahankan kekuatan atau mobilitas otot yang sakit dan memudahkan
resolusi inflamasi pada jaringan yang cedera.
Intervensi 4 : Selidiki adanya keluhan nyeri yang tak biasa atau tiba-tiba atau dalam,
lokasi progresif atau buruk tidak hilang dengan analgesik.
Rasional : Dapat menandakan terjadinya komplikasi, contoh infeksi, iskemia jaringan,
sindrom kompartemen.
1) Kaji tiap adanya keluhan pada klien
2) Berikan kasur padat
3) Ubah posisi klien dalam batas traksi
4) Jaga agar linen tidak terlipat
Intervensi 1 : Tentukan kemampuan saat ini (skala 0-4) dan hambatan untuk
partisipasi dalam perawatan.
Rasional : Mengidentifikasi kebutuhan intervensi yang dibutuhkan.
14
Intervensi 3 : Brikan keramas atau gaya rambut sesuai kebutuhan. Sediakan atau
bantu dengan perawatan kuku.
Rasoinal : Membantu mempertahankan penampilan.
Intervensi 4 : Dorong atau bantu dengan perawatan mulut atau gigi setiap hari.
Rasional : Mengurangi risiko penyakit gusi atau kehilangan gigi.
1) Beri bantuan aktivitas perawatan diri slma immobilisasi.
2) Beri alat penjangkau dan gantungan di atas tempat tidur.
Intervensi 1 : Kaji derajat imobilitas yang dihasilkan oleh cedera atau pengobatan dan
memperhatikan persepsi pasien terhadap imobilisasi.
Rasional : Pasien mungkin dibatasi oleh pandangan diri atau persepsi diri tentang
keterbatasan fisik aktual, memerlukan informasi atau intervensi untuk
meningkatkan kemajuan kesehatan.
Intervensi 2 : Bantu pasien dalam rentang gerak aktif pada ekstremitas yang sakit dan
yang tak sakit.
Rasional : Meningkatkan aliran darah ke otot dan tulang untuk meningkatkan tonus otot,
mempertahankan gerak sendi; mencegah kontraktur atau atrofi, dan resorpsi
kalsium karena tidak digunakan.
Intervensi 3 : Ubah posisi secara periodik dan dorong untuk latihan batuk atau napas
dalam.
Rasional : Mencegah atau menurunkan insidensi komplikasi kulit atau pernapasan (dekubitus,
atelektasis, pneumonia)
1) Anjurkan klien melatih otot dan sendi yang tidak diimmobilisasi
2) Konsultasikan dgn fisiotherapi untuk latihan di tempat tidur
3) Dorong klien untuk berlatih
15
E. Resiko terjadinya komplikasi
1) Dekubitus :
a) Periksa area kulit yang tertekan
b) Lakukan perubahan posisi klien
c) konsultasikan dgn penggunaan pelindung cincin dekubitus dan tempat tidur khusus.
2) Kongesti paru-pneumonia :
a) Kaji status pernafasan klien
b) Ajari latihan nafas dalam dan batuk efektif.
c) Kaji terhadap adanya secret kental atau reflek batuk menurun.
d) Anjurkan klien banyak minum.
Lakukan fisiotherapi dada.
laporkan jika terjadi gangguan.
16
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Sindrom uremik adalah kumpulan tanda dan gejala yang terlihat seperti insufiensi
ginjal progresif dan GFR menurun hingga dibawah 10 ml/menit (10% dari normal) dan
puncaknya pada ESRD. Pada titik ini, nefron yang masih utuh tidak lagi mampu untuk
mengkompensasi dan mempertahankan fungsi ginjal normal.
17
DAFTAR PUSTAKA
http://meikafitri.blogspot.co.id/2009/12/asuhan-keperawatan-pada-pasien-
dengan.html
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/55839/Chapter%20II.pdf;jsess
ionid=46B72E6BB6BBA096A2970EF180D5941D?sequence=4
Doenges, Marilyn. E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: EGC
Tambayong, jan. 2000. Patofisiologi Untuk Keperawatan. Jakarta: EGC
18