PENDAHULUAN
1
(Wandra et al., 2006). Beberapa daerah, seperti Bali dan Papua masih mempunyai
kebiasaan mengkonsumsi daging terutama daging babi yang mentah atau yang
tidak di masak sempurna/kurang matang (Margono et al., 2006; Suroso et al.,
2006).
Propinsi Bali yang mayoritas penduduknya beragama Hindu memiliki 9
Kabupaten/Kota, dari 9 Kabupaten/Kota tersebut kejadian taeniasis tertinggi di 4
Kabupaten yaitu Kabupaten Gianyar, Karangasem, Badung dan Denpasar.
Kabupaten Gianyar mempunyai kejadian tertinggi untuk kasus taeniasis saginata
dan Kabupaten Karangasem tertinggi untuk taeniasis solium (Wandra et al.,
2007).Kasus taeniasis relatif sedikit, namun penderita taeniasis (carrier taeniasis
solium) merupakan salah satu sumber penularan terjadinya sistiserkosis terutama
neurosistiserkosis pada diri penderita, anggota keluarga atau orang terdekat (Salim
et al., 2009). Penemuan penderita taeniasis baik yang simptomatis atau
asimptomatis terutama taeniasis solium, akan mencegah terjadinya
sistiserkosis/neurosistiserkosis yang gejala klinisnya lebih berat dibandingkan
taeniasis (Chaterjee, 2009). Dekade ini, penelitian taeniasis jarang dilakukan
karena daerah yang berisiko terkena taeniasis hanya daerah yang penduduknya
makan daging mentah atau kurang matang yang merupakan faktor risiko utama
serta karena gejala klinis asimptomatis sehingga sulit di deteksi (Ito et al.,
2004).Diagnosis taeniasis yang paling sering dilakukan yaitu dengan pemeriksaan
tinja secara mikroskopis.Pemeriksaan ini sederhana dan juga hasil yang
didapatkan cukup cepat meskipun perlu ketelitian dalam pemeriksaan. Metode
pemeriksaan yang paling sering digunakan dan hasilnya cukup baik yaitu dengan
metode pengapungan, meskipun pemeriksaan serologi atau molekular yang paling
sensitif (Sah et al., 2013).
Data taeniasis terbaru dari seminar internasional taeniasis/sistiserkosis
yang diadakan di Bali menunjukkan sebanyak 110 kasus taeniasis solium (6,4%)
di Kabupaten Karangasem tepatnya di Kecamatan Kubu ditemukan dari tahun
2002-2010 (Ito et al., 2013). Pada tahun 2011-2013, 11 kasus taeniasis juga
ditemukan di Kecamatan Kubu, Karangasem, dimana 7 diantaranya langsung
mengeluarkan cacing T. solium. Penelitian lain, pada ternak babi di Kabupaten
2
Karangasem pada tahun 2013 didapatkan 64 babi (9,37%) terinfeksi kista atau
larva sistiserkus selulosa, hal tersebut merupakan faktor risiko utama terjadinya
taeniasis apabila daging yang terinfeksi tersebut dimakan dan diolah tidak
sempurna (Dharmawan et al., 2014).
Daerah Kubu dari penelitian taeniasis terdahulu tersebut terletak di sebelah
timur Gunung Agung. Penelitian taeniasis terutama untuk mendapatkan carrier
taeniasis dilakukan di daerah tersebut awalnya karena didapatkan 1 orang anak
usia 9 tahun dengan ocular cysticercosis (Ito et al.,2013). Penemuan kasus
sistiserkosis pada mata tersebut tentu erat kaitannya dengan taeniasis.Penelitian
mengenai taeniasis yang dilakukan belum mencakup seluruh wilayah terutama
wilayah di sebelah timur Gunung Agung yang terkenal dengan lahannya yang
gersang dan sulit untuk mendapatkan air saat musim kemarau serta masih adanya
beberapa ternak babi ataupun sapi yang tidak dikandangkan atau liar saat musim
tersebut (Ito et al., 2013).
Pemilihan tempat penelitian di Desa Datah, karena Datah merupakan
daerah berdekatan dan mempunyai kemiripan dengan daerah Kubu, juga berada di
sebelah timur Gunung Agung dan termasuk daerah lahan gersang. Penduduk di
daerah ini juga sulit mendapatkan air saat musim kemarau.Mayoritas mata
pencaharian penduduk adalah peternak. Kepemilikan ternak babi yaitu 9.800 ekor
dan ternak sapi 3.600 ekor dari seluruh penduduk Datah.Ternak tersebut biasanya
dilepas terutama pada musim kemarau sehingga untuk pakan ternak tersebut
menyesuaikan dengan lingkungan. Sanitasi lingkungan tiap penduduk bervariasi
ada yang cukup baik namun masih ada yang kurang (Pemkab Karangasem, 2013).
Survei tahun 2011-2013 yang pernah dilakukan dengan pemeriksaan feses
didapatkan 10 kasus tetapi hanya di 1 dusun yaitu Bingin, namun belum
mencakup 14 dusun di desa tersebut (Dinkes Kabupaten Karangasem, 2013).
Kebiasaan masyarakat mengkonsumsi daging mentah atau setengah
matang, terutama lawar babi (campuran sayur nangka berisi parutan kelapa,
daging/kulit babi setengah matang bahkan ada yang berisi darah babi mentah) dan
babi guling (babi yang di masak di atas bara api dengan cara diguling) masih
banyak terutama di daerah pedesaan/pedalaman Karangasem termasuk juga di
3
daerah Datah. Lawar babi dan babi guling yang dikonsumsi merupakan suatu
tradisi serta kebiasaan masyarakat/adat-istiadat setempat, yang dari dulu tidak
pernah ditinggalkan. Kebiasaan memotong ternak babi dari hasil ternak untuk
upacara keagamaan dan hajatan secara bersama-sama di Banjar ataupun ternak
lain sering tanpa melalui tempat pemotongan hewan (TPH) yang legal dan juga
masih adatanpa melalui pemeriksaan kesehatan pada ternak tersebut. Beberapa
masyarakat di perkotaan yang masih dekat dengan Desa Datah juga mempunyai
kebiasaan mengkonsumsi daging yaitu Kelurahan Karangasem, di daerah tersebut
untuk mendapatkan daging yang di konsumsi dengan cara membeli daging di
pasar, dimana daging yang di beli dari pasar pada umumnya berasal dari tempat
pemotongan hewan yang legal dan secara berkala satu kali seminggu dilakukan
pemeriksaan kesehatan pada hewan ternak tersebut. Selain itu masyarakat di
daerah tersebut mata pencaharian bukan peternak melainkan pedagang (Pemkab
Karangasem, 2013). Persamaan dan perbedaan dua daerah tersebut menyebabkan
peneliti ingin mengetahui faktor risiko taeniasis pada 2 populasi tersebut yaitu
masyarakat yang mengkonsumsi daging dari hasil ternak sendiri dengan
masyarakat yang mengkonsumsi daging dari hasil membeli di pasar.
4
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
6
Gambar 1. Anatomi Esofagus 9
Secara histologi esofagus tidak memiliki lapisan serosa, 3 lapisan esofagus dari
luar ke dalam yaitu :8
1. Lapisan paling luar terdiri dari 2 lapisan otot; yang terluar lapisan otot
longitudinal, dan pada bagian dalam lapisan otot sirkuler.
2. Lapisan submukosa yang terdiri dari serat elastis dan fibrous, lapisan ini
merupakan lapisan yang terkuat dari esofagus.
7
3. Lapisan paling dalam (lapisan mukosa) yang merupakan sel-sel epitel
squamosa, terbagi atas lamina propia dan muskularis mukosa.
Lapisan otot pada bagian sepertiga atas dari esofagus merupakan lapisan otot
lurik, sedangkan dua pertiga bawah adalah lapisan otot polos.8
2.3 Definisi
Lesi korosif esofagus adalah lesi yang terjadi pada semua bagian
esophagus yang dapat menyebabkan striktur atau stenosis esofagus, karena
masuknya bahan korosif secara sengaja maupun tidak sengaja.1 Selain itu lesi
korosif esofagus merupakan kerusakan epitel mukosa esophagus sampai
8
kerusakan seluruh dinding esofagus karena bahan kimia kaustik yang tertelan.
Kerusakan sangat tergantung bahan kimia, konsentrasi, jumlah dan lamanya
berada di dalam esofagus. Esofagitis korosif adalah peradangan esofagus yang
disebabkan oleh luka bakar karena zat kimia yang bersifat korosif, misalnya asam
kuat, basa kuat dan zat organik. Zat kimia yang tertelan dapat bersifat toksik atau
korosif. Zat kimia yang bersifat korosif akan menimbulkan kerusakan pada
saluran yang dilaluinya, sedangkan zat kimia yang bersifat toksik hanya
menimbulkan gejala keracunan bila telah diserap oleh darah. Esofagitis ini disebut
juga esofagitis kaustik karena disebabkan oleh zat kimia kaustik.2
2.4 Epidemiologi
Sebanyak 70% dari kasus esofagitis korosif disebabkan oleh basa kuat, 20
% oleh asam kuat karena sifat dari basa kuat yang tidak berasa di lidah, sedangkan
asam mempunyai rasa yang pahit dan menyebabkan lidah rasa terbakar. Sekitar
80% kasus ini terjadi pada anak-anak, dan 50% di antaranya terjadi pada anak usia
kurang dari 4 tahun.3 Kasus ini juga terjadi pada orang dewasa yang mencoba
bunuh diri dengan cara meminum zat – zat korosif dan biasanya tingkat kerusakan
yang ditimbulkan lebih serius karena adanya unsur kesengajaan, jumlah zat yang
masuk lebih banyak dan jenisnya lebih berbahaya.4
Angka kejadian esofagitis korosif tertelan asam kuat, basa kuat, cairan
pemutih diperkirakan sekitar 3-5 % dari kasus kecelakaan dan bunuh diri atau
sekitar 5.000-10.000 kasus pertahun di Amerika Serikat. Anak di bawah 5 tahun
dilaporkan sering tertelan zat yang bersifat korosif akibat ketidaksengajaan dan
kelalaian. Sedangkan pada remaja dan dewasa dilaporkan kasus cukup sering pada
remaja sebagai percobaan bunuh diri. Tidak ada perbedaan jenis kelamin dan ras
yang mempengaruhi terjadinya esofagitis korosif.7
2.5 Etiologi
Esofagitis korosif paling sering ditimbulkan oleh tertelannya zat
pembersih rumah tangga, biasanya oleh anak-anak. Zat yang paling merusak
adalah natrium hidroksida, atau yang menyebabkan lisisnya jaringan serta
9
seringkali menembus dinding esofagus. Cairan pembersih saluran dapat merusak
esofagus atau menimbulkan lesi.
Zat kimia khususnya yang menyebabkan esofagitis korosif berat adalah
larutan pembersih atau disinfektan. Larutan asam yang menyebabkan timbulnya
esophagitis korosif adalah pembersih toilet, baterai cair otomotif, pembersih
semen dan produk penghilang karat. Sedangkan larutan yang bersifat basa yang
dapat menyebabkan esophagitis korosif adalah detergen, pemutih dan produk
yang mengandung ammonia.3 Faktor yang berkontribusi pada perkembangan
refluks esofagitis adalah refluksat kaustik, ketidakmampuan membersihkan
refluksat dari esofagus, volume isi gaster, dan fungsi protektif mukosa lokal. Jenis
dan jumlah zat kimia yang tertelan menentukan derajat keparahan dan lokasi
kerusakan. Zat kimia tersebut dapat merusak sebatas mukosa, submukosa, bahkan
seluruh lapisan esofagus. Gejala diperburuk oleh penggunaan alcohol, merokok,
gaya hidup yang kurang baik dan obesitas.7
2.6 Patofisiologi
Zat-zat kaustik seperti asam kuat dan basa kuat merusak jaringan tubuh
dengan merubah struktur ion dan struktur molekul serta mengganggu ikatan
kovalen pada sel.5
1. Basa kuat
Tertelan basa kuat menyebabkan jaringan nekrosis mencair (liquefactum
necrosis), sebuah proses yang melibatkan saponifikasi lemak dan melarutkan
protein. Kematian sel disebabkan oleh emulsifikasi dan perusakan struktur
membran sel. Ion hidroksi (OH-) yang berasal dari zat basa bereaksi dengan
jaringan kolagen sehingga menyebabkan terjadinya bengkak dan pemendekan
jaringan (kontraktur), trombosis pada pembuluh darah kapiler, dan produksi panas
oleh jaringan.5
Jaringan yang paling sering terkena pada kontak pertama oleh basa kuat
adalah lapisan epitel squamosa orofaring, hipofaring, dan esofagus. Esofagus
merupakan organ yang paling sering terkena dan paling parah tingkat
kerusakannya saat tertelan basa kuat dibandingkan dengan lambung, Dalam 48
10
jam terjadi udem jaringan yang bisa menyebabkan obstruksi jalan nafas,
selanjutnya dalam 2-4 minggu dapat terbentuk striktur.5
2. Asam kuat
Kerusakan jaringan akibat tertelan asam kuat bersifat nekrosis
menggumpal (coagulation necrosis), terjadi proses denaturasi protein superfisial
yang akan menimbulkan bekuan, krusta atau keropeng yang dapat melindungi
jaringan di bawahnya dari kerusakan. Lambung merupakan organ yang paling
sering terkena pada kasus tertelan asam kuat, pada 20% kasus usus kecil juga
dapat terkena. Keropeng dan bekuan protein yang terbentuk mengelupas dalam 3-
4 hari digantikan oleh jaringan granulasi, perforasi jaringan dapat terjadi pada
proses ini. Komplikasi akut yang terjadi adalah, muntah akibat dari spasme
pylorik, perforasi dan perdarahan saluran cerna. Jika zat asam terserap oleh darah
menyebabkan asidosis metabolik, hemolisis, gagal ginjal akut, dan kematian.5
11
Terdapat perforasi esofagus yang dapat menimbulkan mediastinitis dan
peritonitis. Kadang-kadang ditemui tanda-tanda obstruksi saluran pernafasan atas
dan gangguan keseimbangan asam basa.
2. Fase laten
Berlangsung selama 2-6 minggu, pada fase ini keluhan pasien berkurang, suhu
badan menurun, pasien merasa telah sembuh, sudah dapat menelan dengan baik,
12
akan tetapi sebenarnya proses masih berjalan dengan membentuk jaringan parut
(sikatriks).
3. Fase kronis
Setelah 1-3 tahun akan terjadi disfagia lagi oleh karena telah terbentuk jaringan
parut, sehingga terjadi striktur esofagus. Gejala lain yang bisa timbul adalah
fistula, hipomotilitas saluran cerna, dan peningkatan resiko kanker saluran cerna.
Hal-hal lain yang menjadi masalah penting dan perlu diperhatikan pada kasus
esofagitis korosif antara lain :5
1. Akibat dari udem, perdarahan, dan pembentukan jaringan nekrosis dapat
menyebabkan terjadinya obstruksi jalan nafas atas, oleh karena itu perlu dijaga
agar jalan nafas tetap baik.
2. Perforasi tidak hanya mengenai esofagus, tetapi dapat juga mengenai lambung,
usus, saluran pernafasan, dan pembuluh darah.
3. Kehilangan cairan dari muntah, adanya rongga ketiga (third space), dan
perdarahan saluran cerna dapat menyebabkan terjadinya syok dan hipovolemia.8
4. Pada kasus tertelan asam kuat yang cukup banyak dapat menyebabkan
terjandinya asidosis metabolik, hemolisis, gagal ginjal akut dan kegagalan fungsi
multiorgan.
5. Walaupun pasien dapat selamat dari fase akut, namun pada fase kronis dapat
terjadi fistula, hipomotilitas saluran cerna, dan kanker saluran cerna.
2.8. Diagnosis
2.8.1 Anamnesis
Berdasarkan anamnesis ditegakkan dengan adanya riwayat tertelan zat
korosif atau zat organik, serta ditunjukkan dengan keluhan utama pasien rasa
terbakar pada daerah kerongkongan, rasa nyeri yang hebat, serta bisa juga
mengeluhkan susah menelan. Disfagia merupakan gejala terpenting jika ada
striktur atau stenosis esophagus. Keluhan lainnya yaitu rasa nyeri atau terbakar
pada dada dan rasa tidak nyaman pada dada.1
13
2.8.2 Pemeriksaan Fisik
Selain penegakan diagnosis dari autoanamnesis atau alloanamnesis yang
cermat serta diperlukan bukti-bukti yang diperoleh ditempat kejadian. Masuknya
zat korosif melalui mulut dapat diketahui dengan bau mulut ataupun muntahan.
Adanya luka bakar keputihan pada mukosa mulut atau keabuan pada bibir dan
dagu menunjukkan akibat bahan kaustik atau korosif baik yang bersifat asam kuat
maupun basa kuat. Perbedaaan pada dampak luka bakarnya yaitu nekrosis
koagulatif akibat paparan asam kuat sedangkan basa kuat mengakibatkan nekrosis
likuitaktif. Kerusakan korosif hebat akibat alkali (basa) kuat pada esofagus lebih
berat dibandingkan akibat asam kuat, kerusakan terbesar bila PH > 12, akan tetapi
tergantung juga konsentrasi bahan tersebut.3
14
Gambar 2. Stenosis esofagus tampak dengan esofagogram12
15
b. CT-Scan
Pemeriksaan dengan CT-Scan lebih sensitif dan lebih dini dalam
mendeteksi adanya perforasi, striktur serta kemungkinan adanya kelainan pada
organ lain sehingga dapat dilakukan penatalaksanaan lebih dini.
2. Pemeriksaan laboratorium5
Peranan pemeriksaan laboratorium sangat sedikit, kecuali bila terdapat
tanda-tanda gangguan elektrolit. Beberapa pemeriksaaan yang dapat dilakukan
adalah :
a. Pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, fungsi hati, ureum dan kreatinin untuk
melihat tanda-tanda keracunan sistemik.
b. Pemeriksaan jumlah urin dan urinalisis untuk membantu menjaga
keseimbangan cairan.
3. Pemeriksaan endoskopi dengan esofagoskopi5
Pemeriksaan esofagoskopi dilakukan pada hari ketiga setelah kejadian atau
jika luka pada bibir, mulut, dan faring sudah tenang. Jika pada waktu melakukan
esofagoskopi ditemukan ulkus, maka esofagoskop tidak boleh dipaksa melalui
ulkus tersebut karena ditakutkan terjadi perforasi.
Esofagoskopi juga tidak boleh dilakukan pada pasien dengan tanda-tanda
perforasi saluran cerna yang jelas, udem atau nekrosis saluran nafas yang hebat,
dan pasien dengan hemodinamik tidak stabil, dengan alasan meningkatkan resiko
terjadinya cedera yang lebih parah.
Derajat luka bakar pada esofagus yang ditemukan pada esofagoskopi dapat
dibagi menjadi :4
· Derajat I : eritema dan udem mukosa.
· Derajat IIA : perdarahan, erosi, lepuhan, ulkus, eksudat.
· Derajat IIB : lesi yang mengelilingi lumen esofagus (circumferential lesions).
· Derajat III : ulkus yang dalam, multipel, dan bewarna hitam kecoklatan atau
abu-abu.
· Derajat IV : perforasi.
16
Gambar 4. Gambaran esofagoskopi setelah tertelan asam hidroklorida, tampak
terjadi trombosis pembuluh darah mukosa esofagus.5
17
2.9 Tatalaksana
Tujuan terapi dari penatalaksanaan esofagitis korosif adalah mencegah perforasi
dan mencegah timbulnya striktur pada esofagus dan lambung.1 Menurut Kardon
(2008), terapi pada esofagitis korosif dibagi :5
1. Perawatan prehospital, terdiri dari :
a. Mengidentifikasi produk, konsentrasi dari komposisi aktif, dan berapa
jumlah zat yang tertelan.
b. Jangan menetralisir dengan cara meminumkan asam atau basa lemah
karena akan menghasilkan reaksi eksotermik yang akan memperparah luka
bakar dan menginduksi muntah.
c. Pada kasus tertelah basa kuat tipe bubuk atau padat, pemberian susu atau
air dalam jumlah yang sedikit sebelum waktu 30 menit akan membantu
untuk menghilangkan zat-zat yang masih menempel pada mukosa mulut
atau esofagus. Sedangkan pada kasus asam kuat atau basa kuat cair
pemberian susu atau air ditakutkan akan merangsang muntah sehingga
dapat menyebabkan perforasi dinding esofagus.
2. Perawatan instalasi gawat darurat
a. Monitoring tanda-tanda vital, jalan nafas, jantung, dan pemasangan IVFD,
pemberian CaCl2 pada pasien yang tertelan zat hidrogen florida dapat
mencegah cardiac arrest oleh karena hipokalsemia.
b. Pengendalian jalan nafas, karena dapat terjadi udem pada jalan nafas,
maka monitoring harus sesegera mungkin, peralatan untuk intubasi
maupun trakeostomi harus siap.
c. Pengosongan lambung dan dekontaminasi
Jangan merangsang timbulnya muntah karena akan menyebabkan
terjadinya paparan ulang zat kaustik ke mukosa esofagus yang bisa
memperparah derajat luka bakar.
Metode bilas lambung dengan cara-cara tradisional yang menggunakan
pipa orogastrik dengan kaliber yang besar seperti menggunakan Edwal’s
orogastric tube dikontraindikasikan untuk kasus tertelan asam kuat
maupun basa kuat karena resiko perforasi dan aspirasi trakea yang tinggi.
18
Penggunaan naso-gastric tube (NGT) sangat baik pada kasus tertelan asam
kuat karena dapat mencegah masuknya zat kaustik ke usus kecil.
d. Pembedahan segera dilakukan jika terdapat perforasi, mediastinitis atau
peritonitis.5
3. Terapi medikamentosa
a. Antibiotik golongan sefalosporin seperti ceftriakson mempunyai spektrum
antibakteri yang luas terhadap gram positif dan gram negatif.
b. Preparat penghambat pompa proton seperti omeprazol dan pantoprazol
dapat mengurangi paparan zat asam lambung ke esofagus yang dapat
mengurangi resiko terjadinya striktur.
c. Penggunaan kortikosteroid sebaiknya dipertimbangkan karena penelitian
menunjukkan bahwa pembentukan striktur terjadi berdasarkan derajat
kerusakan jaringan.
19
esofagus dengan kontras menunjukkan penyembuhan mukosa, biasanya selama 2-
3 minggu atau 5 hari bebas demam. Analgetik diberikan untuk mengurangi rasa
nyeri. Segera setelah pasien dapat menelan cairan, biasanya 3-4 hari setelah
kejadian, diberikan antibiotik peroral untuk mendapatkan efek topikal pada
jaringan granulasi. Pemberian makanan yang mengandung partikel yang dapat
berkumpul di jaringan granulasi jangan 14 diberikan dulu sampai ada bukti
penyembuhan mukosa secara radiografi dengan kontras.1,6
Esofagogram dibuat pada minggu ke 3 dan pada minggu ke 6, jika terbukti
ada pembentukan striktur setelah terapi kortikosteroid dihentikan, businasi
dimulai. Pada luka bakar berat, pipa untuk pemberian makanan tidak dikeluarkan
sampai resiko pembentukan striktur terlampaui. Pipa makanan atau tali harus tetap
terpasang pada pasien dengan pembentukan striktur untuk mencegah hilangnya
lumen secara total.13
Pasien dengan striktur korosif esofagus dapat ditanggulangi dengan
dilatasi atau rekontruksi esofagus. Dilatasi dapat dilakukan dengan metode
mekanis prograd, metode mekanis retograd dari Tucker, dan metode hidrostatik,
menggunakan busi berisi air raksa. Dilatasi dilakukan dengan bantuan
esofagoskopi, selama sekali sampai 2 kali seminggu, bila keadaan pasien lebih
baik dilakukan sekali 2 minggu, sekali sebulan, sekali 3 bulan dan seterusnya
sampai pasien dapat menelan makanan biasa. Jika selama 3 kali dilatasi hasilnya
kurang memuaskan sebaiknya dilakukan reseksi esofagus dan dibuat anastomose
ujung ke ujung (end to end).6 Selain itu, Pada umumnya penatalaksanaan utama
striktur esofagus adalah tindakan dilatasi. Pada beberapa pasien sudah dapat
dicapai target terapi hanya dengan dilatasi esofagus saja. Namun, beberapa pasien
yang mengalami striktur berulang memerlukan tambahan terapi lain. Sementara
itu, dilatasi esofagus dapat meringankan gejala disfagia sementara hingga terapi
definitif dapat dilakukan. Secara umum dilator esofagus dibagi menjadi dua
kategori utama, yaitu dilator mekanik (push type atau Bougie) dan dilator balon.
Penelitian menunjukkan keberhasilan hasil yang bervariasi antara kedua teknik
tersebut. Keberhasilan tersebut bergantung pada pengalaman endoskopis.
20
Indikasi pembedahan antara lain :4
1. Stenosis komplit lumen esofagus yang gagal dilakukan usaha dilatasi.
2. Terdapat gambaran ireguler dan seperti membentuk kantong pada dinding
esofagus dengan pemeriksaan kontras barium.
3. Pembentukan fistula
4. Tidak bisa mempertahankan lumen setelan dilakukan businasi sebanyak 40
French.
5. Pasien yang menolak atau tidak bisa dilakukan businasi dalam jangka waktu
lama.
6. Timbulnya komplikasi seperti perforasi, mediastinitis atau peritonitis.
21
2.10. Komplikasi Esofagitis Korosif
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi antara lain:5
1. Udem dan obstruksi jalan nafas.
2. Perforasi gastroesofageal.
3. Mediastinitis, perikarditis, pleuritis, fistel trakeoesofageal, fistel esofagealaorta,
and peritonitis.
4. Pembentukan striktur dalam 2-4 minggu.
5. Obstruksi saluran lambung ke duodenum.
6. Pardarahan saluran cerna.
7. Gejala keracunan sistemik akibat terserapnya zat ke dalam darah.
8. Cardiac arrest oleh karena hipokalsimia akibat hidrogen florida.
9. Karsinoma sel skuamosa, dapat terjadi dalam 40 tahun setelah paparan.
2.11 Prognosis
Prognosa tergantung dari derajat luka bakar yang dialami pasien, serta
jenis zat yang tertelan, lama paparan, Ph, volume, konsentrasi, kemampuannya
menembus jaringan, serta jumlah kerusakan jaringan yang diperlukan untuk
menetralisir zat yang masuk.5
Angka kematian berkisar 1-4% karena tekhnik pembedahan, anastesi,
antibiotik, dan nutrisi yang efektif, kematian pada umunya disebabkan oleh
mediastinitis, peritonitis, sepsis, malnutrisi, aspirasi, dan kegagalan fungsi
multiorgan.4
22
BAB III
KESIMPULAN
Lesi korosif esofagus adalah lesi yang terjadi pada semua bagian
esophagus yang dapat menyebabkan striktur atau stenosis esofagus, karena
masuknya bahan korosif secara sengaja maupun tidak sengaja. Selain itu lesi
korosif esofagus merupakan kerusakan epitel mukosa esophagus sampai
kerusakan seluruh dinding esofagus karena bahan kimia kaustik yang tertelan.
Kerusakan sangat tergantung bahan kimia, konsentrasi, jumlah dan lamanya
berada di dalam esofagus. Keluhan dan gejala yang timbul akibat tertelan zat
korosif tergantung pada jenis zat korosif, konsentrasi zat korosif, jumlah zat
korosif, lamanya kontak dengan dinding esofagus, sengaja diminum atau tidak
dan dimuntahkan atau tidak.
Diagnosis ditegakkan dari adanya riwayat tertelan zat korosif atau zat
organik, pemeriksaan fisik, bukti-buki yang diperoleh ditempat kejadian,
pemeriksaan radiologik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan
esofagoskopi.
Penatalaksanaan esofagitis korosif bertujuan untuk mencegah
pembentukan striktur. Terapi esofagitis korosif dibagi dalam fase akut dan fase
kronik. Pada fase akut, dilakukan perawatan umum dan terapi khusus berupa
terapi medik dan esofagoskopi. Fase kronik telah terjadi striktur, sehingga
dilakukan dilatasi dengan bantuan esofagoskop.
Komplikasi esofagitis korosif dapat berupa syok, koma, edema laring,
pneumonia aspirasi, perforasi esofagus, mediastinitis, dan kematian. Prognosis
tergantung dari derajat luka bakar yang dialami pasien, serta jenis zat yang
tertelan, lama paparan, pH, volume, konsentrasi, kemampuannya menembus
jaringan, serta jumlah kerusakan jaringan yang diperlukan untuk menetralisir zat
yang masuk.
23
DAFTAR PUSTAKA
24
12. Muhletaler, CA. et all. Acid Corrosive Esophagitis : Radiographic
Findings.http://www.ajronline.org/cgi/reprint/134/6/1137.pdf [Diakses 20
September 2018].
13. Sjamsuhidayat, R. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah Sjamsuhidajat-de Jong,
Edisi 3, EGC, Jakarta.
25