Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Taeniasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing pita Taenia
solium dan Taenia saginata. Manusia yang tertelan stadium infektif larva
sistiserkus dalam daging hewan akan terinfeksi cacing tersebut. (Chaterjee,
2009). Taeniasis masih menjadi masalah besar di dunia yang belum bisa
terpecahkan. Taeniasis adalah salah satu penyakit yang terabaikan (neglected
disease), belum bisa diselesaikan dengan baik karena berhubungan dengan
perilaku serta gaya hidup masyarakat (WHO, 2011; CDC, 2013).
Pada cacing Taenia solium, telur dan proglotid akan menginfeksi
manusia maupun hewan, yaitu babi. Sedangkan pada cacing Taenia saginata,
telur akan menginfeksi hewan, yaitu sapi
Kasus taeniasis dijumpai hampir di seluruh dunia. Prevalensi taeniasis
mencapai 50 juta orang, terdiri dari orang yang terinfeksi baik itu Taenia
saginata, Taenia solium, maupun Taenia asiatica (WHO, 2011; CDC, 2013).
Taeniasis tersebar luas diseluruh dunia, khsuusnya di daerah yang
berkembang di Asia, Afrika, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan,
termasuk Indonesia. Prevalensi tertinggi taeniasis ditemukan pada daerah
Amerika Latin, Afrika dan Asia (CDC, 2013). Taeniasis merupakan infeksi
yang endemik termasuk di beberapa negara di Asia Tenggara seperti Thailand
(Wandra et al., 2007), Kamboja, Laos (WHO, 2011), Filipina dan Indonesia
(CDC, 2013).
Prevalensi kejadian taeniasis di Indonesia antara 1,1% - 45,8% (Suroso
et al., 2005; Wandra et al., 2006). Empat Propinsi yang masih endemis
taeniasis dan sistiserkosis di Indonesia yaitu Papua, Bali, Nusa Tenggara
Timur dan Sumatera Utara (Depkes RI, 2012). Propinsi Papua, tepatnya di
Kabupaten Jayawijaya, memiliki prevalensi taeniasis tertinggi sebesar 15%
(Subahar et al., 2005). Propinsi Bali memiliki prevalensi taeniasis saginata
terutama di Kabupaten Gianyar 84% yang penduduknya mengkonsumsi

1
daging sapi (Wandra et al., 2006) dan taeniasis solium di Kabupaten
Karangasem 6,4% yang mayoritas penduduknya mengkonsumsi daging babi
(Ito et al., 2013), sedangkan di Sumatera Utara prevalensi taeniasis yaitu
taeniasis asiatica yang dilaporkan 2,2% (Wandra et al., 2006). Beberapa
daerah, seperti Bali dan Papua masih mempunyai kebiasaan mengkonsumsi
daging terutama daging babi yang mentah atau yang tidak di masak
sempurna/kurang matang (Margono et al., 2006; Suroso et al., 2006).
Kasus taeniasis relatif sedikit, namun penderita taeniasis (carrier
taeniasis solium) adalah salah satu sumber penularan terjadinya sistiserkosis,
terutama neurosistiserkosis. Penularan pada diri penderita, keluarga, dan
orang terdekat tidak disadari sama sekali karena beberapa penderita
asimptomatis. Penemuan penderita taeniasis, terutama penderita yang
terinfeksi Taeniasis solium, akan mencegah terjadinya perburukan gejala
sistiserkosis/neurosistiserkosis (Chaterjee, 2009).
Penelitian penderita taeniasis semakin jarang dilakukan terutama pada
daerah yang tidak memiliki faktor risiko, seperti penduduknya yang sering
makan daging mentah atau kurang matang. Karena gejala klinis penderita
taeniasis asimptomatis, sehingga sulit di deteksi, diagnosis taeniasis yang
paling sering dilakukan yaitu pemeriksaan tinja penderita secara mikroskopis.
Pemeriksaan ini tergolong sederhana dan bisa mendapatkan hasil yang cukup
cepat, tapi pemeriksaan ini memerlukan ketelitian.
Selain metode pemeriksaan tinja secara mikroskopis, metode lain yang
juga sering digunakan dan hasilnya cukup baik yaitu dengan metode
pengapungan. Tapi untuk pemeriksaan yang lebih sensitif, bisa dilakukan tes
serologi atau molekular (Sah et al., 2013).
Cacing ini hidup dalam usus halus menusia, dan dapat mencemari
lingkungan dengan segmen (proglotid) maupun telur cacing dewasa, apabila
orang sekitar tidak menjaga kebersihan diri dan makanan yang mereka
konsumsi. Upaya pemberantasan penyakit ini memiliki banyak kesulitan
teknis, karena kebudayaan dan adat-istiadat dari daerah-daerah di Indonesia,
seperti pada masyarakat Bali. Kebiasaan masyarakat mengkonsumsi daging

2
mentah atau setengah matang, seperti lawar babi (campuran sayur nangka
berisi parutan kelapa, daging/kulit babi setengah matang bahkan ada yang
berisi darah babi mentah) dan babi guling (babi yang di masak di atas bara api
dengan cara diguling) masih banyak terutama di daerah pedesaan/pedalaman
Bali. Lawar babi dan babi guling yang dikonsumsi merupakan suatu tradisi
serta kebiasaan masyarakat/adat-istiadat setempat, yang dari dulu tidak
pernah ditinggalkan.
Oleh karena itu, masih diperlukan edukasi, upaya diagnosis, dan upaya
pengobatan penyakit taenasis ini, untuk mencegah terjadinya banyak
komplikasi berat yang bisa menyebabkan gangguan kesehatan pasien, seperti
kejang, bahkan pada sebagian pasien juga bisa menimbulkan gejala kejiwaan
apabila cacing bersarang didalam otak.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

2.2 Epidemiologi
Penyakit Taeniasis tersebar di seluruh Dunia dan sering dijumpai dimana orang-
orang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi daging sapi dan daging babi mentah
atau yang dimasak kurang sempurna. Selain itu, pada kondisi kebersihan
lingkungan yang buruk, makanan sapi dan babi bisa tercemar feses manusia yang
bisa menyebabkan terjadinya penyakit tersebut (Oie, 2005).
Indonesia terdapat tiga provinsi yang berstatus endemis penyakit
Taeniasis/sistiserkosis yaitu Sumatera Utara, Bali dan Papua (Ito dkk., 2002).
Berdasarkan laporan dari Simanjuntak (1995), prevalensi sistiserkosis di
Indonesia bervariasi antara 2% di Bali dan 48% di Papua. Selanjutnya, Margono
dkk, (2003), melaporkan bahwa ada sekitar 8,6% (5/58) dari penduduk lokal di
kota Wamena terinfeksi cacing dewasa Taenia solium. Sedangkan, prevalensi
Taeniasis (Taenia saginata) di daerah urban sekitar Denpasar, Bali selama tahun
2002–2004 adalah 14,1% (56/398) (Ito dkk., 2002). Jumlah kasus tertinggi
ditemukan pada laki-laki yang berumur antara 30–40 tahun. Hal ini disebabkan
karena di desa-desa laki-laki sering menikmati atau memakan daging mentah atau
setengah matang bersama minum tuak.

2.3 Etiologi

2.4 Patogenesis

2.5 Patofisiologi

4
2.6 Klasifikasi

2.7
Esofagus merupakan lapisan otot yang berbentuk seperti tabung yang
memanjang, mulai dari vertebra servikal 6 sampai torakal 11, atau dari hipofaring
sampai ke lambung, dengan panjang lebih kurang 23 sampai 25 cm. Dalam
keadaan normal, lumen esofagus kolaps, dan berbentuk pipih. Secara umum
esofagus dapat dibagi dalam 3 lokasi anatomi yaitu:6
1. Pada daerah leher esofagus berada pada garis tengah leher, di belakang
laring dan trakea, pembuluh darah di daerah ini adalah percabangan arteri
tiroid inferior dan vena tiroid inferior, aliran limfe pada daerah ini adalah
kelenjar limfe paraesofagus servikal dan jugularis inferior.
2. Daerah torakal bagian atas esofagus lewat di belakang percabangan trakea,
bronkus kiri, lalu ke belakang atrium kiri selanjutnya masuk ke daerah
abdomen melalui hiatus esofagus pada diafragma, pembuluh darah di daerah
ini adalah percabangan aorta torakalis, vena azygos dan vena hemiazygos,
aliran limfenya terdiri dari kelenjar limfe mediastinum superior, parabronkial,
hilus, dan paraesofagus.
3. Bagian esofagus abdominal yang panjangnya hanya 1,25 cm, berada pada
permukaan posterior lobus kiri hati, permukaan kiri dan depan esofagus
abdominal diliputi oleh peritonium, pembuluh darah pada daerah ini adalah
cabang arteri gastrikus kiri, arteri frenikus inferior, dan vena gastrikus kiri,
aliran limfenya terdiri dari kelenjar limfe gaster kiri, retrokardia, dan celiaca.
Persarafan esofagus berasal dari nevus vagus (parasimpatis) dan ganglion
simpatis, esofagus bagian servikal disarafi oleh nervus laringeus rekuren, di
bagian torakal nervus vagus membentuk fleksus esofagial kemudian bercabang 2
membentuk bagian kiri depan dan kanan belakang.10

5
Gambar 1. Anatomi Esofagus 9

Ada 4 daerah penyempitan normal pada esofagus yaitu : 11


1. Pada pharingo-esophagal junction yang terdiri dari otot sfingter
cricopharingeal, kira-kira setinggi vertebra servikal 6.
2. Pada arkus aorta, kira-kira setinggi vertebra torakal 4.
3. Pada percabangan bronkus kiri, kira-kira setinggi vertebra torakal 5.
4. Pada saat melewati diafragma, kira-kira setinggi vertebra torakal 10.

Secara histologi esofagus tidak memiliki lapisan serosa, 3 lapisan esofagus dari
luar ke dalam yaitu :8
1. Lapisan paling luar terdiri dari 2 lapisan otot; yang terluar lapisan otot
longitudinal, dan pada bagian dalam lapisan otot sirkuler.

6
2. Lapisan submukosa yang terdiri dari serat elastis dan fibrous, lapisan ini
merupakan lapisan yang terkuat dari esofagus.
3. Lapisan paling dalam (lapisan mukosa) yang merupakan sel-sel epitel
squamosa, terbagi atas lamina propia dan muskularis mukosa.
Lapisan otot pada bagian sepertiga atas dari esofagus merupakan lapisan otot
lurik, sedangkan dua pertiga bawah adalah lapisan otot polos.8

2.2 Fisiologi Esofagus


Aktivitas yang terkoordinasi dari sfingter esofagus atas (upper esophageal
sphingter), badan esofagus, dan sfingter esofagus bawah (lower esophageal
sphingter) penting untuk fungsi motorik esofagus dalam mengantarkan makanan
masuk ke lambung.8
1. Sfingter esofagus atas
Bagian ini dipersarafi langsung oleh saraf motorik dari otak. Dalam keadaan
istirahat, sfingter esofagus atas tetap dalam keadaan berkontraksi dengan tekanan
60-100 mmHg, hal ini mencegah masuknya udara dari faring ke esofagus dan
mencegah terjadinya refluks dari esofagus ke faring. Pada saat menelan, bolus
makanan didorong oleh lidah masuk ke faring, terjadi relaksasi otot sfingter atas,
setelah makanan lewat otot ini kembali pada keadaan normal.
2. Badan esofagus
Setelah makanan melewati otot sfingter atas, badan esofagus berkontraksi mulai
dari bagian paling atas dengan kecepatan 3-4 cm/detik dan tekanan kontraksi 60-
140 mmHg.
3. Sfingter esofagus bawah
Panjang sfingter esofagus bawah sekitar 3-4 cm dengan tekanan kontraksi pada
saat istirahat adalah 15-24 mmHg. Pada saat menelan, otot sfingter ini relaksasi
sekitar 5-10 detik agar makanan bisa masuk ke dalam lambung.

2.3 Definisi
Lesi korosif esofagus adalah lesi yang terjadi pada semua bagian
esophagus yang dapat menyebabkan striktur atau stenosis esofagus, karena

7
masuknya bahan korosif secara sengaja maupun tidak sengaja.1 Selain itu lesi
korosif esofagus merupakan kerusakan epitel mukosa esophagus sampai
kerusakan seluruh dinding esofagus karena bahan kimia kaustik yang tertelan.
Kerusakan sangat tergantung bahan kimia, konsentrasi, jumlah dan lamanya
berada di dalam esofagus. Esofagitis korosif adalah peradangan esofagus yang
disebabkan oleh luka bakar karena zat kimia yang bersifat korosif, misalnya asam
kuat, basa kuat dan zat organik. Zat kimia yang tertelan dapat bersifat toksik atau
korosif. Zat kimia yang bersifat korosif akan menimbulkan kerusakan pada
saluran yang dilaluinya, sedangkan zat kimia yang bersifat toksik hanya
menimbulkan gejala keracunan bila telah diserap oleh darah. Esofagitis ini disebut
juga esofagitis kaustik karena disebabkan oleh zat kimia kaustik.2

2.4 Epidemiologi
Sebanyak 70% dari kasus esofagitis korosif disebabkan oleh basa kuat, 20
% oleh asam kuat karena sifat dari basa kuat yang tidak berasa di lidah, sedangkan
asam mempunyai rasa yang pahit dan menyebabkan lidah rasa terbakar. Sekitar
80% kasus ini terjadi pada anak-anak, dan 50% di antaranya terjadi pada anak usia
kurang dari 4 tahun.3 Kasus ini juga terjadi pada orang dewasa yang mencoba
bunuh diri dengan cara meminum zat – zat korosif dan biasanya tingkat kerusakan
yang ditimbulkan lebih serius karena adanya unsur kesengajaan, jumlah zat yang
masuk lebih banyak dan jenisnya lebih berbahaya.4
Angka kejadian esofagitis korosif tertelan asam kuat, basa kuat, cairan
pemutih diperkirakan sekitar 3-5 % dari kasus kecelakaan dan bunuh diri atau
sekitar 5.000-10.000 kasus pertahun di Amerika Serikat. Anak di bawah 5 tahun
dilaporkan sering tertelan zat yang bersifat korosif akibat ketidaksengajaan dan
kelalaian. Sedangkan pada remaja dan dewasa dilaporkan kasus cukup sering pada
remaja sebagai percobaan bunuh diri. Tidak ada perbedaan jenis kelamin dan ras
yang mempengaruhi terjadinya esofagitis korosif.7

2.5 Etiologi

8
Esofagitis korosif paling sering ditimbulkan oleh tertelannya zat
pembersih rumah tangga, biasanya oleh anak-anak. Zat yang paling merusak
adalah natrium hidroksida, atau yang menyebabkan lisisnya jaringan serta
seringkali menembus dinding esofagus. Cairan pembersih saluran dapat merusak
esofagus atau menimbulkan lesi.
Zat kimia khususnya yang menyebabkan esofagitis korosif berat adalah
larutan pembersih atau disinfektan. Larutan asam yang menyebabkan timbulnya
esophagitis korosif adalah pembersih toilet, baterai cair otomotif, pembersih
semen dan produk penghilang karat. Sedangkan larutan yang bersifat basa yang
dapat menyebabkan esophagitis korosif adalah detergen, pemutih dan produk
yang mengandung ammonia.3 Faktor yang berkontribusi pada perkembangan
refluks esofagitis adalah refluksat kaustik, ketidakmampuan membersihkan
refluksat dari esofagus, volume isi gaster, dan fungsi protektif mukosa lokal. Jenis
dan jumlah zat kimia yang tertelan menentukan derajat keparahan dan lokasi
kerusakan. Zat kimia tersebut dapat merusak sebatas mukosa, submukosa, bahkan
seluruh lapisan esofagus. Gejala diperburuk oleh penggunaan alcohol, merokok,
gaya hidup yang kurang baik dan obesitas.7

2.6 Patofisiologi
Zat-zat kaustik seperti asam kuat dan basa kuat merusak jaringan tubuh
dengan merubah struktur ion dan struktur molekul serta mengganggu ikatan
kovalen pada sel.5
1. Basa kuat
Tertelan basa kuat menyebabkan jaringan nekrosis mencair (liquefactum
necrosis), sebuah proses yang melibatkan saponifikasi lemak dan melarutkan
protein. Kematian sel disebabkan oleh emulsifikasi dan perusakan struktur
membran sel. Ion hidroksi (OH-) yang berasal dari zat basa bereaksi dengan
jaringan kolagen sehingga menyebabkan terjadinya bengkak dan pemendekan
jaringan (kontraktur), trombosis pada pembuluh darah kapiler, dan produksi panas
oleh jaringan.5

9
Jaringan yang paling sering terkena pada kontak pertama oleh basa kuat
adalah lapisan epitel squamosa orofaring, hipofaring, dan esofagus. Esofagus
merupakan organ yang paling sering terkena dan paling parah tingkat
kerusakannya saat tertelan basa kuat dibandingkan dengan lambung, Dalam 48
jam terjadi udem jaringan yang bisa menyebabkan obstruksi jalan nafas,
selanjutnya dalam 2-4 minggu dapat terbentuk striktur.5
2. Asam kuat
Kerusakan jaringan akibat tertelan asam kuat bersifat nekrosis
menggumpal (coagulation necrosis), terjadi proses denaturasi protein superfisial
yang akan menimbulkan bekuan, krusta atau keropeng yang dapat melindungi
jaringan di bawahnya dari kerusakan. Lambung merupakan organ yang paling
sering terkena pada kasus tertelan asam kuat, pada 20% kasus usus kecil juga
dapat terkena. Keropeng dan bekuan protein yang terbentuk mengelupas dalam 3-
4 hari digantikan oleh jaringan granulasi, perforasi jaringan dapat terjadi pada
proses ini. Komplikasi akut yang terjadi adalah, muntah akibat dari spasme
pylorik, perforasi dan perdarahan saluran cerna. Jika zat asam terserap oleh darah
menyebabkan asidosis metabolik, hemolisis, gagal ginjal akut, dan kematian.5

2.7 Gambaran Klinis

Esofagitis korosif menurut derajat luka bakar yang ditimbulkan dapat


dibagi menjadi bentuk klinis yaitu :1
1. Esofagitis korosif tanpa ulserasi
Pasien mengalami gangguan menelan ringan. Pada esofagoskopi tampak mukosa
hiperemis tanpa ulserasi.
2. Esofagitis korosif dengan ulserasi ringan
Pasien mengeluh disfagia ringan, pada esofagoskopi tampak ulkus yang tidak
dalam, terbatas pada lapisan mukosa saja.
3. Esofagitis korosif ulseratif sedang
Ulkus sudah mengenai lapisan otot, biasanya ditemukan satu ulkus atau multipel.
4. Esofagitis korosif ulserasi berat tanpa komplikasi

10
Terdapat pengelupasan mukosa serta nekrosis yang letaknya dalam, dan telah
mengenai seluruh lapisan esofagus. Keadaan ini jika dibiarkan akan menimbulkan
striktur esofagus.
5. Esofagitis korosif ulseratif berat dengan komplikasi
Terdapat perforasi esofagus yang dapat menimbulkan mediastinitis dan
peritonitis. Kadang-kadang ditemui tanda-tanda obstruksi saluran pernafasan atas
dan gangguan keseimbangan asam basa.

Ada juga yang membaginya menjadi 3 derajat yaitu :4


1. Derajat pertama mengenai lapisan mukosa saja sehingga terbentuk udem dan
eritem. Lapisan mukosa ini selanjutnya akan mengelupas dan sembuh tanpa
striktur dan jaringan parut.
2. Derajat kedua kerusakan menembus lapisan mukosa, submukosa dan
muskularis yang dalam 1-2 minggu akan membentuk jaringan granulasi dan
ulserasi. Reaksi fibroblas dimulai pada minggu ke-3 dan dalam beberapa minggu
sampai beberapa bulan akan terjadi penciutan kolagen dan pembentukan striktur.
3. Derajat tiga terjadi perforasi seluruh dinding esofagus.7

Berdasarkan perjalanan penyakitnya esofagitis korosif dibagi dalam 3 fase : 1


1. Fase akut
Keadaan ini berlangsung selama 1-3 hari, pada anamnesa ditemukan dispnea,
disfagia, rasa nyeri dan terbakar pada rongga mulut, odinofagia, nyeri dada dan
perut, mual dan muntah, dan hematemesis. Pada pemeriksaan fisik dapat
ditemukan :
1. Luka bakar pada daerah mulut, bibir, dan faring yang kadang-kadang disertai
perdarahan.
2. Tanda-tanda akan terjadinya obstruksi jalan nafas seperti : stidor, suara serak,
disfoni atau afonia, takipnu, hiperpnu, batuk.
3. Tanda-tanda lain seperti demam, drooling, adanya membran putih pada
palatum, udem laring, spasme laring, tanda-tanda peritonitis.

11
2. Fase laten
Berlangsung selama 2-6 minggu, pada fase ini keluhan pasien berkurang, suhu
badan menurun, pasien merasa telah sembuh, sudah dapat menelan dengan baik,
akan tetapi sebenarnya proses masih berjalan dengan membentuk jaringan parut
(sikatriks).

3. Fase kronis
Setelah 1-3 tahun akan terjadi disfagia lagi oleh karena telah terbentuk jaringan
parut, sehingga terjadi striktur esofagus. Gejala lain yang bisa timbul adalah
fistula, hipomotilitas saluran cerna, dan peningkatan resiko kanker saluran cerna.

Hal-hal lain yang menjadi masalah penting dan perlu diperhatikan pada kasus
esofagitis korosif antara lain :5
1. Akibat dari udem, perdarahan, dan pembentukan jaringan nekrosis dapat
menyebabkan terjadinya obstruksi jalan nafas atas, oleh karena itu perlu dijaga
agar jalan nafas tetap baik.
2. Perforasi tidak hanya mengenai esofagus, tetapi dapat juga mengenai lambung,
usus, saluran pernafasan, dan pembuluh darah.
3. Kehilangan cairan dari muntah, adanya rongga ketiga (third space), dan
perdarahan saluran cerna dapat menyebabkan terjadinya syok dan hipovolemia.8
4. Pada kasus tertelan asam kuat yang cukup banyak dapat menyebabkan
terjandinya asidosis metabolik, hemolisis, gagal ginjal akut dan kegagalan fungsi
multiorgan.
5. Walaupun pasien dapat selamat dari fase akut, namun pada fase kronis dapat
terjadi fistula, hipomotilitas saluran cerna, dan kanker saluran cerna.

2.8. Diagnosis
2.8.1 Anamnesis
Berdasarkan anamnesis ditegakkan dengan adanya riwayat tertelan zat
korosif atau zat organik, serta ditunjukkan dengan keluhan utama pasien rasa

12
terbakar pada daerah kerongkongan, rasa nyeri yang hebat, serta bisa juga
mengeluhkan susah menelan. Disfagia merupakan gejala terpenting jika ada
striktur atau stenosis esophagus. Keluhan lainnya yaitu rasa nyeri atau terbakar
pada dada dan rasa tidak nyaman pada dada.1
2.8.2 Pemeriksaan Fisik
Selain penegakan diagnosis dari autoanamnesis atau alloanamnesis yang
cermat serta diperlukan bukti-bukti yang diperoleh ditempat kejadian. Masuknya
zat korosif melalui mulut dapat diketahui dengan bau mulut ataupun muntahan.
Adanya luka bakar keputihan pada mukosa mulut atau keabuan pada bibir dan
dagu menunjukkan akibat bahan kaustik atau korosif baik yang bersifat asam kuat
maupun basa kuat. Perbedaaan pada dampak luka bakarnya yaitu nekrosis
koagulatif akibat paparan asam kuat sedangkan basa kuat mengakibatkan nekrosis
likuitaktif. Kerusakan korosif hebat akibat alkali (basa) kuat pada esofagus lebih
berat dibandingkan akibat asam kuat, kerusakan terbesar bila PH > 12, akan tetapi
tergantung juga konsentrasi bahan tersebut.3

2.8.3 Pemeriksaan penunjang


Untuk menegakkan diagnosis, selain berdasarkan hasil anamnesis serta gambaran
keluhan dan gejala seperti yang diuraikan di atas juga diperlukan pemeriksaan
penunjang, seperti pemeriksaan laboratorium, radiologik, esofagoskopi.1
1. Pemeriksaan radiologi4
a. Foto torak dan abdomen
Pada fase akut, foto polos dengan posisi leteral dan pastero-anterior dapat
memperlihatkan adanya perforasi seperti udara pada mediastinum, pneumotorak,
cairan pada pleura, atau gambaran udara bebas di bawah diafragma. Pemeriksaan
esofagogram dapat membantu untuk melihat adanya striktur maupun perforasi.
Gambaran adanya striktur esofagus biasanya lumen yang menyempit, pinggir
yang tidak rata, tapi bisa juga rata, tampak kaku, dan pada umumnya terjadi pada
bagian dekat arkus aorta.

13
Gambar 2. Stenosis esofagus tampak dengan esofagogram12

Gambar 3. Mukosa esofagus yang hancur.12

14
b. CT-Scan
Pemeriksaan dengan CT-Scan lebih sensitif dan lebih dini dalam
mendeteksi adanya perforasi, striktur serta kemungkinan adanya kelainan pada
organ lain sehingga dapat dilakukan penatalaksanaan lebih dini.

2. Pemeriksaan laboratorium5
Peranan pemeriksaan laboratorium sangat sedikit, kecuali bila terdapat
tanda-tanda gangguan elektrolit. Beberapa pemeriksaaan yang dapat dilakukan
adalah :
a. Pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, fungsi hati, ureum dan kreatinin untuk
melihat tanda-tanda keracunan sistemik.
b. Pemeriksaan jumlah urin dan urinalisis untuk membantu menjaga
keseimbangan cairan.
3. Pemeriksaan endoskopi dengan esofagoskopi5
Pemeriksaan esofagoskopi dilakukan pada hari ketiga setelah kejadian atau
jika luka pada bibir, mulut, dan faring sudah tenang. Jika pada waktu melakukan
esofagoskopi ditemukan ulkus, maka esofagoskop tidak boleh dipaksa melalui
ulkus tersebut karena ditakutkan terjadi perforasi.
Esofagoskopi juga tidak boleh dilakukan pada pasien dengan tanda-tanda
perforasi saluran cerna yang jelas, udem atau nekrosis saluran nafas yang hebat,
dan pasien dengan hemodinamik tidak stabil, dengan alasan meningkatkan resiko
terjadinya cedera yang lebih parah.
Derajat luka bakar pada esofagus yang ditemukan pada esofagoskopi dapat
dibagi menjadi :4
· Derajat I : eritema dan udem mukosa.
· Derajat IIA : perdarahan, erosi, lepuhan, ulkus, eksudat.
· Derajat IIB : lesi yang mengelilingi lumen esofagus (circumferential lesions).
· Derajat III : ulkus yang dalam, multipel, dan bewarna hitam kecoklatan atau
abu-abu.
· Derajat IV : perforasi.

15
Gambar 4. Gambaran esofagoskopi setelah tertelan asam hidroklorida, tampak
terjadi trombosis pembuluh darah mukosa esofagus.5

Gambar 5. Mukosa esofagus setelah tertelan basa kuat.

4. Pemeriksaan endoscpic ultrasonography.5


Pemeriksaan ini lebih akurat dalam menilai tingkat kedalaman dari luka
bakar dibandingkan esofagoskopi.

16
2.9 Tatalaksana
Tujuan terapi dari penatalaksanaan esofagitis korosif adalah mencegah perforasi
dan mencegah timbulnya striktur pada esofagus dan lambung.1 Menurut Kardon
(2008), terapi pada esofagitis korosif dibagi :5
1. Perawatan prehospital, terdiri dari :
a. Mengidentifikasi produk, konsentrasi dari komposisi aktif, dan berapa
jumlah zat yang tertelan.
b. Jangan menetralisir dengan cara meminumkan asam atau basa lemah
karena akan menghasilkan reaksi eksotermik yang akan memperparah luka
bakar dan menginduksi muntah.
c. Pada kasus tertelah basa kuat tipe bubuk atau padat, pemberian susu atau
air dalam jumlah yang sedikit sebelum waktu 30 menit akan membantu
untuk menghilangkan zat-zat yang masih menempel pada mukosa mulut
atau esofagus. Sedangkan pada kasus asam kuat atau basa kuat cair
pemberian susu atau air ditakutkan akan merangsang muntah sehingga
dapat menyebabkan perforasi dinding esofagus.
2. Perawatan instalasi gawat darurat
a. Monitoring tanda-tanda vital, jalan nafas, jantung, dan pemasangan IVFD,
pemberian CaCl2 pada pasien yang tertelan zat hidrogen florida dapat
mencegah cardiac arrest oleh karena hipokalsemia.
b. Pengendalian jalan nafas, karena dapat terjadi udem pada jalan nafas,
maka monitoring harus sesegera mungkin, peralatan untuk intubasi
maupun trakeostomi harus siap.
c. Pengosongan lambung dan dekontaminasi
 Jangan merangsang timbulnya muntah karena akan menyebabkan
terjadinya paparan ulang zat kaustik ke mukosa esofagus yang bisa
memperparah derajat luka bakar.
 Metode bilas lambung dengan cara-cara tradisional yang menggunakan
pipa orogastrik dengan kaliber yang besar seperti menggunakan Edwal’s
orogastric tube dikontraindikasikan untuk kasus tertelan asam kuat
maupun basa kuat karena resiko perforasi dan aspirasi trakea yang tinggi.

17
 Penggunaan naso-gastric tube (NGT) sangat baik pada kasus tertelan asam
kuat karena dapat mencegah masuknya zat kaustik ke usus kecil.
d. Pembedahan segera dilakukan jika terdapat perforasi, mediastinitis atau
peritonitis.5

3. Terapi medikamentosa
a. Antibiotik golongan sefalosporin seperti ceftriakson mempunyai spektrum
antibakteri yang luas terhadap gram positif dan gram negatif.
b. Preparat penghambat pompa proton seperti omeprazol dan pantoprazol
dapat mengurangi paparan zat asam lambung ke esofagus yang dapat
mengurangi resiko terjadinya striktur.
c. Penggunaan kortikosteroid sebaiknya dipertimbangkan karena penelitian
menunjukkan bahwa pembentukan striktur terjadi berdasarkan derajat
kerusakan jaringan.

Menurut literatur lainnya, penatalaksanaan esofogitis korosif dilakukan


dalam 24 jam pertama setelah tertelan zat kaustik, pasien harus diberi cairan
parenteral dan diobservasi akan kemungkinan mediastinitis, fistel trakea-esofagus,
perforasi lambung, peritonitis, pneumonia, dan udem laring. Kurang lebih 24 jam
setelah kejadian dilakukan esofagoskopi dengan anastesia umum endotrakea
untuk menentukan apakah ada luka bakar di esofagus. Jika terdapat luka bakar
esofagoskopi dihentikan, esofagoskop tidak boleh dilanjutkan melalui daerah luka
bakar untuk menghindari terjadinya perforasi esofagus. Jika pada esofagoskopi
tidak ditemukan luka bakar, pasien dapat dipulangkan dari rumah sakit dalam 2-3
hari setelah luka bakar pada daerah mulut dan orofaring cukup membaik dan
dapat minum peroral secukupnya. Bila pada esofagoskopi terdapat luka bakar
harus dipasang pipa nasogaster polietilen yang kecil untuk pemberian makanan
dan mempertahankan lumen esofagus. Terapi kortikosteroid harus dimulai dan
diteruskan sampai 6 minggu, biasanya hari pertama 200-300 mg sampai hari ke-3,
setelah itu diturunkan bertahap setiap 2 hari dengan dosis maintenance 2x50 mg
perhari. Antibiotik spektrum luas diberikan sampai pemeriksaan radiologi

18
esofagus dengan kontras menunjukkan penyembuhan mukosa, biasanya selama 2-
3 minggu atau 5 hari bebas demam. Analgetik diberikan untuk mengurangi rasa
nyeri. Segera setelah pasien dapat menelan cairan, biasanya 3-4 hari setelah
kejadian, diberikan antibiotik peroral untuk mendapatkan efek topikal pada
jaringan granulasi. Pemberian makanan yang mengandung partikel yang dapat
berkumpul di jaringan granulasi jangan 14 diberikan dulu sampai ada bukti
penyembuhan mukosa secara radiografi dengan kontras.1,6
Esofagogram dibuat pada minggu ke 3 dan pada minggu ke 6, jika terbukti
ada pembentukan striktur setelah terapi kortikosteroid dihentikan, businasi
dimulai. Pada luka bakar berat, pipa untuk pemberian makanan tidak dikeluarkan
sampai resiko pembentukan striktur terlampaui. Pipa makanan atau tali harus tetap
terpasang pada pasien dengan pembentukan striktur untuk mencegah hilangnya
lumen secara total.13
Pasien dengan striktur korosif esofagus dapat ditanggulangi dengan
dilatasi atau rekontruksi esofagus. Dilatasi dapat dilakukan dengan metode
mekanis prograd, metode mekanis retograd dari Tucker, dan metode hidrostatik,
menggunakan busi berisi air raksa. Dilatasi dilakukan dengan bantuan
esofagoskopi, selama sekali sampai 2 kali seminggu, bila keadaan pasien lebih
baik dilakukan sekali 2 minggu, sekali sebulan, sekali 3 bulan dan seterusnya
sampai pasien dapat menelan makanan biasa. Jika selama 3 kali dilatasi hasilnya
kurang memuaskan sebaiknya dilakukan reseksi esofagus dan dibuat anastomose
ujung ke ujung (end to end).6 Selain itu, Pada umumnya penatalaksanaan utama
striktur esofagus adalah tindakan dilatasi. Pada beberapa pasien sudah dapat
dicapai target terapi hanya dengan dilatasi esofagus saja. Namun, beberapa pasien
yang mengalami striktur berulang memerlukan tambahan terapi lain. Sementara
itu, dilatasi esofagus dapat meringankan gejala disfagia sementara hingga terapi
definitif dapat dilakukan. Secara umum dilator esofagus dibagi menjadi dua
kategori utama, yaitu dilator mekanik (push type atau Bougie) dan dilator balon.
Penelitian menunjukkan keberhasilan hasil yang bervariasi antara kedua teknik
tersebut. Keberhasilan tersebut bergantung pada pengalaman endoskopis.

19
Indikasi pembedahan antara lain :4
1. Stenosis komplit lumen esofagus yang gagal dilakukan usaha dilatasi.
2. Terdapat gambaran ireguler dan seperti membentuk kantong pada dinding
esofagus dengan pemeriksaan kontras barium.
3. Pembentukan fistula
4. Tidak bisa mempertahankan lumen setelan dilakukan businasi sebanyak 40
French.
5. Pasien yang menolak atau tidak bisa dilakukan businasi dalam jangka waktu
lama.
6. Timbulnya komplikasi seperti perforasi, mediastinitis atau peritonitis.

Gambar 6. Algoritma Tatalaksana Esofagitis Korosif

20
2.10. Komplikasi Esofagitis Korosif
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi antara lain:5
1. Udem dan obstruksi jalan nafas.
2. Perforasi gastroesofageal.
3. Mediastinitis, perikarditis, pleuritis, fistel trakeoesofageal, fistel esofagealaorta,
and peritonitis.
4. Pembentukan striktur dalam 2-4 minggu.
5. Obstruksi saluran lambung ke duodenum.
6. Pardarahan saluran cerna.
7. Gejala keracunan sistemik akibat terserapnya zat ke dalam darah.
8. Cardiac arrest oleh karena hipokalsimia akibat hidrogen florida.
9. Karsinoma sel skuamosa, dapat terjadi dalam 40 tahun setelah paparan.

2.11 Prognosis
Prognosa tergantung dari derajat luka bakar yang dialami pasien, serta
jenis zat yang tertelan, lama paparan, Ph, volume, konsentrasi, kemampuannya
menembus jaringan, serta jumlah kerusakan jaringan yang diperlukan untuk
menetralisir zat yang masuk.5
Angka kematian berkisar 1-4% karena tekhnik pembedahan, anastesi,
antibiotik, dan nutrisi yang efektif, kematian pada umunya disebabkan oleh
mediastinitis, peritonitis, sepsis, malnutrisi, aspirasi, dan kegagalan fungsi
multiorgan.4

2.12 Kompetensi Dokter Umum


Kompetensi dokter umum esofagitis korosif adalah 3a
Mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan pemeriksaan tambahan yang diminta oleh dokter (misalnya:
pemeriksaan laboratorium sederhana atau X-ray). Dokter dapat memutuskan dan
memberi terapi pendahuluan, serta merujuk ke spesialis yang relevan (kasus
gawat darurat).

21
BAB III
KESIMPULAN

Lesi korosif esofagus adalah lesi yang terjadi pada semua bagian
esophagus yang dapat menyebabkan striktur atau stenosis esofagus, karena
masuknya bahan korosif secara sengaja maupun tidak sengaja. Selain itu lesi
korosif esofagus merupakan kerusakan epitel mukosa esophagus sampai
kerusakan seluruh dinding esofagus karena bahan kimia kaustik yang tertelan.
Kerusakan sangat tergantung bahan kimia, konsentrasi, jumlah dan lamanya
berada di dalam esofagus. Keluhan dan gejala yang timbul akibat tertelan zat
korosif tergantung pada jenis zat korosif, konsentrasi zat korosif, jumlah zat
korosif, lamanya kontak dengan dinding esofagus, sengaja diminum atau tidak
dan dimuntahkan atau tidak.
Diagnosis ditegakkan dari adanya riwayat tertelan zat korosif atau zat
organik, pemeriksaan fisik, bukti-buki yang diperoleh ditempat kejadian,
pemeriksaan radiologik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan
esofagoskopi.
Penatalaksanaan esofagitis korosif bertujuan untuk mencegah
pembentukan striktur. Terapi esofagitis korosif dibagi dalam fase akut dan fase
kronik. Pada fase akut, dilakukan perawatan umum dan terapi khusus berupa
terapi medik dan esofagoskopi. Fase kronik telah terjadi striktur, sehingga
dilakukan dilatasi dengan bantuan esofagoskop.
Komplikasi esofagitis korosif dapat berupa syok, koma, edema laring,
pneumonia aspirasi, perforasi esofagus, mediastinitis, dan kematian. Prognosis
tergantung dari derajat luka bakar yang dialami pasien, serta jenis zat yang
tertelan, lama paparan, pH, volume, konsentrasi, kemampuannya menembus
jaringan, serta jumlah kerusakan jaringan yang diperlukan untuk menetralisir zat
yang masuk.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar


ilmu penyakit dalam jilid III. Edisi keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan
Ilmu Penyakit Dalam FKUI: 2006. 323-325
2. Kasper, Dennis L., et al, 2004, Harrison’s Principles of Internal Medicine
; edisi 16, McGraw Hills.
3. Wen, Jessica. 2008. Esophagitis. http://www.emedicine.com/ped/
TOPIC714.HTM [Diakses 20 September 2018].
4. Alijenad, A. 2000. Caustic Injury to the Upper Gastrointestinal Tract.
http://pearl.sums.ac.ir/semj/vol4/jan2003/causticinj.htm [Diakses 20
September 2018].
5. Kardon, EM. 2008. Toxicity, Caustic Ingestion.
http://www.emedicine.com/EMERG/topic86.htm [Diakses 20 September
2018].
6. Staf Pengajar FKUI-RSCM. 1997. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok,
Kepala dan Leher Jilid Dua. Jakarta : Binarupa Aksara.
7. Corrosive Esophagitis and Stricture.
(http://www.medicalclinic.org/diseases/ corrosive-esophagitis-and-
stricture.html, diakses 20 September 2018).
8. Laluani, AK. Current Diagnosis & Treatment Otolaryngology Head and
Neck Surgery. United State of America : The McGraw-Hill Companies
Inc. 2008. 486.
9. Niki. 2008. Human Biology. http://www.training.seer.cancer.gov/
ss_module07_ugi/images/illu_esophagus.jpg [Diakses 20 September
2018].
10. Bailey, Byron J. 1998. Head and Neck Surgery-Otolaryngology Second
Edition. Philadelphia : Lippincott-Raven Publisher. 650.
11. Kumar, S. Audiologi In : Fundamentals Of Ear, Nose & Throat Disease an
Head-Neck Surgery 6th Edition. Calcutta : The New Book Stall. 1996. 358.

23
12. Muhletaler, CA. et all. Acid Corrosive Esophagitis : Radiographic
Findings.http://www.ajronline.org/cgi/reprint/134/6/1137.pdf [Diakses 20
September 2018].
13. Sjamsuhidayat, R. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah Sjamsuhidajat-de Jong,
Edisi 3, EGC, Jakarta.

24

Anda mungkin juga menyukai