Anda di halaman 1dari 18

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Infertilitas

Infertilitas mempunyai pengertian sangat beragam. Pasangan

infertil adalah pasangan suami istri yang telah menikah selama satu tahun

dan sudah melakukan hubungan seksual tanpa menggunakan alat

kontrasepsi tetapi belum hamil (Lashen, 2007; Sumapraja, 2008).

Berdasarkan kejadiannya infertilitas dibagi menjadi dua, yaitu infertilitas

primer apabila istri belum pernah hamil walaupun bersenggama dan

dihadapkan kepada kemungkinan kehamilan selama 12 bulan, sedangkan

disebut sebagai infertilitas sekunder apabila istri pernah hamil, akan tetapi

kemudian tidak terjadi kehamilan lagi walaupun bersenggama dan

dihadapkan kepada kemungkinan kehamilan selama 12 bulan

(Kadarusman, 2001).

Infertilitas dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor penyebab

dapat berasal dari pihak istri maupun suami. Faktor yang menyebabkan

infertilitas dari pihak istri di antaranya adalah usia wanita, lama waktu

mencoba mengandung, masalah medis yang disebabkan oleh gangguan

ovulasi, kelainan mekanis yang mengganggu pembuahan, dan kelainan

anatomis. Fertilitas cukup stabil hingga seorang perempuan mencapai usia

35 tahun. Sesudah itu, terjadi penurunan fertilitas secara bertahap. Saat


menginjak usia 40 tahun, fertilitas menurun drastis. Perempuan sehat yang

melakukan hubungan badan secara teratur hanya memiliki peluang gagal

untuk mengalami kehamilan sebesar 20 - 40% selama siklus tertentu (Tara

dan Alice, 2007).

Penyebab infertilitas wanita akibat masalah medis pada seorang

wanita sebaiknya diperiksa mulai dari organ luar sampai dengan indung

telur. Masalah yang dapat dialami oleh wanita dapat berupa gangguan

ovulasi, misalnya gangguan ovarium dan hormonal (Lanshen, 2007).

Gangguan ovarium dapat disebabkan oleh faktor usia, adanya tumor pada

indung telur, dan gangguan lain yang menyebabkan sel telur tidak dapat

masak. Gangguan hormonal disebabkan oleh bagian otak (hipotalamus dan

hipofisis) tidak memproduksi hormon reproduksi seperti Folicel

Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH) (Lanshen,

2007; Alan dan Micah, 2010).

Kelainan mekanis yang menghambat pembuahan juga dapat

menyebabkan infertilitas, kelainan tersebut meliputi kelainan tuba,

endometriosis, stenosis kanalis servikalis atau hymen, fluor albus, dan

kelainan rahim. Kelainan anatomis seperti kelainan pada tuba, disebabkan

adanya penyempitan, perlekatan maupun penyumbatan pada saluran tuba

(Lanshen, 2007; Ursula et al., 2011). Kelainan rahim diakibatkan kelainan

bawaan rahim, bentuknya yang tidak normal maupun ada penyekat, serta

endometriosis berat dapat menyebabkan gangguan pada tuba, ovarium,

dan peritoneum (Alan dan Micah, 2010).


Kesulitan memiliki keturunan tidak hanya disebabkan oleh pihak

wanita (istri) namun juga dapat disebabkan oleh kelainan dari pihak laki-

laki (suami). Infertilitas yang disebabkan oleh pihak suami dapat

disebabkan oleh gangguan spermatogenesis (kerusakan pada sel-sel testis),

misal: aspermia, hipospermia, nekrospermia. Kelainan mekanis juga

berperan dalam menyebabkan infertilitas pada laki-laki, misalnya

impotensi, ejaculatio precox, penutupan ductus deferens, hipospadia, dan

phymosis. Infertilitas yang disebabkan oleh pria sekitar terjadi antara 35 -

40% kejadian. Sebab-sebab kemandulan pada pria adalah masalah gizi,

kelainan metabolis, keracunan, disfungsi hipofise, kelainan traktus

genetalis (vas deferens) (Lanshen, 2007).

Setiap pasangan infertil diperlakukan sebagai satu kesatuan dalam

pemeriksaan terhadap masalah infertilitas sehingga baik suami maupun

istri keduanya harus diperiksa. Syarat-syarat pemeriksaan pasangan infertil

adalah:

a. Istri yang berumur antara 20 - 30 tahun diperiksa setelah berusaha

untuk mendapat anak selama 12 bulan.

b. Istri yang berumur antara 31 - 35 tahun diperiksa pada kesempatan

pertama pasangan tersebut datang ke dokter.

c. Istri pasangan infertil yang berumur antara 36 - 40 tahun hanya

dilakukan pemeriksaan infertilitas apabila belum mempunyai anak dari

perkawinan tersebut.
d. Pemeriksaan infertilitas tidak dilakukan pada pasangan infertil yang

mengidap penyakit (Sumapraja, 2008).

2. Endometriosis

a. Definisi

Menurut Nikos et al. (2010), Bulun (2009), dan Hart (2003)

endometriosis adalah suatu keadaan yang ditandai dengan

ditemukannya jaringan endometrium yang fungsional di luar kavum

uteri. Jaringan endometrium ektopik ini memberikan respons parsial

terhadap fluktuasi tingkat hormon steroid ovarium dan mempunyai

kecenderungan regresi pada keadaan amenore yang berkepanjangan

seperti pada kehamilan dan menopause.

Selain pendapat tersebut, Caroline (2007) mengungkapkan

bahwa endometriosis merupakan salah satu kelainan ginekologis yang

paling sering ditemukan. Insiden tertinggi ditemukan pada wanita usia

reproduktif (dekade ketiga dan keempat kehidupan). Pada

endometriosis tidak ditemukan tanda-tanda klinis yang pasti untuk

menegakkan diagnosis dan konsekuensinya diperlukan prosedur bedah

laparoskopi untuk menegakkan diagnosis (Isao, 2009; Alan dan

Micah, 2010).

Gejala endometriosis sangat bervariasi dan terkadang sulit

dikaitkan dengan penyakitnya (Olive, 2005). Pasien dengan

endometriosis berat kadang tanpa gejala sedangkan pada

endometriosis minimal dapat menimbulkan keluhan berat. Gejala-


gejala yang sering ditemukan pada endometriosis adalah dismenore

(25 - 28%), infertilitas (15 - 25%), dispaneuria, nyeri pelviks,

perdarahan uterus disfungsional, nyeri perut, dan nyeri suprapubik

hingga disuria (Olive dan Pritts, 2001; Neal dan Aydin, 2002;

Elizabeth dan Robert, 2003).

Endometriosis cenderung memberat akibat imbas siklus haid

yang berulang-ulang. Penyakit ini dapat timbul pada perempuan mulai

dari masa remaja, masa reproduksi hingga pascamenopause, tetapi

lebih sering ditemukan pada masa reproduksi dari semua kelompok

etnik dan sosial. Hormon esterogen merangsang pertumbuhan jaringan

endometriosis dan edometrium eutopoik. Endometriosis yang

ditemukan secara histopatologik tidak selalu diartikan terdapatnya

penyakit (Oepomo, 2012).

Endometriosis dianggap sebagai penyakit karena sering

ditemukan ketika menyelidiki perempuan yang mengalami infertilitas,

nyeri pelvik, dispareunia, dan dismenorea (Caroline, 2007).

Klasifikasi endometriosis yang banyak dipakai disusun berdasarkan

kriteria anatomis dan histopatologis. Klasifikasi ini tidak berkaitan

dengan nyeri pelvik atau luaran reproduksi dan besar tumor (Bulun,

2009; Oepomo, 2012).

b. Patogenesis

Menurut teori Sampson, endometriosis terjadi karena darah

haid mengalir kembali (regurgitasi) melalui tuba ke dalam pelvis.


Dalam darah haid ditemukan sel-sel endometrium yang masih hidup,

sel ini kemudian mengadakan implantasi di pelvis (Olive, 2005). Teori

lain dilontarkan oleh Robert Mayer, endometriosis terjadi karena

rangsangan pada sel-sel epitel berasal dari selom yang dapat

mempertahankan hidup di daerah pelvis sehingga bermetaplasi dan

terbentuk jaringan endometrium. Teori Robert ini banyak ditentang,

karena masih terbuka kemungkinan timbulnya endometriosis dengan

jalan penyebaran melalui jalan darah atau limfe, dan dengan

implantasi langsung dari endometrium pada saat operasi (Prabowo,

2008).

Patogenesis endometriosis belum jelas, namun beberapa teori

telah dikemukakan. Caroline (2007) dan Balen (2008) menyebutkan

bahwa teori yang paling banyak diterima adalah teori menstruasi

retrograd dan implantasi. Teori patogenesis endometriosis dapat

dilihat dalam Tabel 2.1.

Menstruasi berbalik (retrograd) dan teori implantasi

menjelaskan bahwa jaringan endometrial yang lepas selama haid

dipindahkan melalui tuba fallopii ke kavum peritonii dan

berimplantasi pada permukaan organ pelvik. Bukti yang mendukung

teori tersebut adalah:

1) Pada hampir 75 - 90% perempuan pada saat dilakukan

laparoskopi selama haid, terlihat darah haid masuk ke dalam zalir

peritoneum melalui tuba fallopii yang terbuka.


2) Endometriosis meningkat pada perempuan dengan menarkhi

awal, siklus haid pendek, atau menoragia.

3) Perempuan amenorea yang disebabkan karena tertutupnya aliran

keluar darah haid karena kelainan bawaan menunjukkan angka

kejadian endometriosis meningkat.

4) Lokasi endometriosis terbanyak pada kedua ovarium, kavum

Douglasi, ligamentum sakrouterinum, dinding belakang uterus

dan dinding belakang ligamentum latum (Oepomo, 2012;

Caroline, 2007).

Tabel 2.1 Patogenesis Endometriosis


Teori Patogenesis Endometriosis

1. Menstruasi retrograd (haid berbalik) Sampson 1925

2. Implantasi Sampson 1921

3. Sisa-sisa embrionik Russel 1899

4. Metaplasia soelomik Meyer 1919

5. Penyebaran limfatik Halban 1924

6. Penyebaran hematogen Sampson 1927

7. Faktor imunologis Demowski 1981

Metaplasia soelomik menerangkan bahwa endometriosis

terjadi karena perubahan metaplasia spontan menjadi sel mesotel yang

berasal dari epitel soelomik. Penyebaran sel endometrial melalui

pembuluh darah atau pembuluh limfe menyebabkan terjadinya

endometriosis pada umbilikus, kanalis inguinalis, dan traktus

digestivus. Implantasi langsung dari jaringan endometrial pada saat


operasi caesar atau pada luka episiotomi dapat menyebabkan

endometriosis pelvik (Olive, 2005; Oepomo, 2012).

c. Faktor Risiko

Menarkhi yang lebih dini dan siklus yang pendek telah

diketahui berhubungan dengan meningkatnya risiko endometriosis.

Faktor genetik (ibu atau saudara kandung) mempunyai risiko 7,2 kali

besar dibanding tidak ada ibu atau saudara kandung yang menderita

endometriosis. Lama haid lebih dari 6 hari mempunyai risiko 2,5 kali,

siklus haid kurang dari 28 hari mempunyai risiko 2,1 kali. Tidak

pernah memakai oral pil kontrasepsi kombinasi mempunyai risiko 1,6

kali dan pada pemakaian tampon vagina 1,4 kali mengalami

endometriosis (Sperrof dan Fritzs, 2005).

d. Lokasi

Endometriosis bersifat jinak tetapi dapat menyerang organ-

organ dan susunan tubuh lainnya. Ada tiga bentuk utama yang saling

berbeda: 1) Endometriosis peritonial; 2) Kista endometriosis ovarium

(endometrioma); 3) Endometriosis rektovaginal atau adenomiosis

(endometriosis interna). Masing-masing memiliki patogenesis, gejala

perjalanan penyakit, dan pengobatan yang berlainan (Caroline, 2007;

Oepomo, 2012).

Pada endometriosis jaringan endometrium ditemukan di luar

kavum uteri dan di luar miometrium. Menurut urutan yang tersering

jaringan endometrium ditemukan di tempat-tempat sebagai berikut: 1)


ovarium; 2) peritoneum dan ligamentum sakrouterinum, kavum

Douglasi, dinding belakang uterus, tuba Fallopii, plika vesikouterina,

ligamentum rotundum, dan sigmoid; 3) septum rektovaginal; 4)

kanalis inguinalis; 5) apendiks; 6) umbilikus; 7) serviks uteri, vagina,

vesica urinaria, vulva, perineum; 8) parut laparotomi; 9) kelenjar

limfe; dan 10) walaupun jarang endometriosis dapat ditemukan di

lengan, paha, pleura, dan perikardium (Prabowo, 2008).

e. Sistem Klasifikasi Endometriosis

Penentuan stadium endometriosis dilakukan dengan berbagai

cara, antara lain dengan teknik diagnostik seara laparoskopi karena

lesi endometriosis mudah dikenal ketika pemeriksaan laparoskopi

pelvik. Menurut Acosta dalam Oepomo (2012), cara penentuan

stadium menggunakan sistem klasifikasi yang seragam dan baku,

untuk menggambarkan perkembangan penyakit dan membandingkan

hasil macam pengobatan yang berbeda.

Tabel 2.2 Klasifikasi Endometriosis Panggul (Acosta, 1973)


Klasifikasi Endometriosis Panggul
Ringan 1. Implantasi yang tersebar tanpa jaringan parut
atau retraksi dalam kavum Douglasi bagian
anterior atau posterior, peritoneum panggul
atau permukaan ovarium.
2. Tidak ada perlekatan.
Sedang 1. Endometriosis ovarium dengan parut
pengerutan atau endometriosis kecil.
2. Implantasi pada kavum Douglasi dengan
jaringan parut dan pengerutan.
3. Periovarium yang minimal, perituba atau
perlekatan kavum Douglasi.
1. Endometriosis dan perlekatan yang terbatas
Berat meliputi tuba, ovarium, dan kavum Douglasi.
2. Endometrioma >2x2 cm.
3. Obliterasi kavum Douglasi dengan penebalan
sakrouterina.
4. Mengenai usus besar atau saluran kencing.

Sistem klasifikasi endometriosis yang paling banyak dianut

adalah dari American Society for Reproductive Medicine (ASRM)

yang dahulu dikenal sebagai American Fertility Society (AFS).

Klasifikasi menurut ASRM yang telah diperbarui pada tahun 1996

berdasarkan pada temuan laparoskopik dan ditekankan pada invasi

endometriosis ke organ adneksa (Risk et al., 2003). Dasarnya adalah

1) Penampakan, ukuran, kedalaman, susukan peritoneum dan

ovarium; 2) keberadaan, luasnya, dan jenis perlekatan adneksa; 3)

derajat obliterasi kavum Douglasi; 4) lokasi, diameter, dan kedalaman

lesi; dan 5) kerapatan (densitas) perlekatan. Derajat nyeri dan

infertilitas tidak dimasukkan ke dalam parameter sistem klasifikasi ini.

Sistem klasifikasi ini tidak selalu tepat dalam berbagai kasus sehingga

penggunaannya terbatas (Oepomo, 2012).

Derajat berat ringan endometriosis berdasarkan ASRM 1996

berdasarkan penampakan, ukuran dan kedalaman lesi yang mengenai

ovarium dan peritoneum, keterlibatan adneksa dan derajat obliterasi

kavum douglasi yaitu stadium I (minimal) bila skoring 1 - 4, stadium

II (ringan) bila skoring 6 - 15, stadium III (sedang) bila skoring 16 -

40, dan stadium IV (berat) bila skoring > 40 (Nugroho, 2004; Juan et

al., 2010).
3. Hubungan Infertilitas dan Endometriosis

Hubungan endometriosis dengan infertilitas dinyatakan bahwa

ketika terdapat jaringan parut yang luas, infertilitas dapat menjadi efek

dari endometriosis dalam analog bahwa infertilitas berhubungan dengan

adhesi yang terjadi akibat pelvic inflamatory disease. Jika endometriosis

minimal tanpa adanya adhesi menyebabkan adanya infertilitas, hal ini

dipastikan adanya penurunan kesuburan pada wanita. Banyak mekanisme

diajukan untuk menerangkan hubungan tersebut, semuanya perlu

dipertimbangkan secara teoritik. Tidak ada mekanisme yang berperan

sendirian dan antara mekanisme tersebut berhubungan satu sama lain

(Kapoor dan Davilla, 2002).

Berdasarkan penelitian sebanyak 30 - 50% wanita dengan

endometriosis mengalami infertilitas (Alan dan Micah, 2010). Beberapa

mekanisme yang diduga endometriosis mungkin menyebabkan infertilitas

di antaranya sebagai berikut.

Yang pertama, endometriosis dapat menyebabkan infertilitas

dipengaruhi oleh faktor mekanik. Endometriosis khususnya yang berat,

menyebabkan kerusakan pada tuba, ovarium dan peritoneum. Kerusakan

ini akan menyebabkan oklusi pada tuba dan fimbria. Endometriosis dapat

menyebabkan adhesi peritubal yang tebal, sehingga menghambat

kemampuan fimbria untuk menangkap sel telur yang dilepaskan ovarium.

Selain itu, endometriosis juga dapat menyebabkan adhesi periovarian yang


tebal sehingga mengimobilisasi total ovarium. Di samping kerusakan

langsung dari jaringan ovarium akibat pembentukan kista.

Kedua, gangguan endokrinologik dapat pula mempengaruhi

kesuburan seorang wanita. Lutinized Unrupted Follicle Syndrome (LUFS),

defek fase luteal, dan kelainan sekresi prolaktin merupakan penyebab

infertilitas pada endometriosis.

Gangguan imunologis juga dapat berpengaruh terhadap fertilitas.

Kadar imunoglobulin, cell mediated immunity, dan autoantibodi pada

penderita endometriosis tinggi. Fenomena imunologis lain yang

melibatkan sekresi cytokine, seperti interleukin-1 (IL-1) dan Tumor

Necrosis Factor-α (TNF-α) juga berperan dalam menyebabkan infertilitas

yang tinggi. Hal ini akan berpengaruh negatif terhadap implantasi dan

kehamilan. Walaupun demikian sangat sulit disimpulkan apakah gangguan

imunologis ini terjadi mendahului atau sebagai akibat endometriosis.

Keempat, kesuburan dapat terganggu oleh karena terjadi proses

inflamasi pada cairan intraperitoneal. Kadar lekosit dalam cairan

peritoneal pada penderita endometriosis lebih tinggi dibandingkan wanita

normal, keadaan ini mengaktifkan makrofag. Makrofag mudah melewati

bagian distal tuba. Penelitian secara in vitro memperlihatkan bahwa

makrofag pada cairan peritoneal pada penderita inferil dengan

endometriosis memfagositosis lebih banyak sperma. Jika makrofag ini

memasuki sistem reproduksi melalui tuba, maka akan terbentuk antibodi

terhadap sperma sehingga terjadi infertilitas. Produk sekresi makrofag


meningkat pada endometriosis, seperti enzim proteolitik, cytokines, dan

growth factor. Hal ini akan berpengaruh negatif terhadap proses

reproduksi, antara lain mengurangi pergerakan sperma, mengganggu

interaksi sperma sel telur, kegagalan fimbria menangkap sel telur pada saat

ovulasi, dan menghambat pertumbuhan embrio. Data ini memungkinkan

proses inflamasi cairan peritoneal pada endometriosis bisa sebagai

penyebab infertilitas.

Metabolisme prostaglandin mengganggu fertilitas, yaitu

disebabkan oleh konsentrasi prostagladin pada cairan peritoneal penderita

endometriosis lebih tinggi, dan konsentrasinya proporsional dengan

beratnya penyakit. Sumber prostaglandin ini belum diketahui dengan jelas,

namun diduga diproduksi oleh makrofag, epitel peritoneum, atau jaringan

endometriotik. Keberadaan prostaglandin pada endometriosis belum bisa

dibuktikan sebagai penyebab infertilitas. Namun, tingginya kadar

prostaglandin pada endometriosis mungkin memengaruhi infertilitas

melalui tiga cara, yaitu mengurangi motilitas, menyebabkan gangguan

fungsi korpus luteum, dan menghambat transportasi ovum atau embrio

pada tuba (Neal dan Aydin, 2002; Kapoor dan Davilla, 2002).

Pada endometriosis berat terjadi distorsi dari anatomi panggul,

perubahan bentuk anatomi dan obstruksi dari tuba fallopii. Pada

endometriosis berat terbentuk endometrioma yang besar kadang berganda

yang merusak jaringan ovarium sehingga mengganggu proses mekanis


ovulasi dan fertilisasi sehingga mengganggu fungsi reproduksi (Alan dan

Micah, 2010).

Endometriosis ringan pada pengamatan laparoskopi tidak terjadi

distorsi seperti pada endometriosis berat. Pada endometriosis ringan

mekanisme infertilitas disebabkan oleh:

a. Gangguan pada implantasi

b. Defek imunologi

c. Penurunan kualitas oosit karena terganggunya proses folikulogenesis

(Oepomo, 2012).

Secara umum, infertilitas dapat berkaitan dengan endometriosis

melalui mekanisme sebagai berikut:

a. Distorsi anatomi, menghalangi atau mencegah penangkapan ovum

setelah ovulasi.

b. Gangguan pertumbuhan oosit atau embriogenesis.

c. Penurunan reseptivitas atau kemampuan menerima endometrium

(Speroff, 2011).

Dalam Oepomo (2012), disebutkan bahwa zalir peritoneal

membasahi organ genitalia interna dan seluruh isi rongga panggul. Zalir

peritoneal penderita endometriosis menunjukkan sekresi yang berlebihan

dari berbagai sitokin terutama Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α) dengan

sel granulosa ovarium. Sel granulosa ovarium pada endometriosis akan

mengekspresikan FAST (TNF-α reseptor) pada permukaannya, sedangkan

kadar TNF-α (FAST ligand) dalam zalir peritoneal tinggi (Rizk et al.,
2003). Terjadi ikatan antara FAST dengan FAST Ligand yang dipicu oleh

kenaikan IL-6 dalam zalir peritoneal penderita endometriosis yang infertil

dan berakibat apoptosis sel granulosa ovarii yang patologis, dilihat dari

adanya aktivitas caspase 2. Dalam intrafolikuler penderita endometriosis

terjadi penurunan GDF-9 seiring dengan beratnya derajat endometrisis

yang menyebabkan gangguan folikulogenesis sehingga maturitas oosit

terganggu. Peningkatan kadar hialuronan merupakan mekanisme adaptasi

oosit yang berhubungan dengan peningkatan kadar TNF-α dalam zalir

peritoneal dan penurunan kadar GDF-9 dalam cairan folikel sehingga oosit

menjadi sulit difertilisasi sperma (Hendarto,2007).


B. Kerangka Teori

Menstruasi

Darah haid berbalik Darah keluar


(menstruasi retrograd)

Sel endometrium berada


di kavum peritonii 1. Peningkatan jumlah
dan aktivasi makrofag
2. Peningkatan TNF-α,
Endometrial-Peritoneal IL-8, IL-6, IL-1

Implantasi ektopik dan


invasi lesi endometriosis
pada daerak pelvik ENDOMETRIOSIS

Distorsi anatomi Gangguan


pertumbuhan oosit

Obstruksi tuba
Folikel immatur
Jaringan ovarium
↑ kadar
↑ TNF-α ↓ GDF-9
hialuronan

FAST--FAST L Gangguan
folikulogenesis
Aktivasi caspase

Aktivasi DNAase Maturitas oosit


terganggu
Fragmentasi DNA

Apoptosis

INFERTIL
Gambar 2.1 Kerangka Teori
C. Kerangka Konsep

ENDOMETRIOSIS

Distorsi Gangguan
anatomi pertumbuhan oosit

Obstruksi Folikel immatur


tuba fallopii

Jaringan ↑ TNF-α ↓ GDF-9


ovarium
rusak
Apoptosis Gangguan
folikulogenesis

Maturitas oosit
terganggu

INFERTIL

Gambar 2.2 Kerangka Konsep

D. Hipotesis

Terdapat hubungan antara endometriosis dengan infertilitas pada

pasien RSUD Dr. Moewardi Surakarta.

Anda mungkin juga menyukai