Anda di halaman 1dari 4

DEMAM TYPHOID

Nama : Grace Abigaelni Harefa


Nim : 102016085

Demam typhoid
Demam tifoid adalah suatu infeksi demam sistemik akut yang terutama disebabkan oleh
bakteri Salmonella typhi. Pada nyatanya dalam dunia kerja kedokteran demam tifoid juga
disebut sebagai demam enterik karena juga dapat disebabkan oleh beberapa spesies bakteri
yaitu S. Typhi, S. Parathypi A dan paratyhpi B. Namun hampir semua dokter mengenal
penyakikit ini secara baik dengan demam tifoid, dikarenakan beberapa dari literatur
mengatakan bahwa demam tifoid merupakan penyakit usus akut dan literatur lain menyatakan
hal yang berbeda, oleh sebab itu untuk kalangan dokter lebih mengenali sebagai demam tifoid.
Demam tifoid merupakan penyakit endemik di Indonesia. Penyakit ini mudah menular dan
dapat menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah.
Epidemiologi
Penyebab demam tifoid secara klinis hampir selalu salmonella yang beradaptasi pada
manusia. Penyebab yang terdekat adalah mungkin air (jalur yang paling sering) dan makanan
yang terkontaminasi karier manusia. Karier menahun umumnya 50 tahun, lebih sering pada
perempuan dan sering menderita batu empedu, S. Typhi berdiam dalam empedu (bahkan
dibagian dalam batu empedu tersebut) kemudian secara intermiten mencapai lumen usus dan
dieksresikan ke feses, sehingga mengkontaminasi air atau makanan.
Sejak awal abad ke-20, insiden demam tifoid menurun di USA dan Eropa (pada tahun
1920 terdapat 36.000 kasus ditemukan dan turun kira – kira menjadi 500 kasus demam tifoid
dengan usia rata – rata pasien 24 tahun), menurut data yang dikumpulkan oleh the Centers for
Disease Control and Prevention memperlihatkan bahwa insiden di Amerika menurun hingga
lima kali lipat. Hal ini dikarenakan persediaan air bersih dan sistem pembuangan yang baik,
dan ini belum dimiliki oleh sebagian negara berkembang, termasuk Indonesia. Tempat
penjangkit utama tifoid adalah Alexandria, Mesir; Jakarta Indonesia; dan Santiago, Chile.
Tifoid yang ditularkan oleh Amerika Serikat terutama berhubungan dengan karier pada
manusia. Di Indonesia demam tifoid banyak dijumpai pada populasi berusia 3 – 19 tahun.
Kejadian demam di Indonesia berkiatan dengan rumah tangga, yaitu adanya anggota keluarga
dan riwayat terkena demam tifoid, tidak adanya sabun untuk mencuci tangan, menggunakan
piring yang sama untuk makan dan tidak tersedianya tempat buang air besar dalam rumah.
Ditjen Bina Upaya Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan RI tahun 2010, melaporkan
demam tifoid menempati urutan ke-3 dari 10 pola penyakit terbanyak pada pasien rawat inap
di rumah sakit Indonesia (41.081 kasus).
Patogenesis
Masuknya kuman salmonella typhi ( S. Tyhpi) dan salmonella paratyphi (S. Paratyphi)
kedalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi. Sebagian kuman di
musnahkan di dalam lambung dan sebagian lagi lolos dalam usus dan selanjutnya berkembang
biak. Penelitian pada binatang menunjukan bahwa S. Thypi menginvasi pejamu pada usus
halus bagian atas dan menghasilkan bakterimia sementara dan asimtomatik dan bertahan dan
memperbanyak diri di dalam sel sehingga menimbulkan penyakit. Bakterimia persisten
memulai fase klinis infeksi. Kemampuan inokulum menginvasi sel mononuklear dan
memperbanyak diri dalam sel menentukan kemungkinan terjadinya bakterimia sekunder. Bila
respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik, maka kuman akan menembus sel –
sel epitel (terutama sel M) dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman
berkembang biak dan difagosi terutama oleh magrofag, kuman dapat hidup dan berkemban
dimakrofag dan selanjutnya dibawa ke plak peyeri ileum distal dan kemudia ke kelenjar getah
bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam
makrofag ini masuk ke sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama asimtomatik) dan
menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ – organ
ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudia berkembang biak di luar sel dan
selanjutnya masuk kedalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakterimia yang kedua kalinya,
dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik, bakterimia sekunder dapat
terjadi dalam keadaan tubuh tidak tahan terhadap bakteri salmonella yang perkembangannya
terlalu banyak dan menimbulkan invasi pada kelenjar empedu dan bercak peyeri pada usus
halus.
Bakterimia yang menetap dapat menjadi penyebab demam yang menetap pada tifoid
klinis, sementara reaksi radang terhadap invasi jaringan menentukan pola pengungkapan klinis
(kolesistitis, perdarahan usus, atau perforasi). Dengan invasi kelenjar empedu dan bercak
peyeri kuman kembali masuk kedalam lumen usus, dan dapat ditemukan pada biakan feses
awal minggu ke dua penyakit klinis. Setelah masuk menembus lumen usus maka proses yang
sama terulang kembali, karena marofag yang telah teraktivasi, hiperaktif; maka saat fagositosis
kuman salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya
menimbulkan gejala reaksi inflamasi yang sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit
kepala, dan sakit perut. Didalam plak peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi
hiperplasia jaringan (S. Typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat,
hiperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi
pembuluh darah sekitar plaque peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat
akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat
menyebar ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi.
Endotoksin lipopolisakarida pada S. typhi dapat menempel di reseptor sel endotel
kapiler dengan akibat timbulnya demam, leukopenia dan gejala komplikasi gangguan
kardiovaskuler, pernapasan dan gangguan organ lainnya.
Manifestasi Klinis
Masa inkubasi bervariasi dan tergantung pada ukuran bakterimia dan keadaan
pertahanan penjamu. Masa inkubasi demam tifoid berlangsung antara 10 – 14 hari dan adapula
pada 3 – 60 hari. Demam tifoid mempunyai gejala yang khas yaitu memberikan gejala
peningkatan suhu seperti naik tangga setiap hari sampai dengan 40o yang dikaitan dengan nyeri
kepala, malaise dan menggigil. Ciri utama demam tifoid adalah demam menetap yang
perisisten (4-8 minggu pada pasien yang tidak diobati). Penyakit ringan dan singkat dapat
terjadi, namun pada sebagian pasien infeksi akut dan berat dapat disertai koagulasi
intravaskuler diseminata dan penjangkitan pada sistem saraf pusat yang dengan cepat
menyebabkan kematian. Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan
dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut lain yaitu demam, mual, mutah, obstipasi atau
diare, perasaan tidak enak diperut, batuk dan epitaksis sedangkan pada pemeriksaan fisik hanya
didapatkan suhu badan yang meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan terutama
pada sore hingga malam hari. Dalam minggu kedua gejala lebih jelas berupa demam, bradikardi
relatif , lidah yang berselaput (kotor ditengah, tepi dan ujung merah serta tremor),
hepatomegali, splenomegali, gangguan mental berupa somnolen, sopor, koma, roseola jarang
ditemukan pada orang Indonesia.
S. typhi yang resisten terhadap banyak obat (multidrug-resistant) lebih cenderung
terjadi prevalen pada banyak negara endemik, pasien ini memberikan gejala kesakitan yang
lebih berat, mereka tampak toksik dan mengalami insidensi koagulasi intravaskuler diseminata
yang lebih tinggi, hepatomgelai dan angka kematian yang lebih tinggi dengan terapi antibiotik
oral yang tidak efektif dengan kesakitan yang lebih panjang. Sekitar 3 sampai 5 % pasien
menjadi karier asimtomatik jangka panjang, sebagian seumur hidup kecuali jika diobati.
Kebanyakan karier tidak memiliki riwayat demam tifoid dan mungkin mengalami infeksi
ringan yang tidak terdiagnosis.
Pemeriksaan Labolatorium
Pada sekitar 25% pasien demam tifoid dapat ditemukan leukopenia dan neutropenia.
pada kejadian perforasi usus atau penyulit piogenik, leukositosis sekunder dapat terjadi, serta
anemia kehilangan darah dapat tersamar dengan anemia infeksi menahun. Penemuan kuman
dari darah paling tinggi pada minggu pertama kesakitan, saat mencapai 90%. Bakterimia dapat
dideteksi pada 50% pasien pada minggu ketiga dan pada jumlah frekuensi lebih sedikit. Pada
saat awal penyakit biakan dari aspirat sumsum tulang dapat menghasilkan kuman pada
sebagian besar pasien dengan biakan darah negatif, bahkan sesaat sebelum pengobatan
antimikroba. Biakan feses sering negatif pada minggu pertama tetapi positif 75% pada pasien
minggu ke tiga namun pada minggu ke8 biakan feses menjadi positif. Frekuensi biakan urin
positif sejajar dengan hasil biakan feses dan dapat menunjukan adanya kontaminasi dengan
feses pada beberapa pasien.
Sementara pada diagnosis serologik kuran dapat diandalkan dibandingkan dengan
biakan. Sebagian besar pasien dapat mempunyai antibodi terhadap antigen O, H dan Vi (tes
widal). Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin O kemudian diikuti dengan aglutinin H.
Pada orang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap ada setelah 4-6 bulan, sedangkan
aglutinin H ada lebih lama antara 9-12 bulan. Oleh karena itu uji widal juga merupakan bukan
untuk menentukan kesembuhan penyakit.
Diagnosis Banding
Diagnosis banding termasuk infeksi yang berkaitan dengan demam yang lama seperti
riketsiosis, tularemia, leptospirosis, tuberkulosis milier, hepatitis virus, mononukleosis
infeksiosa, infeksi sitomegalovirus dan malaria.
Terapi
Obat yang efektif yang dapat diberikan adalah kloramfenikol (merupakan standar emas
obat antimikroba dengan daya kerja nyata dalam waktu 24 – 48 jam) dengan dosis 3 sampai 4
gr/hari pada orang dewasa atau 50 sampau 75 mg/kg BB perhari pada anak, obat diberikan per
os selama 2 minggu dan dosis dapat dikurangi sampai 2g/hari atau 30mg/kg per hari jika pasien
tidak demam, yang biasanya terjadi setelah hari ke lima pengobatan. Walaupun demikian, obat
kloramfenikol ini tidak banyak digunakan di Amerika karena spektrum anemia aplastik yang
terkait didalamnya. Regiman oral efektif lainnya adalah amoksisilin dengan dosis 4-6 gr/hari
dalam empat dosis terbagi pada orang dewasa atau 100mg/hari pada anak. Trimetropim-
sulfametoksazol dengan dosis 640 dan 3200 mg, berurutan dalam dua dosis harian terbagi pada
orang dewasa a85mg/m2 luas permukaan tubuh per hari dari komponen trimetropim pada anak-
anak, atau 4-fluorokuinolon seperti siprofloksasin atau ofofloksasin pada individu yang berusia
lebih dari 17 tahun. Kloramfenikol dan trimetropim-sulfametoksazol intravena juga dapat
diberikan pada pasien apabila tidak dapat menelan obat secara oral. Antimikroba pararentral
efektif lainnya dosis adalah ampisilin (dosis tinggi), sefotaksim, aztreonam, dan 4-
florokuinolon.
Pencegahan dan Pengendalian
Pencegahan dengan perbaikan sanitasi lingkungan, termasuk pembuangan limbah dan
pemasokan air akan menurunkan insiden demam tifoid dengan tajam. Kebiasaan hygine harus
dilakukan sejak dini mungkin, kebersihan rumah tangga (baik pribadi dan bersama), makan
maknaan yang bersih dan sehat, juga dilakukan imunisasi pada anak. vaksin oral Ty21a yang
diberikan 3 kali secara bermakna menurunkan 66% kasus tifoid selama 5 tahun. Sasaran
lainnya dalam mencegah demam tifoid adalah yang terkait dengan pelayanan masyarakat
(petugas kesehatan, guru, petugas kebersihan dan pengelola sarana umum lainnya.
Prognosis
Terapi demam tifoid yang berhasil, terutama jika pasien perlu dirawat secara medis pada gejala
stadium dini.
Kesimpulan
Demam tifoid adalah suatu infeksi pencernaan akut yang disebabkan oleh bakteri gram negatif
Salmonella typhi atau disebut disebut juga demam enterik. Demam tifoid disebabkan oleh
maknan dan air yang terontaminasi oleh bakteri S. thypi, masuk dalam pencernaan manusia
menembus lambung dan berkembang biak disaluran pencernaan.Dalam anamnesis dapat
ditanyakan “sebelumnya makan apa dan dimana”, pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan
kenaikan suhu badan. Sementara penderita demam tifoid dapat diberikan terapi obat
antimikroba.Pencegahan dapat dilakukan dengan hidup bersih baik pribadi dan rumah tangga
(karier), menggunakan sumber air yg bersih, dan makan-makanan yang sehat.

Anda mungkin juga menyukai