Anda di halaman 1dari 5

Senja Di Sudut Taman.

Karya: Aulia Cika Hindarti

Sore itu seperti sebuah dejavu. Sore hari di taman selalu jadi waktu yang cocok untuk Arjuna
bermain basket. Namun sore ini terlihat berbeda. Arjuna merasa pernah mengalami kejadian ini.
Arjuna selalu mengalami kejadian serupa di taman itu, pada tiap hadirnya senja, tepatnya setiap kali
ia bermain basket di bawah langit senja. Arjuna menghembuskan nafasnya kasar, sudah tiga kali ia
berusaha memasukkan bola basket ke dalam ring tetapi tidak masuk juga. Dan kali ini, ia harus
kembali berlari mengejar bola basketnya karena sudah menggelinding jauh untuk yang
kesekiankalinya.

“Maaf, aku mau ngambil bola basketnya.” Kata Arjuna ketika ia menghampiri bola basketnya yang
sudah lebih dulu menggelinding dan berhenti tepat dibelakang kaki perempuan itu. Bola basketnya
menggelinding ke arah seorang gadis yang tengah duduk di salah satu bangku taman.

“Oh,” Kata seorang gadis terkejut sembari menyunggingkan senyum di wajahnya. Senyum itu
membuat lekukan dikedua pipinya, membuat kesan manis semakin melekat padanya.

Sebelum Arjuna benar-benar mengambil bola basketnya, gadis itu sudah terlebih dahulu meraihnya
kemudian mengembalikannya ke tangan Arjuna. Arjuna tersenyum tipis, “Terima kasih.” Arjuna
mendehem pelan.

Lagi-lagi gadis itu tersenyum, memamerkan lesung dikedua pipinya. “Aku Arjuna.” Tanpa sadar
Arjuna menjulurkan tangannya. Sebuah senyum sempat mengembang di wajah gadis itu sebelum
akhirnya ia pun menyambut uluran tangan Arjuna.

“Aku Aurora.”

Mungkin bagi Aurora, jabat tangan yang singkat itu tidak berarti apa-apa. Tetapi bagi Arjuna, ini
adalah jabat tangan yang memiliki seribu arti. Arjuna selalu merasa bila dunianya akan berhenti
untuk beberapa detik tiap kali telapak tangannya menyapa kulit halus tangan perempuan yang ada
di depannya ini. Sentuhan yang sangat singkat, hanya tiga detik. Tiga detik dimana Arjuna selalu
mengagumi sorot mata dan juga garis senyum perempuan itu. Tiga detik, dimana Arjuna selalu
merasa kembali ke masa lalu, masa dimana Arjuna merasa bila itu adalah awal dejavu ini terus
terjadi padanya, menimpanya berkali-kali.

**

Saat senja baru akan mewarnai langit dengan warna jingganya yang anggun, disela-sela bermain
basketnya, Arjuna akan tetap melirik ke sudut taman. Disitulah gadis itu duduk. Di deretan bangku
taman ke empat dari ujung taman. Seorang gadis yang tiap sore selalu Arjuna jumpai dengan dirinya
yang duduk sendiri ditemani sebuah buku gambar ditangan kirinya dan juga sebuah pensil ditangan
kanannya. Rambutnya yang panjang selalu ia kuncir ekor kuda, terkadang ia kepang, membuat
lehernya yang ramping tampak lebih jenjang.
Arjuna selalu mengaggumi tatapan teduh dan sorot mata tajam gadis itu tiap kali ia menggoreskan
pensil dibuku gambarnya. Tangannya bergerak kesana kemari dengan lihainya. Guratan-guratan seni
mulai ia sayatkan di atas kertasnya. Ia terlihat ahli dalam mengatur gradasi warna dalam pensilnya,
menghasilkan gambar realis yang sangat apik untuk dilihat.

Arjuna tidak pernah menyangka sebelumnya bisa berkenalan dengan gadis misterius yang sudah
lama ia lihat tiap sore hari duduk di sudut taman. Perkenalan Arjuna dengan gadis itu terjadi saat ia
tengah bermain bola basket seperti biasa di taman, kemudian bola basketnya gagal memasuki ring
dan malah meleset meggelinding ke arah gadis yang tengah duduk manis di bangku taman.

Ia kira gadis itu akan marah karena bola yang menabrak kakinya telah mengganggu aktivitasnya,
namun dugaan Arjuna salah besar. Saat Arjuna sampai di depan gadis itu, gadis itu malah tersenyum
menatapnya dan mengambil bola yang ada di kakinya.

“Maaf, aku mau ngambil bola basketnya.” Sahut Arjuna seraya membungkuk ingin mengambil bola.
Sebelum Arjuna benar-benar mengambil bola basketnya, gadis itu sudah terlebih dahulu mengambil
bola yang berada di kakinya, kemudian menyerahkannya kepada sang pemilik, Arjuna.

“Terima kasih.” Arjuna berdeham pelan menutupi rasa gugupnya yang ditatap oleh gadis di
hadapannya.

“Maaf sudah mengganggu pekerjaanmu.” Arjuna tersenyum simpul, “Mengganggu proses


menggambarmu, maksudnya.”

Gadis itu terkekeh pelan, “Gapapa kok.”

Arjuna mengangguk, “Oh, iya. Nama aku Arjuna.” Arjuna menjulurkan tangannya.

Gadis itu tersenyum sebelum akhirnya menjabat tangan Arjuna. “Aku Aurora.”

Aurora menunduk malu, gadis itu mungkin sangat gugup kali ini. Arjuna mengalihkan pandangannya
sebentar, sejenak menghilangkan rasa gugup yang melingkupi dirinya. Itulah saat-saat di mana
Arjuna mulai mengenal Aurora. Saat di mana mereka mulai saling berbagi cerita. Banyak hal yang
mereka bagi di senja pertama yang menemani mereka berdua. Seperti Arjuna yang memberi tahu
asal-usul nama yang diberikan Ayahnya yang berasal dari nama anggota Pandawa yang berparas
paling menawan dan berhati lemah lembut. Sementara Aurora, yang bercerita bahwa nama itu
disematkan padanya karena Ibunya sangat menyukai fajar dan Aurora adalah bahasa latin yang
artinya ‘fajar’. Nama Aurora sebagai perwujudan dari dewi matahari terbit, yang menurut yunani
kuno Aurora adalah sang dewi fajar.

Tapi dari sekian banyak hal yang Arjuna ketahui di hari itu, ada hal yang paling membekas di
benaknya. Ia bukan hanya sekedar menyukai tatapan gadis itu ataupun melihat senyuman yang
menghiasi wajahnya, tetapi Arjuna menyukai keseluruhan tentang Aurora. Arjuna seperti mengingat
kembali adegan film Flipped yang menjelaskan makna keseluruhan, setidaknya seperti ini adegan
dalam film tersebut; Lukisan adalah sesuatu yang lebih dari sekedar gabungan bagian-bagian. Sapi
hanyalah seekor sapi. Padang rumput itu sendiri hanyalah rumput dan bunga-bunga. Dan matahari
menembus pepohonan hanyalah sebuah pancaran cahaya. Tapi jika kau menggabungkan mereka,
segalanya bisa menjadi indah. Arjuna tidak begitu mengerti maksud dari penggalan film itu sampai
pada suatu sore saat ia berbagi cerita dengan Aurora, satu yang ia tahu, Aurora adalah satu kesatuan
yang setidaknya tidak kalah sempurna dibandingkan dengan hasil goresan tangan digambarnya.
Selain itu, gambar Aurora juga menjadi hal yang paling melekat di benaknya. Ia bisa melihat
bagaimana awan yang berarak di lagit senja dapat digambar dengan begitu hidupnya. Bahkan, garis
awan dan gradasi pensilnya pun terlihat begitu nyata. Kamu sempurna Aurora, batin Arjuna memuji.

**

Dilain senja, Arjuna pulang sekolah lebih sore dari biasanya. Hari itu ia diharuskan berlatih basket di
sekolah bersama tim nya karena akan mengikuti lomba dalam beberapa hari mendatang. Alhasil,
sore itu Arjuna datang menuju taman dengan masih mengenakan seragam tim basket
kebanggaannya tetapi bukan dengan tujuan berlatih basket, namun hanya untuk sekedar bertemu
dan mengobrol dengan Aurora. Pertemuan singkat mereka kemarin ternyata memberikan sedikit
bekas kepada Arjuna. Ia merasa bahwa Aurora adalah gadis yang menyenangkan. Suaranya selalu
terdengar lembut. Sorot matanya selalu menyiratkan sebuah kebahagiaan. Bibirnya pun nampak
tidak bosan menampilkan senyum hangatnya. Arjuna merasa bahwa ia sudah jatuh cinta pada
Aurora sejak pandangan yang pertama.

Angan serta khayalan Arjuna tentang ia dan juga Aurora seolah tergambar jelas di benaknya. Bahkan
Arjuna sudah mempersiapkan topik pembahasan apa yang ingin mereka bicarakan nanti saat
bertemu. Arjuna merasa bahwa ia harus mengenal Aurora lebih dalam. Sejauh kakinya melangkah,
sebuah senyum selalu tersungging di wajah Arjuna. Ia terlalu senang dengan angannya. Langkah
kakinya terus berjalan dengan penuh semangat, seperti hatinya. Namun angannya, sepertinya tidak
akan terwujud pada senja kali ini. Ia tidak menemukan kehadiran Aurora yang duduk di bangku
taman barisan ke empat dari ujung. Arjuna tidak menemukan sosok gadis yang sibuk menggambar
diatas buku gambarnya. Tak sadar, senyuman yang sedari tadi sudah mengiringi langkah Arjuna,
perlahan pudar setelah Arjuna mengetahui suatu hal, Aurora tidak ada pada Senja ini.

Arjuna memandangi bangku taman yang sudah ada di hadapannya. Ia duduk di bangku yang biasa
Aurora tempati. Kemana dia? Arjuna membatin. Arjuna terus menerka-nerka dan bertanya kemana
Aurora. Keningnya mengkerut. Ia mendongakkan kepalanya, mengalihkan perhatiannya ke langit
sore. Senja sore ini mungkin terlalu indah, sampai-sampai Aurora tidak menggambarkan senja itu
pada kesempatan kali ini. Ia melangkahkan kakinya untuk pulang, langkahnya terasa berat. Ia hanya
berharap jika esok senja akan kembali indah dan ia bisa bertemu lagi dengan Aurora.

**

Senja sore ini terlihat begitu cerah. Secerah perasaan Arjuna, ia memiliki sebuah ide untuk
memberikan sebuah kalung dengan gantungan ‘A’ melambangkan nama Aurora, untuk Arjuna
hadiahkan untuk gadis yang telah menarik perhatiannya. Ia berharap gadis itu akan selalu ingat
kepada ‘si pemberi benda’ bila tiap kali ia memandangi atau mengenakan benda itu. Aurora tampak
senang saat dihadiahi kalung itu. Bahkan Arjuna dengan senang hati memasangkan kalung itu dileher
jenjang Aurora. Aurora berkali-kali mengucap terima kasih dan berkata bahwa ia sangat menyukai
kalung pemberian Arjuna. Senja hari itu dihiasi oleh senyum merekah sepasang remaja. Sore itu juga,
pertama kalinya Arjuna merasakan hati penuh dengan kupu-kupu yang memaksa keluar menyeruak
dari hatinya. Arjuna sangat yakin, bahwa ia telah jatuh cinta pada Aurora.
Senja berikutnya. Senja kini menjadi hal yang paling menyenangkan bagi Arjuna. Karena saat
senjalah ia bisa bertemu dengan gadis yang kini telah menjadi pujaan hatinya, Aurora. Namun
tampak ada yang aneh dengan Aurora tepat di hari itu. Senja kali ini berbeda, Aurora pun bertingkah
tidak seperti biasanya. Aurora berubah menjadi sosok asing baginya, mereka seperti tak pernah
saling mengenal sebelumnya. Awalnya Arjuna menganggap hal itu hanyalah bercandaan Aurora, tapi
ternyata dugaan Arjuna salah.

“Kamu siapa? Pergi! Aku tidak mengenalmu!” pekik Aurora dengan sorot mata yang tidak seperti
biasanya. Arjuna sempat terpanjat dengan sergahan Aurora. Bahkan Arjuna sampai tidak sengaja
melepaskan bola basket yang ada digenggamannya, terjatuh mengenai kaki gadis itu. Aurora
membungkuk dan mengambil bola basket kemudian menyerahkannya pada Arjuna, dejavu.

Pikiran Arjuna kusut seperti benang yang tidak tahu ujungnya dimana. Arjuna bertanya-tanya dalam
hati. Apa yang salah dengan Aurora. Apa kepalanya baru saja terbentur sesuatu sehingga ia lupa?
Apa yang salah denganku? Tetapi kalau aku punya salah dan dia marah, kenapa dia masih
mengenakan kalung yang kuberikan untuknya? Arjuna membatin penuh tanya. Sejak saat itu Arjuna
jadi sedikit ragu tiap kali ingin menegur Aurora saat ia sedang duduk di taman. Ia takut Aurora
membencinya karena hal yang ia sendiri tidak paham.

Tak ada pertanyaan yang tak ada jawabannya. Waktu sendiri yang menjawabnya. Saat senja ini lah
jawabannya. Tepat dibawah langit senja yang kala itu jingganya tengah memudar, Arjuna duduk di
sebuah bangku taman paling ujung dengan seorah lelaki yang bermata mirip dengan Aurora. Lelaki
itu adalah Genta. Ia adalah kakak lelaki Aurora. Genta bercerita tentang adik bungsunya itu, dan juga
penyakit yang dideritanya. Aurora menderita penyakit Alzheimer. Sebuah penyakit dengan kondisi
kelainan yang ditandai dengan penurunan daya ingat, penurunan kemampuan berpikir dan
berbicara, serta perubahan perilaku pada penderita akibat gangguan di dalam otak yang bersifat
progresif atau perlahan-lahan.

“Dampaknya adalah memori itu akan hilang. Termasuk kamu. Ingatannya tentang kamu pun
perlahan akan pudar dan hilang.” Jelas Genta.

Deg! Jantung Arjuna bagai berhenti detik itu juga. Dadanya mendadak terasa sesak. Jantungnya
memburu. Kalimat tadi bagaikan tombak yang menghujam inti jantungnya. Lidahnya kelu. Berbagai
pertanyaan menyeruak masuk ke dalam otak tanpa bisa ia ucapkan. Untuk apa mencintai seseorang
jika pada kenyataannya untuk mengingatku saja ia tak bisa? Arjuna membatin. Pahit rasanya
mengetahui bahwa seseorang yang kau cintai, tidak mengingatmu, bagaimana bisa ia membalas
perasaan Arjuna? Mengapa penyakit yang susah disebut itu harus ada. Mengapa harus menyerang
Aurora. Gadis pujaanku.

“Kamu teman pertama Aurora. Sejak divonis dokter setahun yang lalu, Aurora tidak punya teman.
Saya sering melihat kalian berdua mengobrol dan tertawa dari jauh, itu membuat kami sekeluarga
bahagia karena ada yang bisa membuat Aurora kembali tersenyum seperti dulu.” Kata Genta.

Aku masih ingat bagaimana Aurora tersenyum untukku. Senyuman hangatnya, tatapan teduhnya,
dan lesung dikedua pipinya.

“Tapi bagaimana bisa aku terus memperjuangkan seseorang yang bisa melupakanku kapan saja?”
tanyaku.
Genta tersenyum simpul. “Aurora tidak benar-benar melupakanmu. Penyakit itulah yang
memaksanya. Jauh dalam dirinya, ia mengingatmu. Bahkan ia sendiri yang memakaikan kalung
pemberianmu setiap habis mandi atau terkadang memegang dan menatap kalung darimu.” Ujar
Genta.

Arjuna terkejut. Ternyata kalung itu benar-benar membuat Aurora mengingat siapa pemberinya. Kali
ini ada sorak-sorak bergemuruh di dada Arjuna. Seperti ada cahaya kecil dibalik kegelapan.
Harapannya kembali ada. Ada senyum yang merekah dibalik kesedihan Arjuna.

**

Dejavu. Setiap senja selalu dilewati Arjuna dengan perasaan, dejavu. Biarlah Aurora tak lagi
mengingatnya hari demi hari, senja demi senja, hingga saat ia tak bisa lagi menggoreskan ujung
pensilnya ke permukaan kertas pada buku gambarnya. Arjuna akan selalu ada untuk Aurora. Arjuna
tidak peduli dengan penyakit Alzheimer yang diderita Aurora. Walaupun ia harus berkali-kali
memperkenalkan dirinya kepada Aurora, menganggap dirinya sebagai orang yang baru dikenal
Aurora, sama seperti kerjadian pertama ia berkenalan dengan Aurora, Arjuna rela melakukannya.

Cinta memang tidak selalu diucapkan melalui ucapan, tetapi oleh perbuatan. Hati yang akan
berbicara sendiri tentang cinta itu. Cinta memang tak selalu tentang perihal saling memiliki, tetapi
cinta selalu bisa diperjuangkan tanpa mengharapkan balasan. Arjuna sangat paham itu.

Hanya satu hal yang menjadi harapan Arjuna, Aurora tak akan pernah lupa dengan menggambar dan
juga tak pernah lupa memakai kalung pemberian Arjuna. Begitulah ucapan Genta yang selalu
terngiang di benak Arjuna.

“Maaf, aku mau ngambil bola basketnya.” Ucap Arjuna seraya mengambil bola basket yang
menggelinding di kaki Aurora

“Oh, silahkan.” Singkat gadis cantik itu.

“Oh iya, namaku Arjuna.”

“Aku Aurora.”

Warna jingga pada senja sore hari di sudut taman itu selalu terulang. Perkenalannya dengan gadis
itu, selalu dilakukannya berulang kali. Dan cintanya, selalu terus tumbuh seiring dengan langit jingga
yang memudar. Setidaknya, sampai langit tidak bisa menampilkan senjanya lagi.

Anda mungkin juga menyukai