Anda di halaman 1dari 14

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

1. Drosophila melanogaster
A. Morfologi Drosophila melanogaster

Droshopilla merupakan jenis lalat buah termasuk dalam filum Artropoda kelas
Insekta bangsa Diptera, anak bangsa Cyclophorpha, suku Drosophilidae. Drosophila
melanogaster adalah salah satu serangga yang memiliki peran sangat penting dalam
pengembangan ilmu genetika. Drosophila melanogaster memiliki banyak mutasi, baru-
baru ini ada banyak mutan seperti sepia dan strain prem. Morgan et al telah menemukan
85 mutan strain Drosophila melanogaster (Hotimah et al, 2017). Drosophilla
melanogaster selama ini telah mengalami mutasi genetik sehingga dikenal dengan
berbagai macam strain, Morgan dan C. B. Bridges telah berhasil menemukan 85 macam
strain yang menyimpang dari tipe normal (wild type) (Robert, 2012). Berikut
merupakan klasifikasi Drosophila melanogaster menurut Borror et al (1989):
Kingdom :Animalia

Phylum :Arthropoda
Class :Insecta
Order :Diptera
Family :Drosophilidae
Genus :Drosophila
Species :Drosophila melanogaster
Drosophila Betina umumnya lebih besar daripada jantan. Pada Drosophila jantan,
segmen posterior abdomen seluruhnya gelap dan mengkilap, sedangkan pada betina
warna segmen ini bervariasi dari pucat hingga hampir seluruhnya gelap. Kedua jenis
kelamin memiliki pola garis-garis melintang gelap pada sisi punggung setiap segmen
abdomen. Drosophila betina memiliki abdomen dengan ujung runcing sedangkan
jantan ujung abdomen jantan bulat. Selain itu, abdomen pada jantan cenderung
melengkung ke dalam. Organ genital jantan (epandrium) lebih besar, lebih kompleks,
dan lebih gelap daripada genitalia eksternal betina (plat genital dan ovipositor). Kaki
depan jantan hanya membawa sex comb (sisir kelamin), barisan bulu gelap tebal pada
segmen tarsal pertama (Chyb & Gompel 2013).

Gambar 1 Drosophila melanogaster, a) Drosophila melanogaster betina betina memiliki


ukuran tubuh lebih besar dari pada jantan, warna segmen posterior abdomen bervariasi dari
pucat hingga hampir seluruhnya gelap abdomen dengan ujung runcing. b) Drosophila
melanogaster jantan memiliki ukuran tubuh lebih kecil. Segmen posterior abdomen
berwarna gelap dan mengkilap dengan ujung abdomen membulat.
Sumber: Chyb & Gompel (2013).

Drosophilla melanogaster tipe normal dicirikan dengan mata merah, mata majemuk
berbentuk bulat agak ellips dan mata tunggal (oceli) pada bagian atas kepalanya dengan
ukuran relatif lebih kecil dibanding mata majemuk (Robert, 2012). Mata majemuk adalah
struktur morfologi paling menonjol yang terletak pada kapsul kepala eksternal. Setiap mata
majemuk mengandung 750 unit yang disebut ommatidia (biasa disebut sebagai facet). Sel-
sel pigmen primer lalat wild type memiliki pigmen kemerahan yang menyerap kelebihan
cahaya biru. Ommatidia dipisahkan oleh bulu pendek, tegak, kekuningan interommatidial
(Chyb & Gompel 2013). Warna tubuh kuning kecokelatan dengan cincin berwarna hitam
pada tubuh bagian belakang. Ukuran tubuh Drosophilla melanogaster berkisar antara 3-5
mm (Indayati, 1999). Sayap Drosophilla melanogaster cukup panjang dan transparan
(Karmana, 2010), Posisi sayapnya bermula dari thorak, vena tepi sayap (costal vein)
memiliki dua bagian yang terinterupsi dekat dengan tubuhnya. Aristanya pada umumnya
berbentuk rambut dan memiliki 7-12 percabangan (Indiyati, 1999). Crossvein posterior
umumnya berbentuk lurus, tidak melengkung (Milkman,1965). Thoraknya memiliki
bristle, baik panjang dan pendek, sedangkan abdomen bersegmen lima dan bergaris hitam
(Chumaisah, 2002).

Drosophila melanogaster Strain white merupakan D. melanogaster dengan penanda


berupa mutasi resesif pada warna mata majemuk dan mata tunggal yang seluruhnya
bewarna putih. Gen pengendali warna mata tersebut terletak pada kromosom I, lokus 1,5
(Ramadani et al., 2016). Warna mata putih dapat dihasilkan dari interaksi cinnabar, scarlet,
atau vermillion (Chyb & Gompel 2013).

B. Siklus hidup Drosophila melanogaster


1) Telur
Telur Drosophila melanogaster memiliki panjang sekitar 0,5 milimeter.
Membran luar, chorion buram dan menunjukkan pola heksagonal. Sepasang
filamen membentang dari permukaan anterodorsal untuk menjaga agar telur tidak
tenggelam ke dalam makanan lunak di mana dimana telur diletakkan. Penetrasi
spermatozoa ke dalam sel telur terjadi melalui lubang kecil atau mikropil dalam
tonjolan berbentuk kerucut di ujung anterior, ketika sel telur melewati uterus.
Spermatozoa telah disimpan oleh betina setelah kawin. Segera setelah masuknya
sperma, pembelahan (meiosis) selesai dan nukleus telur (pronukleus betina)
terbentuk. Inti sperma dan inti telur bergabung untuk menghasilkan inti zygote yang
membelah untuk menghasilkan dua inti pembelahan pertama, tahap awal
pengembangan embrio. Telur dapat dikeluarkan oleh induk sesaat setelah ditembus
oleh sperma, atau mungkin disimpan di dalam uterus selama tahap awal
perkembangan embrionik (Parvathi et al., 2009).
2) Larva instar III dan pupa

Drosophila melanogaster menyelesaikan siklus hidupnya selama sekitar 10 hari


pada suhu 25°C. Embrio berkembang lebih dari 24 jam. Ada tiga tahap larva yang
meliputi L1 dan L2 (masing-masing 1 hari) diikuti oleh L3 (~ 3 hari), tahap pupa (4
hari), dan tahap imago. Lalat dewasa mencapai kematangan seksual setelah 2-4 hari,
dan betina yang dibuahi kemudian mulai bertelur. Waktu perkembangan dapat sangat
bervariasi (beberapa hari) dengan kondisi lingkungan (suhu, kepadatan, kualitas
makanan) dan latar belakang genetik (Chyb & Gompel 2013).
Larva instar ketiga sudah berjenis kelamin, jantan dan betina sudah terlihat tanpa
dibedah, ukurannya berbeda. Gonad terletak di setiap sisi (panah hitam), di sepertiga
posterior larva, sedikit di bawah trakea dorsal. Gonad jantan sekitar lima kali lebih besar
dari gonad betina. Pupa berjenis kelamin pada hari terakhir tahap pupa, ketika struktur
kutikula menjadi berpigmen dan sisir seks menjadi terlihat pada bagian ventral dari
pupa jantan (panah putih) (Chyb & Gompel 2013).

Gambar 2 larva instar III dan pupa.


Sumber: Chyb & Gompel (2013).

2. Hukum Mendel I
A. Persilangan monohibrid
Hukum mendel I dirumuskan oleh J. G. Mendel pada tahun 1865 dengan
menggunakan uji coba pesilangan pada kacang ercis. Setiap percobaan semacam itu
disebut persilangan monohibrid. Persilangan monohibrid dibuat dengan mengawinkan
individu yang dari dua strain induk, masing-masing memperlihatkan salah satu dari dua
bentuk kontras dari karakter yang diteliti. Mendel mengamati generasi pertama
keturunan dari persilangan kacang ercis dan kemudian menyilangkan hasil keturunan
generasi pertama tersebut dengan sesamanya. Parental asli merupakan P1 dan
keturunan generasi pertama merupakan F1, hasil dari persilangan F1 dengan F1
mengasilkan generasi keturunan kedua atau F2 dan seterusnya (Klug et al., 2016).
Persilangan antara tanaman kacang ercis yang berkembang biak dengan batang
tinggi dan batang kerdil merupakan perwakilan dari persilangan monohibrid Mendel.
Tinggi dan kerdil adalah sifat yang kontras dari karakter tinggi batang. Ketika Mendel
menyilangkan tanaman tinggi dengan tanaman kerdil, generasi F1 yang dihasilkan
hanya terdiri dari tanaman tinggi. Ketika anggota generasi F1 disilangkan dengan
sesamanya, Mendel mengamati bahwa 787 dari 1.064 tanaman F2 adalah tinggi,
sementara 277 dari 1064 adalah kerdil. Sifat kerdil menghilang pada generasi F1 dan
muncul kembali pada generasi F2. Data genetik biasanya diekspresikan dan dianalisis
sebagai rasio. Dari hasil persilangan yang dilakukan Mendel diperoleh rasio tanaman
tinggi dan tanaman kerdil yaitu 2,8: 1,0 atau 3: 1 (Klug et al., 2016).
Pola pewarisan F1 dan F2 adalah serupa tanpa memandang tanaman P1 mana
yang berfungsi sebagai sumber serbuk sari (sperma) dan yang berfungsi sebagai sumber
sel telur (ovum). Persilangan bisa dilakukan dengan cara apa pun, penyerbukan
tanaman kerdil oleh tanaman tinggi, atau sebaliknya. Persilangan yang dibuat dengan
kedua cara ini disebut persilangan rekonstruksi. Oleh karena itu, hasil persilangan
monohibrid Mendel tidak tergantung jenis kelamin (Klug et al., 2016).
Untuk menjelaskan hasil percobaan tersebut, Mendel mengusulkan keberadaan
faktor unit partikulat untuk setiap sifat. Mendel mengusulkan bahwa faktor-faktor ini
berfungsi sebagai unit dasar dari keturunan dan diturunkan tidak berubah dari generasi
ke generasi, menentukan berbagai sifat yang diungkapkan oleh masing-masing tanaman
individu. Dengan menggunakan ide-ide umum ini, Mendel melanjutkan untuk
berhipotesis dengan tepat bagaimana faktor-faktor tersebut dapat menjelaskan hasil
persilangan monohybrid (Klug et al., 2016).
B. Tiga prinsip hukum pertama Mendel
Dengan menggunakan pola hasil yang konsisten dalam persilangan monohibrid,
Mendel menurunkan tiga prinsip pewarisan sebagai berikut:
1) Faktor Unit dalam Pasangan
Mendel menyatakan “Karakter genetik dikendalikan oleh faktor-faktor unit yang ada
berpasangan dalam organisme individu”. Dalam persilangan monohibrid yang
melibatkan batang tinggi dan kerdil, faktor unit khusus ada untuk setiap sifat. Setiap
individu diploid menerima satu faktor dari setiap parental. Karena faktor-faktor ini
terjadi berpasangan, terjadi tiga kombinasi yang meliputi dua faktor untuk batang
tinggi, dua faktor untuk batang kerdil, atau satu dari masing-masing faktor. Setiap
individu memiliki satu dari tiga kombinasi ini yang menentukan tinggi batang (Klug et
al., 2016).
2) Dominasi / Resesifitas
Mendel menyatakan “Ketika dua faktor unit berbeda yang bertanggung jawab untuk
satu karakter hadir dalam satu individu, satu faktor unit dominan terhadap yang lain
yang dikatakan resesif”. Dalam setiap persilangan monohibrid, sifat yang
diekspresikan pada generasi F1 dikendalikan oleh faktor unit dominan. Sifat yang
tidak diungkapkan dikendalikan oleh faktor unit resesif. Istilah dominan dan resesif
juga digunakan untuk menunjuk sifat. Dalam hal ini, batang tinggi dikatakan lebih
dominan daripada batang kerdil resesif (Klug et al., 2016).
3) Pemisahan
Mendel menyatakan “Selama pembentukan gamet, faktor-faktor satuan
berpasangan terpisah secara acak sehingga masing-masing gamet menerima satu
atau yang lainnya dengan kemungkinan yang sama”. Jika individu memiliki
sepasang faktor unit yang serupa (misalnya keduanya spesifik untuk tinggi), maka
semua gametnya menerima salah satu dari faktor unit yang sama (dalam kasus ini,
tinggi batang). Jika individu memiliki faktor unit yang tidak sama (misalnya Satu
untuk tinggi dan satu untuk kerdil), maka setiap gamet memiliki kemungkinan 50
persen untuk menerima tinggi atau faktor unit kerdil (Klug et al., 2016).

3. Pautan kelamin
Pautan kelamin adalah ekspresi fenotipik alel yang tergantung pada jenis
kelamin individu dan secara langsung terkait dengan kromosom seks. Istilah pautan
seks merujuk pada gen yang dibawa oleh kromosom X dari individu dan ekspresi
fenotipik yang terkait dengan bermacam-macam kromosom tersebut (Elzinga et al.,
2007). Betina memiliki salinan ganda kromosom X, oleh karena itu dua alel gen pautan
kelamin dibawa oleh betina, satu pada setiap kromosom X sedangkan jantan hanya
memiliki satu kromosom X yang membawa satu alel dari gen pautan kelamin. (Gardner
et al., 1991). Alel apapun yang dilewatkan pada kromosom X jantan akan diekspresikan
terlepas dari sifat dominan atau resesif. Ekspresi alel mengikuti sifat dominan atau
resesif ketika betina mewarisi dua alel untuk gen pautan kelamin (Elzinga et al., 2007).
Ciri-ciri yang berhubungan seks umumnya diwariskan dengan kromosom autosom.
Fenomena pautan kelamin pertama kali ditemukan oleh T. H. Morgan dan C. B.
Bridges pada tahun 1910. T. H. Morgan dan C. B. Bridges melakukan percobaan
dengan menyilangkan Drosophila strain bermata merah betina dengan strain bermata
putih jantan, maka F1 yang muncul seluruhnya bermata merah. Selanjutnya jika F1
disilangkan dengan sesama F1 maka ¾ bagian F2 bermata merah, dan ¼ bagian bermata
putih. Hasil yang diperoleh dari percobaan tersebut tidak sesuai dengan hukum Mendel
jika warna mata merah merupakan dominan dari mata putih. Seluruh F2 betina bermata
merah, sedangkan separuh jantan bermata merah dan separuhnya lagi bermata putih.
Seluruh jantan merupakan galur murni baik yang bermata merah maupun bermata
putih. F2 betina yang bermata merah terdapat dua macam yaitu sudah merupakan galur
murni dan hasil turunan jantan yang separuh bermata merah dan separuhnya lagi
bermata putih (Corebima, 2013).
T. H. Morgan dan C. B. Bridges juga menyilangkan strain bermata putih betina
dengan strain bermata merah jantan. hasilnya menunjukkan tidak semua F1 bermata
merah sesuai dengan prinsip Mendel, jika warna mata merah merupakan dominan
terhadap mata putih. T. H. Morgan menyatakan data hasil persilangan dapat dijelaskan
jika: (1) faktor warna mata terdapat pada kromosom kelamin X, dan (2) kromosom
kelamin jantan (Y) tidak mengandung faktor warna mata tersebut. Individu Drosophila
mempunyai dua kromosom kelamin X yang identik, sedangkan individu jantan
mempunyai kromosom kelamin XY. Drosophila betina mewarisi satu kromosom
kelamin X dari induk jantan dan satu kromosom kelamin X lainnya dari induk betina,
sedangkan pada Drosophila jantan mewarisi kromosom X dari induk betina dan
kromosom Y dari induk jantan (Corebima, 2013).
4. Kerangka Konseptual

Persilangan Drosophila melanogaster strain ♀N >< ♂w dan strain ♀w


>< ♂N

/// F1 seluruhnya
bermata normal.

F1 hasil persilangan ♀N >< ♂w dan ♀w >< ♂N disilangkan dengan


sesamanya (F1 >< F1)

Rasio keturunan Rasio keturunan


F2 3:1 dengan F2 2:2 dengan
strain N : W strain N : W

Faktor warna mata merah terdapat pada kromosom kelamin X,


sedangkan kromosom kelamin Y tidak tidak mempengaruhi warna
mata

Fenomena pautan kelamin


5. Hipotesis Penelitian
1. Fenotip yang muncul pada persilangan F1 dari persilangan Drosophila
melanogaster strain ♀N >< ♂w beserta resiproknya adalah ♂N dan ♀N.
2. Perbandingan rasio fenotip F2 pada persilangan D. melanogaster ♀N >< ♂w tidak
menyimpang dari rasio Hukum Mendel I = 3:1 dengan strain N : w.
3. Perbandingan rasio fenotip F2 pada persilangan D. melanogaster ♀w >< ♂N
menyimpang dari rasio Hukum Mendel I = 3:1 dengan strain N : w.
BAB III
METODE PENELITIAN
1. Rancangan Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observatif dengan
melakukan pengamatan hasil F1 dan F2 pada persilangan w♂ >< N♀ dan persilangan
resiproknya. Masing-masing persilangan dilakukan sebanyak 16 kali ulangan. Data
yang dikumpulkan berupa pengamatan jumlah, jenis kelamin dan fenotip pada F1 dan
F2.
2. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Februari sampai bulan April 2017.
Tempat pelaksanaan penelitian Ruang 301 Laboratorium Genetika, Jurusan Biologi,
Universitas Negeri Malang.
3. Populasi dan Sampel
Populasi yang digunakan dalam penelitian adalah Drosophilla melanogaster
dari stok yang dibiakkan di Laboratorium Genetika Universitas Negeri Malang dan
sampel yang digunakan dalam penelitian adalah Drosophilla melanogaster strain N
(Normal) dan w (white).
4. Alat dan Bahan
A. Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:
1. Mikroskop stereo 10. Toples
2. Botol selai 11. Pisau
3. Spons 12. Pengaduk
4. Kertas pupasi 13. Timbangan
5. Selang bening ukuran kecil dan 14. Blender
besar 15. Kain kasa
6. Kuas 16. Lemari es
7. Panci 17. Lap atau tissue
8. Kompor
9. Baskom

B. Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:
1. Drosophila melanogaster strain N dan w
2. Pisang Rajamala
3. Tape
4. Gula Merah
5. Fermipan (ragi kue)
6. Air

5. Prosedur Kerja
A. Pengamatan fenotip
Strain yang telah didapatkan diamati di bawah mikroskop. Strain lalat diamati bentuk
mata, warna mata, warna tubuh, dan keadaan sayap. Kemudian ditentukan strain dari
Drosophila melanogaster yaitu white dan normal.
B. Pembuatan Medium
1. Disiapkan bahan-bahan yang digunakan meliputi pisang rajamala, tape singkong dan
gula merah
2. Dipotong semua bahan menjadi kecil dan ditimbang, 700 gram pisang rajamala, 200
gram tape singkong, dan 100 gram gula merah.
3. Pisang rajamala dan tape singkong dihaluskan menggunakan blender.
4. Gula merah dicairkan dalam panci dengan diberi sedikit air
5. Dituangkan ke dalam panci bahan-bahan yang telah diblender kemudian dipanaskan
dengan api sedang sambil diaduk selama 45 menit.
C. Peremajaan
1. Dilewatkan botol dan spons diatas nyala api untuk sterilisasi.
2. Dimasukkan medium ke dalam botol dan langsung ditutup dengan spons.
3. Ditunggu sampai medium dingin kemudian dimasukkan kertas pupasi ke dalam botol
dan diberi tiga butir fermipan kemudian ditutup kembali menggunakan spons.
4. Dimasukkan minimal 2 pasang Drosophila melanogaster dari strain yang sama ke
dalam botol yang telah berisi medium.
D. Pengampulan
1. Selang bening dipotong dengan panjang ±5 cm
2. Dimasukkan pisang rajamala ±1 cm ke dalam selang sehingga membagi kedua bagian
3. Diambil pupa yang sudah berwarna hitam dari dalam botol dengan kuas yang telah
dibasahi dengan air kemudian diletakkan di kedua sisi selang, masing-masing bagian
satu pupa
4. Ujung selang ditutup dengan menggunakan spons.
5. Maksimal lalat yang bisa disilangkan yaitu 2 hari setelah menetas.
E. Persilangan P1 (w♂ >< N♀) dan (N♂ >< w♀)
1. Disilangkan lalat Drosophila melanogaster strain w♂ >< N♀ beserta resiproknya. Pada
botol persilangan pertama diberi label A.
2. Dilepas lalat jantan setelah 2 hari penyilangan
3. Dipindahkan ke botol B lalat betina jika dalam botol A telah muncul larva, jika dalam
botol B telah muncul larva lalat betina dipindahkan ke dalam botol C, dan seterusnya
hingga lalat betina tidak mengeluarkan telur lagi atau mati.
4. Setiap hari botol A, B, C, D diamati fenotipnya dan dihitung jumlah lalat yang menetas
pada masing-masing botol hingga 7 hari.
5. Percobaan diulang sebanyak 16 kali.
F. Persilangan P2 (F1 >< F1)
1. Apabila dari hasil persilangan P1 telah muncul pupa hitam (pada botol A, B, C, D),
sebagian pupa diambil untuk diampul, tetapi pupa yang menetas dalam ampulan tetap
dihitung sebagai hasil dari persilangan P1.
2. Disilangkan pupa yang yang telah menetas dengan prosedur 1-5 pada persilangan P1.
3. Hasil persilangan F2 diamati fenotip, jenis kelamin, dan rasio fenotipnya selama 7 hari.
G. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data dilakukan dengan pengamatan
fenotip berdasarkan jenis kelamin pada hasil F1 dan F2 persilangan w♂ >< N♀ dan
resiproknya selama tujuh hari.
H. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan pada penelitian ini menggunakan teknik
rekonstruksi kromosom kelamin pada masing-masing persilangan.
DAFTAR RUJUKAN

Borror, D. J., Triplehorn, C. A., & Johnson, N. F. 1989. An Introduction to The Study of Insects,
Sixth edition. New York: Saunders College Publishing.
Chyb, S., & Gompel, N. 2013. Atlas of Drosophila Morphology. China: Elsevier Inc.
Corebima, A.D. 2013. Genetika Mendel. Surabaya: Airlangga University Press.

Chumaisiah, N. 2002. Pengaruh Inbreeding Terhadap Viabilitas dan Fenotip Lalat Buah
(Drosophila melanogaster M.) Tipe Liar dan Strain Sepia. Skripsi. Jember: FKIP UNEJ
Jurusan Biologi.
Elzinga, C., Lawrence, S. M., Leege, L. M., Heidemann, M. K., & Straney, D. O. 2007.
Biological Sciences 110: Laboratory Manual. 12th Edition. USA: Hayden-McNeil
Publishing, Inc.
Gardner, E.J., Simmons, M.J. and Snustad, D.P. 1991. Principles of Genetics. 8th Edition.
USA: John Wiley & Sons.
Hotimah, H., Purwatiningsih, & Kartika Senjarini. 2017. Deskripsi Morfologi Drosophilla
melanogaster Normal (Diptera: Drosophilidae), Strain Sepia dan Plum. Jurnal Ilmu
Dasar. Vol. 18 No. 1, 55 – 60.
Indayati, N. 1999. Pengaruh Umur Betina dan Macam Strain Jantan Terhadap Keberhasilan
Kawin Kembali Individu Betina D. melanogaster. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Malang:
FMIPA UM.
Karmana, I. Wayan. 2010. Pengaruh Macam Strain dan Umur Betina Terhadap Jumlah
Turunan Lalat Buah (Drosophila melanogaster). Jurnal Gane Ç Swara. Vol. 4 No.2.
Klug, W. S., Cummings, M. R., Spencer, C. A., Palladino, M. A., & Killian, D. 2016. Concepts
of Genetics, Eleventh edition. London: Pearson Education Limited.
Milkman, R. D. 1965. THE Genetic Basis Of Natural Variation. Viii. Synthesis Of Cue
Polygenic Combinations From Laboratory Strains of Drosophila melanogaster.
New York.: Department of Zoology Syracuse Uniuersity, Syracuse.
Parvathi, D. V., Amritha A. S, & Paul, S. 2009. Wonder Animal Model For Genetic Studies -
Drosophila Melanogaster –Its Life Cycle And Breeding Methods – A Review. Journal
of Medicine. Vol. II, Issue 2.
Ramadani, S. D., Corebima, A. D., & Zubaidah, S. 2016. WAKTU PERKEMBANGAN
Drosophila melanogaster STRAIN Normal, white, DAN ebony PADA KONDISI
LINGKUNGAN GELAP KONSTAN. Prosiding Seminar Nasional Biologi.
Robert, B. 2012. Genetic Analysis dan Principles, fourth Edition. New York: McGrow-Hill.

Anda mungkin juga menyukai