Anda di halaman 1dari 19

KESEHATAN LINGKUNGAN DAN BIOMONITORING TUBUH MANUSIA

Makalah Teori

Untuk memenuhi tugas matakuliah kesehatan lingkungan


yang dibina oleh Bapak Dr. H. Sueb, M.Kes dan Ibu Yunita Rakhmawati, S. Gz., M. Kes.
Disajikan pada tanggal 25 Agustus 2019

Disusun Oleh :
Kelompok 1 Offering K 2017
1. Arief Hidayatullah (170342615561)
2. Rizqi Layli Khusufi (170342615601)
3. Sayli Salsabilla (170342615561)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN BIOLOGI
PRODI BIOLOGI
Agustus 2019
KESEHATAN LINGKUNGAN DAN BIOMONITORING TUBUH MANUSIA

Arief Hidayatullah, Rizqzi Layli Khusufi, Sayli Salsabila, Dr. H. Sueb, M.Kes., dan Yunita Rakhmawati, S. Gz., M.
Kes.

Rizqilaylikhusufi09@gmail.com dan sueb.fmipa@um.ac.id

Abstrak

Kerusakan lingkungan menyebabkan penurunan kesehatan manusia. Salah satu masalah lingkungan yang berkembang
saat ini yaitu bioakumulasi merkuri yang menimbulkan risiko kesehatan yang signifikan bagi manusia dan satwa liar
yang memakan ikan. Metode dari makalah ini adalah kajian dari referensi artikel jurnal internasional dan nasional,
serta berbagai buku yang membahasa kesehatan lingkungan dan biomonitoring tubuh manusia. Hasil dari kajian
referensi menunjukkan bahwa lingkungan sangan mempengaruhi kesehatan manusia, beberapa aktivitas manusia
dapat merusak ekosistem seperti adanya polusi, vector borne disease, pajanan bahan kimia, dan sebagainya
menimbulkan dampak yang negatif pada kesehatan manusia. Biomonitoring tubuh manusia digunakan untuk
mengukur pajanan bahan kimia dalam tubuh manusia. Tujuan dari penulisan makalah ini untuk mempelajari kesehatan
lingkungan, ekologi dan kesehatan manusia, dan biomonitoring tubuh manusia.
Kata kunci: Kesehatan lingkungan, ekologi, kesehatan manusia, biomonitoring tubuh manusia.

Abstract

Environmental damage causes a decrease in human health. One of the growing environmental problems today is the
mercury bioaccumulation which poses a significant health risk to humans and wildlife that eat fish. The method of
this paper is the study of references from international and national journal articles, as well as various books that
discuss environmental health and biomonitoring of the human body. The results of the reference study show that the
environment greatly affects human health, some human activities can damage ecosystems such as pollution, vector
borne disease, chemical exposure, and so on which have negative impacts on human health. Biomonitoring of the
human body is used to measure the exposure of chemicals in the human body. The purpose of writing this paper is to
study environmental health, ecology and human health, and biomonitoring of the human body.
Keywords: Environmental health, ecology, human health, human biomonitoring.
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kesehatan lingkungan merupakan keadaan fisik lengkap, mental, dan sosial dan bukan
hanya tidak adanya penyakit atau kelemahan. Kesehatan lingkungan terdiri dari aspek-aspek
kesehatan manusia, termasuk kualitas hidup, yang ditentukan oleh faktor fisik, kimia, biologis,
sosial dan psikososial di lingkungan [1]. Aktivitas manusia dengan cepat mengubah sebagian besar
sistem alami Bumi. Transformasi ini berdampak pada kesehatan manusia dan meningkatnya
berbagai penyakit [2]. Masalah lingkungan disebabkan oleh perubahan lingkungan dan ekologis
sebagai akibat dari proses perkembangan manusia ekonomi dan teknologi abad ini. Krisis
lingkungan yang timbul dari kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh beberapa bentuk polusi,
menipisnya sumber daya alam karena tingkat eksploitasi yang cepat dan meningkatnya
ketergantungan pada konsumsi energi dan teknologi yang merusak secara ekologis, hilangnya
habitat akibat ekspansi industri, perkotaan dan pertanian, pengurangan dan hilangnya populasi
ekologis karena penggunaan pestisida berlebihan dan herbisida beracun dan hilangnya beberapa
spesies tanaman karena praktik pemindahan habitat secara monokultur melalui pembukaan hutan
kini telah menjadi perhatian global [3].
Kerusakan lingkungan menyebabkan penurunan kesehatan manusia. Salah satu masalah
lingkungan yang berkembang saat ini yaitu bioakumulasi merkuri, merkuri adalah kontaminan
yang ada di mana-mana dalam ekosistem perairan, yang menimbulkan risiko kesehatan yang
signifikan bagi manusia dan satwa liar yang memakan ikan. Merkuri terakumulasi dalam jaring
makanan air sebagai methylmercury (MeHg), senyawa merkuri organik yang sangat beracun dan
persisten. Sementara merkuri di lingkungan sebagian besar berasal dari kegiatan antropogenik,
akumulasi MeHg dalam jaring makanan air tawar bukanlah fungsi sederhana dari input polusi
merkuri lokal atau regional. Studi menunjukkan bahwa bahkan lokasi dengan input merkuri yang
serupa dapat menghasilkan ikan dengan konsentrasi merkuri berkisar pada urutan besarnya [4].
Merkuri memiliki efek negatif pada kardiovaskular, hematologi, paru, ginjal, imunologis,
neurologis, endokrin, reproduksi, dan toksikologis embrionik [5].
Salah satu cara untuk mengukur paparan manusia dengan alam atau bahan kimia
berdasarkan sampling dan analisis terhadap jaringan individu dan cairan menggunakan
biomonitoring. Human Biomonitoring (HBM) adalah alat yang efektif untuk menilai paparan
manusia terhadap polutan lingkungan dan efek kesehatan potensial dari polutan tersebut.
Biomonitoring manusia digunakan sebagai indikator dan ukuran kuantitatif paparan bahan kimia
lingkungan dengan mengukur bahan kimia atau metabolitnya dalam jaringan atau cairan (misalnya
darah atau urin) [6]. Tujuan dari penulisan makalah ini untuk mempelajari kesehatan lingkungan,
ekologi dan kesehatan manusia, dan biomonitoring tubuh manusia.

Rumusan Masalah

1. Bagaimana evolusi kesehatan lingkungan ?


2. Bagaimana ekologi dapat mempengaruhi kesehatan manusia ?
3. Bagaimana biomonitoring tubuh manusia dapat dijadikan sebagai metode untuk mengetahui
pengaruh paparan zat kimia ke dalam tubuh manusia terhadap kesehatan ?
Tujuan

1. Mengetahui evolusi kesehatan lingkungan?


2. Mengetahui ekologi dapat mempengaruhi kesehatan manusia
3. Mengetahui biomonitoring tubuh manusia dapat dijadikan sebagai metode untuk mengetahui
pengaruh paparan zat kimia ke dalam tubuh manusia terhadap kesehatan?

Manfaat

1. Memberikan wawasan tentang evolusi kesehatan lingkungan?


2. Memberikan wawasan tentang ekologi dapat mempengaruhi kesehatan manusia
3. Memberikan wawasan tentang biomonitoring tubuh manusia dapat dijadikan sebagai metode
untuk mengetahui pengaruh paparan zat kimia ke dalam tubuh manusia terhadap kesehatan?
KAJIAN PUSTAKA

Kesehatan lingkungan
Kesehatan lingkungan berasal dari dua kata yaitu kesehatan dan lingkungan. Kesehatan
merupakan keadaan mental yang sehat diakibatkan oleh interaksi yang kondusif antara potensi
individu, tuntutan hidup, dan faktor penentu sosial dan lingkungan[7]. Merriam-Webster’s
Collegiate Dictionary mendefinisikan lingkungan menjadi dua yaitu lingkungan merupakan
suasana, objek, atau kondisi yang mengelilingi kita dan lingkungan merupakan faktor fisika, kimia,
dan biotik (seperti iklim, tanah , dan makhluk hidup) yang bertindak atas suatu organisme atau
komunitas ekologis dan akan menentukan bentuk dan kelangsungan hidup[8]. Sehingga kesehatan
lingkungan merupakan kualitas hidup yang dipengaruhi oleh factor eksternal seperti factor fisika,
kimia, dan biologis yang mempengaruhi keadaan tubuh manusia (termasuk udara dan air bersih,
tempat kerja yang sehat, rumah yang aman, ruang komunitas dan jalan serta perubahan iklim) [7].
Lingkungan memiliki peran utama bagi kesehatan manusia seperti kualitas air, kualitas
udara, dan kualitas makanan. Disatu sisi yang lain lingkungan juga menyediakan peningkatan
ekonomi, peningkatan fasilitas yang akan merusak lingkungan itu sendiri [9]. Manusia merupakan
peran utama dalam kesehatan lingkungan karena tindakan manusia dapat mempengaruhi dan
dipengaruhi oleh lingkungan sehingga pengaruh itu akan menjadi suatu aliran energy pada
lingkungan [8]. Selain itu dengan bertambahnya populasi dan urbanisasi juga akan merusak
kesehatan lingkungan [9] Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa secara
global 24% penyakit dan 23% kematian dini disebabkan oleh faktor lingkungan — untuk Amerika
Utara, perkiraan ini masing-masing adalah 14% dan 15% [10]. Factor lingkungan yang berpotensi
mempengaruhi kesehatan yaitu kontaminan udara, makanan dan air, radionuklida, bahan kimia
beracun, limbah, vektor penyakit, bahaya keselamatan dan perubahan habitat [11]. Memang, bukti
global menunjukkan bahwa faktor lingkungan memiliki efek kesehatan yang merugikan bagi
manusia mulai dari penyakit menular, hingga penyakit tidak menular seperti kesehatan mental,
kanker, dan penyakit kardiovaskular [12]
Kesehatan lingkungan diatur dalam peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 66
tahun 2014 tentang Kesehatan Lingkungan [13]. Praktisi kesehatan lingkungan harus menyadari
tindakan yang mungkin terjadi dalam penegakan peraturan kesehatan lingkungan. Tindakan ini
termasuk:(1) penyimpangan, yang merupakan pelaksanaan tindakan yang sah secara illegal; (2)
penyimpangan, yang merupakan perilaku yang salah oleh pejabat publik; dan (3) ketidakadilan,
yang merupakan kelalaian dalam melakukan apa yang harus dilakukan dalam tindakan resmi [14].
Perkembangan kesehatan lingkungan dimulai dari bangkitnya industry di Eropa pada abad
ke-17 dan ke-18. Awal mulanya di Eropa, pada abad ke-14 terjadi serangan hama oleh tikus di
kota. Selain itu di mesir juga terjadi kerusakan sanitasi lingkungan dan kurangnya air bersih [8].
Kesehatan lingkungan modern muncul pada abad ke-20, saat itu manusia sadar bagaimana cara
memperlakukan lingkungan dengan baik sehingga tidak hanya membangun industry namun juga
membangun kondisi lingkungan yang sejahtera untuk manusia [8]. Pada tahun 1832 Sir Edwin
Chadwick mengusulkan “ide saniter” berupa permohonan kepada dewan kesehatan setempat untuk
menyediakan drainase yang tepat, membuka jalan yang bersih dan melebar, menyediakan air
minum, dan membuat peraturan sanitasi. Dia juga merekomendasikan penunjukan Petugas Medis
Kesehatan dan Inspektur Gangguan. Karyanya dihargai atas kontribusinya yang sekarang dikenal
sebagai Kesehatan Lingkungan [11]. Seiring berjalannya waktu, Kesehatan Lingkungan telah
berevolusi dengan perubahan dalam banyak aspek terutama lingkungan mengenal teknologi [11],
[15]. Evolusi pada kesehatan Lingkungan memiliki pengaruh besar dan perubahan pada penyakit
termasuk penyakit kronis dan penyakit menular serta muncul penyakit baru [16]. Pertumbuhan
ekonomi selama 20-50 tahun terakhir, beberapa negara telah melewati apa yang dikenal sebagai
"transisi epidemiologis". Di negara-negara yang lebih maju ini, ancaman penyakit infeksi klasik
terhadap kesehatan anak-anak sebagian besar telah dikendalikan melalui penyediaan air minum
yang aman, makanan yang memadai, pembuangan limbah dan imunisasi. Kematian bayi juga
menurun tajam. Penyakit dominan yang kini dihadapi anak-anak adalah penyakit kronis dan
melumpuhkan disebut "morbiditas pediatrik baru" seperti asma, leukemia dan kanker [17].
Di seluruh dunia, kesehatan anak-anak menurun oleh paparan alami atau bahan kimia
beracun buatan manusia yang menyebar melalui udara, air, tanah, dan rantai makanan. Anak-anak
berisiko terpapar sekitar 15.000 volume bahan kimia yang diproduksi dalam jumlah yang banyak
dan terbesar di seluruh dunia dan yang memiliki potensi untuk disebarluaskan secara luas di
lingkungan, hampir semuanya berkembang dalam 50 tahun terakhir. Bahan kimia ini termasuk zat
neurotoksik seperti timah, merkuri, bifenil poliklorinasi (PCB), pelarut, dan pestisida [17]. Kurang
dari setengah dari volume tinggi bahan kimia produksi ini telah diuji potensi toksisitasnya, dan
lebih tinggi lagi kemungkinan toksisitas perkembangannya terhadap janin, bayi, dan anak-anak.
Semakin lama, semakin dipahami bahwa paparan anak-anak terhadap bahan-bahan kimia ini telah
berkontribusi pada perubahan pola penyakit anak dan terutama pada meningkatnya insiden
penyakit kronis tertentu pada anak-anak [17].

Ekologi dan Kesehatan Manusia


Ekologi merupakan cabang dari biologi yang mempelajari hubungan timbal balik antara
makhluk hidup dengan lingkungannya termasuk komponen biotik dan abiotik [1], [18]. Ekologi
terdiri tiga perspektif yang berbeda tetapi saling melengkapi yang sering dianggap sebagai
subdisiplin utama yang meliputi ekologi ekosistem, ekologi komunitas, dan ekologi populasi [1].
Ekologi penting dipelajari karena pada saat ini banyak terjadi kerusakan lingkungan yang dapat
mempengaruhi kualitas hidup organisme. Di dalam kota, kontribusi ekologis terhadap kerentanan
kesehatan perkotaan bergantung pada hubungan antara komunitas biologis, pertukaran material
dan energi yang dimediasi secara ekologis, beragam jaringan sosial, dan beberapa teknologi [1].
Pendorong perubahan lingkungan global (Perubahan penggunaan lahan, kelangkaan sumber daya,
atau perubahan iklim) dapat secara langsung menimbulkan risiko kesehatan atau merusak layanan
ekosistem yang selanjutnya memengaruhi kesehatan. Namun, kerentanan tingkat populasi akan
dimodifikasi oleh berbagai lapisan hambatan sosial atau infrastruktur yang dapat melindungi atau
menghilangkan risiko yang terkait dengan paparan tersebut (Gambar lampiran 1) [2].
Fungsi Ekosistem dan Dampak Perubahan Ekosistem pada Manusia

Ekosistem berfungsi sebagai penyediaan air bersih. Ekosistem, terutama hutan bertindak
sebagai reservoir menahan air. Melalui proses evapotranspirasi, vegetasi hutan mengambil air dari
tanah dan melepaskannya ke atmosfer. Beberapa fungsi yang berkontribusi banyak pada siklus
hidrologi, secara efektif mendaur ulang air bekas dan air yang tidak digunakan, menghilangkan
kotoran, dan menyalurkan air bersih. Air tawar adalah sumber daya utama bagi kesehatan manusia.
Sebagai akibat dari degradasi ekosistem, pertumbuhan populasi, dan infrastruktur pengolahan air
dan distribusi air yang tidak memadai, lebih dari satu miliar orang di dunia tidak memiliki akses
ke air bersih. Secara keseluruhan, beban tahunan penyakit akibat air yang tidak memadai, sanitasi,
dan kebersihan total 1,7 juta kematian dan hilangnya lebih dari 54 juta tahun hidup sehat [1].
Polusi air dari air limbah industri (yang masuk ke dalam air menyebabkan beragam
kontaminan seperti deterjen, asam sulfat, asam hidrofluorik, fenol, eter, benzen, amonia dan
sebagainya), produk pertanian (insektisida, pestisida, herbisida, dan nitrat dari pupuk) menjadi
perhatian yang terus meningkat. Infus polutan tidak hanya di sungai, danau dan di sepanjang
pantai, tetapi juga air tanah, di mana pemurnian hampir tidak mungkin telah meningkatkan
ancaman epidemi hepatitis, disentri, penyakit yang ditularkan melalui air lainnya, dan keracunan
oleh bahan kimia [18].
Ekosistem berfungsi sebagai daur ulang limbah (nutrisi, patogen, dan penguraian racun).
Proses ekosistem yang menghasilkan pemecahan limbah organik dan penyaringan bahan yang
tersuspensi, termasuk patogen merupakan mekanisme yang efektif untuk membersihkan
lingkungan dari limbah. Ekosistem alami dapat memurnikan dan mendetoksifikasi air limbah
sehingga beberapa kota telah memulihkan lahan basah untuk menggunakannya untuk pengolahan
air limbah tersier. Sifat-sifat penyaringan dan degradasi mikroba dari lahan basah, seperti rawa-
rawa dan tepi sungai yang terdiri dari tanah bersifat jenuh dengan air mampu secara fisik
menghilangkan atau menghancurkan bahan kimia yang paling beracun dan logam berat serta
patogen manusia. Lahan basah merupakan salah satu ekosistem dunia yang paling terancam punah
karena lahan basah pesisir, sungai, dan aliran anak sungai hulu sering digunakan untuk
pembangunan kota. Hilangnya kapasitas daur ulang air ini sekarang telah menyebabkan akumulasi
limbah lokal dan global karena ekosistem yang tersisa tidak dapat menyerap dan menghilangkan
kontaminan [1].
Ekosistem sebagai regulasi penyakit menular. Ekosistem sangat memengaruhi timbulnya
penyakit zoonosis dan penyakit yang ditularkan melalui vektor pada populasi manusia dan potensi
munculnya penyakit baru yang signifikan secara epidemiologis. Ekosistem menawarkan
serangkaian pemeriksaan dan keseimbangan yang cenderung mencegah spesies tertentu (termasuk
inang, vektor, atau spesies patogen) menyebar secara luas. Fungsi moderat ini cenderung rusak
dengan pembukaan ekosistem alami, seperti penebangan hutan atau perluasan lahan pertanian dan
padang rumput. Perubahan artifisial dalam distribusi dan ketersediaan air permukaan, seperti yang
terjadi melalui pembangunan bendungan, irigasi, dan pengalihan aliran, memiliki efek yang
serupa. Intensifikasi praktik peternakan dan produksi ternak menghasilkan peningkatan
konsentrasi, pergerakan, dan pencampuran baru spesies hewan dan produk hewani serta limbah
memfasilitasi budidaya dan pemeliharaan strain patogen baru, sebagaimana dibuktikan dalam
pengembangan flu burung (H5N1) [1].
Ekosistem berfungsi sebagai regulasi iklim. Secara khusus, pembukaan dan pembakaran
hutan tropis di seluruh dunia telah menjadi kontributor utama peningkatan percepatan karbon
dioksida di atmosfer bumi sehingga menyebabkan pemanasan global dalam beberapa dekade
terakhir. Di tingkat regional dan lokal, ekosistem alami dan yang dikelola sangat mempengaruhi
iklim karena sifat fisik yang mempengaruhi aliran energi dan curah hujan. Sebagai contoh,
konversi tutupan lahan bervegetasi ke permukaan yang mengeras yang terkait dengan urbanisasi
menghasilkan efek panas di perkotaan. Dengan cara ini ekosistem dapat mengintensifkan peristiwa
cuaca ekstrem seperti gelombang panas, cuaca beku, badai, dan banjir. Ekosistem yang utuh
membatasi derajat dan tingkat dampak cuaca buruk pada kesehatan masyarakat, secara langsung
melalui pengurangan kematian dan secara tidak langsung melalui pembatasan gangguan ekonomi,
kerusakan infrastruktur, dan perpindahan penduduk. Ekosistem dan cara pengelolaannya juga
dapat memiliki dampak negatif atau positif yang kuat pada kualitas udara dan risiko kesehatan
terkait [1].
Berbagai Dimensi Pengaruh Ekologis Terhadap Kesehatan Manusia

Vector borne diseases (VBD)


VBD didefinisikan sebagai penyakit menular pada hewan dan manusia yang
disebabkan oleh agen patogen seperti bakteri, cacing, protozoa dan virus yang ditularkan
oleh vektor arthropoda hematofag [19], yang meliputi kutu busuk, pengusir hama, lalat
hitam, kutu, kutu mencium, kutu, kutu, tungau, kutu , nyamuk, lalat pasir dan kutu, antara
lain [20]. Dari vektor arthropoda hematophagous, nyamuk adalah vektor utama untuk agen
infeksius manusia, sementara kutu adalah vektor utama untuk sebagian besar zoonosis di
seluruh dunia. Lebih jauh lagi, kutu adalah vektor yang bertanggung jawab untuk
mentransmisikan berbagai agen penular terbesar ke hewan dan manusia [21]. Perubahan
ekosistem mempengaruhi distribusi dan siklus epidemi patogen VBD, menghasilkan
transmisi yang tidak stabil dan pengaturan evolusi. Perubahan ekologis yang paling
signifikan sehubungan dengan munculnya penyakit menular telah didorong oleh aktivitas
manusia [22], seperti perubahan iklim, deforestasi hutan tropis, fragmentasi habitat,
hilangnya keanekaragaman hayati, pergerakan hewan, urbanisasi, praktik pertanian,
pertumbuhan populasi manusia dan migrasi [23]. Perubahan iklim memainkan peran
penting dalam kemunculan VBD, karena peningkatan variabilitas iklim menyebabkan
perubahan siklus iklim basah dan kering. Pada musim kemarau, vektor biasanya ditekan
ketika tempat berkembang biak berkurang, tetapi ketika siklus banjir mengikuti kondisi ini
memperburuk kemunculan vektor, terutama di mana siklus hidupnya lebih pendek
daripada pemangsa mereka [22].

Polusi
Polusi biasanya merujuk pada zat berbahaya yang dilepaskan ke lingkungan
sebagai hasil dari aktivitas manusia. Polusi udara dapat dibuat oleh manusia atau terjadi
secara alami di lingkungan. Polutan buatan manusia disebabkan oleh pembakaran bahan
bakar fosil, industri, pembakaran limbah, asap, gas dari kendaraan, kapal, dan pesawat
terbang, misalnya kebakaran dari semak belukar/ hutan juga merupakan sumber utama
polusi dalam bentuk asap dan karbon hitam. Terdapat juga berbagai penyebab alami
termasuk letusan gunung berapi yang mengeluarkan sejumlah besar sulfur dan gas lainnya.
Menurut World Health Organization (WHO), CO, sulfur oxides, nitrogen oxides, dan
timbal (Pb) merupakan enam polutan udara utama yang membahayakan kesehatan manusia
dan juga ekosistem. Terdapat banyak polutan bahan tersuspensi seperti debu, asap, polutan
gas, hidrokarbon, volatile organic compounds (VOCs), polycyclic aromatic hydrocarbons
(PAHs), dan turunan halogen di udara yang pada konsentrasi tinggi menyebabkan
kerentanan terhadap banyak penyakit termasuk berbagai jenis kanker [24], [25].
Kompartemen tanah mendukung produksi makanan manusia dan merupakan
komponen yang signifikan dalam total stok sumber daya alam. Komponen utama tanah
adalah bahan anorganik, sebagian besar diproduksi oleh pelapukan batuan dasar atau bahan
induk lainnya, berbagai bentuk bahan organik, gas, dan air yang dibutuhkan oleh tanaman
dan organisme tanah, dan nutrisi larut yang digunakan oleh tanaman. Tanah mendukung
siklus dan pasokan nutrisi dan menyimpan air untuk produksi biomassa. Tanah dapat
mempengaruhi kualitas keberadaan manusia baik melalui kualitas produk pertanian.
Gangguan antropogenik tanah dapat menyebabkan perubahan kritis dalam biosfer, yang,
pada akhirnya, dapat mengancam keberadaan manusia [26].
Polusi tanah biasanya disebabkan oleh aktivitas industri, bahan kimia yang
digunakan dalam pertanian dan pembuangan limbah yang tidak benar. Kontaminasi tanah
menyebabkan risiko kesehatan karena kontak langsung dan tidak langsung dengan tanah
yang terkontaminasi. Polusi tanah menyebabkan gangguan besar dalam keseimbangan
ekologis dan kesehatan organisme terancam. Biasanya tanaman tidak bisa tumbuh dan
berkembang pada tanah yang tercemar. Namun, jika beberapa tanaman berhasil tumbuh,
maka tanaman ini mungkin telah menyerap bahan kimia beracun dalam tanah dan dapat
menyebabkan masalah kesehatan yang serius pada orang yang mengkonsumsinya.
Terkadang polusi tanah berupa peningkatan salinitas tanah. Dalam kasus seperti itu, tanah
menjadi tidak sehat untuk tumbuhan dan dapat menyebabkan tanaman steril. Orang yang
tinggal di dekat tanah yang tercemar cenderung memiliki gejala seperti migrain, mual,
kelelahan, dan gangguan pada kulit. Beberapa efek jangka panjang dari polusi tanah
termasuk kanker, leukemia, gangguan reproduksi, kerusakan ginjal dan hati, dan kegagalan
sistem saraf pusat [26].
Air yang tercemar merupakan agen penyakit yang potensial seperti kolera, tipus,
dan tuberkulosis. Polutan air utama pada ekosistem laut yaitu minyak yang tumpah dalam
jumlah besar dari tanker industri minyak yang dapat membunuh rumput laut, moluska,
krustasea, ikan, dan organisme laut lainnya yang berfungsi sebagai sumber makanan bagi
manusia. Hal tersebut menyebabkan makanan yang dikonsumsi manusia kekurangan
kalsium. Beberapa insektisida seperti Dichlorodiphenyltrichloroethane (DDT) sangat
berbahaya bila dibiarkan masuk ke dalam perairan karena konsentrasinya meningkat di
sepanjang rantai makanan. Polusi air dapat menurunkan kesehatan manusia. Agen
pembawa penyakit seperti bakteri dan virus dibawa ke permukaan dan air tanah. Kerusakan
langsung terhadap nutrisi tanaman dan hewan juga mempengaruhi kesehatan manusia.
Nutrisi tanaman termasuk nitrogen, fosfor dan zat lain yang mendukung pertumbuhan
kehidupan tanaman air yang berlebihan menyebabkan pertumbuhan gulma. Hal tersebut
menyebabkan air memiliki bau, rasa, dan terkadang warna. Belerang dioksida dan nitrogen
oksida menyebabkan hujan asam yang menurunkan nilai pH tanah dan emisi karbon
dioksida menyebabkan pengasaman laut [27].

Racun dan Biomagnifikasi


Biomagnifikasi didasarkan pada bioakumulasi yang terjadi ketika organisme
(termasuk manusia) mengambil kontaminan lebih cepat daripada yang dapat dihilangkan
oleh tubuh manusia. Merkuri memberikan contoh kunci dari biomagnifikasi kation dari
bahan beracun. Merkuri dikenal sebagai polutan lingkungan yang dapat menimbulkan
masalah kesehatan manusia. Ikan dan satwa liar lainnya di berbagai ekosistem biasanya
memiliki konsentrasi merkuri yang menjadi perhatian toksikologis ketika dimakan oleh
manusia. Merkuri memasuki ekosistem sebagai hasil dari proses alami dan aktivitas
manusia (terutama pembakaran batubara, karena batubara dapat terkontaminasi merkuri)
dan dikonversi ke berbagai bentuk, termasuk metilmerkuri bentuk organik yang sangat
beracun yang dapat terakumulasi secara biologis [1].
Pollutan organic persistance (POPs) menyediakan contoh lain dari zat kimia
beracun yang dapat melakukan biomagnifikasi berbahaya. Dengan degradasi yang lambat
atau tidak ada, zat tersebut bertahan di lingkungan dan dapat diangkut oleh angin atau air.
Seperti halnya merkuri, POPs dapat mengancam kehidupan satwa liar dan manusia.
Sebagai contoh, banyak pestisida yang digunakan secara luas (seperti DDT), bahan kimia
seperti polychlorinated biphenyls (PCBs), dan produk samping pembakaran seperti dioxin
merupakan POPs yang dapat beracun bahkan pada tingkat paparan yang sangat rendah.
Seperti halnya merkuri, mekanisme yang mendorong biomagnifikasi POPs adalah
bioakumulasi dalam piramida trofik ekosistem, autotrof dan konsumen primer
mengakumulasi POPs menghasilkan konsentrasi yang lebih besar daripada yang
ditemukan di lingkungan sekitarnya. Ketika organisme tersebut dikonsumsi oleh
heterotrof, POPs menjadi lebih terkonsentrasi. POPs tingkat rendah di lingkungan dapat
dengan cepat menjadi berbahaya dengan konsentrasi tinggi pada organisme yang memberi
makan pada tingkat trofik yang lebih tinggi [1].
Biomonitoring Manusia
Manusia selama dalam hidupnya tentu terpapar oleh berbagai macam polutan yang berasal
dari lingkungan. Polutan dan juga kontaminan masuk ke dalam tubuh manusia melalui beberapa
cara diantaranya melalui pernapasan, pencernaan, dan paparan langsung ke kulit dengan dosis
tertentu [28]. Untuk mengetahui seberapa besar paparan kontaminan atau polutan yang diserap
oleh tubuh, maka dikembangkanlah teknik biomonitoring tubuh manusia. Biomonitoring tubuh
manusia merupaan suatu metode yang digunakan untuk mengukur secara langsung seberapa besar
polutan atau kontaminan yang masuk ke dalam tubuh manusia dengan cara analisis kadar
kontaminan atau produk turunannya dalam cairan tubuh atau jaringan tubuh [29]. Data yang
dihasilkan dari analisis biomonitoring tubuh manusia menjadi sangat penting terutama di ranah
kesehatan masyarakat karena dapat menjadi gambaran apakah masyarakat pada lingkungan
tersebut terpapar suatu kontaminan dalam jumlah yang berbahaya atau tidak sehingga data dari
biomonitoring ini dapat digunakan sebagai data awal untuk kajian mengenai apakah suatu
lingkungan dapat dikategorikan layak huni atau tidak [30].
Teknik biomonitoring manusia sudah dikembangkan setidaknya semenjak tahun 1930-an
terutama untuk mendeteksi paparan senyawa berbahaya yang terjadi pada para pekerja dengan
resiko tinggi seperti para pekerja di industri yang memanfaatkan logam berat. Teknik
biomonitoring manusia pada awalnya merupakan pengembangan dari teknik pengobatan yang
sudah ada yang kemudian dikembangkan sedemikian rupa sehingga mampu mendeteksi paparan
kontaminan melalui cairan tubuh [29]. Dengan kondisi masyarakat yang semakin sadar dengan
kesehatan lingkungannya, maka biomonitoring tubuh manusia menjadi suatu acuan bagaimana
nantinya kebijakan pemerintah mengenai kesehatan masyarakat disusun karena pada dasarnya
kebijakan tersebut harus senantiasa memperhatikan serta memperhitungkan bagaimana kandungan
zat kimia terutama yang berpotensi sebagai kontaminan di udara, tanah, air, makanan, dan juga
produk konsumsi lainnya serta sumber-sumber lainnya. Biomonitoring manusia memberikan
peluang untuk menganalisis kondisi aktual zat-zat kontaminan pada tubuh manusia yang masuk
sebagai akibat dari paparan lingkungan pada suatu waktu [31]. Seiring dengan perkembangan ilmu
pengetahuan, maka teknik biomonitoring manusia bahkan bisa mendeteksi lebih banyak zat
dengan konsentrasi yang jauh lebih kecil pada sampel cairan tubuh maupun jaringan yang
digunakan, namun satu analisis biomonitoring manusia hanya akurat pada suatu waktu tertentu
dan kurang akurat jika harus menggambarkan jumlah paparan zat dalam jangka waktu yang lama
[32].
Senyawa kimia tertentu dan juga hasil turunan metabolismenya dapat dideteksi melalui
berbagai macam komponen biologis seperti darah, urin, rambut, semen, air susu, atau saliva.
Masing-masing senyawa kimia memiliki karakteristik tertentu sehingga untuk menguji
konsentrasinya di dalam tubuh diperlukan media yang berbeda sesuai dengan sifat bahan kimianya.
Sebagai contoh air susu merupakan komponen biologis yang umum digunakan untuk mendeteksi
senyawa yang sifatnya lipofilik, bioakumulatif, dan juga beberapa jenis toksin. Beberapa senyawa
yang sifatnya lipofilik juga dapat dideteksi di darah, sedangkan senyawa yang sifatnya hidrofilik
dapat dideteksi pada urin [33]. Beberapa jenis senyawa kimia yang dapat terdeteksi melalui
analisis biomonitoring tubuh manusia antara lain timbal, raksa, arsenic, cadmium, perklorat, BPA,
DDT, formaldehid, dll [34]. Metode-metode biomonitoring pada manusia yang umum digunakan
pada saat ini umumnya bersifat non-invasif yang artinya tidak merusak jaringan fungsional yang
sehat pada tubuh. Hal ini dikarenakan kelarutan berbagai macam senyawa dalam cairan tubuh atau
komponen tubuh seperti rambut sudah mampu memberikan gambaran jelas konsentrasi zat kimia
dalam tubuh [35] .
Ketika manusia terpapar oleh berbagai macam zat kimia, belum tentu zat kimia yang masuk
ke dalam tubuh merupakan zat berbahaya. Walaupun tubuh terpapar zat berbahaya, namun belum
tentu membahayakan manusia tersebut secara langsung karena umumnya manusia memiliki batas-
batas toleransi yang dapat digunakan sebagai acuan untuk menilai hasil biomonitoring. Beberapa
istilah yang ada dalam biomonitoring antara lain.
 Acceptable Daily Intake (ADI) yaitu perkiraan jumlah maksimum senyawa agen persatuan
massa tubuh dimana individu pada populasi terpapar zat tersebut sehari-hari tanpa
menimbulkan efek pada kesehatannya.
 Tolerable Daily Intake (TDI) secara garis besar mirip dengan ADI namun digunakan pada
agen seperti kontaminan pada makanan.
 Reference dose (RfD) yaitu perkiraan paparan oral harian suatu agen pada populasi manusia
yang tidak menyebabkan efek kesehatan yang berarti selama hidupnya.
 Minimal Risk Level (MRL) merupakan perkiraan paparan harian suatu senyawa berbahaya
pada suatu individu yang tidak menyebabkan efek kesehatan yang berarti selama kurun
waktu tertentu [36]
Beberapa standar digunakan dalam pengukuran HBM, salah satu yang dapat dijadikan contoh
adalah German Human Biomonitoring Values (HBM-I dan HBM-II). Komisi Biomonitoring
Manusia Jerman mengklasifikasikan dua level paparan biologis dalam menentukan HBM yaitu
HBM-I dan HBM-II. HBM-I merupakan nilai kontrol sedangkan HBM-II memerlukan suatu aksi
lanjutan. Nilai HBM-I menunjukkan konsentrasi dari beberapa substrat dalam matriks tubuh yang
menurut komisi tidak menyebabkan pengaruh terhadap kesehatan yang signifikan. Dalam
perspektif toksikologi maka apabila suatu zat nilainya dibawah HBM-I maka tidak perlu tindakan
untuk menanganinya. Ketika suatu zat nilainya diantara HBM-I dan HBM-II maka perlu dilakukan
verifikasi lebih lanjut melalui mekanisme analisis lanjutan, dan apabila terkonfirmasi maka harus
diadakan tindakan terhadap sumber paparan zat tersebut. Nilai HBM-II menunjukkan konsentrasi
dari beberapa substrat dalam matriks tubuh yang menurut komisi dapat menyebabkan pengaruh
terhadap kesehatan sehingga diperlukan tindakan segera baik kepada individu yang terpapar
maupun sumber paparan zat tersebut [37].

Gambar 2. Contoh Tabel Nilai HBM-I dan HBM-II Berdasarkan Parameter pada Kelompok
Populasi [36]
PEMBAHASAN

Ekologi merupakan ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara makhluk hidup
dengan lingkungannya. Ekologi sangat penting dipelajari karena lingkungan sangat mempengaruhi
kualitas hidup makhluk hidup. Sesuai dengan pendapat van den Bosch & Depledge pengetahuan
tentang lingkungan juga penting menunjukkan bagaimana restorasi ekologis bekerja secara aktif
menangani, dan memperbaiki, penyakit lingkungan. Ekosistem yang sehat bermanfaat bagi
kesehatan dan kesejahteraan manusia [38]. Lingkungan yang sehat dapat melindungi manusia dari
bencana alam. Misalnya, sistem penghalang pantai seperti hutan bakau dan terumbu karang yang
memberikan perlindungan dari peristiwa cuaca ekstrem untuk populasi pesisir [39]. Menurut
Elmqvist et al lingkungan yang sehat dapat memberikan kesejahteraan psikologis manusia [40].
Ekosistem yang sehat dapat menyediakan barang dan jasa dasar yang diperlukan untuk
kelangsungan hidup manusia. Misalnya, spesies serangga yang bertindak sebagai penyerbuk bagi
banyak tanaman. Penurunan lebah di seluruh dunia dan spesies penyerbuk lainnya menggunaan
pestisida yang berlebihan dapat membahayakan sepertiga dari tanaman pangan manusia. Selain
itu, ekosistem hutan juga berpengaruh pada kesehatan manusia karena ekosistem hutan bertindak
sebagai filter dan pelindung tanah lapisan atas, membantu menjaga air bersih dan udara bersih
untuk populasi [41].
Kesehatan lingkungan merupakan hal penting yang mempengaruhi kualitas hidup makhluk
hidup. Kesehatan lingkungan merupakan kesehatan yang sangat penting bagi kelancaran
kehidupan pribumi, Karena lingkungan merupakan tempat dimana makhluk hidup untuk tinggal.
Penyakit dapat menjangkiti manusia karena lingkungan yang tidak sehat. Pada abad ke-20
pembangunan di Eropa sangat pesat. Hal ini lah yang membuat kesehatan lingkungan berkembang
pesat. Karena pembangunan industri tersebut sangat berpengaruh dengan kesehatan. Partikel yang
berupa bahan kimia dan fisika di lingkungan dapat mempengaruhi IAQ (Indoor Air Quality) selain
itu juga dapat membawa virus influenza [42]. Tidak hanya ditinjau dari kesehatan udara, kesehatan
lingkungan juga ditinjau dari kondisi air, tanah dan juga sumber makanan [17]. Semakin
meningkatnya pembangunana industry maka semakin meningkatnya jumlah kematian. Kematian
yang meningkat dapat disebabkan kesehatan lingkungan yang tidak memadai, selain itu juga
karena tidak merasakan rugi jika lingkungan itu tidak sehat. Untuk meningkatkan kesehatan
lingkungan maka harus mengevaluasi keefektifan layanan air dan sanitasi yang dikelola dengan
aman [43]. Kesehatan lingkungan tidak hanya ditinjau dari lingkungan luar, kesehatan lingkungan
di dalam rumah juga berpengaruh. Kelembaban di dalam rumah dapat mempengaruhi
kelangsungan hidup, penularan virus, kualitas tidur. Risiko gejala penyakit dikarenakan udara
yang lembab tetap ada [44].
Secara biologis, manusia tidak bisa lepas dari lingkungannya karena lingkungan tempat
manusia hidup memberikan aneka sumber daya yang dapat dimanfaatkan dalam kehidupan
manusia. Lingkungan hidup manusia tidak hanya memberikan sumber daya yang bermanfaat bagi
kehidupan manusia, namun juga zat-zat yang berbahaya dan dapat mengganggu kesehatan
manusia juga dapat ditemukan di lingkungan. Karena manusia selalu melakukan kontak
lingkungannya, maka otomatis paparan zat-zat berbahaya yang ada di lingkungan juga sulit
dihindari. Mekanisme masuknya zat berbahaya dapat melalui kulit, mulut, maupun saluran
pernapasan [28]. Paparan zat dari lingkungan dapat bersifat berbahaya bagi kesehatan manusia
maupun tidak, maka diperlukan suatu mekanisme yang mampu mengukur paparan zat yang masuk
ke dalam tubuh manusia, oleh karena itu dikembangkanlah teknik biomonitoring manusia [36].
Parameter-parameter disusun sebagai tolak ukur tingkatan bahaya suatu zat paparan. Umumnya
zat-zat baik yang berbahaya maupun yang tidak akan berada di cairan tubuh seperti saliva, darah,
urin, dan air susu, bahkan ada juga yang sampai ke rambut. Oleh karena itu ada beberapa tes yang
dapat mendeteksi kandungan senyawa kimia tertentu dalam tubuh manusia hanya dari rambutnya
karena rambut mampu menyimpan beberapa senyawa atau derivatnya dalam jangka waktu
tertentu, contohnya digunakan dalam tes narkoba. Karakteristik senyawa kimia sangat menentukan
apakah zat tersebut akan terlarut dalam darah, urin, air susu, keringat, saliva, atau bahkan masuk
ke jaringan [35].
Dalam bidang kesehatan lingkungan, mekanisme biomonitoring manusia dapat digunakan
sebagai data acuan untuk menyusun peraturan mengenai kesehatan lingkungan oleh pihak yang
berwenang atau juga sebagai tanda maupun peringatan tentang cemaran zat kimia apa yang
berpotensi mengganggu kesehatan masyarakat sehingga dapat menentukan langkah selanjutnya
apakah nantinya akan dilakukan proses pembersihan, atau penanganan dalam skala seperti
evakuasi masyarakat ke tempat yang lebih aman karena nilai paparan yang sudah terlampau tinggi
karena dinilai lingkungan yang ditempati sudah tidak layak [30]. Tentu untuk menjadikan hasil
biomonitoring sebagai acuan, maka skala analisis yang dilakukan harus dalam skala besar yang
dapat mewakili bagaimana keadaan lingkungan serta masyarakat yang sesungguhnya sehingga
keputusan yang nantinya diambil akan memberikan dampak positif bagi masyarakat.
PENUTUP

Simpulan

Ekologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang interaksi antara organisme dan lingkungannya,
termasuk komponen yang hidup (biotik) dan tidak hidup (abiotik). Perubahan ekologis mulai dari
kerusakan habitat hingga gangguan pada siklus nutrisi dapat mempengaruhi kesehatan manusia,
seperti polusi udara, air, dan tanah, paparan merkuri dalam tubuh manusia, dan beberapa penyakit
yang dibawa oleh vektor. Salah satu metode untuk mengetahui adanya paparan zat kimia dalam
tubuh manusia dan dampak zat kimia tersebut terhadap kesehatan manusia menggunakan
biomonitoring tubuh manusia.

Saran

Perubahan lingkungan sangat mempengaruhi kesehatan manusia, diharapkan penulis selanjutnya


memberikan banyak wawasan tentang kesehatan lingkungan yang meliputi mikroorganisme
bersifat patogen yang disebarkan melalui vektor, polusi, pemanfaatan dan pengelolahan
sumberdaya alam dengan menerapkan sistem berkelanjutan dengan tujuan tidak terjadi perubahan
ekologis yang berdampak negatif pada makhluk hidup.
LAMPIRAN
DAFTAR RUJUKAN

[1] H. Frumkin, Ed., Environmental health: from global to local, 2nd ed. San Francisco, CA: Jossey-
Bass, 2010.
[2] S. S. Myers et al., “Human health impacts of ecosystem alteration,” Proceedings of the National
Academy of Sciences, vol. 110, no. 47, pp. 18753–18760, Nov. 2013.
[3] R. R. Appannagari, “Environmental Pollution Causes and Consequences: A Study,” vol. 3, Aug.
2017.
[4] D. M. Ward, K. H. Nislow, and C. L. Folt, “Bioaccumulation syndrome: identifying factors that
make some stream food webs prone to elevated mercury bioaccumulation: Bioaccumulation
syndrome,” Annals of the New York Academy of Sciences, vol. 1195, no. 1, pp. 62–83, May 2010.
[5] K. M. Rice, E. M. Walker, M. Wu, C. Gillette, and E. R. Blough, “Environmental Mercury and Its
Toxic Effects,” J Prev Med Public Health, vol. 47, no. 2, pp. 74–83, Mar. 2014.
[6] K. Becker et al., “Exploring Exposure in 27 Countries in a European Human Biomonitoring
Study—Cophes:,” Epidemiology, vol. 22, pp. S230–S231, Jan. 2011.
[7] J. Bircher and S. Kuruvilla, “Defining health by addressing individual, social, and environmental
determinants: New opportunities for health care and public health,” J Public Health Pol, vol. 35, no.
3, pp. 363–386, Aug. 2014.
[8] H. Frumkin, Ed., Environmental health: from global to local, 2nd ed. San Francisco, CA: Jossey-
Bass, 2010.
[9] M. N. Moore and P. D. Kempton, “A synopsis of the Joint Environment and Human Health
Programme in the UK,” Environ Health, vol. 8, no. Suppl 1, p. S1, 2009.
[10] J. K. Dixon, K. C. Hendrickson, E. Ercolano, R. Quackenbush, and J. P. Dixon, “The
Environmental Health Engagement Profile: What People Think and Do About Environmental
Health,” Public Health Nursing, vol. 26, no. 5, pp. 460–473, Sep. 2009.
[11] R. Ndejjo et al., “History, evolution and future of environmental health in Uganda,” Archives of
Environmental & Occupational Health, vol. 74, no. 1–2, pp. 66–75, Mar. 2019.
[12] D. E. Burgin, “PCBs: Recent Advances in Environmental Toxicology and Health Effects,” Int J
Toxicol, vol. 21, no. 6, pp. 511–512, Nov. 2002.
[13] Indonesian Goverment, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2014 tentang
Kesehatan Lingkungan, vol. 184. 2014, p. 27.
[14] H. Koren and M. Bisesi, Handbook of Environmental Health; Biological, Chemical, and Physical
Agents of Environmentally Related Disease, 4th ed., vol. 1. New York: CRC Press, 2013.
[15] A. E. Nel et al., “Where Are We Heading in Nanotechnology Environmental Health and Safety and
Materials Characterization?,” ACS Nano, vol. 9, no. 6, pp. 5627–5630, Jun. 2015.
[16] E. P. Hoberg and D. R. Brooks, “Evolution in action: climate change, biodiversity dynamics and
emerging infectious disease,” Phil. Trans. R. Soc. B, vol. 370, no. 1665, p. 20130553, Apr. 2015.
[17] W. A. Suk, K. Murray, and M. D. Avakian, “Environmental hazards to children’s health in the
modern world,” Mutation Research/Reviews in Mutation Research, vol. 544, no. 2–3, pp. 235–242,
Nov. 2003.
[18] M. K. Bhasin and S. Nag, “Ecology and Health,” Journal of Human Ecology, vol. 33, no. 2, pp. 71–
99, Feb. 2011.
[19] J. Kuleš, A. Horvatić, N. Guillemin, A. Galan, V. Mrljak, and M. Bhide, “New approaches and
omics tools for mining of vaccine candidates against vector-borne diseases,” Mol. BioSyst., vol. 12,
no. 9, pp. 2680–2694, 2016.
[20] F. Dantas-Torres and D. Otranto, “Best Practices for Preventing Vector-Borne Diseases in Dogs and
Humans,” Trends in Parasitology, vol. 32, no. 1, pp. 43–55, Jan. 2016.
[21] A.-B. Failloux and S. Moutailler, “Zoonotic aspects of vector-borne infections,” Rev. - Off. Int.
Epizoot., vol. 34, no. 1, pp. 175–183, 165–174, Apr. 2015.
[22] R. A. Kock, “Vertebrate reservoirs and secondary epidemiological cycles of vector-borne diseases,”
Rev. - Off. Int. Epizoot., vol. 34, no. 1, pp. 151–163, Apr. 2015.
[23] D. D. Colwell, F. Dantas-Torres, and D. Otranto, “Vector-borne parasitic zoonoses: Emerging
scenarios and new perspectives,” Veterinary Parasitology, vol. 182, no. 1, pp. 14–21, Nov. 2011.
[24] D. Loomis, W. Huang, and G. Chen, “The International Agency for Research on Cancer (IARC)
evaluation of the carcinogenicity of outdoor air pollution: focus on China,” Chin J Cancer, vol. 33,
no. 4, pp. 189–196, Apr. 2014.
[25] M. Carugno et al., “Air pollution exposure, cause-specific deaths and hospitalizations in a highly
polluted Italian region,” Environmental Research, vol. 147, pp. 415–424, May 2016.
[26] H. R. Velasquez, Ed., Pollution control: management, technology and regulations. Hauppauge,
N.Y: Nova Science Publishers, 2011.
[27] F. W. Owa, “Water Pollution: Sources, Effects, Control and Management,” ILNS, vol. 8, pp. 1–6,
Jan. 2014.
[28] WHO Regional Office for Europe, “Human biomonitoring: facts and figures,” European
Environment and Health Process, p. 104, 2015.
[29] M. Černá, A. Krsková, M. Čejchanová, and V. Spěváčková, “Human biomonitoring in the Czech
Republic: An overview,” International Journal of Hygiene and Environmental Health, vol. 215, no.
2, pp. 109–119, Feb. 2012.
[30] T. Göen, K.-H. Schaller, and H. Drexler, “External quality assessment of human biomonitoring in
the range of environmental exposure levels,” International Journal of Hygiene and Environmental
Health, vol. 215, no. 2, pp. 229–232, Feb. 2012.
[31] D. R. Juberg, J. Bus, and D. S. Katz, “The Opportunities and Limitations of Biomonitoring,” Policy
Brief, p. 7, Feb. 2008.
[32] W. G. Foster and J. Agzarian, “Reporting results of biomonitoring studies,” Anal Bioanal Chem,
vol. 387, no. 1, pp. 137–140, Jan. 2007.
[33] R. Smolders, K.-W. Schramm, M. Nickmilder, and G. Schoeters, “Applicability of non-invasively
collected matrices for human biomonitoring,” Environ Health, vol. 8, p. 8, Mar. 2009.
[34] K. Klotz and T. Göen, “Human Biomonitoring of Lead Exposure,” Met Ions Life Sci, vol. 17, 10
2017.
[35] T. J. Weber, J. N. Smith, Z. A. Carver, and C. Timchalk, “Non-invasive saliva human
biomonitoring: development of an in vitro platform,” J Expo Sci Environ Epidemiol, vol. 27, no. 1,
pp. 72–77, Jan. 2017.
[36] J. Angerer, L. L. Aylward, S. M. Hays, B. Heinzow, and M. Wilhelm, “Human biomonitoring
assessment values: Approaches and data requirements,” International Journal of Hygiene and
Environmental Health, vol. 214, no. 5, pp. 348–360, Sep. 2011.
[37] P. Apel, J. Angerer, M. Wilhelm, and M. Kolossa-Gehring, “New HBM values for emerging
substances, inventory of reference and HBM values in force, and working principles of the German
Human Biomonitoring Commission,” International Journal of Hygiene and Environmental Health,
vol. 220, no. 2, pp. 152–166, Mar. 2017.
[38] M. Annerstedt van den Bosch and M. H. Depledge, “Healthy people with nature in mind,” BMC
Public Health, vol. 15, no. 1, p. 1232, Dec. 2015.
[39] E. B. Barbier et al., “Coastal Ecosystem-Based Management with Nonlinear Ecological Functions
and Values,” Science, vol. 319, no. 5861, pp. 321–323, Jan. 2008.
[40] T. Elmqvist et al., “Benefits of restoring ecosystem services in urban areas,” Current Opinion in
Environmental Sustainability, vol. 14, pp. 101–108, Jun. 2015.
[41] K. A. Brauman, G. C. Daily, T. K. Duarte, and H. A. Mooney, “The Nature and Value of Ecosystem
Services: An Overview Highlighting Hydrologic Services,” Annu. Rev. Environ. Resour., vol. 32,
no. 1, pp. 67–98, Nov. 2007.
[42] P. Wolkoff, “Indoor air humidity, air quality, and health – An overview,” International Journal of
Hygiene and Environmental Health, vol. 221, no. 3, pp. 376–390, Apr. 2018.
[43] A. Prüss-Ustün et al., “Burden of disease from inadequate water, sanitation and hygiene for selected
adverse health outcomes: An updated analysis with a focus on low- and middle-income countries,”
International Journal of Hygiene and Environmental Health, vol. 222, no. 5, pp. 765–777, Jun.
2019.
[44] M. M. Derby et al., “Update of the scientific evidence for specifying lower limit relative humidity
levels for comfort, health, and indoor environmental quality in occupied spaces (RP-1630),” Science
and Technology for the Built Environment, vol. 23, no. 1, pp. 30–45, Jan. 2017.
.

Anda mungkin juga menyukai