Anda di halaman 1dari 23

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam sebuah proses pembelajaran, komponen yang turut menentukan keberhasilan sebuah
proses adalah evaluasi. Melalui evaluasi, orang akan mengetahui sampai sejauh mana
penyampaian pembelajaran atau tujuan pendidikan atau sebuah program dapat dicapai sesuai
dengan tujuan yang diinginkan. Evaluasi merupakan salah satu kegiatan utama yang harus
dilakukan dalam kegiatan pendidikan dan pembelajaran. Melalui evaluasi, kita akan mengetahui
perkembangan hasil belajar, intelegensi, bakat khusus, minat, hubungan sosial, sikap dan
kepribadian siswa atau peserta didik serta keberhasilan sebuah program.
Dalam dunia pendidikan dan pembelajaran, ada beberapa istilah yang sering digunakan, baik
secara bersamaan maupun secara terpisah. Istilah tersebut adalah pengukuran, penilaian, dan
evaluasi. Padahal ketiga istilah tersebut memiliki perbedaan.
Wiersma dan Jurs membedakan antara evaluasi, pengukuran dan testing. Mereka berpendapat
bahwa evaluasi adalah suatu proses yang mencakup pengukuran dan mungkin juga testing, yang
juga berisi pengambilan keputusan tentang nilai. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Arikunto
(2009) yang menyatakan bahwa evaluasi merupakan kegiatan mengukur dan menilai. Kedua
pendapat di atas secara implisit menyatakan bahwa evaluasi memiliki cakupan yang lebih luas
daripada pengukuran dan testing.
Ralph W. Tyler yang dikutip oleh Brinkerhoff, dkk. Mendefinisikan evaluasi sedikit berbeda.
Ia menyatakan bahwa evaluation as the process of determining to what extent the educational
objectives are actually being realized. Sementara Daniel Stufflebeam (1971) yang dikutip oleh
Nana Syaodih S., menyatakan bahwa evaluation is the process of delinating, obtaining, and
providing useful information for judging decision alternative. Demikian juga dengan Michael
Scriven (1969) menyatakan, evaluation is an observed value compared to some standard.
Beberapa definisi terakhir ini menyoroti evaluasi sebagai sarana untuk mendapatkan informasi
yang diperoleh dari proses pengumpulan dan pengolahan data.
Sementara itu Asmawi Zainul dan Noehi Nasution mengartikan pengukuran sebagai
pemberian angka kepada suatu atribut atau karakteristik tertentu yang dimiliki oleh orang, hal, atau
obyek tertentu menurut aturan atau formulasi yang jelas, sedangkan penilaian adalah suatu proses
untuk mengambil keputusan dengan menggunakan informasi yang diperoleh melalui pengukuran
hasil belajar baik yang menggunakan tes maupun non tes. Pendapat ini sejalan dengan pendapat
Suharsimi Arikunto yang membedakan antara pengukuran, penilaian, dan evaluasi.
Suharsimi menyatakan bahwa mengukur adalah membandingkan sesuatu dengan satu ukuran.
Pengukuran bersifat kuantitatif. Sedangkan menilai adalah mengambil suatu keputusan terhadap
2

sesuatu dengan ukuran baik buruk dan bersifat kualitatif. Hasil pengukuran yang bersifat
kuantitatif juga dikemukakan oleh Norman E. Gronlund (1971) yang menyatakan “Measurement is
limited to quantitative description of pupil behavior”.
Pengertian penilaian yang ditekankan pada penentuan nilai suatu obyek juga dikemukakan
oleh Nana Sudjana. Ia menyatakan bahwa penilaian adalah proses menentukan nilai suatu obyek
dengan menggunakan ukuran atau kriteria tertentu, seperti Baik, Sedang, atau Jelek. Seperti halnya
juga yang dikemukakan oleh Richard H. Lindeman (1967): “The assessment of one or a set of
numbers to each of a set of person or objects according to certain estabilished rules”.
Melalui pemahaman terhadap perbedaan ketiga istilah sebagaimana diuraikan di atas,
diharapkan kita dapat menarik benang merah dalam membahas masalah sistem evaluasi dalam
pendidikan.
3

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan makalah ini adalah:


1. Apa yang dimaksud dengan Goal Oriented Evaluation Model (Model Tyler) ?
2. Apa yang dimaksud dengan Goal Free Evaluation Model (Model Scriven) ?
3. Apa yang dimaksud dengan Kirkpatrick’s 4 level model ?
4. Apa yang dimaksud dengan CIPP Model ?

C. Tujuan

Adapun tujuan dari makalah ini adalah:


1. Untuk mengetahui pengertian dari Goal Oriented Evaluation Model (Model Tyler).
2. Untuk mengetahui pengertian dari Goal Free Evaluation Model (Model Scriven).
3. Untuk mengetahui pengertian dari Kirkpatrick’s 4 level model.
4. Untuk mengetahui pengertian dari CIPP model.

D. Manfaat

Manfaat kehadiran makalah ini diharapkan dapat menjadi referensi dalam pembelajaran mata
kuliah Asesmen Pendidikan dalam Pembelajaran khususnya pengetahuan tentang Model-
model evaluasi dalam pendidikan.
4

BAB II

PEMBAHASAN

A. Model Evaluasi Goal Oriented Evaluation (Tyler Model)


Nama model ini diambil dari nama pengembangnya yaitu Tyler. Dalam buku Basic
Principles of Curriculum and Instruction. Model Evaluasi Model Tyler secara konsep
menekankan adanya proses evaluasi secara langsung didasarkan atas tujuan intruksional yang
telah ditetapkan bersamaan dengan persiapan mengajar, ketika seorang guru berinteraksi
dengan para siswanya menjadi sasaran pokok dalam proses pembelajaran. Proses
pembelajaran dikatakan berhasil menurut para pendukung Model Tyler, apabila para siswa
yang mengalami proses pembelajaran dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam
proses belajar mengajar.
Model evaluasi Tyler di bangun atas dua pemikiran: Pertama, evaluasi yang ditujukan
kepada tingkah laku peserta didik. Kedua, evaluasi harus dilakukan pada tingkah laku awal
peserta didik sebelum melaksanakan kegiatan pembelajaran dan sesudah melaksanakan
kegiatan pembelajaran (hasil).
Penggunaan model Tyler memerlukan informasi perubahan tingkah laku terutama pada
saat sebelum dan sesudah terjadinya pembelajaran. Istilah yang populer dikalangan guru
adalah tes awal (pre-test) dan tes akhir (post-test). Model ini mensyaratkan validitas informasi
pada tes akhir. Untuk menjamin valiaditas ini, maka perlu adanya kontrol dengan
menggunakan desain eksperimen. Model tyler disebut juga model black box karena model ini
sangat menekankan adanya tes awal dan tes akhir. Dengan demikian apa yang terjadi dalam
proses tidak perlu diperhatikan. Dimensi proses ini dianggap sebagai kotak hitam yang
menyimpan segala macam teka-teki.
Pola pikir yang ditawarkan Tyler ini sangat logis dan dapat diterima secara ilmiah,
bahkan mudah untuk ditiru atau dilakukan oleh para pelaksana penilaian pendidikan
(evaluator). Salah satu penerapan model ini oleh Tyler adalah bagaimana melakukan
pengukuran tes kemampuan awal siswa (pre-test) dibandingkan dengan hasil pengukuran
paska kegiatan pembelajaran (post-test). Kegiatan ini menjadi salah satu teknik yang banyak
berpengaruh terhadap cara-cara penilaian program pembelajaran di dunia pendidikan. Contoh
yang dilakukan Tyler ini pula lah yang banyak dilakukan oleh guru-guru kita dalam
melakukan penilaian keberhasilan program pembelajaan di kelas selama ini. Secara praktis,
pendekatan ini memang tidak terlalu menyita waktu karena hanya dilakukan pada akhir
kegiatan pembelajaran. Di samping itu, dengan pendekatan seperti ini sangat sejalan dengan
5

tradisi pemikiran manajemen (pengelolaan) yang menempatkan kegiatan evaluasi sebagai


kegiatan terakhir.
Dari pengalamannya melakukan penilaian program pendidikan, Tyler mengadvokasikan
tujuan-tujuan umum pendidikan yang perlu menjadi kriteria dalam melakukan penilaian
program pendidikan. Untuk pendidikan di Amerika, Tyler merekomendasikan 6 (enam)
tujuan umum pendidikan, yaitu: (1) Memperoleh informasi; (2) Mengembangkan kebiasaan
bekerja dan ketrampilan belajar; (3) Mengembangkan cara berfikir yang efektif; (4)
Menginternalisasikan sikap sosial, minat, apresiasi, dan sensitifitas; (5) Memelihara kesehatan
fisik; dan (6) Mengembangkan filsafat hidup.

1. Langkah-langkah Pendekatan Penilaian


Tyler mendefinisikan penilaian pendidikan sebagai suatu proses untuk menentukan
sejauh mana tujuan-tujuan pendidikan dari program sekolah atau kurikulum tercapai.
Pendekatan penilaian yang dikemukakan Tyler ini meliputi langkah-langkah sebagai
berikut: (1) Menentukan tujuan secara jelas; (2) Mengklasifikasikan tujuan-tujuan
tersebut; (3) Mendefinisikan tujuan-tujuan dalam istilah perilaku terukur; (4) Temukan
situasi dimana prestasi atau tujuan dapat diperlihatkan; (5) Mengembangkan atau
memilih teknik-teknik pengukuran; (6) Mengumpulkan data; dan (7) Membandingkan
data kinerja dengan tujuan-tujuan yang dinyatakan dalam perilaku terukur.
Langkah-langkah sebagaimana diuraikan di atas merupakan suatu siklus, artinya
bahwa jika dari hasil membandingkan data kinerja dengan tujuan sudah diperoleh berupa
kesenjangan-kesenjangan, maka perlu dilakukan perumusan/ penentuan ulang tujuan
program yang telah dievaluasi tersebut.
Kalau kita simak secara seksama, langkah-langkah di atas terdiri dari dua bagian
pokok, yaitu bagian yang terkait dengan kegiatan perencanaan program (langkah satu
sampai tiga) dan bagian yang secara langsung memang merupakan kegiatan dalam tahap
evaluasi program (langka empat dan selanjutnya).
Dengan demikian, siklus kegiatan yang dimaksud sebenarnya lebih merupakan
siklus kegiatan pengelolaan dan pengembangan program. Hal ini bisa dimaklumi oleh
karena pemikiran ini dilahirkan dalam rangka pengembangan kurikulum.

2. Kelemahan dan Kelebihan


a. Kelemahan dari model Tyler:
Tidak sejalan dengan pendidikan karena focus pada hasil belajar dan mengabaikan
dimensi proses. Padahal hasil belajar adalah produk dari proses belajar. Sehingga
evaluasi yang mengabaikan proses berarti mengabaikan komponen penting dari
kurikulum.
6

b. Kelebihan dari model Tyler:


Yaitu kesederhanaanya. Evaluator dapat memfokuskan kajian evaluasinya hanya
pada satu dimensi kurikulum yaitu dimensi hasil belajar. Sedang dimensi dokumen
dan proses tidak menjadi fokus evaluasi.

B. Model Evaluasi Goal Free Evaluation (Scriven Model)


Model kurikulum Goal Free Evaluation disebut juga model kurikulum bebas tujuan.
Dalam Goal Free Evaluation, Scriven mengemukakan bahwa dalam melaksanakan evaluasi
program evaluator tidak perlu memperhatikan apa yang menjadi tujuan program. Yang perlu
diperhatikan dalam program tersebut adalah bagaimana kerjanya (kinerja) suatu program,
dengan jalan mengidentifikasi penampilan-penampilan yang terjadi (pengaruh) baik hal-hal
yang positif (yaitu hal yang diharapkan) maupun hal-hal yang negatif (yang tidak diharapkan).
Evaluasi ini juga membandingkan antara hasil yang dicapai dengan besarnya biaya yang
dikeluarkan untuk program tersebut.
Tujuan program tidak perlu diperhatikan karena kemungkinan evaluator terlalu rinci
mengamati tiap-tiap tujuan khusus. Jika masing-masing tujuan khusus tercapai, artinya
terpenuhi dalam penampilan tetapi evaluator lupa memperhatikan sejauh mana masing-
masing penampilan tersebut mendukung penampilan terakhir yang diharapkan oleh tujuan
umum maka akibatnya jumlah penampilan khusus ini tidak banyak bermanfaat. Dapat
disimpulkan bahwa, dalam model ini bukan berarti lepas dari tujuan tetapi hanya lepas dari
tujuan khusus. Model ini hanya mempertimbangkan tujuan umum yang akan dicapai oleh
program, bukan secara rinci perkomponen yang ada.
Scriven menekankan bahwa evaluasi itu adalah interpretasi Judgement ataupun
explanation dan evaluator yang merupakan pengambil keputusan dan sekaligus penyedia
informasi. Dengan demikian ia membedakan antara "Goal of evaluation dan role of
evaluation". Evaluasi model goal free, focus pada adanya perubahan perilaku yang terjadi
sebagai dampak dari program yang diimplementasikan, melihat dampak sampingan baik yang
diharapkan maupun yang tidak diharapkan, dan membandingkan dengan sebelum program
dilakukan. Evaluasi juga membandingkan antara hasil yang dicapai dengan besarnya biaya
yang dikeluarkan untuk program tersebut atau melakukan cost benefit analisis.
Goal Free evaluation Model (evaluasi bebas tujuan) merupakan model evaluasi yang
dikembangkan Michael Scriven yang berbeda dengan model dari Tyler. Jika model yang
dikembangkan Tyler, evaluator terus menerus memantau sejak awal proses, terus melihat
sejauh mana tujuan telah tercapai. Dalam model ini tidak perlu memperhatikan apa yang
menjadi tujuan program, yang perlu diperhatikan adalah bagaimana pelaksanaan program,
dengan cara mengidentifikasi penampilan-penampilan yang terjadi, baik yang diharapkan
(positif) maupun yang tidak diharapkan (negatif).
7

Fungsi evaluasi bebas tujuan adalah untuk mengurangi bias dan menambah objektifitas.
Dalam evaluasi yang berorientasi pada tujuan, seorang evaluator secara subjektif persepsinya
akan membatasi sesuai dengan tujuan. Padahal tujuan pada umumnya hanya formalitas dan
jarang menunjukkan tujuan yang sebenarnya dari suatu proyek. Lagipula, banyak hasil
program penting yang tidak sesuai dengan tujuan program. Evaluasi bebas tujuan berfokus
pada hasil yang sebenarnya bukan pada hasil yang direncanakan. Dalam evaluasi bebas
tujuan ini, memungkinkan evaluator untuk menambah temuan hasil atau dampak yang tidak
direncanakan. Terdapat beberapa alasan mengapa para ahli mempertimbangkan evaluasi
dengan pendekatan yang bebas tujuan. Karena evaluasi bebas tujuan memiliki fungsi untuk
mengurangi bias dan menambah objektifitas.

1. Langkah-langkah Pendekatan Penilaian


Evaluasi model bebas tujuan ini, diajukan oleh Scrieven (1972). Menurutnya dan
pendukungnya, seorang evaluator harus menghindari tujuan dan mengambil setiap tindak
pencegahan. Menurut Scrieven evaluasi program dapat dilakukan tanpa mengetahui
tujuan itu sendiri. Oleh karena itu, evaluasi perlu menilai pengaruh nyata tentang profil
kebutuhan yang dilanjutkan dengan tindakan dalam pendidikan. Pendapat ini searah
dengan ahli lain, yaitu Isaac (1982), yang menyatakan bahwa evaluator sebaiknya
menemukan pengaruh program atas dasar kriteria yang terpisah dari kisi-kisi konsep
kerja program tersebut.
Untuk melakukan evaluasi dengan model bebas tujuan, evaluator perlu
menghasilkan dua item informasi, yaitu penilaian tentang pengaruh nyata dan penilaian
tentang profil kebutuhan yang hendak dinilai.
Jika suatu produk mempunyai pengaruh yang dapat ditunjukkan secara nyata dan
responsif terhadap suatu kebutuhan, hal ini berarti bahwa suatu produk yang
direncanakan berguna dan secara positif perlu dikembangkan, dan interpretasi sebaliknya
terjadi, jika suatu produk, termasuk kegiatan belajar mengajar, tidak mempunyai
pengaruh nyata pada siswanya.

2. Kelebihan dan Kekurangan


Kelebihan dari model bebas tujuan di antaranya adalah:
a. Evaluator tidak perlu memperhatikan secara rinci setiap komponen, tetapi
hanya menekankan pada bagaimana mengurangi prasangka (bias).
b. Model ini menganggap pengguna sebagai audiens utama. Melalui model ini,
Scriven ingin evaluator mengukur kesan yang didapat dari sesuatu program
dibandingkan dengan kebutuhan pengguna dan tidak membandingkannya
dengan pihak penganjur.
8

c. Pengaruh konsep pada masyarakat, bahwa tanpa mengetahui tujuan dari


kegiatan yang telah dilakukan, seorang penilai bisa melakukan evaluasi.
d. Kelebihan lain, dengan munculnya model bebas tujuan yang diajukan oleh
scrieven, adalah mendorong pertimbangan setiap kemungkinan pengaruh
tidak saja yang direncanakan, tetapi juga dapat diperhatikan sampingan lain
yang muncul dari produk.
Walaupun demikian, yang diajukan scrieven ternyata juga memiliki kelemahan
seperti berikut:
a. Model bebas tujuan ini pada umumnya bebas menjawab pertanyaan penting,
seperti apa pengaruh yang telah diperhitungkan dalam suatu peristiwa dan
bagimana mengidentifikasi pengaruh tersebut.
b. Walaupun ide Scriven bagus untuk membantu kegiatan yang paralel dengan
evaluasi atas dasar kejujuran, pada tingkatan praktis scrieven tidak terlalu
berhasil dalam menggambarkan bagaimana evaluasi sebaiknya benar-benar
dilaksanakan.
c. Tidak merekomendasikan bagaimana menghasilkan penilaian kebutuhan
walau pada akhirnya mengarah pada penilaian kebutuhan.
d. Diperlukan evaluator yang benar-benar kompeten untuk dapat
melaksanakan evaluasi model ini.
e. Langkah-langkah sistematis yang harus dilakukan dalam evaluasi hanya
menekankan pada objek sasaran saja.
Model bebas tujuan merupakan titik evaluasi program, dimana objek yang
dievaluasi tidak perlu terkait dengan tujuan dari objek atau subjek tersebut, tetapi
langsung kepada implikasi keberadaan program apakah bermanfaat atau tidak objek
tersebut atas dasar penilaian kebutuhan yang ada.

C. Model Evaluasi Kirkpatrick’s 4 Level


Model evaluasi empat level dikenal pertama kali pada tahun 1959 ketika Donald L.
Kirkpatrick menulis empat seri artikel dengan judul “Tecniques for Evaluating Training
Programs” yang diterbitkan dalam Training and Development, the journal of The American
Society for Training and Developmet (ASTD). Artikel-artikel tersebut menggambarkan
evaluasi empat level yang diformulasikan oleh Kirkpatrick berdasarkan konsep dari desertasi
beliau pada University of Wiconsin, Madison. Kirkpatrick, D., L. & Kirkpatrick J., D. (dalam
Ramadhon, hlm 45) mengemukakan tiga alasan spesifik dalam melakukan evaluasi program
pelatihan, yaitu: pertama, untuk menjustifikasi keberadaan anggaran pelatihan dengan
memperlihatkan bagaimana program pelatihan tersebut berkontribusi pada tujuan dan sasaran
organisasi; kedua, untuk menentukan apakah suatu program pelatihan dilanjutkan atau tidak;
9

ketiga, serta untuk memperoleh informasi mengenai bagaimana cara meningkatkan program
pelatihan dimasa datang. Model Kirkpatrick memiliki beberapa kelebihan antara lain: 1).
lebih komprehensif, karena mencakup aspek kognitif, skill dan afektif; 2). objek
evaluasi tidak hanya hasil belajar semata tetapi juga mencakup proses, output maupun
outcomes; 3). lebih mudah diterapkan (applicable) untuk level kelas karena tidak terlalu
banyak melibatkan pihakpihak lain dalam proses evaluasi.
Menurut Kirkpatrick (dalam Ramadhon, hlm.45) evaluasi terhadap efektivitas program
pelatihan mencakup empat level evaluasi,yaitu 1) reaction level, 2) learning level, 3) behavior
level, dan 4) result level.

1. Level Evaluasi dalam Model Evaluasi Kirkpatrick


Menurut Kirkpatrick (dalam Ramadhon, hlm.45) evaluasi terhadap efektivitas
program pelatihan mencakup empat level evaluasi,yaitu sebagai berikut:
a. Reaction Level
Mengevaluasi terhadap reaksi peserta pelatihan berarti mengukur kepuasan
peserta (customer satisfaction). Program pelatihan dianggap efektif apabila
proses training dirasa menyenangkan dan memuaskan bagi peserta pelatihan
sehingga mereka tertarik dan termotivasi untuk belajar dan berlatih. Dengan
kata lain, peserta akan termotivasi apabila proses pelatihan berjalan memuaskan
bagi peserta yang pada akhirnya akan memunculkan reaksi dari peserta yang
menyenangkan. Sebaliknya, apabila peserta tidak merasa puas terhadap proses
pelatihan yang diikutinya maka mereka tidak akan termotivasi untuk mengikuti
kegiatan pelatihan lebih lanjut. Kepuasan peserta pelatihan dapat dikaji dari
beberapa aspek, yaitu materi yang diberikan, fasilitas yang diberikan, strategi
penyampaian materi yang digunakan oleh instruktur, media pembelajaran yang
tersedia, jadwal kegiatan sampai menu dan penyajian konsumsi yang
disediakan. Evaluasi terhadap reaksi bertujuan untuk mengetahui tingkat
kepuasan peserta pelatihan terhadap penyelenggaraan pelatihan. Kualitas
proses atau pelaksanaan suatu pelatihan dapat kita ukur melalui tingkat
kepuasan pesertanya. kepuasan peserta terhadap penyelenggaraan atau proses
suatu pelatihan akan berimplikasi langsung terhadap motivasi dan semangat
belajar peserta dalam pelatihan. Peserta pelatihan akan belajar dengan lebih baik
ketika dia merasa puas dengan suasana dan lingkungan tempat ia belajar.
Mengetahui tingkat kepuasan peserta dapat dilakukan dengan mengukur
beberapa aspek dalam pelatihan, yang meliputi: pelayanan panitia
penyelenggara, kualitas instruktur, kurikulum pelatihan, materi pelatihan,
metode belajar, suasana kelas, fasilitas utama dan fasilitas pendukung,
10

kebernilaian dan kebermaknaan isi pelatihan, dan lain-lain yang berhubungan


dengan penyelenggaraan suatu pelatihan. Mengukur reaksi ini relatif mudah
karena bisa dilakukan dengan menggunakan reaction sheet yang berbentuk
angket. Evaluasi terhadap reaksi ini sesungguhnya dimaksudkan untuk
mendapatkan respon sesaat peserta terhadap kualitas penyelenggaraan pelatihan.
Oleh karena itu waktu yang paling tepat untuk menyebarkan angket adalah
sesaat setelah pelatihan berakhir atau beberapa saat sebelum pelatihan berakhir.
Langkah-langkah dalam melakukan evaluasi di level-1 adalah:
1) Tentukan hal-hal yang dapat menginformasikan kepuasan peserta
dalam mengikuti kegiatan pelatihan seperti fasilitas, jadwal, kualitas
makanan, kualitas pengajar, kualitas diktat atau modul, kualitas media
pembelajaran, strategi pembelajaran yang diterapkan pengajar,
kesigapan dan keramahan panitia, serta informasi lainnya yang
dibutuhkan.
2) Informasi-informasi tersebut kemudian dikemas dalam suatu format
isian yang mudah dimengerti oleh subjek evaluasi, serta dapat
mengkuantifikasikan informasi-informasi tersebut. Tambahkan juga
kolom komentar dan saran sebagai informasi tambahan.
3) Lakukan evaluasi di level ini segera, baik ketika kegiatan belangsung,
maupun setelah kegiatan pelatihan berakhir.
4) Lakukan tindakan yang tepat secara langsung dalam menyikapi hasil
evaluasi
b. Learning Level
Kirkpatrick ( dalam Widoyoko, tanpa tahun, hlm.9 ) mengemukakan bahwa
learning can be defined as the extend to which participants change attitude,
improving knowledge, and /or increase skill as a result of attending the
program. Ada tiga hal yang dapat pelatih ajarkan dalam program pelatihan,
yaitu pengetahuan, sikap, maupun ketrampilan. Peserta pelatihan dikatakan telah
belajar apabila pada dirinya telah mengalami perubahan sikap, perbaikan
pengetahuan, maupun peningkatan ketrampilan. menurut Kirkpatrick, belajar
dapat didefinisikan sebagai perubahan sikap mental (attitude), perbaikan
pengetahuan, atau penambahan ketrampilan peserta setelah selesai mengikuti
program. Melalui definisi tersebut kita dapat menentukan aspek apa saja yang
mesti diukur dalam evaluasi tahap kedua ini. Evaluasi tahap kedua ini
sesungguhnya evaluasi terhadap hasil pelatihan. Program dikatakan berhasil
ketika aspek-aspek tersebut diatas mengalami perbaikan dengan
membandingkan hasil pengukuran sebelum dan sesudah pelatihan. Semakin
11

tinggi tingkat perbaikannya, dikatakan semakin berhasil pula suatu program


pelatihan. Kegiatan pengukuran dalam evaluasi tahap kedua ini relatif lebih sulit
dan lebih memakan waktu jika dibanding dengan mengukur reaksi peserta. Oleh
karenanya penggunaan alat ukur dan pemilihan waktu yang tepat akan dapat
membantu kita mendapatkan hasil pengukuran yang akurat. Alat ukur yang bisa
kita gunakan adalah tes tertulis dan tes kinerja. Tes tertulis kita gunakan untuk
mengukur tingkat perbaikan pengetahuan dan sikap peserta, sementara tes
kinerja kita gunakan untuk mengetahui tingkat penambahan ketrampilan peserta.
Untuk dapat mengetahui tingkat perbaikan aspek-aspek tersebut, tes dilakukan
sebelum dan sesudah program. Disamping itu, Kirkpatrick juga menyarankan
penggunaan kelompok pembanding sebagai referensi efek pelatihan terhadap
peserta. Kelompok pembanding ini adalah kelompok yang tidak ikut program
pelatihan. Kedua kelompok diukur dan diperbandingkan hasil pengukuran
keduanya hingga dapat diketahui efek program terhadap pesertanya.
Langkah-langkah dalam melaksanakan evaluasi di level-2, adalah:
1) Lakukan evaluasi terkait peningkatan pengetahuan, keterampilan, dan
perubahan sikap sebelum dan sesudah pelatihan.
2) Gunakan tes tertulis untuk mengukur pengetahuan dan sikap.
3) Gunakan tes performa dalam mengukur keterampilan;
4) Gunakan hasil pengukuran tersebut untuk melakukan tidakan yang
sesuai.
Yang dimaksud tindakan yang sesuai dalam hal ini adalah melakukan
tindakan konfirmatif dengan hasil evaluasi di level-1, apakah karena pengajar
kurang komunikatif dalam menyampaikan materi, terkait strategi belajar yang
tidak sesuai dengan harapan peserta, atau karena faktorfaktor lain di level-1
yang mungkin dapat menyebabkan peserta mengalami demotivasi dalam
belajar, sehingga kekurangan evaluasi dalam level-1 dapat segera mendapat
perhatian.
c. Behavior Level
Evaluasi pada level ketiga ini berbeda denga evaluasi terhadap sikap pada
level kedua. Penilaian sikap pada evaluasi level 2 difokuskan pada perubahan
sikap yang terjadi pada saat pelatihan dilakukan sehingga lebih bersifat internal,
sedangkan penilaian tingkah laku difokuskan pada perubahan tingkah laku
setelah peserta kembali ke tempat kerja. Yang dinilai dalam tingkah laku ini
adalah perubahan perilaku setelah kembali ke tempat kerja maka evaluasi level
ketiga ini dapat disebut dengan evaluasi terhadap outcome dari kegiatan
pelatihan. evaluasi terhadap perilaku ini difokuskan pada perilaku kerja peserta
12

pelatihan setelah mereka kembali ke dalam lingkungan kerjanya. Perilaku yang


dimaksud di sini adalah perilaku kerja yang ada hubungannya langsung dengan
materi pelatihan, dan bukan perilaku dalam konteks hubungan personal dengan
rekan-rekan kerjanya. Jadi, yang ingin diketahui dalam evaluasi ini adalah
seberapa jauh perubahan sikap mental (attitude), perbaikan pengetahuan, atau
penambahan ketrampilan peserta membawa pengaruh langsung terhadap kinerja
peserta ketika kembali ke lingkungan kerjanya. Apakah perubahan sikap mental
(attitude), perbaikan pengetahuan, atau penambahan ketrampilan peserta itu
diimplementasikan dalam lingkungan kerja peserta ataukah dibiarkan berkarat
dalam diri peserta tanpa pernah diimplementasikan. Evaluasi perilaku ini dapat
dilakukan melalui observasi langsung ke dalam lingkungan kerja peserta.
Disamping itu bisa juga melalui wawancara dengan atasan maupun rekan kerja
peserta. Dari sini diharapkan akan diketahui perubahan perilaku kerja peserta
sebelum dan setelah ikut program. Karena terkadang ada kesulitan untuk
mengetahui kinerja peserta sebelum ikut pelatihan, disarankan juga untuk
melakukan dokumentasi terhadap catatan kerja peserta sebelum mengikuti
pelatihan. Pada program pelatihan yang sifatnya rutin yang merupakan
kerjasama suatu institusi dengan penyelenggara pelatihan, mengukur perilaku
kerja peserta dapat dilakukan secara simultan dari angkatan yang satu ke
angkatan berikutnya. Dalam kasus ini, biasanya pimpinan organisasi atau
institusi memegang peranan penting dan biasanya pimpinan organisasilah yang
mengambil inisiatif sebab merekalah yang paling berkepentingan dengan hasil
pelatihan yang sudah dikenakan pada anak buahnya. Seringkali peserta
pelatihan membutuhkan waktu transisi dalam merubah perilaku kerjanya setelah
ikut program. Oleh karena itu sangat disarankan pelaksanaan evaluasi perilaku
ini dilakukan dengan terlebih dahulu memberi waktu jeda untuk masa transisi
itu. Sementara pakar evaluasi menyarankan paling cepat 3 bulan setelah
pelatihan berakhir. Disamping itu disarankan juga evaluasi ini dilakukan lebih
dari satu kali dalam rentang waktu yang cukup untuk mengetahui apakah
perubahan perilaku itu bersifat sementara ataukah permanen.
Langkah-langkah dalam melakukan evaluasi level-3 adalah:
1) Lakukan terlebih dahulu evaluasi di level-1 dan level-2.
2) Berikan waktu untuk berlangsungnya perubahan perilaku, yang
umumnya adalah 3 sampai dengan 6 bulan setelah pelatihan.
3) Lakukan evaluasi perilaku baik sebelum dan sesudah program pelatihan
apabila memungkinkan.
13

4) Lakukan metode survey menggunakan kuisioner atau/dan wawancara


pada peserta pelatihan, atasan langsung peserta, bawahan peserta, dan
pihak lain yang sering mengamati perilaku peserta.
5) Lakukan evaluasi pada semua peserta, atau apabila tidak
memungkinkan gunakan metode sampling.
6) Lakukan evaluasi ulangan pada waktu yang sesuai, untuk memastikan
peserta tetap pada perilaku yang sesuai dengan tujuan pelatihan.
7) Pertimbangkan faktor biaya pelaksanaan evaluasi perilaku dibandingkan
dengan keuntungan yang dihasilkan dari evaluasi

d. Result Level
Evaluasi hasil dalam level keempat ini difokuskan pada hasil akhir yang
terjadi karena peserta mengikuti suatu program. Yang termasuk dalam kategori
hasil akhir dari suatu program pelatihan diantaranya adalah kenaikan produksi,
peningkatan kualitas, penurunan biaya, penurunan kuantitas, terjadinya
kecelakaan kerja, penurunan turn-over dan kenaikan keuntungan. Beberapa
program mempunyai tujuan meningkatkan moral kerja maupun membangun
team work yang lebih baik. Dengan kata lain adalah evaluasi terhadap impact
program. Evaluasi hasil dalam level ke 4 ini difokuskan pada hasil akhir (final
result) yang terjadi karena peserta telah mengikuti suatu program. evaluasi
terhadap result ini bertujuan untuk mengetahui dampak perubahan perilaku kerja
peserta pelatihan terhadap tingkat kinerjanya dalam organisasi. Dalam kegiatan
pembelajaran model evaluasi ini mengarah pada hasil akhir yang diperoleh
peserta pelatihan. Evaluasi result juga berfungsi untuk mengembangkan suatu
program pembelajaran yang meliputi desain belajar mengajar. untuk
menetapkan kedudukan suatu program pembelajaran berdasarkan
ukuran/kriteria tertentu,sehingga suatu program dapat dipercaya, diyakini dan
dapat dilaksanakan terus, atau sebaliknya program itu harus diperbaiki.
Langkah langkah dalam melakukan evalausi di level4 adalah:
1) Lakukan terlebih dahulu evaluasi di level-3.
2) Berikan waktu dalam melihat dampak muncul atau tercapai. Tidak ada
waktu yang spesifik dalam melakukan evaluasi hasil, sehingga dalam
menentukan waktu pelaksanaan evaluasi harus mempertimbangkan
berbagai faktor yang terlibat.
3) Dapat dilakukan dengan metode survey menggunakan kuisioner
ataupun wawancara terhadap peserta pelatihan dan pimpinan
perusahaan.
14

4) Lakukan pengukuran, baik sebelum dan sesudah program pelatihan


apabila memungkinkan.
5) Lakukan evaluasi ulangan pada waktu yang sesuai pada waktu yang
sesuai.
6) Pertimbangan biaya yang dikeluarkan dengan hasil yang didapat.
7) Dapat menggunakan data sekunder, seperti data penjualan, data
produksi, dan data lainnya yang mendukung hasil survey dalam
menganalisi hasil.

2. Hubungan Antar Level Evaluasi Model


Evaluasi Kirkpatrick mengasumsikan bahwa keberhasilan pelatihan yang diukur di
suatu level akan menjadi dasar keberhasilan di level selanjutnya. Jadi jika sejak level
reaksi seorang partisipan sudah mengalami ketidakpuasan, maka tidak mungkin ia bisa
menghasilkan kinerja yang baik bagi dirinya dan bagi organisasi dikaitkan dengan materi
yang disampaikan dalam pelatihan. Selain itu juga, jika suatu pelatihan tidak mempunyai
pengaruh yang dapat dilihat pada kinerja organisasi, maka level 4 pun tidak dapat
dilakukan. Demikian juga level 3 memberikan bukti akan adanya transfer pengetahuan,
katerampilan dan sikap pada pekerjaan. Jika transfer tidak terjadi, maka level 4 tidak
dapat menunjukkan hasil apapun. Berdasarkan hubungan ini maka dapat dikatakan
bahwa keberhasilan di setiap level menjadi penting karena ada kedalaman tingkat
evaluasi untuk menentukan apakah suatu pelatihan memberikan manfaat bagi organisasi
atau tidak.

3. Kelebihan dan Kelemahan Model Kirkpatrick


Setelah dikaji melalui kajian model evaluasi, maka dibandingkan dengan model-
model evaluasi yang lain, model evaluasi Kirkpatrick memiliki beberapa kelebihan
diantaranya:
a. Lebih komprehensif, karena mencakup aspek kognitif, skill dan afektif.
b. Objek evaluasi tidak hanya hasil belajar semata tetapi juga mencakup input,
proses maupun outcomes.
c. Lebih mudah diterapkan (applicable) untuk level kelas karena tidak terlalu
banyak melibatkan pihak-pihak lain dalam proses evaluasi.
Selain memiliki kelebihan, model Kirkpatrick juga memiliki beberapa keterbatasan
antara lain:
a. Kurang memperhatikan input, padahal keberhasilan output dalam pembelajaran
juga dipengaruhi oleh input.
15

b. Untuk mengukur impact sulit dilakukan karena selain sulit, tolok ukurnya juga
sudah diluar jangkauan guru maupun sekolah dalam prosesnya.

D. Model evaluasi CIPP


Model CIPP dirancang pada akhir 1960-an untuk membantu meningkatkan dan mencapai
akuntabilitas proyek sekolah umum AS yang didanai pemerintah federal, terutama untuk
meningkatkan pengajaran dan belajar di sekolah. Model ini dirancang karena evaluasi klasik
dengan pendekatan desain eksperimental (experimental design), evaluasi berbasis tujuan
(objectives-based evaluation), peer or expert review site visits, dan uji pencapaian standar
(standardized achievement testing) terbukti memiliki penggunaan yang terbatas dan sering
tidak bisa dijalankan dan bahkan kontraproduktif untuk mengevaluasi program federal yang
muncul dalam konteks sosial yang dinamis dan pada beberapa sekolah umum, model ini
mengalami perkembangan, telah diadaptasi dan diterapkan di Amerika Serikat dan banyak
negara lain serta di berbagai disiplin ilmu.
Model CIPP didasarkan pada belajar dengan melakukan (Learning by doing) yaitu,
upaya berkesinambungan untuk mengidentifikasi dan memperbaiki kesalahan yang dibuat
dalam praktek evaluasi, untuk menciptakan dan menguji prosedur baru, dan untuk
mempertahankan serta menggabungkan praktek-praktek yang efektif. Model ini
didokumentasikan pertama kali dalam buku Educational Evaluation and Decision Making
(Stufflebeam et al., 1971). Penulis buku ini mengkritik pandangan tradisional evaluasi,
menganalisis kebutuhan informasi evaluatif dalam pengambilan keputusan, menguraikan
model CIPP, meneliti dengan seksama masalah evaluasi multilevel, membahas sistematika
evaluasi, membahas kebutuhan untuk pelatihan evaluasi, dan mengusulkan kriteria dalam
evaluasi yang mencakup utilitas dan kelayakan teknis.
Gilbert Sax (1980) seorang ahli evaluasi dari University of Washington memberikan
arahan kepada evaluator tentang bagaimana mempelajari tiap-tiap komponen yang ada dalam
setiap program yang dievaluasi dengan menunjukkan beberapa pertanyaan. Model ini
sekarang disempurnakan dengan satu komponen O yaitu singkatan dari outcome (s) sehingga
menjadi model CIPPO. Model CIPP hanya berhenti pada mengukur output (product),
sedangkan CIPPO sampai pada implementasi dari product.

1. Komponen Model Evaluasi CIPP


a. Dimensi Konteks
Evaluasi konteks adalah upaya untuk menggambarkan dan merinci lingkungan,
kebutuhan yang terpenuhi, populasi dan sampel yang dilayani, dan tujuan proyek.
Evaluasi konteks mencakup analisis masalah yang berkaitan dengan lingkungan
program atau kondisi obyektif yang akan dilaksanakan. Berisi tentang analisis
16

kekuatan dan kelemahan obyek tertentu. Stufflebeam menyatakan evaluasi konteks


sebagai fokus institusi yang mengidentifikasi peluang dan menilai kebutuhan
(1983). Suatu kebutuhan dirumuskan sebagai suatu kesenjangan (discrepancy
view), kondisi nyata (reality), dengan kondisi yang diharapkan (ideality). Dengan
kata lain evaluasi konteks berhubungan dengan analisis masalah kekuatan dan
kelemahan dari obyek tertentu yang akan atau sedang berjalan. Evaluasi konteks
memberikan informasi bagi pengambil keputusan dalam perencanaan suatu
program yang akan on going. Selain itu, konteks juga bermaksud bagaimana
rasionalnya suatu program. Analisis ini akan membantu dalam merencanakan
keputusan, menentapkan kebutuhan dan merumuskan tujuan program secara lebih
terarah dan demokratis. Evaluasi konteks juga mendiagnostik suatu kebutuhan
yang selayaknya tersedia sehingga tidak menimbulkan kerugian jangka panjang
(Isaac and Michael : 1981).

b. Dimensi Input
Tahap kedua dari model CIPP adalah evaluasi masukan (input). Maksud dari
evaluasi masukan ini adalah kemampuan awal siswa dan sekolah dalam
menunjang program, antara lain kemampuan sekolah dalam menyediakan petugas
yang tepat, pengatur menu yang andal, ahli kesehatan yang berkualitas, dan
sebagainya. Evaluasi input meliputi analisis personal yang berhubungan dengan
bagaimana penggunaan sumber-sumber yang tersedia, alternatif-alternatif strategi
yang harus dipertimbangkan untuk mencapai suatu program. Mengidentifikasi dan
menilai kapabilitas sistem, anternatif strategi program, desain prosedur untuk
strategi implementasi, pembiayaan dan penjadwalan. Evaluasi masukan
bermanfaat untuk membimbing pemilihan strategi program dalam
menspesifikasikan rancangan prosedural. Informasi dan data yang terkumpul dapat
digunakan untuk menentukan sumber dan strategi dalam keterbatasan yang ada.
Pertanyaan yang mendasar adalah bagaimana rencana penggunaan sumber-sumber
yang ada sebagai upaya memperoleh rencana program yang efektif dan efisien.

c. Dimensi Proses
Evaluasi proses dalam model CIPP menunjuk pada apa (what) kegiatan yang
dilakukan dalam program, siapa (who) orang yang ditunjuk sebagai penanggung
jawab program, kapan (when) kegiatan akan selesai. Evaluasi proses merupakan
evaluasi yang dirancang dan diaplikasikan dalam praktik implementasi kegiatan.
Termasuk mengidentifikasi permasalahan prosedur baik tatalaksana kejadian dan
aktifitas. Setiap aktivitas dimonitor perubahan-perubahan yang terjadi secara jujur
17

dan cermat. Pencatatan aktivitas harian demikian penting karena berguna bagi
pengambil keputusan untuk menentukan tindak lanjut penyempurnaan. Disamping
itu catatan akan berguna untuk menentukan kekuatan dan kelemahan atau program
ketika dikaitkan dengan keluaran yang ditemukan. Tujuan utama evaluasi proses
seperti yang dikemukakan oleh Worthen and Sanders (1973), yaitu :
1) Mengetahui kelemahan selama pelaksanaan termasuk hal-hal yang baik
untuk dipertahankan,
2) Memperoleh informasi mengenai keputusan yang ditetapkan,
3) Memelihara catatan-catatan lapangan mengenai hal-hal penting saat
implementasi dilaksanakan.

d. Dimensi Produk
Evaluasi produk atau hasil diarahkan pada hal-hal yang menunjukkan
perubahan yang terjadi pada masukan mentah. Evaluasi produk ini merupakan
tahap akhir dari serangkaian evaluasi program. Evaluasi produk merupakan
kumpulan deskripsi dan “judgement outcomes” dalam hubungannya dengan
konteks, input, dan proses, kemudian di interprestasikan harga dan jasa yang
diberikan (Stuflebeam and Shinkfield : 1986). Evaluasi produk adalah evaluasi
mengukur keberhasilan pencapaian tujuan. Evaluasi ini merupakan catatan
pencapaian hasil dan keputusan-keputuasan untuk perbaikan dan aktualisasi.
Aktivitas evaluasi produk adalah mengukur dan menafsirkan hasil yang telah
dicapai. Pengukuran dikembangkan dan di administrasikan secara cermat dan
teliti. Keakuratan analisis akan menjadi bahan penarikan kesimpulan dan
pengajuan saran sesuai standar kelayakan. Secara garis besar, kegiatan evaluasi
produk meliputi kegiatan penetapan tujuan operasional program, kriteria-kriteria
pengukuran yang telah dicapai, membandingkannya antara kenyataan lapangan
dengan rumusan tujuan, dan menyusun penafsiran secara rasional.
Analisis produk ini diperlukan pembanding antara tujuan, yang ditetapkan
dalam rancangan dengan hasil program yang dicapai. Hasil yang dinilai dapat
berupa skor tes, prosentase, data observasi, diagram data, sosiometri dan sebaginya
yang dapat ditelusuri kaitanya dengan tujuan-tujuan yang lebih rinci. Selanjutnya
dilakukan analisis kualitatif tentang mengapa hasilnya seperti itu. Keputusan-
keputusan yang diambil dari penilaian implementasi pada setiap tahapan evaluasi
program diklasifikasikan dalam tiga katagori yaitu rendah, moderat, dan tinggi.
18

2. Kelebihan dan Kelemahan Evaluasi Model CIPP


a. Kelebihan Model CIPP:
 Merupakan sistem kerja yang dinamis
 CIPP memiliki pendekatan yang holistic dalam evaluasi, bertujuan
memberikan gambaran yang sangat detail dan luas terhadap suatu proyek,
mulai dari konteksnya hingga saat proses implementasi.
 CIPP memiliki potensi untuk bergerak di wilayah evaluasi formatif dan
sumatif, sehingga sama baiknya dalam membantu melakukan perbaikan
selama program berjalan, maupun memberikan informasi final.
 Lebih komprehensif dari model lainnya.
b. Kekurangan Model CIPP:
 Tidak terlalu mementingkan bagaimana proses seharusnya daripada
kenyataan yang sedang berlangsung.
 Kurang adanya modifikasi juga berdampak pada tingkat keterlaksanaan yang
kurang tinggi.
 Cenderung fokus pada rational management daripada mengakui realita yang
ada.
 Terkesan top down dengan sifat manajerial dalam pendekatannya.
 Bila diterapkan secara terpisah (partial) akan melemahkan ide dasar.
19

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Model Evaluasi Model Tyler secara konsep menekankan adanya proses evaluasi secara
langsung didasarkan atas tujuan intruksional yang telah ditetapkan bersamaan dengan persiapan
mengajar, ketika seorang guru berinteraksi dengan para siswanya menjadi sasaran pokok dalam
proses pembelajaran. Proses pembelajaran dikatakan berhasil menurut para pendukung Model
Tyler, apabila para siswa yang mengalami proses pembelajaran dapat mencapai tujuan yang telah
ditetapkan dalam proses belajar mengajar. Jika dibandingkan dengan beberapa macam model
pendekatan siswa sebagai pusat pembelajaran (pupil-centered), pendekatan pengukuran secara
langsung (measurement directed approach), pendekatan Tyler memiliki model yang berbeda.
Pendekatan Tyler pada prinsipnya menekankan perlunya suatu tujuan dalam proses belajar
mengajar. Pendekatan ini merupakan pendekatan sistematis, elegan, akurat, dan secara internal
memiliki rasional yang logis. Dibanding dengan model evalusi lainnya, kesederhanaan Model
Tyler juga merupakan kelebihan tersendiri dan merupakan kekuatan konstruk yang elegan serta
mencakup evaluasi kontingensi.
Goal Free evaluation Model (evaluasi bebas tujuan) merupakan model evaluasi yang
dikembangkan Michael Scriven yang berbeda dengan model dari Tyler. Jika model yang
dikembangkan Tyler, evaluator terus menerus memantau sejak awal proses, terus melihat sejauh
mana tujuan telah tercapai. Dalam model ini tidak perlu memperhatikan apa yang menjadi tujuan
program, yang perlu diperhatikan adalah bagaimana pelaksanaan program, dengan cara
mengidentifikasi penampilan-penampilan yang terjadi, baik yang diharapkan (positif) maupun
yang tidak diharapkan (negatif). Fungsi evaluasi bebas tujuan adalah untuk mengurangi bias dan
menambah objektifitas. Dalam evaluasi yang berorientasi pada tujuan, seorang evaluator secara
subjektif persepsinya akan membatasi sesuai dengan tujuan. Padahal tujuan pada umumnya hanya
formalitas dan jarang menunjukkan tujuan yang sebenarnya dari suatu proyek. Lagipula, banyak
hasil program penting yang tidak sesuai dengan tujuan program. Evaluasi bebas tujuan berfokus
pada hasil yang sebenarnya bukan pada hasil yang direncanakan. Dalam evaluasi bebas tujuan ini,
memungkinkan evaluator untuk menambah temuan hasil atau dampak yang tidak direncanakan.
Kirkpatrick salah seorang ahli evaluasi program pelatihan dalam bidang pengembangan
sumber daya manusia (SDM). Model evaluasi yang dikembangkan oleh Kirkpatrick dikenal
dengan istilah Kirkpatrick Four Levels Evaluation Model. Evaluasi terhadap efektivitas program
pelatihan (training) menurut Kirkpatrick (1998) dalam Eko Putro Widoko (2010) mencakup empat
level evaluasi, yaitu: level 1 reaction yaitu jika program training dianggap efektif apabila proses
20

training dirasa menyenangkan dan memuaskan bagi peserta training, sehingga mereka tertarik dan
termotivasi untuk belajar dan berlatih. Dengan kata lain peserta training akan termotivasi apabila
proses training berjalan secara memuaskan bagi peserta yang pada akhirnya akan memunculkan
reaksi dari peserta yang menyenangkan. Sebaliknya apabila peserta tidak merasa puas terhadap
proses training yang diikutinya mereka tidak akan termotivasi untuk mengikuti trainin, level 2
learning yaitu apabila Ada tiga hal yang dapat diajarkan dalam prgram training, yaitu pengetahuan,
sikap maupun keterampilan. Peserta training dikatakan telah belajar apabila pada dirinya telah
mengalami perubahan sikap, perbaikan pengetahuan maupun peningkatan keterampilan. Oleh
karena itu untuk mengukur efektivitas prgram training maka ketiga aspek tersebut perlu untuk
diukur. Tanpa adanya perubahan sikap, peningkatan pengetahuan atau keterampilan pada peserta
training maka program dapat dikatakan gagal. Level 3 behavior yaitu apabila Evaluasi pada level
ke 3 (evaluasi tingkah laku) ini berbeda dengan evaluasi terhadap sikap pada level ke 2. Penilaian
sikap pada evaluasi level 2 difokuskan pada perubahan sikap yang terjadi pada saat kegiatan
pembelajaran dilakukan sehingga lebih bersifat internal, sedangkan penilaian tingkah laku
difokuskan pada perubahan tingkah laku peserta setelah selesai mengikuti pembelajaran. Sehingga
penilaian tingkah laku ini lebih bersifat eksternal , dan level 4 result evaluasi hasil dalam level ke 4
ini difokuskan pada hasil akhir (final result) yang terjadi karena siswa telah mengikuti suatu
program pembelajaran. Termasuk dalam kategori hasil akhir dari suatu program pembelajaran
diantaranya adalah peningkatan hasil belajar, peningkatan pengetahuan, dan peningkatan
keterampilan (skills).
CIPP adalah singkatan yang menunjukkan empat jenis evaluasi dalam model CIPP (Context,
Input, Process, and Product). Dalam evaluasi konteks (context evaluation), evaluator menilai
kebutuhan, masalah, peluang, dan aset sebagai dasar untuk menetapkan dan menilai tujuan dan
prioritas. Dalam evaluasi masukan (input evaluation), evaluator mengidentifikasi dan menilai
pendekatan alternatif dan rencana untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan yang
ditetapkan. Dalam evaluasi proses (process Evaluation), evaluator memantau, dokumen, dan
memberikan umpan balik untuk meningkatkan pelaksanaan program pelaksanaan. Dalam evaluasi
produk (product evaluation), evaluator mengidentifikasi dan menilai hasil yang diinginkan dan
hasil yang tidak diinginkan, hasil positif serta negatif. Model ini dirancang untuk evaluasi formatif
yang digunakan dalam mengembangkan dan melaksanakan program-program dan evaluasi sumatif
dalam menilai program yang telah dilaksanakan dan memenuhi persyaratan akuntabilitas. Model
CIPP mendefinisikan evaluasi, secara umum, sebagai penyelidikan sistematis beberapa nilai objek
dan, secara operasional, sebagai proses menggambarkan, memperoleh, pelaporan, dan menerapkan
informasi deskriptif dan nilai obyek, seperti yang didefinisikan oleh kriteria seperti kualitas,
kegunaan, kejujuran, keadilan, kelayakan, biaya, efisiensi, keamanan, dan signifikansi.
Keterbatasan dari model CIPP mungkin kompleksitas yang tampak jelas pada pandangan pertama.
Pikiran mengintegrasikan beberapa evaluasi dan menerapkan model ini dalam bentuk sebenarnya
21

mungkin tampak menakutkan bagi beberapa lembaga. Selanjutnya, tampak bahwa pelatihan dan
keahlian penelitian yang diperlukan untuk penyesuaian dengan standar yang tinggi yang ditetapkan
oleh Komite Bersama Standar Evaluasi Pendidikan (Leahy, M. J., et all., 2009). Namun, memilih
dan memilih aspek dari model CIPP tampaknya layak untuk agen apapun dan dapat baik
digunakan untuk lebih melengkapi pendekatan yang lebih eklektik dan individual untuk evaluasi
program.
22

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Zainal. 2009. Evaluasi Pembelajaran. Bumi Siliwangi; ROSDA


Arikunto, Suharsini. 2004. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Bandung: Rineka Cipta
Badu, Syamsu Qomar. (tanpa tahun). Implementasi evaluasi model Kirkpatrick pada perkuliahan
masalah nilai awal dan syarat batas. Jurnal penelitian dan Evaluasi Pendidikan, 48, 102-129.
Bagiyono. 2012. Evaluasi Pelatihan Teknik Mengajar Berdasarkan Model Empat Level Evaluasi
Pelatihan Kirkpatrick. Seminar Nasional VII SDM Teknologi Nuklir. ( hlm 321-323)
Borich, G. D., and Nance, D. D., 1987. Evaluating Special Education Programs: Shifting the
Professional Mandate from Process to Outcome. Remedial and Special Educatio Volume 8
Issue 3 May/June 1987
Chelimsky, Elanor. 1989. Program Evaluation: Pattern and Directions, 2nd Edition. Washington,
DC; American Society for Public Administration
Djaali, Mulyono Pudji dan Ramly. 200. Pengukuran Dalam Bidang Pendidikan. Jakarta: Program
Pasca Sarjana Universitas Negeri Jakarta
Gardner, D. E. 1977. Five Evaluation Frameworks: Implications for Decision Making in Higher
Education. The Journal of Higher Education. Vol. 48, No. 5 (Sep. - Oct., 1977), pp. 571-593
Published by: Ohio State University Press
Iskandar, F. 2012. Evaluasi Pelaksanaan Program Pendampingan Penyelenggaraan Pendidikan
Kejuruan: Direktorat Pembinaan SMK (Studi Kasus di Universitas Sebelas Maret).
Pascasarjana Program Studi Ilmu Administrasi: UI
Joy Higgs, 1993. Managing Clinical Education: The Programme. Scholarly Paper, Physiotherapy.
April 1993, vol79, no4.
Leahy, M. J., et all., 2009. Quality Assurance and Program Evaluation: Terms, Models, and
Applications. Journal of Rehabilitation Administration, 33(2), 69-82
Madaus, G. F., et al. 1983. Evaluation Models: Models And Conceptualizanons. Kluwer-Nijhoff
Publishing
Mizikaci, F. 2006. A Systems Approach To Program Evaluation Model For Quality In Higher
Education: Program Evaluation Model. Quality Assurance in Education, Vol. 14 No. 1, 2006
pp. 37-53 q Emerald Group Publishing Limited 0968-4883 DOI
10.1108/09684880610643601
Ramadhon, Syafril. (Tanpa Tahun). Penerapan Model Empat Level Kirkpatrick dalam Evaluasi
Program Pendidikan dan Pelatihan Aparatur di Pusdiklat Migas. Forum Diklat, 6 (21), hlm.
45-48
Stufflebeam & Coryn. 2014. Evaluation, Theory, Models, and Applications. Second Edition. Jossey-
Bass: San Fransisco.
23

Stufflebeam, D. S. .1967. The use and abuse of evaluation in title III: Theory Into Practice. 6:3, 126-
133, DOI: 10.1080/00405846709542071.
Stufflebeam, D. S. 2003. The CIPP Model for Evaluation: International Handbook of Educational
Evaluation. Kluwer Academic Publishers vol. 9.
Zhang, G., Zeller, N., et all., 2011. Using the Context, Input, Process, and Product Evaluation Model
(CIPP) as a Comprehensive Framework to Guide the Planning, Implementation, and
Assessment of Service-learning Programs. Journal of Higher Education Outreach and
Engagement, Volume 15, Number 4, p. 57 ISSN 1534-6104.

Anda mungkin juga menyukai