BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam sebuah proses pembelajaran, komponen yang turut menentukan keberhasilan sebuah
proses adalah evaluasi. Melalui evaluasi, orang akan mengetahui sampai sejauh mana
penyampaian pembelajaran atau tujuan pendidikan atau sebuah program dapat dicapai sesuai
dengan tujuan yang diinginkan. Evaluasi merupakan salah satu kegiatan utama yang harus
dilakukan dalam kegiatan pendidikan dan pembelajaran. Melalui evaluasi, kita akan mengetahui
perkembangan hasil belajar, intelegensi, bakat khusus, minat, hubungan sosial, sikap dan
kepribadian siswa atau peserta didik serta keberhasilan sebuah program.
Dalam dunia pendidikan dan pembelajaran, ada beberapa istilah yang sering digunakan, baik
secara bersamaan maupun secara terpisah. Istilah tersebut adalah pengukuran, penilaian, dan
evaluasi. Padahal ketiga istilah tersebut memiliki perbedaan.
Wiersma dan Jurs membedakan antara evaluasi, pengukuran dan testing. Mereka berpendapat
bahwa evaluasi adalah suatu proses yang mencakup pengukuran dan mungkin juga testing, yang
juga berisi pengambilan keputusan tentang nilai. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Arikunto
(2009) yang menyatakan bahwa evaluasi merupakan kegiatan mengukur dan menilai. Kedua
pendapat di atas secara implisit menyatakan bahwa evaluasi memiliki cakupan yang lebih luas
daripada pengukuran dan testing.
Ralph W. Tyler yang dikutip oleh Brinkerhoff, dkk. Mendefinisikan evaluasi sedikit berbeda.
Ia menyatakan bahwa evaluation as the process of determining to what extent the educational
objectives are actually being realized. Sementara Daniel Stufflebeam (1971) yang dikutip oleh
Nana Syaodih S., menyatakan bahwa evaluation is the process of delinating, obtaining, and
providing useful information for judging decision alternative. Demikian juga dengan Michael
Scriven (1969) menyatakan, evaluation is an observed value compared to some standard.
Beberapa definisi terakhir ini menyoroti evaluasi sebagai sarana untuk mendapatkan informasi
yang diperoleh dari proses pengumpulan dan pengolahan data.
Sementara itu Asmawi Zainul dan Noehi Nasution mengartikan pengukuran sebagai
pemberian angka kepada suatu atribut atau karakteristik tertentu yang dimiliki oleh orang, hal, atau
obyek tertentu menurut aturan atau formulasi yang jelas, sedangkan penilaian adalah suatu proses
untuk mengambil keputusan dengan menggunakan informasi yang diperoleh melalui pengukuran
hasil belajar baik yang menggunakan tes maupun non tes. Pendapat ini sejalan dengan pendapat
Suharsimi Arikunto yang membedakan antara pengukuran, penilaian, dan evaluasi.
Suharsimi menyatakan bahwa mengukur adalah membandingkan sesuatu dengan satu ukuran.
Pengukuran bersifat kuantitatif. Sedangkan menilai adalah mengambil suatu keputusan terhadap
2
sesuatu dengan ukuran baik buruk dan bersifat kualitatif. Hasil pengukuran yang bersifat
kuantitatif juga dikemukakan oleh Norman E. Gronlund (1971) yang menyatakan “Measurement is
limited to quantitative description of pupil behavior”.
Pengertian penilaian yang ditekankan pada penentuan nilai suatu obyek juga dikemukakan
oleh Nana Sudjana. Ia menyatakan bahwa penilaian adalah proses menentukan nilai suatu obyek
dengan menggunakan ukuran atau kriteria tertentu, seperti Baik, Sedang, atau Jelek. Seperti halnya
juga yang dikemukakan oleh Richard H. Lindeman (1967): “The assessment of one or a set of
numbers to each of a set of person or objects according to certain estabilished rules”.
Melalui pemahaman terhadap perbedaan ketiga istilah sebagaimana diuraikan di atas,
diharapkan kita dapat menarik benang merah dalam membahas masalah sistem evaluasi dalam
pendidikan.
3
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
D. Manfaat
Manfaat kehadiran makalah ini diharapkan dapat menjadi referensi dalam pembelajaran mata
kuliah Asesmen Pendidikan dalam Pembelajaran khususnya pengetahuan tentang Model-
model evaluasi dalam pendidikan.
4
BAB II
PEMBAHASAN
Fungsi evaluasi bebas tujuan adalah untuk mengurangi bias dan menambah objektifitas.
Dalam evaluasi yang berorientasi pada tujuan, seorang evaluator secara subjektif persepsinya
akan membatasi sesuai dengan tujuan. Padahal tujuan pada umumnya hanya formalitas dan
jarang menunjukkan tujuan yang sebenarnya dari suatu proyek. Lagipula, banyak hasil
program penting yang tidak sesuai dengan tujuan program. Evaluasi bebas tujuan berfokus
pada hasil yang sebenarnya bukan pada hasil yang direncanakan. Dalam evaluasi bebas
tujuan ini, memungkinkan evaluator untuk menambah temuan hasil atau dampak yang tidak
direncanakan. Terdapat beberapa alasan mengapa para ahli mempertimbangkan evaluasi
dengan pendekatan yang bebas tujuan. Karena evaluasi bebas tujuan memiliki fungsi untuk
mengurangi bias dan menambah objektifitas.
ketiga, serta untuk memperoleh informasi mengenai bagaimana cara meningkatkan program
pelatihan dimasa datang. Model Kirkpatrick memiliki beberapa kelebihan antara lain: 1).
lebih komprehensif, karena mencakup aspek kognitif, skill dan afektif; 2). objek
evaluasi tidak hanya hasil belajar semata tetapi juga mencakup proses, output maupun
outcomes; 3). lebih mudah diterapkan (applicable) untuk level kelas karena tidak terlalu
banyak melibatkan pihakpihak lain dalam proses evaluasi.
Menurut Kirkpatrick (dalam Ramadhon, hlm.45) evaluasi terhadap efektivitas program
pelatihan mencakup empat level evaluasi,yaitu 1) reaction level, 2) learning level, 3) behavior
level, dan 4) result level.
d. Result Level
Evaluasi hasil dalam level keempat ini difokuskan pada hasil akhir yang
terjadi karena peserta mengikuti suatu program. Yang termasuk dalam kategori
hasil akhir dari suatu program pelatihan diantaranya adalah kenaikan produksi,
peningkatan kualitas, penurunan biaya, penurunan kuantitas, terjadinya
kecelakaan kerja, penurunan turn-over dan kenaikan keuntungan. Beberapa
program mempunyai tujuan meningkatkan moral kerja maupun membangun
team work yang lebih baik. Dengan kata lain adalah evaluasi terhadap impact
program. Evaluasi hasil dalam level ke 4 ini difokuskan pada hasil akhir (final
result) yang terjadi karena peserta telah mengikuti suatu program. evaluasi
terhadap result ini bertujuan untuk mengetahui dampak perubahan perilaku kerja
peserta pelatihan terhadap tingkat kinerjanya dalam organisasi. Dalam kegiatan
pembelajaran model evaluasi ini mengarah pada hasil akhir yang diperoleh
peserta pelatihan. Evaluasi result juga berfungsi untuk mengembangkan suatu
program pembelajaran yang meliputi desain belajar mengajar. untuk
menetapkan kedudukan suatu program pembelajaran berdasarkan
ukuran/kriteria tertentu,sehingga suatu program dapat dipercaya, diyakini dan
dapat dilaksanakan terus, atau sebaliknya program itu harus diperbaiki.
Langkah langkah dalam melakukan evalausi di level4 adalah:
1) Lakukan terlebih dahulu evaluasi di level-3.
2) Berikan waktu dalam melihat dampak muncul atau tercapai. Tidak ada
waktu yang spesifik dalam melakukan evaluasi hasil, sehingga dalam
menentukan waktu pelaksanaan evaluasi harus mempertimbangkan
berbagai faktor yang terlibat.
3) Dapat dilakukan dengan metode survey menggunakan kuisioner
ataupun wawancara terhadap peserta pelatihan dan pimpinan
perusahaan.
14
b. Untuk mengukur impact sulit dilakukan karena selain sulit, tolok ukurnya juga
sudah diluar jangkauan guru maupun sekolah dalam prosesnya.
b. Dimensi Input
Tahap kedua dari model CIPP adalah evaluasi masukan (input). Maksud dari
evaluasi masukan ini adalah kemampuan awal siswa dan sekolah dalam
menunjang program, antara lain kemampuan sekolah dalam menyediakan petugas
yang tepat, pengatur menu yang andal, ahli kesehatan yang berkualitas, dan
sebagainya. Evaluasi input meliputi analisis personal yang berhubungan dengan
bagaimana penggunaan sumber-sumber yang tersedia, alternatif-alternatif strategi
yang harus dipertimbangkan untuk mencapai suatu program. Mengidentifikasi dan
menilai kapabilitas sistem, anternatif strategi program, desain prosedur untuk
strategi implementasi, pembiayaan dan penjadwalan. Evaluasi masukan
bermanfaat untuk membimbing pemilihan strategi program dalam
menspesifikasikan rancangan prosedural. Informasi dan data yang terkumpul dapat
digunakan untuk menentukan sumber dan strategi dalam keterbatasan yang ada.
Pertanyaan yang mendasar adalah bagaimana rencana penggunaan sumber-sumber
yang ada sebagai upaya memperoleh rencana program yang efektif dan efisien.
c. Dimensi Proses
Evaluasi proses dalam model CIPP menunjuk pada apa (what) kegiatan yang
dilakukan dalam program, siapa (who) orang yang ditunjuk sebagai penanggung
jawab program, kapan (when) kegiatan akan selesai. Evaluasi proses merupakan
evaluasi yang dirancang dan diaplikasikan dalam praktik implementasi kegiatan.
Termasuk mengidentifikasi permasalahan prosedur baik tatalaksana kejadian dan
aktifitas. Setiap aktivitas dimonitor perubahan-perubahan yang terjadi secara jujur
17
dan cermat. Pencatatan aktivitas harian demikian penting karena berguna bagi
pengambil keputusan untuk menentukan tindak lanjut penyempurnaan. Disamping
itu catatan akan berguna untuk menentukan kekuatan dan kelemahan atau program
ketika dikaitkan dengan keluaran yang ditemukan. Tujuan utama evaluasi proses
seperti yang dikemukakan oleh Worthen and Sanders (1973), yaitu :
1) Mengetahui kelemahan selama pelaksanaan termasuk hal-hal yang baik
untuk dipertahankan,
2) Memperoleh informasi mengenai keputusan yang ditetapkan,
3) Memelihara catatan-catatan lapangan mengenai hal-hal penting saat
implementasi dilaksanakan.
d. Dimensi Produk
Evaluasi produk atau hasil diarahkan pada hal-hal yang menunjukkan
perubahan yang terjadi pada masukan mentah. Evaluasi produk ini merupakan
tahap akhir dari serangkaian evaluasi program. Evaluasi produk merupakan
kumpulan deskripsi dan “judgement outcomes” dalam hubungannya dengan
konteks, input, dan proses, kemudian di interprestasikan harga dan jasa yang
diberikan (Stuflebeam and Shinkfield : 1986). Evaluasi produk adalah evaluasi
mengukur keberhasilan pencapaian tujuan. Evaluasi ini merupakan catatan
pencapaian hasil dan keputusan-keputuasan untuk perbaikan dan aktualisasi.
Aktivitas evaluasi produk adalah mengukur dan menafsirkan hasil yang telah
dicapai. Pengukuran dikembangkan dan di administrasikan secara cermat dan
teliti. Keakuratan analisis akan menjadi bahan penarikan kesimpulan dan
pengajuan saran sesuai standar kelayakan. Secara garis besar, kegiatan evaluasi
produk meliputi kegiatan penetapan tujuan operasional program, kriteria-kriteria
pengukuran yang telah dicapai, membandingkannya antara kenyataan lapangan
dengan rumusan tujuan, dan menyusun penafsiran secara rasional.
Analisis produk ini diperlukan pembanding antara tujuan, yang ditetapkan
dalam rancangan dengan hasil program yang dicapai. Hasil yang dinilai dapat
berupa skor tes, prosentase, data observasi, diagram data, sosiometri dan sebaginya
yang dapat ditelusuri kaitanya dengan tujuan-tujuan yang lebih rinci. Selanjutnya
dilakukan analisis kualitatif tentang mengapa hasilnya seperti itu. Keputusan-
keputusan yang diambil dari penilaian implementasi pada setiap tahapan evaluasi
program diklasifikasikan dalam tiga katagori yaitu rendah, moderat, dan tinggi.
18
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Model Evaluasi Model Tyler secara konsep menekankan adanya proses evaluasi secara
langsung didasarkan atas tujuan intruksional yang telah ditetapkan bersamaan dengan persiapan
mengajar, ketika seorang guru berinteraksi dengan para siswanya menjadi sasaran pokok dalam
proses pembelajaran. Proses pembelajaran dikatakan berhasil menurut para pendukung Model
Tyler, apabila para siswa yang mengalami proses pembelajaran dapat mencapai tujuan yang telah
ditetapkan dalam proses belajar mengajar. Jika dibandingkan dengan beberapa macam model
pendekatan siswa sebagai pusat pembelajaran (pupil-centered), pendekatan pengukuran secara
langsung (measurement directed approach), pendekatan Tyler memiliki model yang berbeda.
Pendekatan Tyler pada prinsipnya menekankan perlunya suatu tujuan dalam proses belajar
mengajar. Pendekatan ini merupakan pendekatan sistematis, elegan, akurat, dan secara internal
memiliki rasional yang logis. Dibanding dengan model evalusi lainnya, kesederhanaan Model
Tyler juga merupakan kelebihan tersendiri dan merupakan kekuatan konstruk yang elegan serta
mencakup evaluasi kontingensi.
Goal Free evaluation Model (evaluasi bebas tujuan) merupakan model evaluasi yang
dikembangkan Michael Scriven yang berbeda dengan model dari Tyler. Jika model yang
dikembangkan Tyler, evaluator terus menerus memantau sejak awal proses, terus melihat sejauh
mana tujuan telah tercapai. Dalam model ini tidak perlu memperhatikan apa yang menjadi tujuan
program, yang perlu diperhatikan adalah bagaimana pelaksanaan program, dengan cara
mengidentifikasi penampilan-penampilan yang terjadi, baik yang diharapkan (positif) maupun
yang tidak diharapkan (negatif). Fungsi evaluasi bebas tujuan adalah untuk mengurangi bias dan
menambah objektifitas. Dalam evaluasi yang berorientasi pada tujuan, seorang evaluator secara
subjektif persepsinya akan membatasi sesuai dengan tujuan. Padahal tujuan pada umumnya hanya
formalitas dan jarang menunjukkan tujuan yang sebenarnya dari suatu proyek. Lagipula, banyak
hasil program penting yang tidak sesuai dengan tujuan program. Evaluasi bebas tujuan berfokus
pada hasil yang sebenarnya bukan pada hasil yang direncanakan. Dalam evaluasi bebas tujuan ini,
memungkinkan evaluator untuk menambah temuan hasil atau dampak yang tidak direncanakan.
Kirkpatrick salah seorang ahli evaluasi program pelatihan dalam bidang pengembangan
sumber daya manusia (SDM). Model evaluasi yang dikembangkan oleh Kirkpatrick dikenal
dengan istilah Kirkpatrick Four Levels Evaluation Model. Evaluasi terhadap efektivitas program
pelatihan (training) menurut Kirkpatrick (1998) dalam Eko Putro Widoko (2010) mencakup empat
level evaluasi, yaitu: level 1 reaction yaitu jika program training dianggap efektif apabila proses
20
training dirasa menyenangkan dan memuaskan bagi peserta training, sehingga mereka tertarik dan
termotivasi untuk belajar dan berlatih. Dengan kata lain peserta training akan termotivasi apabila
proses training berjalan secara memuaskan bagi peserta yang pada akhirnya akan memunculkan
reaksi dari peserta yang menyenangkan. Sebaliknya apabila peserta tidak merasa puas terhadap
proses training yang diikutinya mereka tidak akan termotivasi untuk mengikuti trainin, level 2
learning yaitu apabila Ada tiga hal yang dapat diajarkan dalam prgram training, yaitu pengetahuan,
sikap maupun keterampilan. Peserta training dikatakan telah belajar apabila pada dirinya telah
mengalami perubahan sikap, perbaikan pengetahuan maupun peningkatan keterampilan. Oleh
karena itu untuk mengukur efektivitas prgram training maka ketiga aspek tersebut perlu untuk
diukur. Tanpa adanya perubahan sikap, peningkatan pengetahuan atau keterampilan pada peserta
training maka program dapat dikatakan gagal. Level 3 behavior yaitu apabila Evaluasi pada level
ke 3 (evaluasi tingkah laku) ini berbeda dengan evaluasi terhadap sikap pada level ke 2. Penilaian
sikap pada evaluasi level 2 difokuskan pada perubahan sikap yang terjadi pada saat kegiatan
pembelajaran dilakukan sehingga lebih bersifat internal, sedangkan penilaian tingkah laku
difokuskan pada perubahan tingkah laku peserta setelah selesai mengikuti pembelajaran. Sehingga
penilaian tingkah laku ini lebih bersifat eksternal , dan level 4 result evaluasi hasil dalam level ke 4
ini difokuskan pada hasil akhir (final result) yang terjadi karena siswa telah mengikuti suatu
program pembelajaran. Termasuk dalam kategori hasil akhir dari suatu program pembelajaran
diantaranya adalah peningkatan hasil belajar, peningkatan pengetahuan, dan peningkatan
keterampilan (skills).
CIPP adalah singkatan yang menunjukkan empat jenis evaluasi dalam model CIPP (Context,
Input, Process, and Product). Dalam evaluasi konteks (context evaluation), evaluator menilai
kebutuhan, masalah, peluang, dan aset sebagai dasar untuk menetapkan dan menilai tujuan dan
prioritas. Dalam evaluasi masukan (input evaluation), evaluator mengidentifikasi dan menilai
pendekatan alternatif dan rencana untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan yang
ditetapkan. Dalam evaluasi proses (process Evaluation), evaluator memantau, dokumen, dan
memberikan umpan balik untuk meningkatkan pelaksanaan program pelaksanaan. Dalam evaluasi
produk (product evaluation), evaluator mengidentifikasi dan menilai hasil yang diinginkan dan
hasil yang tidak diinginkan, hasil positif serta negatif. Model ini dirancang untuk evaluasi formatif
yang digunakan dalam mengembangkan dan melaksanakan program-program dan evaluasi sumatif
dalam menilai program yang telah dilaksanakan dan memenuhi persyaratan akuntabilitas. Model
CIPP mendefinisikan evaluasi, secara umum, sebagai penyelidikan sistematis beberapa nilai objek
dan, secara operasional, sebagai proses menggambarkan, memperoleh, pelaporan, dan menerapkan
informasi deskriptif dan nilai obyek, seperti yang didefinisikan oleh kriteria seperti kualitas,
kegunaan, kejujuran, keadilan, kelayakan, biaya, efisiensi, keamanan, dan signifikansi.
Keterbatasan dari model CIPP mungkin kompleksitas yang tampak jelas pada pandangan pertama.
Pikiran mengintegrasikan beberapa evaluasi dan menerapkan model ini dalam bentuk sebenarnya
21
mungkin tampak menakutkan bagi beberapa lembaga. Selanjutnya, tampak bahwa pelatihan dan
keahlian penelitian yang diperlukan untuk penyesuaian dengan standar yang tinggi yang ditetapkan
oleh Komite Bersama Standar Evaluasi Pendidikan (Leahy, M. J., et all., 2009). Namun, memilih
dan memilih aspek dari model CIPP tampaknya layak untuk agen apapun dan dapat baik
digunakan untuk lebih melengkapi pendekatan yang lebih eklektik dan individual untuk evaluasi
program.
22
DAFTAR PUSTAKA
Stufflebeam, D. S. .1967. The use and abuse of evaluation in title III: Theory Into Practice. 6:3, 126-
133, DOI: 10.1080/00405846709542071.
Stufflebeam, D. S. 2003. The CIPP Model for Evaluation: International Handbook of Educational
Evaluation. Kluwer Academic Publishers vol. 9.
Zhang, G., Zeller, N., et all., 2011. Using the Context, Input, Process, and Product Evaluation Model
(CIPP) as a Comprehensive Framework to Guide the Planning, Implementation, and
Assessment of Service-learning Programs. Journal of Higher Education Outreach and
Engagement, Volume 15, Number 4, p. 57 ISSN 1534-6104.