Disusun Oleh :
Ni Luh Zalilla Gustina (42170154)
Kevin Aditya Kristanto (42170155)
Bontor Daniel Sinaga (42170156)
Pembimbing Klinik :
Kolonel Kes dr. Swasono R., Sp. THT-KL
KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN
RSPAU dr. S.HARDJOLUKITO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA
YOGYAKARTA
2019
BAB I
PENDAHULUAN
Tumor hidung dan sinus paranasal pada umumnya jarang ditemukan, baik
yang jinak maupun yang ganas. Di Indonesia dan di luar negeri, kekerapan jenis
yang ganas hanya sekitar 1 % dari keganasan seluruh tubuh atau 3% dari seluruh
keganasan di kepala dan leher.
Hidung dan sinus paranasal atau juga disebut sinonasal merupakan rongga
yang dibatasi oleh tulang-tulang wajah yang merupa¬kan daerah yang terlindung
sehingga tumor yang timbul di daerah ini sulit diketahui secara dini. Asal tumor
primer juga sulit ditentukan, apakah dari hidung atau sinus karena biasanya pasien
berobat dalam keadaan penyakit telah lanjut dan tumor sudah memenuhi rongga
hidung dan seluruh sinus.
Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan
sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar
102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit.
Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran 1996 yang diadakan
oleh Binkesmas bekerja sama dengan PERHATI dan Bagian THT RSCM
mendapatkan data penyakit hidung dari 7 propinsi. Data dari Divisi Rinologi
Departemen THT RSCM Januari-Agustus 2005 menyebutkan jumlah pasien
rinologi pada kurun waktu tersebut adalah 435 pasien Dari jumlah tersebut 30%
mempunyai indikasi operasi BSEF.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. ANATOMI
Hidung terdiri dari hidung bagian luar berbentuk piramid dengan bagian-
bagiannya dari atas ke bawah:
1. Pangkal hidung (bridge).
2. Batang hidung (dorsum nasi).
3. Puncak hidung (hip).
4. Ala nasi.
5. Kolumela.
6. Lubang hidung (nares anterior).
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi melebarkan
atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari :
1. Tulang hidung (os nasal)
2. Prosesus frontalis os maksila
3. Prosesus nasalis os frontal.
Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan
yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu :
1. Sepasang kartilago nasalis lateralis superior.
2. Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga
sebagai kartilago ala mayor.
3. Tepi anterior kartilago septum.
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang, dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya menjadi kavum
nasi kanan dan kiri. Pintu masuk kavum nasi bagian depan disebut nares
anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang
menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di
belakang nares anterior disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh
kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang
(vibrise).
Gambar 2. Anatomi hidung tampak lateral dan medial
Tiap kavum nasi mempunyai empat buah dinding, yaitu dinding medial,
lateral, inferior, dan superior. Dinding medial adalah septum nasi yang
dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Septum dilapisi oleh perikondrium
pada bagian tulang rawan dan periostium pada bagian tulang, sedangkan di
luarnya dilapisi oleh mukosa hidung.
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya
paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka
media, lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut
konka suprema ini biasanya rudimenter.
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung. Terdapat meatus yaitu
meatus inferior, medius, dan superior. Pada meatus inferior terdapat muara
(ostium) duktus nasolakrimalis. Pada meatus medius terdapat muara sinus
frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior
terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.
a. Batas Rongga Hidung
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh
os maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat
sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis merupakan lempeng
tulang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang-lubang
(kribrosa=saringan) tempat masuknya serabut-serabut saraf
olfaktorius. Di bagian posterior, atap rongga hidung dibentuk oleh
os sfenoid.
b. Vaskularisasi
Bagian atas rongga hidung divaskularisasi oleh arteri etmoidalis
anterior dan posterior yang merupakan cabang dari arteri oftalmika
dari arteri karotis interna.
Bagian bawah rongga hidung divaskularisasi oleh cabang arteri
maksilaris interna, diantaranya arteri palatina mayor dan arteri
sfenopalatina. Arteri sfenopalatina keluar dari foramen
sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung
posterior konka media.
Bagian depan hidung divaskularisasi oleh cabang-cabang a. fasialis.
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang
a. sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior, dan a.
palatina mayor, yang disebut pleksus kiesselbach (little's area).
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan
berdampingan dengan arteri. Vena divestibulum dan struktur luar
hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus
kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga
merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi
sampai ke intrakranial.
Gambar 3. Vaskularisasi hidung
c. Jaringan limfatik
Jaringan limfatik berasal dari mukosa superfisial. Jaringan limfatik
anterior bermuara di sepanjang pembuluh fasialis yang menuju
leher. Jaringan limfatik posterior terbagi menjadi tiga kelompok.
Kelompok superior bermuara pada kelenjar limfe retrofaringea.
Kelompok media menuju ke kelenjar limfe jugularis. Kelompok
inferior menuju ke kelenjar limfe di sepanjang pembuluh jugularis
interna.
d. Innervasi
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris
dari n. etmoidalis anterior yang merupakan cabang n. nasosiliaris
yang bersal dari n. oftalmikus. Rongga hidung lainnya, sebagian
besar terdapat persarafan sensorik dari nervus maksilla melalui
ganglion sfenopalatina. Ganglion ini menerima serabut sensoris dari
n. maksilaris, serabut parasimpatis dari n. petrosus superfisialis
mayor dan serabut saraf simpatis dari n. petrosus profundus.
Ganglion sfenopalatina terletak di belakang dan sedikit di ujung
posterior konka media.
Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Saraf ini turun
melalui lamina kribrosa dari pemukaan bawah bulbus olfaktorius
dan berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius
di daerah sepertiga atas hidung.
e. Fisiologi Hidung
Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional,
fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasalis adalah:
1. Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air
conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang
dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal,
2. Fungsi penghidu karena terdapat mukosa olfaktorius.
3. Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara,
membantu proses bicara dan mencegah hantaran suara
sendiri melalui konduksi tulang,
4. Fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala,
proteksi terhadap trauma dan pelindung panas, dan
5. Refleks nasal, dimana mukosa hidung merupakan reseptor
refleks yang berhubungan dengan saluran cerna,
kardiovaskuler dan pernapasan yang dapat menyebabkan
refleks bersin dan napas berhenti, rangsang bau tertentu akan
menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.
B. EPIDEMIOLOGI
Keganasan hidung dan sinus paranasal (sinonasal) merupakan tumor yang
jarang ditemukan, hanya merupakan 1% dari seluruh tumor ganas pada
tubuh dan 3 % dari keganasan di kepala dan leher. Secara tipikal ditemukan
pada usia mulai dekade ke lima dan ketujuh kehidupan dan rasio
perbandingan antara pria dan wanita adalah sebesar 2:1. Keganasan ini
sering terdiagnosis pada usia 50 sampai 70 tahun.
Insiden tertinggi tumor ganas hidung dan sinus ditemukan di Jepang yaitu
2- 3,6 per 100.000 penduduk pertahun. Di bagian THT FKUI-RSCM,
keganasan ini ditemukan pada 10,1% dari seluruh tumor ganas THT dan
berada di peringkat kedua sesudah tumor ganas nasofaring. Keganasan jenis
ini tertinggi ditemukan di Jepang, China dan India. Kebanyakan pederita
berasal dari golongan sosio- ekonomi rendah.
Rifki pada tahun 1985 mengumpulkan data dari 10 kota besar dari Indonesia
dan mendapatkan frekuensi relatif tumor ganas sinonasal sebanyak 9,3-
25,3% dari seluruh keganasan THT. Amat disayangkan hingga saat ini di
Indonesia belum ada registrasi kanker yang terpadu (Nasional) untuk
mendapatkan data mengenai insidens yang sebenarnya. Data dari beberapa
kota besar yang dikumpulkan oleh bagian Patologi Anatomi didapatkan
frekuensi tumor ganas sinonasal sebanyak 1,3-2,7% dari keseluruhan
keganasan.
Menurut Francis (2004) sinus maksilaris adalah lokasi yang paling sering
terlibat (70%), dengan sinus etmoid sebagai kedua yang paling umum
(20%). Sinus sfenoid (3%) dan sinus frontalis (1%) adalah yang paling
umum untuk lokasi tumor primer.
C. ETIOLOGI
Etiologi tumor ganas sinonasal belum diketahui dengan pasti, tetapi diduga
beberapa zat kimia atau bahan industri merupakan penyebab antara lain
nikel, debu kayu, kulit, formaldehid, kromium, minyak isopropl dan lain-
lain. Pekerja di bidang ini mengalami peningkatan risiko untuk terjadinya
keganasan sinonasal. Alkohol, asap rokok, makanan yang diasinkan atau
diasap diduga meningkatkan kemungkinan terjadi keganasan, sebaliknya
buah-buahan dan sayuran mengurangi kemungkinan terjadi keganasan.
Jenis histologis yang paling umum adalah karsinoma sel skuamosa,
mewakili sekitar 70% kasus. Gejala klinis yang paling sering adalah
obstruksi hidung dan epistaksis.
Selain akibat pekerjaan, ada yang menganggap bahwa sinusitis kronis dapat
menyebabkan metaplasia yang kemudian menjadi karsinoma sel skuamosa
pada sinonasal.
D. GEJALA KLINIS
Menurut Roezin (2007) gejala tergantung dari asal primer tumor serta arah
dan perluasannya. Tumor di dalam sinus maksila biasanya tanpa gejala.
Gejala timbul setelah tumor besar, sehingga mendesak atau menembus
dinding tulang meluas ke rongga hidung, rongga mulut, pipi, orbita atau
intrakranial.
Gejala nasal berupa obstruksi hidung unilateral dan rinorea. Sekretnya
sering bercampur darah atau terjadi epistaksis. Tumor yang besar dapat
mendesak tulang hidung sehingga terjadi deformitas hidung. Khas pada
tumor ganas ingusnya berbau karena mengandung jaringan nekrotik.
Pada gejala orbital ada perluasan tumor ke arah orbita menimbulkan gejala
diplopia, proptosis (penonjolan bola mata), oftalmoplegia, gangguan visus,
dan epifora.
Pada gejala oral dapat disertai perluasan tumor ke rongga mulut
menyebabkan penonjolan atau ulkus di palatum atau di prosesus alveolaris.
Pasien mengeluh gigi palsunya tidak tepat melekat atau gigi geligi goyang.
Sering kali pasien datang ke dokter gigi karena nyeri di gigi, tetapi tidak
sembuh meskipun gigi yang sakit telah dicabut.
Pada pasien dengan gejala fasial adanya perluasan tumor ke area wajah
dimana akan menyebabkan penonjolan pipi. Gejala dapat disertai nyeri,
hilang sensasi (anesthesia atau parastesia) jika mengenai nervus trigeminus.
Sementara perluasan tumor ke intrakranial dapat menyebabkan sakit kepala
hebat, oftalmoplegia, dan gangguan visus, yang dapat disertai likuorea,
yaitu cairan otak yang keluar melalui hidung. Jika perluasan sampai ke fossa
kranii media maka saraf otak lainnya bisa terkena. Jika tumor meluas ke
belakang, terjadi trismus akibat terkenanya muskulus pterigoideus disertai
anestesia dan parestesia daerah yang dipersarafi nervus maksilaris dan
mandibularis.
E. DIAGNOSIS
a. Pemeriksaan
Menurut Mangunkusumo (1989) tujuan utama pemeriksaan adalah
untuk mengetahui seberapa jauh perluasan tumor, sehingga dapat
merencanakan pengobatan dan mengevaluasi prognosisnya.
b. Anamnesis
Sangat penting untuk melakukan anamnesis yang teliti. Perlu
ditanyakan adalah hiperestesia atau anestesia di daerah pipi, adanya
massa atau radang di daerah muka, rasa kebas atau keluhan gigi goyang,
adakah gigi palsu yang tidak terfiksasi dengan baik lagi, penglihatan
ganda, kesulitan membuka mulut, keluhan hidung tersumbat, sekret atau
mengeluarkan darah, keluhan nyeri kepala, perubahan keperibadian,
gangguan penciuman atau keluarnya air mata terus- menerus.
c. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara seksama, dengan penekanan
pada regio sinonasal, orbita dan syaraf-syaraf kranial, dan juga harus
dilakukan endoskopi nasal. Meskipun bukan patognomonik, mati rasa
(kebas) atau hiperestesia syaraf infraorbital (V2) atau supraorbital (V3)
secara kuat merupakan dugaan invasi keganasan. Temuan-temuan lain
seperti proptosis, kemosis, kelemahan otot ekstraokular, dan adanya
massa di pipi, gingival atau sulkus ginggivo-bukal juga sangkaan
adanya tumor sinonasal.
d. Radiologic Imaging
Menurut Bailey (2006), pencitraan radiologi penting untuk menentukan
staging. Foto X-Ray (Plain film) dapat menunjukkan destruksi tulang.
Meskipun demikian pada beberapa kasus dapat menunjukkan keadaan
normal.
Computerized Tomography Screening (CT scan) lebih akurat daripada
foto sinar-X untuk menilai struktur tulang sinus paranasal dan lebih
murah daripada foto sinar-X. Pasien beresiko tinggi dengan riwayat
terpapar karsinogen, nyeri persisten yang berat, neuropati kranial,
eksoftalmus, kemosis, penyakit sinonasal dan dengan gejala persisten
setelah pengobatan medis yang adekuat seharusnya dilakukan
pemeriksaan dengan CT scan axial dan coronal dengan kontras atau
Magnetic Resonance Imaging (MRI). CT scan merupakan pemeriksaan
superior untuk menilai batas tulang traktus sinonasal dan dasar tulang
tengkorak. Penggunaan kontras dilakukan untuk menilai tumor,
vaskularisasi, dan hubungannya dengan arteri karotid.
MRI dipergunakan untuk membedakan tumor dengan jaringan lunak
sekitarnya, membedakan sekresi di dalam nasal yang tersumbat dari
space occupying lesion (SOL), menunjukkan penyebaran perineural,
membuktikan keunggulan imaging pada sagital plane, dan tidak
melibatkan paparan terhadap radiasi ionisasi. Coronal MRI image
terdepan untuk mengevaluai foramen rotundum, vidian canal, foramen
ovale dan kanal optik. Sagital image berguna untuk menunjukkan
replacement signal berintensitas rendah yang normal dari Meckel cave
signal berintensitas tinggi dari lemak di dalam fossa pterygopalatine
oleh signal tumor yang mirip dengan otak.
Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi. Jika
tumor tampak di kavum nasi atau rongga mulut, maka biopsy harus
segera dilakukan melalui tindakan rinoskopi atau melalui operasi
Caldwell-Luc yang insisinya melalui sulkus ginggivo-bukkal.
e. Biopsi
Diagnosis suatu tumor berdasarkan hasil histopatologi biopsi tumor.
Untuk mengambil biopsi dari tumor hidung tidaklah sulit. Jaringan
langsung diambil sedikit dengan tang biopsi dan perdarahan yang timbul
biasanya cukup diatasi dengan tampon anterior.
Biopsi tumor sinus maksila biasanya dilakukan melalui pendekatan
Caldwell-Luc, yang insisinya melalui sulkus ginggivo-bukal.
Biopsi tumor sinus etmoid biasanya diambil dari perluasan tumor di
rongga hidung atau di kantus medius. Biopsi tumor sinus sfenoid
dilakukan melalui pendekatn transnasal, tetapi sering kali biopsy
didapat dari perluasan tumor ke nasofaring atau rongga hidung. Biopsi
tumor sinus frontal dilakukan dengan insisi supraorbital dan osteotomi.
F. GAMBARAN HISTOPATOLOGI
Tumor jinak tersering adalah papiloma skuamosa diikuti oleh inverted
papilloma dimana ini bersifat sangat invasif, dapat merusak jaringan di
sekitarnya serta sangat cenderung untuk menetap dan dapat berubah
menjadi ganas. Karsinoma sel skuamosa merupakan gambaran
histopatologi yang paling sering pada keganasan sinonasal (70%), dimana
sinus maksila adalah yang tersering terkena (65%-80%), disusul sinus
etmoid (15%-25%), sedangkan sinus sfenoid dan frontal jarang terkena.
G. KLASIFIKASI
Tabel 1. Klasifikasi jenis tumor sinonasal
I. PENATALAKSANAAN
1. Pembedahan
a. Drainage/Debridement
Drainage adekuat (seperti nasoantral window) seharusnya dilakukan
pada pasien dengan sinusitis sekunder dan pada pasien yang
mendapat terapi radiasi sebagai pengobatan primer.
b. Resection
Menurut Bailey (2006) surgical resection selalu direkomendasikan
dengan tujuan kuratif. Palliative excision dipertimbangkan untuk
mengurangi nyeri yang parah, untuk dekompresi cepat dari struktur-
struktur vital, atau untuk memperkecil lesi massif, atau estetika.
Pembedahan merupakan penatalaksanaan tunggal untuk tumor
maligna traktus sinonasal dengan angka ketahanan hidup 5 tahun
sebesar 19% hingga 86%.
Dengan kemajuan-kemajuan terbaru dalam preoperative imaging,
intraoperative image-guidance system, endoscopic instrumentation
dan material untuk hemostasis, teknik sinonasal untuk mengangkat
tumor nasal dan sinus paranasal mungkin merupakan alternatif yang
dapat dilakukan untuk traditional open technique. Pendekatan
endoskopik dapat dipakai untuk melihat tumor dalam rongga nasal,
etmoid, sfenoid, medial frontal dan sinus maksilaris medial. Frozen
section harus digunakan untuk melihat batas bebas tumor.
c. Rehabilitasi
Tujuan utama rehabilitasi pasca operasi adalah penyembuhan luka
primer, memelihara atau rekonstruksi bentuk wajah dan pemulihan
oronasal yang terpisah kemudian memperlancar proses bicara dan
menelan. Rehabilitasi setelah reseksi pembedahan dapat dicapai
dengan dental prosthesis atau reconstructive flap seperti flap otot
temporalis dengan atau tanpa inklusi tulang kranial, pedicled atau
microvascular free myocutaneous dan cutaneous flap.
d. Terapi Radiasi
Radiasi digunakan sebagai metode tunggal untuk membantu
pembedahan atau sebagai terapi paliatif. Radiasi pasca operasi dapat
mengontrol secara lokal tetapi tidak mempengaruhi kelangsungan
hidup spesifik atau absolut. Sel-sel tumor yang sedikit dapat
dibunuh, pinggir tumor non radiasi dapat dibatasi sepanjang
pembedahan dan penyembuhan luka pasca operasi lebih dapat
diperkirakan.
e. Kemoterapi
Peran kemoterapi untuk pengobatan tumor traktus sinonasal
biasanya paliatif, penggunaan efek cytoreductive untuk mengurangi
rasa nyeri dan penyumbatan, atau untuk mengecilkan lesi eksternal
massif. Penggunaan cisplatin intrarterial dosis tinggi dapat
digunakan secara bersamaan dengan radiasi pada pasien dengan
karsinoma sinus paranasal. Angka ketahanan hidup 5 tahun sebesar
53%. Pasien yang menunjukkan resiko pembedahan yang buruk dan
yang menolak untuk dilakukan operasi dipertimbangkan untuk
mendapatkan kombinasi radiasi dan kemoterapi.
J. PROGNOSIS
Menurut Roezin (2007) pada umumnya prognosis kurang baik. Banyak
sekali faktor yang mempengaruhi prognosis keganasan nasal dan sinus
paranasal. Faktor-faktor tersebut seperti perbedaan diagnosis histologi, asal
tumor primer, perluasan tumor, pengobatan yang diberikan sebelumnya,
batas sayatan, terapi adjuvan yang diberikan, status imunologis, lamanya
follow up dan banyak lagi faktor lain yang dapat berpengaruh terhadap
agresivitas penyakit dan hasil pengobatan yang tentunya berpengaruh juga
terhadap prognosis penyakit ini. Walaupun demikian, pengobatan yang
agresif secara multimodalitas akan memberikan hasil yang terbaik dalam
mengontrol tumor primer dan akan meningkatkan angka ketahanan hidup 5
tahun sebesar 75% untuk seluruh stadium tumor.
BAB III
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Sdr. RY
Tanggal Lahir : 26 juli 1991
Usia : 27 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Karangmojo, Gunungkidul
Pekerjaan : Tidak Bekerja
Tanggal Periksa : 26 Maret 2019
No.RM : 008983xx
II. ALLOANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Benjolan pada sisi hidung kiri
E. Riwayat Pengobatan
Riwayat Operasi : (-)
Riwayat Mondok : (-)
Riwayat Alergi Obat / makanan : (disangkal)
F. Life style
Pasien tidak berkerja saat ini, kesharian hanya dirumah saja. Awalnya
pasien bekerja selama 7 bulan di suatu perusahan tekstil kain dan
berhenti bekerja pada bulan januari, untukk pekerjaan di pabrik pasien
mengatakan selalu menggunakan alat perlindungan diri lengkap karena
merupakan SOP dari perusahaan tersebut. Pola makan pasien baik dan
teratur, namun jarang berolahraga dan berktifitas fisik akhir akhir ini.
Pasien bukan merupakan seorang perokok dan tidak mengkonsumsi
alcohol.
STATUS GENERALIS
A. Kepala
Ukuran Kepala : Normochepali
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-),
injeksi konjungtiva (-/-), reflek pupil (+/+), reflek cahaya (+/+),
gerakan bola (+/+).
Hidung : Deformitas (-), rhinorhea (-), epitaksis (-),
nyeri tekan (-), krepitasi(-), mukosa hiperemis (-)
Mulut : Mukosa basah (+), Sianosis (-/-), faring
hiperemis (-).
Telinga : Discharge (-), Deformitas (-), nyeri tekan
mastoid (-), nyeri tekan auricular (-)
B. Leher
Inspeksi : Tidak terdapat deviasi
Palpasi : Limfonodi tidak teraba, Nyeri tekan (-),
Pembesaran Tiroid (-)
Auskultasi : Bruit (-)
C. Thorax
Inspeksi : simetris, tidak terdapat kelainan bentuk
dada, tidak ada ketertinggalan gerak, retraksi otot intercostal (-)
Perkusi : sonor (+/+)
Palpasi : nyeri (-/-), krepitasi (-)
Auskultasi : suara paru bronkovesikuler (+/+), Ronki
basah (-/-) Wheezing (-/-), Suara jantung S1 dan S2 terdengar
bising (-), gallop (-)
D. Abdomen
Inspeksi : supel (+), Distensi (-), Jejas (-), benjolan /
massa (-)
Auskultasi : peristaltik usus (+)
Perkusi : timpani
Palpasi : nyeri tekan (-)
E. Ekstremitas
Atas : Akral teraba hangat,edema (-/-) , CRT< 2
detik
Bawah : Akral teraba hangat, edema (-/-), CRT < 2
detik
STATUS LOKALIS
Pemeriksaan Telinga
KANAN KIRI
Pemeriksaan Telinga Kanan Telinga Kiri
Auricula dalam batas normal, dalam batas normal,
deformitas (-) deformitas (-)
Benjolan tidak ada tidak ada
Nyeri Tekan Tragus tidak ada tidak ada
Planum Mastoidium Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Glandula Limfatik Pembesaran (-) Pembesaran (-)
Canalis Auditorius Serumen (+), edema (-), Serumen (+), edema (-),
Externa hiperemis (-) hiperemis (-)
Membran Timpani Perforasi (-), hiperemis Perforasi (-), hiperemis
(-) (-)
Kesan: AD et AS dalam batas normal
V. DIAGNOSIS
Tumor Dorsum Nasi
Tonsillitis Kronik
VII. PENATALAKSANAAN
1. Farmakologi
Terapi farmakologi digunakan untuk gejala simptomatik saja pada kasus
ini
2. Non Farmakologi
Oral hygine 2x sehari
Terapi tumor – dapat dilakukan excici
VIII. PLANNING
Pemeriksaan foto CT-Scan
Pemeriksaan biopsy tumor
Pemeriksaan kadar kolesterol total
Rujuk dokter THT
IX. EDUKASI
Monitoring KU, tingkat kesadaran dan GCS, Vital sign
Pencegahan Jatuh
Menjaga kebersihan mulut dengan oral hygine 2x sehari
IX. PROGNOSIS
Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad Fungsionam : dubia ad bonam
Ad Sanationam : dubia ad bonam