Anda di halaman 1dari 12

SKRIPSI

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL AKAR PURWOCENG (Pimpinella


pruatjan Molk.) SECARA AKUT TERHADAP GAMBARAN HISTOLOGI HEPAR
TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN

Uji Toksisitas Akut

Oleh:
Tomi Nugraha
G1A012096

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN KEDOKTERAN
PURWOKERTO

2016
2

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL AKAR PURWOCENG (Pimpinella


pruatjan Molk.) SECARA AKUT TERHADAP GAMBARAN HISTOLOGI HEPAR
TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN: UJI TOKSISITAS AKUT

Tomi Nugraha, Fitranto Arjadi, Dhadhang Wahyu K.

ABSTRAK

Latar Belakang: Akar Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.) merupakan tanaman yang
banyak digunakan sebagai obat tradisional untuk meningkatkan vitalitas pria. Senyawa aktif
yang terkandung di dalam akar Purwoceng memiliki potensi toksik. Hepar merupakan organ
yang rentan mengalami kerusakan akibat zat toksik. Penelitian mengenai tingkat keamanan
Purwoceng belum banyak dipublikasikan. Uji toksisitas akut merupakan salah satu uji untuk
mengetahui tingkat keamanan sebuah obat.
Tujuan: Menganalisis pengaruh pemberian ekstrak etanol akar Purwoceng (Pimpinella
pruatjan Molk.) secara akut terhadap kerusakan gambaran histologi hepar tikus putih (Rattus
norvegicus) jantan.
Metode: Penelitian ini bersifat eksperimental dengan pendekatan post-test only terhadap
tikus putih jantan galur Wistar. Intervensi dilakukan pada 15 ekor tikus yang terbagi ke dalam
lima kelompok secara acak, yaitu kelompok kontrol (A), kelompok perlakuan dengan dosis 5
mg/kgBB (B), 50 mg/kgBB (C), 300 mg/kgBB (D), dan 2000 mg/kgBB (E). Kerusakan
gambaran histologi hepar dihitung dengan menggunakan skor Roenigk yang dimodifikasi.
Hasil: Uji Kruskal-Wallis menunjukkan gambaran kerusakan yang tidak bermakna (p>0.05).
Rerata total skor Roenigk yang dimodifikasi kelompok A=201±68.02, kelompok
B=269.33±54.88, kelompok C=250±48.07, kelompok D=218.33±68.71, dan kelompok
E=279±67.67. Uji Kruskal-Wallis menunjukkan gambaran kerusakan yang tidak bermakna
(p>0.05).
Kesimpulan: Pemberian ekstrak etanol akar Purwoceng secara akut berbagai dosis tidak
merusak gambaran histologi hepar tikus putih jantan dibandingkan dengan kelompok kontrol
sehat.
Kata Kunci: Purwoceng, Uji Toksisitas Akut, Histologi Hepar, Skor Roenigk

PENDAHULUAN

Purwoceng merupakan contoh obat tradisional yang sering digunakan. Akar

Purwoceng secara turun temurun dipercaya dapat meningkatkan vitalitas pria1,2. Tanaman

Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.) tumbuh endemis di beberapa dataran tinggi di

Indonesia. Tanaman ini diduga memiliki efek androgenik dan anabolik1,3.

Penelitian efek farmakologi yang dilakukan kepada hewan coba membuktikan bahwa

kandungan akar Purwoceng memiliki efek androgenik yang dapat bermanfaat untuk
3

meningkatkan derajat spermatogenesis dalam testis, meningkatkan jumlah dan motilitas

sperma, serta meningkatkan kadar hormon LH dan testosteron2,3,4.

Uji fitokomia menunjukkan bahwa akar Purwoceng mengandung senyawa flavonoid,

tanin, kumarin, saponin, sterol, alkaloid, oligosakarida, eurikomalakton, dan amarolinda2,5,6.

Senyawa aktif hasil uji fitokimia yang terkandung di dalam akar Purwoceng

merupakan senyawa xenobiotik yang akan mengalami biotransformasi seperti halnya obat

pada umumnya. Sisa hasil biotransformasi obat dapat menjadi racun bagi tubuh manusia7.

Hepar sebagai organ utama biotransformasi obat akan terpapar oleh sisa metabolik, racun,

dan mikroba selama menjalankan fungsinya, sehingga hepar rentan mengalami kerusakan8.

Senyawa aktif yang terkandung dalam akar Purwoceng dapat berpotensi toksik.

Senyawa yang bersifat lipofilik seperti alkaloid, tanin, dan flavonoid dapat menyebabkan

kerusakan pada sel tubuh. Kerusakan yang terjadi diakibatkan senyawa aktif tersebut lebih

mudah berikatan dengan sel tubuh, dan meningkatkan durasi metabolisme obat di dalam

tubuh9,10. Senyawa aktif lain seperti fenol merupakan metabolit sekunder yang dapat

menimbulkan efek toksik11,12.

Keamanan sebuah obat dapat digambarkan dengan melakukan uji toksisitas. Hal ini

bertujuan agar obat dapat dikatakan baik13. Uji toksisitas adalah uji yang dilakukan untuk

mengetahui pengaruh pajanan zat toksik dengan waktu pemberian tertentu terhadap organ

sasaran14.

Uji toksisitas akut merupakan langkah awal dari uji toksisitas umum. Uji ini dilakukan

untuk mendeteksi efek toksik yang muncul pada organ sasaran dalam waktu singkat setelah

pemberian obat dosis tunggal secara oral atau dosis berulang dalam waktu 24 jam15.
4

METODE PENELITIAN

Rancangan Studi

Penelitian yang dilakukan adalah penelitian eksperimental dengan desain post-test

only dengan kelompok kontrol. Persetujuan etik didapatkan dari KEPK Fakultas Kedokteran

Universitas Padjadjaran.

Subjek

Hewan coba yang digunakan adalah tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur

Wistar dengan kriteria inklusi tikus jantan, berusia 8 – 12 minggu, dan memiliki berat badan

diantara 150 – 200 gram. Hewan coba dieksklusikan apabila sakit dan mengalami perubahan

berat badan 10% selama masa aklimatisasi. Hewan coba yang digunakan sebanyak 15 ekor

dan dikelompokkan dengan metode rancangan acak lengkap ke dalam lima kelompok, yaitu

(A) kelompok kontrol dan pemberian ekstrak etanol akar Purwoceng dosis tunggal (B) 5

mg/kgBB, (C) 50 mg/kgBB, (D) 300 mg/kgBB, dan (E) 2000 mg/kgBB.

Tata Urutan Kerja

Ekstrak etanol akar purwoceng dibuat dengan teknik maserasi. Aklimatisasi diberikan

selama tujuh hari sebelum perlakuan dalam kandang berukuran 60 x 40 x 35 cm. Pemberian

dosis tunggal ekstrak etanol akar Purwoceng diberikan pada hari pertama setelah proses

aklimatisasi selesai. Pengamatan dilakukan selama 4 jam pertama setelah pemberian dosis

untuk melihat tanda toksisitas umum berupa konvulsi, tremor, diare, agitasi, dan koma.

Hewan diobservasi kembali pada waktu 24 jam, kemudian dilakukan terminasi hewan coba

dan pengambilan organ. Organ kemudian dibuat preparat yang diwarnai menggunakan

larutan Hematoxylin-Eosin.
5

Pengambilan Data

Perubahan gambaran histologi hepar pada tikus putih dinilai berdasarkan skor

Roenigk yang dimodifikasi untuk menilai kerusakan hepatosit. Penilaian dilakukan dengan

mengamati gambaran histologi 20 hepatosit setiap lapang pandang. Sel yang normal diberi

skor 1, sel yang mengalami degenerasi parenkimatosa diberi skor 2, sel yang mengalami

degenerasi hidropik diberi skor 3, sementara sel yang mengalami nekrosis diberi skor 4. Total

skor dijumlahkan hingga pengamatan dilakukan sampai lima lapang pandang.

Analisis Statistik

Uji validitas dan reliabilitas antarpengamat dilakukan menggunakan uji Kappa.

Analisis univariat terdiri atas mean dan standar deviasi hasil pengamatan per kelompok. Data

hasil penilaian histologi hepar terdistribusi tidak normal pada kelompok D, sehingga

digunakan uji Kruskall-Wallis untuk perbandingan hasil pengamatan secara umum.

Perbandingan hasil pengamatan antarkelompok digunakan menggunakan uji Mann-Whitney

dan uji T tidak berpasangan.

HASIL

Gambaran Histologi Hepar

Gambaran histologi hepar pada seluruh kelompok menunjukkan adanya variasi

hepatosit yang beragam seperti terlihat pada Gambar 1. Gambaran histologi hepar normal

dapat terlihat lebih banyak pada kelompok A, dimana bentuk dan ukuran sel masih seragam

dengan inti sel yang masih bulat dan di tengah, serta sinusoid terlihat melebar.

Degenerasi parenkimatosa dapat terlihat dari hepatosit yang lebih besar dari ukuran

normal dengan sitoplasma yang bergranul kemerahan, hal ini terjadi akibat adanya

penumpukkan protein. Degenerasi hidropik dapat terlihat dari hepatosit yang lebih besar dari
6

ukuran normal, akan tetapi terdapat vakuola pada sitoplasma yang berwarna jernih.

Degenerasi dapat dilihat pada seluruh kelompok.

Nekrosis dapat terlihat dari gambaran inti yang mengalami perubahan berupa piknotik,

karioreksis, dan kariolisis. Piknotik merupakan gambaran intik yang memadat, karioreksis

merupakan gambaran inti yang pecah menjadi fragmen-fragmen, sedangkan kariolisis

merupakan gambara inti sel yang memudar. Gambaran nekrosis lebih banyak dapat

dikjumpai pada

Sumber: Data primer peneliti


Gambar 1. Gambaran histologi hepar tikus pasca perlakuan. (A) Kelompok kontrol,
kelompok perlakuan ekstrak etanol akar Purwoceng dosis tunggal (B) 5 mg/kgBB, (C)
50 mg/kgBB, (D) 300 mg/kgBB, dan (E) 2000 mg/kgBB. (1) hepatosit normal; (2)
degenerasi parenkimatosa; (3) degenerasi hidropik; (4) nekrosis; (5) daerah porta; (6)
sinusoid. Pewarnaan Hematoxylin-eosin (HE); Perbesaran 400x.
7

Rerata Total Skor Roenigk

Hasil rerata total skor Roenigk paling tinggi terdapat pada kelompok E, yang diikuti

oleh kelompok B, kelompok C, dan kelompok D seperti terlihat pada Gambar 2. Hasil uji

Kurskal-Wallis didapatkan hasil p=0.363 (p>0.05) yang menunjukkan bahwa tidak terdapat

perbedaan kerusakan gambaran histologi hepar yang bermakna antarkelompok. Analisis data

dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney untuk mengetahui perbedaan perubahan antara

kelompok D dengan kelompok yang lain, sedangkan untuk kelompok A, B, C, dan E

dilakukan analisis lanjutan dengan menggunakan uji T-independen. Hasil uji Mann-Whitney

dan T independen didapatkan hasil p>0.05, sehingga perbedaan perubahan gambaran

histologi hepar terbukti tidak memiliki perbedaan yang bermakna antarkelompok.

400
279 ± 67.7  
350 269.3 ± 54.9    
250.0 ± 48.07    218.3 ± 68.7    
300 201 ± 68.0    

250
Skor

200

150

100

50

0
A 1 B 2 C 3 D 4 E 5

Gambar 2 Rerata total skor Roenigk.

DISKUSI

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata total skor Roenigk paling tinggi terdapat

pada kelompok E dengan rerata 279 ± 67.67, sedangkan rerata total skor Roenigk paling

rendah terdapat pada kelompok D dengan rerata 218.33 ± 68.71. Kelompok B dan C berada
8

diantara kelompok E dan D, dimana kelompok B memiliki rerata 269.33 ± 54.88 yang lebih

tinggi jika dibandingkan dengan kelompok C dengan rata-rata 250 ± 48.07.

Hasil analisis total skor Roenigk dengan uji Kruskal-Wallis, yang dilanjutkan dengan

uji Mann Whitney dan uji T-Independen, menunjukkan nilai p>0.05. Hal ini menunjukkan

bahwa tidak terdapat kerusakan gambaran histologi hepar yang bermakna jika dibandingkan

dengan kelompok kontrol pada pemberian dosis tunggal ekstrak etanol akar Purwoceng

secara akut pada seluruh kelompok perlakuan.

Kerusakan gambaran histologi hepar di dalam penelitian ini pada dasarnya diakibatkan

oleh kandungan aktif ekstrak etanol akar purwoceng, seperti alkaloid, flavonoid, tanin, dan

fenol yang memiliki potensi toksik terhadap hepar9,10,12.

Kerusakan yang tidak bermakna pada penelitian ini terjadi karena, kandungan senyawa

aktif pada akar Purwoceng selain memiliki potensi toksik juga memiliki sifat hepatoprotektif.

Penelitian terhadap mencit yang diberikan karbon tetraklorida menunjukkan bahwa flavonoid

memiliki aktivitas hepatoprotektif16,17. Selain itu, sebuah penelitian mengenai pemberian obat

herbal menunjukkan bahwa kandungan flavonoid memberikan efek hepatoprotektif yang

signifikan18. Penelitian lain menunjukkan bahwa glikosida, flavonoid, triterpenoid, dan fenol

merupakan senyawa aktif yang memiliki aktivitas hepatoprotektif19.

Purwoceng juga mengandung beberapa senyawa aktif yang bersifat antioksidan seperti

flavonoid, tanin, triterpenoid, vitamin E5,20. Terdapatnya senyawa antioksidan pada

Purwoceng dapat memberikan mekanisme pertahanan hepar untuk menangkal radikal bebas

hidroksil dan hidrogen peroksida dengan cara melakukan metabolisme peroksida lipid21.

Selain itu, senyawa antioksidan yang terkandung di dalam Purwoceng dapat menghambat

pembentukan Reactive Oxygen Species dan mencegah menumpuknya lipid peroksidase22.

Kelompok D memiliki rerata total skor Roenigk yang paling rendah, hal ini dapat

terjadi karena sebuah penelitian menunjukkan bahwa obat herbal yang mengandung tanin dan
9

flavonoid dengan dosis 200 mg/kgBB dan 500 mg/kgBB memiliki efek hepatoprotektif

terhadap kelinci yang mengalami hepatotoksisitas akibat parasetamol23.

Gambaran histologi hepar pada kelompok kontrol (A) menunjukkan skor Roenigk yang

bervariasi, namun pada kelompok kontrol tetap terjadi kerusakan mulai dari degenerasi

parenkimatosa hingga terjadi nekrosis. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti

faktor biologis, faktor kimia, faktor hereditas, dan faktor lingkungan.

Faktor lingkungan telah dikendalikan dengan memberikan kandang dan suasana yang

sama. Suasana tempat penelitian dikendalikan dengan menjaga temperatur, kelembaban, dan

sirkulasi udara, selain itu kandang selalu dibersihkan setiap hari. Asupan makanan yang

diberikan juga sama pada seluruh kelompok, tetapi jumlah pakan, riwayat pakan, dan riwayat

minum pada hewan coba pada penelitian ini tidak diketahui. Jumlah asupan pakan yang

kurang selama tiga hari menurut sebuah penelitian dapat menyebabkan kerusakan ringan

pada jaringan hepar24.

Faktor biologis juga dapat berpengaruh terhadap terjadinya kerusakan gambaran hepar.

Hal ini dapat disebabkan oleh adanya mikroorganisme berupa jamur pada pakan yang

diberikan. Penelitian menunjukkan bahwa terdapat dugaan adanya kelompok jamur yang

hidup di dalam pakan hewan coba dan dapat menghasilkan aflatoksin25. Kandungan

aflatoksin ini merupakan zat yang dapat menimbulkan efek merusak pada hepar26.

Perlakuan pada penelitian ini dilakukan selama 24 jam dengan pemberian obat dosis

tunggal secara peroral. Hal ini bertujuan untuk melihat respon organ terhadap dosis obat yang

diberikan dalam waktu yang singkat. Kerusakan hepatosit pada penelitian ini menunjukkan

perbedaan yang tidak signifikan antarkelompok. Hal ini dapat terjadi karena sebuah

penelitian menunjukan bahwa regenerasi hepar dapat terjadi secara sempurna pada hari ke-2,

ke-4 dan ke-8 pasca reseksi hepar, sehingga observasi kerusakan hepatosit yang bersifat

ireversibel dapat kita lihat27.


10

Kerusakan sel pada umumnya dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu jejas reversibel

dan jejas ireversibel. Jejas reversibel adalah suatu kondisi dimana sel yang mengalami

kerusakan dapat mengkompensasi rusaknya integritas membran sel, gangguan pembentukan

ATP, gangguan sintesis protein, dan rusaknya integritas apparatus genetik. Jika kompensasi

gagal dilakukan, maka akan timbul jejas ireversibel yang menyebabkan disfungsi

mitokondria dan gangguan fungsi membran yang luas. Degenerasi parenkimatosan dan

degenerasi hidropik yang dihitung pada skor Roenigk merupakan bagian dari jejas reversibel,

sedangkan nekrosis dikategorikan sebagai jejas ireversibel28.

Penelitian ini memiliki banyak kekurangan dan perlu dilakukan konfirmasi kembali

pada beberapa proses, seperti identifikasi kandungan aktif hasil ekstraksi, aklimatisasi,

pemilihan hewan coba, pembuatan preparat, dan pengamatan preparat. Hasil ekstraksi

sebaiknya dilakukan uji fitokimia agar kandungan aktif secara lengkap dapat diketahui. Cara

pemilihan hewan coba yang sehat sebaiknya ditambahkan pemeriksaan penanda kerusakan

hepar seperti pemeriksaan SGOT dan SGPT sebagai kriteria inklusi. Pola makan hewan coba

selama masa aklimatisasi dan perlakuan aklimatisasi sebaiknya selalu dipantau, walaupun

pemberian pakan secara ad libitum sudah dilakukan. Lama pengamatan hewan coba pada

penelitian selanjutnya lebih baik di perpanjang agar melihat sel yang mengalami jejas

ireversibel.

KESIMPULAN

Pemberian ekstrak etanol akar Purwoceng secara akut berbagai dosis tidak merusak

gambaran histologi hepar tikus putih jantan dibandingkan dengan kelompok kontrol sehat.
11

REFERENSI

1. Dewoto, H. R. 2007. Pengembangan Obat Tradisional Indonesia Menjadi


Fitofarmaka. Majalah Kedokteran Indonesia. 57(7): 205 – 2011.
2. Juniarto, A. Z. 2004. Perbedaan Pengaruh Pemberian Ekstrak Eurycoma Longifolia
dan Pimpinella Alpina Molk pada Spermatogenesis Tikus Sprague Dawley. Tesis.
Universitas Diponegoro. Semarang. (Tidak dipublikasikan)
3. Usmiati, S. dan S. Yuliani. 2010. Efek Androgenik dan Anabolik Ekstrak Akar
Pimpinella alpina Molk (Purwoceng) pada Anak Ayam Jantan. Prosiding Seminar
Nasional teknologi Peternakan dan Veteriner. 2010: 744 – 755.
4. Taufiqqurrachman. 1999. Pengaruh Ekstrak Pimpinella alpina Molk (Purwoceng) dan
Akar Eurycoma longifolia Jack. (Pasak Bumi) Terhadap Peningkatan Kadar
Testosteron, LH, dan FSH serta Perbedaan Peningkatannya pada Tikus Jantan
Sprague Dawley. Tesis. Semarang: Prodi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana
Universitas Diponegoro.
5. Pribadi, W. A. 2012. Efektivitas Ekstrak Etanol Purwoceng (Pimpinella alpina)
terhadap Pertambahan Bobot Badan Tikus Betina Bunting pada Umur Kebuntingan 0
– 13 Hari. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
6. Darwati, I. dan I. Roostika. 2006. Status penelitian Purwoceng di Indonesia. Buletin
Plasma Nutfah. 12(1): 9 – 15.
7. Correia, M. A. 2007. Drug Biotransformation dalam Basic & Clinical Pharmacology
10th Ed. New York: McGraw-Hill Companies.
8. Kumar, V., Abul K. Abbas, Nelson Fausto, dan Richard Mitchell. 2007. Robbins
Basic Pathology 8th Ed. Philadelphia: Saunders Elsevier Inc.
9. Purwita, A. A., N.K. Indah, dan G. Trimulyono. 2013. Penggunaan Ekstrak Daun
Srikaya (Annona squamosa) Sebagai Pengendali Jamur Secara In Vitro. Lantera
Biologi. 2(2): 179 – 183.
10. Doostdar, H., Burke, M. D. dan Mayer, R. T. 2000. Bioflavonoids: selective
substrates and inhibitors for cytochrome P450 CYP1A and CYP1B1. Toxicology.
144(1-3): 31 – 38.
11. Kunaepah, U. 2008. Pengaruh Lama Fermentasi dan Konsentrasi Glukosa Terhadap
Aktivitas Antibakteri, Polifenol Total dan Mutu Kimia Kefir Susu Kacang Merah.
Artikel Ilmiah. Universitas Diponegoro. Semarang.
12. Kyselova, Z. 2011. Toxicological aspects of the use of phenolic compounds in disease
prevention. Interdisciplinary Toxicology. 4(4): 173 – 183.
13. Spillane, J. J. 2010. Ekonomi Farmasi. Yogyakarta: Grasindo.
14. Lu, F. C. 2006. Toksikologi Dasar: Asas, Organ Sasaran, dan Penilaian Risiko. Edi
Nugroho, penerjemah. Jakarta: Universitas Indonesia.
15. BPOM. 2014. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pedoman Uji Toksisitas Nonklinik Secara In
Vivo.
16. Al-Jumaily, E. F., Raghad S. A., dan Jasim M. Abdulla. 2014. Hepatoprotective
Activity of Flavonoids Purified and Ethanolic Extract from Iraqi Propolis Against
12

Carbon tetrachloride- Induced Liver Damage In Male Mice. IOSR Journal Of


Pharmacy. 4(3): 22 – 27.
17. Sannigrahi, S., Upal K. M., Dilip K. P., Arijit M., dan Souvik R. 2009.
Hepatoprotective Potential of Flavonoid Rich Fraction of Enhydra fluctuans Against
CCl4-Induced Oxidative Damage in Rats. Pharmacologyonline. 2(2009): 575 – 586.
18. Gupta A., Sheth N. R., Sonia P., Jitendra S. Y., dan Shrikant V. J. 2015. Screening of
flavonoids rich fractions of three Indian medicinal plants used for the management of
liver diseases. Brazilian Journal of Pharmacology. 25(2015): 485 – 490.
19. Adewusi, E. A. dan A. J. Afolayan. 2010. A review of natural products with
hepatoprotective activity. Journal of Medicinal Plants Research. 4(13): 1318 – 1334.
20. Achmadi, P. 2011. Kajian Androgenik Ekstrak Etanol Akar Purwoceng (Pimpinela
alpina KDS) Terhadap Kinerja Reproduksi Tikus Putih (Rattus norvegicus) Betina
Dara. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
21. Chen, Y., Dong, H., Thompson, D.C., Shertzer, H.G., dan Nebert, D.W., et al. 2013.
Glutathione Defense Mechanism in Liver Injury: Insights from Animal Models. Food
Chemical Toxicology. 2013 October ; 60: 38–44.
22. Adewole, S.O, dan Ojewole John A.O. 2009. Protective Effects of Annona Muricata
Linn. (Annonaceae) Leaf Aqueous Extract on Serum Lipid Profiles and Oxidative
Strees in Hepatocytes of Streptozotocin-Treated Diabetic Rats. African Journal
Traditional, Complementary and Alternatives Medicines. 6(1): 30-41.
23. Rehman J. U. et al. 2015. Phytochemical Screening and Hepatoprotective Effect of
Alhagi maurorum Boiss (Leguminosae) Against Paracetamol-Induced Hepatotoxicity
in Rabbits. Tropical Journal of Pharmaceutical Research. 14(6): 1029 – 1034.
24. Al-Qudah, M. M. 2012. The Histological Examination of Male Albino Rats Liver
Which Was Exposed to Hunger Stress. World Applied Sciences Journal. 16(10): 1427
– 1431.
25. Rachmawati, S., dan Hamid, H. 2006. Pengaruh Penggunaan Sambiloto
(Andrographis paniculata Nees) Terhadap Kandungan Residu Aflatoksin dalam Hati
Itik dan Hubungannya dengan Aflatoksikon. Seminar nasional Teknologi Peternakan
dan Veteriner.3(1) : 25-30.
26. Onyegeme-Okerenta, B. M. dan Enyadike N. U. 2015. Hepatotoxic Effect of
Aflatoxin-Contaminated Agro Feeds (Groundnut, Maize & Melon Seed) on Wistar
Albino Rats. Agricultural and Biological Sciences Journal. 1(5): 190 – 196.
27. Andersen, K. J. et al. 2013. The natural history of liver regeneration in rats:
Description of an animal model for liver regeneration studies. International Journal of
Surgery. 11(2013): 903 – 908.
28. Mitchell, R. N. dan Ramzi S. Cotran. 2004. Jejas, Adaptasi, dan Kematian Sel dalam
Buku Ajar Patologi Robbins, Edisi 7, Volume 1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.

Anda mungkin juga menyukai