Anda di halaman 1dari 46

LAPORAN KASUS

“SEORANG PEREMPUAN DENGAN KOLELITIASIS DISERTAI KOLESISTITIS


DAN FATTY LIVER GRADE 2”

Disusun Oleh :
Ignasius Hans
406181022

Pembimbing :
dr. Lia Sasdesi Mangiri, Sp.Rad

KEPANITERAAN BAGIAN RADIOLOGI


RSUD K.R.M.T WONGSONEGORO SEMARANG
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TARUMANAGARA
PERIODE 25 November – 30 Desember 2018

1
LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Ignasius Hans


NIM : 406181022
Fakultas : Kedokteran Umum
Universitas : Universitas Tarumanagara
Bagian : Ilmu Radiologi
Judul laporan kasus : Seorang perempuan dengan kolelitiasis disertai kolesistitis dan
fatty liver grade 2
Diajukan : 20 Desember 2018
Pembimbing : dr. Lia Sasdesi Mangiri, Sp.Rad

Telah diperiksa dan disahkan tanggal : ........................................

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Lia Sasdesi Mangiri, Sp.Rad

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas anugerah, hidayah dan rahmatNYA sehingga
penulis dapat mennyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Seorang perempuan dengan
kolelitiasis disertai kolesistitis dan fatty liver grade 2” guna memenuhi salah satu persyaratan
dalam menempuh kepaniteraann klinik bagian ilmu radiologi Fakultas Kedokteran Universitas
Tarumanagara di RSUD K.R.M.T Wonngsonegoro Kota Semarang periode 25 November – 30
Desember 2018.
Penulis sangat bersyukur atas keberhasilan penyusunan laporan kasus ini. Hal ini tidak
terlepas dari dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak . oleh karena itu, penulis
mengucapkan terimakasih kepada :
1. dr. Luh Putu Endyah Santi Maryani, Sp.Rad
2. dr. Oktina Rachmi Dachliana, Sp.Rad
3. dr. Lia Sasdesi Mangiri, Sp.Rad
4. seluruh staff instalasi radiologi RSUD K.R.M.T Wonngsonegoro Kota Semarang
5. Rekan – rekan anggota kepaniteraan klinik ilmu radiologi
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kritik
dan saran sangat bersifat membangun dari berbagai pihak penulis. Akhir kata, semoga Allah
SWT berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga laporan
kasus ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri maupun pembaca.

Semarang, 20 Desember 2018

Penulis

3
Daftar Isi

Lembar pengesahan....................................................................................2
Kata pengantar............................................................................................3
Daftar isi.....................................................................................................4
BAB I Pendahuluan....................................................................................6
BAB II Tinjauan Pustaka............................................................................7
2.1 Kolelitiasis......................................................................................... 7
2.1.1 definisi …………....................................................................7
2.1.2 epidemiology .........................................................................8
2.1.3 Anatomy .................................................................................8
2.1.4 Fisiology...................................................................................9
2.1.5 Etiology.....................................................................................11
2.1.6 faktor resiko..............................................................................12
2.1.7 patofisiologis ............................................................................13
2.1.8 pemeriksaan ..............................................................................16
2.1.9 tatalaksana .................................................................................19
2.1.10 komplikasi ................................................................................20
2.1.11 prognosis ...................................................................................21
2.2 Kolesistitis...............................................................................................21
2.2.1 Definisi........................................................................................21
2.2.2 patogenesis...................................................................................21
2.2.3 diagnosis......................................................................................23
2.2.4 diagnosis banding .......................................................................27
2.2.5 komplikasi...................................................................................27
2.3 Fatty liver.................................................................................................28
2.3.1 epidemiology…………...............................................................28

4
2.3.2 patofisiology .............................................................................29
2.3.3 Pemeriksaan penunjang ...........................................................32
2.3.4 Working diagnosis ...................................................................34
2.3.5 komplikasi ................................................................................35
BAB III Laporan Kasus....................................................................................36
3.1 Identitas….................................................................................................36
3.2 Anamnesis………………………………………………………….…....36
3.2.1 Keluhan Utama.............................................................................36
3.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang.........................................................36
3.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu............................................................37
3.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga.........................................................37
3.1.6 Riwayat Sosial Ekonomi.............................................................37
3.3 pemeriksaan Fisik.....................................................................................37
3.4 Pemeriksaan Penunjang............................................................................40
3.5 Diagnosis..................................................................................................42
3.6 Prognosis...................................................................................................42
BAB IV Pembahasan .......................................................................................43
Daftar Pustaka...............................................................................................................44

5
BAB 1

Latar Belakang

Kandung empedu adalah sebuah kantung terletak di bawah hati yang mengonsentrasikan
dan menyimpan empedu sampai ia dilepaskan ke dalam usus.1 Batu empedu (gallstones)
merupakan suatu keadaan dimana terdapatnya timbunan kristal di dalam kandung empedu
(vesica fellea) atau di dalam saluran empedu. Batu yang ditemukan di dalam kandung empedu
disebut kolelitiasis, sedangkan batu di dalam saluran empedu disebut koledokolitiasis.1 Batu
yang ditemukan di dalam kandung empedu tersebut bisa berupa batu kolesterol, batu pigmen,
atau batu campuran. Kolelitiasis saat ini menjadi masalah kesehatan masyarakat karena frekuensi
kejadiannya yang tinggi yang menyebabkan beban finansial maupun beban sosial bagi
masyarakat.
Di Inggris lebih dari 40.000 kolesistektomi dilakukan setiap tahun, sedangkan di Amerika
dilakukan kolesistektomi lebih dari 500.000 setiap tahun. Insiden batu pada saluran empedu
kurang lebih 12% yang ditemukan sebelum atau pada saat kolesistektomi. Angka kejadiannya
pada wanita tiga kali lebih banyak dari pada pria. Faktor risiko kolelitiasis dikenal dengan
singkatan 4F (Female, Fatty, Fourty, Fertile).1 Di Inggris sekitar 4000 pasien dilakukan
pembersihan batu saluran empedu. Batu empedu dan saluran empedu terutama ditemukan di
Barat, namun frekuensinya di negara-negara Afrika dan Asia terus meningkat selama abad ke 20.
Di Tokyo angka kejadian penyakit ini telah meningkat menjadi dua kali lipat sejak tahun 1940. 2
Insiden di Indonesia belum diketahui secara pasti, karena masih minimnya penelitian. Banyak
penderita batu kandung empedu tanpa gejala dan ditemukan secara kebetulan pada waktu
dilakukan foto polos abdomen, USG, atau saat operasi untuk tujuan yang lain.

Dengan perkembangan peralatan dan teknik diagnosis yang baru yaitu USG, maka
banyak penderita batu kandung empedu yang ditemukan secara dini sehingga dapat dicegah
kemungkinan terjadinya komplikasi. Semakin canggihnya peralatan dan semakin kurang
invasifnya tindakan pengobatan sangat mengurangi morbiditas dan mortalitas.3

6
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kolelitiasis

2.1.1 Definisi

Kolelitiasis adalah penyakit batu empedu yang dapat ditemukan di dalam kandung
empedu atau di dalam saluran empedu, atau pada kedua duanya. Sebagian besar batu
empedu, terutama batu kolesterol, terbentuk di dalam kandung empedu. 1 Hati terletak di
kuadran kanan atas abdomen di atas ginjal kanan, kolon, lambung, pankreas, dan usus serta
tepat di bawah diafragma. Hati dibagi menjadi lobus kiri dan kanan, yang berawal di
sebelah anterior di daerah kandung empedu dan meluas ke belakang vena kava. Kuadran
kanan atas abdomen didominasi oleh hati serta saluran empedu dan kandung empedu.
Pembentukan dan ekskresi empedu merupakan fungsi utama hati. 1,4 Kandung empedu adalah
sebuah kantung terletak di bawah hati yang mengonsentrasikan dan menyimpan empedu
sampai ia dilepaskan ke dalam usus. Kebanyakan batu duktus koledokus berasal dari batu
kandung empedu, tetapi ada juga yang terbentuk primer di dalam saluran empedu.3 Batu empedu
bisa terbentuk di dalam saluran empedu jika empedu mengalami aliran balik karena adanya
penyempitan saluran. Batu empedu di dalam saluran empedu bisa mengakibatkan infeksi
hebat saluran empedu (kolangitis). Jika saluran empedu tersumbat, maka bakteri akan tumbuh
dan dengan segera menimbulkan infeksi di dalam saluran. Bakteri bisa menyebar melalui aliran
darah dan menyebabkan infeksi di bagian tubuh lainnya.1,5

Adanya infeksi dapat menyebabkan kerusakan dinding kandung empedu, sehingga


menyebabkan terjadinya statis dan dengan demikian menaikkan batu empedu. Infeksi dapat
disebabkan kuman yang berasal dari makanan. Infeksi bisa merambat ke saluran empedu
sampai ke kantong empedu. Penyebab paling utama adalah infeksi di usus. Infeksi ini
menjalar tanpa terasa menyebabkan peradangan pada saluran dan kantong empedu sehingga
cairan yang berada di ka ntong empedu mengendap dan menimbulkan batu. Infeksi

7
tersebut misalnya tifoid atau tifus. Kuman tifus apabila bermuara di kantong empedu dapat
menyebabkan peradangan lokal yang tidak dirasakan pasien, tanpa gejala sakit ataupun
demam. Namun, infeksi lebih sering timbul akibat dari terbentuknya batu dibanding penyebab
terbentuknya batu.1,2,6

2.1.2 Epidemiologi

Di negara barat, batu empedu mengenai 10% orang dewasa. Angka prevalensi orang
dewasa lebih tinggi. Angka prevalensi orang dewasa lebih tinggi di negara Amerika Latin (20%
hingga 40%) dan rendah di negara Asia (3% hingga 4%).2Kolelitiasis termasuk penyakit yang
jarang pada anak. Menurut Ganesh et al dalam pengamatannya dari tahun januari 1999 sampai
desember 2003 di Kanchi kamakoti Child trust hospital, mendapatkan dari 13.675 anak yang
mendapatkan pemeriksaan USG, 43 (0,3%) terdeteksi memiliki batu kandung empedu. Semua
ukuran batu sekitar kurang dari 5 mm, dan 56% batu merupakan batu soliter. Empat
puluh satu anak (95,3%) dengan gejala asimptomatik dan hanya 2 anak dengan gejala
(Gustawan, 2007).7

Tiap tahun 500.000 kasus baru dari batu empedu ditemukan di Amerika Serikat. Kasus
tersebut sebagian besar didapatkan di atas usia pubertas, sedangkan pada a nak- anak
jarang. Insiden kolelitiasis atau batu kandung empedu di Amerika Serikat diperkirakan 20 juta
orang yaitu 5 juta pria dan 15 juta wanita. Pada pemeriksaan autopsi di Amerika, batu kandung
empedu ditemukan pada 20% wanita dan 8% pria. 2,8 Pada pemeriksaan autopsi di Chicago,
ditemukan 6,3% yang menderita kolelitiasis. Sekitar 20% dari penduduk negeri Belanda
mengidap penyakit batu empedu, baik yang bergejala maupun yang tidak. Persentase
penduduk yang mengidap penyakit batu empedu pada penduduk Negro Masai ialah 15- 50 %.
2,3,9
Pada orang - orang Indian Pima di Amerika Utara, frekuensi batu empedu adalah 80%. Di
Indonesia, kolelitiasis baru mendapatkan perhatian di klinis, sementara publikasi penelitian
batu empedu masih terbatas. Sebagian besar pasien de ngan batu empedu tidak mempunyai
keluhan.3,4

2.1.3 Anatomi Kandung Empedu

Kandung empedu bentuknya seperti kantong, organ berongga yang panjangnya


sekitar 10 cm, terletak dalam suatu fossa yang menegaskan batas anatomi antara lobus hati

8
kanan dan kiri. Kandung empedu merupakan kantong berongga berbentuk bulat lonjong
seperti buah advokat tepat di bawah lobus kanan hati. 2,10 Kandung empedu mempunyai
fundus, korpus, dan kolum. Fundus bentuknya bulat, ujung buntu dari kandung empedu yang
sedikit memanjang di atas tepi hati. Korpus merupakan bagian terbesar dari kandung empedu.
Kolum adalah bagian yang sempit dari kandung empedu yang terletak antara korpus dan daerah
duktus sistika.7

Empedu yang disekresi secara terus- menerus oleh hati masuk ke saluran emped u yang
kecil dalam hati. Saluran empedu yang kecil bersatu membentuk dua saluran lebih besar
yang keluar dari permukaan bawah hati sebagai duktus hepatikus kanan dan kiri yang
segera bersatu membentuk duktus hepatikus komunis. Duktus hepatikus bergabung de ngan
duktus sistikus membentuk duktus koledokus.7

2.1.4 Fisiologi Kandung Empedu

9
Fungsi kandung empedu, yaitu:

a. Tempat menyimpan cairan empedu dan memekatkan cairan empedu yang ada di dalamnya
dengan cara mengabsorpsi air dan elektrolit. Cairan empedu ini adalah cairan elektrolit yang
dihasilkan oleh sel hati.8.11

b. Garam empedu menyebabkan meningkatnya kelarutan kolesterol, lemak dan vitamin


yang larut dalam lemak, sehingga membantu penyerapannya dari usus. Hemoglobin yang
berasal dari penghancuran sel darah merah diubah menjadi bilirubin (pigmen utama dalam
empedu) dan dibuang ke dalam empedu.8,11,12

Kandung empedu mampu menyimpan 40- 60 ml empedu. Diluar waktu makan, empedu
disimpan sementara di dalam kandung empedu. Empedu hati tidak dapat segera masuk ke
duodenum, akan tetapi setelah melewati duktus hepatikus, empedu masuk ke duktus sistikus dan
ke kandung empedu. Dalam kandung empedu, pembuluh limfe dan pembuluh darah
mengabsorpsi air dari garam - gara m anorganik, sehingga empedu dalam kandung empedu kira-
kira lima kali lebih pekat dibandingkan empedu hati.2,4,13

Empedu disimpan dalam kandung empedu selama periode interdigestif dan diantarkan ke
duodenum setelah rangsangan makanan. Pengaliran cairan empedu diatur oleh 3 faktor, yaitu
sekresi empedu oleh hati, kontraksi kandung empedu, dan tahanan sfingter koledokus.
Dalam keadaan puasa, empedu yang diproduksi akan dialih- alirkan ke dalam kandung
empedu. Setelah makan, kandung empedu berkontraksi, sfingter relaksasi, dan empedu mengalir
ke duodenum.3,4,14. Memakan makanan akan menimbulkan pelepasan hormon duodenum, yaitu
kolesistokinin (CCK), yang merupakan stimulus utama bagi pengosongan kandung empedu,
lemak merupakan stimulus yang lebih kuat. Reseptor CCK telah dikenal terletak dalam otot
polos dari dinding kandung empedu.7,11 Pengosongan maksimum terjadi dalam waktu 90- 120
menit setelah konsumsi makanan. Empedu secara primer terdiri dari air, lemak, organik,
dan elektrolit, yang normalnya disekresi oleh hepatosit. Zat terlarut organik adalah garam
empedu, kolesterol, dan fosfolipid.7,15 Sebelum makan, garam - garam empedu menumpuk di
dalam kandung empedu dan hanya sedikit empedu yang mengalir dari hati. Makanan di
dalam duodenum memicu serangkaian sinyal ho rmonal dan sinyal saraf sehingga kandung
empedu berkontraksi. Sebagai akibatnya, empedu mengalir ke dalam duodenum dan bercampur
dengan makanan.7,16 Empedu memiliki fungsi, yaitu membantu pencernaan dan penyerapan

10
lemak, berperan dalam pembuangan limbah tertentu dari tubuh, terutama hemoglobin yang
berasal dari penghancuran sel darah merah dan kelebihan kolesterol, garam empedu
meningkatkan kelarutan kolesterol, lemak dan vitamin yang larut dalam lemak untuk
membantu proses penyerapan. Garam empedu merangsa ng pelepasan air oleh usus besar
untuk membantu menggerakkan isinya, bilirubin (pigmen utama dari empedu) dibuang ke
dalam empedu sebagai limbah dari sel darah merah yang dihancurkan, serta obat dan limbah
lainnya dibuang dalam empedu dan selanjutnya dibua ng dari tubuh. 2 Garam empedu kembali
diserap ke dalam usus halus, disuling oleh hati dan dialirkan kembali ke dalam empedu.
Sirkulasi ini dikenal sebagai sirkulasi enterohepatik . Seluruh garam empedu di dalam
tubuh mengalami sirkulasi sebanyak 10- 12 kali/hari. Dalam setiap sirkulasi, sejumlah kecil
garam empedu masuk ke dalam usus besar (kolon). Di dalam kolon, bakteri memecah garam
empedu menjadi berbagai unsur pokok. Beberapa dari unsur pokok ini diserap kembali dan
sisanya dibuang bersama tinja. Ha nya sekitar 5% dari asam empedu yang disekresikan dalam
feses.2,4

2.1.5 Etiologi

Batu Empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan jarang dibentuk
pada bagian saluran empedu lain. Etiologi batu empedu masih belum diketahui. Satu teori
menyatakan bahwa kolesterol dapat menyebabkan supersaturasi empedu di kandung
empedu. Setelah beberapa lama, empedu yang telah mengalami supersaturasi menjadi
mengkristal dan mulai membentuk batu. Akan tetapi, tampaknya faktor predisposisi
terpenting adalah gangguan metabo lisme yang menyebabkan terjadinya perubahan
komposisi empedu, stasis empedu, dan infeksi kandung empedu. 8 Berbagai faktor yang
mempengaruhi pembentukan batu empedu, di antaranya:

1. Eksresi garam empedu

Setiap faktor yang menurunkan konsentrasi berbagai garam empedu atau fosfolipid
dalam empedu. Asam empedu dihidroksi atau dihydroxy bile acids adalah kurang polar
dari pada asam trihidroksi. Jadi dengan bertambahnya kadar asam empedu dihidroksi
mungkin menyebabkan terbentuknya batu empedu.8,17

2. Kolesterol empedu

11
Apa bila binatanang percobaan di beri diet tinggi kolestrol, sehingga kadar kolesrtol
dalam vesika vellea sangat tinggi, dapatlah terjadi batu empedu ko lestrol yang ringan.
Kenaikan k olestreol empedu dapat di jumpai pada orang gemuk, dan diet kaya lemak.9

3. Substansia mukus

Perubahan dalam banyaknya dan komposisi substansia mukus dalam empedu mungkin
penting dalam pembentukan batuempedu.9

4. Pigmen empedu

Pada anak muda terjadinya batu empedu mungkin disebabkan karena bertambahya
pigmen empedu. Kenaikan pigmen empedu dapat terjadi karena hemolisis yang kronis.
Eksresi bilirubin adalah berupa larutan bilirubin glukorunid.8,9

5. Infeksi

Adanya infeksi dapat menyebabkan krusakan dinding kandung empedu, sehingga


menyebabkan terjadinya stasis dan dengan demikian menaikan pembentukan batu.9

2.1.6 Faktor Resiko

Faktor resiko untuk kolelitiasis, yaitu:

a. Usia

Risiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Orang
dengan usia > 40 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan orang
de ngan usia yang lebih muda. Di Amerika Serikat, 20 % wanita lebih dari 40 tahun mengidap
batu empedu. Semakin meningkat usia, prevalensi batu empedu semakin tinggi. Hal ini
disebabkan:

1. Batu empedu sangat jarang mengalami disolusi spontan.

2. Meningkatnya sekresi kolesterol ke dalam empedu sesuai dengan

bertambahnya usia.

3. Empedu menjadi semakin litogenik bila usia semakin bertambah.2,3,18

12
b. Jenis kelamin

Wanita mempunyai risiko dua kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan
dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap peningkatan
eskresi kolesterol oleh kandung empedu. Hingga dekade ke- 6, 20 % wanita dan 10 % pria
menderita batu empedu dan prevalens inya meningkat dengan bertambahnya usia, walaupun
umumnya selalu pada wanita.2,3

c. Berat badan (BMI)

Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi
untuk terjadi kolelitiasis. Ini di karenakan dengan tingginya BMI maka kadar kolesterol
dalam kandung empedu pun tinggi, dan jugamengurasi garam empedu serta mengurangi
kontraksi/pengosongan kandung empedu.4,7

d. Makanan

Konsumsi makanan yang mengandung lemak terutama lemak hewani berisiko untuk
menderita kolelitiasis. Kolesterol merupakan komponen dari lemak. Jika kadar kolesterol
yang terdapat dalam cairan empedu melebihi batas normal, cairan empedu dapat
mengendap dan lama kelamaan menjadi batu. Intake rendah klorida, kehilangan berat
badan yang cepat mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan dapat
menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.2,10

e. Aktifitas fisik

Kurangnya aktifitas fisik berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya


kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit berkontraksi.10

f. Nutrisi intra- vena jangka lama

Nutrisi intra- vena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak terstimulasi
untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/nutrisi yang melewati intestinal. Sehingga
resiko untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam kandung empedu.3,8

2.1.7 Patofisiologi

13
Empedu adalah satu- satunya jalur yang signifikan untuk mengeluarkan kelebihan
kolesterol dari tubuh, baik sebagai kolesterol bebas maupun sebagai garam empedu. Hati
berperan sebagai metabolisme lemak. Kira - kira 80 persen ko lesterol yang disintesis dalam
hati diubah menjadi garam empedu, yang sebaliknya kemudian disekresikan kembali ke dalam
empedu; sisanya diangkut dalam lipoprotein, dibawa oleh darah ke semua sel jaringan tubuh.3,19,20

Kolesterol bersifat tidak larut air da n dibuat menjadi larut air melalui agregasi garam
empedu dan lesitin yang dikeluarkan bersama - sama ke dalam empedu. Jika konsentrasi
kolesterol melebihi kapasitas solubilisasi empedu (supersaturasi), kolesterol tidak lagi mampu
berada dalam keadaan terdisp ersi sehingga menggumpal menjadi kristal - kristal kolesterol
monohidrat yang padat.9,21

Etiologi batu empedu masih belum diketahui sempurna. Sejumlah penyelidikan


menunjukkan bahwa hati penderita batu kolesterol mensekresi empedu yang sangat jenuh
dengan ko lesterol. Batu empedu kolesterol dapat terjadi karena tingginya kalori dan pemasukan
lemak. Konsumsi lemak yang berlebihan akan menyebabkan penumpukan di dalam tubuh
sehingga sel- sel hati dipaksa bekerja keras untuk menghasilkan cairan empedu. Kolesterol
y ang berlebihan ini mengendap dalam kandung empedu dengan cara yang belum
dimengerti sepenuhnya.3,6

Patogenesis batu berpigmen didasarkan pada adanya bilirubin tak terkonjugasi di


saluran empedu (yang sukar larut dalam air), dan pengendapan garam bilirubin kalsium.
Bilirubin adalah suatu produk penguraian sel darah merah.2

Batu empedu yang ditemukan pada kandung empedu di klasifikasikan berdasarkan


bahan pembentuknya sebagai batu kolesterol, batu pigmen dan batu campuran. Lebih dari 90%
batu empedu adalah kolesterol (batu yang mengandung >50% kolesterol) atau batu campuran
(batu yang mengandung 20- 50% kolesterol). Angka 10% sisanya adalah batu jenis
pigmen, yang mana mengandung <20% kolesterol. Faktor yang mempengaruhi
pembentukan batu antara lain adalah keadaan statis kandung empedu, pengosongan
kandung empedu yang tidak sempurna dan konsentrasi kaslium dalam kandung empedu.2

Batu kandung empedu merupakan gabungan material mirip batu yang terbentuk di
dalam kandung empedu. Pada keadaan normal, asam empedu, lesitin dan fosfolipid membantu

14
dalam menjaga solubilitas empedu. Bila empedu menjadi bersaturasi tinggi
( supersaturated) oleh substansi berpengaruh (kolesterol, kalsium, bilirubin), akan
berkristalisasi dan membentuk nidus untuk pembentukan batu. Kristal yang terbentuk
dalam kandung empedu, kemudian lama- kelamaan kristal tersebut bertambah ukuran,
beragregasi, melebur dan membentuk batu. Faktor motilitas kandungempedu , billiary statis,
dan kandungan empedu merupakan predisposisi pembentukan batu kandung empedu.2,4

a. Batu kolesterol

Untuk terbentuknya batu kolesterol diperlukan 3 faktor utama:

- Supersaturasi kolesterol

- Hipomotilitas kandung empedu

- Nukleasi/pembentukan nidus cepat

Khusus mengenai nukleasi cepat, sekarang telah terbukti bahwa empedu pasien
denga n kolelitiasis mempunyai zat yang mempercepat waktu nukleasi kolesterol
(promotor) sedangkan empedu orang normal mengandung zat yang menghalangi terjadinya
nukleasi.4

b. Batu kalsium bilirunat (pigmen coklat)

Batu pigmen coklat terbentuk akibat adanya faktor statis dan infeksi saluran empedu.
Statis dapat disebabkan oleh adanya disfungsi Sfingter Oddi, striktur, operasi bilier dan
infeksi parasit. Bila terjadi infeksi saluran empedu, khususnya E.Coli, kadar enzim B-
glukoronidase yang berasal dari bakteri akan dihidrolisasi menjadi bilirubin bebas dan
asam glukoronat. Kalsium mengikat bilirubin menjadi kalsium bilirubinat yang tidak larut.
Dari penelitian yang dilakukan didapatkan adanya hubungan erat antara infeksi bakteri dan
terbentuknya batu pigmen coklat. U mumnya batu pigmen coklat ini terbentuk di saluran
empedu dalam empedu yang terinfeksi.4,6

c. Batu pigmen hitam

Batu pigmen hitam adalah tipe batu yang banyak ditemukan pada pasien dengan
hemolisis kronik atau sirosis hati. Batu pigmen hitam ini terutama terdiri dari derivat

15
polymerized bilirubin. Patogenesis terbentuknya batu ini belum jelas. Umumnya batu pigmen
hitam terbentuk dalam kandung empedu dengan empedu yang steril.6,8

Batu kandung empedu dapat berpindah ke dalam duktus koledokus melalui duktus
sistikus. Di dalam perjalanannya melalui duktus sistikus, batu tersebut dapat menimbulkan
sumbatan alian empedu secara parsial maupun total sehingga menimbulkan gejala kolik bilier.
Pasase berulang batu empedu melalui duktus sistikus yang sempit dapat menimbulkan iritasi dan
perlukaan sehingga dapat menimbulkan peradangan dinding duktus dan striktur. Apabila
batu berhenti di dalam duktus sistikus dikarenakan diameter batu yang terlalu besar
ataupun karena adanya striktur, batu akan tetap berada disana sebag ai batu duktus sistikus.1,6

Kolelitiasis asimptomatis biasanya diketahui secara kebetulan, sewaktu pemeriksaan


ultrasonografi, foto polos abdomen, atau perabaan saat operasi. Pada pemeriksaan fisik atau
laboratorium biasanya tidak ditemukan kelainan.8

2.1.8 Diagnosis

2.1.8.1 Anamnesis

Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah asimtomatis. Keluhan yang


mungkin timbul adalah dispepsia yang kadang disertai intoleran terhadap makanan
berlemak. Pada yangsimtomatis, keluhan utama berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran
kanan atas atau perikondrium. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang mungkin
berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam kemudian.
1,4
Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan - lahan tetapi pada 30% kasus timbul tib a- tiba.
Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, scapula, atau ke puncak bahu, disertai mual
dan muntah. Lebih kurang seperempat penderita melaporkan bahwa nyeri berkurang
setelah menggunakan antasida. Kalau terjadi kolelitiasis, keluhan nyeri menetap dan
bertambah pada waktu menarik nafas dalam.1

2.1.8.2 Pemeriksaan fisik

1. Batu kandung empedu

Apabila ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan komplikasi, seperti


kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum, hidrop kandung empedu, atau
16
pankreatitis. Pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan punktum maksimum di daerah
letak anatomis kandung empedu. Murphy sign positif apabila nyeri tekan bertambah sewaktu
penderita menarik nafas panjang karena kan dung empedu yang meradang tersentuh ujung jari
tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas.2

2. Batu saluran empedu

Batu saluran empedu tidak menimbulkan gejala pada fase tenang. Kadang teraba
hepar dan sklera ikterik. Perlu diketahui bila kadar bilirubin darah kurang dari 3 mg/dl, gejala
ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan saluran empedu bertambah berat, akan timbul ikterus
klinis.2

2.1.8.3 Pemeriksaan penunjang

A. Pemeriksaan laboratorium

Batu kandung empedu yang asimptomatik biasanya tidak menunjukkan kelainan


pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi leukositosis.
Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum akibat
penekanan duktus koledokus oleh batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin
disebabkan oleh batu di dalam duktus koledokus. Kadar serum alkali fosfatase dan
mungkin juga amilase serum biasanya meningkat sedang setiap kali terjadi serangan akut.1,3

B. Pemeriksaan radiologi

1. Foto Polos Abdomen

Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena hanya
sekitar 10- 15% batu kandung empedu yang bersifat radiopak. Kadang- kadang empedu
yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat dengan foto polos.
Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar atau hidrops, kandung
empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan
gambaran udara dalam usus besar, di fleksura hepatika.8,11

2. Ultrasonografi (USG)

17
Ultrasonografi mempunyai kadar spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk
mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intra- hepatik. Dengan USG
juga dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau udem yang
diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus koledokus
distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh udara di dalam usus. Dengan USG
punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu yang ganggren lebih jelas
daripada dengan palpasi biasa.11,13

3. Kolesistografi

Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena relatif
murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga dapat dihitung
jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan il eus paralitik, muntah,

18
kadar bilirubin serum di atas 2 mg/dl, obstruksi pylorus dan hepatitis, karena pada keadaan-
keadaan tersebut kontras tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan kolesistografi oral lebih
bermakna pada penilaian fungsi kandung empedu.1,13

2.1.9 Penatalaksanaan

Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan pengobatan. Nyeri yang
hilang timbul bisa dihindari atau dikurangi dengan menghindari atau mengurangi makanan
berlemak.2,3 Pilihan penatalaksanaan antara lain:

A. Kolisistektomi terbuka

Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien dengan kolelitiasis
simptomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang terjadi adalah cedera dekubitus
biliaris yang terjadi pada 0,2% pasien. Indikasi yang paling umum untuk kolisistektomi
adala h kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut.2

B. Kolisistektomi laparoskopi

Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simptomatik tanpa adanya kolesistitis
akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah mulai melakukan
prosedur ini pada pasien dengankolesistitis akut dan pasien dengan batu duktus koledokus.
Secara teoritis keuntungan tindakan ini dibandingkan prosedur konvensional adalah dapat
mengurangi perawatan di rumah sakit dan biaya yang dikeluarkan, pasien dapat cepat
kembali bekerja, nyeri menurun dan perbaikan kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan
adalah keamanan dari prosedur ini, berhubungan dengan insiden komplikasi seperti cedera
duktus biliaris yang mungkin dapat terjadi lebih sering selama kolesistektomi laparoskopi.

C. Disolusi medis

Masalah umum yang menggangu semua zat yang pernah digunakan adalah angka
kekambuhan yang tinggi dan biaya yang dikeluarkan. Zat disolusi hanya memperlihatkan
manfaatnya untuk batu empedu jenis kolesterol. Penelitian prospektif acak dari asam
xenodeoksikolat telah mengindikasikan bahwa disolusi dan hilangnya batu secara lengkap
terjadi sekitar 15%. Jika obat ini dihentikan, kekambuhan batu terjadi pada 50% pasien.3

19
D. Disolusi kontak

Meskipun pengalaman masih terbatas, infus pelarut kolesterol yang poten (metal -
ter- butil - eter (MTBE)) ke dalam kandung empedu melalui kateter yang diletakkan per
kutan telah terlihat efektif dalam melarutkan batu empedu pada pasien- pasien tertentu.
Prosedur ini invasif dan kerugian utamanya ad alah angka kekambuhan yang tinggi (50%
dalam 5 tahun).8

E. Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL)

Sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu, analisis biaya- manfaat pada
saat ini memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya terbatas pada pasien yang telah benar-
benar dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini.1,2

D. Kolesistotomi

Kolesistotomi yang dapat dilakukan dengan anastesi lokal bahkan disamping tempat
tidur pasien terus berlanjut sebagai prosedur yang bermanfaat, terutama untuk pasien yang
sakitnya kritis.4,6

2.1.10 Komplikasi

Komplikasi untuk kolelitiasis, yaitu:

a. Kolesistitis

Kolesistitis adalah Peradangan kandung empedu, saluran kandung empedu tersumbat


oleh batu empedu, menyebabkan infeksi dan peradangan kandung empedu.9

b. Kolangitis

Kolangitis adalah peradangan pada saluran empedu, terjadi karena infeksi yang
menyebar melalui saluran- saluran dari usus kecil setelah saluran - saluran menjadi terhalang
oleh sebuah batu empedu.9

c. Hidrops

Obstruksi kronis dari kandung empedu dapat menimbulkan hidrops kandung


empedu. Dalam keadaan ini, tidak ada peradangan akut dan sindrom yang berkaitan

20
dengannya. Hidrops biasanya disebabkan oleh obstruksi duktus sistikus sehingga tidak
dapat diisilagi empedu pada kandung empedu yang normal. Kolesistektomi bersifat
kuratif.9,11

d. Empiema

Pada empiema, kandung empedu berisi nanah. Komplikasi ini dapat membahayakan
jiwa dan membutuhkan kolesistektomi darurat segera.9

2.1.11 Prognosis

Prognosis pada kolelitiasis sendiri tidak dihubungkan dengan meningkatnya


kematian atau ditandai dengan kecacatan. Bagaimanapun, bisa disebabkan karena adanya
komplikasi. Jadi prognosis cholelithiasis tergantung dari ada/tidak dan berat/ringannya
komplikasi. Namun, adanya infeksi dan halangan disebabkan oleh batu yang berada di dalam
saluran biliaris sehingga dapat mengancam jiwa. Walaupun demikian, dengan diagnosis dan
pengobatan yang cepat serta tepat, hasil yang didapatkan biasanya sangat baik.1,11

2.2 KOLELISTITIS

2.2.1 Definisi

Kolesistitis adalah radang dinding kandung empedu yang disertai keluhan nyeri perut
kanan atas, nyeri tekan dan demam. Berdasarkan etiologinya, kolesistitis dapat dibagi menjadi:

1. Kolesistitis kalkulus, yaitu kolesistitis yang disebabkan batu kandung empedu yang
berada di duktus sistikus.
2. Kolesistitis akalkulus, yaitu kolesistits tanpa adanya batu empedu.22

Berdasarkan onsetnya, kolesistitis dibagi menjadi kolesistitis akut dan kolesistitis kronik.
Pembagian ini juga berhubungan dengan gejala yang timbul pada kolesistitis akut dan kronik.
Pada kolesistitis akut, terjadi inflamasi akut pada kandung empedu dengan gejala yang lebih
nyata seperti nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam. Sedangkan, kolesistitis kronik
merupakan inflamasi pada kandung empedu yang timbul secara perlahan-lahan dan sangat erat
hubugannya dengan litiasis dan gejala yang ditimbulkan sangat minimal dan tidak menonjol.22

21
2.2.2 Patogenesis

Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah stasis cairan
empedu, infeksi kuman, dan iskemia dinding kandung empedu. Penyebab utama kolesistitis akut
adalah batu kandung empedu (90%) yang terletak di duktus sistikus yang menyebabkan stasis
cairan empedu, sedangkan sebagian kecil kasus kolesititis (10%) timbul tanpa adanya batu
empedu. Kolesistitis kalkulus akut disebabkan oleh obstruksi duktus sistikus oleh batu empedu
yang menyebabkan distensi kandung empedu. Akibatnya aliran darah dan drainase limfatik
menurun dan menyebabkan iskemia mukosa dan nekrosis. Diperkirakan banyak faktor yang
berpengaruh seperti kepekatan cairan empedu, kolesterol, lisolesitin, dan prostaglandin yang
merusak lapisan mukosa dinding kandung empedu diikuti oleh reaksi inflamasi dan supurasi.22,23

Faktor predisposisi terbentuknya batu empedu adalah perubahan susunan empedu, stasis
empedu, dan infeksi kandung empedu. Perubahan susunan empedu mungkin merupakan faktor
terpenting pada pembentukan batu empedu. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa hati
penderita batu kolesterol mensekresi empedu yang sangat jenuh dengan kolesterol. Kolesterol
yang berlebihan ini mengendap dalam kandung empedu dengan cara yang belum dimengerti
sepenuhnya. Stasis empedu dapat mengakibatkan supersaturasi progresif, perubahan susunan
kimia dan pengendapan unsur tersebut. Gangguan kontraksi kandung empedu atau spasme
sfingter Oddi atau keduanya dapat menyebabkan stasis. Faktor hormonal terutama pada
kehamilan dapat dikaitkan dengan pengosongan kandung empedu yang lebih lambat. Infeksi
bakteri dalam saluran empedu dapat berperan sebagian dalam pembentukan batu, melalui
peningkatan deskuamasi sel dan pembentukan mukus. Akan tetapi, infeksi mungkin lebih sering
sebagai akibat adanya batu empedu daripada menjadi penyebab terbentuknya batu empedu.24

Meskipun mekanisme terjadinya kolesistitis akalkulus belum jelas, beberapa teori telah
diajukan untuk menjelaskan mekanisme terjadinya penyakit ini. Penyebab utama penyakit ini
dipikirkan akibat stasis empedu dan peningkatan litogenisitas empedu. Pasien-pasien dalam
kondisi kritis lebih mungkin terkena kolesistitis karena meningkatnya viskositas empedu akibat
demam dan dehidrasi dan akibat tidak adanya pemberian makan per oral dalam jangka waktu
lama sehingga menghasilkan penurunan atau tidak adanya rangsangan kolesistokinin untuk
kontraksi kandung empedu. Selain itu, kerusakan pada kandung empedu mungkin merupakan
hasil dari tertahannya empedu pekat, suatu senyawa yang sangat berbahaya. Pada pasien dengan

22
puasa yang berkepanjangan, kandung empedu tidak pernah mendapatkan stimulus dari
kolesistokinin yang berfungsi merangsang pengosongan kandung empedu, sehingga empedu
pekat tersebut tertahan di lumen. Iskemia dinding kandung empedu yang terjadi akibat
lambatnya aliran empedu pada demam, dehidrasi, atau gagal jantung juga berperan dalam
patogenesis kolesistitis akalkulus.25

Penelitian yang dilakukan oleh Cullen et al memperlihatkan kemampuan endotoksin dalam


menyebabkan nekrosis, perdarahan, penimbunan fibrin yang luas, dan hilangnya mukosa secara
ekstensif, sesuai dengan iskemia akut yang menyertai. Endotoksin juga menghilangkan respons
kontraktilitas terhadap kolesistokinin (CCK) sehingga menyebabkan stasis kandung empedu.25

2.2.3 Diagnosis

Pasien kolesistitis akut memiliki riwayat nyeri hebat pada abdomen bagian atas yang
bertahan dalam beberapa jam hingga akhirnya mereka mencari pertolongan ke unit gawat darurat
lokal. Secara umum, pasien kolesistitis akut juga sering merasa mual dan muntah serta pasien
melaporkan adanya demam. Tanda-tanda iritasi peritoneal juga dapat muncul, dan pada beberapa
pasien menjalar hingga ke bahu kanan atau skapula. Kadang-kadang nyeri bermula dari regio
epigastrium dan kemudian terlokalisisr di kuadran kanan atas (RUQ). Meskipun nyeri awal
dideskripsikan sebagai nyeri kolik, nyeri ini kemudian akan menetap pada semua kasus
kolesistitis. Pada kolesistitis akalkulus, riwayat penyakit yang didapatkan sangat terbatas.
Seringkali, banyak pasien sangat kesakitan (kemungkinan akibat ventilasi mekanik) dan tidak
bisa menceritakan riwayat atau gejala yang muncul.626,27

23
Gambar 2.1 Algoritma diagnosis kolesistitis28

Pada pemeriksaan fisik, biasanya ditemukan nyeri tekan di kuadran kanan atas abdomen,
dan seringkali teraba massa atau teraba penuh. Palpasi kuadran kanan atas saat inspirasi
seringkali menyebabkan rasa tidak nyaman yang berat yang menyebabkan pasien berhenti
menghirup napas, hal ini disebut sebagai tanda Murphy positif. Terdapat tanda-tanda peritonitis
lokal dan demam.26,27

Dari pemeriksaan laboratorium pada pasien akut kolesistitis, dapat ditemukan leukositosis
dan peningkatan kadar C-reactive protein (CRP). Pada 15% pasien, ditemukan peningkatan
ringan dari kadar aspartate aminotransferase (AST), alanine aminotransferase (ALT), alkali
fosfatase (AP) dan bilirubin jika batu tidak berada di duktus biliaris.23,26,27

Pemeriksaan pencitraan untuk kolesistitis diantaranya adalah ultrasonografi (USG),


computed tomography scanning (CT-scan) dan skintigrafi saluran empedu. Pada USG, dapat
ditemukan adanya batu, penebalan dinding kandung empedu, adanya cairan di perikolesistik, dan
tanda Murphy positif saat kontak antara probe USG dengan abdomen kuadran kanan atas. Nilai
kepekaan dan ketepatan USG mencapai 90-95%.22,27

24
Gambar 2.2 Pemeriksaan USG pada kolesistitis29

Pemeriksaan CT scan abdomen kurang sensitif dan mahal, tapi mampu memperlihatkan
adanya abses perikolesisitik yang masih kecil yang mungkin tidak terlihat dengan pemeriksaan
USG. Skintigrafi saluran empedu mempergunakan zat radioaktif HIDA atau 99m Tc6
Iminodiacetic acid mempunyai kepekaan dan ketepatan yang lebih rendah daripada USG dan
juga lebih rumit untuk dikerjakan. Terlihatnya gambaran duktus koledokus tanpa adanya
gambaran kandung empedu pada pemeriksaan kolesistografi oral atau skintigrafi sangat
menyokong kolesistitis akut.22

25
Gambar 2.3 Koleskintigram normal29

26
Gambar 2.4 Gambaran 99mTc-HIDA scan yang memperlihatkan tidak adanya pengisian kandung
empedu akibat obstruksi duktus sitikus29

Berdasarkan Tokyo Guidelines (2007), kriteria diagnosis untuk kolesistitis adalah:30

 Gejala dan tanda lokal


o Tanda Murphy
o Nyeri atau nyeri tekan pada kuadran kanan atas abdomen
o Massa di kuadran kanan atas abdomen
 Gejala dan tanda sistemik
o Demam
o Leukositosis
o Peningkatan kadar CRP
 Pemeriksaan pencitraan
o Temuan yang sesuai pada pemeriksaan USG atau skintigrafi

Diagnosis kolesistitis jika 1 tanda lokal, disertai 1 tanda sistemik dan hasil USG atau skintigrafi
yang mendukung.30

2.2.4 Diagnosis Banding

Diagnosis banding untuk kolesistitis diantaranya adalah:


 Aneurisma aorta abdominal
 Iskemia messenterium akut
 Apendisitis
 Kolik bilier
 Kolangiokarsinoma
 Kolangitis
 Koledokolitiasis
 Kolelitiasis
 Mukokel kandung empedu
 Ulkus gaster
 Gastritis akut
 Pielonefritis akut

2.2.5 Komplikasi

27
Komplikasi yag dapat terjadi pada pasien kolesistitis:
 Empiema, terjadi akibat proliferasi bakteri pada kandung empedu yang tersumbat. Pasien
dengan empiema mungkin menunjukkan reaksi toksin dan ditandai dengan lebih
tingginya demam dan leukositosis. Adanya empiema kadang harus mengubah metode
pembedahan dari secara laparoskopik menjadi kolesistektomi terbuka.
 Ileus batu kandung empedu, jarang terjadi, namun dapat terjadi pada batu berukuran
besar yang keluar dari kandung empedu dan menyumbat di ileum terminal atau di
duodenum dan atau di pilorus.
 Kolesistitis emfisematous, terjadi ± pada 1% kasus dan ditandai dengan adanya udara di
dinding kandung empedu akibat invasi organisme penghasil gas seperti Escherichia coli,
Clostridia perfringens, dan Klebsiella sp. Komplikasi ini lebih sering terjadi pada pasien
dengan diabetes, lebih sering pada laki-laki, dan pada kolesistitis akalkulus (28%).
Karena tingginya insidensi terbentuknya gangren dan perforasi, diperlukan kolesitektomi
darurat. Perforasi dapat terjadi pada lebih dari 15% pasien.
 Komplikasi lain diantaranya sepsis dan pankreatitis.

2.3 Fatty liver

Kondisi yang paling sering dikaitkan dengan perlemakan hati (fatty liver) adalah sindrom
metabolik (diabetes tipe II, obesitas, dan hipertrigliseridemia). Faktor-faktor lain seperti:31

▪ Obat-obat: misalnya amiodaron, tamoxifen, methotrexate

▪ Alkohol

▪ Kelainan metabolik: misalnya galaktosemia, penyakit penyimpanan glikogen,


homocystinuria dan tyrosinemia

▪ Status gizi: misalnya kelebihan gizi, gizi buruk, nutrisi parenteral total, kelaparan, diet

▪ Masalah kesehatan lainnya: celiac sprue, penyakit wilson

2.3.1 Epidemiologi

Fatty liver bisa terjadi pada segala umur, bahkan anak-anak yang kegemukan. Penderita
steatosis/fatty liver di Amerika Serikat terjadi kira-kira pada 25-35% jumlah populasi di sana.
80% penderita fatty liver adalah obese untuk NASH (Nonalcoholic Steatohepatitis). Risiko fatty

28
liver meningkat bagi orang dengan berat badan berlebihan atau obese, penderita diabetes dan
pada orang dengan kadar trigliserid yang tinggi. Prevalensi fatty liver pada populasi umum
berkisar antara 10% sampai 24% di berbagai negara. 75% penderita fatty liver merupakan pasien
obesitas, 35% di antaranya akan maju ke NASH walaupun tidak ada bukti konsumsi alkohol
yang berlebihan. Fatty liver terjadi pada 33% dari Eropa-Amerika, 45% dari Hispanik-Amerika,
dan 24% Afrika-Amerika.32,33

2.3.2 Patofisiologi

Gambar 2. Patofisiologi Steatosis (Fatty Liver).34

Lemak dapat mengalami akumulasi di hati melalui beberapa mekanisme. Antaranya


adalah peningkatan pengiriman lemak atau asam lemak dari makanan ke hati. Makanan berlemak
dikirim melalui sirkulasi terutama dalam bentuk kilomikron. Lipolisis pada jaringan adipose
akan melepaskan asam lemak bebas kemudian bergabung dengan trigliserida di dalam adipocyte,
tetapi beberapa asam lemak dilepaskan ke dalam sirkulasi dan diambil oleh hati. Sisa kilomikron
akan dihantar ke hati. Peningkatan sintesis asam lemak atau pengurangan oksidasi di
mitokhondria, keduanya akan meningkatkan produksi trigliserida. Gangguan pengeluaran
trigliserida keluar dari sel hati. Pengeluaran trigliserida dari sel hati tergantung ikatannya dengan
apoprotein, fosfolipid dan kolesterol untuk membentuk VLDL. Fatty liver sendiri terbagi atas 2
macam yaitu non alcoholic fatty liver disease (NAFLD) dan alcoholic fatty liver disease
(AFLD). NAFLD dianggap merepresentasikan komponen hepatik dari sindroma metabolik
berupa obesitas, hiperinsulinemia, resistensi insulin, diabetes, hipertrigliserida dan hipertensi.
Diabetes tipe 2 merupakan komponen utama dari sindroma metabolik dan berkaitan dengan
obesitas maupun NAFLD.Resistensi insulin memainkan peran besar pada patogenesis NAFLD
dimana ditemukan bahwa resistensi ringan sangat umum terjadi pada stadium awal NAFLD dan

29
semakin berat resistensi insulin (diabetes tipe 2) berhubungan dengan semakin beratnya stadium
dari NAFLD. Pengetahuan tentang patogenesis NAFLD masih belum seluruhnyaterungkap
dengan jelas. Hipotesis yang umum diterima adalah ‘two hit theory’yang dikemukakan oleh Day
dan James pada tahun 1998.34

‘Hit’ pertama adalahterbentuknya perlemakan hati atau steatosis, kemudian terjadi


peningkatansensitifitas hati terhadap ‘hit’ kedua, dimana terjadi inflamasi dan kerusakan selhati,
yang selanjutnya terjadi fibrosis hati. ‘First Hit’ pada jaringan hati adalah penumpukan lemak di
hepatosit yang disebabkan oleh beberapa keadaan seperti dislipidemia,diabetes dan obesitas.
Dalam keadaan normal, asam lemak bebas masuk kehati melalui sirkulasi darah, kemudian
dalam hati akan dimetabolisir lebih lanjut seperti re-esterifikasi menjadi trigliserid atau
digunakan untuk pembentukan lemak lainnya. Adanya lemak dalam tubuh yang berlebih,
misalkan peningkatan jaringan lemak tubuh, khususnya obesitas sentral akan meningkatkan
penglepasan asam lemak bebas yang kemudian menumpuk dalam hepatosit. Hal ini akan diikuti
peningkatan oksidasi dan esterifikasi lemak. Proses ini terfokus pada mitokondria sel hati
sehingga akhirnya terjadi kerusakan mitokondria. Proses tersebut merupakan ‘Second Hit’.34

Hati merupakan tempat metabolisme etanol/alkohol yang terbesar. Sebagian besar


jaringan tubuh termasuk otot rangka mengandung enzim-enzim untuk metabolisme etanol baik
secara oksidatif maupun non-oksidatif. Di dalam hati, ada tiga jalur utama metabolisme alkohol,
Alkohol Dehidrogenase (ADH), sitokrom P-450 2E1 (CYP2E1) dan katalase peroksidase. Ketika
stress oksidatif yang terjadi di hati melebihi kemampuan perlawanan antioksidan, maka aktivasi
hepatic stellate cell dan sitokin proinflamasi akan berlanjut dengan inflamasi yang progresif,
pembengkakan hepatosit dan kematian sel, pembentukan badan Mallory serta fibrosis.34

2.3.4 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik abdomen dilakukan dengan 4 cara, yaitu dimulai dari inspeksi, palpasi,
perkusi, dan auskultasi. Pemeriksaan abdomen paling baik dilakukan pada pasien dalam
keadaan berbaring dan relaks, kedua lengan berada di samping, dan pasien bernapas
melalui mulut. Pasien diminta untuk menekukkan kedua lutut dan pinggulnya sehingga otot-
otot abdomen menjadi relaks. Untuk menghindari terjadinya reflex tahanan otot oleh pasien,
tangan pemeriksa harus dihangatkan.

30
1. Inspeksi menyeluruh abdomen dilakukan untuk memeriksa hal seperti distensi yang
menyeluruh biasanya disebabkan oleh lemak, cairan, janin, atau udara, sedangkan
penyebab dari pembengkakan yang terlokalisasi adalah hernia atau pembesaran organ.
Umbilikus dapat menonjol keluar pada distensi abdomen yang menyeluruh yang
disebabkan oleh asites. Bila ada trombosis pada vena porta, vena-vena yang mengalami
dilatasi dapat dilihat. Pada individu normal yang kurus, gerakan peristaltik yang terlihat
dapat dijumpai tetapi pada orang yang gemuk, gerakan peristaltik hanya terlihat di
sebelah proksimal dari letak lesi obstruktif usus.34

2. Palpasi abdomen dilakukan secara acak dan sistematis dari atas ke bawah terutama jika
pasien menderita nyeri abdomen. Palpasi dilakukan pada setiap kuadran secara berurutan,
yang awalnya dilakukan tanpa penekanan yang berlebihan dan dilanjutkan dengan palpasi
secara khusus jika tidak terdapat area nyeri yang diderita atau diketahui. Tahanan
abdomen merupakan suatu refleks penegangan otot-otot abdominal yang terlokalisasi
yang tidak dapat dihindari. Tahanan tersebut merupakan tanda iritasi peritoneum
perifer atau tanda nyeri tekan yang tajam dari organ di bawahnya.34

3. Perkusi berguna untuk memastikan adanya pembesaran beberapa organ, khususnya hati,
limpa, atau kandung kemih pada pasien yang gemuk. Perkusi selalu dilakukan dari daerah
timpani ke daerah pekak, dengan jari pemeriksa yang sejajar dengan bagian tepi organ.
Shifting dullness adalah suatu daerah pekak yang terdapat di bawah permukaan
horizontal cairan intraperitoneal umumnya pada asites. Kandung kemih juga harus
dikosongkan terlebih dahulu sebelum melakukan pemeriksaan asites.34

4. Auskultasi abdomen dilakukan secara acak dan sistematis dari atas ke bawah untuk
mendengarkan bising usus meningkat (hiperperistaltik), normal (normoperistaltic) dan
menurun (hipoperistaltik). Auskultasi peristaltik usus di masing-masing kuadran selama 1
menit dan dihitung berapa kali per menit. Bising usus yang meningkat dapat ditemukan
pada keadaan seperti ileus obstruksi, diare dan perdarahan yang berasal dari saluran cerna
atas. Bising usus dapat menurun atau menghilang pada keadaan seperti ileus paralitik,
perforasi usus dan peritonitis generalisata.34

31
Gambar 1: Palpasi Hepar.34

Palpasi organ hati dilakukan dengan posisi pasien tidur terlentang, pemeriksa di samping
kanan dan menghadap pasien. Telapak tangan kanan diletakkan di atas abdomen, jari-jari
mengarah ke atas pasien dan diekstensikan sehingga ujung-ujung jari terletak di garis
midclavicular di bawah batas bawah hati. Kemudian ditekan dengan lembut ke dalam dan ke
atas. Pemeriksa meminta pasien untuk menarik napas dan hati akan bergerak ke bawah karena
gerakan ke bawah diaphragma dan meraba tepi hati saat abdomen mengempis untuk merasakan
tekstur hati, yaitu lembut / perusahaan / keras / nodular. Hasilkan dari pemeriksaan palpasi yaitu
nyeri tekan karena peregangan organ-organ, peregangan peritonium dan tumor. Pada keadaan
normal hati tidak teraba, teraba kenyal dan ujung tajam. Pada keadaan abnormal hati teraba
nyata, lunak dan ujung tumpul merupakan hepatomegali. Selain itu hati teraba nyata, keras,
tidak merata, ujung ireguler merupakan hepatoma.34

Pada skenario yang ada, didapatkan hasil pemeriksaan fisik abdomen yaitu hepar teraba 2
jari dibawah arcus costae, 3 jari dibawah processus xyphoideus, tepi tumpul, permukaan rata,
konsistensi kenyal, nyeri tekan negatif, dan pemeriksaan fisik lainnya dalam batas normal.

2.3.5 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium pertama yang bisa dilakukan ialah pemeriksaan darah lengkap.
Hasil pemeriksaan darah lengkap pada pasien pasien perlemakan hati non-alkoholik seringkali
atau hampir selalu didapatkan peningkatan ringan sampai sedang konsentrasi AST dan ALT. Ada
juga sebagian kecil pasien yang datang dengan enzim hati yang masih dalam batas normal.
Kenaikan enzim hati biasanya tidak melebihi empat kali (kurang dari 300IU/L) dengan rasio

32
AST:ALT kurang dari satu, tetapi pada fibrosis lanjut rasio ini dapat mendekati atau bahkan bisa
melebih satu. Pemeriksaan laboratorium lain seperti alkali fosfatase, g-glutamiltransferase,
ferritin darah atau saturasi tranferin juga dapat meningkat sedangkan hipoalbuminemia, waktu
protrombin yang memanjang, dan hiperbilirubinemia biasanya ditemukan pada pasien yang
sudah menjadi sirosis hati. Pada pasien dapat juga ditemukan dyslipidemia yang biasanya dapat
berupa peningkatan konsentrasi trigliserida. Selain itu pada hasil dapat menunjukan adanya
peningkatan konsentrasi gula darah juga karena salah satu faktor resiko perlemakan hati non-
alkoholik ialah diabetes.34,35

Selanjutnya pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan ialah USG. Pada hasil
USG dapat terlihat infiltrasi lemak di hati akan menghasilkan peningkatan difus ekogenisitas
(hiperekoik, bright liver) bila dibandingkan dengan ginjal. USG memiliki sensitifitas yang baik
yaitu 89% dengan spesifitas yang cukup tinggi yaitu 93% dalam mendeteksi steatosis. USG dan
MRI memiliki sensitifitas yang baik untuk mendeteksi perlemakan hati non-alkoholik tetapi
tidak dapat membedakan steatosis dengan steatohepatitis. Infiltrasi lemak di hati menghasilkan
gambar parenkim hati dengan densitas rendah yang bersifat difus pada CT dan ada yang
berbentuk fokal. Gambaran berbentuk fokal ini dapatsalah terbaca sebagai massa ganas di hati.
Pada hasil yang meragukan seperti itu, MRI dapat dipakai untuk membedakan nodul akibat
keganasan dari infiltrasi fokal lemak di hati.34,35

Pemeriksaan penunjang gold standard untuk menegakkan diagnosis fatty liver ialah
biopsi hati. Selain itu biopsi hati juga merupakan satu-satunya metode untuk membedakan
steatosis non-alkoholik dengan perlemakan tanpa atau disertai inflamasi. Biopsi hati perlu
dilakukan sebagai pemeriksaan rutin dalam proses penegakkan diagnosis perlemakan hati non-
alkoholik tetapi terdapat risikonya. Sebagian ahli mendukung biopsi hati sebaiknya dilakukan
karena pemeriksaan histopatologi mampu menyingkirkan etiologi penyakit hati lain,
membedakan steatosis dari steatohepatitis, memperkirakan prognosis dan menilai progresi
fibrosis dari waktu ke waktu. Oleh karena pemeriksaan radiologi dan kimia darah terus menerus
diteliti dan dioptimalkan sebagai metoda pemeriksaan alternatif yang bersifat non invasif. Dari
pemeriksaan secara histologi, perlemakan hati non-alkoholik tidak dapat dibedakan dengan
perlemakan hati akibat alkohol. Gambaran biopsi hati antara lain berupa steatosis, infitrasi sel
radang, hepatocyte ballooning, nekrosis, nucleus glikogen, Mallory’s hialin dan fibrosis. Fibrosis

33
yang ditemukan pada perlemakan hati non-alkoholik menunjukkan kerusakan hati lebih lanjut
dan lebih berat.34,35

2.3.6 Working Diagnosis

Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, working


diagnosis yang didapat adalah fatty liver, berarti adanya pengumpulan lemak yang berlebihan di
dalam sel-sel hati. Secara umum, sel hati yang normal sudah mengandung lemak, namun
kandungan lemaknya sedikit. Ketika akumulasi lemak di hati mencapai lebih dari 5% berat hati,
inilah yang dikenal sebagai fatty liver. Pada keadaan ini, sebagian sel-sel hati yang sehat sudah
diganti dengan sel lemak. Hati berubah warna menjadi kuning mengkilat karena berselimut
lemak, membesar dan lebih berat dari keadaan normal, kondisi kesehatan hati akan terganggu.
Fatty liver umumnya tidak berbahaya karena fungsi liver tidak terganggu tetapi dalam jangka
panjang, fatty liver berpotensi menjadi penyebab kerusakan hati dan sirosis serta hepatoma.
Penyakit fatty liver dapat dibagi kepada steatosis (hanya perlemakan hati), Steatohepatitis
(perlemakan hati disertai dengan inflamasi). Keadaan ini terjadi karena konsumsi alkohol yang
berlebihan yang disebut dengan ASH (Alcoholic Steatohepatitis), atau bukan karena alkohol
yang disebut NASH (Nonalcoholic Steatohepatitis). Lemak berlebihan akan memicu terjadinya
peradangan pada liver dan umumnya peradangan akibat lemak hati dikaitkan dengan
penyalahgunaan alkohol.36

34
Tabel 1. Grading untuk steatosis.36

35
2.3.7 Komplikasi

Fatty liver umumnya tidaklah berbahaya karena fungsi liver juga tidak terganggu tetapi
dalam jangka panjang, fatty liver berpotensi menjadi penyakit hati kronik, kerusakan hati atau
sirosis hati. Selain itu, steatosis yang kronik juga dapat melanjut ke hepatoma.37

BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Penderita

Nama : Ny. F
Usia : 30 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir : 31/01/1988
Alamat : Klipang Sendangmulyo
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Status : Rawat inap dari IGD
Tanggal masuk : 02 Desember 2018
No.RM : 220***

36
3.2 Anamnesis

Anamnesis pada pasien dilakukan pada hari Selasa, 3 Desember 2018, di Ruang Bangsal
Bima RSUD K.R.M.T Wongsonegoro Kota Semarang dan didukung dengan catatan medis.
 Keluhan Utama :
Nyeri Perut kanan atas
 Riwayat penyakit sekarang:
 Pasien datang ke IGD RSUD K.R.M.T Wongsonegoro Kota Semarang pada tanggal
02 Desember 2018 pukul 11.45 WIB dengan keluhan Nyeri hebat pada perut kanan
atas secara tiba-tiba sejak pagi hari, Keluhan tersebut disertai nyeri dengan mual
muntah. Nyeri tidak mereda sejak pagi. Pasien juga mengeluh merasa mudah lelah
saat beraktivitas, pasien tidak mengalami gangguan pada BAK maupun BAB. Pasien
sering mengkonsumsi air putih. Kecing berwarna kuning, pasien pernah mengalami
sakit seperti ini sebelumnya tapi reda setelah diberikan obat dari puskesmas.
 Riwayat penyakit Dahulu:
- Riwayat keluhan serupa sebelumnya : Ada
- Riwayat hipertensi : Disangkal
- Riwayat kencing manis : Disangkal
- Riwayat sakit jantung : Disangkal
- Riwayat sakit ginjal : Disangkal
- Riwayat trauma : Disangkal
 Riwayat penyakit keluarga:
- Riwayat keluhan serupa : Disangkal
- Riwayat hipertensi : Diakui
- Riwayat kencing manis : Diakui
- Riwayat sakit jantung : Disangkal
- Riwayat sakit ginjal : Disangkal
- Riwayat trauma : Disangkal

 Riwayat sosioekonomi :
Pasien periksa menggunakan BPJS Non PBI.

3.3 Pemeriksaan Fisik (Tanggal 02/12/2018)

STATUS GENERALIS
- Keadaan umum : Tampak lemah
- Kesadaran : Composmentis
STATUS ANTROPOMETRIK
- TB : 162 cm

37
- BB : 70 kg
- IMT = BB(kg)/TB²(m²)
= 70 kg/(1,62 m)²
= 26,71 kg/m2
TANDA VITAL
- Tekanan Darah : 120/80 mmHg
- HR (Nadi) : 90x/ Menit , reguler,isi dan tegangan cukup
- RR (Laju Napas) : 20x/ Menit , reguler
- Suhu : 36,8°C

STATUS INTERNUS
- Kepala : Bentuk normocephale, tidak teraba benjolan.
- Rambut : Warna hitam dan putih, mudah dicabut, distribusimerata
- Mata :
- Bola mata : tidak terdapat eksoftalmus
- Konjungtiva : anemis -/-, perdarahan -/-,
- Sklera : ikterus -/-
- Palpebra : oedema -/-
- Pupil : bulat, isokor 3 mm/ 3mm, reflek cahaya +/+
- Lensa : Keruh
- Hidung :
- Deformitas (-)
- Nafas cuping hidung (-/-),
- Tidak tampak adanya sekret atau perdarahan
- Telinga :
- Bentuk : normal
- Lubang : normal, discharge (-/-)
- Pendengaran : menurun
- Perdarahan : tidak ada
- Mulut :
- Bibir : tidak ada kelainan kongenital, sianosis (-), oedem (-)

38
- Lidah : ukuran normal, tidak kotor, tidak tremor
- Gigi : perawatan gigi kurang
- Mukosa : hiperemi (-), stomatitis (-)

- Leher :
- Deviasi trakea : - (posisi trakea simetris)
- Kaku kuduk : - (negatif)
- Tiroid : tidak ada pembesaran
- JVP : tidak ada peningkatan JVP
- KGB : tidak ada pembesaran

- PF Thoraks:
a. Paru :
1. Inspeksi : laju nafas 20x/menit, pola nafas regular, simetris,
ketertinggalan gerak (-/-), retraksi (-/-), pergerakan otot bantu pernafasan (-/-)
2. Palpasi : fremitus vokal normal,nyeri tekan (-), gerakan dada
simetris, tidak ada ketertinggalan gerak.
3. Perkusi : sonor pada kedua lapang paru.
4. Auskultasi : suara pernafasan vesikuler, ronkhi (-), wheezing(-)
b. Jantung :
1. Inspeksi : pulsasi ictus cordis tampak kuat angkat
2. Palpasi : pulsasi ictus cordis teraba di ICS V linea mid clavicularis
sinistra

3. Perkusi : kardiomegali (-)


4. Auskultasi : bunyi jantung I dan II reguler, murmur(-), gallop (-)

- PF Abdomen :
1. Inspeksi : permukaan perut datar , pelebaran pembuluh darah(-), sikatrik (-), massa
(-), tanda peradangan (-), caput medusa (-),sikatrik (-), striae (-),hiperpigmentasi (-)
2. Auskultasi: bunyi peristaltik usus normal, tidak ada bising usus, tidak ada bising
pembuluh darah.
3. Palpasi :

39
 Superfisial Nyeri tekan abdomen regio suprapubik (-), Massa (-), defence
muscular (-)
 Dalam  Nyeri tekan dalam pada peut kanan (+)
 Murphy’s Sign (+)
 Tes undulasi (-)
4. Perkusi :
 Perkusi 4 regio  timpani
 Hepar  pekak (+), liver span dextra 12 cm, sinistra 6 cm
 Lien  traube space (+)
 Ginjal  nyeri ketok kostovertebra -/-
 Pekak sisi dan pekak ahli (-)

- PF Ekstremitas :
- Superior : Akral hangat, Oedema -/-, capillary refill <2 detik
- Inferior : Akral hangat, Oedema -/-, capillary refill <2 detik
3.4 Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal 02 Desember 2018

Pemeriksaan Lab Hasil


Hematologi
Hemoglobin 13,1 g/dL
Hematokrit 38,60 %
Jumlah leukosit 13,0/u
Jumlah Trombosit 267/uL
Kimia Klinik
Glukosa Darah Sewaktu 135 mg/dL
Natrium 137 mg/dL
Creatinin 1,21 mg/dL

b. Pemeriksaan USG Abdomen

40
Pembacaan Hasil USG Abdomen

Tanggal : 03 Desember 2018 di RSUD K.R.M.T Wongsonegoro Kota Semarang


DESKRIPSI:

- HEPAR ukuran dan bentuk normal, parenkim homogen, ekogenitas normal, tepi rata,
sudut tajam, tak tampak nodul, V.porta dan V. Hepatika tak melebar. Duktus biliaris intra-
ekstrahepatal tak melebar.

- VESIKA FELEA tak membesar, dinding menebal, tampak batu multiple, ukuran
terbesar sekitar 1,4cm

41
- LIEN ukuran normal, parenkim homogen, V. Lienalis tak melebar, tak tampak nodul.

- PANKREAS ukuran normal, parenkim homogen, duktus pankreatikus tak melebar.

- GINJAL KANAN ukuran dan bentuk normal, batas kortikomeduler jelas, PCS tak
tampak melebar, tak tampak batu, tak tampak massa.

- GINJAL KIRI ukuran dan bentuk normal, batas kortikomeduler jelas, PCS tak tampak
melebar, tak tampak batu, tak tampak massa.

- AORTA tak tampak melebar, tak tampak pembesaran limfonodi paraaorta.

- VESIKA URINARIA dinding tak menebal, permukaan reguler, tak tampak batu/massa.

- Tak tampak efusi pleura. Tak tampak cairan bebas intraabdoment.

- KESAN :

- Fatty Liver grade 2.

- Kholelithiasis, batu multiple ukuran terbesar sekitar 1,4cm disertai kholesistitis.

3.5 Diagnosis dan Diagnosis Banding

- DIAGNOSIS KERJA :
Kholelithiasis disertai kholesistitis..

3.6 Prognosis

- Quo ad vitam : dubia ad bonam


- Quo ad sanactionam : dubia ad bonam
- Quo ad functionam : dubia ad bonam

42
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada kasus ini secara anamnesis didapatkan seorang perempuan datang dengan Nyeri
perut kanan atas, pasien merasakan nyeri terus menerut. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik
didapatkan data yang sesuai dengan pustaka yang menyebutkan bahwa gejala kolelitiasis dapat
berupa nyeri pada perut sebelah kanan atas dan bagian epigastrium. Pada pasien ini juga
didapatkan murphy sign (+) dan nyeri tekanan pada perut kanan atas. Kejadian kolelitiasis lebih
sering pada perempuan dengan perbandingan 2:1, dan juga pada pasien ini ditemukan faktor
resiko yang mendukung terjadinya kolelitiasis seperti jenis kelamin dan status gizi obese grade 2
. Pada pemeriksaan USG abdomen di RSUD K.R.M.T Wongsonegoro Semarang didapatkan
kesan kolelitiasis dengan kolesistitis dan fatty liver grade 2 .
Menurut kepustakaan, kolesistitis paling banyak disebebabkan oleh adanya batu pada
kandung empedu (90%) yang dapat menyebabkan statis nya cairan empedu. Pada pasien ini
didapatkan batu multiple pada kandung empedu dengan ukuran terbesar 1,4 cm. kemungkinan
batu inilah yang menyebabkan terjadinya kolesistitis.
Perlu dilakukan evaluasi dan pengawasan lebih lanjut untuk mencegah komplikasi yang
lebih buruk. Dan dilakukan tindakan secepatnya untuk mendapatkan prognosis yang baik.

43
DAFTAR PUSTAKA

1. Lesmana L. Batu Empedu. Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid I, Edisi 3. Jakarta : Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia. 2000. 380 - 394.
2. Schwartz S, Shires G, Spencer F. Prinsip- prinsip Ilmu Bedah (Principles of Surgery). Edisi 6.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2000. 495-464.
3. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran. EGC. 2005. 570- 579.
4. Maryan Lee F, Chiang W. Cholelithiasis. Available from :
http://www.emedicine.com/emerg/Gantrointestinal/topic97.htm. Last update 12 Juni 2013
[diakses pada tanggal 20 Juli 2013].
5. Webmaster. Cholelithiasis. Available from : http://www.Medlineplus.com . Last update : 8
Juli 2013 [diakses pada tanggal 16 Juli 2013].
6. Clinic Staff. Gallstone. Available from : http://www.6clinic.com/health/digestive-
system/DG99999.htm . Last update : 25 Juni 2013 [diakses pada tanggal 16 Juli 2013].
7. Kumar V, Cotran RZ. Gastroenterologi. Robbins SL. Buku Ajar Patologi Robbins. Edisi 7.
Vol.2. Jakarta;. 2007. 504 – 508.
8. Leonard, V. An Introduction to Human Disease Pathology. John and Barlett Publisher.
London :2001. 44
9. Pearce, E. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Penerbit BukuGramedia. Jakarta :
2002.
10. Price, S. Patofisiologi Konsep Klinik. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta : 2006.
11. Sodeman, S. Pathology Physiologi Mechanisms of Diasease. Saunders Co.Philadelphia :
2005.
12. Anna. Batu Empedu. Available from : www.OborBerkatIndonesia.html. Last update : 10
Januari 2013 [diakses pada tanggal 16 Juli 2013].
13. Tantri. Batu Empedu. Available from : www.medicastore/batuempedu.html. Last update
: 10Desember 2011 [diakses pada tanggal 17 Juli 2013].

44
14. Yayan. Kolelitiasis (Gallbladder Stones). Available from : www.FK_UR.com. Last
update : 30 november 2011. [diakses pada tanggal 16 April 2013].
15. Gladen, Don. Cholecystitis. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/171886- overview. Last update : 2 september 2009
[diakses pada tanggal 20 juli 2013].
16. Dugdale, David C. Chronic Cholecystitis Available from :
http://www.umm.edu/ency/article/000217.htm . Last update : 2 juni 2009 [diakses pada
tanggal 18 juli 2013]. 45
17.Cholelithiasis.Availablefrom
:http://www.7.com/HealthManagement/ManagingYourHealthReference/Disease/InDepth/?
chunkiid=103348. Last update april 2010 [diakses pada tanggal 20 juli 2013].
18. Heuman D, Mihas A. Cholelithiasis. Available from :
http://www.emedicine/emerg/Gantrointestinal/topic863.htm . Last update : 8 juni 2008 [diakses
pada tanggal 20 juli 2013].
19. Webmaster. Cholelithiasis. Available from :
http://www.merc.com/mmpe/sec03/ch030/ch030a.html. Last update april 2007 [diakses pada
tanggal 15 juli 2013].
20. Yekeler E, Akyol Y. Cholelithiasis. New England Journal of Medicine. Available
from : http://content.nejm.org/cgi/content/full/351/22/2318#F1. Last update 25 november 2012
[diakses pada tanggal 18 juli 2013].
21. Ahmed A, Cheung R. Management of Gallstone and Their Complication. American Family
Physician. Available from : http://www.aafp.org/afp/20000315/contens.html. Last update 15
maret 2008 [diakses pada tanggal 18 juli 2013].
22. Pridady. Kolesistitis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku
ajar ilmu penyakit dalam jilid I. Edisi keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. Hal 477-478.
23. Steel PAD, Sharma R, Brenner BE, Meim SM. Cholecystitis and Biliary Colic in Emergency
Medicine. [Diakses pada: 1 Juni 2011]. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/1950020-overview.
24. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit vol 1. Edisi keempat.
Jakarta: EGC, 1994.

25. Shojamanesh H, Roy PK, Patti MG. Acalculous Cholecystitis. [Diakses pada: 1 Juni 2011].
http://emedicine.medscape.com/article/187645-overview.

26. Takada T, Kawarada Y, Nimura Y, Yoshida M, Mayumi T, Sekimoto M et al. Background: Tokyo
guidelines for the management of acute cholangitis and cholecystitis. J Hepatobiliary Pancreat
Surgery 14; 2007. p. 1-10.

45
27. Vogt DP. Gallbladder disease:An update on diagnosis and treatment. Cleveland Clinic Journal
of Medicine vol. 69 (12); 2002.
28. Miura F, Takada T, Kawarada Y, Nimura Y, Wada K, Hirota M, et al. Flowchart for the
diagnosis and treatment of acute cholangitis and cholecystitis: Tokyo Guidelinex. J Hepatobiliary
Pancreat Surgery 14; 2007. p. 27-34.
29. Khan AN, Karani J, Patankar TA. Acute Cholecystitis Imaging. [Diakses pada: 1 Juni 2011].
Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/365698-overview.
30. Strasberg SM. Acute Calculous Cholecystitis. N Engl J Med 358 (26); 2008.
31. Takada T, Kawarada Y, Nimura Y, Yoshida M, Mayumi T, Sekimoto M et al. Background: Tokyo
guidelines for the management of acute cholangitis and cholecystitis. J Hepatobiliary Pancreat
Surgery 14; 2007. p. 1-10.
32. Vogt DP. Gallbladder disease:An update on diagnosis and treatment. Cleveland Clinic Journal
of Medicine vol. 69 (12); 2002.
33. Miura F, Takada T, Kawarada Y, Nimura Y, Wada K, Hirota M, et al. Flowchart for the
diagnosis and treatment of acute cholangitis and cholecystitis: Tokyo Guidelinex. J Hepatobiliary
Pancreat Surgery 14; 2007. p. 27-34.
34. Steel PAD, Sharma R, Brenner BE, Meim SM. Cholecystitis and Biliary Colic in Emergency
Medicine. [Diakses pada: 1 Juni 2011]. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/1950020-overview.
35. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit vol 1. Edisi keempat.
Jakarta: EGC, 1994.

36. Pridady. Kolesistitis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku
ajar ilmu penyakit dalam jilid I. Edisi keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. Hal 477-478.
37. Khan AN, Karani J, Patankar TA. Acute Cholecystitis Imaging. [Diakses pada: 1 Juni 2011].
Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/365698-overview.

46

Anda mungkin juga menyukai