Anda di halaman 1dari 31

REFERAT

TETANUS

PEMBIMBING :
dr. Mintarti, Sp.S

DISUSUN OLEH :
Ignasius Hans
406181022

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA


KEPANITERAAN KLINIK ILMU SARAF
RSUD KMRT WONGSONEGORO
PERIODE 27 JANUARI 2020 – 1 MARET 2020
BAB I

PENDAHULUAN

Tetanus dari bahasa Yunani yang artinya meregang atau kaku (stretching/

rigidity). Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot spasme tanpa

disertai gangguan kesadaran. Gejala ini bukan disebabkan kuman secara langsung, tetapi

sebagai dampak eksotosin (tetanospasmin) yang dihasilkan oleh kuman pada sinaps

ganglion sambungan sumsum tulang belakang, sambungan neuro muscular (neuro

muscular junction) dan saraf autonom.1 Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkan

paralitik spastik yang disebabkan tetanospasmin. Tetanospasmin merupakan neurotoksin

yang diproduksi oleh Clostridium tetani.2

Tetanus disebut juga dengan “Seven day Disease”. Pada tahun 1890, diketemukan

toksin seperti strichnine, kemudian dikenal dengan tetanospasmin, yang di isolasi dari

tanah anerob yang mengandung bakteri. Imunisasi dengan mengaktivasi derivat tersebut

menghasilkan pencegahan dari tetanus.3

Spora Clostridium tetani biasanya masuk kedalam tubuh melalui luka pada kulit

oleh karena terpotong, tertusuk atau pun luka bakar serta infeksi pada tali pusat.1,3

Prognosis tetanus ditentukan salah satunya adalah dengan penatalaksanaan yang

tepat dan dilakukan secara intensif. Penyakit tetanus pada neonatus mempunyai case

fatality rate yang tinggi (70-90%) sehingga bila tetanus dapat didiagnosis secara dini dan

ditangani dengan baik maka dapat lebih menurunkan angka kematian.


Penatalaksanaan yang baik ditentukan antara lain oleh pemahaman yang tepat

mengenai patofisiologi, manifestasi klinik, diagnosis, komplikasi, penatalaksanaan dan

prognosis dari penyakit tetanus.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFENISI

Tetanus adalah penyakit yang mengenai sistem saraf yang disebabkan oleh

tetanospasmin yaitu neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Penyakit ini

ditandai oleh adanya trismus, disfagia, dan rigiditas otot lokal yang dekat dengan tempat

luka, sering progresif menjadi spasme otot umum yang berat serta diperberat dengan

kegagalan respirasi dan ketidakstabilan kardiovaskular. Gejala klinis tetanus hampir

selalu berhubungan dengan kerja toksin pada susunan saraf pusat dan sistem saraf

autonom dan tidak pada sistem saraf perifer atau otot.1,2

Clostridium tetani merupakan organisme obligat anaerob, batang gram positif,

bergerak, ukurannya kurang lebih 0,5-1,7 x 2,1-18,1 μm. Mikroorganisme ini

menghasilkan spora pada salah satu ujungnya sehingga membentuk gambaran tongkat

penabuh drum atau raket tenis. Spora Clostridium tetani sangat tahan terhadap

desinfektan kimia, pemanasan dan pengeringan. Kuman ini terdapat dimana-mana, dalam

tanah, debu jalan dan pada kotoran hewan terutama kuda. Spora tumbuh menjadi bentuk

vegetatif dalam suasana anaerobik. Bentuk vegetatif ini menghasilkan dua jenis toksin,

yaitu tetanolisin dan tetanospasmin. Tetanolisin belum diketahui kepentingannya dalam

patogenesis tetanus dan menyebabkan hemolisis in vitro, sedangkan tetanospasmin

bekerja pada ujung saraf otot dan sistem saraf pusat yang menyebabkan spasme otot dan

kejang.1,2,3,4

2.2. ETIOLOGI
Penyebab utama penyakit tetanus adalah bakteri Clostridium tetani yang

merupakan basil gram positif obligat anaerobik yang dapat ditemukan pada permukaan

tanah yang gembur dan lembab dan pada usus halus dan feses hewan. Mempunyai spora

yang mudah bergerak dan spora ini merupkan bentuk vegetatif. Kuman ini bisa masuk

melalui luka di kulit. Spora yang ada tersebar secara luas pada tanah dan karpet, serta

dapat diisolasi pada banyak feses binatang pada kuda, domba, sapi, anjing, kucing,

marmot dan ayam. Tanah yang dipupuk dengan pupuk kandang mungkin mengandung

sejumlah besar spora. Di daerah pertanian, jumlah yang signifikan pada manusia dewasa

mungkin mengandung organisma ini. Spora juga dapat ditemukan pada permukaan kulit

dan heroin yang terkontaminasi. Spora ini akan menjadi bentuk aktif kembali ketika

masuk ke dalam luka dan kemudian berproliferasi jika potensial reduksi jaringan rendah.

Spora ini sulit diwarnai dengan pewarnaan gram, dan dapat bertahan hidup bertahun –

tahun jika tidak terkena sinar matahari. Bentuk vegetatif ini akan mudah mati dengan

pemanasan 120oC selama 15 – 20 menit tapi dapat betahan hidup terhadap antiseptik

fenol, kresol.6,7

Kuman ini juga menghasilkan 2 macam eksotoksin yaitu tetanolisin dan

tetanospasmin. Fungsi tetanolisin belum diketahui secara pasti, namun diketahui dapat

menyebabkan kerusakan jaringan yang sehat pada luka terinfeksi, menurunkan potensial

reduksi dan meningkatkan pertumbuhan organisme anaerob. Tetanolisin ini diketahui

dapat merusak membran sel lebih dari satu mekanisme. Tetanospasmin (toksin

spasmogenik) ini merupakan neurotoksin potensial yang menyebabkan penyakit.

Tetanospasmin merupakan suatu toksin yang poten yang dikenal berdasarkan beratnya.

Toksin ini disintesis sebagai suatu rantai tunggal asam amino polipeptida 151-kD 1315
yang dikodekan pada plsmid 75 kb. Tetanospasmin ini mempengaruhi pembentukan dan

pengeluaran neurotransmiter glisin dan GABA pada terminal inhibisi daerah presinaps

sehingga pelepasan neurotransmiter inhibisi dihambat dan menyebabkan relaksasi otot

terhambat. Batas dosis terkecil tetanospasmin yang dapat menyebabkan kematian pada

manusia adalah 2,5 nanogram per kilogram berat badan atau 175 nanogram untuk

manusia dengan berat badan 75 kg.4,5,6,7

2.3 KLASIFIKASI

Berdasarkan pada temuan klinis terdapat 4 bentuk klinis tetanus yang ditentukan

berdasarkan penyebaran toksin di dalam tubuh, gejala klinis dan usia pasien sebagai

berikut 13,14,16 :

1. Tetanus Generalisata, merupakan bentuk yang paling sering terjadi (sekitar 80%).

Penyakit ini biasanya muncul dalam bentuk descending. Gejala pertama yang muncul

adalah trismus dan lockjaw, kemudian diikuti dengan kekakuan leher, kesulitan

menelan, dan rigiditas abdomen. Gejala lain berupa Risus sardonicus yakni spasme

otot-otot muka, opistotonus (kekakuan otot punggung), kejang dinding punggung.

Spasme dari laring dan otot-otot pernafasan bisa menimbulkan sumbatan saluran

nafas. Gejala lainnya adalah suhu tubuh yang meningkat 2º-4º C di atas suhu normal,

berkeringat, peningkatan tekanan darah, dan denyut jantung yang cepat secara

episodik. Spasme dapat terjadi secara berkala selama beberapa menit. Spasme dapat

berkelanjutan selama 3-4 minggu. Penyembuhan secara komplit dapat memakan

waktu selama beberapa bulan.

2. Tetanus Terlokalisir, merupakan bentuk yang tidak umum dimana pasien mengalami

kontraksi otot yang persisten pada daerah luka yang terjadi ( agonis, antagonis, dan
fixator). Hal inilah merupakan tanda dari tetanus terlokalisir. Kontraksi otot biasanya

ringan, bisa bertahan dalam beberapa bulan tanpa progresif dan biasanya menghilang

secara bertahap. Tetanus lokal dapat mendahului tetanus umum namun dalam bentuk

yang relatif lebih ringan dan jarang menimbulkan kematian.. Prognosis pada pasien

dengan tetanus lokal ini sangat baik, hanya berkisar 1% dari kasus yang mengalami

kematian.

3. Tetanus sefalik, merupakan bentuk tetanus yang jarang terjadi, biasanya menyertai

otitis media dimana C. tetani ditemukan sebagai flora pada telinga tengah atau

menyertai trauma kepala. Tetanus bentuk ini dapat mengenai nervus kranialis,

khususnya pada daerah wajah. Bentuk tetanus ini merupakan bentuk yang tidak biasa

dengan masa inkubasi 1 - 2 hari. Prognosisnya pada pasien dengan tetanus sefalik ini

buruk.

4. Tetanus neonatorum, merupakan bentuk tetanus yang terjadi pada neonatus. Tetanus

neonatorum terjadi pada negara yang belum berkembang dan menyumbang sekitar

setengah kematian neonatus. Penyebab yang sering adalah penggunaan alat-alat yang

terkontaminasi untuk memotong tali pusat pada ibu yang belum diimunisasi . Masa

inkubasi sekitar 3-10 hari. Neonatus biasanya gelisah, rewel, sulit minum ASI, mulut

mencucu dan spasme berat. Angka mortalitas dapat melebihi 70%.


2.4 DERAJAT KEPARAHAN TETANUS

Tetanus memiliki suatu kriteria/derajat berat – ringannya penyakit. Tujuannya

untuk menentukan prognosis dari Tetanus dan menentukan agresifitas terapi yang

diberikan.

Menurut Kriteria Ablett, penyakit tetanus ini dibagi menjadi 4 tingkatan, yaitu 8,10 :

Tabel 2.1. Kriteria Ablett

Derajat Manifestasi Klinis


I : Ringan Trismus ringan sampai sedang; spastisitas umum
tanpa spasme atau gangguan pernapasan; tanpa
disfagia atau disfagia ringan

II : Sedang Trismus sedang; rigiditas dengan spasme ringan


sampai sedang dalam waktu singkat; laju napas >
30 x/ menit; disfagia ringan

III : Berat Trismus berat; spastisitas umum; spasmenya lama.


Laju napas > 40 x/menit; laju nadi > 120x/menit.
Terdapat peningkatan aktivitas saraf otonom yang
moderat dan menetap; disfagia berat
IV : Sangat Berat Derajat III disertai gangguan sistem otonom
termasuk kardiovaskular. Dapat dijumpai hipertensi
berat dengan takikardi berselang-seling dengan
hipotensi relatif dan bradikardia atau hipertensi
diastolik yang berat dan menetap (tekanan diastolik
>110 mmHg) atau hipotensi sistolik yang menetap
(tekanan sistolik <90 mmHg). Dikenal juga dengan
autonomic storm

Tabel 2.2. Kriteria Miranda


Derajat Manifestasi Klinis
Keparahan
I : Ringan Trismus + rigiditas general pada lebih dari satu
segmen tubuh (kepala, badan, lengan dan tungkai)
II : Sedang Spasme ringan dan jarang setelah suatu stimulus
III : Berat Spasme berat dan sering terjadi yang dapat dipicu
dengan stimulus ringan misalnya cahaya, suara,
pengukuran tanda vital, sentuhan ringan
IV : Sangat Berat Derajat III ditambah sindroma hipereaktivitas saraf
otonom

Adanya sindroma hipereaktivitas saraf otonom dapat dinilai secara klinis dengan kriteria
berikut :
Tabel 2.3. Kriteria Sindroma Hipereaktivitas Saraf Otonom

Kriteria Mayor :
1. Tekanan Darah yang tidak stabil
2. Aritmia
3. Denyut Jantung yang tidak stabil

Kriteria Minor :
1. Keringat berlebihan
2. Ileus Paralitik

Adanya dua tanda mayor atau satu tanda mayor ditambah 2 tanda
minor menunjukkan adanya sindroma hipereaktivitas saraf otonom

2.5 PATOFISIOLOGI

Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh manusia biasanya melalui luka dalam

bentuk spora. Penyakit akan muncul bila spora tumbuh menjadi bentuk vegetatif yang
menghasilkan tetanospasmin pada keadaan tekanan oksigen rendah, nekrosis jaringan

atau berkurangnya potensi oksigen.

Masa inkubasi dan beratnya penyakit terutama ditentukan oleh kondisi luka.

Beratnya penyakit terutama berhubungan dengan jumlah dan kecepatan produksi toksin

serta jumlah toksin yang mencapai susunan saraf pusat. Faktor-faktor tersebut selain

ditentukan oleh kondisi luka, mungkin juga ditentukan oleh strain Clostridium tetani.

Pengetahuan tentang patofisiologi penyakit tetanus telah menarik perhatian para ahli

dalam 20 tahun terakhir ini, namun kebanyakan penelitian berdasarkan atas percobaan

pada hewan. 9,10

2.5.1 Penyebaran Toksin

Toksin yang dikeluarkan oleh Clostridium tetani menyebar dengan berbagai cara, sebagai
1,2,8,9
berikut :

1. Masuk ke dalam otot

Toksin masuk ke dalam otot yang terletak dibawah atau sekitar luka, kemudian ke

otot-otot sekitarnya dan seterusnya secara ascenden melalui sinap ke dalam susunan

saraf pusat.

2. Penyebaran melalui sistem limfatik

Toksin yang berada dalam jaringan akan secara cepat masuk ke dalam nodus

limfatikus, selanjutnya melalui sistem limfatik masuk ke peredaran darah sistemik.

3. Penyebaran ke dalam pembuluh darah.

Toksin masuk ke dalam pembuluh darah terutama melalui sistem limfatik, namun

dapat pula melalui sistem kapiler di sekitar luka. Penyebaran melalui pembuluh darah
merupakan cara yang penting sekalipun tidak menentukan beratnya penyakit. Pada

manusia sebagian besar toksin diabsorbsi ke dalam pembuluh darah, sehingga

memungkinkan untuk dinetralisasi atau ditahan dengan pemberian antitoksin dengan

dosis optimal yang diberikan secara intravena. Toksin tidak masuk ke dalam susunan

saraf pusat melalui peredaran darah karena sulit untuk menembus sawar otak. Sesuatu

hal yang sangat penting adalah toksin bisa menyebar ke otot-otot lain bahkan ke

organ lain melalui peredaran darah, sehingga secara tidak langsung meningkatkan

transport toksin ke dalam susunan saraf pusat.

4. Toksin masuk ke susunan saraf pusat (SSP)

Toksin masuk kedalam SSP dengan penyebaran melalui serabut saraf, secara

retrograde. Toksin mencapai SSP melalui sistem saraf motorik, sensorik dan

autonom. Toksin yang mencapai kornu anterior medula spinalis atau nukleus motorik

batang otak kemudian bergabung dengan reseptor presinaptik dan saraf inhibitor.

2.5.2 Mekanisme Kerja Toksin Tetanus:

1. Jenis toksin

Clostridium tetani menghasilkan tetanolisin dan tetanospsmin. Tetanolisin

mempunyai efek hemolisin dan protease, pada dosis tinggi berefek kardiotoksik dan

neurotoksik. Sampai saat ini peran tetanolisin pada tetanus manusia belum diketahui

pasti. Tetanospasmin mempunyai efek neurotoksik, penelitian mengenai patogenesis

penyakit tetanus terutama dihubungkan dengan toksin tersebut.3,4,8

2. Toksin tetanus dan reseptornya pada jaringan saraf


Toksin tetanus berkaitan dengan gangliosid ujung membran presinaptik, baik pada

neuromuskular junction, mupun pada susunan saraf pusat. Ikatan ini penting untuk

transport toksin melalui serabut saraf, namun hubungan antara pengikat dan toksisitas

belum diketahui secara jelas.

Lazarovisi dkk (1984) berhasil mengidentifikasikan 2 bentuk toksin tetanus yaitu

toksin A yang kurang mempunyai kemampuan untuk berikatan dengan sel saraf

namun tetap mempunyai efek antigenitas dan biotoksisitas, dan toksin B yang kuat

berikatan dengan sel saraf. 7,9

3. Kerja toksin tetanus pada neurotransmitter

Tempat kerja utama toksin adalah pada sinaps inhibisi dari susunan saraf pusat, yaitu

dengan jalan mencegah pelepasan neurotransmitter inhibisi seperti glisin, Gamma

Amino Butyric Acid (GABA), dopamin dan noradrenalin. GABA adalah

neuroinhibitor yang paling utama pada susunan saraf pusat, yang berfungsi mencegah

pelepasan impuls saraf yang eksesif. Toksin tetanus tidak mencegah sintesis atau

penyimpanan glisin maupun GABA, namun secara spesifik menghambat pelepasan

kedua neurotransmitter tersebut di daerah sinaps dangan cara mempengaruhi

sensitifitas terhadap kalsium dan proses eksositosis.8

2.5.3 Dampak dari Toksin Tetanus:

1. Susunan Saraf Pusat

Efek terhadap inhibisi presinap menimbulkan keadaan terjadinya letupan listrik yang

terus-menerus yang disebut sebagai Generator of pathological enhance excitation.

Keadaan ini menimbulkan aliran impuls dengan frekuensi tinggi dari SSP ke perifer,

sehingga terjadi kekakuan otot dan kejang. Semakin banyak saraf inhibisi yang
terkena makin berat kejang yang terjadi. Stimulus seperti suara, emosi, raba dan

cahaya dapat menjadi pencetus kejang karena motorneuron di daerah medula spinalis

berhubungan dengan jaringan saraf lain seperti retikulospinalis. Kadang kala

ditemukan saat bebas kejang (interval), hal ini mungkin karena tidak semua saraf

inhibisi dipengaruhi toksin, ada beberapa yang resisten terhadap toksin.10,12

a. Rasa sakit

Rasa sakit timbul dari adanya kekakuan otot dan kejang. Kadang kala ditemukan

neurotic pain yang berat pada tetanus lokal sekalipun pada saat tidak ada kejang.

Rasa sakit ini diduga karena pengaruh toksin terhadap sel saraf ganglion posterior,

sel-sel pada kornu posterior dan interneuron.12

b. Fungsi Luhur

Kesadaran penderita pada umumnya baik. Pada mereka yang tidak sadar biasanya

brhubungan dengan seberapa besar efek toksin terhadap otak, seberapa jauh efek

hipoksia, gangguan metabolisme dan sedatif atau antikonvulsan yang diberikan.13

2. Aktifitas Neuromuskular Perifer

Toksin tetanus menyebabkan penurunan pelepasan asetilkolin sehingga mempunyai

efek neuroparalitik, namun efek ini tertutup oleh efek inhibisi di susunan saraf pusat.

Neuroparalitik bisa terjadi bila efek toksin terhadap SSP tidak terjadi, namun hal ini

sulit karena toksin secara cepat menyebar ke SSP. Kadang-kadang efek neuroparalitik

terlihat pada tetanus sefal yaitu paralisis nervus fasialis, hal ini mungkin N. fasialis

lebih sensitif terhadap efek paralitik dari toksin atau karena axonopathi.11,12

Efek lain toksin tetanus terhadap aktivitas neuromuskular perifer berupa :


a. Neuropati perifer

b. Kontraktur miostatik yang dapat berupa kekakuan otot, pergerakan otot yang

terbatas dan nyeri, yang dapat terjadi beberapa minggu sampai beberapa bulan

setelah sembuh.

c. Denervasi parsial dari otot tertentu.

3. Perubahan Pada Sistem Saraf Autonom

Pada tetanus terjadi fluktuasi dari aktifitas sistem simpatis dan parasimpatis, hal ini

mungkin terjadi karena adanya ketidakseimbangan dari kedua sistem tersebut.

Mekanisme terjadinya disfungsi sistem autonom karena efek toksin yang berasal dari

otot (retrograd) maupun hasil penyebaran intraspinalis (dari kornu anterior ke kornu

lateralis medula spinalis torakal). Gangguan sistem autonom bisa terjadi secara umum

mengenai berbagai organ seperti kardiovaskular, saluran cerna, kandung kemih,

fungsi kendali suhu dan kendali otot bronkus, namun dapat pula hanya mengenai

salah satu organ tertentu.13,14

4. Gangguan Sistem Pernafasan

Gangguan sistem pernafasan dapat terjadi akibat 12,13 :

a. Kekakuan dan hipertonus dari otot-otot interkostal, badan dan abdomen; otot

diafragma terkena paling akhir. Kekakuan dinding thorax apalagi bila kejang yang

terjadi sangat sering mengakibatkan keterbatasan pergerakan rongga dada

sehingga menganggu ventilasi. Tetanus berat sering mengakibatkan gagal nafas

yang ditandai dengan hipoksia dan hiperkapnia. Namun dapat terjadi takipnea
akibat aktifitas berlebihan dari saraf di pusat persarafan yang tidak terkena efek

toksin.

b. Ketidakmampuan untuk mengeluarkan sekret trakea dan bronkus karena adanya

spasme dan kekakuan otot faring dan ketidakmampuan untuk dapat batuk dan

menelan dengan baik. Sehingga terdapat resiko tinggi untuk terjadinya aspirasi

yang dapat menimbulkan pneumonia, bronkopneumonia dan atelektasis.

c. Gangguan mikrosirkulasi pulmonal

Kelainan pada paru bahkan dapat ditentukan pada masa inkubasi. Kelainan yang

terjadi bisa berupa kongesti pembuluh darah pulmonal, oedema hemorrhagic

pulmonal dan ARDS. ARDS dapat terjadi pula karena proses iatrogenik atau

infeksi sistemik seperti sepsis yang mengikuti penyakit tetanus.12

d. Gangguan pusat pernafasan

Observaasi klinis dan percobaan binatang menunjukkan bahwa pusat pernafasan

dapat terkena oleh toksin tetanus. Paralisis pernafasan tanpa kekakuan otot dan

henti jantung dapat terjadi pada pemberian toksin dosis tinggi pada hewan

percobaan. Selain itu ditemukan bahwa penderita mengalami penurunan resistensi

terhadap asfiksia.

Observasi klinis yang menunjukkan kecurigaan keterlibatan pusat pernafasan

pada penderita tetanus adalah 12,13,14 :

 Adanya episode distres pernafasan akibat kesulitan bernafas yang berat tanpa

ditemukan adanya komplikasi pulmonal, bronkospasme dan peningkatan

sekret pada jalan nafas. Episode ini bervariasi dalam beberapa menit sampai

½-1 jam.
 Adanya apnoeic spells, tanda ini biasanya berlanjut menjadi prolonged

respiratory arrest (henti nafas berkepanjangan) dan akhirnya meninggal.

 Henti nafas akut dan mati mendadak.

Sekalipun demikian gangguan pusat pernafasan disebabkan oleh penyebab

sekunder seperti hipoksia rekuren/berkepanjangan, asfiksia kaena kejang lama

atau spasme laring, hipokapnia setelah serangan distres pernafasan, dan akibat

gangguan keseimbangan asam basa.

5. Gangguan Hemodinamika

Ketidakstabilan sistem kardiovaskular ditemukan penderita tetanus dengan gangguan

sistem saraf autonom yang berat. Penelitian mengenai hemodinamika pada tetanus

berat masih sangat jarang dilakukan karena 9,10,12 :

 Kendala etik

 Perjalanan penyakit tetanus sering diperberat oleh komplikasi seperti sepsis, infeksi

paru, atelektasis, edema paru dan gangguan keseimbangan asam-basa, yang

kesemua ini mempengaruhi sistem kardio-respirasi

 Pemakaian obat sedatif dosis tinggi dan pemakaian obat inotropik

mempersulit penilaian dari hasil penelitian.

6. Gangguan Metabolik

Metabolik rate pada tetanus secara bermakna meningkat dikarenakan adanya

kejang, peningkatan tonus otot, aktifitas berlebihan dari sistem saraf simpatik dan
perubahan hormonal. Konsumsi oksigen meningkat, hal ini pada kasus tertentu dapat

dikurangi dengan pemberian muscle relaxans. Berbagai percobaan memperlihatkan

adanya peningkatan ekskresi urea nitogen, katekolamin plasma dan urin, serta

penurunan serum protein terutama fraksi albumin.

Peninggian katekolamin meningkatkan metabolik rate, bila asupan oksigen tidak

dapat memenuhi kebutuhan tersebut, misalnya karena disertai masalah dalam sistem

pernafasan maka akan terjadi hipoksia dengan segala akibatnya. Katabolisme protein

yang berat, ketidakcukupan protein dan hipoksia akan menimbulkan metabolisme

anaerob dan mengurangi pembentukan ATP, keadaan ini akan mengurangi

kemampuan sistem imunitas dalam mengenali toksin sebagai antigen sehingga

mengakibatkan tidak cukupnya antibodi yang dibentuk. Fenomena ini mungkin dapat

menerangkan mengapa pada penderita tetanus yang sudah sembuh tidak/kurang

ditemukan kekebalan terhadap toksin. 12,13

7. Gangguan Hormonal

Gangguan terhadap hipotalamus atau jaras batang otak-hipotalamus dicurigai

terjadi pada penderita tetanus berat atas dasar ditemukannya episode hipertermia akut

dan adanya demam tanpa ditemukan adanya infeksi sekunder. Peningkatan alertness

dan awareness menimbulkan dugaan adanya aktifitas retikular dari batang otak yang

berlebihan. Aksis hipotalamus-hipofise mengandung serabut saraf khusus yang

merangsang sekresi hormon. Aktifitas sekresi oleh serabut saraf tersebut dimodulasi

monoamin neuron lokal. Adanya penurunan kadar prolaktin, TSH, LH dan FSH yang

diduga karena adanya hambatan terhadap mekanisme umpan balik hipofise-kelenjar

endokrin. 11,13
8. Gangguan pada sistem lain

Berbagai percobaan pada hewan percobaan ditemukan bahwa toksin secara

langsung dapat mengganggu hati, traktus gastro-intestinalis dan ginjal. Pengaruh

tersebut dapat berupa nefrotoksik terhadap nefron, inhibisi mitosis hepatosit dan

kongesti-pendarahan-ulserasi mukosa gaster. Namun secara klinis hal tersebut sulit

ditentukan apakah kelainan klinis seperti gangguan fungsi ginjal, fungsi hati dan

abnormalitas traktus gastrointestinal disebakan semata-mata karena efek toksin atau

oleh karena efek sekunder dari hipovolemia, shock, gangguan elektrolit dan

metabolik yang terganggu.

Secara teoritis ileus, distonia kolon, gangguan evakuasi usus besar dan retensi

urin dapat terjadi karena gangguan keseimbangan simpatis-parasimpatis karena efek

toksin baik di tingkat batang otak, hipotalamus maupun ditingkat saraf perifer

simpatis, parasimpatis. Disfungsi organ dapat pula terjadi sebagai akibat gangguan

mikrosirkulasi dan perubahan permeabilitas kapiler pada organ tertentu. 10,12

2.6 MANIFESTASI KLINIS

Tetanus biasanya mengikuti luka-luka yang dikenali. Kontaminasi benda tajam

dengan tanah, pupuk atau besi yang berkarat dapat menyebabkan tetanus. Penyakit ini

juga dapat sebagai komplikasi dari luka bakar, ulkus, gangren, gigitan ular yang telah

nekrotik, infeksi telinga tengah, aborsi, kelahiran, injeksi intramuskular dan pembedahan.
10

Ada Trias Gejala yaitu rigiditas atau kekakuan, spasme otot, jika parah maka

bisa disfungsi otonom. Kekakuan otot leher, nyeri tenggorokan, dan kesulitan membuka
mulut sering merupakan gejala awal. Spasme otot masseter bisa menyebabkan trismus

atau ”lockjaw”. Spasme yang prosesif meluas dari otot muka menyebabkan ekspresi

khusus yang disebut ”Risus Sardonicus” dan pada otot menelan menyebabkan disfagia.

Kekakuan dari otot leher menyebabkan retraksi kepala. Kekakuan otot-otot rangka tubuh

menyebabkan opisthotonus dan kesulitan bernafas dengan complience dinding dada yang

menurun. 11

Untuk meningkatkan tonus otot, ada episode spasme otot. Kontraksi tonik ini

seperti konvulsi yang mempengaruhi agonis dan antagonis dari sekelompok otot. Bisa

spontan atau dipengaruhi oleh sentuhan, visual, suara, atau emosi. Spasme bervariasi

untuk kekuatannya dan frekuensi tapi cukup kuat menyebabkan patah tulang dan

robeknya suatu jaringan (avulsi). Spasme bisa terjadi terus-menerus yang bisa

mengakibatkan gagal nafas. Spasme faring sering diikuti spasme laring dan berhubungan

dengan aspirasi dan obstruksi jalan nafas.

Masa inkubasi bervariasi antara 3 sampai 21 hari, biasanya sekitar 8 hari. Pada

umumnya tergantung pada lokasi dan jarak antara luka dengan system saraf pusat,

sehingga lokasi luka yang jauh dapat menyebabkan masa inkubasi yang lebih lama. Masa

inkubasi yang pendek mempunyai angka kematian yang cukup tinggi. Pada tetanus

neonatorum gejala biasanya muncul antara 4 sampai 14 hari setelah lahir dengan rata-rata

7 hari.9,10

Karakteristik Dari Tetanus 10:

1. Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama , dan menetap selama 5-7 hari.

2. Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekuensinya.

3. Setelah 2 minggu kejang mulai hilang.


4. Biasanya didahului dengan ketegangan otot terutama pada rahang dan leher.

5. Kemudian timbul kesukaran membuka mulut ( trismus / lockjaw) karena spasme otot

masseter.

6. Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk ( nuchal rigidity)

7. Risus Sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis tertarik ke atas,

sudut mulut tertarik keluar dan kebawah, bibir tertekan kuat.

8. Gambaran umum yang khas berupa badan kaku dengan opistotonus, tungkai dengan

eksistensi, lengan kaku dengan mengepal, biasanya kesadaran tetap baik.

9. Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat terjadi asfiksia dan sianosis, retensi urin,

bahkan dapat terjadi fraktur collumna vertebralis (pada anak).

Gambar 1. Manifestasi klinis Tetanus

2.7 DIAGNOSIS

Diagnosis tetanus mutlak didasarkan pada gejala klinis dan anamnesa. Tetanus

tidaklah mungkin apabila terdapat riwayat serial vaksinasi yang telah diberikan secara

lengkap dan vaksin ulangan yang sesuai telah diberikan. Pemeriksaan laboratorium hanya
dipakai untuk eksklusi diagnosa-diagnosa yang lain. Biakan anaerob dari jaringan luka

yang terkontaminasi didapat organisme Clostridium tetani, dan elektromiogram mungkin

menunjukkan impuls unit-unit motorik dan pemendekan atau tidak adanya interval tenang

yang secara normal dijumpai setelah potensial aksi. Perubahan non-spesifik dapat

dijumpai pada elektrokardiogram, dan enzim otot (CPK) mungkin meningkat.13,19, 20

2.8 PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang karakteristik untuk tetanus. Pada

pemeriksaan darah, jumlah lekosit mungkin meningkat, laju endap darah sedikit

meningkat. Pemeriksaan cairan serebrospinal masih dalam batas normal. Tingkat serum

enzim otot mungkin meningkat. Diagnosis ditegakkan secara klinis dari anamnesa dan

pemeriksaan fisik dan tidak tergantung pada konfirmasi bakteriologis. C. Tetani hanya

ditemukan pada 30% pada luka pasien dengan kasus tetanus, dan dapat diisolasi dari

pasien yang tidak memberikan gejala tetanus.10,16

2.9 DIAGNOSIS BANDING

Penyakit-penyakit yang menyerupai gejala tetanus adalah 18 :

a. Meningitis bakterialis

b. Rabies

c. Poliomielitis

d. Epilepsi

e. Ensefalitis

f. Keracunan striknin
g. Sindrom Shiffman

h. Efek samping fenotiazin

i. Peritonsiler abses

2.10 PENATALAKSANAAN

Pada tahun 2002, Thwaites merangkum penatalaksanaan Tetanus menjadi 5 tahap

yakni :

1. Eradikasi bakteri kaussatif

2. Netralisasi toksin yang belum terikat

3. Terapi Suportif selama fase akut

4. Rehabilitasi

5. Imunisasi

Saat ini penatalaksanaan tetanus, menurut Edlich disederhanakan menjadi 3 tahap yaitu :

1. Menetralkan toksin tetanus

Antitoksin harus diberikan untuk menetralkan toksin-toksin yang belum berikatan.

Setelah evaluasi awal, human tetanus immunoglobulin (HTIG) segera diinjeksikan

intramuskuler dengan dosis total 3.000-10.000 unit, dibagi tiga dosis yang sama dan

diinjeksikan di tiga tempat berbeda. Tidak ada konsensus dosis tepat HTIG.

Rekomendasi British National Formulary adalah 5.000-10.000 unit intravena. Untuk bayi,
dosisnya adalah 500 IU intramuskular dosis tunggal. Sebagian dosis diberikan secara infi ltrasi di
tempat sekitar luka; hanya dibutuhkan sekali pengobatan karena waktu paruhnya 25-30 hari.
Makin cepat pengobatan diberikan, makin efektif. Kontraindikasi HTIG adalah riwayat
hipersensitivitas terhadap imunoglobulin atau komponen human immunoglobulin sebelumnya;
trombositopenia berat atau keadaan koagulasi lain yang dapat merupakan kontraindikasi
pemberian intramuskular. Bila tidak tersedia maka digunakan ATS dengan dosis 100.000-
200.000 unit diberikan 50.000 unit intra-muskular dan 50.000 unit intravena pada hari pertama,
kemudian 60.000 unit dan 40.000 unit intramuskuler masing-masing pada hari kedua dan
ketiga.1,4,5 Setelah penderita sembuh, sebelum keluar rumah sakit harus diberi immunisasi aktif
dengan toksoid untuk mengeradikasi bakteri, sedangkan efek untuk tujuan pencegahan tetanus
secara klinis adalah minimal. Pada pe-nelitian di Indonesia, metronidazole telah menjadi terapi
pilihan di beberapa pelayanan kesehatan. Metronidazole diberikan secara iv dengan dosis inisial
15 mg/kgBB dilanjutkan dosis 30 mg/kgBB/hari setiap 6 jam selama 7-10 hari. Metronidazole
efektif mengurangi jumlah kuman C. tetani bentuk vegetatif. Sebagai lini kedua dapat diberikan
penicillin procain 50.000-100.000 U/kgBB/hari selama 7-10 hari, jika hipersensitif terhadap
penicillin dapat diberi tetracycline 50 mg/kgBB/hari (untuk anak berumur lebih dari 8 tahun).
Penicillin membunuh bentuk vegetatif C. tetani. Sampai saat ini, pemberian penicillin G 100.000
U/kgBB/hari iv, setiap 6 jam selama 10 hari direkomendasikan pada semua kasus tetanus.
Sebuah penelitian menyatakan bahwa penicillin mungkin berperan sebagai agonis terhadap
tetanospasmin dengan menghambat pelepasan asam aminobutirat gama (GABA).3-5,12
2. Menghilangkan sumber Infeksi

Luka harus dibersihkan secara menyeluruh dan didebridement untuk mengurangi

muatan bakteri dan mencegah pelepasantoksin lebih lanjut.1,3,5 Antibiotika diberikan

untuk mengeradikasi bakteri, sedangkan efek untuk tujuan pencegahan tetanus secara

klinis adalah minimal. Pada penelitian di Indonesia, metronidazole telah menjadi

terapi pilihan di beberapa pelayanan kesehatan. Metronidazole diberikan secara iv

dengan dosis inisial 15 mg/kgBB dilanjutkan dosis 30 mg/kgBB/hari setiap 6 jam

selama 7-10 hari. Metronidazole efektif mengurangi jumlah kuman C. tetani bentuk

vegetatif. Sebagai lini kedua dapat diberikan penicillin procain 50.000-100.000

U/kgBB/hari selama 7-10 hari, jika hipersensitif terhadap penicillin dapat diberi

tetracycline 50 mg/kgBB/hari (untuk anak berumur lebih dari 8 tahun). Penicillin

membunuh bentuk vegetatif C. tetani. Sampai saat ini, pemberian penicillin G 100.000

U/kgBB/hari iv, setiap 6 jam selama 10 hari direkomendasikan pada semua kasus

tetanus. Sebuah penelitian menyatakan bahwa penicillin mungkin berperan sebagai

agonis terhadap tetanospasmin dengan menghambat pelepasan asam aminobutirat

gama (GABA).3-5,12
3. Terapi suportif selama fase akut

Penatalaksanaan lebih lanjut terdiri dari terapi suportif sampai efek toksin yang telah

terikat habis. Semua pasien yang dicurigai tetanus sebaiknya ditangani di ICU agar

bisa diobservasi secara kontinu. Untuk meminimalkan risiko spasme paroksismal yang

dipresipitasi stimulus ekstrinsik, pasien sebaiknya dirawat di ruangan gelap dan

tenang.3-5,12 Pasien diposisikan agar mencegah pneumonia aspirasi. Cairan intravena

harus diberikan, pemeriksaan elektrolit serta analisis gas darah penting sebagai

penuntun terapi.5 Penanganan jalan napas merupakan prioritas. Spasme otot, spasme

laring, aspirasi, atau dosis besar sedatif semuanya dapat mengganggu respirasi. Sekresi

bronkus yang berlebihan memerlukan tindakan suctioning yang sering.1 Trakeostomi

ditujukan untuk menjaga jalan nafas terutama jika ada opistotonus dan keterlibatan

otot-otot punggung, dada, atau distres pernapasan.6 Kematian akibat spasme laring

mendadak, paralisis diafragma, dan kontraksi otot respirasi tidak adekuat sering terjadi

jika tidak tersedia akses ventilator.3 Spasme otot dan rigiditas diatasi secara efektif

dengan sedasi. Pasien tersedasi lebih sedikit dipengaruhi oleh stimulus perifer dan

kecil kemungkinannya mengalami spasme otot.5 Diazepam efektif mengatasi spasme

dan hipertonisitas tanpa menekan pusat kortikal. Dosis diazepam yang

direkomendasikan adalah 0,1-0,3 mg/kgBB/ kali dengan interval 2-4 jam sesuai gejala

klinis, dosis yang direkomendasikan untuk usia <2 tahun adalah 8 mg/kgBB/hari oral

dalam dosis 2-3 mg setiap 3 jam. Spasme harus segera dihentikan dengan diazepam 5

mg per rektal untuk berat badan <10 kg dan 10 mg per rektal untuk anak dengan berat

badan ≥10 kg, atau diazepam intravena untuk anak 0,3 mg/kgBB/kali. Setelah spasme

berhenti, pemberian diazepam dilanjutkan dengan dosis rumatan sesuai keadaan klinis.
Alternatif lain, untuk bayi (tetanus neonatorum) diberikan dosis awitan 0,1-0,2

mg/kgBB iv untuk menghilangkan spasme akut, diikuti infus tetesan tetap 15-40 mg/

kgBB/hari. Setelah 5-7 hari dosis diazepam diturunkan bertahap 5-10 mg/hari dan

dapat diberikan melalui pipa orogastrik. Dosis maksimal adalah 40 mg/kgBB/hari.

Tanda klinis membaik bila tidak dijumpai spasme spontan, badan masih kaku,

kesadaran membaik (tidak koma), tidak dijumpai gangguan pernapasan.1,10,13,14

Tambahan efek sedasi bisa didapat dari barbiturate khususnya phenobarbital dan

phenotiazine seperti chlorpromazine, penggunaannya dapat menguntungkan pasien

dengan gangguan otonom.1,3 Phenobarbital diberikan dengan dosis 120-200 mg

intravena, dan diazepam dapat ditambahkan terpisah dengan dosis sampai 120

mg/hari. Chlorpromazine diberikan setiap 4-8 jam dengan dosis dari 4-12 mg bagi

bayi sampai 50-150 mg bagi dewasa.5,10 Morphine bisa memiliki efek sama dan

biasanya digunakan sebagai tambahan sedasi benzodiazepine. Jika spasme tidak cukup

terkontrol de ngan benzodiazepine, dapat dipilih pelumpuh otot nondepolarisasi

dengan intermittent positive-pressure ventilation (IPPV). Tidak ada data perbandingan

obat-obat pelumpuh otot pada tetanus, rekomendasi didapatkan dari laporan kasus.

Pancuronium harus dihindari karena efek samping simpatomimetik.1 Atracurium dapat

sebagai pilihan. Vecuronium juga telah digunakan karena stabil pada jantung.3,10,14

Pasien tetanus berat sering kali membutuhkan IPPV selama 2 hingga 3 minggu sampai

spasme mereda. Insiden ventilator-associated pneumonia pada pasien-pasien tetanus

sebesar 52,6%.1 Infeksi nosokomial umum terjadi karena lamanya perjalanan penyakit

tetanus dan masih merupakan penyebab penting kematian. Pencegahan komplikasi

respirasi meliputi perawatan mulut sangat teliti, fisioterapi dada dan suction trakea.
Sedasi adekuat selama prosedur invasif mencegah provokasi spasme atau

ketidakstabilan otonom.3,6,7,10 Instabilitas otonom terjadi beberapa hari setelah onset

spasme umum dan fatality ratenya 11-28%. Manifestasi berupa hipertensi labil,

takikardia, dan demam. Berbagai gangguan kardiovaskular seperti disritmia dan infark

miokard serta kolaps sirkulasi sering menyebabkan kematian.6,7,11 Tanda

overaktivitas simpatis yaitu takikardia fluktuatif, hipertensi yang kadang diikuti

hipotensi, pucat dan berkeringat sering tampak beberapa hari setelah onset spasme

otot.5,10 Henti jantung tiba-tiba umum terjadi dan dikatakan dapat dipresipitasi oleh

kombinasi kadar katekolamin yang tinggi dan kerja langsung toksin tetanus pada

miokardium. Aktivitas simpatis yang memanjang dapat berakhir dengan hipotensi dan

bradikardi. Aktivitas parasimpatis berlebihan dapat menyebabkan sinus arrest,

dikatakan karena kerusakan langsung nukleus vagus oleh toksin tetanus.3,6,7 Instabilitas

otonom sulit diobati. Fluktuasi tekanan darah membutuhkan obat-obat dengan waktu

paruh singkat. Terapi konvensional terdiri dari sedasi dalam sebagai terapi lini

pertama, menggunakan benzodiazepine dosis besar,morphine, dan/atau

chlorpromazine.1 Saat ini, magnesium sulfat intravena dicoba untuk mengendalikan

spasme dan disfungsi otonom; dosis loading 5 g (atau 75 mg/kg) IV dilanjutkan 1

sampai 3 g/jam sampai spasme terkontrol telah digunakan untuk mendapatkan

konsentrasi serum 2 sampai 4 mmol/L. Untuk menghindari overdosis, dimonitor refl

ek patella.7,13 Beta blocker dapat menyebabkan hipotensi berat. Episode hipotensi yang

tidak membaik dengan penambahan volume intravaskular membutuhkan inotropik.1

Atropin dosis tinggi, lebih dari 100 mg/jam, telah dianjurkan pada keadaan

bradikardia.3 Tidak ada regimen terapi yang dipercaya efektif secara universal untuk
instabilitas otonom.11 Tetanus terbukti secara klinis dan biokimia menyebabkan

aktivitas simpatis berlebihan dan katabolisme protein sehingga pemeliharaan nutrisi

sangat diperlukan. Nutrisi buruk dan penurunan berat badan terjadi cepat karena

disfagia, gangguan fungsi gastrointestinal dan peningkatan metabolisme, menurunkan

daya tahan tubuh sehingga memperburuk prognosis..3,13 Nutrisi parenteral total

mengandung glukosa hipertonis dan insulin dalam jumlah cukup untuk mengendalikan

kadar gula darah, dapat menekan katabolisme protein. Formula asam amino sangat

membantu membatasi katabolisme protein.5,12 Pada hari pertama perlu pemberian

cairan secara intravena sekaligus pemberian obat-obatan, dan bila sampai hari ke-3

infus belum dapat dilepas sebaiknya dipertimbangkan pemberian nutrisi secara

parenteral. Setelah spasme mereda dapat dipasang sonde lambung untuk makanan dan

obat-obatan dengan perhatian khusus pada risiko aspirasi.5,12 Emboli paru juga

merupakan salah satu penyebab kematian, sehingga banyak digunakan antikoagulan

secara rutin seperti heparin subkutan; risiko thromboemboli dan perdarahan harus

dipertimbangkan. Gerakan pasif harus terus diberikan jika digunakan pelumpuh

otot.5,12

2.11 KOMPLIKASI

Komplikasi tetanus yang sering terjadi adalah pneumonia, bronkopneumonia dan

sepsis. Komplikasi terjadi karena adanya gangguan pada sistem respirasi antara lain

spasme laring atau faring yang berbahaya karena dapat menyebabkan hipoksia dan

kerusakan otak. Spasme saluran nafas atas dapat menyebabkan aspirasi pneumonia atau

atelektasis. Komplikasi pada sistem kardiovaskuler berupa takikardi, bradikardia, aritmia,


gagal jantung, hipertensi, hipotensi, dan syok. Kejang dapat menyebabkan fraktur

vertebra atau kifosis. Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa tromboemboli,

pendarahan saluran cerna, infeksi saluran kemih, gagal ginjal akut, dehidrasi dan asidosis

metabolik.18,20

2.12 PROGNOSIS

Mortalitas tergantung dari 20,21 :

1. Masa inkubasi : semakin pendek masa inkubasi semakin tinggi angka mortalitasnya.

Masa inkubasi kurang dari 7 hari umumnya berakibat fatal.

2. Usia : Neonatus atau 0rang tua, angka mortalitasnya tinggi

3. Seringnya kejang atau trismus

4. Suhu badan

5. Spasme otot pernapasan dan obstruksi saluran nafas

6. Waktu pemberian terapi


BAB III

KESIMPULAN

3.1 KESIMPULAN

Tetanus adalah penyakit yang mengenai sistem saraf yang disebabkan oleh

tetanospasmin yaitu neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Bakteri ini

menghasilkan 2 macam eksotoksin yaitu tetanolisin dan tetanospasmin. Tetanospasmin

mempunyai efek neurotoksik sedangkan efek tetanolisin belum diketahui secara pasti.

Gejala klinis khas pada tetanus yaitu rigiditas, spasmme otot dan lebih parah dapat

menyebabkan disfungsi otonom.

Diagnosis tetanus mutlak didasarkan pada gejala klinis dan anamnesa.

Penatalaksanaan yang dapat diberikan pada pasien tetanus adalah mengisolasi penderita

untuk menghindari rangsangan dan juga dapat diberikan antibiotik, maupun anti tetanus

toksin. Prognosis tetanus tergantung dari masa inkubasi, usia, spasme otot dan waktu

pemberian terapi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Soedarmo, Sumarmo P. Poorwo. Herry Garna, dkk. Buku Ajar Infeksi & Pediatric
Tropis. Edisi Kedua. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Badan Penerbit IDAI, Jakarta.
2002. Hal 322 – 329

2. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Ilmu
Kesehatan Anak. Jilid 2. Infomedika. Jakarta. 1986. Hal 568 – 573.

3. Adams. R.D,et al : Tetanus in :Principles of New'ology,McGraw-Hill,ed 1997, 1205-


1207.

4. Behrman.E.Richard : Tetanus, chapter 193, edition 15 th , Nelson, W.B.Saunders


Company, 1996, 815 -817.

5. Feigen. R.D : Tetanus .In : Bchrmlan R.E, Vaughan V C , Nelson W.E , eds. Nelson
Textbook of pediatrics, ed. 13 th, Philadelphia, W.B Saunders Company, 1987, 617 –
620.

6. Glickman J, Scott K.J, Canby R.C: Infectious Disese, Phantom notes medicine ,ed. 6 th,
Info Acces and Distribution Ltd, Singapore,1995, 53-55.

7. Gilroy, John MD, et al :Tetanus in : Basic Neurology, ed.1.982, 229-230

8. Harrison: Tetanus in :Principles of lnternal Medicine, volume 2, ed. 13 th, McGrawHill.


Inc,New York, 1994, .577-579.

9. Hendarwanto: llmu Penyakit Dalam, jilid 1, Balai Penerbit FK UI, Jakarta, 1987, 49- 51.

10. Hamid,E.D, Daulay, AP, Lubis, CP, Rusdidjas, Siregar H : Tetanus Neonatorum in
babies Delivered by Traditional Birth Attendance in Medan, Vol. 25, Paeditrica
Indonesiana, Departement of Child Health, Medical School University of lndonesia,
Sept-Okt 1985, 167 -174.
11. Krugman Saaul, Katz L.. Samuel, Gerhson AA, Wilfert C ; Infectious diiseases of
children, ed. 9 th, St Louis, Mosby, 1992, 487-490

12. Lubis, CP: Management of Tetanus in Children, Paeditricaa Indonesiana, vol.33, Depart.
Of Child Health, Medical School, University of Indonesia, Sept-Okt 1993, 201-208.

13. Lubis, CP :Tetanus Neonatorum dan anak, Diktat Kuliah Ilmu Kesehatan Anak, Peny.
lnfeksi, bag II, Balai Penerbit FK USU, Medan, 1989, 21-40.

14. Menkes, JH: Textbook of child Neurology, in Tetanus Neonatorun, ed. 3 th, Lea and
Frebringer, Philadelphia, 1985, 521-522.

15. Peter. G. Red Book, Report of the committee on infectious diseases, ed.24 th, American
Academy of Pediatrics, 1997, 518-519.

16. Scheld, Michael W. Infection of the central nervous system, Raven Press Ltd, New York,
1991, 603 -620..

17. Srikiatkhachord Anaan, dkk ; Tetanus , Arbor Publishing Coorp. Neurobase,1993, 1- 13.

18. Samuels, AM. Tetanus, Maanual of Neurologic Therapeutic, ed. 2 nd, Ljttle Brown, and
Company, Boston, 1978, 387-390.

19. Scaletta, T A. Schaider, JJ. Infection prophylaxjs, Emergent Management of Trauma, 1 th


ed, McGrawhill, Toronto, 1996, 437-438.

20. Simon, Roger.P.MD, et. all : Tetanus in: Clinical Neurology, ed 1989,Appleton and
Lange,USA, 141-142.

21. Wegwood, RJ .Davis, DS. Ray, GC. Kelley, Vc: Infections of Children, 2 nd ed,
Philadelphia, 1982, 626-636.

Anda mungkin juga menyukai