TETANUS
PEMBIMBING :
dr. Mintarti, Sp.S
DISUSUN OLEH :
Ignasius Hans
406181022
PENDAHULUAN
Tetanus dari bahasa Yunani yang artinya meregang atau kaku (stretching/
rigidity). Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot spasme tanpa
disertai gangguan kesadaran. Gejala ini bukan disebabkan kuman secara langsung, tetapi
sebagai dampak eksotosin (tetanospasmin) yang dihasilkan oleh kuman pada sinaps
muscular junction) dan saraf autonom.1 Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkan
Tetanus disebut juga dengan “Seven day Disease”. Pada tahun 1890, diketemukan
toksin seperti strichnine, kemudian dikenal dengan tetanospasmin, yang di isolasi dari
tanah anerob yang mengandung bakteri. Imunisasi dengan mengaktivasi derivat tersebut
Spora Clostridium tetani biasanya masuk kedalam tubuh melalui luka pada kulit
oleh karena terpotong, tertusuk atau pun luka bakar serta infeksi pada tali pusat.1,3
tepat dan dilakukan secara intensif. Penyakit tetanus pada neonatus mempunyai case
fatality rate yang tinggi (70-90%) sehingga bila tetanus dapat didiagnosis secara dini dan
2.1 DEFENISI
Tetanus adalah penyakit yang mengenai sistem saraf yang disebabkan oleh
tetanospasmin yaitu neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Penyakit ini
ditandai oleh adanya trismus, disfagia, dan rigiditas otot lokal yang dekat dengan tempat
luka, sering progresif menjadi spasme otot umum yang berat serta diperberat dengan
selalu berhubungan dengan kerja toksin pada susunan saraf pusat dan sistem saraf
menghasilkan spora pada salah satu ujungnya sehingga membentuk gambaran tongkat
penabuh drum atau raket tenis. Spora Clostridium tetani sangat tahan terhadap
desinfektan kimia, pemanasan dan pengeringan. Kuman ini terdapat dimana-mana, dalam
tanah, debu jalan dan pada kotoran hewan terutama kuda. Spora tumbuh menjadi bentuk
vegetatif dalam suasana anaerobik. Bentuk vegetatif ini menghasilkan dua jenis toksin,
bekerja pada ujung saraf otot dan sistem saraf pusat yang menyebabkan spasme otot dan
kejang.1,2,3,4
2.2. ETIOLOGI
Penyebab utama penyakit tetanus adalah bakteri Clostridium tetani yang
merupakan basil gram positif obligat anaerobik yang dapat ditemukan pada permukaan
tanah yang gembur dan lembab dan pada usus halus dan feses hewan. Mempunyai spora
yang mudah bergerak dan spora ini merupkan bentuk vegetatif. Kuman ini bisa masuk
melalui luka di kulit. Spora yang ada tersebar secara luas pada tanah dan karpet, serta
dapat diisolasi pada banyak feses binatang pada kuda, domba, sapi, anjing, kucing,
marmot dan ayam. Tanah yang dipupuk dengan pupuk kandang mungkin mengandung
sejumlah besar spora. Di daerah pertanian, jumlah yang signifikan pada manusia dewasa
mungkin mengandung organisma ini. Spora juga dapat ditemukan pada permukaan kulit
dan heroin yang terkontaminasi. Spora ini akan menjadi bentuk aktif kembali ketika
masuk ke dalam luka dan kemudian berproliferasi jika potensial reduksi jaringan rendah.
Spora ini sulit diwarnai dengan pewarnaan gram, dan dapat bertahan hidup bertahun –
tahun jika tidak terkena sinar matahari. Bentuk vegetatif ini akan mudah mati dengan
pemanasan 120oC selama 15 – 20 menit tapi dapat betahan hidup terhadap antiseptik
fenol, kresol.6,7
tetanospasmin. Fungsi tetanolisin belum diketahui secara pasti, namun diketahui dapat
menyebabkan kerusakan jaringan yang sehat pada luka terinfeksi, menurunkan potensial
dapat merusak membran sel lebih dari satu mekanisme. Tetanospasmin (toksin
Tetanospasmin merupakan suatu toksin yang poten yang dikenal berdasarkan beratnya.
Toksin ini disintesis sebagai suatu rantai tunggal asam amino polipeptida 151-kD 1315
yang dikodekan pada plsmid 75 kb. Tetanospasmin ini mempengaruhi pembentukan dan
pengeluaran neurotransmiter glisin dan GABA pada terminal inhibisi daerah presinaps
terhambat. Batas dosis terkecil tetanospasmin yang dapat menyebabkan kematian pada
manusia adalah 2,5 nanogram per kilogram berat badan atau 175 nanogram untuk
2.3 KLASIFIKASI
Berdasarkan pada temuan klinis terdapat 4 bentuk klinis tetanus yang ditentukan
berdasarkan penyebaran toksin di dalam tubuh, gejala klinis dan usia pasien sebagai
berikut 13,14,16 :
1. Tetanus Generalisata, merupakan bentuk yang paling sering terjadi (sekitar 80%).
Penyakit ini biasanya muncul dalam bentuk descending. Gejala pertama yang muncul
adalah trismus dan lockjaw, kemudian diikuti dengan kekakuan leher, kesulitan
menelan, dan rigiditas abdomen. Gejala lain berupa Risus sardonicus yakni spasme
Spasme dari laring dan otot-otot pernafasan bisa menimbulkan sumbatan saluran
nafas. Gejala lainnya adalah suhu tubuh yang meningkat 2º-4º C di atas suhu normal,
berkeringat, peningkatan tekanan darah, dan denyut jantung yang cepat secara
episodik. Spasme dapat terjadi secara berkala selama beberapa menit. Spasme dapat
2. Tetanus Terlokalisir, merupakan bentuk yang tidak umum dimana pasien mengalami
kontraksi otot yang persisten pada daerah luka yang terjadi ( agonis, antagonis, dan
fixator). Hal inilah merupakan tanda dari tetanus terlokalisir. Kontraksi otot biasanya
ringan, bisa bertahan dalam beberapa bulan tanpa progresif dan biasanya menghilang
secara bertahap. Tetanus lokal dapat mendahului tetanus umum namun dalam bentuk
yang relatif lebih ringan dan jarang menimbulkan kematian.. Prognosis pada pasien
dengan tetanus lokal ini sangat baik, hanya berkisar 1% dari kasus yang mengalami
kematian.
3. Tetanus sefalik, merupakan bentuk tetanus yang jarang terjadi, biasanya menyertai
otitis media dimana C. tetani ditemukan sebagai flora pada telinga tengah atau
menyertai trauma kepala. Tetanus bentuk ini dapat mengenai nervus kranialis,
khususnya pada daerah wajah. Bentuk tetanus ini merupakan bentuk yang tidak biasa
dengan masa inkubasi 1 - 2 hari. Prognosisnya pada pasien dengan tetanus sefalik ini
buruk.
4. Tetanus neonatorum, merupakan bentuk tetanus yang terjadi pada neonatus. Tetanus
neonatorum terjadi pada negara yang belum berkembang dan menyumbang sekitar
setengah kematian neonatus. Penyebab yang sering adalah penggunaan alat-alat yang
terkontaminasi untuk memotong tali pusat pada ibu yang belum diimunisasi . Masa
inkubasi sekitar 3-10 hari. Neonatus biasanya gelisah, rewel, sulit minum ASI, mulut
untuk menentukan prognosis dari Tetanus dan menentukan agresifitas terapi yang
diberikan.
Menurut Kriteria Ablett, penyakit tetanus ini dibagi menjadi 4 tingkatan, yaitu 8,10 :
Adanya sindroma hipereaktivitas saraf otonom dapat dinilai secara klinis dengan kriteria
berikut :
Tabel 2.3. Kriteria Sindroma Hipereaktivitas Saraf Otonom
Kriteria Mayor :
1. Tekanan Darah yang tidak stabil
2. Aritmia
3. Denyut Jantung yang tidak stabil
Kriteria Minor :
1. Keringat berlebihan
2. Ileus Paralitik
Adanya dua tanda mayor atau satu tanda mayor ditambah 2 tanda
minor menunjukkan adanya sindroma hipereaktivitas saraf otonom
2.5 PATOFISIOLOGI
Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh manusia biasanya melalui luka dalam
bentuk spora. Penyakit akan muncul bila spora tumbuh menjadi bentuk vegetatif yang
menghasilkan tetanospasmin pada keadaan tekanan oksigen rendah, nekrosis jaringan
Masa inkubasi dan beratnya penyakit terutama ditentukan oleh kondisi luka.
Beratnya penyakit terutama berhubungan dengan jumlah dan kecepatan produksi toksin
serta jumlah toksin yang mencapai susunan saraf pusat. Faktor-faktor tersebut selain
ditentukan oleh kondisi luka, mungkin juga ditentukan oleh strain Clostridium tetani.
Pengetahuan tentang patofisiologi penyakit tetanus telah menarik perhatian para ahli
dalam 20 tahun terakhir ini, namun kebanyakan penelitian berdasarkan atas percobaan
Toksin yang dikeluarkan oleh Clostridium tetani menyebar dengan berbagai cara, sebagai
1,2,8,9
berikut :
Toksin masuk ke dalam otot yang terletak dibawah atau sekitar luka, kemudian ke
otot-otot sekitarnya dan seterusnya secara ascenden melalui sinap ke dalam susunan
saraf pusat.
Toksin yang berada dalam jaringan akan secara cepat masuk ke dalam nodus
Toksin masuk ke dalam pembuluh darah terutama melalui sistem limfatik, namun
dapat pula melalui sistem kapiler di sekitar luka. Penyebaran melalui pembuluh darah
merupakan cara yang penting sekalipun tidak menentukan beratnya penyakit. Pada
dosis optimal yang diberikan secara intravena. Toksin tidak masuk ke dalam susunan
saraf pusat melalui peredaran darah karena sulit untuk menembus sawar otak. Sesuatu
hal yang sangat penting adalah toksin bisa menyebar ke otot-otot lain bahkan ke
organ lain melalui peredaran darah, sehingga secara tidak langsung meningkatkan
Toksin masuk kedalam SSP dengan penyebaran melalui serabut saraf, secara
retrograde. Toksin mencapai SSP melalui sistem saraf motorik, sensorik dan
autonom. Toksin yang mencapai kornu anterior medula spinalis atau nukleus motorik
batang otak kemudian bergabung dengan reseptor presinaptik dan saraf inhibitor.
1. Jenis toksin
mempunyai efek hemolisin dan protease, pada dosis tinggi berefek kardiotoksik dan
neurotoksik. Sampai saat ini peran tetanolisin pada tetanus manusia belum diketahui
neuromuskular junction, mupun pada susunan saraf pusat. Ikatan ini penting untuk
transport toksin melalui serabut saraf, namun hubungan antara pengikat dan toksisitas
toksin A yang kurang mempunyai kemampuan untuk berikatan dengan sel saraf
namun tetap mempunyai efek antigenitas dan biotoksisitas, dan toksin B yang kuat
Tempat kerja utama toksin adalah pada sinaps inhibisi dari susunan saraf pusat, yaitu
neuroinhibitor yang paling utama pada susunan saraf pusat, yang berfungsi mencegah
pelepasan impuls saraf yang eksesif. Toksin tetanus tidak mencegah sintesis atau
Efek terhadap inhibisi presinap menimbulkan keadaan terjadinya letupan listrik yang
Keadaan ini menimbulkan aliran impuls dengan frekuensi tinggi dari SSP ke perifer,
sehingga terjadi kekakuan otot dan kejang. Semakin banyak saraf inhibisi yang
terkena makin berat kejang yang terjadi. Stimulus seperti suara, emosi, raba dan
cahaya dapat menjadi pencetus kejang karena motorneuron di daerah medula spinalis
ditemukan saat bebas kejang (interval), hal ini mungkin karena tidak semua saraf
a. Rasa sakit
Rasa sakit timbul dari adanya kekakuan otot dan kejang. Kadang kala ditemukan
neurotic pain yang berat pada tetanus lokal sekalipun pada saat tidak ada kejang.
Rasa sakit ini diduga karena pengaruh toksin terhadap sel saraf ganglion posterior,
b. Fungsi Luhur
Kesadaran penderita pada umumnya baik. Pada mereka yang tidak sadar biasanya
brhubungan dengan seberapa besar efek toksin terhadap otak, seberapa jauh efek
efek neuroparalitik, namun efek ini tertutup oleh efek inhibisi di susunan saraf pusat.
Neuroparalitik bisa terjadi bila efek toksin terhadap SSP tidak terjadi, namun hal ini
sulit karena toksin secara cepat menyebar ke SSP. Kadang-kadang efek neuroparalitik
terlihat pada tetanus sefal yaitu paralisis nervus fasialis, hal ini mungkin N. fasialis
lebih sensitif terhadap efek paralitik dari toksin atau karena axonopathi.11,12
b. Kontraktur miostatik yang dapat berupa kekakuan otot, pergerakan otot yang
terbatas dan nyeri, yang dapat terjadi beberapa minggu sampai beberapa bulan
setelah sembuh.
Pada tetanus terjadi fluktuasi dari aktifitas sistem simpatis dan parasimpatis, hal ini
Mekanisme terjadinya disfungsi sistem autonom karena efek toksin yang berasal dari
otot (retrograd) maupun hasil penyebaran intraspinalis (dari kornu anterior ke kornu
lateralis medula spinalis torakal). Gangguan sistem autonom bisa terjadi secara umum
fungsi kendali suhu dan kendali otot bronkus, namun dapat pula hanya mengenai
a. Kekakuan dan hipertonus dari otot-otot interkostal, badan dan abdomen; otot
diafragma terkena paling akhir. Kekakuan dinding thorax apalagi bila kejang yang
yang ditandai dengan hipoksia dan hiperkapnia. Namun dapat terjadi takipnea
akibat aktifitas berlebihan dari saraf di pusat persarafan yang tidak terkena efek
toksin.
spasme dan kekakuan otot faring dan ketidakmampuan untuk dapat batuk dan
menelan dengan baik. Sehingga terdapat resiko tinggi untuk terjadinya aspirasi
Kelainan pada paru bahkan dapat ditentukan pada masa inkubasi. Kelainan yang
pulmonal dan ARDS. ARDS dapat terjadi pula karena proses iatrogenik atau
dapat terkena oleh toksin tetanus. Paralisis pernafasan tanpa kekakuan otot dan
henti jantung dapat terjadi pada pemberian toksin dosis tinggi pada hewan
terhadap asfiksia.
Adanya episode distres pernafasan akibat kesulitan bernafas yang berat tanpa
sekret pada jalan nafas. Episode ini bervariasi dalam beberapa menit sampai
½-1 jam.
Adanya apnoeic spells, tanda ini biasanya berlanjut menjadi prolonged
atau spasme laring, hipokapnia setelah serangan distres pernafasan, dan akibat
5. Gangguan Hemodinamika
sistem saraf autonom yang berat. Penelitian mengenai hemodinamika pada tetanus
Kendala etik
Perjalanan penyakit tetanus sering diperberat oleh komplikasi seperti sepsis, infeksi
6. Gangguan Metabolik
kejang, peningkatan tonus otot, aktifitas berlebihan dari sistem saraf simpatik dan
perubahan hormonal. Konsumsi oksigen meningkat, hal ini pada kasus tertentu dapat
adanya peningkatan ekskresi urea nitogen, katekolamin plasma dan urin, serta
dapat memenuhi kebutuhan tersebut, misalnya karena disertai masalah dalam sistem
pernafasan maka akan terjadi hipoksia dengan segala akibatnya. Katabolisme protein
mengakibatkan tidak cukupnya antibodi yang dibentuk. Fenomena ini mungkin dapat
7. Gangguan Hormonal
terjadi pada penderita tetanus berat atas dasar ditemukannya episode hipertermia akut
dan adanya demam tanpa ditemukan adanya infeksi sekunder. Peningkatan alertness
dan awareness menimbulkan dugaan adanya aktifitas retikular dari batang otak yang
merangsang sekresi hormon. Aktifitas sekresi oleh serabut saraf tersebut dimodulasi
monoamin neuron lokal. Adanya penurunan kadar prolaktin, TSH, LH dan FSH yang
endokrin. 11,13
8. Gangguan pada sistem lain
tersebut dapat berupa nefrotoksik terhadap nefron, inhibisi mitosis hepatosit dan
ditentukan apakah kelainan klinis seperti gangguan fungsi ginjal, fungsi hati dan
oleh karena efek sekunder dari hipovolemia, shock, gangguan elektrolit dan
Secara teoritis ileus, distonia kolon, gangguan evakuasi usus besar dan retensi
toksin baik di tingkat batang otak, hipotalamus maupun ditingkat saraf perifer
simpatis, parasimpatis. Disfungsi organ dapat pula terjadi sebagai akibat gangguan
dengan tanah, pupuk atau besi yang berkarat dapat menyebabkan tetanus. Penyakit ini
juga dapat sebagai komplikasi dari luka bakar, ulkus, gangren, gigitan ular yang telah
nekrotik, infeksi telinga tengah, aborsi, kelahiran, injeksi intramuskular dan pembedahan.
10
Ada Trias Gejala yaitu rigiditas atau kekakuan, spasme otot, jika parah maka
bisa disfungsi otonom. Kekakuan otot leher, nyeri tenggorokan, dan kesulitan membuka
mulut sering merupakan gejala awal. Spasme otot masseter bisa menyebabkan trismus
atau ”lockjaw”. Spasme yang prosesif meluas dari otot muka menyebabkan ekspresi
khusus yang disebut ”Risus Sardonicus” dan pada otot menelan menyebabkan disfagia.
Kekakuan dari otot leher menyebabkan retraksi kepala. Kekakuan otot-otot rangka tubuh
menyebabkan opisthotonus dan kesulitan bernafas dengan complience dinding dada yang
menurun. 11
Untuk meningkatkan tonus otot, ada episode spasme otot. Kontraksi tonik ini
seperti konvulsi yang mempengaruhi agonis dan antagonis dari sekelompok otot. Bisa
spontan atau dipengaruhi oleh sentuhan, visual, suara, atau emosi. Spasme bervariasi
untuk kekuatannya dan frekuensi tapi cukup kuat menyebabkan patah tulang dan
robeknya suatu jaringan (avulsi). Spasme bisa terjadi terus-menerus yang bisa
mengakibatkan gagal nafas. Spasme faring sering diikuti spasme laring dan berhubungan
Masa inkubasi bervariasi antara 3 sampai 21 hari, biasanya sekitar 8 hari. Pada
umumnya tergantung pada lokasi dan jarak antara luka dengan system saraf pusat,
sehingga lokasi luka yang jauh dapat menyebabkan masa inkubasi yang lebih lama. Masa
inkubasi yang pendek mempunyai angka kematian yang cukup tinggi. Pada tetanus
neonatorum gejala biasanya muncul antara 4 sampai 14 hari setelah lahir dengan rata-rata
7 hari.9,10
1. Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama , dan menetap selama 5-7 hari.
5. Kemudian timbul kesukaran membuka mulut ( trismus / lockjaw) karena spasme otot
masseter.
7. Risus Sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis tertarik ke atas,
8. Gambaran umum yang khas berupa badan kaku dengan opistotonus, tungkai dengan
9. Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat terjadi asfiksia dan sianosis, retensi urin,
2.7 DIAGNOSIS
Diagnosis tetanus mutlak didasarkan pada gejala klinis dan anamnesa. Tetanus
tidaklah mungkin apabila terdapat riwayat serial vaksinasi yang telah diberikan secara
lengkap dan vaksin ulangan yang sesuai telah diberikan. Pemeriksaan laboratorium hanya
dipakai untuk eksklusi diagnosa-diagnosa yang lain. Biakan anaerob dari jaringan luka
menunjukkan impuls unit-unit motorik dan pemendekan atau tidak adanya interval tenang
yang secara normal dijumpai setelah potensial aksi. Perubahan non-spesifik dapat
pemeriksaan darah, jumlah lekosit mungkin meningkat, laju endap darah sedikit
meningkat. Pemeriksaan cairan serebrospinal masih dalam batas normal. Tingkat serum
enzim otot mungkin meningkat. Diagnosis ditegakkan secara klinis dari anamnesa dan
pemeriksaan fisik dan tidak tergantung pada konfirmasi bakteriologis. C. Tetani hanya
ditemukan pada 30% pada luka pasien dengan kasus tetanus, dan dapat diisolasi dari
a. Meningitis bakterialis
b. Rabies
c. Poliomielitis
d. Epilepsi
e. Ensefalitis
f. Keracunan striknin
g. Sindrom Shiffman
i. Peritonsiler abses
2.10 PENATALAKSANAAN
yakni :
4. Rehabilitasi
5. Imunisasi
Saat ini penatalaksanaan tetanus, menurut Edlich disederhanakan menjadi 3 tahap yaitu :
intramuskuler dengan dosis total 3.000-10.000 unit, dibagi tiga dosis yang sama dan
diinjeksikan di tiga tempat berbeda. Tidak ada konsensus dosis tepat HTIG.
Rekomendasi British National Formulary adalah 5.000-10.000 unit intravena. Untuk bayi,
dosisnya adalah 500 IU intramuskular dosis tunggal. Sebagian dosis diberikan secara infi ltrasi di
tempat sekitar luka; hanya dibutuhkan sekali pengobatan karena waktu paruhnya 25-30 hari.
Makin cepat pengobatan diberikan, makin efektif. Kontraindikasi HTIG adalah riwayat
hipersensitivitas terhadap imunoglobulin atau komponen human immunoglobulin sebelumnya;
trombositopenia berat atau keadaan koagulasi lain yang dapat merupakan kontraindikasi
pemberian intramuskular. Bila tidak tersedia maka digunakan ATS dengan dosis 100.000-
200.000 unit diberikan 50.000 unit intra-muskular dan 50.000 unit intravena pada hari pertama,
kemudian 60.000 unit dan 40.000 unit intramuskuler masing-masing pada hari kedua dan
ketiga.1,4,5 Setelah penderita sembuh, sebelum keluar rumah sakit harus diberi immunisasi aktif
dengan toksoid untuk mengeradikasi bakteri, sedangkan efek untuk tujuan pencegahan tetanus
secara klinis adalah minimal. Pada pe-nelitian di Indonesia, metronidazole telah menjadi terapi
pilihan di beberapa pelayanan kesehatan. Metronidazole diberikan secara iv dengan dosis inisial
15 mg/kgBB dilanjutkan dosis 30 mg/kgBB/hari setiap 6 jam selama 7-10 hari. Metronidazole
efektif mengurangi jumlah kuman C. tetani bentuk vegetatif. Sebagai lini kedua dapat diberikan
penicillin procain 50.000-100.000 U/kgBB/hari selama 7-10 hari, jika hipersensitif terhadap
penicillin dapat diberi tetracycline 50 mg/kgBB/hari (untuk anak berumur lebih dari 8 tahun).
Penicillin membunuh bentuk vegetatif C. tetani. Sampai saat ini, pemberian penicillin G 100.000
U/kgBB/hari iv, setiap 6 jam selama 10 hari direkomendasikan pada semua kasus tetanus.
Sebuah penelitian menyatakan bahwa penicillin mungkin berperan sebagai agonis terhadap
tetanospasmin dengan menghambat pelepasan asam aminobutirat gama (GABA).3-5,12
2. Menghilangkan sumber Infeksi
untuk mengeradikasi bakteri, sedangkan efek untuk tujuan pencegahan tetanus secara
selama 7-10 hari. Metronidazole efektif mengurangi jumlah kuman C. tetani bentuk
U/kgBB/hari selama 7-10 hari, jika hipersensitif terhadap penicillin dapat diberi
membunuh bentuk vegetatif C. tetani. Sampai saat ini, pemberian penicillin G 100.000
U/kgBB/hari iv, setiap 6 jam selama 10 hari direkomendasikan pada semua kasus
gama (GABA).3-5,12
3. Terapi suportif selama fase akut
Penatalaksanaan lebih lanjut terdiri dari terapi suportif sampai efek toksin yang telah
terikat habis. Semua pasien yang dicurigai tetanus sebaiknya ditangani di ICU agar
bisa diobservasi secara kontinu. Untuk meminimalkan risiko spasme paroksismal yang
harus diberikan, pemeriksaan elektrolit serta analisis gas darah penting sebagai
penuntun terapi.5 Penanganan jalan napas merupakan prioritas. Spasme otot, spasme
laring, aspirasi, atau dosis besar sedatif semuanya dapat mengganggu respirasi. Sekresi
ditujukan untuk menjaga jalan nafas terutama jika ada opistotonus dan keterlibatan
otot-otot punggung, dada, atau distres pernapasan.6 Kematian akibat spasme laring
mendadak, paralisis diafragma, dan kontraksi otot respirasi tidak adekuat sering terjadi
jika tidak tersedia akses ventilator.3 Spasme otot dan rigiditas diatasi secara efektif
dengan sedasi. Pasien tersedasi lebih sedikit dipengaruhi oleh stimulus perifer dan
direkomendasikan adalah 0,1-0,3 mg/kgBB/ kali dengan interval 2-4 jam sesuai gejala
klinis, dosis yang direkomendasikan untuk usia <2 tahun adalah 8 mg/kgBB/hari oral
dalam dosis 2-3 mg setiap 3 jam. Spasme harus segera dihentikan dengan diazepam 5
mg per rektal untuk berat badan <10 kg dan 10 mg per rektal untuk anak dengan berat
badan ≥10 kg, atau diazepam intravena untuk anak 0,3 mg/kgBB/kali. Setelah spasme
berhenti, pemberian diazepam dilanjutkan dengan dosis rumatan sesuai keadaan klinis.
Alternatif lain, untuk bayi (tetanus neonatorum) diberikan dosis awitan 0,1-0,2
mg/kgBB iv untuk menghilangkan spasme akut, diikuti infus tetesan tetap 15-40 mg/
kgBB/hari. Setelah 5-7 hari dosis diazepam diturunkan bertahap 5-10 mg/hari dan
Tanda klinis membaik bila tidak dijumpai spasme spontan, badan masih kaku,
Tambahan efek sedasi bisa didapat dari barbiturate khususnya phenobarbital dan
intravena, dan diazepam dapat ditambahkan terpisah dengan dosis sampai 120
mg/hari. Chlorpromazine diberikan setiap 4-8 jam dengan dosis dari 4-12 mg bagi
bayi sampai 50-150 mg bagi dewasa.5,10 Morphine bisa memiliki efek sama dan
biasanya digunakan sebagai tambahan sedasi benzodiazepine. Jika spasme tidak cukup
obat-obat pelumpuh otot pada tetanus, rekomendasi didapatkan dari laporan kasus.
sebagai pilihan. Vecuronium juga telah digunakan karena stabil pada jantung.3,10,14
Pasien tetanus berat sering kali membutuhkan IPPV selama 2 hingga 3 minggu sampai
sebesar 52,6%.1 Infeksi nosokomial umum terjadi karena lamanya perjalanan penyakit
respirasi meliputi perawatan mulut sangat teliti, fisioterapi dada dan suction trakea.
Sedasi adekuat selama prosedur invasif mencegah provokasi spasme atau
spasme umum dan fatality ratenya 11-28%. Manifestasi berupa hipertensi labil,
takikardia, dan demam. Berbagai gangguan kardiovaskular seperti disritmia dan infark
hipotensi, pucat dan berkeringat sering tampak beberapa hari setelah onset spasme
otot.5,10 Henti jantung tiba-tiba umum terjadi dan dikatakan dapat dipresipitasi oleh
kombinasi kadar katekolamin yang tinggi dan kerja langsung toksin tetanus pada
miokardium. Aktivitas simpatis yang memanjang dapat berakhir dengan hipotensi dan
dikatakan karena kerusakan langsung nukleus vagus oleh toksin tetanus.3,6,7 Instabilitas
otonom sulit diobati. Fluktuasi tekanan darah membutuhkan obat-obat dengan waktu
paruh singkat. Terapi konvensional terdiri dari sedasi dalam sebagai terapi lini
ek patella.7,13 Beta blocker dapat menyebabkan hipotensi berat. Episode hipotensi yang
Atropin dosis tinggi, lebih dari 100 mg/jam, telah dianjurkan pada keadaan
bradikardia.3 Tidak ada regimen terapi yang dipercaya efektif secara universal untuk
instabilitas otonom.11 Tetanus terbukti secara klinis dan biokimia menyebabkan
sangat diperlukan. Nutrisi buruk dan penurunan berat badan terjadi cepat karena
mengandung glukosa hipertonis dan insulin dalam jumlah cukup untuk mengendalikan
kadar gula darah, dapat menekan katabolisme protein. Formula asam amino sangat
cairan secara intravena sekaligus pemberian obat-obatan, dan bila sampai hari ke-3
parenteral. Setelah spasme mereda dapat dipasang sonde lambung untuk makanan dan
obat-obatan dengan perhatian khusus pada risiko aspirasi.5,12 Emboli paru juga
secara rutin seperti heparin subkutan; risiko thromboemboli dan perdarahan harus
otot.5,12
2.11 KOMPLIKASI
sepsis. Komplikasi terjadi karena adanya gangguan pada sistem respirasi antara lain
spasme laring atau faring yang berbahaya karena dapat menyebabkan hipoksia dan
kerusakan otak. Spasme saluran nafas atas dapat menyebabkan aspirasi pneumonia atau
vertebra atau kifosis. Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa tromboemboli,
pendarahan saluran cerna, infeksi saluran kemih, gagal ginjal akut, dehidrasi dan asidosis
metabolik.18,20
2.12 PROGNOSIS
1. Masa inkubasi : semakin pendek masa inkubasi semakin tinggi angka mortalitasnya.
4. Suhu badan
KESIMPULAN
3.1 KESIMPULAN
Tetanus adalah penyakit yang mengenai sistem saraf yang disebabkan oleh
tetanospasmin yaitu neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Bakteri ini
mempunyai efek neurotoksik sedangkan efek tetanolisin belum diketahui secara pasti.
Gejala klinis khas pada tetanus yaitu rigiditas, spasmme otot dan lebih parah dapat
Penatalaksanaan yang dapat diberikan pada pasien tetanus adalah mengisolasi penderita
untuk menghindari rangsangan dan juga dapat diberikan antibiotik, maupun anti tetanus
toksin. Prognosis tetanus tergantung dari masa inkubasi, usia, spasme otot dan waktu
pemberian terapi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Soedarmo, Sumarmo P. Poorwo. Herry Garna, dkk. Buku Ajar Infeksi & Pediatric
Tropis. Edisi Kedua. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Badan Penerbit IDAI, Jakarta.
2002. Hal 322 – 329
2. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Ilmu
Kesehatan Anak. Jilid 2. Infomedika. Jakarta. 1986. Hal 568 – 573.
5. Feigen. R.D : Tetanus .In : Bchrmlan R.E, Vaughan V C , Nelson W.E , eds. Nelson
Textbook of pediatrics, ed. 13 th, Philadelphia, W.B Saunders Company, 1987, 617 –
620.
6. Glickman J, Scott K.J, Canby R.C: Infectious Disese, Phantom notes medicine ,ed. 6 th,
Info Acces and Distribution Ltd, Singapore,1995, 53-55.
9. Hendarwanto: llmu Penyakit Dalam, jilid 1, Balai Penerbit FK UI, Jakarta, 1987, 49- 51.
10. Hamid,E.D, Daulay, AP, Lubis, CP, Rusdidjas, Siregar H : Tetanus Neonatorum in
babies Delivered by Traditional Birth Attendance in Medan, Vol. 25, Paeditrica
Indonesiana, Departement of Child Health, Medical School University of lndonesia,
Sept-Okt 1985, 167 -174.
11. Krugman Saaul, Katz L.. Samuel, Gerhson AA, Wilfert C ; Infectious diiseases of
children, ed. 9 th, St Louis, Mosby, 1992, 487-490
12. Lubis, CP: Management of Tetanus in Children, Paeditricaa Indonesiana, vol.33, Depart.
Of Child Health, Medical School, University of Indonesia, Sept-Okt 1993, 201-208.
13. Lubis, CP :Tetanus Neonatorum dan anak, Diktat Kuliah Ilmu Kesehatan Anak, Peny.
lnfeksi, bag II, Balai Penerbit FK USU, Medan, 1989, 21-40.
14. Menkes, JH: Textbook of child Neurology, in Tetanus Neonatorun, ed. 3 th, Lea and
Frebringer, Philadelphia, 1985, 521-522.
15. Peter. G. Red Book, Report of the committee on infectious diseases, ed.24 th, American
Academy of Pediatrics, 1997, 518-519.
16. Scheld, Michael W. Infection of the central nervous system, Raven Press Ltd, New York,
1991, 603 -620..
17. Srikiatkhachord Anaan, dkk ; Tetanus , Arbor Publishing Coorp. Neurobase,1993, 1- 13.
18. Samuels, AM. Tetanus, Maanual of Neurologic Therapeutic, ed. 2 nd, Ljttle Brown, and
Company, Boston, 1978, 387-390.
20. Simon, Roger.P.MD, et. all : Tetanus in: Clinical Neurology, ed 1989,Appleton and
Lange,USA, 141-142.
21. Wegwood, RJ .Davis, DS. Ray, GC. Kelley, Vc: Infections of Children, 2 nd ed,
Philadelphia, 1982, 626-636.