Anda di halaman 1dari 11

Makalah

“ Corynebacterium diphtheria / difteri “

Disusun Oleh :

1. Wiwid Umaiyah (16650063)


2. Ayu Fajriyah (16650065)
3. Rudika Trisya Verena (16650066)

Kelas : Farmasi B

Universitas Kadiri
Jl.Selomangling No.01
Pojok, Mojoroto, Kediri
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
serta hidayah-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul ” Corynebacterium diphtheria / difteri”. Makalah ini disusun
sebagai tugas pada mata kuliah pathogenesis bakteri.

Kami menyadari bahwa makalah ini tidak dapat selesai dengan baik
tanpa bantuan dan motivasi dari berbagai pihak. Untuk itu, kami
mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada orang tua yang
senantiasa memberi dukungan serta do’anya. Ucapan terima kasih juga kami
ucapkan kepada teman-teman yang sudah memberi bantuan serta
dukungannya.

Semoga segala bantuan yang tak ternilai harganya yang telah


diberikan mendapat karunia serta anugerah dari Allah SWT. Akhir kata,
kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Mojokerto, 20 April 2018

Peyusun

II
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL…………………………………………………………………… I
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………. II
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………... III
BAB I. PENDAHULUAN
I.1 LATAR BELAKANG……………………………………..……………….. 4
I.2 RUMUSAN MASALAH………………………………….………….……. 4
I.3 MANFAAT ...…………………………………………….………………... 5
I.4 TUJUAN ...…………………………………………….……………….….. 5
BAB II. PEMBAHASAN ….…………………………………………………….……. 10
BAB III. KESIMPULAN ...………………………………………………………….... 10
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………. 10

III
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar belakang

Difteri adalah salah satu penyakit yang sangat menular, dapat dicegah dengan
imunisasi,dan disebabkan oleh bakteri gram positif Corynebacterium diptheriae strain
toksin. Penyakit ini ditandai dengan adanya peradangan pada tempat infeksi, terutama
pada selaput mukosa faring, laring, tonsil, hidung dan juga pada kulit.
Manusia adalah satu-satunya reservoir Corynebacterium diptheriae. Penularan
terjadi secara droplet (percikan ludah) dari batuk, bersin, muntah, melalui alat makan,
atau kontak langsung dari lesi di kulit. Tanda dan gejala berupa infeksi saluran
pernafasan akut (ISPA) bagian atas, adanya nyeri tenggorok, nyeri menelan, demam tidak
tinggi (kurang dari 38,5oC), dan ditemui adanya pseudomembrane putih/keabu-
abuan/kehitaman di tonsil, faring, atau laring yang tak mudah lepas, serta berdarah
apabila diangkat. Sebanyak 94 % kasus Difteri mengenai tonsil dan faring.
Pada keadaan lebih berat dapat ditandai dengan kesulitan menelan, sesak nafas,
stridor dan pembengkakan leher yang tampak seperti leher sapi (bullneck). Kematian
biasanya terjadi karena obstruksi/sumbatan jalan nafas, kerusakan otot jantung, serta
kelainan susunan saraf pusat dan ginjal.
Sejak vaksin toxoid Difteri diperkenalkan pada tahun 1940an, maka secara global
pada periode tahun 1980 – 2000 total kasus Difteri menurun lebih dari 90%. Imunisasi
DPT di Indonesia dimulai sejak tahun 1976 dan diberikan 3 kali, yaitu pada bayi usia 2,
3, dan 4 bulan. Selanjutnya Imunisasi lanjutan DT dimasukkan kedalam program Bulan
Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) pada tahun 1984. Untuk semakin meningkatkan
perlindungan terhadap penyakit Difteri, imunisasi lanjutan DPT-HB-Hib mulai
dimasukkan ke dalam program imunisasi rutin pada usia 18 bulan sejak tahun 2014, dan
imunisasi Td menggantikan imunisasi TT pada anak sekolah dasar.

I.2 Rumusan masalah

1. Apa definisi difteri


2. Apa etiologi dari difteri
3. Pathogenesis difteri
4. Bagaimana gejala & cara penularan difteri
5. Bagaimana pencegahan & pengobatan penyakit difteri

4
I.3 Manfaat

1. Mengetahui definisi difteri


2. Mengetahui etiologi difteri
3. Mengetahui pathogenesis dari difteri
4. Mengetahui gejala & cara penularan difteri
5. Mengetahui pencegahan & pengobatan penyakit difteri

I.4 Tujuan

Untuk memenuhi tugas mata kuliah patogenesis bakteri

5
BAB II
PEMBAHASAN
I. Definisi

Corynebacterium diphtheriae adalah bakteri patogen penyebab penyakit difteri.


terutama menyerang tonsil, faring, laring, hidung, Adakalanya menyerang selaput lendir
atau kulit serta kadang-kadang konjungtiva atau vagina. Timbulnya lesi yang khas
disebabkan oleh cytotoxin spesifik yang dilepas oleh bakteri. Lesi nampak sebagai suatu
membran asimetrik keabu-abuan yang dikelilingi dengan daerah inflamasi. Tenggorokan
terasa sakit, sekalipun pada difteria faucial atau pada difteri faring otonsiler diikuti
dengan kelenjar limfa yang membesar dan melunak. Pada kasus-kasus yang berat dan
sedang ditandai dengan pembengkakan dan oedema dileher dengan pembentukan
membran pada trachea secara ektensif dan dapat terjadi obstruksi jalan napas.
Difteri hidung biasanya ringan dan kronis dengan satu rongga hidung tersumbat dan
terjadi ekskorisasi (ledes). Infeksi subklinis (atau kolonisasi ) merupakan kasus
terbanyak. Toksin dapat menyebabkan kegagalan jantung kongestif yang progresif,
timbul satu minggu setelah gejala klinis difteri. Bentuk lesi pada difteri kulit bermacam-
macam dan tidak dapat dibedakan dari lesi penyakit kulit yang lain, bisa seperti atau
merupakan bagian dari impetigo (Kadun, 2006)
Difteri menyebabkan kematian terutama anak-anak yang tidak mempunyai
riwayat vaksinasi. Rendahnya cakupan imunisasi dasar lengkap serta tingginya mobilisasi
penduduk ini berdampak pada salah satu masalah timbulya penyakit difteri. Kejadian luar
biasa (KLB) penyakit menular seperti difteri masih sering ditemukan Indonesia. Difteri di
Indonesia harusnya sudah bebas mengingat program vaksinasi diptheri telah digalakkan,
namun demikian adanya satu kasus kejadian diptheri maka sudah dapat dianggap suatu
keadaan KLB yang harus dan masih perhatian serius pemerintah.

II. Etiologi difteri

Di sebabkan oleh corynebacterium diphtheria,bakteri gram positif yang bersifat


polimorf,tidak bergerak dan tidak membentuk spora.pewarnaan sediaan langsung dapat di
lakukan dengan biru metilen atau biru toluidin.basil ini dapat di temukan dengan
langsung dari lesi.

6
III. Patogenesis

Basil hidup dan berkembang pada traktus respitarius bagian atas terlebih-lebih
bila terdapat peradangan kronis pada tonsil,sinus dan lain-lain.tetapi walaupun jarang
basil dapat pula hidup pada daerah vulva,telinga dan kulit.pada tempat ini basil
membentuk pseudomembran dan melepaskan eksotoksin.pseudomembran dapat timbul
local atau kemudian menyebar dari faring atau tonsil ke laring dan seluruh traktus
respiratorius bagian atas sehingga menimbulkan gejala yang lebih berat .kelenjar getah
bening sekitarnya akan mengalami hyperplasia dan mengandung toksin.eksotoksin dapat
mengenai jantung dan menyebabkan miokarditis toksik atau mengenai jaringan saraf
perifer sehingga timbul paralisis terutama pada otot-otot pernafasan.toksin juga
menimbulkan nekrosis fokal pada hati dan ginjal,malahan dapat timbul nefritis
interstitialis(jarang sekali).kematian terutama di sebabkan oleh sumbatan membrane pada
laring dan trakea,gagal jantung,gagal pernafasanatau akibat komplikasi yang sering yaitu
bronkopneumonia.

IV. Gejala & cara penularan

Sumber penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik sebagai penderita
maupun sebagai carier. Cara penularannya yaitu melalui kontak dengan penderita pada
masa inkubasi atau kontak dengan carier . Caranya melalui pernafasan atau droplet
infection. Masa inkubasi penyakit difteri ini 2 – 5 hari, masa penularan penderita 2-
4minggu sejak masa inkubasi, sedangkan masa penularan carier bisa sampai 6 bulan.

Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu:


a. Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung dengan
gejala hanya nyeri menelan.
b. Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyerang sampai faring
(dinding belakang rongga mulut) sampai menimbulkan pembengkakan pada
laring.
c. Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan
gejalakomplikasi seperti miokarditis (radang otot jantung) paralisis (kelemahan
anggota gerak) dan nefritis (radang ginjal).

Menurut lokasi gejala yang dirasakan pasien, penyakit ini dibedakan :


a. Difteri hidung (nasal diphtheria) bila penderita menderita pilek dengan ingus
yang bercampur darah. Prevalesi Difteri ini 2 % dari total kasus difteri. Bila tidak
diobati akan berlangsung mingguan dan merupakan sumber utama penularan.
b. Difteri faring (pharingeal diphtheriae)dan tonsil dengan gejala radang akut
tenggorokan, demam sampai dengan 38,5 derajat celsius, nadi yang cepat,tampak
lemah, nafas berbau, timbul pembengkakan kelenjar leher. Pada difteri jenis ini

7
juga akan tampak membran berwarna putih keabu abuan kotor didaerah rongga
mulut sampai dengan dinding belakang mulut (faring).
c. Difteri laring (l a r y n g o t r a c h e a l d i p h t h e r i a e ) dengan gejala tidak
bisa bersuara, sesak, nafas berbunyi, demam sangat tinggi sampai 40 derajat
celsius, sangat lemah, kulit tampak kebiruan, pembengkakan kelenjar leher.
Difteri jenis ini merupakan difteri paling berat karena bisa mengancam
nyawa penderita akibat gagal nafas.
d. Difteri kutaneus (Cutaneous diphtheriae) dan vaginal dengan gejala berupa luka
mirip sariawan pada kulit dan vagina dengan pembentukan membrane diatasnya.
Namun tidak seperti sariawan yang sangat nyeri, pada difteri, luka yang terjadi
cenderung tidak terasa apa apa.

Untuk tujuan klinis, akan lebih mudah untuk mengklasifikasikan difteri menjadi beberapa
manifestasi, tergantung pada tempat penyakit.
a. Anterior nasal difteri : Biasanya ditandai dengan keluarnya cairan hidung
mukopurulen (berisi baik lendir dan nanah) yang mungkin darah menjadi
kebiruan. Penyakit ini cukup ringan karena penyerapan sistemik toksin di lokasi
ini, dan dapat diakhiri dengan cepat oleh antitoksin dan terapi antibiotik.
b. Pharyngeal dan difteri tonsillar : Tempat yang paling umum adalah infeksi faring
dan tonsil. Awal gejala termasuk malaise, sakit tenggorokan, anoreksia, dan
demam yang tidak terlalu tinggi. Pasien bisa sembuh jika toksin diserap.
Komplikasi jika pucat, denyut nadi cepat, pingsan, koma, dan mungkin mati
dalam jangka waktu 6 sampai 10 hari. Pasien dengan penyakit yang parah dapat
ditandai terjadinya edema pada daerah submandibular dan leher anterior bersama
dengan limfadenopati.
c. Difteri laring : Difteri laring dapat berupa perpanjangan bentuk faring. Gejala
termasuk demam, suara serak, dan batuk menggonggong. membran dapat
menyebabkan obstruksi jalan napas, koma, dan kematian.
d. Difteri kulit : Difteri kulit cukup umum di daerah tropis. Infeksi kulit dapat
terlihat oleh ruam atau ulkus dengan batas tepi dan membran yang jelas. Situs lain
keterlibatan termasuk selaput lendir dari konjungtiva dan daerah vulvo-vagina,
serta kanal auditori eksternal

V. Pencegahan & pengobatan

1. Penguatan imunisasi rutin Difteri sesuai dengan program imunisasi nasional.


2. Penemuan dan penatalaksanaan dini kasus Difteri.
3. Semua kasus Difteri harus dilakukan penyelidikan epidemiologi.
4. Semua kasus Difteri dirujuk ke Rumah Sakit dan dirawat di ruang isolasi.

8
5. Pengambilan spesimen dari kasus dan kasus kontak erat kemudian dikirim ke
laboratorium rujukan Difteri untuk dilakukan pemeriksaan kultur atau PCR.
6. Menghentikan transmisi Difteri dengan pemberian prophilaksis terhadap kontak
dan karier.
7. Melakukan Outbreak Response Immunization (ORI) di daerah KLB Difteri.
8. Penyakit Difteri dapat dicegah dengan Imunisasi Lengkap, dengan jadwal
pemberian sesuai usia.

Saat ini vaksin untuk imunisasi rutin dan imunisasi lanjutan yang diberikan guna
mencegah penyakit Difteri ada 3 macam, yaitu:
1. DPT-HB-Hib (vaksin kombinasi mencegah Difteri, Pertusis, Tetanus, Hepatitis B
dan Meningitis serta Pneumonia yang disebabkan oleh Haemophylus infuenzae
tipe B).
2. DT (vaksin kombinasi Difteri Tetanus).
3. Td (vaksin kombinasi Tetanus Difteri).

Imunisasi tersebut diberikan dengan jadwal:


1. Imunisasi dasar:
Bayi usia 2, 3 dan 4 bulan diberikan vaksin DPT-HB-Hib dengan interval 1 bulan.
2. Imunisasi Lanjutan:
a. Anak usia 18 bulan diberikan vaksin DPT-HB-Hib 1 kali.
b. Anak Sekolah Dasar kelas 1 diberikan vaksin DT pada Bulan Imunisasi Anak
Sekolah (BIAS).
c. Anak Sekolah Dasar kelas 2 dan 5 diberikan vaksin Td pada Bulan Imunisasi
Anak Sekolah (BIAS).
d. Wanita Usia Subur (termasuk wanita hamil) diberikan vaksin Td.

Perlindungan optimal terhadap difteri pada masyarakat dapat dicapai


dengan cakupan imunisasi rutin, baik dasar maupun lanjutan, yang tinggi dan
merata. Cakupan harus mencapai minimal 95%, merata di setiap kabupaten/kota,
dan tetap dipertahankan.

9
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan:

Difteria adalah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh kuman
corynebacterium diphtheria.mudah menular dan yang serang terutama traktus
respiratorius bagian atas dengan tanda khas terbentuknya pseudomembran dan
dilepaskannyaeksotoksin yang dapat menimbulkan gejala umum dan lokal. Tanda dan
gejalanya adalah demam yang tidak terlalau tinggi, lesu, pucat, sakit kepala, anoreksia,
lemah,nyeri telan,sesak napas,serak hingga adanya stridor.

Saran:

untuk pembuatan makalah ini kami menyadari masih banyak kekurangan kami
berharap bagi pembacanya untuk mengkritik guna untuk menyempurnakan makalah
ini.terima kasih

10
DAFTAR PUSTAKA
gudangilmu.farmasetika.com/.../buku-pedoman-pencegahan-dan-penanggulangan-difteri

https://media.neliti.com/.../75758-ID-penerapan-diagnostik-laboratorium-pada-k.pdf

https://media.neliti.com/media/publications/104888-ID-selektivitas-medium-cystine-
tellurite-bl.pdf.

11

Anda mungkin juga menyukai