Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada era globalisasi

dibidang kesehatan sangatlah pesat. Rumah sakit dituntut memberikan

pelayanan kesehatan yang bermutu dan transparan kepada masyarakat,

khususnya bagi jaminan keselamatan pasien. Untuk hal tersebut rumah

sakit perlu meningkatkan mutu pelayanan khususnya dalam pencegahan

dan pengendalian infeksi (Depkes, 2010).

Kejadian infeksi dirumah sakit dianggap sebagai suatu masalah serius

karena mengancam kesehatan dan keselamatan pasien dan petugas

kesehatan secara global. Selain itu, kejadian infeksi ini juga berdampak

pada kualitas pelayanan kesehatan dan peningkatan pembiayaan pelayanan

kesehatan (Luo, 2010). Menurut Dewan Penasehat Keselamatan Pasien,

infeksi nosokomial menyebabkan 1,5 juta kematian setiap hari diseluruh

dunia. Studi yang dilakukan WHO di 55 rumah sakit di 14 negara diseluruh

dunia juga menunjukkan bahwa 8,7% pasien rumah sakit menderita infeksi

selama menjalani perawatan dirumah sakit (Nursalam, 2013).

Keselamatan di rumah sakit merupakan aspek penting dan prinsip

dasar pelayanan kesehatan serta komponen kritis dari manjemen mutu

dan salah satu indikator dalam penilaian akreditasi rumah sakit (Anonim,

2010). Rumah sakit yang menerapkan sistem manajemen kesehatan dan

keselamatan kerja dengan baik akan mencegah petugas kesehatan maupun

1
2

pasien dari segala bentuk kecelakaan kerja yang mungkin bisa terjadi.

Kesehatan dan keselamatan kerja yang baik dimulai dengan menyadari

bahwa kesehatan dan keselamatan kerja adalah hal yang pertama dan utama

(Ayu, 2012).

Bahaya biologik pada perawat dapat disebabkan oleh infeksi

nosokomial dapat ditularkan melalui patogen di udara dan patogen di darah

atau cairan tubuh manusia yang dapat ditularkan melalui jarum suntik

atau luka dimukosa tubuh (Ayu, 2012). Infeksi nosokomial dianggap

sebagai faktor risiko yang besar di rumah sakit, dan hand hygine disarankan

menjadi salah satu cara yang paling efektif untuk mencegah HAIs. (Cheng

dkk, 2016). Hand hygiene atau kebersihan tangan merupakan kunci dalam

pengendalian infeksi (Kuan dkk, 2016)

Unsur kewaspadaan universal meliputi tindakan mencuci tangan,

alat pelindung diri (APD), pengelolaan alat tajam (disediakan tempat

khusus untuk membuang jarum suntik, bekas botol ampul, dan

sebagainya), dekontaminasi, sterilisasi, desinfeksi, dan pengelolaan limbah

(Nursalam, 2013). Kewaspadaan universal diterapkan dipelayanan

kesehatan bertujuan untuk mengendalikan infeksi secara konsisten serta

mencegah penularan bagi petugas kesehatan dan pasien. Kewaspadaan

universal yang dimaksud yaitu penularan infeksi melalui darah,

penggunaan sarung tangan,dan mencuci tan gan sebelum dan sesudah

melakukan tindakan. Studi menunjukkan bahwa kepatuhan pada


3

penerapan kewaspadaan standar diantara petugas kesehatan untuk

menghindari paparan mikroorganisme masih rendah (Mehta, 2010).

Kepatuhan perawat dalam menerapkan kewaspadaan universal dalam

asuhan keperawatan di rumah sakit mencerminkan kinerja perawat. Salah

satu model determinan perilaku yang digunakan untuk melihat kepatuhan

yaitu PRECEDE Model. Model ini menjelaskan bahwa suatu perilaku

kesehatan seseorang dipengaruhi faktor predisposisi, faktor enabling

(pemungkin), dan faktor reinforcing (penguat). Model yang dikeluarkan

oleh Lawrence Green (2011). Model ini dimodifikasi oleh Dejoy (2010)

dalam Mc. Govern et. Al (2012) melalui penelitiannya membagi faktor-

faktor yang mempengaruhi kepatuhan perawat terhadap kewaspadaan

universal menjadi faktor individu, faktor pekerjaan dan faktor organisasi

(Yuliana, 2013).

Faktor organisasi menurut Dejoy (2010) dapat mempengaruhi

kepatuhan perawat dalam penerapan kewaspadaan universal, yaitu

informasi, iklim keselamatan kerja serta ketersediaan sarana dan fasilitas

pencegahan infeksi (Yuliana, 2013). Organisasi merupakan salah satu

dari proses manajemen. Organisasi adalah suatu sistem perserikatan formal

dari dua orang atau lebih yang bekerjasama untuk mencapai tujuan tertentu

(Hasibuan, 2007). Suasana ini akan terlaksana melalui pengelolaan faktor-

faktor organisasi dalam bentuk pemberian informasi secara kontinyu,

iklim keselamatan kerja dan ketersediaan sarana dan fasilitas pencegahan.


4

Sehingga kepatuhan perawat dalam penerapan kewaspadaan universal

meningkat.

Ketersediaan sarana APD merupakan faktor pendukung yang sangat

penting kepatuhan perawat dalam menerapkan kewaspadaan universal.

Sarana APD yang lengkap dapat mendukung pembentukan perilaku yang

baik dalam menjalankan prosedur KU (Nurkhasanah, 2013). Menurut

Efstathio (2011) bahwa sejumlah perawat di Cyprus tidak menerapkan

kewaspadaan standar karena tidak tersedianya alat pelindung diri.

Perawat merupakan petugas kesehatan terbanyak dengan komposisi

hampir 60% dari seluruh petugas kesehatan di rumah sakit dan salah satu

profesi yang sering terkena penyakit akibat kerja karena perawat tenaga

kesehatan yang 24 jam berada di samping dan bersentuhan dengan pasien

(Sudarmo, 2016, p.11) Kontaminasi penyakit dapat berisiko terjadi pada

seorang perawat maupun dokter apabila selama melakukan interaksi

pasien tidak memperhatikan tindakan pencegahan (universal precaution)

dengan cara menggunakan alat pelindung diri (APD) seperti sarung

tangan, masker, kaca mata (Riyanto, 2011 : 81)

Kepatuhan untuk melaksanakan hand hygiene dipengaruhi oleh

beberapa faktor yaitu faktor individu, faktor organisasi dan faktor

lingkungan. Ketiga faktor tersebut mempunyai ketergantungan dalam

memengaruhi kepatuhan dalam melaksanakan hand hygiene (Fauzia,

2014). Faktor-faktor yang memengaruhi rendahnya kepatuhan perawat

melakukan hand hygiene adalah pengetahuan, sensitivitas kulit, motivasi,


5

beban kerja, ketersediaan fasislitas dan supervisi. Pengetahuan adalah

berbagai gejala yang ditemui dan diperoleh manusia melalui pengamatan

akal.

Kepatuhan terhadap universal precaution terkait dengan perilaku

kesehatan. Menurut DeJoy (2010) dalam Brevidelli dan Tamara (2012)

kepatuhan terhadap universal precaution dapat dilihat dari tiga level

diantaranya individu/pekerja, tugas dan dinamika pekerjaan, dan konteks

organisasi. Tingkat pertama menggambarkan kesehatan pekerja dengan

karakterstik personalnya dan pengalaman kerjanya. Pada tingkat kedua,

menggambarkan tugas pekerjaannya dan dinamika kesehatan kerjanya,

dimana tuntutan petugas kesehatan untuk merawat pasien bersaing dengan

keselamatan pribadinya. Tingkat ketiga, menggambarkan konteks

organisasi, dimana organisasi tersebut mungkin mempunyai nilai budaya

keselamatan dan dukungan pimpinan untuk mendukung penerapan

universal precaution.

Kepatuhan seseorang akan dipengaruhi oleh sikap dan keyakinan

serta pengetahuan. Pengetahuan merupakan hasil dari tahu (Notoatmodjo,

2010). Tenaga kesehatan akan mematuhi prinsip pencegahan infeksi jika

tenaga kesehatan memahami tentang instruksi yang diterima. Namun jika

tenaga kesehatan tidak memahami instruksi yang diterima maka tidak

akan menerapkan prinsip penularan infeksi secara baik dilakukan oleh

petugas pelayanan kesehatan yang menimbulkan resiko antara lain :

menyuntik, mengambil darah, tindakan bedah, tindakan kedokteran gigi,


6

persalinan, membersihkan darah dan cairan lain. Jika tenaga kesehatan tidak

menerapkan prinsip penularan infeksi dapat mengakibatkan penularan

penyakit dari tenaga kesehatan ke pasien dan sebaliknya (Fauzi A., 2011).

Bagi tenaga kesehatan kepatuhan prinsip pencegahan infeksi

merupakan pencegahan utama dalam meminimalisasi kejadian kontak

darah antara pasien dan tenaga kesehatan. Prinsip universal precaution

yang dijalankan berupa mencuci tangan, penggunaan alat pelindung

(sarung tangan, masker, penutup kepala, baju pelindung, sepatu

pelindung), pengolahan alat (dekontaminasi, pencucian alat, sterilisasi dan

penyimpanan alat) dan pegolahan benda tajam secara aman (jarum suntik,

pisau bedah, jarum jahit) (Fauzi.A, 2011)

Kepatuhan dalam penggunaan APD di rumah sakit dipengaruhi oleh

beberapa faktor antara lain, komunikasi, keterbatasan alat, pengawasan,

dan sikap dari perawat itu sendiri. Kontaminasi penyakit yang terjadi di

lingkungan rumah sakit dapat dicegah dengan meningkatkan keamanan dan

kedisiplinan perawat dalam menggunakan alat pelindung diri dan itu

berlaku bagi semua perawat yang ada di seluruh unit pelayanan. Tenaga

perawat yang dihadapkan pada tugas dan tanggung jawab untuk bekerja

dalam lingkungan yang membahayakan bagi kesehatan dirinya sendiri

dan bahaya tersebut berupa kemungkinan terpaparnya berbagai kuman

penyakit yang ditularkan melalui darah, cairan tubuh pasien, dan lain

sebagainya.
7

Berdasarkan data menurut Jamsostek (2011) bahwa angka

kecelakaan kerja di Indonesia mencapai 99.491 kasus yang diakibatkan

kelalaian penggunaan APD secara umum pada beberapa unit kerja. Hasil

studi pendahuluan yang telah dilakukan di di Rumah Sakit Sari Asih Serang

Provinsi Banten dengan cara observasi, didapatkan data distibusi

frekuensi ketidakpatuhan perawat dalam penggunaan APD yaitu ruangan

ICU (39%), perinatologi (62%), ruang anak (79%), ruang perawatan

umum (76%), instalasi gawat darurat 63%, dan ruang VIP (45,8%), dengan

jumlah rata-rata perawat di tiap ruangan sebanyak 20 orang perawat.

Ketidakpatuhan perawat dalam penggunaan APD ini tidak

menggunakan handscoon atau masker, atau bahkan keduanya saat

melakukan tindakan keperawatan, misalnya pemasangan infus dan

pemberian obat suntik dengan alasan lupa ataupun merasa kesulitan dan

tidak nyaman saat melakukannya. Bahkan akibat dari ketidakpatuhan

perawat dalam penggunaan APD telah terjadi kecelakaan seorang perawat

tertusuk jarum suntik bekas pasien dan setelah dilakukan pemeriksaan

laboratorium akhirnya perawat tersebut dinyatakan tertular penyakit

Hepatitis B.

Hasil penelitian Nurkhasanah (2013), bahwa ada hubungan

pengetahuan dengan kepatuhan perawat dalam penerapan kewaspadaan

universal. Perawat yang mempunyai pengetahuan kurang tentang

penularan penyakit infeksi mempunyai resiko kemungkinan 7,08 kali

kurang patuh terhadap penerapan kewaspadaan universal. Penelitian yang


8

dilakukan Wahyudi (2012) di RSI Ibnu Sina Padang menunjukkan

pengetahuan pencegahan pengendalian infeksi perawat masih kurang baik.

Pengetahuan yang kurang baik tentang pencegahan pengendalian infeksi

perawat penting untuk mendapatkan perhatian yang serius dari manajemen

rumah sakit. Salah satunya dengan pemberian informasi tentang kewaspadaan

universal secara secara periodik dan kontinyu.

Dari survey awal yang dilakukan secara observasi di salah satu ruang

rawat inap RSUD Arjawinangun Cirebon pada bulan Januari 2019 terhadap

10 orang perawat terdapat 7 orang yang mengabaikan kewaspadaan

universal, yaitu 3 orang tidak cuci tangan sebelum melakukan tindakan

keperawatan pada pasien dimana perawat melakukan cuci tangan setelah

melakukan tindakan. Didapat bahwa 3 orang perawat tidak memakai

masker pada saat melakukan tindakan invasif pada pasien, seperti melakukan

intervensi keperawatan yang berkemungkinan terkena cipratan darah dan

cairan tubuh pasien.

Data dari bagian IPCN dan K3RS RSUD Arjawinangun Cirebon,

jumlah angka kecelakaan kerja perawat meliputi perawat yang sakit pada

tahun 2017 sebanyak 150 orang dan pada tahun 2018 sebanyak 138 orang

dari total 350 orang perawat. Jenis penyakit yang diderita perawat sebagian

besar penyakit Infeksi saluran napas atas (ISPA), demam, 1 orang

hepatitis dan 1 orang TBC. Hasil wawancara peneliti dengan salah satu

bagian K3RS RSUD Arjawinangun Cirebon tentang kegiatan medical check

up bagi karyawan baru satu kali dilaksanakan medical check up.


9

Berdasarkan informasi dan data yang didapatkan, oleh karena itu

peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian mengenai hubungan

kepatuhan perawat dalam universal precaution dengan kejadian kecelakaan

kerja di RSUD Arjawinangun Cirebon.

1.2 Rumusan Masalah

“Adakah hubungan kepatuhan perawat dalam Universal Precaution dengan

kejadian kecelakaan kerja di RSUD Arjawinangun Cirebon”.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan kepatuhan perawat dalam Universal

Precaution dengan kejadian kecelakaan kerja di RSUD

Arjawinangun Cirebon

1.3.2 Tujuan Khusus

1.3.2.1 Mengidentifikasi kepatuhan perawat dalam Universal

Precaution di RSUD Arjawinangun Cirebon

1.3.2.2 Mengidentifikasi kejadian kecelakaan kerja di RSUD

Arjawinangun Cirebon

1.3.2.3 Menganalisa hubungan kepatuhan perawat dalam

Universal Precaution dengan kejadian kecelakaan kerja di

RSUD Arjawinangun Cirebon


10

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Sebagai pengetahuan dan masukan untuk peningkatan kepatuhan

perawat tentang universal precaution dan dapat digunakan sebagai

bahan perbandingan bagi peneliti yang lain

1.4.2 Manfaat Praktis

1.4.2.1 Bagi Rumah Sakit

1.4.2.1.1 Sebagai informasi bagi pihak rumah sakit

mengenai tindakan yang telah dilakukan

dalam upaya pelaksanaan universal

precaution sehingga dapat memberikan

masukan dalam penyusunan kebijakan

pencegahan kejadian kecelakaan akibat kerja

1.4.2.2.1 Diharapkan dapat menerapkan universalk

precaution dengan baik melalui penyediaan

fasilitas dan ketersediaan sarana yanag

berhubungan dengan universal precaution

agar dapat meningkatkan pelayanan

keperawatan yang bermutu

1.4.2.2 Bagi Institusi STIKes Mahardika Cirebon

1.4.2.2.1 Sebagai bahan masukan dalam kegiatan

proses belajar mengajar terutama dalam

penerapan universal precaution


11

1.4.2.2.2 Sebagai bahan bacaan dan menambah

wawasan bagi mahasiswa STIKes Mahardika

Cirebon yang berkaitan dengan kepatuhan

dalam penerapan universal precaution pada

perawat ketika melakukan tindakan

1.4.2.3 Bagi petugas kesehatan yang terkait (perawat)

Menambah wawasan, evaluasi, dan masukan kepada

perawat dalam rangka meningkatkan profesionalisme

dalam memberikan pelayanan pada pasien terutama

penerapan universal precaution ketika melakukan

tindakan

1.5 Keaslian Penelitian

1.5.1 Asri Asmi (2017) “faktor-faktor yang berhubungan dengan

kepatuhan perawat untuk menggunakan Alat Pelindung Diri

(APD) di ruang rawat inap RS Bhayangkara Makassar” diperoleh

Terdapat hubungan antara Pendidikan, Masa kerja, dan

Pengetahuan dengan kepatuhan perawat dalam penggunaan APD

di ruang rawat inap RS Bhayangkara Makassar tahun 2016, hanya

faktor masa kerja yang memiliki hubungan yang kuat dan

signifikan dengan kepatuhan perawat dalam penggunaan APD.

Sedangkan umur, jenis kelamin, pendidikan, dan pengetahuan

juga memiliki hubungan dengan kepatuhan perawat dalam


12

penggunaan APD tetapi tidak signifikan. Untuk korelasi antara

pengetahuan dengan kepatuhan perawat dalam penggunaan APD

memiliki korelasi yang berlawanan (Tanda negative menunjukkan

hubungan atau korelasi yang berlawanan).

1.5.2 Ayu Sahara (2011) “faktor-faktor yang berhubungan dengan

kepatuhan perawat dan bidan dalam penerapan kewaspadaan

universal/kewaspadaan standar di Rumah sakit Palang Merah

Indonesia Bogor” maka diperoleh sebagian besar (52,4%) perawat

dan bedan sudah memiliki tingkat kepatuhan yang baik, faktor-

faktor yang tidak berhubungan dengan kepatuhanpenerapan

kewaspadaan universal atau standar antara lain faktor individu

(pengetahuan tentang transmisi penularan HIV, HBV, dan HCV,

persepsi terhadap resiko, risk-talking personality, efficacy of

prevention), faktor pekerjaan (hambatan dalam penerapan UP/US,

beban kerja) dan faktor organisasi (safety performance feedback).

Faktor-faktor yang secara signifikan berhubungan dengan kepatuhan

penerapan kewaspadaan universal /standar adalah faktor organisasi

(iklim keselamatan pasien, safety climate dan pelatihandan

ketersediaan APD

1.5.3 Sri Hunun (2006) “Gambaran pelaksanaan kewaspadaan

universal di RSUD Dr Moewardi Surakarta”.Hasil penelitian

menemukan perawat melakukan cuci tangan dengan sempurna

80%,kurang sempurna 15% dan tidak melakukan cuci tangan 5%.


13

Perawat memakai alat pelindung dengan sempurna 71%,kurang

sempurna 20%, dan tidak memakai alat pelindung 9%. Perawat

melakukan pengelolaan alat bekas pakai dengan sempur na 79%,

melakukan pengelolaan alat bekas pakai kurang sempurna 15%,

melakukan pengelolaan alat bekas pakai tidak sempurna 6%.

Perawat melakukan pengelolaan jarum dan alat tajam dengan

sempurna 72%,melakukan pengelolaan jarum dan alat tajam kurang

sempurna 18%, melakukan pengelolaan jarum dan alat tajam tidak

sempurna 10%. Perawat melakukan pengelolaan limbah dan sanitasi

ruang dengan sempurna 80%, melakukan pengelolaan limbah dan

sanitasi ruang kurang sempurna 13%, tidak melakukan pengelolaan

7%.

Anda mungkin juga menyukai