Anda di halaman 1dari 6

Budaya politik merupakan pola perilaku suatu masyarakat dalam kehidupan benegara,

penyelenggaraan administrasi negara, politik pemerintahan, hukum, adat istiadat, dan norma
kebiasaan yang dihayati oleh seluruh anggota masyarakat setiap harinya. Budaya politik juga dapat
di artikan sebagai suatu sistem nilai bersama suatu masyarakat yang memiliki kesadaran untuk
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan kolektif dan penentuan kebijakan publik untuk
masyarakat seluruhnya.

budaya politik
Secara umum budaya politik terbagi atas tiga :

1. Budaya politik apatis (acuh, masa bodoh, dan pasif)


2. Budaya politik mobilisasi (didorong atau sengaja dimobilisasi)
3. Budaya politik partisipatif (aktif)

Tipe-tipe Budaya politik


 Budaya politik parokial yaitu budaya politik yang tingkat partisipasi politiknya sangat rendah.
Budaya politik suatu masyarakat dapat di katakan Parokial apabila frekuensi orientasi mereka
terhadap empat dimensi penentu budaya politik mendekati nol atau tidak memiliki perhatian
sama sekali terhadap keempat dimensi tersebut. Tipe budaya politik ini umumnya terdapat pada
masyarakat suku Afrika atau masyarakat pedalaman di Indonesia. dalam masyarakat ini tidak
ada peran politik yang bersifat khusus. Kepala suku, kepala kampung, kyai, atau dukun,yang
biasanya merangkum semua peran yang ada, baik peran yang bersifat politis, ekonomis atau
religius.
 Budaya politik kaula (subjek),yaitu budaya politik yang masyarakat yang bersangkutan sudah
relatif maju baik sosial maupun ekonominya tetapi masih bersifat pasif. Budaya politik suatu
masyarakat dapat dikatakan subyek jika terdapat frekuensi orientasi yang tinggi terhadap
pengetahuan sistem politik secara umum dan objek output atau terdapat pemahaman mengenai
penguatan kebijakan yang di buat oleh pemerintah. Namun frekuensi orientasi mengenai
struktur dan peranan dalam pembuatan kebijakan yang dilakukan pemerintah tidak terlalu
diperhatikan. Para subyek menyadari akan otoritas pemerintah dan secara efektif mereka di
arahkan pada otoritas tersebut. Sikap masyarakat terhadap sistem politik yang ada ditunjukkan
melalui rasa bangga atau malah rasa tidak suka. Intinya, dalam kebudayaan politik subyek,
sudah ada pengetahuan yang memadai tentang sistem politik secara umum serta proses
penguatan kebijakan yang di buat oleh pemerintah.
 Budaya politik partisipan,yaitu budaya politik yang ditandai dengan kesadaran politik yang
sangat tinggi. Masyarakat mampu memberikan opininya dan aktif dalam kegiatan politik. Dan
juga merupakan suatu bentuk budaya politik yang anggota masyarakatnya sudah memiliki
pemahaman yang baik mengenai empat dimensi penentu budaya politik. Mereka memiliki
pengetahuan yang memadai mengenai sistem politik secara umum, tentang peran pemerintah
dalam membuat kebijakan beserta penguatan, dan berpartisipasi aktif dalam proses politik yang
berlangsung. Masyarakat cenderung di arahkan pada peran pribadi yang aktif dalam semua
dimensi di atas, meskipun perasaan dan evaluasi mereka terhadap peran tersebut bisa saja
bersifat menerima atau menolak.

Budaya politik yang berkembang di indonesia


Gambaran sementara tentang budaya politik Indonesia, yang tentunya harus di telaah dan di
buktikan lebih lanjut, adalah pengamatan tentang variabel sebagai berikut :

 Konfigurasi subkultur di Indonesia masih aneka ragam, walaupun tidak sekompleks yang
dihadapi oleh India misalnya, yang menghadapi masalah perbedaan bahasa, agama, kelas,
kasta yang semuanya relatif masih rawan/rentan.
 Budaya politik Indonesia yang bersifat Parokial-kaula di satu pihak dan budaya politik partisipan
di lain pihak, di satu segi masa masih ketinggalan dalam mempergunakan hak dan dalam
memikul tanggung jawab politiknya yang mungkin di sebabkan oleh isolasi dari kebudayaan
luar, pengaruh penjajahan, feodalisme, bapakisme, dan ikatan primordial.
 Sikap ikatan primordial yang masih kuat berakar, yang di kenal melalui indikatornya berupa
sentimen kedaerahan, kesukaan, keagamaan, perbedaan pendekatan terhadap keagamaan
tertentu; purutanisme dan non puritanisme dan lain-lain.
 kecendrungan budaya politik Indonesia yang masih mengukuhi sikap paternalisme dan sifat
patrimonial; sebagai indikatornya dapat di sebutkan antara lain bapakisme, sikap asal bapak
senang.
 Dilema interaksi tentang introduksi modernisasi (dengan segala konsekuensinya) dengan pola-
pola yang telah lama berakar sebagai tradisi dalam masyarakat.

Budaya Politik di Indonesia


 Hirarki yang Tegar/Ketat

Masyarakat Jawa, dan sebagian besar masyarakat lain di Indonesia, pada dasarnya bersifat
hirarkis. Stratifikasi sosial yang hirarkis ini tampak dari adanya pemilahan tegas antara penguasa
(wong gedhe) dengan rakyat kebanyakan (wong cilik). Masing-masing terpisah melalui tatanan
hirarkis yang sangat ketat. Alam pikiran dan tatacara sopan santun diekspresikan sedemikian rupa
sesuai dengan asal usul kelas masing-masing. Penguasa dapat menggunakan bahasa 'kasar'
kepada rakyat kebanyakan. Sebaliknya, rakyat harus mengekspresikan diri kepada penguasa dalam
bahasa 'halus'. Dalam kehidupan politik, pengaruh stratifikasi sosial semacam itu antara lain
tercemin pada cara penguasa memandang diri dan rakyatnya.

 Kecendrungan Patronage

Pola hubungan Patronage merupakan salah satu budaya politik yang menonjol di Indonesia.Pola
hubungan ini bersifat individual. Dalam kehidupan politik, tumbuhnya budaya politik semacam ini
tampak misalnya di kalangan pelaku politik. Mereka lebih memilih mencari dukungan dari atas
daripada menggali dukungn dari basisnya.

 Kecendrungan Neo-patrimonisalistik
Salah satu kecendrungan dalam kehidupan politik di Indonesia adalah adanya
kecendrungan munculnya budaya politik yang bersifat neo-patrimonisalistik; artinya
meskipun memiliki atribut yang bersifat modern dan rasionalistik seperti birokrasi, perilaku
negara masih memperlihatkan tradisi dan budaya politik yang berkarakter patrimonial.
Ciri-ciri birokrasi modern:

 Adanya suatu struktur hirarkis yang melibatkan pendelegasian wewenang dari atas ke
bawah dalam organisasi
 Adanya posisi-posisi atau jabatan-jabatan yang masing-masing mempunyai tugas dan
tanggung jawab yang tegas
 Adanya aturan-aturan, regulasi-regulasi, dan standar-standar formalyang mengatur
bekerjanya organisasi dan tingkah laku anggotanya
 Adanya personel yang secara teknis memenuhi syarat, yang dipekerjakan atas dasar
karier, dengan promosi yang didasarkan pada kualifikasi dan penampilan.

BUDAYA POLITIK INDONESIA


Budaya politik di Indonesia merupakan perwujudan nilai nilai yang dianut oleh masyarakat Indonesia yang
diyakini sebagai pedoman dalam melaksanakan kegiatan kegiatan polituk kenegaraan.

Setelah era reformasi memang orang menyebut Indonesia telah menggunakan budaya Politik partisipan
karena telah bebasnya Demokrasi, partisipatifnya masyarakat dan tidak tunduk akan keputusan atau kinerja
pemerintah baru aetika . perlu diketahui ketika era orde baru Demokrasi dikekang. Segala bentuk media
dikontrol/diawasi oleh pemerintah lewat Departemen Penerangan supaya tidak mempublikasikan kebobrokan
pemerintah.

Budaya politik Indonesia selalu berubah mengikuti perkembangan zaman. Tetapi berubahnya itu hanya terjadi
pada daerah perkotaan dan pedesaan yang telah maju tetapi pada daerah-daerah terpencil itu tidak terjadi
perubahan karena kurangnya pendidikan dan informasi

Budaya Politik Indonesia saat ini adalah Campuran dari Parokial, Kaula, dan Partisipan , dari segi budaya
Politik Partisipan , Semua ciri- cirinya telah terjadi di Indonesia dan ciri-ciri budaya politik Parokial juga ada yang
memenuhi yaitu seperti berlangsungnya pada masyarakat tradisional dan pada budaya politik kaula ada yang
memenuhi seperti warga menyadari sepenuhnya otoritas pemerintah.
Perebutan Kursi Pimpinan DPR

Kamis, 2 Oktober 2014 15:25 WIB

SEBANYAK 560 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI periode 2014-2019 Rabu kemarin
mengucapkan sumpah. Bersamaan dengan pelantikan anggota DPR, 136 anggota Dewan Perwakilan
Daerah (DPD) juga mengucapkan sumpah. Gabungan DPR dan DPD ini akan terbentuk Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang tugasnya antara lain akan melantik presiden terpilih dan wakil presiden
terpikih Joko Widodo-Jusuf Kalla pada 20 Oktober 2014.

Pasca pengambilan sumpah anggota DPR, perebutan kursi paket pimpinan DPR dipastikan akan semakin
panas. Baik kubu pengusung Prabowo-Hatta maupun Jokowi-JK sama-sama berebut hegemoni
kekuasaan menjelang pemilihan pimpinan DPR. Hal itu terjadi setelah Mahkamah Konstitusi (MK)
menolak gugatan uji materi yang dilayangkan PDI-P terhadap UU 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan
DPRD (UU MD3).

Keputusan MK tersebut mengukuhkan perubahan mekanisme pemilihan pimpinan DPR beserta alat
kelengkapannya. Pada DPR periode sebelumnya, jabatan ketua DPR otomatis menjadi hak parpol
pemenang pemilu. Demikian pula, pimpinan alat kelengkapan DPR dibagi proporsional berdasarkan
urutan parpol yang mendapat urutan terbanyak dalam pileg. Namun kini, pimpinan DPR dan unsur
pimpinan alat kelengkapan DPR akan dipilih secara paket di antara anggota DPR.

Jabatan ketua DPR tentu sangat diharapkan PDIP untuk melengkapi sukses kemenangan di pileg, dan
sukses mengantarkan Joko Widodo terpilih sebagai presiden. Karena itu, ketika jabatan yang sudah
dalam genggaman tiba-tiba terlepas akibat manuver yang dilakukan parpol yang tergabung dalam Koalisi
Merah Putih, tentu sebuah kekecewaan besar.

Dalam sejarah parlemen di Tanah Air, selama puluhan tahun kursi ketua DPR menjadi hak parpol
pemenang pemilu. Begitu juga praktik di negara demokrasi mana pun, seperti di Amerika Serikat,
misalnya, kursi ketua DPR juga menjadi hak parpol pemenang pemilu. Praktik ini dilandasi semangat
pengakuan terhadap parpol yang mendapat kepercayaan paling besar dari rakyat.

Karena itu, ketika beredar dokumen kontrak politik partai Koalisi Merah Putih (KMP) soal bagi- bagi kursi
Ketua MPR untuk Partai Demokrat, dan Ketua DPR jatah Partai Golkar bukan hanya membuat heboh
dunia maya, tetapi juga membuat partai yang tergabung Koalisi Indonesia Hebat, khususnya PDIP
sebagai peraih suara terbanyak pileg 2014 kebakaran jenggot.

PDI Perjuangan seperti disampaikan Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan Tjahjo Kumolo, siap berbagi
jatah kursi kabinet dengan Partai Demokrat. Hal itu dilakukan untuk mengamankan posisi ketua DPR
bagi PDI Perjuangan dan dikeluarkannya peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu)
tentang pilkada langsung.
Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar yang pada periode ini terpilih sebagai anggota dewan pun yakin
akan adanya pembentukan koalisi baru di tubuh pengusung Jokowi-JK. Koalisi Jokowi-JK perlu
menambah dukungan parpol untuk mengamankan dinamika di DPR, dan menghadapi rencana
penerbitan perppu tentang pemilihan kepala daerah oleh Presiden SBY diubah kembali dari lewat DPRD
menjadi dipilih langsung oleh rakyat.

Untuk disahkan menjadi UU, perppu perlu mendapat persetujuan DPR. Padahal saat ini, kekuatan koalisi
Jokowi-JK yang didukung empat parpol yakni PDI-P, PKB, Partai Nasdem, dan Partai Hanura hanya 207
kursi.

Sementara itu, KMP berisi lima parpol yang lolos ke DPR, yakni Partai Golkar, Partai Gerindra, PKS, PAN,
dan PPP. Kekuatan koalisi itu mencapai 292 kursi DPR. Adapun Demokrat yang belum bergabung ke
salah satu kubu memiliki 61 kursi. Bila Demokrat bergabung di koalisi pendukung Jokowi, maka jumlah
kursinya menjadi 268 kursi.

Karena itulah, di tengah rencana penerbitan peppu Pilkada oleh Presiden SBY, perebutan kursi pimpinan
dipastikan akan memanas. Lobi-lobi di tingkat rapat kordinasi antar fraksi sesama koalisi, maupun fraksi
antarkoalisi akan kian seru. Pertarungan memperoleh kursi Ketua DPR dan MPR tergantung lobi politik
dari koalisi Jokowi-JK sebagai pemenang Pilpres maupun koalisi Prabowo-Hatta sebagai pemenang Pileg.
Seperti apa pertarungannya, kita tunggu saja. (Tribun Cetak).

Anda mungkin juga menyukai