Anda di halaman 1dari 44

LAPORAN DISKUSI KELOMPOK

PEMICU 4

MODUL PENGINDERAAN

KELOMPOK 6

1. Rosa I1011161001
2. Muhammad Ibnu Nazari I1011161009
3. Raditia Tri Prasetyo I1011161012
4. Rachel Dhea Aprila I1011161020
5. Erica Sugandi I1011161029
6. Hesti Ratna Pratiwi I1011161023
7. Willy Sanjaya I1011161031
8. Florentina Vina I1011161043
9. Indah Ayu Putri I1011161046
10. Dede Apreli I1011161062
11. Solideo Gloria Tering I1011161068
12. Novta Rouli Sihombing I1011161071

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

PONTIANAK

2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Pemicu
Seorang perempuan 22 tahun mengeluhkan bersin-bersin yang tak kunjung
sembuh. Keluhan dirasakan sejak 2 tahun lalu, hampir tiap malam dan pagi selalu
bersin-bersin (terutama beberapa bulan terakhir bisa 4-5 kali seminggu). Bersin
seringkali beruntun lebih dari 5 kali, dan disertai hidung terasa gatal dan pilek encer
jernih, kadang juga tersumbat. Keluhan berkurang menjelang siang, namun
beberapa kali bahkan menetap sepanjang hari dan hal ini dirasakan sangat
mengganggu aktivitasnnya sehari-hari hingga oasien berobat dan umumnya
keluhan berkurang, tetapi kemudian dapat kambuh kembali. Keluhan juga disertai
gangguan penghidu seminggu serta pilek, hidung tersumbat dan gangguan
penghidu.

1.2 Klarifikasi dan Definisi Masalah


-
1.3 Kata Kunci
1. Perempuan 22 tahun
2. Bersin-bersin tak kunjung sembuh > 4x/minggu
3. Hidung terasa gatal
4. Pilek encer jernih
5. Bersin beruntun >5x
6. Keluhan erkurang menjelang siang
7. Keluhan dirasa sejak 2 tahun lalu
8. Gangguan penghidu
9. Telah berobat tapi kambuh kembali
10. Keluhan mengganggu aktivitas seari-hari
11. Hidung tersumbat
1.4 Rumusan Masalah
Perempuan 22 tahun mengeluh bersin yang tak kunjung sembuh sejak 2 tahun
lalu. Bersin beruntun lebih dari 5 kali dan terjadi hampir setiap pagi dan malam,
berkurang di siang hari namun beberapa kali menetap seharian. Keluhan disertai
gatal pada hidung, pilek encer jernih selama seminggu, hidung tersumbat dan
gangguan penghidu. Ada riwayat terapi namun kambuh kembali.

1.5 Analisis Masalah

Perempuan, 22 tahun

Bersin-bersin Beruntun > 5x


(patologis)

Terpapar alergen
Debu -> Stimulus tinggi di pagi hari
Suhu -> Suhu lebhi rendah pada pagi dan malam hari

Reaksi hipersensitivitas

Aktivitas mediator inflamasi

Vasodilatas dan peningkatan


permeabilitas -> pilek encer,
hidung tersumbat

Gangguan penghidu

Stimulasi dari histamin ->


gatal dan bersin

DD
Rhinitis Alergi
Rhinitis Vasomotor
1.6 Hipotesis
Perempuan 22 tahun mengalami rhinitis alergi persisten
1.7 Pertanyaan Diskusi
1. Hidung
a. Anatomi
b. Fisiologi
c. Histologi
d. Jaras-jaras
2. Rhinitis Alergi
a. Definisi
b. Epidemiologi
c. Etiologi
d. Patofisiologi
e. Klasifikasi
f. Faktor Risiko
g. Manifestasi Klinis
h. Diagnosis
i. Tatalaksana
j. Komplikasi
k. Prognosis
l. Edukasi
3. Rhinitis Vasomotor
a. Definisi
b. Etiologi
c. Patofisiologi
d. Pmanifestasi Klinis
e. Diagnosis
f. Tatalaksana
4. Fisiologi Bersin
5. Patofisiologi
a. Hidung terasa gatal
b. Pilek encer jernih
c. Hidung tersumbat
d. Gangguan penghidu
6. Mengapa pasien bisa bersin beruntun > 5x?
7. Mengapa keluhan muncul setelah pasien berusia 20 tahun?
8. Mengapa keluhan muncul terutama pada pagi hari dan malam hari?
9. Pemeriksaan fisik pada hidung
10. Mengapa keluhan pasien kambuh lagi setelah berobat?
11. Perbedaan suhu dan konsentrasi debu berapakah yang memicu keluhan?
BAB II
PEMBAHASAN

1. Hidung
a. Anatomi
Berdasarkan struktur anatominya, hidung dibagi menjadi hidung
luar dan hidung dalam. Hidung luar dibagi menjadi tiga bagian, yaitu : 1)
Kubah tulang, merupakan bagian yang paling atas yang tak dapat
digerakkan, 2) Kubah kartilago, merupakan bagian dibawah kubah tulang
yang dapat digerakkan, 3) Lobulus hidung, bagian yang paling bawah dan
mudah digerakkan. Kubah kartilago dibentuk oleh kartilago lateralis
supperior yang saling berfusi di garis tengah serta berfusi pula dengan tepi
atas kartilago septum kuadrangularis. Bentuk dari sepertiga lobulus hidung
dipertahankan oleh kartilago lateralis inferior. Lobulus menutupi
vestibulum nasi dan dibatasi di sebelah medial oleh kolumela, di lateral ala
nasi, dan anterosuperior oleh ujung hidung. Mobilitas lobulus hidung
penting untuk ekspresi wajah, gerakan mengendus, dan bersin.

Sedangkan hidung dalam, terbentang dari os internum di anterior


hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring.
Septum hidung merupakan garis tengah yang membagi hidung menjadi 2
buah rongga yang pada bagian lateral masing-masing rongga terdapat
konka. Konka memiliki rongga udara yang tak teratur di antaranya, yaitu
meatus superior, media, dan inferior. Duktus nasolakrimalis bermuara pada
meatus inferior di bagian inferior. Sinus frontalis, etmoidalis anterior, dan
maksilaris bermuara pada hiatus semilunaris dari meatus media. Sel – sel
sinus etmoidalis posterior bermuara pada meatus superior, sedangkan sinus
sfenoidalis berakhir pada resesus sfenoetmoidalis. Ujung - ujung saraf
olfaktorius menempati daerah kecil di bagian medial dan lateral dinding
hidung dalam dan ke atas hingga kubah hidung.(1)
b. Fisiologi
Mukosa olfaktorius ("penghiduan") merupaka suatu bercak mukosa
yang mengandung tiga jenis sel: sel reseptor olfaktorius, sel penunjang,
dan sel basal. Sel penunjang mengeluarkan mukus, yang melapisi
saluran hidung. Sel basal adalah prekursor untuk sel reseptor olfaktorius
baru, yang diganti sekitar setiap dua bulan. Indera penghiduan
bergantung pada sel reseptor olfaktorius yang mendeteksi bau, atau
aroma. Sel reseptor olfaktorius adalah neuron aferen yang bagian
reseptornya terletak di mukosa olfaktorius di hidung dan yang akson
aferennya berjalan ke dalam otak. Akson sel-sel reseptor olfaktorius
secara kolektif membentuk saraf olfaktorius.
Bagian reseptor sel reseptor olfaktorius terdiri dari sebuah tonjolan
yang membesar dan mengandung beberapa silia panjang yang berjalan
seperti hiasan rumbai-rumbai ke permukaan mukosa. Silia ini
mengandung tempat untuk mengikat odoran, molekul yang dapat
dihidu. Selama bernapas tenang, odoran biasanya mencapai reseptor
sensitif hanya dengan difusi karena mukosa olfaktorius berada di atas
jalur normal aliran udara. Tindakan mengendus meningkatkan proses ini
dengan menarik arus udara ke arah atas di dalam rongga hidung
sehingga lebih banyak molekul odoriferosa di udara yang berkontak
dengan mukosa olfaktorius. Odoran juga mencapai mukosa olfaktorius
sewaktu makan dengan naik ke hidung dari mulut melalui faring
(belakang tenggorokan).
Agar dapat dihidu, suatu bahan harus (1) cukup mudah menguap
sehingga sebagian molekulnya dapat masuk ke hidung melalui udara
inspirasi dan (2) cukup larut air sehingga dapat masuk ke lapisan mukus
yang menutupi mukosa olfaktorius. Seperti reseptor kecap, agar dapat
terdeteksi oleh reseptor olfaktorius, molekul harus larut.
Hidung manusia mengandung 5 juta reseptor olfaktorius, dengan
1000 tipe berbeda. Selama deteksi bau, bau "diuraikan" menjadi
berbagai komponen. Setiap reseptor berespons hanya terhadap satu
komponen suatu bau dan bukan terhadap molekul odoran keseluruhan.
Karena itu, tiap-tiap bagian suatu bau dideteksi oleh satu dari ribuan
reseptor berbeda, dan sebuah reseptor dapat berespons terhadap
komponen bau tertentu yang terdapat di berbagai aroma. Bandingkan ini
dengan tiga jenis sel kerucut untuk menyandi penglihatan warna dan
kuncup kecap yang berespons secara berbeda terhadap hanya lima rasa
primer (mungkin enam) untuk mendiskriminasikan rasa.
Pengikatan sinyal bau tertentu dengan reseptor olfaktorius
mengaktifkan protein G, memicu kaskade reaksi intrasel dependen-
cAMP yang menyebabkan terbukanya kanal kation nonspesifik berpintu
cAMP. Masuknya Na+ neto menyebabkan potensial reseptor
pendepolarisasi yang menghasilkan potensial aksi di serat aferen.
Frekuensi potensial aksi bergantung pada konsentrasi molekul kimiawi
perangsang.
Serat-serat aferen yang berasal dari ujung reseptor di hidung berjalan
melalui lubang-lubang halus di lempeng tulang gepeng yang
memisahkan mukosa olfaktorius dari jaringan otak di atasnya. Serat-
serat ini segera bersinaps di bulbus olfaktorius, suatu struktur
sarafkompleks yang mengandung beberapa lapisan sel yang secara
fungsional mirip dengan lapisan retina mata. Bulbus olfaktorius yang
kembar, satu di masing-masing sisi, berukuran sebesar anggur kecil.
Tiap-tiap bulbus olfaktorius dilapisi oleh taut-taut saraf kecil mirip-bola
yang dikenal sebagai glomerulus (berarti "bola kecil"). Di dalam setiap
glomerulus, ujung-ujung sel reseptor yang membawa informasi tentang
komponen bau tertentu bersinaps dengan sel berikutnya di jalur
olfaktorius, sel mitral. Karena tiap-tiap glomerulus menerima sinyal
hanya dari reseptor yang mendeteksi komponen bau tertentu,
glomerulus berfungsi sebagai "arsip bau". Komponen-komponen suatu
bau disortir ke dalam glomerulus yang berbeda-beda, satu komponen
per arsip. Karena itu, glomerulus, yang merupakan stasiun pemancar
pertama untuk pemrosesan informasi bau, berperan kunci dalam
pengorganisasian persepsi bau.
Sel mitral tempat berakhirnya reseptor olfaktorius di
glomerulusmenyempurnakan sinyalbaudanmemancarkannya ke otak
untuk pemrosesan lebih lanjut. Serat-serat yang meninggalkan bulbus
olfaktorius berjalan dalam dua rute:(2)
1. Sebuah rute subkorteks terutama menuju ke daerah-daerah
sistem limbik, khususnya sisi medial bawah lobus temporalis
(dianggap sebagai korteks olfaktorius primer). Rute ini, yang
mencakup hipotalamus, memungkinkan koordinasi erat antara
bau dan reaksi perilaku yang berkaitan dengan makan, kawin,
dan orientasi arah.
2. Sebuah rute melalui talamus ke korteks. Seperti indra lain, rute
korteks penting untuk persepsi sadar dan diskriminasi halus bau.
c. Histologi
Rongga hidung kiri dan kanan terdiri atas dua struktur:
vestibulum di luar dan rongga hidung (atau fossa nasalis) di dalam.
Vestibulum adalah bagian paling anterior dan paling lebar di setiap
rongga hidung. Kulit hidung memasuki nares (cuping hidung) yang
berlanjut ke dalam vestibulum dan memiliki kelenjar keringat, kelenjar
sebasea, dan vibrisa (bulu hidung) yang menyaring partikel-partikel
besar dari udara inspirasi. Di dalam vestibulum, epitelnya tidak berlapis
tanduk lagi dan beralih menjadi epitel respiratorik sebelum memasuki
fossa nasalis.
Dinding lateral rongga hidung terdapat tiga tonjolan bertulang
mirip rak yang dikenal sebagai conchae. Concha media dan inferior
dilapisi oleh epitel respiratorik; concha superior ditutupi epitel
penghidu khusus. Di dalam lamina propria concha terdapat pleksus
vena besar yang dikenal sebagai badan pengembang (szuell bodies).
Setiap 20-30 menit, badan pengembang pada satu sisi akan penuh terisi
darah sehingga mukosa concha membengkak dan mengurangi aliran
udara. Selama masa tersebut, sebagian besar udara diarahkan melalui
fossa nasalis lain sehingga epitel respiratorik dapat pulih dari dehidrasi.
Selain badan-badan pengembang, mukosa rongga hidung
memiliki sistem vaskular yang rumit dan luas. Pembuluh-pembuluh
besar membentuk jalinan-jalinan rapat dekat periosteum di bawahnya,
dan dari tempat ini, cabang-cabang pembuluh meluas ke permukaan.
Darah di pembuluh tersebut mengalir dari belakang rongga hidung ke
depan dalam arah yang berlawanan dengan aliran udara inspirasi
sehingga panas berpindah dan menghangatkan udara tersebut secara
cepat.
Suatu fungsi utama keseluruhan bagian konduksi adalah
mengondisikan udara inspirasi dengan membersihkan, melembapkan,
dan menghangatkannya sebelum memasuki paru. Selain vibrisa
lembap, sejumlah besar vaskular di lamina propria, dan sel epitel
respiratorik yang bersilia dan menghasilkan mukus, pengondisian juga
melibatkan sejumlah besar kelenjar mukosa dan serosa di mukosa.
Begitu udara mencapai fossa nasalis, partikel dan polutan gas
terperangkap di lapisan mukus. Mukus ini, beserta sekret serosa juga
berfungsi melembapkan udara yang masuk, melindungi alveoli paru
yang halus dari kekeringan.
Kemoreseptor olfaktorius terletak di epitel olfaktorius, yaitu regio
khusus membran mukosa concha superior yang terletak di atap rongga
hidung. Epitel ini merupakan epitel bertingkat silindris yang terdiri atas
tiga jenis sel, antara lain:
a) Sel-sel basal adalah sel kecil, sferis atau berbentuk kerucut dan
membentuk suatu lapisan di lamina basal. Sel-sel ini adalah sel
punca untuk kedua tipe sel lainnya.
b) Sel penyokong berbentuk kolumnar dengan apeks silindris dan dasar
yang lebih sempit. Pada permukaan bebasnya terdapat mikrovili,
yang terendam dalam selapis cairan. Kompleks tautan yang
berkembang baik mengikat sel-sel penyokong pada sel-sel olfaktori
di sebelahnya. Peran suportif sel-sel ini tidak begitu dipahami, tetapi
sel tersebut memiliki banyak kanal ion dengan fungsi yang
tampaknya diperlukan untuk memelihara lingkungan mikro yang
kondusif untuk fungsi penghidu dan ketahanan hidup.
c) Neuron olfaktorius adalah neuron bipolar yang berada di seluruh
epitel ini. Neuron ini dibedakan dari sel-se1 penyokong oleh letak
intinya, yang terletak di antara sel penyokong dan se1 basal. Ujung
dendrit setiap neuron bipolar merupakan ujung apikal (luminal) sel
dan memiliki tonjolan dengan sekitar lusinan badan basal. Dari
badan basal tersebuf silia panjang nonmotil menonjol dengan
aksonema tetapi memiliki luas permukaan yang bermakna untuk
kemoreseptor membran. Reseptor tersebut berespon terhadap zat
pembau dengan menimbulkan potensial aksi di sepanjang akson
(basal) neuron tersebut yang meninggalkan epitel dan bersatu di
lamina propria sebagai saraf yang sangat kecil yang kemudian
melalui foramina di lamina cribriformis ossis ethmoidalis ke otak.
Di tempat tersebut, saraf ini membentuk saraf kranial I, nervus
olfactorius, dan akhirnya bersinaps dengan neuron lain di bulbus
olfactorius. Lamina propria di epitel olfaktorius memiliki kelenjar
serosa besar (kelenjar Bowman), yang menghasilkan suatu aliran
cairan di sekitar silia penghidu dan memudahkan akses zat pembau
yang baru.(3)
d. Jaras-jaras
Sinyal pada sel mitral dan sel tufted pada bulbus olfaktorius
menjalar menuju traktus olfaktorius. Traktus olfaktorius kemudian
menuju area olfaktorius primer pada korteks serebral, yaitu pada lobus
temporalis bagian inferior dan medial. Aktivasi pada area ini
menyebabkan adanya kesadaran terhadap odoran tertentu yang dihirup.
Selain itu, traktus tersebut menuju dua area, yaitu area olfaktorius
medial dan area olfaktorius lateral.(4,5)
a. Area olfaktorius medial
Area ini terdiri atas sekumpulan nukleus yang terletak pada anterior
dari hipotalamus. Nukleus pada area ini merupakan nukleus septal yang
kemudian berproyeksi ke hipotalamus dan sistem limbik. Area ini
berperan dalam ekspresi respons primitif terhadap penghidu, seperti
salivasi.
b. Area olfaktorius lateral
Area ini terdiri atas korteks prepiriformis, korteks piriformis, dan
nukleus amygdala bagian korteks. Dari area ini, sinyal diteruskan ke
sistem limbik dan hipokampus. Proyeksi tersebut berperan dalam
pembelajaran terhadap respon dari odoran tertentu, seperti respon mual
atau muntah terhadap odoran yang tidak disukai.
Jaras pada kedua area tersebut tidak melewati talamus, seperti jaras
pada saraf sensori lainnya. Namun, terdapat satu jaras olfaktori yang
melewati talamus, yaitu nukleus talamus dorsomedial, dan bersinaps di
korteks orbitofrontal kuadran lateroposterior. Jaras ini berperan pada
analisis sadar dari odoran tertentu.
2. Rhinitis Alergi
a. Definisi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi pada mukosa
hidung yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien yang sebelumnya
sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya
mediator-mediator kimia pada saat terpapar kembali dengan alergen
tersebut. Menurut WHO-ARIA (Allergic Rinitis its Impact on Asthma),
rinitis alergi merupakan suatu peradangan yang diperantarai oleh
Imunoglobulin E (IgE) yang terlibat menyebabkan suatu peradangan alergi
bila terpapar kembali oleh alergennya.(6)
b. Epidemiologi
Dari data WHO tahun 2000 mengenai epidemiologi rinitis alergi di
Amerika Utara dan Eropa Barat, terjadi peningkatan prevalensi rinitis alergi
dari 13-16% menjadi 23-28% dalam 10 tahun terakhir. Peningkatan
prevalensi rinitis alergi pada usia anak sekolah di Eropa Barat menjadi dua
kali lipat. Prevalensi rinitis alergi seasonal dan perennial di USA meningkat
mencapai 14,2%, tertinggi pada usia 18-34 tahun dan 35-49 tahunRinitis
alergi tersebar di seluruh negara maju maupun Negara berkembang .Dengan
prevalensi 10-15% dari seluruh populasi dunia menurut Allergic Rhinitis
and its Impact on Asthma (ARIA).Menurut American Academy of Allergy
Asthma & Immunology (AAAAI) berdasarkan data World Health
Organization (WHO)rinitis alergi menyerang 10% - 30% populasi di dunia..
Di lndonesia prevalensi 40 % anak-anak, 10-30 % pada dewasa. Prevalensi
terbesar pada usia 15-30 tahun. Prevalensi pada usia sekolah dan produktif
meningkat yang mengakibatkan penurunan kualitas hidup baik fisik,
emosional, gangguan bekerja dan sekolah, gangguan tidur, sakit kepala,
lemah, malas, penurunan kewaspadaan dan penampilan. Pada anak
berhubungan erat dengan gangguan belajar. Data dari salah satu penelitian
terbesar yang dilakukan oleh Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma
(ARIA) menyatakan bahwa prevalensi rhinitis alergi di Asia-Pasifik sebesar
8.7%. Hasil tersebut didapatkan dari penelitian yang dilakukan dengan
screening terhadap 33.000 keluarga di Australia, China, Hongkong,
Malaysia, Filipina, Singapura, Taiwan, dan Vietnam. Dari screening
tersebut ditemukan sejumlah 1.200 orang dewasa dan anak-anak yang
didiagnosa dengan Rinitis Alergi.(6)
c. Etiologi
Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan
predisposisi genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan
herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi. Penyebab rinitis alergi
tersering adalah alergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada anakanak.
Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dan
gangguan pencernaan. Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari
klasifikasi. Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa alergen. Alergen
yang menyebabkan rinitis alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau
jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun) diantaranya debu tungau,
terdapat dua spesies utama tungau yaitu Dermatophagoides farinae dan
Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan seperti kecoa
dan binatang pengerat. Faktor resiko untuk terpaparnya debu tungau
biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor
kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi merupakan faktor resiko untuk
untuk tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan
memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik diantaranya asap rokok,
polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan.(7)
d. Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali
dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi
terdiri darl' 2 fase, yaitu Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang
berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai satu jam setelahnya, dan
Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 2 sampai 4 jam
dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktiftas) setelah pemaparan dan dapat
berlangsung sampai 24-48 jam. Pada kontak pertama dengan alergen atau
tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji
akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung.
Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan
bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk peptida MHC (Mayor
Histocompatibiliry Complex) kelas II, yang kemudian dipresentasikan pada
sel T-helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti
interleukin I (IL-l) yang akan mengaktifkan Th 0 untuk berproliferasi
menjadi Th I dan Th 2. Kemudian Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin
seperti IL-3, IL-4,IL,5 dan IL-13. IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh
reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi
aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah
akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel
mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif.
proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang
tersensitisasi.
Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang
sama maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi
degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat
terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk, terutama histamin. selain
histamin juga dikeluarkan prostaglandin leukotrin D4, leukotrin c4,
brakinin, platelet activating factor dan berbagai sitokin' Inilah yang disebut
reaksi alergi fase cepat. Histamin akan merangsang reseptor Hl pada ujung
vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin.
Histamin juga menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami
hipersekresi dan permeabiltas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore'
Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. selain
histamin merangsang ujung syaraf vidianus juga menyebabkan rangsangan
pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran inter ceiluler adhesion
molecule (ICAM).(8)
e. Klasifikasi
Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat
berlangsungnya, yaitu:(9)
1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis).
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial) Gejala keduanya hampir
sama, hanya berbeda dalam sifat berlangsungnya.
Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan
rekomendasi dari WHO Iniative ARIA (Allergic Rhinitis and its
Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu berdasarkan sifat
berlangsungnya dibagi menjadi :
1. Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu
atau kurang dari 4 minggu.
2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih
dari 4
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi
dibagi menjadi:(10)
1. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas
harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang
mengganggu.
2. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan
tersebut diatas.
f. Faktor Risiko
Karena etiologi rhinitis alergi berbeda pada setiap penderitanya
(tergantung alergi), maka faktor resiko rhinitis alergi pun cukup beragam.
Faktor resiko yang dimaksud merupakan hal-hal yang berpotensi
meningkatkan paparan alergen. Faktor resiko untuk terpaparnya debu
tungau biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor
kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi merupakan faktor resiko untuk
untuk tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu lain yang bisa berperan atau
memperberat keluhan adalah asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat
atau merangsang, dan perubahan cuaca.(11)
g. Manifestasi Klinis
Gejala klinik rhinitis alergi yang khas adalah terdapat serangan
bersin yang berulang. Bersin ini merupakan gejala normal, yang merupakan
mekanisme fisiologik, yaitu proses pembersihan. Bersin dianggap patologik
bila terjadi lebih dari lima kali serangan, terutama merupakan gejala pada
reaksi alergi fase cepat dan kadang – kadang pada fase reaksi lambat sebagai
akibat pelepasan histamine. Gejala lain asalah keluarnya ingus (rinore )
yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang
kadang – kadang disertai banyak air mata. Gejala spesifik pada anak yaitu
terdapat bayangan gelapa dibawah mata yang terjadi karena stasis vena
sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain
itu sering juga tampak anak –anak menggosok- gosok hidung karena gatal
dengan punggun hidung. Gejala ini disebut allergic salute.(12)
h. Diagnosis
Berdasarkan anamnesis, Pada reaksi alergi fase cepat, gejala klinik
yang menonjol adalah bersinbersin. gatal, rinore dan kadang-kadang hidung
tersumbat, sedang pada reaksi alergi fase lambat gejala yang dominan
adalah hidung tersumbat, post nasal drip dan hiposmia.
Perlu ditanyakan riwayat atopi dalam keluarga, serta manifestasi
penyakit alegi lain sebelum atau bersamaan dengan rinitis seperti asma
bronkial, dermatitis atopi,urtikaria dan alergi terhadap makanan.
Sumber penting alergen di lingkungan pasien juga ditanyakan
seperti bagaimana kualitas udara dan sistem ventilasi dirumah maupun di
lingkungan kerja, adanya binatang peliharaan, tipe lantai, keadaan kamar
mandi dan ruang bawah tanah sebagai gudang (bila ada). Faktor pemicu
timbulnya gejala juga perlu ditanyakan seperti lingkungan di rumah, kamar
tidur, tempat kerja, sekolah, kegemaran atau hobi yang dapat mimicu
terjadinya gqala. Bila pasien alergi terhadap debu rumah, gejala memburuk
di dalam rumah dan membaik di luar rumah. Gejala juga di picu bila pasien
membersihkan rumah, biasanya memburuk 30 menit sebelum tidur malam.
Bila alergi terhadap jamur, gejala dapat terjadi sepanjang tahun, membwuk
pada lingkungan dengan kelembaban tinggi, dan pada sore hari. Adanya
keadaan hipeneaktifitas hidung terhadap iritan non spesifik seperti asap
rokok, udara dingin, bau merangsang seperti bau parfum, masakan, dan
polutan juga dapat memicu serta memperberat gejala rinitis.
Berdasarkan pemeriksaan fisik, ditemukan gambaran yang khas
pada anak berupa allergic shiner ( bayangan gelap dibawah kelopak mata
karena sumbatan pembuluh darah vena ), allergic salute karena anak sering
menggosok-gosok hidung dengan punggung tangan ke arah atas karena
gatal dan allergic crease berupa garis melintang di dorsum nasi sepertiga
bawah karena sering menggosok hidung.
Pada mata dapat ditemukan kemerahan, dengan hiperlakrimasi.
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa konka inferior atau media edema,
basah, berwarna pucat atau livid disertai adanya sekret encer bening dan
banyak.
Pada pemeriksaan tenggorok, mungkin didapatkan bentuk
geographic tongue (permukaan lidah sebagian licin dan sebagian kasar)
yang biasanya akibat alergi makanan, adenoid yang membesar, permukaan
dinding laring posterior kasar (cobble stane appearance), dan penebalan
lateral pharyngeal bands akibat sekret mengalir ke tenggorokan yang
kronik.
Berdasarkan pemeriksaan penunjang, yaitu pemeriksaan IgE
spesifik serum (RAST). Pemeriksaan ini untuk membuktikan adanya IgE
spesifik terhadap suatu alergen. Pemeriksaan ini cukup sensitif dan spesifik
(>85%), akurat, dapat diulang dan bersifat kuantitatif. Studi penelitian
membuktikan adanya korelasi yang baikantara IgE spesifik dengan uji kulit,
gejala klinik dan tes provokasi hidung bila menggunakan alergen yang
terstandarisasi. Hasil baru bermakna bila ada korelasi dengan gejala klinik,
seperti pada tes kulit. Cara lain adalah Modified RAST dengan sistem
scoring. (13,14,15)
i. Tatalaksana
Secara garis besar, penatalaksaruuill rinitis alergi terdiri dari 3 cara
yaitu menghindari atau eliminasi alergen dengan cara edukasi,
farmakoterapi dan imunoterapi, sedangkan tindakan operasi kadang
diperlukan untuk mengatasi komplikasi seperti sinusitis dan polip hidung.
1. Penghindaran alergen.
Cara ini bertujuan mencegah terjadinya kontak antara alergen
dengan IgE spesifik yang terdapat dipermukaan sel mast atau basofil
sehingga degranulasi tidak terjadi dan gejala dapat dihindarkan.
Perjalanan dan beratnya penyakit berhubungan dengan konsentrasi
alergen di lingkungan. Walaupun konsep pengobatan ini sangat rasional,
namun dalam praktek adalah sangat sulit dilakukan. Di negara tropis,
alergen utamanya adalah debu rumah dan serpihan kulit
serangga/tungau antara lain Dermatophagoides pteronysinus dan farinae
yang hidup pada debu rumah, karpet, kasur, kapuk, selimut, tumpukan
pakaian dan buku lama. Disamping itu terdapat partikel alergen lain
yang menempel pada debu rumah misalnya kotoran kecoa, serpihan
bulu kucing dan anjing yang juga berperan aktif Jamur yang terdapat
dalam rumah sepelti jenis Aspergillus den Penicillium sering
ditemukan. Pencegahan kontak dengan alergen dapat dilakukan dengan
menjaga kebersihan rumah, menghindari penggunaan karpet,
memperbaiki ventilasi dankelembaban udara. Edukasi terhadap
penderita perlu diberikan secara teratur mengenai penyakit,
penatalaksanaan, dan kepatuhan dalam berobat.
2. Farmakoterapi
Perlu ditekankan bahwa penderita rinitis alergi harus menggunakan
obat secara teratur dan tidak pada saat diperlukan saja, karena
penggunaan yang teratur dan konsisten dapat mengontrol inflamasi
mukosa dan mengurangi terjadinya komplikasi pada saluran napas
lainnya. Hal penting lain adalah dalam memilih terapi harus
diperhatikan terapi secara individual berdasarkan berat ringannya
penyakit.
a) Histamin
Histamin merupakan mediator utama timbulnya gejala rinitis alergi
pada fase cepat dan dibentuk di dalam sel mast dan basofil. Histamin
dapat dikeluarkan dalam berapa menit, mempunyai efek vasoaktif yang
poten dan kontraksi otot polos melalui H1 reseptor pada target organ.
Secara klinis, histamine dapat menyebabkan vasodilatasi, peninqkatan
permeabilitas vaskuler, menurunkan viskositas mukus,
bronkokonstriksi dan stimulasi saraf sensoris. Hal inilah yang
menyebabkan gejalabersin, rinore dan gatal pada hidung, mata dan
palatum. Antihistamin adalah antagonis histamiin reseptor H1 yang
bekerja secara inhibisi kompetitif pada reseptor H1 , dan merupakan
preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai terapi pertama
dalam pengobatan rinitis alergi. Antihistamin dapat mengurangi gejala
bersin, rinore, gatal tetapi hanya mempunyai efek yang minimal atau
tidak efektif untuk mengatasi sumbatan hidung. Saat ini terdapat 2
sediaan antihistamin topikal untuk rinitis alergi yaitu azelastin dan
levocabastin. Kedua jenis obat ini secara efektif dan spesifik bekerja
sebagai H1 reseplor antagonis untuk mengatasi gejala bersin dan gatal
pada hidung dan mata. Bila digunakan 2 kali sehari dapat mencegah
timbulnya gejala.
b) Dekongestan
Berbagai jenis cr, adrenergik agonis dapat d.iberikan secara per oral
seperti pseudoefedrin, fenilpropanolamin dan fenilefrin. Obat ini secara
primer dapat mengurangi sumbatan hidung dan efek minimal dalam
mengatasi rinore dan tidak mempunyai efek terhadap bersin, gatal di
hidung maupqn di mata. Pseudoefedrin merupakan stereoisomer efedrin
dan mempunyai kerja yang sama dengan efedrin, tetapi memiliki efek
minimal terhadap tekanan darah atau jantung dan SSP. Pemberian
pseudoefedrin dapat mengatasi hiperemi jaringan, edem mukosa dan
meningkatkan patensi jalan napas hidung. Obat ini berguna untuk
mengatasi rinitis alergi bila dikombinasikan dengan antihistamin. Efek
samping dekongestan oral terhadap SSP yaitu gelisah, insomnia,
iritabel, sakit kepala dan terhadap kardiovaskuler seperti palpitasi,
takikardi, meningkatkan tekanan darah, dapat menghambat aliran air
seni. Penggunaan obat ini harus hati-hati pada orang tua karena dapat
meningkatkan tekanan darah dan jangan diberikan pada pasien rinitis
alergi dengan kelainan jantung koroner dan glaukoma.
Preparat dekongestan topikal seperti oxymetazolin, fenilefrin,
xylometazolin, nafazolin dapat mengatasi gejala sumbatan hidung lebih
cepat dibandingkan preparat oral karena efek vasokontriksi dapat
menurunkan aliradarah ke sinusoid dan dapat mengurangi udem mukosa
hidung. Namun pemberian secara topikal hanya beberapa hari saja ( 3 -
5 hari ) untuk mencegah terjadinya rebound fenomena (sumbatan hidung
tetap terjadi) setelah penghentian obat dan rinitis medikamentosa.
Penggunaan obat ini tidak dianjurkan untuk mengatasi gejala sumbatan
hidung yang timbul pada fase lambat rinitis alergi.
c) Kombinasi anti histamine dan dekongestan
Kombinasi antihistarnin dengan dekongestan banyak digunakan.
Tujuan pemberian ke dua obat ini dalam satu sediaan seperti loratadin,
feksofenadin dan cetirizin dengan pseudoefedrin 120 mg. Obat ini dapat
mengatasi semua gejala rinitis alergi termasuk sumbatan hidung yang
tidak dapat diatasi bila hanya menggunakan antihistamin saja.
d) Pratropium bromida
Pratropium bromida topikal merupakan salah satu preparat pilihan
dalam mengatasi rinitis alergi. Obat ini merupakan preparat
antikolinergik yang dapat mengurangi sekresi (rinore) dengan cara
menghambat reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor, tetapi
tidak ada efek untuk mengatasi gejala lainnya. Preparat ini berguna pada
penderita rinitis alergi dengan rinore yang tidak dapat diatasi dengan
kortikosteroid intranasat maupun dengan antihistamin. Efek samping
yang sering ditemukan adalah iritasi hidung, pembentukkan krusta dan
kadang epistaksi ringan.
e) Sodium kormoglikat intranasal
Obat ini mempunyai efek untuk mengatasi bersin, rinore dan gatal
pada hidung hidung dan mata, bila digunakan 4 kali sehari. Preparat ini
berkerja dengan cara menstabilkan membran mastosit dengan
menghambat influks ion kalsium sehingga pelepasan mediator tidak
terjadi. Selain itu, obat ini juga bekerja pada respon fase lambat rinitis
alergi dengan menghambat proses inflamasi terhadap aktivasi sel
eosinofil. Dengan dosis pemberian 4 kali sehari, kemungkinan
kepatuhan penderita berkurang. Obat ini baik digunakan sebagai
preventif sebelum gejala alergi muncul seperti pada rinitis alergi
musiman sebelum musim polen terjadi, dan dapat diberikan dengan
aman pada anak, wanita hamil dan penderita usia lanjut.
f) Kortikosteroid
Kortikosteroid topikal diberikan sebagai terapi pilihan pertama
untuk penderita rinitis alergi dengan gejala sedang sampai berat dan
gejala yang persisten (menetap), karena mempunyai efek anti inflamasi
jangka panjang. Efek spesifik kortikosteroid topikal artara lain
mengahmbat fase cepat dan lambat dari rinitis alergi, menekan produksi
sitokin TM, sel mast dan basofil, mencegah switching dan sintesis IgE
oleh sel B, menekan pengerahan lokal local dan migrasi transepitel dari
sel mast, basofil dan eosinofil, menekan ekspresi GMcsF, IL-6, lL-8,
RANTES, sitokin, kemokin, mengurangi jumlah eosinofil di mukosa
hidung dan juga menghambat pembentukan, fungsi ,adhesi, kemotaksis
dan apoptosis eosinofi. Preparat yang termasuk kortikosteroid topikal
adalah budesonide, beklometason, flunisolide, flutikason, mometason
furoat dan triamcinolon acetonide. Preparat kortikosteroid topikal yang
baru tidak diabsorpsi secara bermakna oleh mukosa hidung sehingga
dapat mengurangi dan bahkan menghilangkan efek samping sistemik
seperti supresi adrenal, gangguan perfumbuhan pada anak, dan
gangguan densitas tulang serta mata.
3. Imunoterapi
Imunoterapi hanya diberikan pada penderita respons terhadap
farmakoterapi, bila penghindaran rinitis alergi yang tidak ada terhadap
alergen tidak dapat dilakukan atau bila terdapat efek samping dari
pemakaian obat. Imunoterapi akan meningkatkan sel Th1 dalam
memproduksi IFN Y, sehingga aktifitas sel B akan terhambat dan
selanjutnya pembentukan IgE akan tertahan. Selain itu imunoterapi akan
menurunkan produksi molekul inflamasi seperti L-4,IL-5,PAF, ICAM 1
dan akumulasi sel eosinofil.(16)
j. Komplikasi
Terdapat beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada penederita
rhinitis alergi bila tidak dilakukan penatalaksanaan secara benar, misalnya:
progresi menjadi eksaserbasi asthma, gangguan pertumbuhan fasial,
hyposmia, protrusi gigi seri, malocclusion, nasal polyps, efusi telinga tengah
(gangguan pendengaran), sinusitis, dan gangguan tidur.(17)
k. Prognosis
Secara umum, pasien dengan rinitis alergi tanpa komplikasi yang
respon dengan pengobatan memiliki prognosis baik dan jarang
menimbulkan keadaan yang membahayakan jiwa, selama tidak terjadi
komplikasi dan penyakit komorbid yang berat. Walau demikian, penyakit
ini dapat berdampak pada penurunan kualitas hidup yang signifikan bagi
pasien jika tidak terkontrol. Pada pasien yang diketahui alergi terhadap
serbuk sari maka kemungkinan rinitis pasien ini dapat terjadi musiman dan
bisa dihindari pemicunya. Perjalanan penyakit rinitis alergi dapat bertambah
berat pada usia dewasa muda dan tetap bertahan hingga dekade lima dan
enam. Setelah masa tersebut, gejala klinik akan jarang ditemukan karena
menurunnya sistem kekebalan tubuh.(18)
l. Edukasi
Pasien harus diberi pengetahuan tentang rinitis alergi, perjalanan
penyakit, dan tujuan penatalaksanaan. Penatalaksanaan medis bertujuan
untuk mengurangi gejala atau mengganggu kerja sistem imun untuk
mengurangi hipersensitivitas, atau keduanya. Selain itu, pasien juga harus
diberikan informasi mengenai keuntungan dan efek samping yang mungkin
terjadi untuk mencegah ekspektasi yang salah dan meningkatkan kepatuhan
pasien terhadap obat yag diresepkan. Menghindari alergen secara komplit
seperti dengan penggunaan nasal filter, yang dapat mencegah akses serbuk
sari ke dalam hidung, mengurangi gejala rinitis pada subjek yang alergi
terhadap serbuk sari.(19)
3. Rhinitis Vasomotor
a. Definisi
Gangguan vasomotor hidung adalah terdapatnya gangguan
fisiologik lapisan mukosa hidung yang disebabkan oleh bertambahnya
aktivitas parasimpatis. Rinitis vasomotor adalah gangguan pada mukosa
hidung yang ditandai dengan adanya edema yang persisten dan hipersekresi
kelenjar pada mukosa hidung apabila terpapar oleh iritan spesifik. Kelainan
ini merupakan keadaan yang non-infektif dan non-alergi. Rinitis vasomotor
disebut juga dengan vasomotor catarrh, vasomotor rinorrhea, nasal
vasomotor instability, non spesific allergic rhinitis, non - Ig E mediated
rhinitis atau intrinsic rhinitis.(20)
b. Etiologi
Pada penderita rhinitis vasomotor terjadi perubahan keseimbangan
dimana terjadi hipoaktivitas dari serat-serat saraf simpatis dan hiperaktivitas
dari serat-serat saraf parasimpatis. Hal ini dapat terjadi sebagai respon
terhadap kondisi lingkungan, seperti perubahan suhu atau kelembaban
relatif, bau (parfum atau bahan pembersih), asap tembakau, alkohol, gairah
seksual danfaktor emosional.
Kerusakan parah pada epitel pernapasan hidung yang terjadi pada
rhinitis vasomotor memungkinkan iritasi jalan napas dan agen lingkungan
lainnya dengan mudah mempengaruhi struktur subepitel, menyebabkan
peningkatan reaktivitas serat trigeminal aferen dan perekrutan refleks
visceral.
Efek sitotoksik dan sitostatik dari produksi NO yang berlebihan dan
stres oksidatif setelah pembentukan peroksinitrit mungkin memainkan
peran penting dalam gangguan epitel. Ekspresi iNOS dalam sel otot polos
sinus kavernosa tidak disertai dengan pembentukan peroksinitrit. Ini
mungkin menimbulkan hidung tersumbat yang ditemukan di rinitis
vasomotor.
Peneliti menemukan bahwa apa pun penyebab neurologis baik
penghambatan simpatis atau dominasi parasimpatis ataupun
ketidakseimbangan di antara keduannya, pengaruh akhir adalah efek dari
organel pembuluh darah, kelenjar epitel dan submukosa. Hiperskresi dari
sel goblet dan kelenjar submukosa yang mengandung sekresi serosa dan
mukus ditemukan pada 60% pasien kelompok penelitian. Pembuluh darah
submukosa melebar dengan hilangnya permukaan halus dan degenerasi
sitoplasma sel endotel karena cedera berulang pada pembuluh darah, lamina
basal menjadi lebih tebal. Degenerasi ditunjukan dengan dilatasi retikulum
endoplasma perinucliolar hallows.(21)
c. Patofisiologi
Beberapa patofisiologi rhinitis vasomotor adalah:(22)
1. Neurogenic (disfungsi system otonom)
Serabut simpatis hidung berasal dari korda spinalis segmen Th
1-2, menginervasi terutama pembuluh darah mukosa dan sebagian
kelenjar. Serabut simpatis melepaskan ko-transmiter noradrenalin dan
neuropeptide Y yang menyebabkan vasokonstriksi dan penurunan
sekresi hidung. Tonus simpatis ini berfluktuasi sepanjang hari yang
menyebabkan adanya peningkatan tahanan rongga hidung yang
bergantian setiap 2-4 jam. Keadaan ini disebut sebagai “siklus nasi”.
Dengan adanya siklus ini, seseorang akan mampu untuk dapat bernafas
dengan normal melalui rongga hidung yang berubah-ubah luasnya.
Serabut saraf parasimpatis berasal dari nucleus salivatori
superior menuju gangkion sfenopalatina dan membentuk N.vidianus,
kemudian menginervasi pembuluh darah dan terutama kelenjar
eksokrin. Pada rangsangan akan terjadi pelepasan ko-transmiter
asetilkolin dan vasoaktif intestinal peptide yang menyebabkan
peningkatan sekresi hidung dan vasodilatasim, sehingga terjadi kongesti
hidung.
Bagaimana tepatnya saraf otonom ini bekerja belum diketahui
secara pasti, tetapi mungkin hipotalamus bertindak sebagai pusat
penerima impuls eferen, termasuk rangsang emosional dari pusat yang
lebih tinggi. Dalam keadaan hidung normal, persarafan simpatis lebih
dominan. Rhinitis vasomotor diduga sebagai akibat dari
ketidakseimbangan impuls saraf otonom di mukosa hidung yang berupa
bertambahnya aktivitas system parasimpatis.
2. Neuropeptide
Pada mekanisme ini terjadi disfungsi hidung yang diakibatkan oleh
meningkatnya rangsangan terhadap saraf sensoris serabut C di hidung.
Adanya rangsangan abnormal saraf sensoris ini akan diikuti dengan
peningkatan pelepasan neuropeptide seperti substansi P dan calcitonin
gene-related substance P yang menyebabkan peningkatan pemeabilitas
vascular dan sekresi kelenjar. Keadaan ini menerangkan terjadinya
peningkatan respon pada hipereaktifitas hidung.
3. Nitrite oxide (NO)
Kadar NO yang tinggi dan persisten di lapisan epitel hidung dapat
menyebabkan terjadinya kerusakan ataunekrosis epitel, sehingga
rangsangan non-spesifik berinteraksi langsung ke lapisan sub epitel.
Akibatnya terjadi peningkatan reaktifitas serabut trigeminal dan
recruitment refleks vascular dan kelenjar mukosa hidung.
4. Trauma
Rhinitis vasomotor dapat merupakan komplikasi jangka panjang dari
trauma hidung melalui mekanisme neurogenic dan/atau neuropeptida.
d. Manifestasi Klinis
Gejala yang dijumpai pada rinitis vasomotor kadang-kadang sulit
dibedakan dengan rinitis alergi seperti hidung tersumbat dan rinore.
Rinore yang hebat dan bersifat mukus atau serous sering dijumpai.
Gejala hidung tersumbat sangat bervariasi yang dapat bergantian dari
satu sisi ke sisi yang lain, terutama sewaktu perubahan posisi. Keluhan
bersin-bersin tidak begitu nyata bila dibandingkan dengan rinitis alergi dan
tidak terdapat rasa gatal di hidung dan mata. Gejala dapat memburuk
pada pagi hari waktu bangun tidur oleh karena adanya perubahan suhu
yang ekstrim, udara lembab, dan juga oleh karena asap rokok
dan sebagainya. Selain itu juga dapat dijumpai keluhan adanya ingus
yang jatuh ke tenggorok ( post nasal drip).
Berdasarkan gejala yang menonjol, rinitis vasomotor dibedakan
dalam 2 golongan, yaitu golongan obstruksi ( blockers ) dan
golongan rinore ( runners / sneezers ). Prognosis pengobatan golongan
obstruksi lebih baik daripada golongan rinore. Oleh karena golongan
rinore sangat mirip dengan rinitis alergi, perlu anamnesis dan
pemeriksaan yang teliti untuk memastikan diagnosisnya.(23,24,25,26)
e. Diagnosis
Dalam anamnesis dicari faktor yang mempengaruhi keseimbangan
vasomotor dan disingkirkan kemungkinan rinitis alergi. Biasanya penderita
tidak mempunyai riwayat alergi dalam keluarganya dan keluhan dimulai
pada usia dewasa. Beberapa pasien hanya mengeluhkan gejala sebagai
respon terhadap paparan zat iritan tertentu tetapi tidak mempunyai keluhan
apabila tidak terpapar.
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior tampak gambaran klasik
berupa edema mukosa hidung, konka hipertrofi dan berwarna merah gelap
atau merah tua ( karakteristik ), tetapi dapat juga dijumpai berwarna pucat.
Permukaan konka dapat licin atau berbenjol ( tidak rata ). Pada rongga
hidung terdapat sekret mukoid, biasanya sedikit. Akan tetapi pada golongan
rinore, sekret yang ditemukan bersifat serosa dengan jumlah yang banyak.
Pada rinoskopi posterior dapat dijumpai post nasal drip.
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan rinitis alergi. Test kulit ( skin test ) biasanya negatif, demikian
pula test RAST, serta kadar IgE total dalam batas normal. Kadang- kadang
ditemukan juga eosinofil pada sekret hidung, akan tetapi dalam jumlah yang
sedikit. Infeksi sering menyertai yang ditandai dengan adanya sel neutrofil
dalam sekret. Pemeriksaan radiologik sinus memperlihatkan mukosa yang
edema dan mungkin tampak gambaran cairan dalam sinus apabila sinus
telah terlibat.(27)
f. Tatalaksana
Pengobatan rinitis vasomotor bervariasi, tergantung kepada faktor
penyebab dan gejala yang menonjol. Secara garis besar, pengobatan dibagi
dalam:(28,29,30,31)
1. Menghindari penyebab / pencetus (Avoidance therapy)
2. Pengobatan konservatif ( Farmakoterapi ) :
-Dekongestan atau obat simpatomimetik digunakan untuk
mengurangi keluhan hidung tersumbat. Contohnya:
Pseudoephedrine dan Phenylpropanolamine (oral) serta
Phenylephrine dan Oxymetazoline (semprot hidung).
- Anti histamin : paling baik untuk golongan rinore.
- Kortikosteroid topikal mengurangi keluhan hidung tersumbat,
rinore dan bersin-bersin dengan menekan respon inflamasi lokal
yang disebabkan oleh mediator vasoaktif. Biasanya digunakan
paling sedikit selama 1 atau 2 minggu sebelum dicapai hasil yang
memuaskan. Contoh steroid topikal : Budesonide, Fluticasone,
Flunisolide atau Beclomethasone
- Anti kolinergik juga efektif pada pasien dengan rinore sebagai
keluhan utamanya. Contoh : Ipratropium bromide (nasal spray)
3. Terapi operatif ( dilakukan bila pengobatan konservatif gagal ) :
- Kauterisasi konka yang hipertrofi dengan larutan AgNO3 25%
atau triklorasetat pekat (chemical cautery) maupun secara elektrik
(electrical cautery).
- Diatermi submukosa konka inferior (submucosal diathermy of
the inferior turbinate)
- Bedah beku konka inferior (cryosurgery)
- Reseksi konka parsial atau total (partial or total turbinate
resection)
- Turbinektomi dengan laser (laser turbinectomy)
- Neurektomi n. vidianus (vidian neurectomy), yaitu dengan
melakukan pemotongan pada n. vidianus, bila dengan cara diatas
tidak memberikan hasil. Operasi sebaiknya dilakukan pada pasien
dengan keluhan rinore yang hebat. Terapi ini sulit dilakukan,
dengan angka kekambuhan yang cukup tinggi dan dapat
menimbulkan berbagai komplikasi
4. Fisiologi Bersin
Refleks bersin mirip dengan refleks batuk, hanya refleks bersin tejadi di
saluran hidung, bukan pada saluran nafas bagian bawah. Rangsang yang
memulai refleks bersin adalah iritasi pada saluran hidung, impuls aferennya
berjalan di dalam saraf maksilaris ke medulla oblongata dimana refleks ini
digerakkan. Terjadi serangkaian reaksi yang mirip dengan yang terjadi pada
refleks batuk, di sini uvula tertekan sehingga sejumlah besar udara mengalir
dengan cepat melalui hidung dan mulut, sehingga membersihkan saluran hidung
dari benda asing. Berikut rangkaian reaksi yang terjadi pada refleks bersin: (32)
- Mula-mula 2,5 liter udara dihirup.
- Kemudian epiglottis menutup, dan pita suara menutup dengan erat-erat
untuk menjerat udara di dalam paru-paru.
- Otot perut berkontraksi dengan kuat, yang mendorong diafragma, begitu
juga otot ekspirasi berkontraksi kuat, sehingga tekanan di dalam paru-paru
meningkat menjadi setinggi 100 mm Hg atau lebih.
- Pita suara dan epiglottis tiba-tiba terbuka lebar sehingga udara bertekanan
tinggi di dalam paru-paru ‘meletus’ ke luar. Kecepatan udara ini bisa 75–
100 mil/jam. Udara yang mengalir cepat ini akan membawa serta benda
asing apapun yang ada di dalam bronkus dan trakea.
5. Patofisiologi
a. Hidung terasa gatal
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi,
makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji akan menangkap
alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses,
antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung dengan
molekul HLA kelas II membentuk peptida MHC (Mayor Histocompatibiliry
Complex) kelas II, yang kemudian dipresentasikan pada sel T-helper (Th 0).
Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-l) yang
akan mengaktikan Th 0 untuk berproliferasi menjadi Th I dan Th 2.
Kemudian Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4,IL,5
dan IL-13. IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel
limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi
imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan
diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel
mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. proses ini disebut sensitisasi
yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi.
Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang
sama maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi
degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat
terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk, terutama histamin. selain
histamin juga dikeluarkan prostaglandin leukotrin D4, leukotrin c4,
brakinin, platelet activating factor dan berbagai sitokin Inilah yang disebut
reaksi alergi fase cepat. Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung
vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-
bersin.(33)
b. Pilek encer jernih
Apabila mukosa rongga hidung yang tersensitisasi terpapar dengan
alergen, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan
terjadilah degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dan
menyebabkan pelepasan mediator kimia sebagai respon, terutama histamin.
Selain histamin, mediator lainnya yang juga dihasilkan adalah
prostaglandin, leukotrin D4, leukotrin c4, bradikinin, platelet activating
factor dan berbagai sitokin. Inilah yang menyebabkan reaksi alergi fase
cepat. Histamin akan merangsang reseptor Hl pada ujung vidianus sehingga
menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga
menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan
permeabiltas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore.(34)
c. Hidung tersumbat
Pada fase kedua patofisiologi rhinitis alergi yaitu fase elisitasi,
dimana terjadi paparan ulang, timbul banyak ikatan molekul IgE pada FcεR
di permukaan sel mast dengan alergen dan selanjutnya terjadi bridging.
Proses ini menyebabkan terjadinya penglepasan beberapa mediator.
Mediator kimia yang dilepaskan menyebabkan reaksi alergi fase segera
(RAFS) yang timbul 10-20 menit setelah paparan. Mediator yang berperan
adalah preformed mediator, diantaranya: histamin, tryptase, bradikinin.
Histamin akan menyebabkan gejala hidung tersumbat karena menyebabkan
vasodilatasi pembuluh darah sehingga terjadi transudasi ke interstisial yang
mengakibatkan mukosa hidung, terutama konka, menjadi edema.(35,36)
Kongesti hidung adalah persepsi berkurangnya aliran udara hidung
atau sensasi rasa penuh pada wajah, mencakup berbagai mekanisme yang
mendasarinya. Inflamasi mukosa termasuk edema jaringan, eksudasi
plasma dan vasodilatasi terjadi akibat kontribusi mediator inflamasi dan
neurogenik. Inflamasi mukosa adalah mekanisme patofisiologi utama pada
kongesti hidung termasuk peningkatan pelebaran vena, peningkatan sekresi
dan edema jaringan, dan selanjutnya akan menyempitkan pasase hidung
melalui terjadinya vasodilatasi, peningkatan aliran darah dan peningkatan
permeabilitas vaskuler. Dampaknya adalah pelebaran vena sinusoid hidung,
edema bagian anterior konka inferior dan hambatan aliran udara hidung,
yang akan mengakibatkan terjadinya keluhan hidung tersumbat, hidung
buntu atau hidung mampet.(37)
d. Gangguan penghidu
Gangguan penghidu pada rinosinusitis kronik atau rinitis alergi
berupa gangguan penghidu konduktif dan sensoris. Gangguan penghidu
konduktif terjadi karena proses inflamasi dari saluran nafas yang
menyebabkan berkurangnya aliran udara dan odoran yang sampai ke
neuroepitel olfaktorius. Proses inflamasi pada neuroepitel olfaktorius
menghasilkan mediator inflamasi yang merangsang hipersekresi dari
kelenjar Bowman‟s, yang akan mengubah konsentrasi ion pada mukus
olfaktorius, sehingga mengganggu hantaran odoran. Gangguan penghidu
sensoris disebabkan pelepasan mediator inflamasi oleh limfosit, makrofag,
dan eosinofil, yang bersifat toksik terhadap reseptor neuroepitel olfaktorius
sehingga menyebabkan kerusakan neuroepitel olfaktorius.(38,39)
6. Mengapa pasien bisa bersin beruntun > 5x?
Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang
sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi
degranulasi mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang
sudah terbentuk (preformed mediators) terutama histamin. Histamin akan
merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa
gatal pada hidung dan bersin-bersin. Gejala rinitis alergi yang khas ialah
terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang
normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar
debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan
sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih
dari 5 kali setiap serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin. Disebut juga
sebagai bersin patologis.(40,41,42)
7. Mengapa keluhan muncul setelah pasien berusia 20 tahun?
Onset dari rhinitis alergi dapat terjadi pada masa kanak-kanak, remaja,
dan dewasa awal dengan usia rata-rata onset 8-11 tahun, tetapi rhinitis alergi
dapat terjadi pada orang dari segala usia. Dalam 80% kasus, rhinitis alergi
berkembang pada usia 20 tahun.(43)
8. Mengapa keluhan muncul terutama pada pagi hari dan malam hari?
Orang yang memiliki alergi terhadap tungau debu banyak bersin, dan
memiliki hidung yang berair atau tersumbat. Jika gejalanya lebih parah, mereka
mungkin juga merasa lemah dan lelah. Mata mereka mungkin berair dan gatal,
dan kelopak matanya bengkak. Gejala seperti asma seperti batuk, mengi dan
sesak napas juga dapat terjadi.
Alergi tungau debu biasanya menyebabkan gejala yang lebih ringan
daripada alergi serbuk bunga kering (alergi serbuk sari). Tapi mereka terjadi
sepanjang tahun, sedangkan demam adalah musiman. Gejalanya biasanya lebih
buruk di malam hari dan di pagi hari karena tungau debu cenderung hidup di
kasur, bantal dan tempat tidur.(44)
Biasanya alergi muncul di pagi hari karena berbagai alasan. Yang
pertama adalah bahwa orang dapat terpapar alergen yang umum di malam hari
saat mereka tidur, dan gejala pagi hari mungkin merupakan cerminan dari
paparan malam hari. Jumlah serbuk sari sering kali paling tinggi pada pagi hari.
Pada orang yang alergi terhadap serbuk sari, ini bisa menjadi waktu ketika gejala
muncul paling kuat, terutama jika Anda berada di luar ruangan atau di sekitar
jendela yang terbuka.(45)
9. Pemeriksaan fisik pada hidung
Pemeriksaan hidung meliputi pemeriksaan morfologi, pemeriksaan
fungsi hidung, dan pemeriksaan sinus paranasal. Alat-alat yang diperlukan pada
pemeriksaan hidung antara lain lampu kepala, speculum hidung, spatel lidah,
kaca hidung, pinset.(46)
1) Pemeriksaan morfologi
c. Pemeriksaan umum
Inspeksi:
1. Bentuk hidung dari luar (apakah terdapat cacat bawaan, trauma
atau tumor)
2. Warna hidung (kemerahan pada infeksi atau hematom)
3. Pembengkakan (furunkel, trauma, atau emfisema)
Palpasi
1. Apakah terdapat nyeri tekan sinus paranasal atau pada keluarnya
N.V
2. Puncak hidung apakah terdapat septum subluksasi
d. Rinoskopi anterior
Cara melakukan:
1. Speculum hidung dipegang dengan tangan kiri
2. Tangan kanan memegang kepala penderita
3. Lubang hidung kanan dan kiri dibuka secara bergantian
4. Perhatikan dan nilai konka inferior, konka media, cairan hidung,
nanah, warna mukosa, pembengkakan mukosa, septum hidung,
polip, tumor, dan lain-lain.
Bila terdapat pembengkakan mukosa sehingga menghalangi
mukosa, dipakai obat anestesi local yang ditambah
vasokonstriktor (adrenalin) yang diaplikasikan ke hidung
dengan kapas. Dengan demikian mukosa akan mengecil dan
pemeriksaan tidak terganggu lagi.
e. Rinoskopi posterior
Rinoskopi posterior adalah melihat hidung bagian belakang secara
tidak langsung melalui bayangan yang ada di cermin
Cara melakukan:
1. Tangan kanan memegang kaca mulut dan tangan kiri memegang
spatel lidah
2. Spatel lidah ditekan pada 2/3 bagian dorsum lidah
3. Kaca mulut dimasukkan secara perlahan hingga terlihat
bayangan hidung bagian belakang (jangan sampai menyentuh
dinding posterior faring)
4. Dengan perlahan-lahan, miringkan kaca mulut dari kanan ke kiri
5. Selama pemeriksaan, lidah dijaga agar tetap berada di dalam
mulut dan pasien disuruh bernafas dengan hidung
f. Palpasi
Pemeriksaan ini dilakukan bila kita menduga adanya pembesaran
adenoid atau ada sangkaan tumor dengan rinoskopi posterior tidak
jelas.
Cara melakukan:
Jari telunjuk dimasukkan lewat mulut untuk meraba apakah ada
adenoid atau tumor di nasofaring.
2) Pemeriksaan fungsi hidung
a. Pemeriksaan fungsi udara hidung
1. Metode kualitatif
Perhatikan cuping hidung pada waktu inspirasi dan ekspirasi.
Dengan kaca atau spatel lidah yang diletakkan di depan lubang
hidung, aka nada penyemburan udara atau bercak pada kaca atau
logam, kemudian dibandingkan antara kanan dan kiri.
2. Metode kualitatif
Digunakan rinomanometer yang mampu mengukur tekanan
pada rongga hidung dan nasofaring waktu isnpirasi dan waktu
ekspirasi yang dicatat secara otomatis. Dengan demikian akan
diketahui hidung sebelah mana yang mengalami gangguan.
b. Pemeriksaan fungsi pembau
1. Metode kualitatif
Cara melakukan:
a) Di depan lubang diberi bahan pembau misalnya vanili, teh,
kopi,, tembakau, dsb.
b) Bahan pembau yang mengandung komponen trigeminus
misalnya mentol, formalin, kapur barus tidak dipergunakan.
c) Pada tes kualitatif ini ditemukan apakah terdapat anosmis,
hiposmia, atau parosmia.
2. Metode kuantitatif
Dengan menggunakan olfaktometri untuk menentukan
gangguan pembau yang absolut dan relative. Olfaktometri yang
objektif menggunakan computer elektroensefalogram.
Sebab gangguan pernafasan:
a. Subluksasi konka, septum deviasi, atau kelainan bentuk
septum yang lain
b. Konka yang membengkak, misalnya pada rhinitis akut,
rhinitis kronik, rhinitis vasomotor, rhinitis alergi
c. Secret kental dan benda asing
d. Tumor hidung atau tumor sinus paranasal
e. Adenoid yang membesar atau tumor nasofaring
f. Sinekia atau atresia
g. Kelainan bentuk hidung luar
Sebab gangguan pembauan:
a. Gangguan pernafasan hidung
b. Toksin yang merusak sel epitel atau fila olfaktoria karena
virus atau bahan kimia
c. Trauma yang merusak vili olfaktoria pada fraktur dasar
tengkorak
d. Gangguan pusat pada kontusio serebri atau tumor otak
3. Pemeriksaan sinus paranasal
a. Inspeksi
Apakah terdpaat pembengkakan pada daerah sinus maksila
atau sinus frontal. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior dan
posterior mungkin akan terlihat nanah atau polip pada
meatus media.
b. Palpasi
Dilakukan penekanan pada daerah sinus maksila atau sinus
frontal apakh terdapat nyeri tekan
c. Diafanoskopi atau transluminasi
Untuk sinus maksila, lampu dimasukkan ke mulut dan
digeser ke kanan atau kiri. Pada sinus maksila yang normal
atau baik, maka akan terlihat cahaya terang pada pipil, di
bawah mata berbentuk bulan sabit pada pipi.
Untuk sinus frontal, ujung lampu ditekan pada epikantes, di
bawah tulang dahi, maka akan terlihat warna terang pada
daerah dahi bawah. Kemudian bandingkan antara kanan dan
kiri. Pada orang normal akan tampak terang.
d. Sinoskopi atau antroskopi
Sinoskopi adalah melihat secara langsung sinus dengan
memakai endoskop atau alat penggantinya. Sinoskopi
berguna untuk diagnostic dan terapi. Cara sinoskopi ada 2
maca yaitu melalui meatus inferior (intranasal) dan melalui
fossa kanina.
10. Mengapa keluhan pasien kambuh lagi setelah berobat?
Di negara tropis, alergen utamanya adalah debu rumah dan serpihan kulit
serangga/ tungau antara lain Dermatophagoides pteronysinus dan farinae yang
hidup pada debu rumah., karpet, kasur, kapuk, selimut, tumpukan pakaian dan
buku lama. Disarnping ifu terdapat partikel alergen lain yang menempel pada
debu rumah misalnya kotoran kecoa, selpihan bulu kucing dan anjing yang juga
berperan aktif. Rhinitis alergi akan kambuh jika terkena allergen. Farmakoterapi
hanya mengurangi simtomatik.(47)
11. Perbedaan suhu dan konsentrasi debu berapakah yang memicu keluhan?
Partikel yang terdapat di dalam ruang kerja seperti hasil pembakaran dari
merokok, debu dari pakaian, kertas dan karpet, serat asbes dari bahan bangunan,
serta fiberglass yang terdapat dalam saluran pipa AC. Secara umum dalam
konsentrasi yang berlebihan dapat menyebabkan reaksi alergi seperti mata
kering, iritsi hidung, iritasi tenggorokan iritasi kulit, batuk, dan sesak nafas. Pada
gedung perkantoran rata-rata partikel debu dalam ruangan tidak merokok adalah
10 μg/m3, sedangkan pada ruang merokok berkisar antara 30–100 μg/m3.1 Suhu
yang terlalu dingin (kurang dari 20°C) dapat menyebabkan beberapa keluhan
seperti, kesemutan, leher atau tengkuk terasa kaku, dan hidung tersumbat.
Semakin dingin suhu ruang, berarti semakin banyak uap air yang dikeluarkan
dari ruangan. Akibatnya kelembapan udara menjadi rendah dan dalam jangka
waktu tertentu akan membuat kondisi tubuh tidak nyaman.(48)
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1405/MENKES/SK/XI/2002 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja
Perkantoran dan Industri menetapkan bahwa suhu ideal dalam ruang berkisar
antara 18–28°C, apabila hal ini tidak terpenuhi kemungkinan besar akan terjadi
keluhan kesehatan bagi pengguna ruangan. (49)
BAB III

KESIMPULAN

1.1 Kesimpulan
Perempuan 22 tahun mengalami rhinitis alergi persisten
DAFTAR PUSTAKA

1. Adams GL, Boies LR, Higler PA, editors. Buku Ajar Penyakit THT. 6th ed.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2014.
2. Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. 6th ed. Jakarta: EGC;. 2012.
3. Mescher, A. L. Junqueira's Basic Histology: Text and Atlas. Mcgraw-hill,
2013.
4. Tortora GJ, Derrickson B. Principles of Anatomy and Physiology. Ed ke-12.
USA: John Wiley & Sons. 2009.
5. Guyton AC, Hall JE. Textbook of Medical Physiology. Ed ke-11. Philadelphia:
Saunders Elsevier. 2006
6. Rafi, M., Adnan, A., dan Masdar, H. Gambaran Rinitis Alergi pada Mahasiswa
Fakultas Kedokteran Universitas Riau Angkatan 2013-2014. Jurnal Online
Mahasiswa (JOM) Bidang Kedokteran, 2015; 2(1):1-11.
7. Adams GL, Boies LR, Higler PA(2012). Boies : Buku ajar penyakit
THT. Jakarta :EGC
8. Sumarman I. Patofisiologi dan prosedrn diagnostik rinitis alergi. disampaikan
pada simposium current &. Future Approach in The Treatmer.t of Allergic R-
initjs, Jakarta 2001: l-24.
9. Irawati N. Panduan Penatalaksanaan Terkini Rinitis Alergi, Dalam :
Kumpulan Makalah Simposium “Current Opinion In Allergy andClinical
Immunology”, Divisi Alergi- Imunologi Klinik FK UI/RSUPN-CM,
Jakarta. 2002: 55-65.
10. ARIA -World Healt h organisation init iative, allergic rhinitis and its impact on
asthma. J allergy clinical immunology : S147-S276.
11. Becker W, Naumann HH, Pfaltz CR. Clinical Aspects of Diseases of the
Nose, Sinuses, and Faces, In : Buckingham RA, ed, Ear, Nose, and Throat
Diseases, A pocket Reference, Second revised edition , Thieme Medical
Publishers Inc, New York, 1994, pp.208-10
12. Carren, J. Allergic Rhinitis : Treating The Adult J. Allergyclin. 2000;105
13. Bousquet J. cauwenberge P. Khaltaev N, Bachert c, Durham sR, Lund v,
Mygind N dkk. Who initiative allergic rhinitis and its impact on asthma (
ARLA) 2000: t-132
14. Fireman P. H:erapeutis arproach to allergic rhinitis: treating the child. J. allergy
clin.immuno. 2000 :1 05;S Gt6-21.
15. Akib MP. Perjalanan alamiah penyakit alergi dan upaya pencegahannya.
Dalam : Akib MP, Tumbelaka AR, Matondang cs. ( Editor ). pendekatan
imunologis berbagai penyakit alergi - infeksi. Naskah Lengkap pKB IKA
XLIV Jakarta. Balai Penerbit FKUI 2001 :t t7 - 29.
16. Ghanie, A. Penatalaksaan Rhinitis Alergi Terkini. 2010. [Ciitized 28 February
2019 http://eprints.unsri.ac.id/id/eprint/876]
17. Sibuea, SM. Suprihati, S. Faktor–Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian
Rinosinusitis Pada Penderita Rinitis Alergi . Doctoral dissertation, Faculty of
Medicine University Diponegoro. 2013.
18. Brozek JL. Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA) guidelines-2016
revision. 2017.
19. Greiner AN, Hellings PW, Rotiroti G, Scadding GK. Allergic rhinitis. Lancet.
2011;378(9809):2112-22. DOI: 10.1016/S0140-6736(11)60130-X.
20. Elise K. Rinitis Vasomotor. Dalam : Soepardi EA, Nurbaiti Iskandar, Ed. Buku
Ajar Ilmu Penyakit THT. Edisi ke-3. Jakarta : Balai Penerbit FK UI. 1997. h.
107 – 8.
21. Amin, H; Sief, EI; Badee, S; Mohammed, T and Kadah, S. A Deeper View in
the Pathogenesis of Vasomotor Rhinitis. J Am Sci, 2013; 9(10): 115-9.
22. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Telinga, Hidung,
Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi Ketujuh. Jakarta: Badan Penerbit FKUI;
2014.
23. Elise Kasakeyan. Rinitis Vasomotor. Dalam : Soepardi EA, Nurbaiti Iskandar,
Ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit THT. Edisi ke-3. Jakarta : Balai Penerbit FK UI,
1997. h. 107 – 8.
24. Cody DTR, Kern EB, Pearson BW. Penyakit Telinga, Hidung dan
Tenggorokan, EGC, Jakarta, 1986, h. 183 – 8.
25. Bernstein JM. Peran Hipersensitivitas Dengan Perantaraan Ig E Pada Otitis
Media dan Rinitis. Dalam : Ballenger JJ, Ed.Penyakit THT Kepala & Leher,
Jilid 1, Edisi ke –13. Jakarta : Binarupa Aksara, 1994 . h. 176 – 9.
26. Becker W, Naumann H H, Pfaltz C R. Ear, Nose, and Throat Diseases A
Pocket Reference. 2nd ed. New York : Thieme Medical Publishers Inc, 1994.
p. 210-3.
27. Elise Kasakeyan. Rinitis Vasomotor. Dalam : Soepardi EA, Nurbaiti Iskandar,
Ed. Buku ajar ilmu penyakit THT. Edisi ke-3. Balai Penerbit FK UI, Jakarta;
1997. h. 107 – 8.
28. Elise Kasakeyan. Rinitis Vasomotor. Dalam : Soepardi EA, Nurbaiti Iskandar,
Ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit THT. Edisi ke-3. Jakarta : Balai Penerbit FK UI,
1997.
29. Kopke RD, Jackson RL. Rhinitis. Dalam : Byron J, Bailey JB,Ed.
Otolaryngology Head and Neck Surgery. Philadelphia: Lippincott Comp,
1993.p. 269 – 87.
30. Jones AS. Intrinsic rhinitis. Dalam : Mackay IS, Bull TR, Ed. Rhinology. Scott-
Brown’s Otolaryngology. 6th ed. London : Butterworth-Heinemann, 1997.
31. Groves J, Gray RF. A Synopsis of Otolaryngology. 4th ed. Great Britain : John
Wright & Sons Ltd, 1985
32. Muluk, Abdul. Pertahanan saluran nafas. Majalah Kesehatan Nusantara. 2009
; 42(1) : 55-58.
33. Sumarman I. Patofisiologi dan Prosedur Diagnostik Rinitis Alergi. Current &
Future Approach in The Treatmennt of Allergic Rhinitis. Jakarta. 2001: 1-24.
34. Fireman P. H:erapeutis Arproach to Allergic Rhinitis: Treating The child. J.
Allergy Clin.Immuno. 2000
35. Wigiyatmi, Ratna Setyo. Efek Terapi Vaksinasi BCG Terhadap Perubahan
Kadar IgG Total Dan Perbaikan Gejala Klinik Pada Rinitis Alergi. PhD Thesis.
Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro. 206.
36. Mantu, Billy G.; Wahongan, Greta J.; Bernadus, Janno B. Hubungan
Kepadatan Tungau Debu Rumah Dengan Derajat Rinitis Alergi. Jurnal E-
Biomedik, 2016, 4.1.
37. Wicaksana, Dhaniel Abdi; Suheryanto, Rus; Maharani, Iriana. Peran β-glucan
dalam diagnosis rinosinusitis kronik jamur. Oto Rhino Laryngologica
Indonesiana, 2018, 48.1: 34-45.
38. Raviv JR, Kern RC. Chronic Rhinosinusitis and olfactory dysfunction. Dalam:
Hummel T, Lussen AW. Taste and smell. Vol 63. Switzerland: Karger; 2006
39. Wrobel BB, Leopold DA. Olfactory and sensory attributes of the nose.
Otolaryngol Clin N Am 2005;38(6):1163-70.
40. Rafi, M., Adnan, A., dan Masdar, H. Gambaran Rinitis Alergi pada Mahasiswa
Fakultas Kedokteran Universitas Riau Angkatan 2013-2014. Jurnal Online
Mahasiswa (JOM) Bidang Kedokteran, 2015; 2(1):1-11.
41. Fitria, N. Description of Particulate Matter2, 5 with Library Worker’s Health
Complaint in Campus B Universitas Airlangga. Jurnal Kesehatan
Lingkungan, 2016; 8(2), 206-18.
42. Selvianti and Pawarti, DR. Anti Imunoglobulin E (Omalizumab) Pada Terapi
Rinitis Alergi. Jurnal THT-KL, 2009; 2(2):95-105.
43. Sheikh J. Allergic Rhinitis [Internet]. [updated on 26 December 2018; cited on
1 March 2019]. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/134825-overview#a1.
44. Informed Health Online [Internet]. Dust mite allergies: Overview. Cologne,
Germany: Institute for Quality and Efficiency in Health Care (IQWiG); 2006.
[updated on 2017 Jul 13]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK447098/
45. American College of Allergy, Asthma & Immunology [Internet]. Why do my
allergies only seem to bother me in the morning? 2014. [Cited on 28/2/2019].
Available from https://acaai.org/resources/connect/ask-allergist/why-do-my-
allergies-only-seem-bother-me-morning
46. Irwan AG, Sugianto. Atlas Berwarna Teknik Pemeriksaan Kelainan Telinga
Hidung Tenggorok. Jakarta: EGC; 2007.
47. Cauwenberge PV, Bachert C, Passalaqua GJ, Durham SR, Mygind N, scadding
GK. consensus statement en The Treatment of Allergic Rhinitis. Allergy
2000:55;1t6
48. Arjani, I.A.M.S. Kualitas Udara dalam Ruang Kerja. Jurnal Skala Husada.
2011.:8(2).
49. Mukono, J. Pencemaran Udara dan Pengaruhnya Terhadap Gangguan Saluran
Pernapasan. Surabaya: Airlangga University Press. 1997.

Anda mungkin juga menyukai