Anda di halaman 1dari 17

TUGAS REFERAT

RINITIS ALERGI

OLEH :
MUHAMMAD IBNU NAZARI
I4061192071

PEMBIMBING:
dr. EVA NURFARIHAH, M. Kes, Sp.THT-KL

SMF ILMU TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROK


RSUD SULTAN SYARIF MOHAMAD ALKADRIE
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
TANJUNGPURA
PONTIANAK
2021
BAB I
PENDAHULUAN

Rinitis alergi merupakan penyakit hipersensitifitas yang diperantarai oleh


IgE pada mukosa hidung. Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact
on Asthma) rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin,
rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang
diperantarai oleh IgE. Penyebab rinitis alergi dapat masuk ke tubuh melalui
berbagai macam cara, yaitu secara inhalasi, injeksi, tertelan atau kontak langsung
dengan permukaan kulit.1
Studi terbaru menunjukkan bahwa prevalensi rinitis alergi telah
meningkat.1 Prevalensi rinitis alergi yang dilaporkan diperkirakan sekitar 40%
pada anak-anak dan 10-30% pada dewasa dengan prevalensi terbesar pada usia
15-30 tahun. Peningkatan prevalensi rhinitis alergi yang terus terjadi dapat
menjadi suatu beban ekonomi yang berat karena pada umumnya pasien dengan
rhinitis alergi akan mengalami gangguan dalam menjalankan aktivitasnya dan
penurunan kualitas hidup.2,3
Gejala klasik rinitis alergi adalah gatal hidung, bersin, rinore, dan hidung
tersumbat. gejala okular juga sering terjadi [rino-konjungtivitis; alergi
berhubungan dengan gatal dan kemerahan pada mata]. Gejala lain termasuk gatal
pada langit-langit mulut, postnasal drip, dan batuk. Rinitis alergi juga sering
dikaitkan dengan asma yang ditemukan pada 15% hingga 38% pasien dengan
rinitis alergi .4,5 rinitis alergi sedang-berat yang tidak terkontrol dapat
mempengaruhi kontrol asma.6
Rinitis alergi mengurangi kualitas hidup banyak pasien yang mengganggu
kualitas tidur fungsi kognitif, menyebabkan iritabilitas dan kelelahan. Rinitis
alergi dikaitkan dengan penurunan kinerja di sekolah dan tempat kerja. Tujuan
terapi dari penyakit ini adalah menghambat proses patofisiologik yang
menyebabkan terjadinya inflamasi kronik alergik. Maka diperlukan suatu tahapan
penatalaksanaan yang bersifat holistik berupa edukasi, penghindaran terhadap
alergen dan farmakoterapi.1
BAB 2
ISI

2.1 Anatomi Hidung


Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau piramid hidung dan rongga
hidung dengan pendarahan serta persarafannya. Hidung luar berbentuk
piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah: 1) pangkal hidung
(bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung (tip), 4) ala nasi,
5) kolumela dan 6) lubang hidung (nares anterior).1
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang
dilapisi kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk
melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari
tulang hidung (os nasalis), prosesus frontalis os maksila dan prosesus nasalis
os frontal. Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari sepasang kartilago
nasalis lateralis superior, sepasang kartilago nasalis lateralis inferior
(kartilago ala mayor), beberapa pasang kartilago ala minor, dan tepi inferior
kartilago septum.1
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum
nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi di bagian depan
disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana)
yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Septum bagian luar
dilapisi oleh mukosa hidung. Bagian depan dinding hidung licin, yang disebut
ala nasi dan di belakangnya terdapat konka-konka yang mengisi sebagian
besar dinding lateral hidung.1
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka, dari yang terbesar sampai
yang terkecil adalah konka inferior, konka media, konka superior, dan konka
suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter.1
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit
yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu
meatus inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka
inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus
inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. , pada meatus media
terdapat muara sinus frontalis, sinus maksilaris, dan sinus etmoid anterior.
Sedangkan pada meatus superior bermuara sinus etmoid posterior dan sinus
sfenoid.1

Gambar 2.1 Gambar Anatomi Rongga hidung

Pendarahan hidung berasal dari a. maksilaris interna (bagian bawah


hidung), a. fasialis (bagian depan hidung). Bagian depan anastomosis dari
cabang a. sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior, dan a. palatina
mayor, membenuk suatu pleksus yang disebut pleksus Kieselbach. Pleksus
Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga
sering menjadi sumber epistaksis terutama pada anak. Vena-vena hidung
mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya,
vena-vena hidung juga membentuk pleksus yang luas di dalam submucosa.
Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor
predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial.1
Persarafan pada hidung bagian depan dan atas dipersarafi oleh saraf
sensoris n. etmoid anterior (cabang n. nasolakrimalis yang juga berasal dari n.
oftalmikus). Rongga hidung lainnya sebagian besar dipersarafi oleh saraf
sensoris n. maksila. melalui ganglion sfenopalatinum.1

Gambar 2.2 Anastomosis arteri yang membentuk Pleksus Kiesselbach


2.2 Fisiologi Hidung
Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka
fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah: 1) fungsi respirasi untuk
mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi,
penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal; 2)
fungsi penghidu, karena terdapanya mukosa olfaktorius (penciuman) dan
reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu; 3) fungsi fonetik yang
berguna untuk resonansi suara, membantu proses berbicara dan mencegah
hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang; 4) fungsi statik dan mekanik
untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung
panas; 5) refleks nasal.1
2.3 Definisi Rinitis Alergi
Von Pirquet mengdefinisikan rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang
disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah
tersensitasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator
kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut.1
Definisi rhinitis alergi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its
Impact on Asthma) pada tahun 2001 adalah suatu kelainan pada hidung
dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa
hidung terpapar alergen yang umumnya diperantarai oleh IgE.1

2.4 Epidemiologi Rinitis Alergi


Prevalensi rhinitis alergi semakin hari semakin meningkat di seluruh
dunia. Prevalensi rinitis alergi yang dilaporkan diperkirakan sekitar 40% pada
anak-anak dan 10-30% pada dewasa dengan prevalensi terbesar pada usia 15-
30 tahun.2 Di Asia Pasifik, prevalensi rhinitis alergi tinggi terutama pada
negara dengan pendapatan rendah dan menengah, yaitu sekitar 5-45%.
Dibandingkan dengan beberapa kondisi medis yang lain, rinitis alergi jarang
sekali menimbulkan masalah yang berat karena penyakit ini tidak
menimbulkan kejadian morbiditas dan mortalitas yang berat namun beban
biaya menjadi suatu hal yang penting pada kasus ini. Rinitis alergi akan
menurunkan kualitas hidup penderita, gangguan jumlah dan kualitas tidur,
fungsi kognitif sehingga pasien menjadi semakin lelah dan tidak dapat
menjalankan fungsinya, baik dalam pekerjaan atau sekolah.3

2.5 Etiologi dan Patofisiologi Rinitis Alergi


Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi
genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter
sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi. Penyebab rinitis alergi tersering
adalah alergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada anak-anak.2,3
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan
tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2
fase, yaitu Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak
dengan alergen sampai satu jam setelahnya dan Reaksi Alergi Fase Lambat
(RAFL) yang berlangsung 2 sampai 4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase
hiperreaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam. 1
Selain sensitisasi alergen dan reaksi alergi, ada beberapa proses yang juga
merupakan patofisiologi dari rinitis alergi, yaitu inflamasi neurogenik,
hiperresponsivitas nonspesifik.7
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, permukaan sel
mukosa hidung yang banyak mengandung Antigen Presenting Cell (APC),
seperti sel dendritik dan monosit akan mengenali alergen pencetus rinitis
alergi dan mengikat alergen tersebut menjadi suatu fragmen peptida yang
akan berikatan dengan HLA dan membentuk komplek peptida major
histocompability complex (MHC II). Kompleks MHC 2-antigen ini akan
berperan sebagai ligan untuk CD4 (ko-reseptor sel T helper 2 / Th2). Sel Th2
yang teraktivasi akan memproduksi sitokin untuk mengaktifkan sel B agar
memproduksi immunoglobulin E (IgE) pada sel mast dan basofil, serta
meningkatkan proliferasi eosinofil, sel mast dan neutrofil.7
Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama,
maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi
(pecah-nya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya
mediator kimia yang sudah terbentuk (Preformed Mediators) terutama
histamin. Ada dua kemungkinan reaksi alergi yang dapat muncul, yaitu reaksi
alergi tipe cepat dan tipe lambat. Reaksi alergi tipe cepat menimbulkan gejala
bersin dan hidung berair yang muncul dalam waktu tiga puluh menit setelah
terpapar alergen (sumber lain menyatakan berlangsung sejak kontak dengan
alergen) hingga sampai 1 jam setelahnya. Reaksi ini adalah reaksi
hipersensitivitas tipe 1. Sel Mast yang termediasi oleh alergen akan
mengeluarkan beberapa mediator kimia seperti histamin, prostaglandin dan
leukotrien. Mediator kimia inilah yang menyebabkan munculnya gejala
secara cepat.7
Reaksi alergi tipe lambat yaitu gejala yang timbul akibat sumbatan hidung.
Reaksi ini muncul melalui mekanisme kemotaksis eosinofil. Mekanisme
kemotaksis ini dimediasi oleh mediator kimia yang diproduksi pada reaksi
tipe cepat. Beberapa sel inflamasi seperti eosinofil, sel T, eosinofil akan
berpindah ke mukosa hidung dan menimbulkan kerusakan pada jaringan
normal yang pada akhirnya menimbulkan gejala obstruksi.7
Pada kejadian inflamasi neurogenik, epitel saluran nafas yang rusak dan
serat saraf sensori yang terpapar oleh protein sitotoksik dari eosinofil akan
merangsang pengeluaran neuropeptida seperti substans P dan neurokinin A.
Neuropeptida ini akan menginduksi kontraksi otot polos, sekresi mukus oleh
sel goblet dan eksudasi plasma kapiler sehingga terjadi inflamasi. Pada
kejadian hiperresponsivitas non spesifik, mekanisme ini menupakan hal yang
sering terjadi pada reaksi alergi dan bentuk respon lanjut dari alergi.  Infiltrasi
eosinofil dan kerusakan yang ditimbulkan oleh proses inflamasi pada mukosa
hidung akan membuat daerah tersebut lebih reaktif terhadap stimulus normal
dan memperberat gejala bersin, hidung berair, gatal pada hidung dan
obstruksi. Keadaan ini tidak diperankan oleh IgE namun sering dicetuskan
oleh stimulus nonspesifik seperti rokok, udara kering, atau cuaca dingin.7
Gambar 2.3 Patofisiologi alergi (rinitis, eczema, asma) paparan alergen
pertama dan selanjutnya

Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas:


1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya
tungau debu rumah (D. peronyssinus, D. farinae, B.tropicalis), kecoa, serpihan
epitel kulit binatang kucing, anjing), rerumputan (Bermuda grass) serta jamur
(Aspergillus, Altemaria).
2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya
susu, sapi, telur, coklat, ikanlaut, udang kepiting dan kacang-kacangan.
3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya
penisilin dan sengatan lebah.
4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan
mukosa, misalnya bahan kosmetik, perhiasan.
2.6 Manifestasi Klinis Rinitis Alergi
Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang.
Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau
bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan
mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self-cleaning
process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari 5 kali setiap
serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin. Disebut juga sebagai bersin
patologis. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak,
hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan
banyak air mata keluar (lakrimasi). Sering kali gejala yang timbul tidak
lengkap, terutama pada anak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat
merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh
pasien.1
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau
livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa
inferior tampak hipertrofi. Gejala spesifik lain ialah terdapatnya tanda-tanda
pasien alergi (sering terlihat pada anak), seperti bayangan gelap di daerah
bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung
yang disebut allergic shiner. Selain itu sering juga tampak anak menggosok-
gosok hidung, karena gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut
sebagai allergic salute. Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan akan
mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga
bawah yang disebut allergic crease. Kemudian dapat juga ditemui dinding
posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), dinding
lateral faring menebal, serta lidah tampak seperti gambaran peta (geographic
tongue).1
a b

Gambar 2.4. Allergic shiner (a) dan allergic crease (b)

2.7 Klasifikasi Rinitis Alergi3


Klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Initiative
ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu
berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi:
a. Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau
kurang dari 4 minggu.
b. Persisten (menetap): bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4
minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi
menjadi:
a. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
b. Sedang-berat, bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.

2.8 Diagnosis Rinitis Alergi


Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi
dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari
anamnesis saja. Pasien umumnya mengeluhkan gejala rinitis alergi yang
khas seperti terdapatnya serangan bersin berulang. Gejala lain ialah keluar
hingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata
gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar
(lakrimasi).1
Perlu ditanyakan pola gejala (hilang timbul, menetap) beserta onset
dan keparahannya, identifikasi faktor predisposisi karena faktor genetik
dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi, respon terhadap
pengobatan, kondisi lingkungan dan pekerjaan. Rinitis alergi dapat
ditegakkan berdasarkan anamnesis, bila terdapat 2 atau lebih gejala seperti
bersin-bersin lebih 5 kali setiap serangan, hidung dan mata gatal, ingus
encer lebih dari satu jam, hidung tersumbat, dan mata merah serta berair
maka dinyatakan diagnosis sudah bisa ditegakkan.1
2. Pemeriksaan Fisik
Pada muka sekitar mata biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan
dan allergic shinner, yaitu bayangan gelap di daerah bawah mata karena
stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Selain itu, dapat ditemukan
juga allergic crease. Pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan mukosa
hidung basah, berwarna pucat atau livid dengan konka edema dan sekret
yang encer dan banyak. Dapat juga ditemui dinding posterior faring
tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), dinding lateral
faring menebal, serta lidah tampak seperti gambaran peta (geographic
tongue).1
3. Pemeriksaan Penunjang
 In Vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat.
Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio
imunosorbent test) sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali
bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit,
misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau
urtikaria. Lebih bermakna adalah dengan RAST (Radio Immuno
Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay
Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat
memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan
pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak
menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap)
mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel
PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.1
 In Vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit
kulit (skin-prick test), uji intrakutan atau intradermal yang tunggal
atau berseri (Skin End-point Titration/SET). SET dilakukan untuk
alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai
konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain
alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk
desensitisasi dapat diketahui. Untuk alergi makanan, uji kulit seperti
tersebut diatas kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya
ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi (Challenge Test).
Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima
hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai
diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya
diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali
dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala
menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan.1
2.9 Tatalaksana
Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari alergen penyebabnya
(avoidance) dan eliminasi.1,8
Untuk medikamentosa simptomatis, umumnya digunakan :
- Antihistamin antagonis H-1, yang bekerja secara inhibitor
komppetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat
farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama
pengobatan rhinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau
tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral. Antihistamin
dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi-1
(klasik) dan generasi -2 (non sedatif). Antihistamin generasi-1
bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak
(mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek
kolinergik sehingga cenderung mulai ditinggalkan.1
- Preparat simpatomimetik golongan agonis alfa adrenergik dipakai
sebagai dekongestan hidung dengan atau tanpa kombinasi dengan
antihistamin atau topikal. Namun pemakaian secara topikal hanya
boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis
medikamentosa.
- Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala trauma sumbatan hidung
akibat respons fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain.
Yang sering dipakai adalah kortikosteroid topikal (beklometosa,
budesonid, flusolid, flutikason, mometasonfuroat dan triamsinolon).
- Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida,
bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor
kolinergik permukaan sel efektor
Tindakan operatif seperti konkotomi (pemotongan konka inferior) bisa
dipertimbangkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil
dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNOS 25% atau triklor
asetat. Bisa juga dilakukan imunoterapi.1
Gambar 2.5. Algoritma Penatalaksanaan Rinitis Alergi

2.10 Komplikasi Rinitis Alergi


Komplikasi rinitis alergi adalah polip nasal, otitis media dan sinusitis.1

BAB III
KESIMPULAN

Rinitis alergi adalah kumpulan gejala akibat peradangan yang terjadi di


rongga hidung yang diperantarai oleh IgE akibat paparan terhadap suatu alergen.
Gejala yang umum terjadi adalah bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat.
Rinitis alergi dikatakan intermiten bila gejala muncul kurang dari 4 hari/minggu
atau kurang dari 4 minggu, dan dikatakan persisten apabila gejala muncul lebih
dari 4 hari/minggu dan berlangsung lebih dari 4 minggu. Diagnosis tinnitus dapat
ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik. Tatatalaksana rinitis alergi
paling ideal adalah dengan menghindari alergen penyebab (avoidance) dan
eliminasi, adapun tatalaksana lain yang dapat dilakukan berupa medikamentosa
simtomatik, imunoterapi, dan tindakan operatif bila diperlukan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono N. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga


Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi Keenam. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI. 2007.
2. Katelaris CH, Lee BW, Potter PC, Maspero JF, Cingi C, Lopatin A, et al.
Prevalence and diversity of allergic rhinitis in regions of the world beyond
Europe and North America. Clin Exp Allergy 2012; 42:186-207.
3. World Health Organization. Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma
(ARIA) guidelines-2016 revision. J Allergy Clin Immunol. 2017.
4. Leynaert B, Bousquet J, Neukirch C, Liard R, Neukirch F. Perennial rhinitis:
An independent risk factor for asthma in nonatopic subjects: Results from the
European Community Respiratory Health Survey. J Allergy Clin Immunol
1999; 104:301-4.
5. Gergen PJ, Turkeltaub PC. The association of individual allergen reactivity
with respiratory disease in a national sample: data from the second National
Health and Nutrition Examination Survey, 1976-80 (NHANES II). J Allergy
Clin Immunol 1992; 90:579-88.
6. Taramarcaz P, Gibson PG. Intranasal corticosteroids for asthma control in
people with coexisting asthma and rhinitis. Cochrane Database of Systematic
Reviews 2003; 3:CD003570
7. Min YG. The Pathophysiology, Diagnosis and Treatment of Allergic Rhinitis.
Allergy, Asthma and Immunology Research, vol. 2, no. 2, 2010.
8. Hawke, Michael et all. Diagnostic Handbook of Otorhinolaryngology. New
York: Material. 2002.

Anda mungkin juga menyukai