Anda di halaman 1dari 70

LAPORAN DISKUSI KELOMPOK

PEMICU 1
MODUL PENGINDERAAN

KELOMPOK 6

Rosa I1011161001
Muhammad Ibnu Nazari I1011161009
Raditia Tri Prasetyo I1011161012
Rachel Dhea Aprila I1011161020
Erica Sugandi I1011161029
Hesti Ratna Pratiwi I1011161023
Willy Sanjaya I1011161031
Florentina Vina I1011161043
Indah Ayu Putri I1011161046
Dede Apreli I1011161062
Solideo Gloria Tering I1011161068
Novta Rouli Sihombing I1011161071

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Pemicu
Seorang lak-laki, 52 tahun, seorang kuli bangunan, datang ke poli mata
BKMM dengan keluhan pandangan kabur pada mata kiri yang dialami sejak
±3 bulan yang lalu. Awalnya mata kiri pasien terasa berpasir setelah bekerja.
Keesokan harinya, ia merasakan mata kirinya sakit, berair dan menjadi merah.
Selanjutnya, pandangan terasa kabur dan silau jika melihat. Riwayat nyeri
pada kepala dan pusing (-), riwayat memakai kacamata (-), riwayat HT (-),
riwayat DM (-), riwayat penyakit sistemik lainnya (-), riwayat penyakit mata
yang sebelumnya disangkal, riwayat penyakit yang sama dalam keluarga (-).
Pemerikasaan fisik ditemukan kondisi umum: sakit sedang, gizi cukup,
compos mentis. Tanda vital: Tekanan darah 120/80mmHg, suhu: 36,8oC,
pernafasan: 18 x/menit, nadi: 84 x/menit.
1.2 Klarifikasi dan Definisi
-
1.3 Kata Kunci
1. Laki-laki 52 tahun (kuli bangunan)
2. Pandangan kabur pada mata kiri 3 bulan lalu
3. Mata kiri sakit, berair, dan merah
4. Mata kiri terasa berpasir setelah bekerja
5. Silau saat melihat
6. Sakit sedang
7. Gizi cukup
8. Compos mentis
1.4 Rumusan Masalah
Seorang laki-laki (kuli bangunan) usia 52 tahun datang dengan keluhan
pandangan kabur pada mata kiri sejak 3 bulan lalu yang diawali dengan rasa
berpasir kemudian diikuti dengan keluhan mata kiri sakit, merah, dan silau
jika melihat.
1.5 Analisis Masalah

Riwayat: Laki-laki, 52 Kerja Sebagai


1. Nyeri Kepala tahun Kuli
2. Pusing (-) Bangunan
3. memakai kacamata Keluhan
4. HT (-) Utama: 1. Diamati mata kiri
5. DM (-) terasa berpasir
6. Penyakit Sistemik (-) Pandangan
7. Riwayat Keluarga (-) kabur sejak 3 2. Esoknya, mata kiri
bulan lalu sakit, merah, dan

Pemfis:
Inflamasi
KU: Sakit
Sedang, Gizi
Cukup,
DD
Compos
Mentis 1. Keratitis

2. Konjungtivitis

Pemeriksaan Penunjang

Tatalaksana
1.6 Hipotesis
Laki-laki 52 tahun mengalami keratitis et causa abrasi kornea
1.7 Pertanyaan Diskusi
1) Mata
a. Anatomi
b. Fisiologi
c. Histologi
d. Sistem Pertahanan
2) Fisiologi Penglihatan
3) Pemulihan Mata
4) Keratitis
a) Definisi
b) Etiologi
c) Epidemiologi
d) Patofisiologi
e) Klasifikasi
f) Faktor risiko
g) Diagnosis
h) Komplikasi
i) Tatalaksana
j) Prognosis
k) Edukasi
l) Pencegahan
5) Konjungtivitis
a) Definisi
b) Etiologi
c) Epidemiologi
d) Patofisiologi
e) Klasifikasi
f) Faktor risiko
g) Diagnosis
h) Komplikasi
i) Tatalaksana
6) Abrasi Kornea
a) Definisi
b) Etiologi
c) Epidemiologi
d) Patofisiologi
e) Diagnosis
f) Komplikasi
g) Tatalaksana
7) Patofisiologi
a) Visus menurun mata merah
b) Sensasi berpasir
c) Mata merah
8) Pemeriksaan fisik mata
9) Pemeriksaan penunjang pada mata
10) Hubungan penurunan visus dengan
a) Hipertensi
b) DM
c) Penyakit sistemik
11) Tatalaksana pada kasus
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Mata
a. Anatomi(1)
(1) Kelopak mata atau palpebral
Kelopak mata atau palpebral mempunyai fungsi melindungi
bola mata serta mengeluarkan sekresi kelenjar yang membentuk
film air mata di depan kornea. Kelopak merupakan alat menutuo
mata yang berguna untuk melindungi bola mata terhadap trauma,
trauma sinar dan keringnya bola mata.
Kelopak mempunyai lapis kulit yang tipis pada bagian depan
sedang di bagian belakang ditutupi selpaut lender tarsus ynag
disebut konjungtiva tarsal. Konjungtiva tarsal melalui forniks
menutup bulbus okuli. Konjungtiva merupakan membrane mukosa
yang mempunyai sel Goblet yang menghasilkan musin.
Pada kelopak mata terdapat bagian-bagian:
a) Kelenjar seperti: kelenjar sebasea, kelenjar Moll atau kelenjar
keringat, kelenjar Zeis pada pangkal rambut, dan kelenjar
Meibom pada tarsus.
b) Otot seperti: M. orbicularis oculi yang berjalan melingkar di
dalam kelopak atas dan bawah, terletak di bawah kulit
kelopak. Pada dekat tepi margo palpebral terdapat otot
orbicularis okuli yang disebut sebagai M. rioland.
M.orbicularis berfungsi menutup bola mata yang dipersarafi N.
facialis. M.levator palpebral yang berorigo pad annulus
foramen orbita dan berinsersi pada tarsus atas dengan sebagian
menembus M. orbicularis oculi menuju kulit kelopak bagian
tengah. Bagian kulit tempat insersi M. levator palpebral
terlihat sebagai sulkus (lipatan) palpebral. Otot ini dipersarafi
oleh N.III yang berfungsi untuk mengangkat kelopak mata
atau membuka mata.
c) Di dalam kelopak mata terdapat tarsus yang merujpakan
jaringan ikat dengan kelenjar di dalamnya atau kelenjar
Meibom yang bermuara pada margo palpebral.
d) Septum orbita yang merupakan jaringan fibrosis yang berasal
dari rima orbita sebagai pembatas isi orbita dengan kelopak
depan
e) Tarsus ditahan oleh septum orbita yang melekat pada rima
orbita. Tarsus (terdiri atas jaringan ikat yang merupakan
jaringan penyokong kelopak dengan kelenjar Meibom) (40di
kelopak atas dan 20 pada kelopak bawah).
f) Pembuluh darah yang memperdarahinya adalah A. palpebra
g) Persarafan sensorik kelopak mata atas didapatkan dari rumus
frontal saraf V, sedangkan kelopak bawah oleh cabang ke II
sarf ke V.
(2) Sistem Lakrimal
Sistem sekresi air mata atau lakrimal terletak di daerah
temporal bola mata. Sistem eksresi mulai pada pungtum lakrimal,
kanalikuli lakrimal, sakus lakrimal, duktus nasolacrimal, meatus
inferior. Sistem ini terdiri dari 2 bagian, yaitu:
a. Sistem produksi atau glandula lakrimal. Glandula lakrimal
terletak di temporo antero superior rongga orbita
b. Sistem ekskresi, terdiri atas pungtum lakrimal, kanalikuli
lakrimal, sakus lakrimal dan duktus nasolacrimal. Sakus
lakrimal terletak di bagian depan rongga orbita. Air mata dari
duktus lakrimal akan mengalir ke dalam rongga hidung di
dalam meatus inferior.
(3) Konjungtiva
Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang dihasilkan
oleh sel Goblet yang berfungsi membasahi bola mata terutama
kornea. Konjungtiva terdiri atas 3 bagian:
a. Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, sukar digerakkan
dari tarsus
b. Konjungtiva bulbi menutuoi sclera dan mudah digerakkan dari
sclera di bawahnya
c. Konjungtiva fornises atau forniks konjungtiva yang merupakan
tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi
(4) Bola mata
Bola mata berbentuk bulat dengan panjang maksimal 24
mm. Bola mata di bagian depan (kornea) mempunyai
kelengkungan yang lebih tajam sehingga terdapat ebntuk dengan 2
kelengkungan yang berbeda. Bola mata dibungkus oleh 3 lapis
jaringan yaitu:
a. Sclera adalah jaringan ikat yang kenyal dan memberikan
bentuk pada mata, merupakan bagian terluar yang melindungi
bola mata. Bagian terdepan sclera disebut kornea yang bersifat
transparan yang memudahkan sinar masuk ke dalam bola
mata. Kelengkungan kornea lebih besar dibanding sclera
b. Jaringan uvea merupakan jaringan vascular. Jaringan sclera
dan uvea dibatasi oleh ruang yang potensial mudah dimasuki
darah. jaringan uvea terdiri atas iris, badan siliaris, dan koroid.
Pada iris didapatkan pupil yang oleh 3 susunan otot dapat
mengatur jumlah sinar masuk ke dalam bola mata. Otot dilator
terdiri atas jaringan ikat jarang yang tersusun dalam bentuk
yang dapat berkontraksi yang disebut sebagai sel mioepitel.
Sel ini dirangsang oleh sistem saraf simpatetik yang
mengakibatkan sel berkontraksi yang akan melebarkan pupil
sehingga lebih banyak cahaya masuk. Otot dilator pupil
bekerja berlawanan dengan otot konstriktor yang mengecilkan
pupil dan mengakibatkan cahaya kurang masuk ke dalam
mata. Sedangkan sfingter iris dan otot siliaris dipersarafi oleh
parasimpatis. Otot siliaris yang terletak di badan siliaris
mengatur bentuk lensa untuk kebutuhan akomodasi. Badan
siliaris yang terletak di belakang iris menghasilkan cairan bilik
mata (aqueous humor) yang dikeluarkan melalui trabekulum
yang terletak pada pangkal iris di batas kornea dan sclera.
c. Retina yang terletak paling dalam dan mempunyai susunan
lapis sebanyak 10 lapis yang merupakan lapis membrane
neurosensorik yang akan merubah sinar menjadi rangsangan
pada saraf optic dan diteruskan ke otak. Terdapat rongga yang
potensial antara retina dan koroid sehingga retina dapat
terlepas dari koroid yang disebut ablasi retina.
Bagian lainnya seperti:
1. Badan kaca mengisi rongga di dalam bola mata dan bersifat
gelatin yang hanya menempel papil saraf optic, macula dan
pars plana. Bila terdapat jaringan ikat di dalam badan kaca
disertai dengan tarikan pada retina, amak akan robek dan
terjadi ablasi retina
2. Lensa terletak di belakang pupil yang dipegang di daerah
ekuatornya pada badan siliaris melalui Zonula Zinn, lensa
mata mempunyai peranan pada akomodasik atau melihat dekat
sehingga sinar dapat difokuskan di daerah macula lutea
3. Kornea (latin cornum = seperti tanduk) adalah selaput bening
mata, bagian selaput mata yang tembus cahaya, merupakan
lapis jaringan yang menutup bola mata sebelah depan. Kornea
dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari
saraf siliar tongus, saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar
longus berjalan suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea,
menembus membrane Bowman melepaskan selubung
Schwannya.
4. Pupil dapat mengecil atau miosis apabila terkena cahaya dan
akan melebar atau midriasis apabila berada di tempat gelap.
5. Sudut bilik mata depan
Sudut bilik mata dibentuk jaringan korneosklera dengan
pangkal iris. Pada bagian ini terjadi pengaliran keluar cairan
bilik mata.
6. Lensa mata
Jaringan ini berasal dari ectoderm permukaan yang berbentuk
lensa di dalam mata dan bersifat bening. Lensa di dalam bola
mata terletak di belakang iris yang terdiri dari zat tembus
cahaya berbentuk seperti cakram yang dapat menebal dan
menipis pada saat terjadinya akomodasi.
7. Saraf optic yang keluar dari polus posterior bola mata
membawa 2 jenis serabut saraf, yaitu saraf penglihat dan
serabut pupilomotor.
8. Rongga orbita
Rongga orbita adalah rongga yang berisi bola mata dan
terdapat 7 tulang yang membentuk dinding orbita yaitu:
lakrimal, etmoid, sfenoid, frontal, dan dasar orbita yang
terutama terdiri atas tulang maksila, tulang palatinum dan
zigomatikus.
Dinding orbita terdiri atas tulang:
1. Atap atau superior: os. frontal
2. Lateral: os. frontal, os.zigomatik, ala magna os.sfenoid
3. Inferior: os. zigomatik, os.maksila, os.palatina
4. Nasal: os. maksila, os.lakrimal, os.etmoid
9. Otot penggerak mata terdiri atas 6 otot yaitu:
ii) Oblik inferior, dipersarafi N.III
iii) Oblik superior, dipersarafi N.IV
iv) Rektus inferior, dipersarafi N.III
v) Rektus lateral, dipersarafi N.VI
vi) Rektus medius, dipersarafi N.III
vii) Rektus superior, dipersarafi N.III
b. Fisiologi
Regio orbita adalah sepasang rongga di tulang tengkorak yang
berisi bola mata, otot, saraf, pembuluh darah, dan sebagian besar
apparatus lakrimalis. Lubang orbita dilindungi oleh dua lipatan tipis
yang dapat bergerak, yaitu kelopak mata (palpebra).2,3
Palpebra mempunyai fungsi melindungi bola mata serta
mengeluarkan sekresi kelenjar yang membentuk film air mata di
depan kornea. Pada palpebra terdapat bagian-bagian: kelenjar sebasea,
kelenjar Moll, kelenjar Zeis pada pangkal rambut, dan kelenjar
Meibom pada tarsus. Otot seperti: Muskulus orbikularis okuli untuk
menutup bola mata yang dipersarafi Nervus Fasial. M. levator
palpebra yang dipersarafi N. III yang berfungsi untuk membuka mata.
Pembuluh darah yang mempedarahinya adalah arteri palpebra.
Persarafan sensorik kelopak mata atas didapatkan dari ramus frontal
N. V, sedang kelopak mata bawah oleh cabang ke II saraf ke V. 2,3
Apparatus lakrimalis terdiri dari glandula lakrimalis, laku,
pungta, kanalikuli, sakus lakrimalis, dan duktus lakrimalis. Persarafan
sekretomotorik parasimpatis berasal dari nukleus lakrimalis. Glandula
lakrimalis akan menghasilkan air mata dan mengalir ke lakus lakrimal
dan masuk ke kanalikuli melalui pungta. Kanalikuli berjalan ke medial
dan bermuara ke sakus lakrimalis dan dan terus berlanjut ke duktus
lakrimalis. 2,3
Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan
kelopak bagian belakang. Bermacam-macam obat dapat diserap
melalui konjungtiva. Konjungtiva mempunyai kelenjar musin yang
dihasilkan oleh sel Goblet. Musin bersifat membasahi bola mata
terutama kornea. Konjungtiva terdiri atas 3 bagian, yaitu: konjungtiva
tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva bulbi yang menutupi sklera,
dan konjungtiva forniks. 2,3
Bola mata berbentuk bulat dengan diameter anteroposterior 24
mm. Bola mata dibungkus oleh 3 lapis jaringan, yaitu: sklera, jaringan
uvea (yang terdiri dari iris, badan siliar, dan koroid yang diperdarahi
oleh arteri siliaris anterior dan posterior, sedangkan persarafannya dari
ganglion siliar dan retina). Pada iris didapatkan pupil yang oleh 3
susunan otot dapat mengatur jumlah sinar masuk ke dalam mata.
Badan siliar menghasilkan cairan bilik mata (akuos humor) yang
dikeluarkan melalui trabekulum yang terletak pada pangkal iris di
batas kornea dan sklera. Badan kaca mengisi rongga di dalam bola
mata dan bersifat gelatin yang hanya menempel papil saraf optik,
makula, dan pars plana. Lensa terletak di belakang pupil yang
dipegang di daerah ekuatornya pada badan siliar melalui Zonula Zinn.
Terdapat 6 otot penggerak bola mata, yaitu : oblik inferior, rektus
inferior, rektus medius, dan rektus superior yang dipersarafi N. III,
kemudian oblik superior dan rektus lateral yang dipersarafi N. IV dan
N. VI. 2,3
Sklera terdiri atas jaringan fibrosa padat dan berwarna putih. Di
posterior, sklera ditembus oleh N. II dan menyatu dengan selubung
dura saraf ini. Lamina kribosa adalah daerah sklera yang ditembus
oleh serabut-serabut N. II. Merupakan area yang relatif lemah dan
dapat menonjol ke dalam bola mata oleh peningkatan tekanan cairan
serebrospinal di dalam tonjolan subaraknoid yang terdapat di
sekeliling N. II. Bila tekanan intraokular meningkat, lamina kribosa
akan menonjol keluar dan menyebabkan diskus menjadi cekung. 2,3
Kornea (latin cornum= seperti tanduk) adalah selaput bening
mata yang dapat memantulkan cahaya yang masuk ke mata. Terdiri
atas 5 lapisan: epitel, membran bowman, stroma, membran desemen,
dan endotel. Kornea dipersarafi oleh saraf siliar longus cabang N. V
dan saraf nasosiliar. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea,
dimana 40 dioptri dari 50 dioptri pembiasan sinar masuk ke kornea. 2,3
Lensa mata di dalam bola mata terletak di belakang iris yang
terdiri dari zat tembus cahaya berbentuk seperti cakram yang dapat
menebal dan menipis pada saat terjadinya akomodasi. Secara
patologik, lensa dapat kaku pada orang dewasa yang akan
mengakibatkan presbiopia, keruh atau yang disebut katarak, dan tidak
berada di tempatnya (subluksasi dan dislokasi). 2,3
Retina atau selaput jala merupakan bagian mata yang
mengandung reseptor yang menerima rangsangan cahaya. Retina
terdiri atas lapisan: fotoreseptor (terdiri atas sel batang dan sel
kerucut), membran limitan eksterna, lapis nukleus luar, lapis
pleksiform luar, lapis nukleus dalam, lapis pleksiform dalam, lapis sel
ganglion, lapis serabut saraf, dan membran limitan interna.
c. Histologi
Mata memiliki 3 lapisan atau tunika konsetris:

1) Lapisan fibrosa
a) Sklera
Sklera merupakan lapisan luar berwarna opak terletak di
lima perenam dari bagian posterior bola mata. Memiliki
ketebalan rerata 0,5 mm, relatif avaskular, terdiri dari jaringan
ikat padat kuat berkas kolagen tipe I pipih berselang-seling
dalam berbagai arah tetapi tetap sejajar dengan permukaan
organ, substansi dasar dalam jumlah cukup dan sebaran
fibroblas.
b) Kornea
Kornea terletak di seperenam anterior mata, tidak
berwarna dan transparan, dan sepenuhnya avaskular. Potongan
melintang kornea memperlihatkan struktur yang terdiri dari
lima lapisan yaitu:
b) Suatu epitel skuamosa eksternal berlapis,
c) Suatu membrana limitans anterior (membran bowmary
membran basal epitel berlapis),
d) Stroma,
e) Suatu membrana limitans posterior (membran descemet,
membran basal endotel), dan
f) Endotel skuamosa internal selapis.

Gambar 1. kornea dengan pewarnaan H&E


Gambar (a) pebesaran 100x memperlihatkan epitel (E)
skuamosa berlapis eksternal, yang tidak bertanduk dan memiliki
ketebalan lima hingga enam sel. Epitel banyak dipersarafi
dengan ujung saraf sensoris yang memicu refleks berkedip dan
permukaannya dilapisi lapisan air mata yang dihasilkan kelenjar
pada kelopak mata dan orbita superior. Stroma (S) membentuk
sekitar 90% ketebalan kornea, yang terdiri atas 60 lapisan serat
kolagen tipe I yang tersusun dalam susunan ortogonal yang
tepat dan berselingan dengan sel pipih yang disebut keratosit.
Stroma dilapisi di bagian dalam oleh endotel (EN).
Gambar (b) perbesaran 400x, epitel kornea berada erat
pada membran Bowman homogen (panah). Stroma sepenuhnya
avaskular dan nutrien mencapai keratosit dan sel epitel melalui
difusi dari limbus sekitarnya dan humor aquosa di belakang
kornea.
Gambar (c) perbesaran 400x, permukaan posterior kornea
dilapisi oleh epitel skuamosa selapis (endotel) yang berada pada
lapisan tebal kolagen lain dan materi ekstrasel lain yang disebut
membran Descemet (panah).
c) Limbus
Limbus merupakan area pertemuan kornea-sklera. Regio
ini memiliki mikrovaskular, beserta humor aquosa pada bilik
anterior, menyediakan metabolitnya untuk sel kornea melalui
difusi. Sel punca untuk epitel berlapis terkonsentrasi di limbus;
dari limbus ini, sel-sel penguat transit yang cepat membelah
bergerak dalam arah sentripetal ke dalam epitel kornea.
2) Lapisan vaskular
a) Iris
Lapisan perluasan uvea yang paling anterior yang
sebagian menutupi lensa dan menyisakan lubang kecil yang
disebut pupil. Iris mengatur jumlah cahaya yang jatuh ke retina.
Permukaan anterior iris, yang terpajan bilik anterior, tidak
dilapisi oleh epitel, tetapi terdiri atas lapisan diskontinu
fibroblas dan melanosit yang iregular, terkemas rapat dengan
prosesus yang saling mengunci. Jauh di dalam iris, stroma
berupa jaringan ikat longgar yang lebih khusus dengan
mikrovaskular. Permukaan posterior iris bersifat polos dengan
epitel berlapis ganda yang berlanjut dengan epitel yang melapisi
badan siliar dan prosesusnya. Epitel yang sangat berpigmen
pada iris mencegah masuknya cahaya ke bagian dalam mata
kecuali melalui pupil. Lapisan epitel di bawahnva terdiri atas
sel mioepitel yang setidaknya juga berpigmen. Prosesus yang
terjulur radial dari sel mioepitel membentuk m. dilator pupillae
di sepanjang sisi posterior iris.
Banyak melanosit di lapisan vaskular mata bekerja secara
kolektif untuk menjaga agar berkas cahaya tidak mengganggu
pembentukan bayangan. Melanosit stroma iris juga membentuk
warna mata. Pada individu dengan sangat sedikit sel berpigmen
di stroma, cahaya dengan warna biru dibiaskan kembali dari
epitel berpigmen hitam pada permukaan posterior iris. Seiring
dengan bertambahnya jumlah melanosit dan kolagen di stroma,
warna iris berubah menjadi berbagai corak warna hijaq abu-abu
dan cokelat. Individu dengan albinisme hampir tidak memiliki
pigmen dan warna merah muda di irisn
b) Badan siliar
Badan siliar memiliki stroma jaringan ikat longgar, kaya
akan mikrovaskular, serat elastin, dan melanosit, yang
mengelilingi banyak otot polos.
Musculus ciliaris memiliki fasikulus kecil otot yang
berinsersi pada sklera dan tersusun sedemikian rupa sehingga
kontraksinya (sebagai respons saraf parasimpatis) mengurangi
diameter intenal cincin badan siliar, yang mengurangi tegangan
pada serabut yang berjalan dari badan siliar ini ke lensa. Hal ini
memungkinkan pencembungan lensa dan pemfokusan cahaya
yang lebih baik dari objek yang berdekatan pada retina. Jadi,
m.ciliaris penting pada akomodasi visual.
epitel kolumner berlapis melapisi prosesus ciliaris yakni
sederet rabung (ridge) berjumlah sekitar 75 buah dan terjulur
dari permukaan badan siliar. Sel-sel ini aktif mengangkut cairan
dari stroma vaskular ke dalam bilik posterior sehingga
membentuk humor aquosa.
c) Choroid
Choroid merupakan suatu lapisan yang sangat vaskular
pada dua pertiga posterior mata, dengan jaringan ikat longgar
bervaskular yang banyak mengandung serat kolagen dan
elastin, fibroblas, melanosit, makrofag, limfosit, sel mast, dan
sel plasma. Banyak melanosit memberinya ciri warna hitam
yang khas dan menghambat masuknya cahaya kecuali melalui
pupil.
3) Lensa
Lensa merupakan struktur bikonkaf yang transparan dan
terletak tepat di bawah iris, yang digunakan untuk memfokuskan
cahaya pada retina. Selain berasal dari invaginasi epitel permukaan
embrionik (ektoderm), lensa adalah suatu jaringan avaskular yang
unik. Lensa bersifat sangat elastis, suatu sifat yang semakin
menghilang saat menua yaitu lensa akan mengeras. lensa memiliki
3 komponen utama:
a) Kapsul lensa
Lensa dibungkus suatu simpai tebal (10-20 pm) dan
homogen yang kaya akan proteoglikan dan kolagen tipe IV.
b) Epitel lensa
Epitel lensa subkapsular terdiri atas selapis sel epitel
kuboid dan hanya terdapat pada permukaan anterior lensa.
c) Serat lensa
Serat lensa tersusun memanjang dan tampak sebagai
strukfur tipis dan gepeng. Setelah berkembang dari sel punca di
epitel lensa, serat lensa yang terdiferensiasi akhirnya kehilangan
inti serta organel lainnya, memenuhi sitoplasma dengan
sekelompok protein yang disebut kristalin, dan menjadi sangat
panjang. Serat lensa matur biasanya memiliki panjang 7-10
mm, lebar 8-10 µm, dan tebal 2 µm. Serat tersebut terkemas
rapat yang membentuk jaringan transparan yang sangat
terkhususkan untuk pembiasan cahaya.
4) Retina
Retina, lapisan internal mata, berasal dari mangkuk optik
embrionik. Retina terdiri atas dua lapisan utama yaitu:
a) Lapisan dalam, retina neural, mengandung neuron dan
fotoreseptor. Regio visual pada lapisan ini terbentang pada sisi
anterior hanya sejauh ora serrata, tetapi berlanjut sebagai epitel
kuboid yang melapisi permukaan badan siliar dan iris
posterior.
b) Lapisan pigmen luar adalah epitel yang berada pada membran
Bruch tepat di dalam choroi. Epitel kuboid berpigmen ini juga
melapisi badan siliar dan iris posterior.
Bagian posterior fotosensitif retina adalah suatu struktur
kompleks yang mengandung lebih dari 30 subtipe neuron yang
saling terhubung melalui sinaps. Retina neural memiliki tiga
lapisan neuron utama: suatu lapisan luar sel fotosensitif, sel
kerucut dan batang; suatu lapisan pertengahan neuron bipolar,
yang menghubungkan sel kerucut dengan batang; dan lapisan
internal sel ganglion, yang bersinaps dengan sel bipolar melalui
dendritnya dan mengirimkan akson yang bergabung membentuk
nervus opticus yang meninggalkan mata dan menuju otak.
Retina manusia memiliki sekitar 120 juta sel batang. Sel-sel
ini sangat peka terhadap cahaya, yang berespon terhadap sebuah
foton dan memungkinkan sensasi penglihatan bahkan dengan
tingkat pencahayaan yang rendah, seperti saat senja atau larut
malam. Sel batang adalah sel tipis memanjang (50 µm x 3 µm),
yang terdiri atas dua segmen terpisah.
Retina manusia memiliki 6 atau 7 juta sel kerucut yang
kurang sensitif terhadap gelap ketimbang sel batang dan
dikhususkan untuk penglihatan warna pada cahaya terang. Ketiga
tipe fungsional sel kerucut, memiliki variasi pigmen visual
iodopsin dengan sensitivitas maksimal di area merah, biru, atau
hijau dari spektrum cahaya tampak, yang memungkinkan sel-sel
ini mendeteksi wama-wama tersebut dalam cahaya yang
dibiaskan.
d. Sistem Pertahanan5
Seperti halnya dengan respons imun yang terjadi di organ-organ
lain, mata juga memberikan respon imun baik humoral maupun
seluler. Mata merupakan kelanjutan susunan saraf pusat sedangkan
konjungtiva merupakan kelanjutan dari jaringan ikat. Mata merupakan
bagian tubuh yang unik yang dapat memberikan petanda dari proses
imun aktif langsung. Mata memiliki mekanisme perlindungan yang
bersifat non imun dan imun secara alamiah.

a. Proteksi Non-Imun
Mekanisme perlindungan yang bersifat non imun secara
alamiah antara lain :
1. Palpebra, yang melindungi mata dari paparan dengan
lingkungan luar. Palpebra melindungi permukaan okuler
terhadap organisme yang tersebar di udara, benda asing dan
trauma minor.
2. Bulu mata, mampu mendeteksi adanya benda asing dan
segera memicu kedipan mata.
3. Air mata, mempunyai efek mengencerkan dan membilas.
Memegang peranan dalam menjaga integritas dari epitel
konjungtiva dan kornea yang berfungsi sebagai barier
anatomi. Pembilasan yang terus menerus pada permukaan
okuler mencegah melekatnya mikroorganisme pada mata.
Integrasi antara palpebra, silia, air mata dan permukaan
okuler merupakan sebuah mekanisme proteksi awal terhadap
benda asing. Epitel kornea adalah epitel skuamosa non keratin
yang terdiri hingga lima lapis sehingga akan menyulitkan
mikroorganisme untuk menembus lapisan-lapisan tersebut.
Selain itu kornea juga diinervasi oleh ujung serabut saraf tidak
bermielin sehingga akan memberikan peringatan awal yang
sangat cepat bagi mata terhadap trauma dikarenakan oleh
sensitifitasnya.
b. Proteksi Imun
1. Sistem Lakrimalis
Proteksi imun untuk mucosal surface termasuk
permukaan okuler adalah Mucosa-Associated Lymphoid
Tissue (MALT). MALT terbentuk oleh adanya interkoneksi
dari daerah mukosa yang memberikan gambaran
imunologis spesifik tertentu yaitu terdapat banyak APC,
struktur khusus untuk memproses antigen secara terlokalisir
(tonsil) dan sel efektor (sel T intraepitelial dan sel mast
yang berlimpah). Salah satu fungsi utama MALT adalah
untuk menciptakan keseimbangan antara imunitas dan
toleransi untuk mencegah kerusakan jaringan mukosa.
Jaringan limfoid difus pada permukaan glandula lakrimal,
duktus lakrimal, konjungtiva (conjunctival associated
lymphoid tissue atau CALT) dan berlanjut sampai
kanalikulus serta sistem drainase lakrimal (lacrimal
drainade–associated lymphoid tissue atau LDALT) secara
keseluruhan disebut Eye-Associated Lymphoid
Tissue (EALT). EALT merupakan kumpulan sel-sel limfoid
yang terletak pada epitel permukaan mukosa. Sel-sel ini
menghasilkan antigen dan mampu menginduksi terjadinya
respon imun seluler maupun humoral. Kelenjar lakrimalis
merupakan penghasil IgA terbesar bila dibandingkan
dengan jaringan okuler lainnya.
2. Tear Film
Air mata mengandung berbagai mediator seperti
histamin, triptase, leukotrin dan prostaglandin yang
berhubungan dengan alergi pada mata. Mediator-mediator
itu berasal dari sel mast. Semuanyadapat menimbulkan rasa
gatal, kemerahan, air mata dan mukus yang berhubungan
dengan penyakit alergi akut dan kronis. Pengerahan
komponen seluler lokal melibatkan molekul adhesi
sepertiIntercelluler Adhesion Molecule-1 (ICAM-1) di
epitel konjungtiva yang meningkatkan adhesi leukosit ke
epitel dan endotel. Ekspresi molekul adhesi diatur oleh
banyak komponen ekstraseluler dan intraseluler seperti
sitokin proinflamasi, matriks protein ekstraseluler dan
infeksi virus.
Pada lapisan mukus yang diproduksi oleh sel goblet dan sel
epitel konjungtiva, glikocaly yang disintesis epitel kornea
membantu perlekatan lapisan mukus sehingga berhubungan
dengan imunoglobulin pada lapisan akuos. Pada lapisan
akuos sendiri, banyak mengandung faktor-faktor terlarut
yang berperan sebagai antimikroba. Seperti laktoferin,
lisozim, dan β-lisin. Laktoferin berfungsi utama dalam
mengikat besi yang dibutuhkan oleh pertumbuhan bakteri,
sehingga bersifat bakteriostatik dan bakterisidal. Lisozim
efektif dalam menghancurkan dinding sel bakteri gram
positif. β-lisin memiliki kemampuan dalam merusak
dinding sel mikroorganisme. Selain faktor terlarut tersebut,
lapisan akuos juga mengandung banyak IgA yang sangat
efektif dalam mengikat mikroba, lalu melakukan opsonisasi,
inaktivasi enzim dan toksin dari bakteri, serta berperan
langsung sebagai efektor melalui Antigen Dependent Cell
Cytotoxycity (tanpa berinteraksi dengan komplemen).
3. Konjungtiva
Konjungtiva terdiri dari dua lapisan : lapisan epitel
dan lapisan jaringan ikat yang disebut substansia propria.
Konjungtiva tervaskularisasi dengan baik dan memiliki
sistem drainase limfe yang baik ke limfonodi preaurikularis
dan submandibularis. Jaringan ini mengandung banyak sel
Langerhans, sel dendritik dan makrofag yang berperan
sebagai Antigen Presenting Cell (APC) yang potensial.
Folikel pada konjungtiva yang membesar setelah infeksi
ataupun inflamasi pada ocular surface menunjukkan adanya
kumpulan sel T, sel B dan APC. Folikel ini merupakan
daerah untuk terjadinya respon imun terlokalisir terhadap
antigen oleh sel B dan sel T secara lokal di dalam folikel.
4. Sklera
Sklera sebagian besar terdiri atas jaringan ikat
kolagen. Hal ini menyebabkan sklera bersifat relatif lebih
avaskuler dibandingkan dengan konjungtiva. Karenanya
pada sklera hanya terdapat sedikit sel imun jika
dibandingkan dengan konjungtiva. Dalam keadaan normal
sklera hanya sedikit mengandung sel-sel limfosit, makrofag
dan neutrofil. Namun sebagai respon imun saat terjadi
inflamasi pada sklera sel-sel imun tersebut memasuki sklera
melalui pembuluh darah episklera dan pembuluh darah
koroid Pada saat istirahat IgG ditemukan dalam jumlah
yang cukup besar.
5. Kornea
Kornea unik karena bagian perifer dan sentral
jaringan menunjukkan lingkungan mikro imunologis yang
jelas berbeda. Hanya bagian limbus yang tervaskularisasi.
Limbus banyak mengandung sel Langerhans, namun bagian
perifer, parasentral dan sentral dari kornea dalam keadaan
normal sama sekali tidak mengandung APC. Namun
demikian, berbagai stimulus dapat membuat sitokin tertentu
(seperti IL-1) menarik APC ke sentral kornea. Komplemen,
IgM dan IgG ada dalam konsentrasi sedang di daerah
perifer, namun hanya terdapat IgG dengan level yang
rendah pada daerah sentral.
Sel kornea juga terlihat mensintesis berbagai protein
imunoregulasi dan antimikrobial. Sel efektor tidak ada atau
hanya sedikit terdapat pada kornea normal, namun PMN,
monosit dan limfosit siap siaga bermigrasi melalui stroma
jika stimulus kemotaktik teraktivasi. Limfosit, monosit dan
PMN dapat pula melekat pada permukaan endotel selama
inflamasi, memberikan gambaran keratik presipitat ataupun
garis Khodadoust pada rejeksi endotel implan kornea.
Proses lokalisasi dari suatu respon imun tidak terjadi pada
kornea, tidak seperti halnya pada konjungtiva. 5, 7, 16
Kornea juga menunjukkan suatu keistimewaan imun
(Immune Privilege) yang berbeda dengan uvea.
Keistimewaan imun dari kornea bersifat multifaktorial.
Faktor utama adalah struktur anatomi limbus yang normal,
dan lebih khusus lagi kepada keseimbangan dalam
mempertahankan avaskularitas dan tidak adanya APC pada
daerah sentral kornea.
6. Bilik mata depan, uvea anterior dan vitreus
Bilik mata depan merupakan rongga berisi cairan
humor akuos yang bersirkulasi menyediakan medium yang
unik untuk komunikasi interseluler antara sitokin, sel imun
dan sel pejamu dari iris, badan siliar dan endotel kornea.
Meskipun humor akuos relatif tidak mengandung protein
jika dibandingkan dengan serum (sekitar 0,1 – 1,0 % dari
total protein serum), namun humor akuos mengandung
campuran kompleks dari faktor-faktor biologis, seperti
sitokin, neuropeptida, dan inhibitor komplemen yang
mampu mempengaruhi peristiwa imunologis dalam mata.
Terdapat blood aquous barrier yakni Tight junction antara
epitel nonpigmen memberikan barier yang lebih
eksklusif yang dapat mencegah makromolekul interstisiel
menembus secara langsung melalui badan silier ke humor
akuos. Meski demikian, sejumlah kecil makromolekul
plasma melintasi barier epitel nonpigmen ini dan dapat
meresap dengan difusi ke anterior melalui uvea memasuki
bilik mata depan melalui permukaan iris anterior.
Traktus uvea merupakan bagian yang penting dalam sudut
pandang imunologi. Uvea banyak mengandung komponen
seluler dari sistem imun termasuk makrofag, sel mast,
limfosit dan sel plasma. Iris dan badan siliar mengandung
banyak makrofag dan sel dendritik yang berperan sebagai
APC ataupun sebagai sel efektor. Pada vitreus tidak
ditemukan kekhususan tertentu. Gel vitreus dapat mengikat
protein dan berfungsi sebagai depot antigen. Gel vitreus
secara elektrostatik dapat mengikat substansi protein
bermuatan dan mungkin kemudian berperan sebagai depot
antigen dan substrat untuk adhesi sel leukosit. Karena
vitreus mengandung kolagen tipe II, ia dapat berperan
sebagai depot autoantigen potensial pada beberapa bentuk
uveitis terkait arthritis.
7. Retina dan Koroid
Sirkulasi retina menunjukkan adanya blood retinal
barrier pada tight junction antara sel endotel pembuluh
darah. Pembuluh darah koriokapiler sangat permeabel
terhadap makromolekul, memungkinkan terjadinya
transudasi sebagian besar makromolekul plasma ke ruang
ekstravaskular dari koroid dan koriokapiler. Tight junction
antar sel RPE menyediakan barier fisiologis antara koroid
dan retina. Pembuluh limfe tidak didapatkan pada retina dan
koroid, namun APC ditemukan dalam konsentrasi yang
tinggi. Mikroglia (derifat monosit) pada retina memiliki
peran dalam menerima stimulus antigenik, dapat
mengadakan perubahan fisik dan bermigrasi sebagai respon
terhadap berbagai stimuli.
Kelainan pada mata berupa reaksi inflamasi hasil dari respon
imunitas bawaan ataupun adaptif dapat menyerang bagian mata
mulai dari permukaan bola mata hingga seluruh bagian mata.
Konsekuensi dari suatu reaksi inflamasi pada mata yakni dapat
mengancam penglihatan, sehingga imunitas pada mata
merupakan hal yang penting.
Pada sistem imun pada mata yang
kompleks, dapat terjadi reaksi imun yang serupa dengan sistem
imun tubuh secara keseluruhan, dengan memberikan pertahanan
terhadap mikroorganisme. Mata memiliki keistimewaan
imun(immune privilege) yang mampu menekan terjadinya reaksi
imun. Keistimewaan imunitasini bukanlah ketidakmampuan host
memicu respon imun, namun merupakan kemampuan menghindar
dari konsekuensi berat yang timbul akibat terjadinya inflamasi.
2. Fisiologi Penglihatan6
Jaras utama penglihatan dari kedua retina ke korteks penglihatan.
Sinyal saraf pengli- hatan meninggalkan retina melalui nervus optikus. Di
kiasma optikum, serat nervus optikus dari bagian nasal retina
menyeberangi garis tengah, tempat serat nervus optikus bergabung dengan
serat-serat yang berasal dari bagian temporal retina mata yang lain
sehingga terbentuklah traktus optikus. Serat- serat dari tiap traktus optikus
bersinaps di nukleus genikulatum lateralis dorsalis pada talamus, dan dari
sini, serat-serat genikulokalkarina berjalan melalui radiasio optikus (atau
traktus genikulokalkarina), ke korteks penglihatan primer yang terletak
difisura kalkarina lobus oksipitalis.v.
Serat penglihatan juga melalui beberapa daerah yang lebih primitif
di otak: (1) dari traktus optikus menuju nukleus suprakiasmatik di
hipotalamus, mungkin untuk pengaturan irama sirkadian yang
menyinkronisasikan berbagai perubahan fisiologi tubuh dengan siang dan
malam; (2) ke nuklei pretektalis di otak tengah, untuk mendatangkan
gerakan refleks mata agar mata dapat difokuskan ke arah objek yang
penting dan untuk mengaktifkan refleks pupil terhadap cahaya; (3) ke
kolikulus superior, untuk mengatur pergerakan arah kedua mata yang
cepat; dan (4) menuju nukleus genikulatum lateralis ventralis pada talamus
dan daerah basal otak sekitarnya, diduga untuk membantu mengendalikan
beberapa fungsi sikap tubuh.
Jadi jaras penglihatan secara kasar dapat dibagi menjadi sistem
primitif untuk otak tengah dan dasar otak depan, serta sistem baru untuk
penghantaran sinyal penglihatan secara langsung ke korteks penglihatan
yang terletak di lobus oksipitalis. Pada manusia, sistem baru bertanggung
jawab untuk persepsi seluruh aspek bentuk penglihatan, warna, dan
penglihatan sadar lainnya. Sebaliknya pada banyak hewan primitif, bentuk
penglihatan bahkan dideteksi oleh sistem yang lebih primitif, yaitu dengan
menggunakan kolikulus superior dengan cara yang sama seperti hewan
mamalia menggunakan korteks penglihatan

3. Pemulihan Mata(1)
Penyembuhan stroma kornea terjadi secara avaskular. Tidak seperti
jaringan yang lain, penyembuhan pada kornea terjadi karena jairngan
fibrous dibandingkan pembelahan jaringan fibrovaskular. Aspek avaskular
pada penyembuhan luka kornea sangat penting pada keratoplasti
sebagaimana pada fotorefraktif keratectomy, LASIK, LASEK, dan operasi
refraktif kornea yang lain
Setelah terjadinya luka pada sentral kornea, neutrofil dibawa ke
daerah luka oleh airmata, dan tepi luka mulai membengkak. Faktor
penyembuhan yang berasal dari pembuluh darah tidak ditemukan. Matrik
glicosaminoglikan, yaitu keratan sulfate dan konroitin sulfat, merusak
pinggiran luka. Fibroblas dari stroma mulai diaktivasi, akhirnya migrasi
melewati luka, menimbun kolagen dan fibronektin. Bila pinggiran luka
terpisah, jarak tersebut tidak sepenuhnya terisi dengan proliferasi
fibroblas, dan menyebabkan sebagian cekungan
Kedua epitel dan endotelium sangat baik pada penyembuhan luka
di sentral. Jika epitel tidak menutupi luka dalam beberapa hari, proses
penyembuhan stroma sangat terbatas dan lemah. Growth faktor dari
epitelium menstimulasi dan melanjutkan penyembuhan. Sel endotel akan
menyilang melewati kornea posterior. Sebagian sel digantikan selama
proses mitosis. Endotelium membentuk lapisan baru di bawah membran
descement. Bila jarak luka tidak ditutupi membran descement, fibroblas
struma akan terus membelah hingga bilik mata depan, atau luka di
posterior dapat tetap terbuka secara permanen. Jaringan fibrin kolagen
akan digantikan kolagen yang lebih kuat pada beberapa bulan kemudian.
Membran tidak beregenerasi saat dilakukan insisi atau mengalami
kerusakan. Pada ulcus, permukaannya ditutupi oleh epitelium, tapi sedikit
yang hilang digantikan jaringan ikat.

4. Keratitis
a. Definisi
Keratitis adalah peradangan pada kornea, membran transparan yang
menyelimuti bagian berwarna dari mata (iris) dan pupil, biasanya
diklasifikasikan dalam lapisan kornea yang terkena.(1)
b. Etiologi
Keratitis dapat disebabkan oleh proses infeksi ataupun peradangan
steril (tidak ada kuman infeksi yang menyerang). Infeksi pada kornea
dapat disebabkan oleh bakteri, jamur, virus ataupun protozoa
(Acanthamoeba sp) atau Riwayat trauma pada mata juga dapat
menyebabkan keratitis, seperti kemasukan benda asing atau tergores
aibat penggunaaan lensa kontak.
Penggunaan obat-obatan secara sembarangan juga dapat
menyebabkan keratitis. Terutama obat-obat golongan penekan sistem
imun, seperti kortikosteroid, dan juga obat-obat penghilang rasa
nyeri.(7)
c. Epidemiologi
Pola keratitis mikroba bervariasi dengan wilayah geografis dan
sesuai dengan iklim setempat. Profil bakteriologis pada keratitis
menunjukkan perbedaan besar di antara populasi yang tinggal di
negara barat dan di negara-negara berkembang. Insiden ini sangat
bervariasi antara negara-negara barat dan negara berkembang karena
fakta bahwa negara-negara yang kurang industri (negara berkembang)
secara signifikan memiliki lebih sedikit jumlah pengguna lensa
kontak, sehingga lebih sedikit infeksi lensa kontak terkait. Sebagai
contoh, AS memiliki insiden 11 per 100.000 orang untuk keratitis
mikroba dibandingkan dengan 799 per 100.000 orang di Nepal.
Spesies stafilokokus, Pseudomonas aeruginosa dan Streptococcus
pneumoniae sebagai isolat utama dalam keratitis mikroba palinng
banyak terjadi di Amerika Utara. Di Swedia, Neuman dan Sjostrand
menemukan Staphylococcus aureus dan Staphylococcus epidermidis
merupakan bakteri Gram-positif yang paling umum terjadi, sedangkan
Pseudomonas aeruginosa merupakan Gram-negatif yang paling
umum ditemukan pada kasus keratitis mikroba.(8)
d. Patofisiologi
Kelainan kornea yang sering terjadi merupakan peraangan
yang dapat disebabakan oleh bakteri, virus, dan jamur yang dapat
dipicu oleh beberapa kondisi seperti kurangnya air mata, keracunan
obat, penggunaan lensa kontak, dan trauma pada mata. Keratitis yang
disebabkan dapat mengancam terjadinya ganngguan penglihatan
karena perjalanan penyakitnya yang cepat yaitu 24 – 48 jam bakteri
dapat menyebabkan destruksi kornea. Lesi pada kornea umumunya
mengaburkan penglihatan terutama apabila lesi terletak di sentral dari
kornea.(9)
e. Klasifikasi
Keratitis dapat dibagi kepada dua, keratitis superfisial dan
keratitis profunda. Pada keratitis superfisial, dapat sembuh tanpa
meninggalkan jaringan parut dan keratitis profunda atau interstitial,
yang mengenai lapisan dalam kornea, sembuh dan meninggalkan
jaringan parut. Menurut Khurana, keratitis atau keratitis tanpa
ulkus dapat dibagi dua: keratitis superficial dan keratitis profunda
(deep keratitis). Keratitis superficial dapat dibagi dua, keratitis
superficial difus dan keratitis superfisial pungtata.(10)
1. Keratitis Superfisial
Keratitis superfisial sering disebabkan oleh trauma, yang
tidak melebihi jaringan membrane Bowman’s.manifestasi
klinis dari keratitis jenis ini adalah nyeri, epifora,
bhlepharospasm, konjungtivitis, penurunan visus dan
pembengkakan kelopak mata atas. Diagnosis dibuat
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, pewarnaan
kornea, inspeksi luka dengan mikroskop operasi dan jika
perlu, pemeriksaan radiologi dengan Ct scan.
a. Keratitis superfisial difus
Pada keratitis jenis ini,biasanya kornea tampak
jernih,dan ada tampak seperti debu-debu warna keabu-
abuan. Erosi epitel bisa terjadi di mana-mana saja tetapi
jika tidak dirawat, bisa menimbulkan ulkus kornea.
Pengobatannya adalah dengan antibiotik tetes mata seperti
tobramycin atau gentamycin setiap 2-4 jam.

Gambar 1. Keratitis superfisial


b. Keratitis superfisial pungtata
Keratitis superfisial pungtata ditandai dengan lesi
yang banyak dan bercak-bercak halus pada daerah
superfisial. Kausa utama keratitis ini adalah virus, seperti
herpes zoster, adenovirus dan keratokonjungtivitis
epidemik.
2. Keratitis interstitial/profunda
Keratitis interstitial merupakan keratitis nonsupuratif
profunda disertai dengan neovaskularisasi. Keratitis ini juga
disebut sebagai keratitis parenkimatosa. Biasanya akan
memberikan keluhan fotofobia, lakrimasi, kelopak meradang,
akit dan menurunnya visus. Pada keratitis ini, keluhan
bertahan seumur hidup. Pengobatan pada keratitis ini
tergantung jenis penyebabnya, bakteri, virus, jamur atau
trauma.(1)
Keratitis juga dapat dibagi berdasarkan etiologi:(1)

1. Keratitis Bakterial
Setiap bakteri seperti Streptococci, Stapylococci,
Pseudomonas, dan Haemophilus dapat menyebabkan infeksi
pada kornea. Pada keratitis bakterial, akan terdapat keluhan
kelopak mata lengket setiap bangun pagi. Mata sakit silau,
merah, berair dan penglihatan yang berkurang. Kelainan ini
lebih sering ditemukan pada pemakaian lensa kontak dengan
pemakaian lama.

Gambar 2. Hipopion pada keratitis bakterial


2. Keratitis Jamur
Keratitis jamur lebih jarang dibandingkan kerattis bacterial.
Dimulai oleh suatu trauma pada kornea oleh ranting pohon,
daun dan bagian tumbuh-tumbuhan. Kebanyakan jamur
disebabkan oleh Fusarium, Filamentous, yeast, Candida dan
Aspergillus. Keluhan baru timbul setelah 5 hari rudapaksa atau
3 minggu kemudian. Pasien akan mengeluh sakit mata yang
hebat, berair, penglihatan menurun dan silau. Pada mata akan
terlihat infiltrat kelabu, disertai hipopion, peradangan, ulserasi
superfisial dan satelit bila terletak di dalam stroma. Biasanya
disertai dengan cincin endotel denga plak tampak bercabang-
cabang, gambaran satelit pada kornea, dan lipatan descemet.
Diagnosis pasti dibuat dengan pemeriksaan mikroskopik
dengan KOH 10% terhadap kerokan kornea yang
menunjukkan adanya hifa.

Gambar 3. Keratitis jamur


3. Keratitis virus
Virus yang menginfeksi kornea termasuklah virus yang
menginfeksi saluran nafas seperti adenovirus dan semua yang
menyebabkan demam. Virus herpes simpleks dapat
menyebabkan keratitis, demikian juga virus herpes zoster.
Kelainan pada kornea didapatkan sebagai keratitis pungtata
uperfisial memberikan gambaran seperti infiltrate halus
bertitik-titik pada dataran depan kornea yang dapat terjadi pada
penyakit herpes simpleks, herpes zoster, infeksi virus, vaksinia
dan trakoma.
4. Keratitis alergi
Pada keratitis alergi, biasanya sering kambuh pada waktu-
waktu tertentu dalam setahun. Merupakan penyakit rekuren,
dan terjadi bilateral. Pasien umumnya mengeluh gatal, ada
riwayat alergi dalam keluarga atau pada pasien sendiri.
Biasanya didapatkan pada musim panas dan sering mengenai
anak laki-laki sebelum berumur 14 tahun.
Gambar 4. Keratitis alergi
5. Defisiensi vitamin
Biasanya lesi berupa ulkus terletak dipusat dan bilateral
berwarna kelabu dan indolen, disertai kehilangan kilau kornea
di daerah sekitarnya. Kornea melunak dan sering terjadi
perforasi.

Gambar 5. Keratitis akibat defisiensi vitamin A.


6. Kerusakan N.V (nervus trigeminus)
Jika nervus yang mempersarafi kornea terputus karena trauma,
tindakan bedah peradangan atau karena sebab apapun, kornea
akan kehilangan kepekaannya yang merupakan salah satu
pertahanan terhadap infeksi yaitu reflex berkedip. Pada tahap
awal ulkus neurotropik pada pemeriksaan fluorescein akan
menghasilkan daerah-daerah dengan berupa berupa bercak
terbuka.
f. Faktor risiko
Beberapa faktor resiko yang dapat meningkatkan kejadian
terjadinya keratitis antara lain: penggunaan lensa kontak yang
berlebihan dan tidak benar, trauma okuli, kekebalan tubuh yang
menurun karena penyakit lain, higienis yang tidak baik, ocular surface
disease (dikenal juga sebagai dry eye disease), dan efek operasi mata
g. Diagnosis(12)
Mendiagnosis keratitis biasanya melibatkan hal-hal berikut:
1. Tes mata. Fungsinya yaitu untuk melihat kondisi mata yang
mencakup seberapa baik penglihatan (ketajaman visual).
2. Ujian slit-lamp. Memeriksa mata dengan alat khusus yang disebut
slit lamp. Ini memberikan sumber cahaya terang dan pembesaran
untuk mendeteksi karakter dan luasnya keratitis, serta efeknya
terhadap struktur mata lainnya.
3. Analisis laboratorium. Mengambil sampel air mata atau beberapa
sel dari kornea untuk analisis laboratorium untuk menentukan
penyebab keratitis.
h. Komplikasi
Ada beberapa komplikasi dari keratitis diantaranya:(12)(13)
1. Toxic Iridocyclitis
Biasanya bersamaan dengan kasus ulkus kornea yang purulent
yang terjadi disebabkan absorpsi toxin pada anterior chamber
2. Secondary Glaucoma
Terjadi oleh karena fibrin eksudat menutup sudut anterior
chamber (inflammatory glaucoma)
3. Descemetocele
4. Perforasi Ulkus Kornea
Tekanan yang tiba-tiba yang disebabkan batuk, bersin, atau
spasme muskulus orbikularis dapat mengkonversi perforasi.
Pada proses perforasi ini rasa nyeri akan hilang mendadak.
Tingkat terjadinya perforasi kornea meliputi: -Iris prolaps-
Subluksasi atau dislokasi uvea anterior dapat terjardi akibat dari
penarikan atau rupture dari zonula-Katarak kapsular anterior,
terjadi bila lensa berinteraksi dengan ulkus mengikuti
perforasi pada area papillary.-Corneal fistulaIni terbentuk saat
perforasi areal pupil yang tidak berhubungan dengan iris dan
dibatasi oleh epithelium yang member jalan secara berulang.
Disini terjadi kebocoran secara berkesinambungan melalui
fistula. Uveitis purulen, endophthalmitis ataupun pan
endophthalmitis dapat berkembang oleh penyebaran infeksi intra
okuler.-Intraokuler hemorhage, didapati dalam bentuk vitreus
hemorhage ataupun expulsive choroidal yang terjadi pada
beberapa pasien yang diakibatkan penurunan TIO secara tiba-
tiba.
5. Corneal scar
Disebabkan oleh penyembuhan ulkus. Corneal scar
meninggalkan kerusakan penglihatan yang permanen dari kabur
sampai buta total. Tergantung dari perjalanan klinis ulkus.
i. Tatalaksana(14)
1. Keratitis non infeksius
Pengobatan keratitis non-infeksi bervariasi tergantung
penyebabnya. Jika keratitis Anda disebabkan oleh goresan atau
penggunaan lensa kontak yang lebih lama, Anda mungkin tidak
memerlukan perawatan apapun. Jika Anda mengalami luka dan
nyeri yang signifikan, Anda mungkin perlu menerapkan obat resep
ke mata dan memakai penutup mata sampai kondisi anda
membaik.
2. Keratitis infeksi
Keratitis bakteri. Untuk keratitis bakteri ringan, tetes mata
antibakteri mungkin adalah semua yang Anda butuhkan untuk
mengobati infeksi secara efektif. Jika infeksi sedang sampai parah,
Anda mungkin perlu minum antibiotik oral.
a. Keratitis jamur. Keratitis yang disebabkan oleh jamur
biasanya membutuhkan obat mata antijamur dan obat
antijamur oral.
b. Keratitis virus. Jika virus menyebabkan infeksi, obat tetes
mata antiviral dan obat antiviral oral bisa efektif. Tapi obat
ini mungkin tidak bisa menghilangkan virus sepenuhnya,
dan keratitis virus bisa kambuh lagi.
c. Acanthamoeba keratitis. Keratitis yang disebabkan oleh
parasit acanthamoeba mungil bisa sulit diobati. Obat tetes
antibiotik bisa membantu, namun beberapa infeksi
acanthamoeba resisten terhadap pengobatan.
j. Prognosis
Dengan pengobatan dini yang memadai, banyak jenis keratitis
dapat sembuh dengan sedikit atau tanpa bekas luka sama sekali, secara
umum prognosis dari keratitis superfisialkarena tidak terdapat jaringan
parut ataupun vaskularisasi dari kornea. Sesuai dengan metode
penanganan yang dilaksanakan prognosis dalam hal visus pada pasien
dengan keratitis herpetika sangat baik. Jika infeksi mengenai bagian
mata yang lain, terapi tambahan mesti dilakukan untuk menyingkirkan
infeksi.(15)
k. Edukasi(16)
Pasien diberikan pengertian mengenai kondisi keratitis yang
dialaminya, menyampaikan hal yang perlu dihindari atau yang dapat
memperparah (seperti mengucek mata), dan menjelaskan bahwa
penyakit ini dapat berlangsung kronik serta mungkin terjadi
kekambuhan. Dianjurkan pula agar tidak terlaru sering terpapar sinar
matahari ataupun debu karena keratitis dapat juga terjadi pada
konjungtivitis vernal yang biasanya tercetus karena paparan sinar
matahari, udara panas, dan debu. Pada keratitis dengan etiologi
bakteri, virus, maupun jamur sebaiknya pasien disarankan untuk
mencegah transmisi penyakitnya dengan menjaga kebersihan diri
dengan mencuci tangan, membersihkan lap atau handuk, sapu tangan,
dan tissue.
l. Pencegahan
Keratitis termasuk penyakit yang bisa dihindari. Langkah-
langkah sederhana yang bisa kita lakukan meliputi:(17)
1. Jangan lupa untuk melepas lensa kontak sebelum tidur atau
berenang.
2. Merawat lensa kontak secara rutin dan seksama, misalnya
mencuci tangan sebelum membersihkan lensa kontak,
menggunakan produk-produk pembersih steril khusus untuk lensa
kontak, serta jangan membersihkan lensa kontak dengan cairan
yang sudah dipakai.
3. Pastikan untuk mengganti lensa kontak sesuai batas waktunya.
4. Hindari penggunaan obat tetes mata berisi kortikosteroid, kecuali
atas anjuran dokter.
5. Jangan lupa untuk mencuci tangan sebelum menyentuh mata atau
bagian sekitarnya. Terutama jika Anda sedang menderita infeksi
virus herpes karena dapat menyebabkan penularan terhadap diri
sendiri.
5. Konjungtivitis
a. Definisi(18)
Konjungtivitis (dikenal juga “red eye” atau “pink eye”) merupakan
radang konjungtiva atau radang selaput lender yang menutupi
belakang kelopak dan bola mata, dalam bentuk akut maupun kronis.
Penyebab konjungtivitis antara lain bakteri, chlamydia, alergi, viral
toksik, berkaitan dengan penyakit sistemik. Tanda radang mata pada
konjungtivitis adalah hiperemis tarsus, konjungtivitis folikular, papil
(konjungtivitis alergi dan vernal), parut (trakoma), membrane (Steven
Johnson).
b. Etiologi(19)
Berdasarkan penyebabnya, konjungtivitis dibagi menjadi
konjungtivitis infeksi dan non- infeksi. Pada konjungtivitis infeksi,
penyebab tersering adalah virus dan bakteri, sedangkan pada
kelompok non-infeksi disebabkan oleh alergi, reaksi toksik, dan
inflamasi sekunder lainnya. Konjungtivitis juga dapat dikelompokkan
berdasarkan waktu yaitu akut dan kronik. Pada kondisi akut, gejala
terjadi hingga empat minggu, sedangkan pada konjungtivitis kronik,
gejala lebih dari empat minggu. Konjungtivitis sering terjadi bersama
atau sesudah infeksi saluran napas dan umumnya terdapat riwayat
kontak dengan pasien konjungtivitis viral.
Penyebaran virus umumnya terjadi melalui tangan, peralatan mandi
yang digunakan bersama, bantal kepala yang digunakan bersama atau
kontak dengan alat pemeriksaan mata yang terkontaminasi1,2
Konjungtivitis viral merupakan penyakit mata merah yang paling
sering dijumpai di masyarakat dan praktik dokter sehari-hari. Pada
populasi dewasa, 80% kasus konjungtivitis akut disebabkan oleh
virus.
Penyebab tersering konjungtivitis akut adalah virus. Infeksi virus
tertentu cenderung mengenai konjungtiva misalnya
pharyngoconjunctival fever sedangkan virus lainnya lebih sering
menginfeksi kornea misalnya virus herpes simpleks. Konjungtivitis
virus meliputi konjungtivitis adenovirus, konjungtivitis herpes
simpleks, konjungtivitis herpes-zooster, konjungtivitis pox virus,
konjungtivitis miksovirus, konjungtivitis paramiksovirus, dan
konjungtivitis arbovirus.
c. Epidemiologi(20)
Konjungtivitis klamidia berupa trachoma dapat mengenai segala
umur tetapi lebih banyak pada anak-anak dan dewasa. Ras yang
banyak menderita trachoma adalah Ras Yahudi, penduduk asli
Australia (Australian Aborigin) dan Indian Amerika. Sebuah studi
yang dilakukan di 3024 sekolah dasar anak-anak di wilayah Ankara
Turki (1997) menemukan bahwa 4,6% anak memiliki alergi
konjungtivitis.
Penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat (2009) diperoleh
23% kasus konjungtivitis bakteri terjadi pada rentang usia 0-2 tahun,
28% terjadi pada rentang 3- 9 tahun, 13% terjadi pada rentang 10-19
tahun dengan sisa 36% kasus terjadi pada orang dewasa. Penelitian
yang dilakukan Baig. R, dkk (2010) di Pakistan terhadap anak sekolah
berusia 5-19 tahun, yang berjumlah 818 anak diperoleh prevalensi
konjungtivitis alergi 19,2 %.11 Hasil penelitian tersebut menunjukkan
bahwa jumlah penderita konjungtivitis alergi lebih tinggi pada anak
laki-laki dibandingkan anak perempuan.
Berdasarkan Bank Data Kesehatan Indonesia (2004), total kasus
konjungtivitis dan gangguan lain konjungtivitis yaitu 2.106 kasus.
Berdasarkan Kementerian Kesehatan RI (2009), total kasus
konjungtivitis dan gangguan lain konjungtiva yaitu 99.195 kasus.
Penelitian yang dilakukan oleh Dhika Alloyna tahun 2009 sampai
2010 di RSUP H. Adam Malik Medan diperoleh 285 penderita
konjungtivitis yang terdiri dari perempuan sebanyak 154 orang dan
laki-laki sebanyak 131 orang.
d. Patofisiologi
Konjungtiva mengandung epitel skuamosa yang tidak berkeratin
dan substansia propria yang tipis, kaya pembuluh darah. Konjungtiva
juga memiliki kelenjar lakrimal aksesori dan sel goblet. Konjungtivitis
alergika disebabkan oleh respon imun tipe 1 terhadap alergen. Alergen
terikat dengan sel mast dan reaksi silang terhadap IgE terjadi,
menyebabkan degranulasi dari sel mast dan permulaan dari reaksi
bertingkat dari peradangan. Hal ini menyebabkan pelepasan histamin
dari sel mast, juga mediator lain termasuk triptase, kimase, heparin,
kondroitin sulfat, prostaglandin, tromboksan, dan leukotrien. histamin
dan bradikinin dengan segera menstimulasi nosiseptor, menyebabkan
rasa gatal, peningkatan permeabilitas vaskuler, vasodilatasi,
kemerahan, dan injeksi konjungtiva.
Konjuntivitis infeksi timbul sebagai akibat penurunan daya imun
penjamu dan kontaminasi eksternal. Patogen yang infeksius dapat
menginvasi dari tempat yang berdekatan atau dari jalur aliran darah
dan bereplikasi di dalam sel mukosa konjungtiva. Kedua infeksi
bakterial dan viral memulai reaksi bertingkat dari peradangan leukosit
atau limfositik meyebabkan penarikan sel darah merah atau putih ke
area tersebut. Sel darah putih ini mencapai permukaan konjungtiva
dan berakumulasi di sana dengan berpindah secara mudahnya
melewati kapiler yang berdilatasi dan tinggi permeabilitas.
Pertahanan tubuh primer terhadap infeksi adalah lapisan epitel
yang menutupi konjungtiva. Rusaknya lapisan ini memudahkan untuk
terjadinya infeksi.Pertahanan sekunder adalah sistem imunologi (tear-
film immunoglobulin dan lisozyme) yang merangsang lakrimasi.
Konjungtiva karena lokasinya terpapar pada banyak
mikroorganisme dan faktor lingkungan lain yang menganggu.
Beberapa mekanisme melindungi permukaan mata dari substansi luar.
Pada film air mata, unsur berairnya mengencerkan materi infeksi,
mukus menangkap debris dan kerja memompa dari palpebra secara
tetap menghanyutkan air mata ke duktus air mata dan air mata
mengandung substansi antimikroba termasuk lisozim.Adanya agens
perusak, menyebabkan cedera pada epitel konjungtiva yang diikuti
edema epitel, kematian sel dan eksfoliasi, hipertrofi epitel atau
granuloma. Mungkin pula terdapat edema pada stroma konjungtiva
(kemosis) dan hipertrofi lapis limfoid stroma (pembentukan folikel).
Sel –sel radang bermigrasi dari stroma konjungtiva melalui epitel ke
permukaan. Sel – sel ini kemudian bergabung dengan fibrin dan
mukus dari sel goblet, membentuk eksudat konjungtiva yang
menyebabkan perlengketan tepian palpebra saat bangun tidur. Adanya
peradangan pada konjungtiva ini menyebabkan dilatasi pembuluh –
pembuluh konjungtiva posterior, menyebabkan hiperemi yang tampak
paling nyata pada forniks dan mengurang ke arah limbus. Pada
hiperemia konjungtiva ini biasanya didapatkan pembengkakan dan
hipertrofi papila yang sering disertai sensasi benda asing dan sensasi
tergores, panas, atau gatal. Sensasi ini merangsang sekresi air
mata.Transudasi ringan juga timbul dari pembuluh darah yang
hiperemia dan menambah jumlah air mata. Jika klien mengeluh sakit
pada iris atau badan silier berarti kornea terkena.(1)
e. Klasifikasi
Klasifikasi konjungtivitis antara lain:(1)
1. Konjungtivitis bakterial
Konjungtivitis yang disebabkan bakteri akibat infeksi
gonokok, meningokok, Staphylococcus aureus, Streptococcus
pneumonia, Haemophillus influenza, dan Escherichia coli.
Biasanya gejala secret mukopurulen dan purulent, kemosis
konjungtiva, edema kelopak, kadang-kadang disertai keratitis dan
blefaritis. Konjungtivitis bakteri ini mudah menular, pada satu
mata ke mata sebelahnya dan menyebar ke orang lain melalui
benda yang dapat menyebarkan kuman. Terdapat 2 bentuk
konjungtivitis akut (dapat sembuh ± 14 hari) dan biasanya
sekunder terhadap penyakit palpebral/obstruksi duktus
nasolakrimalis.
a. Konjungtivitis bakteri akut
Konjungtivitis bakteri akut disebabkan Streptokokus,
Corynebacterium diphterica, Pseudomonas, Neisseria, dan
Haemophillus. Gambaran klinis berupa konjungtivitis
mukopurulen dan konjungtivitis purulen. Perjalanan penyakit
akut yang dapat berjalan kronis. Dengan tanda hiperemi
konjungtiva, edema kelopak, papil dengan kornea yang jernih.
b. Konjungtivitis gonore
Konjungtivitis gonore merupakan radang konjungtiva akut
dan hebat yang disertai dengan secret purulen. Gonokok
merupakan kuman yang sangat pathogen, virulen dan bersifat
invasive sehingga reaksi radang terhadap kuman ini sangat
berat.
Pada neonates, infeksi konjungtiva terjadi pada saat berada
pada jalan kelahiran sehingga bayi ini tertular penyakit ibu
yang mendapatkannya dari penularan infeksi kelamin. Di
klinik, kita melihat penyakit ini dalam bentuk oftalmia
neonatorum (bayi berusia 1-3 hari), konjungtivitis gonore
infantum (usia lebih dari 10 hari) dan konjungtivitis gonore
adultorum.
Pada konjungtivitis ini akan muncul secret purulent padat
dengan masa inkubasi antara 12 jam hingga 5 hari, disertai
perdarahan subkonjungtiva dan konjungtivitis kemotik.
Pada orang dewasa, terdapat 3 stadium penyakit infiltratis,
supuratif dan penyembuhan. Pada stadium infiltratif ditemukan
kelopak dan konjungtiva yang kaku disertai rasa sakit pada
perabaan. Kelopak mata membengkak dan kaku sehingga
sukar dibuka. Terdapat pseudomembran pada konjungtiva
tarsal superior, sedangkan konjungtiva bulbi merah, kemotik
dan menebal. Pada orang dewasa selaput konjungtiva lebih
bengkak dan lebih menonjol dengan gambaran spesifik gonore
dewasa. Pada orang dewasa, terdapat perasaan sakit pada mata
yang dapat disertai dengan tanda-tanda infeksi umum. Pada
umumnya menyerang satu mata terlebih dahulu dan biasanya
kelainan ini pada laki-laki didahului pada mata kanannya.
Pada stadium supuratif terdapat secret yang kental. Pada
bayi biasanya mengenai kedua mata dengan secret kuning
kental. Kadang-kadang bila sangat dini secret dapat sereus
yang kemudian menjadi kental dan purulent. Berbeda dengan
oftalmia neonatorum, pada orang dewasa secret tidak kental
sekali.
c. Oftalmia neonatorum
Oftalmia neonatorum merupakan konjungtivitis purulent
hiperakut yang terjadi pada bayi dibawah usia 1 bulan yang
disebabkan oleh penularan di jalan lahir dari secret vagina
yang dapat disebabkan oleh berbagai sebab seperti non infeksi
dan infeksi. Gejala yang timbul seperti bola mata sakit dan
pegal; mata mengeluarkan belek atau kotoran dalam bentuk
purulent, mukoid, dan mukopurulen tergantung penyebabnya;
konjungtiva hyperemia dan kemotik, kelopak biasanya
bengkak; dan kornea dapat terkena pada herpes simpleks.
d. Konjungtivitis angular
Konjungtivitis angular terutama didapatkan di daerah
kantung interpalpebra disertai ekskoriasi kulit di sekitar daerah
meradang. Konjungtivitis ini disebabkan oleh basil Moxarella
axenfeld. Biasanya terdapat secret mukopurulen dan pasien
sering berkedip.
e. Konjungtivitis mukopurulen
Konjungtivitis mukopurulen merupakan konjungtivitis
dengan gejala umum konjungtivitis kataral mukoid.
Penyebabnya adalah Streptococcus pneumonia atau basil Koch
Weeks. Penyakit ini ditandai dengan hyperemia konjungtiva
melekat terutama pada waktu bangun pagi. Sering ada keluhan
seperti adanya halo (gambaran pelangi yang sebaiknya
dibedakan dengan halo pada glaucoma). Gejala penyakit
terberat terjadi pada hari ketiga dan bila tidak diobati akan
berjalan kronis. Dapat timbul ulkus kataral marginal pada
kornea atau keratitis superfisial.
2. Konjungtivitis virus akut
a. Keratokonjungtivitis epidemic
Keratokonjungtivitis epidemic disebabkan adenovirus 8,19,
29 dan 37 yang umumnya bilateral. Mudah menular dengan
masa inkubasi 8-9 hari dan masa infeksius 14 hari. Pada orang
dewasa terbatas di bagian luar mata, tetapi pada anak-anak
dapat disertai gejala sistemik infeksi seperti demam, sakit
tenggorok, otitis media. Pada awalnya terdapat injeksi
konjungtiva, mata berair, perdarahan subkonjungtiva, folikel
terutama konjungtiva bawah, kadang-kadang terdapat
pseudomembran. Kelenjar preurikel membesar. Biasanya
gejala akan menurun dalam waktu 7-15 hari.
b. Konjungtivitis herpetic
Biasanya dimulai dengan terbentuk vesikel pada kelopak,
konjungtiva dan daerah periorbita. Konjungtivitis herpetic
dapat merupakan manifestasi primer herpes dan terdapat pada
anak-anak yang mendapat infeksi dari pembawa virus
berlangusng 2-3 minggu.
Konjungtivitis herpetic ditandai dengan infeksi unilateral,
iritasi, secret mukosa, nyeri dan fotofobia ringan. Keadaan ini
disertai keratitis herpes simpleks, dengan vesikel pada kornnea
yang dapat membentuk gambaran dendrit. Vesikel-vesikel
herpes terkadang muncul di palpebral dan tepi palpebral
disertaik edema palpabra hebat dengan pembesaran kelenjar
preaurikular disertai nyeri tekan.
c. Konjungtivitis varisela-zoster
Gejala-gejala herpes zoster dapat muncul pada mata apabila
infeksi terkena ganglion cabang oftalmik. Kelainan yang
terjadi akibat herpes zoster tidak akan melampaui garis median
kepala. Herpes zoster dan varisela memberikan gambaran yang
sama pada konjungtivitis seperti mata hyperemia, vesikel dan
pseudomembran pada konjungtiva papil, dengan pembesaran
kelenjar preurikel. Sekuelnya berupa jaringan parut di
palpebral, enropion dan bulu mata yang salah arah.
d. Konjungtivitis inklusi
Konjungtivitis inklusi merupakan penyakit okulogenital
disebabkan oleh infeksi klamidia, yang merupakan penyakit
kelamin (uretra, prostat, serviks, dan epitel rectum), dengan
masa inkubasi 5-10 hari. Penyakit ini dapat bersifat epidemic
karena merupkaan swimming pool konjungtivitis.
Konjungtivitis okulogenital pada bayi timbul 3-5 hari
setelah lahir. Pada bayi dapat memberikan gambaran
konjungtivitis purulent sedang pada orang dewasa dapat dalam
beberapa bentuk, konjungtiva hiperemik, kemotik,
pseudomembran, folikel yang nyata terutama pada kelopak
bawah dan tidak jarang memberikan gambaran seperti
hipertrofi papil disertai pembesaran kelenjar preurikel.
e. Konjungtivitis New castle
Konjungtivitis ini disebabkan virus New castle, dengan
gambaran klinis sama dengan demam faring-konjungtiva.
Umumnya penyakit ini bersifat unilateral maupun bilateral.
Konjungtivitis ini memberikan gejala influenza dengan
demam ringan, sakit kepala dan nyeri sendi. Konjungtivitis
New castle akan memberikan keluhan rasa sakit pada mata,
gatal, mata berair, penglihatan kabur dan fotofobia. Penyakit
ini sembuh daalam jangka waktu kurang dari 1 minggu.
Pada mata akan terlihat edema palpabra ringan, kemosis
dan secret yang sedikit, dan folikel-folikel yang terutama
ditemukan pada konjungtiva tarsal superior dan inferior. Pada
kornea ditemukan keratitis epithelial atau keratitis subepitel.
Pembesaran kelenjar getah bening preaurikel yang tidak nyeri
tekan.
f. Konjungtivitis hemoragik epidemic akut
Konjungtivitis hemoragik epidemic akut merupakan
konjungtivitis disertai timbulnya perdarahan konjungtiva dan
disebabkan oleh infeksi virus pikoma atau enterovirus 70.
Masa inkubasi 24-48 jam, dengan tanda-tanda kedua mata
iritatif seperti kelilipan dan sakit periorbita. Edema kelopak,
kemosis konjungtiva, secret seromukos, fotofobia disertai
lakrimasi.
Terdapat gejala akut dimana ditemukan adanya konjungtiva
folikular ringan, sakit periorbita, keratitis, adenopati
preaurikel, dan adanya perdarahan subkonjungtiva yang
dimulai dengan ptekia. Pada tarsus konjungtiva terdapat
hipertrofi folikular dan keratitis epithelial yang berkurang
spontan dalam 3-4 hari. Virus ini ditularkan melalui kontak
orang, alat optic yang terkontaminasi, alas tempat tidur.
3. Konjungtivitis Menahun (Konjungtivitis alergi)
Bentuk radang konjungtiva akibat reaksi alergi terhadap
noninfeksi, dapat berupa reaksi cpat seperti alergi biasa dan reaksi
terlambat sesusah beberapa hari konttak seperti pada reaksi
terhadap obat, bakteri, dan toksik. Merupakan reaksi antibody
humoral terhadap allergen. Biasanya dengan riwayat atopi.
Semua gejala pada konjungtiva akibat konjungtiva bersifat
rentan terhadap benda asing. Gejala utama penyakit alergi ini
adalah radang (merah, sakit, bengkak, dan panas), gatal, silau
berulang dan menahun. Tanda karakteristik lainnya adalah
terdapatnya papil besar pada konjungtiva, datang bermusim, yang
dapat mengganggu penglihatan. Walaupun penyakit alergi
konjungtiva sering sembuh sendiri, akan tetapi dapat memberikan
keluhan yang memerlukan pengobatan.
a. Konjungtivitis vernal
Konjungtivitis akibat reaksi hiperensitivitas tipe I yang
mengenai kedua mata dan bersifat rekuren. Pada mata
ditemukan papil besar dengan permukaan rata pada
konjungtiva tarsal, dengan rasa gatal berat, secret gelatin yang
berisi eosinophil atau granula eosinophil, pada kornea terdapat
keratitis, neovaskularisasi, dan tukak indolen. Pada tipe limbal
terlihat benjolan di daerah limbus, dengan bercak Horner
Trantas yang berwarna keputihan yang terdapat di dalam
benjolan.
Merupakan penyakit yang dapat rekuren dan bilateral
terutama pada musim panas. Sering menyerang pasien usia
muda 3-25 tahun dan kedua jenis kelamin. Biasanya pada laki-
laki mulai pada usia di bawah 10 tahun. Penderita
konjungtivitis vernal sering menunjukkan gejala-gejala alergi
terhadap tepung sari rumput-rumputan.
b. Konjungtivitis flikten
Merupakan konjungtivitis nodular yang disebabkan alergi
terhadap bakteri atau antigen tertentu. Konjungtivitis flikten
disebabkan oleh alergi (hipersensitivitasi tipe IV) terhada
tuberkuloprotein, stafilokok, limfogranuloma venerea,
leismaniasis, infeksi parasit, dan infeksi di tempat lain dalam
tubuh. Kelainan ini sering ditemukan pada anak-anak di daerah
padat, yang biasanya dengan gizi kurang atau sering mendapat
radang saluran nafas.
Biasanya konjungtivitis jenis ini terlihat unilateral dan
kadang-kadang mengenai kedua mata. Pada konjungtiva
terlihat sebagai bintik putih yang dikelilingi daerah hiperemi.
Pada pasien akan terlihat kumpulan pembuluh darah yang
mengelilingi suatu tonjolan bulat dengan warna kuning kelabu
seperti suatu mikroabses yang biasanya terletak di dekat
limbus. Biasanya abses ini menjalar ke arah sentral atau kornea
dan lebih dari satu.
Gejala konjungtivitis fikten adalah mata berair, iritasi
dengan rasa sakit, fotofobia ringan hingga berat. Bila kornea
ikut terkena selain daripada rasa sakit, pasien juga akan merasa
silau disertai blefarospasme. Dapat sembuh sendiri dalam 2
minggu, dengan kemungkinan terjadi kekambuhan. Keadaan
akan lebih berat bila terkena kornea.
c. Konjungtivitis iatrogenic
Konjungtivitis akibat pengobatan yang diberikan dokter.
Berbagai obat dapat memberikan efek samping pada tubuh,
demikian pula pada mata yang dapat terjadi dalam bentuk
konjungtivitis.
d. Sindrom Steven Johnson
Sindrom ini adalah suatu penyakit eritema multiform yang
berat (mayor). Penyakit ini sering ditemukan pada orang muda
dengan usia sekitar 35 tahun. Penyebabnya diduga suatu reaksi
alergi pada orang yang mempunyai predisposisi alergi
terhadap obat-obat sullfonamid, barbiturate, salisilat. Ada yang
beranggapan bahwa penyakit ini idiopatik dan sering
ditemukan sesudah suatu infeksi herpes simpleks.
Kelainan ditandai dengan lesi pada kulit dan mukosa.
Kelainan pada kulit berupa lesi eritema yang dapat timbul
mendadak dan tersebar secara simetris. Mata merah dengan
demam dan kelemahan umum dam sakit pada sendi merupakan
keluhan penderita dengan sindrom Steven Johnson. Sindrom
ini disertai dengan gejala vesikel pada kulit, bula, dan
stomatitis ulseratif.
Pada mata terdapat vaskularisasi kornea, parut konjungtiva,
konjungtiva kering, simblefaron, tukak dan perforasi kornea
dan dapat memberikan penyulit endoftalmitis. Kelainan
mukosa dapat berupa konjungtivitis pseudomembran.
e. Konjungtivitis atopic
Reaksi alergi selaput lender mata atau konjungtiva terhadap
polen, disertai dengan demam. Memberikan tanda mata berair,
bengkak, dan belek berisi eosinophil.
f. Konjungtivitis folikularis kronis
Merupakan konjungtivitis yang sering ditemukan pada anak-
anak dn tidak pernah terlihat pada bayi baru lahir kecuali bila
usia sudah beberapa bulan. Konjungtivitis folikularis kronis ini
ditandai dengan terdapatnya tanda khusus berupa benjolan
kecil berwarna kemerah-merahan pada lipatan retrotarsal.
Folikel yang terjadi merupkana reaksi konjuntiva terhadap
virus dan allergen toksik seperti iosodioksiuridin, fisotigmin
dan klamidia. Folikel terlihat sebagai benjolan kecil mengkilat
dengan pembuluh darah kecil di atasnya. Setiap folikel ini
merupakan pusat germinatif tunggal limfoid. Folikel ini bila
diakibatkan trakoma akan berdegenerasi yang akan
membentuk jaringan parut. Akan tetapi, folikel yang
didapatkan pada tarsus inferior anak dan orang dewasa sering
dapat dianggap normal.
f. Faktor risiko
Konjungtivitis viral dapat disebabkan berbagai jenis virus,
tetapi adenovirus adalah virus yang paling banyak menyebabkan
penyakit ini, dan Universitas Sumatera Utara herpes simplex virus
yang paling membahayakan. Selain itu penyakit ini juga dapat
disebabkan oleh virus Varicella zoster, picornavirus (enterovirus
70, Coxsackie A24), poxvirus, dan human immunodeficiency
virus.(21)
Penyakit ini sering terjadi pada orang yang sering kontak
dengan penderita dan dapat menular melalu di droplet pernafasan,
kontak dengan benda-benda yang menyebarkan virus (fomites)
dan berada di kolam renang yang terkontaminasi.(22)
Steroid topikal harus dihindari karena risiko berpotensi
memperpanjang perjalanan penyakit dan mempotensiasi infeksi.

Penggunaan obat tetes mata antibiotik dapat meningkatkan risiko


penularan infeksi ke mata lain dari dropper yang terkontaminasi(23)(24)

g. Diagnosis
Gejala klinis konjungtivitis dapat menyerupai penyakit mata lain
sehingga penting untuk membedakan konjungtivitis dengan penyakit
lain yang berpotensi mengganggu penglihatan.
Diperlukan anamnesis dan pemeriksaan mata yang teliti untuk
menentukan tata laksana gangguan mata termasuk konjungtivitis.
Infeksi virus biasanya menyerang satu mata lalu ke mata lain beberapa
hari kemudian disertai pembesaran kelenjar limfe dan edema palpebra.
Tajam penglihatan secara intermiten dapat terganggu karena sekret
mata. Jenis sekret mata dan gejala okular dapat memberi petunjuk
penyebab konjungtivitis. Sekret mata berair merupakan ciri
konjungtivitis viral dan sekret mata kental berwarna kuning kehijauan
biasanya disebabkan oleh bakteri. Konjungtivitis viral jarang disertai
fotofobia, sedangkan rasa gatal pada mata biasanya berhubungan
dengan konjungtivitis alergi.
Pemeriksaan laboratorium untuk menunjang diagnosis
konjungtivitis viral memiliki sensitivitas 89% dan spesifisitas 94%
untuk adenovirus. Tes tersebut dapat mendeteksi virus penyebab
konjungtivitis dan mencegah pemberian antibiotik yang tidak
diperlukan. Deteksi antigen dapat mencegah lebih dari satu juta kasus
penyalahgunaan antibiotic. Akurasi diagnosis konjungtivitis viral
tanpa pemeriksaan laboratorium kurang dari 50% dan banyak terjadi
salah diagnosis sebagai konjungtivitis bakteri. Meskipun demikian,
pemeriksaan laboratorium sangat jarang dilakukan karena deteksi
antigen belum tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan primer.
Sementara itu, kultur dari sekret konjungtiva memerlukan waktu tiga
hari sehingga menunda terapi.
Pendekatan algoritmik menggunakan riwayat perjalanan penyakit
dan pemeriksaan sederhana dengan penlight dan loupe dapat untuk
mengarahkan diagnosis dan memilih terapi. Konjungtivitis dan
penyakit mata lain dapat menyebabkan mata merah, sehingga
diferensial diagnosis dan karakteristik tiap penyakit penting untuk
diketahui. Penamaan diagnosis konjungtivitis virus bervariasi, tetapi
umumnya menggambarkan gejala klinis khas lain yang menyertai
konjungtivitis dan dari gambaran klinis khas tersebut dapat diduga
virus penyebabnya.
Konjungtivitis akibat virus dapat menimbulkan manifestasi klinis
akut dan kronik. Manifestasi akut berupa konjungtivitis serosa akut,
konjungtivitis hemoragik akut dan konjungtivitis folikular akut
sedangkan manifestasi kronik berupa blefarokonjungtivitis,
blefarokonjungtivitis varisela-zoster, keratokonjungtivitis morbili.(25)
h. Komplikasi
Kebanyakan konjungtivitis yang terjadi tidak menimbulkan
masalah kesehatan serius, tapi bisa menimbulkan frustrasi, terutama
pada penderita konjungtivitis alergi. Hal ini dikarenakan penderita
akan mengalami rasa gatal hebat yang terus menerus. Komplikasi
konjungtivitis yang tergolong serius, adalah adanya jaringan parut
pada mata (akibat konjungtivitis alergi yang parah) dan meningitis (
jika infeksi menyebar).(26)
i. Tatalaksana(27)

Terapi spesifik pada konjungtivitis bakteri tergantung agen


mikrobiloginya. Sambil menunggu hasil laboratorium, dokter bisa
memberikan antimikroba tropikal spektrum luas ( misalnya
polymyxin-trimethoprim). Setiap konjungtivitis purulen yang pulasan
gramnya menunjukan diplokokus gram negatif, sugestif neisseria,
harus segera dimulai terapi topikal dan sistemik. Jika kornea tidak
terlibat, cetfriaxone 1g yang diberikan dosis tunggal per intramuskular
biasanya merupakan terapi sistemik yang adekuat. Jika kornea
terkena, dibutuhkan ceftriaxone parenteral, 1-2 g per hari selama 5
hari. Konjungtivitis purulen dan mukopurulen , saccus conjunctivalis
harus dibilas dengan larutan saline agar dapat menghilangkan sekret
konjungtiva. 1

Untuk konjungtivitis Chlamydia, pengobatan yang paling efektif


adalah dengan pemberian antibiotik sistemik seperti Azitromisin oral
dan Doxycycline. Pengobatannya juga dapat diberikan Tetracycline
topikal 1% dalam 2 kali/hari selama 2 bulan, atau dapat juga diberikan
secara oral dengan dosis 1-1,5 g/hari dalam empat dosis terbagi
selama 3-4 minggu. Selain itu, dapat juga diberikan Doxycycline 100
mg/oral dua kali sehari dalam 3 minggu, atau Erytromicin 1
g/hari/oral dibagi dalam empat dosis selama 3-4 minggu. Erytromicin
direkomendasikan bila secara klinis penderita resisten terhadap
Tetracycline.1,2,3
Pengobatan untuk konjungtivitis alergi, dapat diberikan
dekongestan topikal, antihistamin, stabilisator sel mast, obat
antiinflamasi nonsteroid, dan kortikosteroid. Dalam tinjauan sistemik
yang besar, antihistamin dan stabilisator sel mastik lebih unggul
daripada plasebo dalam mengurangi gejala konjungtivitis alergi.
Dalam sebuah peneliti juga ditemukan bahwa antihistamin lebih
unggul dari stabilisator sel mast dalam memberikan manfaat jangka
pendek. Pada kasus ringan dapat diberikan tetesan vasokonstriktor-
antihistamin topikal dan kompres dingin untuk mengatasi rasa gatal.
Untuk kasus sedang-berat dapat diberikan Sodium cromolyn,
Ketorolac 0,5%, Lodoxamide 0,1% dan Kortikosteroid topikal.
Respon pengobatan pada kasus ini biasanya baik, namun sering
ditemukan kekambuhan kecuali apabila antigennya dihilangkan.
Penggunaan antazolin antihistamin jangka panjang dan naphazolin
vasokonstriktor harus dihindari karena keduanya dapat menyebabkan
rebound hiperemia. Namun frekuensi kekambuhan dan beratnya
gejala cenderung menurun dengan meningkatnya usia. Steroid harus
digunakan dengan hati-hati dan bijaksana. Steroid topikal
berhubungan dengan pembentukan katarak dan dapat menyebabkan
peningkatan tekanan mata, yang menyebabkan glaukoma.1,2,3

6. Abrasi Kornea
a. Definisi
Abrasi kornea adalah luka (goresan, goresan atau luka) ke epitel.
Abrasi biasanya disebabkan oleh goresan kuku, potongan kertas, alat
makeup, goresan dari pohon atau dahan semak, dan menggosok mata.
Dapat juga disebabkan karena tergores benda kecil seperti partikel
debu menyentuh mata Anda. Jika benda asing kecil tersangkut di
bawah kelopak mata, ini bisa menyebabkan goresan pada kornea.
Beberapa kondisi mata, seperti mata kering, meningkatkan
kemungkinan abrasi.(28)
b. Etiologi
Abrasio kornea umumnya akibat dari trauma pada permukaan
mata. Penyebab umum termasuk menusukkan jari ke mata, berjalan ke
sebuah cabang pohon, mendapatkan pasir di mata dan kemudian
menggosok mata atau dipukul dengan sepotong logam proyektil.
Sebuah benda asing di mata juga dapat menyebabkan goresan jika
mata digosok. Selain itu, jika kornea menjadi sangat kering, mungkin
menjadi lebih rapuh dan mudah rusak oleh gerakan di seluruh
permukaan. Trauma adalah penyebab paling umum untuk abrasio
kornea.(1)(29)
i) Abrasi dan Badan Asing
Abrasi kornea dapat disebabkan oleh sejumlah benda
termasuk kuku, keausan lensa kontak, cabang, benda asing yang
tertiup ke mata, atau benda yang jatuh ke mata saat bekerja
mengangkat kepala ke atas.
ii) Perforasi
Kasus laserasi dan perforasi kornea biasanya melibatkan
aktivitas yang menyebabkan proyektil berkecepatan tinggi seperti
gergaji, gerinda, dan benda logam yang digetok.
iii)Terbakar
Luka bakar yang berhubungan dengan paparan mata dapat
dikategorikan menjadi luka bakar kimia (asam dan alkali), luka
bakar radiasi dari sumber ultraviolet (UV), dan luka bakar termal.
Cedera alkali kornea lebih umum daripada asam karena prevalensi
agen pembersih rumah tangga yang mengandung amonia dan
alkali. Luka asam adalah cedera terkait pekerjaan yang melibatkan
proses industri. Luka bakar radiasi menghasilkan keratitis
ultraviolet dari lapisan penyamakan, lingkungan ketinggian tinggi,
busur pengelasan, dan gerhana matahari sesekali. Luka bakar
termal jelas jarang terjadi tetapi dapat terjadi pada benda-benda
seperti rambut keriting dan cedera yang berhubungan dengan api.
c. Epidemiologi
Insidensi terjadinya abrasi kornea di dunia adalah 1,57% setiap
tahunnya. Abrasi kornea cukup umum terjadi di negara Inggris,
mencapai 12-13% kasus baru setiap tahunnya. Abrasi kornea
merupakan salah satu penyebab tersering dari keluhan mata merah
setelah konjungtivitis dan perdarahan subhemoragik dan menjadi
penyebab tersering kondisi mata yang datang ke unit gawat darurat.
Hal ini disebabkan oleh karena rasa nyeri yang hebat akibat kerusakan
epitel kornea sehingga mengganggu produktivitas dan kenyamanan
pasien. Kondisi abrasi kornea lebih banyak terjadi pada pasien dengan
usia produktif dan pekerja automotif. (30)(31)(32)
Data mengenai prevalensi kejadian abrasi kornea maupun trauma
mata di Indonesia masih sangat terbatas. Pada penelitian yang
dilakukan di Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung tahun 2011
didapatkan adanya kejadian trauma mata pada 188 anak usia 0-14
tahun. Ditemukan pula ada 22 kasus trauma mata dengan luka terbuka
dan 170 mata dengan luka tertutup. (33)
d. Patofisiologi(29)
Epitel kornea kaya persarafan, rapuh dan mudah rusak, dan
karenanya, sangat menyakitkan ketika cedera terjadi. Epitel tidak
beregenerasi dengan cepat, dengan sebagian besar penyembuhan
dalam 1 hingga 2 hari.
Luka bakar pada mata dapat menyebabkan cedera kornea yang
signifikan dan jaringan parut permanen. Durasi paparan dan agen
penyebab secara langsung berkorelasi dengan tingkat keparahan luka
bakar mata. Paparan bahan kimia alkali yang kuat menghasilkan
nekrosis liquefaktif yang menembus dan melarutkan jaringan sampai
zat alkali dihilangkan. Luka bakar asam menyebabkan nekrosis
koagulasi yang cenderung kurang parah daripada luka bakar alkali
karena pengendapan protein jaringan yang bertindak sebagai
penghalang untuk penetrasi jaringan lebih lanjut. Paparan sinar UV
menyebabkan kerusakan epitel kornea langsung tetapi biasanya dapat
sembuh dengan sendiri.
e. Diagnosis(34,35)
Anestesi topikal bermanfaat untuk mempermudah pemeriksaan.
Injeksi konjungtiva biasanya dilakukan. Keburaman atau infiltrasi
kornea dapat terjadi dengan ulkus kornea atau infeksi. Kornea yang
kabur adalah tanda edema akibat gesekan berlebihan. Periksa ruang
anterior untuk hyphema atau hypopyon. Kehadiran hyphema atau
hypopyon membutuhkan rujukan oftalmologis segera. Abrasi pada
bagian tengah kornea akan menyebabkan penurunan ketajaman visual.
Penurunan ketajaman visual yang signifikan memerlukan rujukan ke
dokter mata. Dokumentasikan gerakan ekstraokular.
Pewarnaan fluorescein membantu mengidentifikasi cacat epitel
kornea. Oleskan setetes anestesi topikal ke mata atau pada strip
fluorescein dan kemudian oleskan ke konjungtiva. Pewarna tampak
hijau di bawah cahaya biru kobalt. Luka kornea traumatis biasanya
memiliki bentuk linier atau geografis. Jika seorang pasien memakai
lensa kontak, abrasi mungkin memiliki beberapa lesi belang-belang
yang menyatu menjadi bulat, cacat sentral.
f. Komplikasi
Komplikasi abrasi kornea dapat berupa keratitis bakteri, ulcus
kornea, iritis traumatik, dan sindrom erosi berulang. Abrasi kornea
dapat menjadi infeksi sekunder, terutama dalam kasus-kasus yang
melibatkan pekerjaan dalam bidang pertanian atau bahan infeksi, yang
menyebabkan keratitis bakteri. Keratitis bakteri dapat berkembang
menjadi ulkus kornea jika tidak diobati dan berpotensi kehilangan
penglihatan permanen. Pasien yang pernah mengalami trauma tumpul
mungkin mengalami komplikasi iritis traumatis.(36)
g. Tatalaksana
Tatalakasana dilakukan berdasarkan status luka pada mata dan
jenis benda asing. Biasanya, akan menggunakan obat tetes mata atau
salep yang mengandung steroid atau obat anti radang nonsteroid
(nonsteroidal anti-inflammatory/NSAID) untuk mengurangi radang
dan mencegah tergoresnya kornea. Disarankan menggunakan obat
tetes mata antispasmodic untuk meredakan rasa sakit dan mengurangi
iritasi otot.(36)
7. Patofisiologi
a. Visus menurun mata merah
Visus merupakan sebuah ukuran kuantitatif atau suatu kemampuan
untuk mengidentifikasi simbol simbol berwarna hitam dengan latar
belakang putih dengan jarak yang telah distandarisasikan serta ukuran
symbol yang bervariasi. Penurunan visus adalah apabila tajam
pengelihatan seseorang kurang dari 20/20 atau 6/6.
Pada mata merah terjadi pelebaran pembuluh darah sebagai tanda
adanya infeksi, alergi atau trauma. Mata merah akibat melebarnya
pembuluh darah konjungtiva yang terjadi pada peradangan
akut misalnya konjungtivitis, keratitis atau Pada keratitis,
pleksus arteri konjungtiva permukaan melebar, sedangkan pembuluh
darah arteri perikornea yang letaknya lebih dalam akan melebar
pada penyakit iritis dan glaukoma akut kongestif. Penyebab
mata merah dapat juga karena pecahnya pembuluh darah. Penyebab
dari visus menurun dapat dikarenakan adanya gangguan refraksi.
Contohnya apabila dikornea dikarenakan keratitis atau ulkus kornea.
Ada 2 macam visus menurun mata tenang, yaitu mata tenang
penglihatan turun mendadak dan mata tenang penglihatan turun
perlahan:(1)
1. Mata tenang penglihatan turun mendadak
Penglihatan turun mendadak tanpa radang ekstraokular dapat
disebabkan oleh beberapa kelainan. Kelainan ini dapat terlihat
pada neuritis optic, ablasi retina, obstruksi vena retina sentral,
oklusi arteri retina sentral, perdarahan badan kaca, amblyopia
toksik, histeria, retinopati serosa sentral, amaurosis fugaks, dan
koroiditis.
2. Mata tenang penglihatan turun perlahan
Penglihatan turun perlahan dapat disebabkan oleh beberapa
kelainan. Kelainan ini dapat terlihat pada katarak, glaucoma,
retinopati.
b. Sensasi berpasir
Ada dua jenis utama sindrom mata kering. Yang pertama adalah
kekurangan komponen air pada air mata karena kelenjar lakrimal
gagal menghasilkan cukup banyak komponen air untuk
mempertahankan permukaan air mata yang sehat. Ini ditemukan pada
mereka dengan sindrom Sjogren dan gangguan autoimun seperti
rheumatoid arthritis. Kekurangan air juga dapat dilihat dalam situasi di
mana ada penutupan yang buruk dari tutup atau di mana tutupnya
tidak cukup menyentuh kornea. Tipe kedua dari sindrom mata kering
disebabkan oleh masalah dengan lapisan lipid yang diproduksi oleh
kelenjar meibom. Permukaan air mata berminyak teratas
memperlambat laju penguapan air mata. Dalam situasi seperti
disfungsi kelenjar meibom, minyaknya tidak normal dan melakukan
pekerjaan yang buruk untuk menstabilkan lapisan air mata,
memungkinkan air mata menguap lebih cepat. Mata kering juga dapat
terjadi ketika ada produksi surfaktan (musin) yang tidak memadai
untuk menjaga agar air mata tetap menempel di depan kornea.
c. Mata merah
Sakit mata atau mata merah dalam istilah medis disebut
konjungtivitis. Gejala yang muncul tergantung dari penyebabnya
seperti virus, bakteri dan alergi. Mata merah ini meskipun mata
tampak sangat merah namun tidak ada gangguan penglihatan. Mata
merah pada penyakit ini dapat dibedakan dengan mata merah karena
iritasi ringan, biasanya pada iritasi ringan merah merata dan tidak
mengikuti alur pembuluh darah mata. Mata iritasi dapat disebabkan
oleh paparan sinar atau cahaya yang berlebihan pada mata. Pada
wanita atau pria dapat mengalami atau merasa keluhan pada mata
seperti mata kering. Seperti pada seorang wanita atau pria ketika lama
melihat atau membaca pada suatu objek kemudian mata yang menatap
secara terus-menerus seperti saat membaca, melihat televisi dan
menggunakan telepon genggam. 39
Pembuluh darah yang bengkak atau melebar pada bagian putih
mata, yang menyebabkan mata terlihat merah (mata merah).40 Pada
peradangan mata akut yaitu konjungtivitis, mata terlihat merah akibat
melebarnya pembuluh darah konjungtivita. Bila terjadi pelebaran
pembuluh darah arteri konjungtivita posterior dan arteri siliar anterior
maka akan terjadi mata merah.41
8. Pemeriksaan fisik mata
a. Pemeriksaan Tajam Penglihatan
Pemeriksaan tajam penglihatan merupakan pemeriksaan
fungsi mata. Gangguan penglihatan memerlukan pemeriksaan
untuk mengetahui sebab kelainan mata yang mengakibatkan
turunnya tajam penglihatan. Tajam penglihatan perlu dicatat
pada setiap mata yang memberikan keluhan mata. Untuk mengetahui
tajam penglihatan seseorang dapat dilakukan dengan kartu Snellen
dan bila penglihatan kurang maka tajam penglihatan diukur
dengan menentukan kemampuan melihat jumlah jari (hitung jari),
ataupun proyeksi sinar. Untuk besarnya kemampuan mata
membedakan bentuk dan rincian benda ditentukan dengan
kemampuan melihat benda terkecil yang masih dapat dilihat pada
jarak tertentu. Pemeriksaan tajam penglihatan dilakukan pada mata
tanpa atau dengan kacamata dan setiap mata diperiksa terpisah.(1)

Mata yang tidak dapat membaca satu huruf pun pada kartu
Snellen diuji dengan cara menghitung jari. Jika tidak bisa
menghitung jari, mata tersebut mungkin masih dapat mendeteksi
tangan yang digerakkan secara vertikal atau horizontal. Tingkat
penglihatan yang lebih rendah lagi adalah kesanggupan
mempersepsi cahaya. Mata yang tidak dapat mempersepsi cahaya
dianggap buta total.(42)
Dengan kartu Snellen standar ini dapat ditentukan tajam
penglihatan atau kemampuan melihat seseorang, seperti:(1)
a. Bila tajam penglihatan 6/6 maka berarti ia dapat melihat huruf
pada jarak enam meter, yang oleh orang normal huruf tersebut
dapat dilihat pada jarak enam meter.
b. Bila pasien hanya dapat membaca pada huruf baris yang
menunjukkan angka 30, berarti tajam penglihatan pasien adalah
6/30.

b. Uji Lubang Kecil


Uji ini bertujuan untuk mengetahui apakah tajam penglihatan yang
kurang terjadi akibat kelainan refraksi atau kelainan organik media
penglihatan. Penderita duduk menghadap kartu Snellen dengan
jarak 6 meter. Penderita disuruh melihat huruf terkecil yang
masih terlihat dengan jelas. Kemudian pada mata tersebut
ditaruh lempeng berlubang kecil (pinhole atau lubang sebesar
0.75 mm).
Bila terdapat perbaikan tajam penglihatan dengan melihat
melalui lubang kecil berarti terdapat kelainan refraksi. Bila
terjadi kemunduran tajam penglihatan berarti terdapat
gangguan pada media penglihatan. Mungkin saja ini
diakibatkan kekeruhan kornea, katarak, kekeruhan badan kaca,
dan kelainan makula lutea.(1)
c. Uji Pengkabutan (Fogging Test)
Uji pemeriksaan astigmatisme dengan memakai prinsip
mengistirahatkan akomodasi dengan memakai lensa positif.
Dengan mata istirahat pasien disuruh melihat astigmatism dial
(juring astigmatisme). Bila garis vertikal yang terlihat jelas
berarti garis ini telah terproyeksi baik pada retina sehingga
diperlukan koreksi bidang vertikal dengan memakai lensa silinder
negatif dengan sumbu 180 derajat. Penambahan kekuatan silinder
diberikan sampai garis pada juring astigmatisme terlihat sama
jelasnya.(1)
d. Uji Duokrom (Uji Keseimbangan Merah Biru)
Pada mata emetropia sinar merah dibiaskan di belakang retina
sedang sinar hijau di depan, demikian pula dengan mata yang
telah dikoreksi dengan tepat. Penderita duduk dengan satu mata
ditutup dan melihat pada kartu merah hijau yang ada huruf
diatasnya. Pada pasien diminta untuk memberitahu huruf diatas
warna yang tampak lebih jelas. Bila terlihat huruf diatas hijau
lebih jelas berarti mata hipermetropia, sedang pada miopi akan lebih
jelas huruf pada warna merah. Pada keadaan diatas dilakukan
koreksi sehingga huruf diatas warna hijau sama jelas dibanding
huruf diatas warna merah.(1)
e. Uji Dominan Mata
Uji ini bertujuan untuk mengetahui mata dominan pada anak.
Anak diminta melihat pada satu titik atau benda jauh. Satu mata
ditutup kemudian mata yang lainnya. Bila mata yang dominan
yang tertutup maka anak tersebut akan menggerakkan kepalanya
untuk melihat benda yang matanya dominan.(1)
f. Uji Crowding Phenomenon
Uji ini bertujuan untuk mengetahui adanya ambliopia.
Penderita diminta membaca huruf kartu Snellen sampai huruf
terkecil yang dibuka satu persatu atau yang diisolasi, kemudian
isolasi huruf dibuka dan pasien disuruh melihat sebaris huruf
yang sama. Bila terjadi penurunan tajam penglihatan dari huruf
isolasi ke huruf dalam baris maka ini disebut adanya crowding
phenomenon pada mata tersebut. Mata ini menderita amblyopia.(1)
9. Pemeriksaan penunjang pada mata(44)
1. Tes ketajaman penglihatan dan uji refraksi
Dalam tes ketajaman penglihatan atau yang disebut juga
pemeriksaan visus mata, pasien diminta untuk melihat bagan berisi
huruf-huruf dengan ukuran bervariasi, yang disebut snellen chart.
Pasien akan diposisikan duduk dengan jarak 6 meter dari snellen chart.
Dokter akan meminta pasien menyebut angka-angka yang ditunjuk
oleh dokter. Bila tes tajam penglihatan tidak normal, dokter akan
melakukan uji refraksi untuk menentukan ukuran kacamata atau lensa
kontak yang tepat. Uji refraksi dilakukan dengan menggunakan alat
khusus yang disebut phoropter. Melalui alat ini, dokter akan melakukan
koreksi pada lensa hingga pasien dapat menyebutkan huruf-huruf
dengan jelas. Saat pemeriksaan berjalan, dokter dapat bertanya
mengenai objek yang dilihat pasien, apakah makin jelas atau makin
tidak terlihat. Dari jawaban pasien, dokter akan menentukan lensa
tambahan yang dibutuhkan. Tes ini berguna untuk mendeteksi
gangguan refraksi, seperti rabun jauh (miopi), rabun dekat
(hipermetropi), mata tua (presbiopi), dan mata silinder (astigmatisme).
2. Tes lapang pandang
Tes ini berguna untuk mengukur seberapa luas pandangan mata
seseorang jika dibandingkan dengan lapang pandang mata normal.
Dokter akan meminta pasien untuk menatap objek yang terletak di garis
tengah dari hadapan pasien. Selagi melihat objek tersebut, pasien
diminta untuk memberi tahu dokter tentang objek lain yang bergerak
menyamping. Seberapa jauh objek lain tersebut masih dapat dilihat oleh
mata, tanpa menggerakan bola mata, dari situlah dokter menilai
seberapa luas lapang pandang seseorang. Tes lapang pandang ini
berguna untuk mengukur jangkauan penglihatan yang menurun akibat
glaukoma atau stroke.
3. Tonometri
Tonometri atau tes tekanan bola mata dapat dilakukan
menggunakan jari dokter dengan merasakan konsistensi dari bola mata,
tetapi hal ini bersifat subjektif. Atau menggunakan alat yang yang
disebut tonometer, alat yang menghembuskan udara, dan menghitung
tekanan bola mata dari hembusan udara tersebut, secara objektif. Tes ini
membantu dokter dalam mendiagnosis glaukoma.
4. Slit lamp
Slit lamp merupakan alat yang dapat menembakkan sinar
berbentuk seperti titik kecil ke mata. Ketika menggunakan slit lamp,
dokter dapat melihat kelainan pada bagian mata lebih jelas, seperti
kerusakan pada kornea, kelainan lensa mata (misalnya katarak), retina
(misalnya ablasi retina), dan degenerasi makula. Terkadang, dokter
memberikan tetes mata untuk melebarkan pupil, sehingga bagian mata
yang terletak lebih dalam dari pupil, terlihat lebih jelas.
5. Topografi kornea dan retina
Tes ini menggunakan komputer untuk memetakan lengkungan
kornea atau permukaan retina. Dokter akan menganalisa perubahan
pada lengkungan kornea, seperti bengkak atau tergores, yang bisa
menyebabkan astigmatisma. Tes pemetaan kornea dan retina juga
berguna untuk mengevaluasi penglihatan pasien sebelum menjalani
LASIK, transplantasi kornea, atau memilih lensa kontak yang tepat.
Selain itu, topografi juga digunakan untuk mendiagnosis penyakit
retina.
10. Hubungan penurunan visus dengan
a. Hipertensi
Hipertensi atau tekanan darah tinggi memberikan kelainan pada
retina berupa retinopati hipertensi, dengan arteri yang besarnya tidak
teratur, eksudat pada retina, edema retina, dan perdarahan retina. Ini
disebabkan oleh hipertensi yang tidak terkontrol. Hipertensi yang
tidak terkontrol dapat menyebabkan 3 tipe kerusakan ocular:
koroidopati, retinopati, dan neuropati optikal. Retinopati adalah
kelainan pada retina yang tidak disebabkan radang. Retinopati ini
berhubungan dengan kelainan pada retina yang menyebabkan
penurunan penglihatan. Retinopati hipertensi muncul ketika pembuluh
darah retina rusak karena peningkatan tekanan darah.(43)
b. DM(47)
Retinopati diabetes adalah salah satu komplikasi mikrovaskular
dari diabetes melitus (DM). Penurunan penglihatan yang terjadi akibat
masalah vaskularisasi retina terjadi secara progresif. Retinopati
merupakan gejala DM yang paling utama pada mata. Gejala subjektif
yang umumnya ditemukan dapat berupa kesulitan membaca,
penglihatan kabur, penglihatan tiba- tiba menurun pada satu mata,
melihat lingkaran- lingkaran cahaya atau bintik gelap. Secara objektif,
pada RD dapat ditemukan adanya mikroaneurisma terutama pada
daerah vena, perdarahan dalam bentuk titik, garis maupun bercak,
dilatasi pembuluh darah balik dengan lumen ireguler, hard exudate,
soft exudates, neovaskularisasi, edema retina dan hiperlipidemia pada
retina.
Mekanisme terjadinya penyakit ini pun diketahui terdapat
bermacam-macam. Mekanisme retinopati diabetes ini dapat ditinjau
dari beberapa aspek seperti lesi anatomi dan mekanisme biokimia
yang terlibat. Berdasarkan lesi anatomis dari retinopati diabetes,
setidaknya ada 2 bagian yang terlibat yaitu membrana basalis dan sel
perisit yang terdapat dalam pembuluh kapiler retina. Membrana
basalis kapiler bertindak seperti rangka pada retina. Membrana basalis
member struktur yang kaku pada organ seperti pembuluh darah. Selain
bertindak sebagai rangka, membrana basalis retina juga memiliki
fungsi diferensiasi dan proliferasi sel dan mengikat faktor- faktor
pertumbuhan, khususnya fibroblast growth factor (FGFs). Pada
retinopati diabetes, membrana basalis mengalami penebalan akibat
proses glikasi (baik enzimatik maupun non-enzimatik) dan jalur
sorbitol (sorbitol pathway).
Penebalan membrana basalis dari kepiler retina ini menyebabkan
fungsi sirkulasi dari retina terganggu. Mikroaneurisma juga dapat
ditemukan dalam patogenesis retinopati diabetes. Mikroaneurisma
tumbuh dari dinding pembuluh darah yang lemah akibat hilangnya
perisit intramural, untuk kontraksi dinding arteriol, akibat jalur
sorbitol. Mikroaneurisma juga dapat terjadi karena apoptosis dari sel-
sel endotel. Adanya mikroaneurisma dapat diidentifikasi dengan bintik
merah dari hasil oftalmoskopi. Mikroaneurisma akan terlihat seperti
struktur anggur bila dilihat dibawah mikroskop.
Terdapat dua jenis mikroaneurisma dalam RD, yaitu
mikroanuerisma aselular dan mikroaneurisma aselular.
Mikroaneurisma aselular tejadi akibat apoptosis yang ekstensif dari
sel-sel endotel dan perisit, sedangkan mikroaneurisma selular terjadi
akibat proliferasi sel endotel dan efek antiproliferasi akibat hilangnya
perisit. Menurunnya fungsi retina akan selaras dengan penurunan
fungsi makula. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dengan
menggunakan adaptometer, fungsi makula pada retinopati diabetes
mengalami penurunan dibandingkan dengan orang normal.
c. Penyakit sistemik
Setiap individu memiliki sistem imun yang berbeda-beda dan
setiap individu memiliki tingkat elestisitas lensa yang berbeda-beda,
sistem imum berperan dalam mengatasi benda asing dari luar tubuh
yang masuk ke dalam tubuh dan mengganggu suatu fungsi dari organ.
Apabila mata mendapat trauma berupa benda fisik dan kemudian
terjadi infeksi maka sistem imunlah yang pertama kali mengatasi luka
dan infeksi tersebut, sehingga luka dan infeksi tidak terjadi
berkepanjangan, apabila seseorang memiliki sistem imun yang buruk
terlebih orang yang menderita penyakit sistemik seperti diabetes
melitus (DM) maka proses penyembuhan akan lama, ini akan
mempengaruhi lensa mata yang kemudian melakukan akomodasi
secara terus menerus dan menyebabkan terjadi perubahan bentuk dari
lensa normal kearah tidak normal lagi, perubahan ini berakibat pada
tajam penglihatan atau visus terganggu.(43)
Diabetes Melitus dan Hipertensi diperkirakan berperan dalam
kerusakkan saraf optik melalui jalur mekanis dan vaskular. Melalui
jalur mekanis, keduanya dapat mengakibatkan peningkatan tekanan
intraokuler sementara melalui jalur vaskular, keduanya dapat
mengakibatkan penurunan tekanan perfusi okuler. (44)
Diabetes dapat memproduksi AGE product yang mana
merupakan oksidan sehingga membuat adanya gangguan yaitu
komplikasi mikrovaskular yang akan mempengaruhi autoregulasi dari
pembuluh darah pada retina dan saraf optik. Penelitian membuktikan
adanya kerusakan vaskular tersebut akan mempengaruhi saraf optik
yang mana akan merubah optic disk, yang mana akan menimbulkan
neuropati glaucomatuos optic.(49)
DM menyebabkan peningkatan kadar sorbitol dalam lensa yang
lama-kelamaan akan menyebabkan terjadinya kerusakan yang
permanen pada serat dan protein lensa yang mengakibatkan kekeruhan
pada lensa. Hipertensi dapat merusak pembuluh darah di mata
sehingga mereka tidak dapat mengkompensasi perubahan dalam aliran
darah ketika tekanan mata meningkat.(45)
Menurut teori iskemik, turunnya aliran darah di dalam lamina
kribrosa akan menyebabkan iskemia dan tidak tercukupinya energi
yang diperlukan untuk transport aksonal. Iskemik dan transport
aksonal akan memacu terjadinya apoptosis. Pada proses iskemik,
terjadi mekanisme autoregulasi yang abnormal sehingga tidak dapat
mengkompensasi perfusi yang kurang dan terjadi resistensi
(hambatan) aliran humor akuous pada trabekular meshwork yang
akhirnya menyebabkan peningkatan tekanan intraokuli (TIO).2
HT memiliki resiko 2.61 kali lebih besar untuk mengalami POAG
dibandingkan normotensi. Tekanan darah yang tinggi akan
menurunkan tekanan diastolik perfusi aliran darah ke mata dan adanya
perbedaan antara tekanan diastolik pada arteri dan IOP. Akan tetapi
mekanisme yang pasti terjadi adalah penurunan aliran darah ke mata
yang menimbulkan keparahan glaukoma.(46)
11. Tatalaksana pada kasus
a. Farmakologi
Penatalaksanaan pada keratitis pada prinsipnya adalah diberikan
sesuai dengan etiologi. Untuk virus dapat diberikan idoxuridin,
trifluridin atau asiklovir. Untuk bakteri gram positif pilihan pertama
adalah cafazolin, penisilin G atau vancomisin dan bakteri gram negatif
dapat diberikan tobramisin, gentamisin atau polimixin B. Pemberian
antibiotik juga diindikasikan jika terdapat sekret mukopurulen yang
menunjukkan adanya infeksi campuran dengan bakteri. Untuk jamur
pilihan terapi yaitu natamisin, amfoterisin atau fluconazol. Terapi
dapat diberikan setelah dilakukan pemeriksaan penunjang untuk
menentukan diagnosis.
Selain terapi berdasarkan etiologi, pada keratitis pungtata
superfisial ini sebaiknya juga diberikan terapi simptomatisnya agar
dapat memberikan rasa nyaman seperti air mata buatan, sikloplegik
dan kortikosteroid.
b. Nonfarmakologi
Pasien harus diajari bagaimana cara menghindari kontaminasi mata
yang sehat atau mata orang lain. Perawat dapat memberikan intruksi
pada pasien untuk tidak menggosok mata yang sakit dan kemudian
menyentuh mata yang sehat, mencuci tangan setelah setiap kali
memegang mata yang sakit, dan menggunakan kain lap, handuk, dan
sapu tangan baru yang terpisah untuk membersihkan mata yang
sakit.(47)
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pasien tersebut mengalami keratitis.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas HS, Yulianti SR. Ilmu Penyakit Mata. Edisi Kelima. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2017.
2. Snell RS. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi Keenam.
EGC. Jakarta. 2006.
3. Ilyas S, Sri RY. Ilmu Penyakit Mata Edisi keempat. Badan Penerbit FKUI.
Jakarta. 2012.
4. Mescher, AL. Histologi Dasar Junquera, Teks dan Atlas Ed12. EGC:
Jakarta; 2012: 403-13
5. American Academy of Ophthalmology. Ocular Immune Responses in
Intraocular Inflammation and Uveitis. Basic and Clinical Science Course.
2006. p. 33-42
6. Guyton, A.C. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9.Jakarta . EGC.
2007
7. Kanski JJ, Bowling B. Clinical ophtalmology: a systemic approach. 7th ed.
Amsterdam: Elsevier Saunders; 2011.
8. Al-Mujaini A, Al-Kharusi N, Thakral A, Wali UK. Bacterial keratitis:
perspective on epidemiology, clinico-pathogenesis, diagnosis and
treatment. Sultan Qaboos Univ Med J. 2009;9(2):184-95.
9. Farida sulvia,artati sri redjeki, ika fidianingsih, yuli sulistyowati.
Karakterisiktis penderita keratitis di rumah skait Dr.yap Yogyakarta.
Jurnal kedokteran dan kesehatan Indonesia. 2011
10. Khurana AK. Comprehensive Opthalmology. 4thed. New Age International
Limited Publisher. 2007.
11. American Academy of Ophthalmology. https://www.aao.org/eye-
health/diseases/what-is-keratitis. Accessed Sept. 18, 2018.
12. Jett BD and Gilmore MS. Host-Parasite Interactions in Staphylococcus
aureus Keratitis. DNA and Cell Biology.2002;5(6)
13. Khurana A K. Community ophthalmology in comprehensive
ophthalmology 4th Ed. India: New Age International Limited publisher;
2007:443-5
14. Mayoclinic. Keratitis diagnosis and treatment. Tersedia di
https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/keratitis/diagnosis-
treatment/drc-20374114. [online]. Di akses pada tanggal 23 February 2018
15. Lang GK. Cornea. In : Lang GK. Ophthalmology A Short Textbook Atlas.
2nd edition. Stuttgart ; thieme. 2007
16. American Academy of Ophthalmology. 2017-2018 Basic and Clinical
Science Course (BCSC) Section 8 : Externa disease and cornea, San
Fransisco. 2018.
17. Upadhyay, MP. et al. Diagnosing and managing microbial keratitis.
Community Eye Health Journal, New York: McGraw-Hill; 2015. pp. 3–6
18. American Optometric Association. Care of the Patient with Conjunctivitis.
United States of America: American Optometric Association; 2002.
19. Ratna Sitompul. Konjungtivitis Viral: Diagnosis dan Terapi di Pelayanan
Kesehatan Primer. ViralVol. 5, No. 1, April 2017.
20. Depkes RI. Jakarta: Sistem Kesehatan Nasional; 2009.
21. Scott, I.U., 2010. Viral Conjunctivitis. Departement of Opthalmology
and Public Health Sciences: Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/ 1191370-overview. [Accessed
7/2/2019]
22. Ilyas, S. Kelainan Adneksa dan Kelopak Mata. Dalam: Ilyas, S. (ed).
Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI,
2008: 44
23. American Academy of Ophthalmology. Cornea/External Disease Panel .
Preferred Practice Pattern Guidelines: Conjunctivitis-Limited Revision.
American Academy of Ophthalmology; San Francisco, CA: 2011
24. O’Brien TP, Jeng BH, McDonald M, Raizman MB. Acute conjunctivitis:
truth and misconceptions. Curr Med Res Opin. 2009;25(8):1953–1961.
25. Sitompul, Ratna. Konjungtivitis Viral: Diagnosis Dan Terapi Di Pelayanan
Kesehatan Primer. eJournal Kedokteran Indonesia, 2017, 5.1: 65-71.
26. Amir, AA, Barney, NP. Conjunctivitis A Systematic Review of Diagnosis
and Treatment. JAMA. Author manuscript, 2013. pp. 1721–1729.
27. Vaughan & Asbury. Oftalmologi Umum / Paul Riordan-Eva, John P.
Witcher. Edisi 17. Jakarta: ECG, 2009.
28. Hingorani Melanie., Kang Swan., Langton Linda. Corneal Abrasion.
Moorfieleds Eye Hospital. 2013.NHS Foundation Trust. URL :
https://www.moorfields.nhs.uk/sites/default/files/A%26E%20Corneal%20
abrasion.pdf
29. Melanson, SW and Willmann, D. Corneal Injury [Internet]. StatPearls
Publishing LLC, 2018. URL from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459283/.
30. BMJ Best Practice. Corneal Abrasions. 2018.
31. Willmann D, melanson SW. Corneal Injury. StatPearls NCBI. 2017:1-5.
32. Verma A, Khan FH. Corneal Abrasion. 2017.
33. Laila W. Characteristics and management of pediatric ocular trauma.
Ophthalmology Indonesia. 2015:74-79
34. Domingo E, Zabbo CP. Corneal Abrasion. [Updated 2018 Oct 27]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2018
Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK532960/
35. Wipperman, Jennifer L.; Dorsch, John N. Evaluation and management of
corneal abrasions. American family physician, 2013, 87.2.
36. Harper R. Basic Ophthalmology 9th edition. San Francisco: American
Academy of Ophthalmology. 2010
37. Golden MI, Fries PL. Dry Eye Syndrome. [Updated 2018 Oct 27]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2018
Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470411/
38. Harahap, Alprida, et al. Analisis Kualitas Air Sungai Akibat Pencemaran
Tempat Pembuangan Akhir Sampah Batu Bola dan Karakteristik
Sertakeluhan Kesehatan Pengguna Air Sungai Batang Ayumi di Kota
Padangsidimpuan Tahun 2012. Lingkungan dan Keselamatan Kerja, 2013,
2.2.
39. Puspita, Khairani; Sanjaya, Andi; Ummi, Khairul. Sistem Pakar
Penelusuran Bakteri Chlamydia Trachomatis Menggunakan Forward
Chaining. CSRID (Computer Science Research and Its Development
Journal), 2015, 7.2: 124-134.
40. Suciana, Fitri. Hubungan Antara Lama Penggunaan Telepon Genggam
Dengan Kelelahan Mata Di Sma Negeri 3 Klaten. TRIAGE Jurnal Ilmu
Keperawatan (Journal of Nursing Science), 2016, 6.1.
41. Riordan-Eva, P., Whitcher, J.P., Oftalmologi Umum Vaughan &
Asbury. Ed. 17. Jakarta: EGC, 2009. 28-32.
42. Cummins, M. Visual Field Testing. Medscape. [Online]. 2016. Available
from: https://emedicine.medscape.com/article/2094663-overview
43. Modi P, Arsiwalla T. Hypertensive Retinopathy [Internet]. [updated on
January 2018; cited on February 2019]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK525980/
44. Indri Seta Septadina. Perubahan Anatomi Bola Mata pada Penderita
Diabetes Mellitus. No. 2, April 2015
45. Mahanggoro, Tri Pitara, et al. Perbedaan Tingkat Ketajaman Visus antara
Penambang Pasir di Sungai Serayu dan Perenang di Umbang Tirto
Yogyakarta. Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, 2016,
7.2 (s): 111-119.
46. Palupi, Intan Retno, et al. Laporan Praktek Farmakoterapi Sistem
Endokrin, Reproduksi, Dan Sirkulasi (DEF 4274T) Semester Genap.
47. Sitompul, R. Viral Conjunctivitis: Diagnosis and Therapy in Primary
Health Care. eJournal Kedokteran Indonesia. 2017. 65-71.

Anda mungkin juga menyukai