PEMICU 1
MODUL PENGINDERAAN
KELOMPOK 6
Rosa I1011161001
Muhammad Ibnu Nazari I1011161009
Raditia Tri Prasetyo I1011161012
Rachel Dhea Aprila I1011161020
Erica Sugandi I1011161029
Hesti Ratna Pratiwi I1011161023
Willy Sanjaya I1011161031
Florentina Vina I1011161043
Indah Ayu Putri I1011161046
Dede Apreli I1011161062
Solideo Gloria Tering I1011161068
Novta Rouli Sihombing I1011161071
PENDAHULUAN
1.1 Pemicu
Seorang lak-laki, 52 tahun, seorang kuli bangunan, datang ke poli mata
BKMM dengan keluhan pandangan kabur pada mata kiri yang dialami sejak
±3 bulan yang lalu. Awalnya mata kiri pasien terasa berpasir setelah bekerja.
Keesokan harinya, ia merasakan mata kirinya sakit, berair dan menjadi merah.
Selanjutnya, pandangan terasa kabur dan silau jika melihat. Riwayat nyeri
pada kepala dan pusing (-), riwayat memakai kacamata (-), riwayat HT (-),
riwayat DM (-), riwayat penyakit sistemik lainnya (-), riwayat penyakit mata
yang sebelumnya disangkal, riwayat penyakit yang sama dalam keluarga (-).
Pemerikasaan fisik ditemukan kondisi umum: sakit sedang, gizi cukup,
compos mentis. Tanda vital: Tekanan darah 120/80mmHg, suhu: 36,8oC,
pernafasan: 18 x/menit, nadi: 84 x/menit.
1.2 Klarifikasi dan Definisi
-
1.3 Kata Kunci
1. Laki-laki 52 tahun (kuli bangunan)
2. Pandangan kabur pada mata kiri 3 bulan lalu
3. Mata kiri sakit, berair, dan merah
4. Mata kiri terasa berpasir setelah bekerja
5. Silau saat melihat
6. Sakit sedang
7. Gizi cukup
8. Compos mentis
1.4 Rumusan Masalah
Seorang laki-laki (kuli bangunan) usia 52 tahun datang dengan keluhan
pandangan kabur pada mata kiri sejak 3 bulan lalu yang diawali dengan rasa
berpasir kemudian diikuti dengan keluhan mata kiri sakit, merah, dan silau
jika melihat.
1.5 Analisis Masalah
Pemfis:
Inflamasi
KU: Sakit
Sedang, Gizi
Cukup,
DD
Compos
Mentis 1. Keratitis
2. Konjungtivitis
Pemeriksaan Penunjang
Tatalaksana
1.6 Hipotesis
Laki-laki 52 tahun mengalami keratitis et causa abrasi kornea
1.7 Pertanyaan Diskusi
1) Mata
a. Anatomi
b. Fisiologi
c. Histologi
d. Sistem Pertahanan
2) Fisiologi Penglihatan
3) Pemulihan Mata
4) Keratitis
a) Definisi
b) Etiologi
c) Epidemiologi
d) Patofisiologi
e) Klasifikasi
f) Faktor risiko
g) Diagnosis
h) Komplikasi
i) Tatalaksana
j) Prognosis
k) Edukasi
l) Pencegahan
5) Konjungtivitis
a) Definisi
b) Etiologi
c) Epidemiologi
d) Patofisiologi
e) Klasifikasi
f) Faktor risiko
g) Diagnosis
h) Komplikasi
i) Tatalaksana
6) Abrasi Kornea
a) Definisi
b) Etiologi
c) Epidemiologi
d) Patofisiologi
e) Diagnosis
f) Komplikasi
g) Tatalaksana
7) Patofisiologi
a) Visus menurun mata merah
b) Sensasi berpasir
c) Mata merah
8) Pemeriksaan fisik mata
9) Pemeriksaan penunjang pada mata
10) Hubungan penurunan visus dengan
a) Hipertensi
b) DM
c) Penyakit sistemik
11) Tatalaksana pada kasus
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Mata
a. Anatomi(1)
(1) Kelopak mata atau palpebral
Kelopak mata atau palpebral mempunyai fungsi melindungi
bola mata serta mengeluarkan sekresi kelenjar yang membentuk
film air mata di depan kornea. Kelopak merupakan alat menutuo
mata yang berguna untuk melindungi bola mata terhadap trauma,
trauma sinar dan keringnya bola mata.
Kelopak mempunyai lapis kulit yang tipis pada bagian depan
sedang di bagian belakang ditutupi selpaut lender tarsus ynag
disebut konjungtiva tarsal. Konjungtiva tarsal melalui forniks
menutup bulbus okuli. Konjungtiva merupakan membrane mukosa
yang mempunyai sel Goblet yang menghasilkan musin.
Pada kelopak mata terdapat bagian-bagian:
a) Kelenjar seperti: kelenjar sebasea, kelenjar Moll atau kelenjar
keringat, kelenjar Zeis pada pangkal rambut, dan kelenjar
Meibom pada tarsus.
b) Otot seperti: M. orbicularis oculi yang berjalan melingkar di
dalam kelopak atas dan bawah, terletak di bawah kulit
kelopak. Pada dekat tepi margo palpebral terdapat otot
orbicularis okuli yang disebut sebagai M. rioland.
M.orbicularis berfungsi menutup bola mata yang dipersarafi N.
facialis. M.levator palpebral yang berorigo pad annulus
foramen orbita dan berinsersi pada tarsus atas dengan sebagian
menembus M. orbicularis oculi menuju kulit kelopak bagian
tengah. Bagian kulit tempat insersi M. levator palpebral
terlihat sebagai sulkus (lipatan) palpebral. Otot ini dipersarafi
oleh N.III yang berfungsi untuk mengangkat kelopak mata
atau membuka mata.
c) Di dalam kelopak mata terdapat tarsus yang merujpakan
jaringan ikat dengan kelenjar di dalamnya atau kelenjar
Meibom yang bermuara pada margo palpebral.
d) Septum orbita yang merupakan jaringan fibrosis yang berasal
dari rima orbita sebagai pembatas isi orbita dengan kelopak
depan
e) Tarsus ditahan oleh septum orbita yang melekat pada rima
orbita. Tarsus (terdiri atas jaringan ikat yang merupakan
jaringan penyokong kelopak dengan kelenjar Meibom) (40di
kelopak atas dan 20 pada kelopak bawah).
f) Pembuluh darah yang memperdarahinya adalah A. palpebra
g) Persarafan sensorik kelopak mata atas didapatkan dari rumus
frontal saraf V, sedangkan kelopak bawah oleh cabang ke II
sarf ke V.
(2) Sistem Lakrimal
Sistem sekresi air mata atau lakrimal terletak di daerah
temporal bola mata. Sistem eksresi mulai pada pungtum lakrimal,
kanalikuli lakrimal, sakus lakrimal, duktus nasolacrimal, meatus
inferior. Sistem ini terdiri dari 2 bagian, yaitu:
a. Sistem produksi atau glandula lakrimal. Glandula lakrimal
terletak di temporo antero superior rongga orbita
b. Sistem ekskresi, terdiri atas pungtum lakrimal, kanalikuli
lakrimal, sakus lakrimal dan duktus nasolacrimal. Sakus
lakrimal terletak di bagian depan rongga orbita. Air mata dari
duktus lakrimal akan mengalir ke dalam rongga hidung di
dalam meatus inferior.
(3) Konjungtiva
Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang dihasilkan
oleh sel Goblet yang berfungsi membasahi bola mata terutama
kornea. Konjungtiva terdiri atas 3 bagian:
a. Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, sukar digerakkan
dari tarsus
b. Konjungtiva bulbi menutuoi sclera dan mudah digerakkan dari
sclera di bawahnya
c. Konjungtiva fornises atau forniks konjungtiva yang merupakan
tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi
(4) Bola mata
Bola mata berbentuk bulat dengan panjang maksimal 24
mm. Bola mata di bagian depan (kornea) mempunyai
kelengkungan yang lebih tajam sehingga terdapat ebntuk dengan 2
kelengkungan yang berbeda. Bola mata dibungkus oleh 3 lapis
jaringan yaitu:
a. Sclera adalah jaringan ikat yang kenyal dan memberikan
bentuk pada mata, merupakan bagian terluar yang melindungi
bola mata. Bagian terdepan sclera disebut kornea yang bersifat
transparan yang memudahkan sinar masuk ke dalam bola
mata. Kelengkungan kornea lebih besar dibanding sclera
b. Jaringan uvea merupakan jaringan vascular. Jaringan sclera
dan uvea dibatasi oleh ruang yang potensial mudah dimasuki
darah. jaringan uvea terdiri atas iris, badan siliaris, dan koroid.
Pada iris didapatkan pupil yang oleh 3 susunan otot dapat
mengatur jumlah sinar masuk ke dalam bola mata. Otot dilator
terdiri atas jaringan ikat jarang yang tersusun dalam bentuk
yang dapat berkontraksi yang disebut sebagai sel mioepitel.
Sel ini dirangsang oleh sistem saraf simpatetik yang
mengakibatkan sel berkontraksi yang akan melebarkan pupil
sehingga lebih banyak cahaya masuk. Otot dilator pupil
bekerja berlawanan dengan otot konstriktor yang mengecilkan
pupil dan mengakibatkan cahaya kurang masuk ke dalam
mata. Sedangkan sfingter iris dan otot siliaris dipersarafi oleh
parasimpatis. Otot siliaris yang terletak di badan siliaris
mengatur bentuk lensa untuk kebutuhan akomodasi. Badan
siliaris yang terletak di belakang iris menghasilkan cairan bilik
mata (aqueous humor) yang dikeluarkan melalui trabekulum
yang terletak pada pangkal iris di batas kornea dan sclera.
c. Retina yang terletak paling dalam dan mempunyai susunan
lapis sebanyak 10 lapis yang merupakan lapis membrane
neurosensorik yang akan merubah sinar menjadi rangsangan
pada saraf optic dan diteruskan ke otak. Terdapat rongga yang
potensial antara retina dan koroid sehingga retina dapat
terlepas dari koroid yang disebut ablasi retina.
Bagian lainnya seperti:
1. Badan kaca mengisi rongga di dalam bola mata dan bersifat
gelatin yang hanya menempel papil saraf optic, macula dan
pars plana. Bila terdapat jaringan ikat di dalam badan kaca
disertai dengan tarikan pada retina, amak akan robek dan
terjadi ablasi retina
2. Lensa terletak di belakang pupil yang dipegang di daerah
ekuatornya pada badan siliaris melalui Zonula Zinn, lensa
mata mempunyai peranan pada akomodasik atau melihat dekat
sehingga sinar dapat difokuskan di daerah macula lutea
3. Kornea (latin cornum = seperti tanduk) adalah selaput bening
mata, bagian selaput mata yang tembus cahaya, merupakan
lapis jaringan yang menutup bola mata sebelah depan. Kornea
dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari
saraf siliar tongus, saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar
longus berjalan suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea,
menembus membrane Bowman melepaskan selubung
Schwannya.
4. Pupil dapat mengecil atau miosis apabila terkena cahaya dan
akan melebar atau midriasis apabila berada di tempat gelap.
5. Sudut bilik mata depan
Sudut bilik mata dibentuk jaringan korneosklera dengan
pangkal iris. Pada bagian ini terjadi pengaliran keluar cairan
bilik mata.
6. Lensa mata
Jaringan ini berasal dari ectoderm permukaan yang berbentuk
lensa di dalam mata dan bersifat bening. Lensa di dalam bola
mata terletak di belakang iris yang terdiri dari zat tembus
cahaya berbentuk seperti cakram yang dapat menebal dan
menipis pada saat terjadinya akomodasi.
7. Saraf optic yang keluar dari polus posterior bola mata
membawa 2 jenis serabut saraf, yaitu saraf penglihat dan
serabut pupilomotor.
8. Rongga orbita
Rongga orbita adalah rongga yang berisi bola mata dan
terdapat 7 tulang yang membentuk dinding orbita yaitu:
lakrimal, etmoid, sfenoid, frontal, dan dasar orbita yang
terutama terdiri atas tulang maksila, tulang palatinum dan
zigomatikus.
Dinding orbita terdiri atas tulang:
1. Atap atau superior: os. frontal
2. Lateral: os. frontal, os.zigomatik, ala magna os.sfenoid
3. Inferior: os. zigomatik, os.maksila, os.palatina
4. Nasal: os. maksila, os.lakrimal, os.etmoid
9. Otot penggerak mata terdiri atas 6 otot yaitu:
ii) Oblik inferior, dipersarafi N.III
iii) Oblik superior, dipersarafi N.IV
iv) Rektus inferior, dipersarafi N.III
v) Rektus lateral, dipersarafi N.VI
vi) Rektus medius, dipersarafi N.III
vii) Rektus superior, dipersarafi N.III
b. Fisiologi
Regio orbita adalah sepasang rongga di tulang tengkorak yang
berisi bola mata, otot, saraf, pembuluh darah, dan sebagian besar
apparatus lakrimalis. Lubang orbita dilindungi oleh dua lipatan tipis
yang dapat bergerak, yaitu kelopak mata (palpebra).2,3
Palpebra mempunyai fungsi melindungi bola mata serta
mengeluarkan sekresi kelenjar yang membentuk film air mata di
depan kornea. Pada palpebra terdapat bagian-bagian: kelenjar sebasea,
kelenjar Moll, kelenjar Zeis pada pangkal rambut, dan kelenjar
Meibom pada tarsus. Otot seperti: Muskulus orbikularis okuli untuk
menutup bola mata yang dipersarafi Nervus Fasial. M. levator
palpebra yang dipersarafi N. III yang berfungsi untuk membuka mata.
Pembuluh darah yang mempedarahinya adalah arteri palpebra.
Persarafan sensorik kelopak mata atas didapatkan dari ramus frontal
N. V, sedang kelopak mata bawah oleh cabang ke II saraf ke V. 2,3
Apparatus lakrimalis terdiri dari glandula lakrimalis, laku,
pungta, kanalikuli, sakus lakrimalis, dan duktus lakrimalis. Persarafan
sekretomotorik parasimpatis berasal dari nukleus lakrimalis. Glandula
lakrimalis akan menghasilkan air mata dan mengalir ke lakus lakrimal
dan masuk ke kanalikuli melalui pungta. Kanalikuli berjalan ke medial
dan bermuara ke sakus lakrimalis dan dan terus berlanjut ke duktus
lakrimalis. 2,3
Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan
kelopak bagian belakang. Bermacam-macam obat dapat diserap
melalui konjungtiva. Konjungtiva mempunyai kelenjar musin yang
dihasilkan oleh sel Goblet. Musin bersifat membasahi bola mata
terutama kornea. Konjungtiva terdiri atas 3 bagian, yaitu: konjungtiva
tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva bulbi yang menutupi sklera,
dan konjungtiva forniks. 2,3
Bola mata berbentuk bulat dengan diameter anteroposterior 24
mm. Bola mata dibungkus oleh 3 lapis jaringan, yaitu: sklera, jaringan
uvea (yang terdiri dari iris, badan siliar, dan koroid yang diperdarahi
oleh arteri siliaris anterior dan posterior, sedangkan persarafannya dari
ganglion siliar dan retina). Pada iris didapatkan pupil yang oleh 3
susunan otot dapat mengatur jumlah sinar masuk ke dalam mata.
Badan siliar menghasilkan cairan bilik mata (akuos humor) yang
dikeluarkan melalui trabekulum yang terletak pada pangkal iris di
batas kornea dan sklera. Badan kaca mengisi rongga di dalam bola
mata dan bersifat gelatin yang hanya menempel papil saraf optik,
makula, dan pars plana. Lensa terletak di belakang pupil yang
dipegang di daerah ekuatornya pada badan siliar melalui Zonula Zinn.
Terdapat 6 otot penggerak bola mata, yaitu : oblik inferior, rektus
inferior, rektus medius, dan rektus superior yang dipersarafi N. III,
kemudian oblik superior dan rektus lateral yang dipersarafi N. IV dan
N. VI. 2,3
Sklera terdiri atas jaringan fibrosa padat dan berwarna putih. Di
posterior, sklera ditembus oleh N. II dan menyatu dengan selubung
dura saraf ini. Lamina kribosa adalah daerah sklera yang ditembus
oleh serabut-serabut N. II. Merupakan area yang relatif lemah dan
dapat menonjol ke dalam bola mata oleh peningkatan tekanan cairan
serebrospinal di dalam tonjolan subaraknoid yang terdapat di
sekeliling N. II. Bila tekanan intraokular meningkat, lamina kribosa
akan menonjol keluar dan menyebabkan diskus menjadi cekung. 2,3
Kornea (latin cornum= seperti tanduk) adalah selaput bening
mata yang dapat memantulkan cahaya yang masuk ke mata. Terdiri
atas 5 lapisan: epitel, membran bowman, stroma, membran desemen,
dan endotel. Kornea dipersarafi oleh saraf siliar longus cabang N. V
dan saraf nasosiliar. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea,
dimana 40 dioptri dari 50 dioptri pembiasan sinar masuk ke kornea. 2,3
Lensa mata di dalam bola mata terletak di belakang iris yang
terdiri dari zat tembus cahaya berbentuk seperti cakram yang dapat
menebal dan menipis pada saat terjadinya akomodasi. Secara
patologik, lensa dapat kaku pada orang dewasa yang akan
mengakibatkan presbiopia, keruh atau yang disebut katarak, dan tidak
berada di tempatnya (subluksasi dan dislokasi). 2,3
Retina atau selaput jala merupakan bagian mata yang
mengandung reseptor yang menerima rangsangan cahaya. Retina
terdiri atas lapisan: fotoreseptor (terdiri atas sel batang dan sel
kerucut), membran limitan eksterna, lapis nukleus luar, lapis
pleksiform luar, lapis nukleus dalam, lapis pleksiform dalam, lapis sel
ganglion, lapis serabut saraf, dan membran limitan interna.
c. Histologi
Mata memiliki 3 lapisan atau tunika konsetris:
1) Lapisan fibrosa
a) Sklera
Sklera merupakan lapisan luar berwarna opak terletak di
lima perenam dari bagian posterior bola mata. Memiliki
ketebalan rerata 0,5 mm, relatif avaskular, terdiri dari jaringan
ikat padat kuat berkas kolagen tipe I pipih berselang-seling
dalam berbagai arah tetapi tetap sejajar dengan permukaan
organ, substansi dasar dalam jumlah cukup dan sebaran
fibroblas.
b) Kornea
Kornea terletak di seperenam anterior mata, tidak
berwarna dan transparan, dan sepenuhnya avaskular. Potongan
melintang kornea memperlihatkan struktur yang terdiri dari
lima lapisan yaitu:
b) Suatu epitel skuamosa eksternal berlapis,
c) Suatu membrana limitans anterior (membran bowmary
membran basal epitel berlapis),
d) Stroma,
e) Suatu membrana limitans posterior (membran descemet,
membran basal endotel), dan
f) Endotel skuamosa internal selapis.
a. Proteksi Non-Imun
Mekanisme perlindungan yang bersifat non imun secara
alamiah antara lain :
1. Palpebra, yang melindungi mata dari paparan dengan
lingkungan luar. Palpebra melindungi permukaan okuler
terhadap organisme yang tersebar di udara, benda asing dan
trauma minor.
2. Bulu mata, mampu mendeteksi adanya benda asing dan
segera memicu kedipan mata.
3. Air mata, mempunyai efek mengencerkan dan membilas.
Memegang peranan dalam menjaga integritas dari epitel
konjungtiva dan kornea yang berfungsi sebagai barier
anatomi. Pembilasan yang terus menerus pada permukaan
okuler mencegah melekatnya mikroorganisme pada mata.
Integrasi antara palpebra, silia, air mata dan permukaan
okuler merupakan sebuah mekanisme proteksi awal terhadap
benda asing. Epitel kornea adalah epitel skuamosa non keratin
yang terdiri hingga lima lapis sehingga akan menyulitkan
mikroorganisme untuk menembus lapisan-lapisan tersebut.
Selain itu kornea juga diinervasi oleh ujung serabut saraf tidak
bermielin sehingga akan memberikan peringatan awal yang
sangat cepat bagi mata terhadap trauma dikarenakan oleh
sensitifitasnya.
b. Proteksi Imun
1. Sistem Lakrimalis
Proteksi imun untuk mucosal surface termasuk
permukaan okuler adalah Mucosa-Associated Lymphoid
Tissue (MALT). MALT terbentuk oleh adanya interkoneksi
dari daerah mukosa yang memberikan gambaran
imunologis spesifik tertentu yaitu terdapat banyak APC,
struktur khusus untuk memproses antigen secara terlokalisir
(tonsil) dan sel efektor (sel T intraepitelial dan sel mast
yang berlimpah). Salah satu fungsi utama MALT adalah
untuk menciptakan keseimbangan antara imunitas dan
toleransi untuk mencegah kerusakan jaringan mukosa.
Jaringan limfoid difus pada permukaan glandula lakrimal,
duktus lakrimal, konjungtiva (conjunctival associated
lymphoid tissue atau CALT) dan berlanjut sampai
kanalikulus serta sistem drainase lakrimal (lacrimal
drainade–associated lymphoid tissue atau LDALT) secara
keseluruhan disebut Eye-Associated Lymphoid
Tissue (EALT). EALT merupakan kumpulan sel-sel limfoid
yang terletak pada epitel permukaan mukosa. Sel-sel ini
menghasilkan antigen dan mampu menginduksi terjadinya
respon imun seluler maupun humoral. Kelenjar lakrimalis
merupakan penghasil IgA terbesar bila dibandingkan
dengan jaringan okuler lainnya.
2. Tear Film
Air mata mengandung berbagai mediator seperti
histamin, triptase, leukotrin dan prostaglandin yang
berhubungan dengan alergi pada mata. Mediator-mediator
itu berasal dari sel mast. Semuanyadapat menimbulkan rasa
gatal, kemerahan, air mata dan mukus yang berhubungan
dengan penyakit alergi akut dan kronis. Pengerahan
komponen seluler lokal melibatkan molekul adhesi
sepertiIntercelluler Adhesion Molecule-1 (ICAM-1) di
epitel konjungtiva yang meningkatkan adhesi leukosit ke
epitel dan endotel. Ekspresi molekul adhesi diatur oleh
banyak komponen ekstraseluler dan intraseluler seperti
sitokin proinflamasi, matriks protein ekstraseluler dan
infeksi virus.
Pada lapisan mukus yang diproduksi oleh sel goblet dan sel
epitel konjungtiva, glikocaly yang disintesis epitel kornea
membantu perlekatan lapisan mukus sehingga berhubungan
dengan imunoglobulin pada lapisan akuos. Pada lapisan
akuos sendiri, banyak mengandung faktor-faktor terlarut
yang berperan sebagai antimikroba. Seperti laktoferin,
lisozim, dan β-lisin. Laktoferin berfungsi utama dalam
mengikat besi yang dibutuhkan oleh pertumbuhan bakteri,
sehingga bersifat bakteriostatik dan bakterisidal. Lisozim
efektif dalam menghancurkan dinding sel bakteri gram
positif. β-lisin memiliki kemampuan dalam merusak
dinding sel mikroorganisme. Selain faktor terlarut tersebut,
lapisan akuos juga mengandung banyak IgA yang sangat
efektif dalam mengikat mikroba, lalu melakukan opsonisasi,
inaktivasi enzim dan toksin dari bakteri, serta berperan
langsung sebagai efektor melalui Antigen Dependent Cell
Cytotoxycity (tanpa berinteraksi dengan komplemen).
3. Konjungtiva
Konjungtiva terdiri dari dua lapisan : lapisan epitel
dan lapisan jaringan ikat yang disebut substansia propria.
Konjungtiva tervaskularisasi dengan baik dan memiliki
sistem drainase limfe yang baik ke limfonodi preaurikularis
dan submandibularis. Jaringan ini mengandung banyak sel
Langerhans, sel dendritik dan makrofag yang berperan
sebagai Antigen Presenting Cell (APC) yang potensial.
Folikel pada konjungtiva yang membesar setelah infeksi
ataupun inflamasi pada ocular surface menunjukkan adanya
kumpulan sel T, sel B dan APC. Folikel ini merupakan
daerah untuk terjadinya respon imun terlokalisir terhadap
antigen oleh sel B dan sel T secara lokal di dalam folikel.
4. Sklera
Sklera sebagian besar terdiri atas jaringan ikat
kolagen. Hal ini menyebabkan sklera bersifat relatif lebih
avaskuler dibandingkan dengan konjungtiva. Karenanya
pada sklera hanya terdapat sedikit sel imun jika
dibandingkan dengan konjungtiva. Dalam keadaan normal
sklera hanya sedikit mengandung sel-sel limfosit, makrofag
dan neutrofil. Namun sebagai respon imun saat terjadi
inflamasi pada sklera sel-sel imun tersebut memasuki sklera
melalui pembuluh darah episklera dan pembuluh darah
koroid Pada saat istirahat IgG ditemukan dalam jumlah
yang cukup besar.
5. Kornea
Kornea unik karena bagian perifer dan sentral
jaringan menunjukkan lingkungan mikro imunologis yang
jelas berbeda. Hanya bagian limbus yang tervaskularisasi.
Limbus banyak mengandung sel Langerhans, namun bagian
perifer, parasentral dan sentral dari kornea dalam keadaan
normal sama sekali tidak mengandung APC. Namun
demikian, berbagai stimulus dapat membuat sitokin tertentu
(seperti IL-1) menarik APC ke sentral kornea. Komplemen,
IgM dan IgG ada dalam konsentrasi sedang di daerah
perifer, namun hanya terdapat IgG dengan level yang
rendah pada daerah sentral.
Sel kornea juga terlihat mensintesis berbagai protein
imunoregulasi dan antimikrobial. Sel efektor tidak ada atau
hanya sedikit terdapat pada kornea normal, namun PMN,
monosit dan limfosit siap siaga bermigrasi melalui stroma
jika stimulus kemotaktik teraktivasi. Limfosit, monosit dan
PMN dapat pula melekat pada permukaan endotel selama
inflamasi, memberikan gambaran keratik presipitat ataupun
garis Khodadoust pada rejeksi endotel implan kornea.
Proses lokalisasi dari suatu respon imun tidak terjadi pada
kornea, tidak seperti halnya pada konjungtiva. 5, 7, 16
Kornea juga menunjukkan suatu keistimewaan imun
(Immune Privilege) yang berbeda dengan uvea.
Keistimewaan imun dari kornea bersifat multifaktorial.
Faktor utama adalah struktur anatomi limbus yang normal,
dan lebih khusus lagi kepada keseimbangan dalam
mempertahankan avaskularitas dan tidak adanya APC pada
daerah sentral kornea.
6. Bilik mata depan, uvea anterior dan vitreus
Bilik mata depan merupakan rongga berisi cairan
humor akuos yang bersirkulasi menyediakan medium yang
unik untuk komunikasi interseluler antara sitokin, sel imun
dan sel pejamu dari iris, badan siliar dan endotel kornea.
Meskipun humor akuos relatif tidak mengandung protein
jika dibandingkan dengan serum (sekitar 0,1 – 1,0 % dari
total protein serum), namun humor akuos mengandung
campuran kompleks dari faktor-faktor biologis, seperti
sitokin, neuropeptida, dan inhibitor komplemen yang
mampu mempengaruhi peristiwa imunologis dalam mata.
Terdapat blood aquous barrier yakni Tight junction antara
epitel nonpigmen memberikan barier yang lebih
eksklusif yang dapat mencegah makromolekul interstisiel
menembus secara langsung melalui badan silier ke humor
akuos. Meski demikian, sejumlah kecil makromolekul
plasma melintasi barier epitel nonpigmen ini dan dapat
meresap dengan difusi ke anterior melalui uvea memasuki
bilik mata depan melalui permukaan iris anterior.
Traktus uvea merupakan bagian yang penting dalam sudut
pandang imunologi. Uvea banyak mengandung komponen
seluler dari sistem imun termasuk makrofag, sel mast,
limfosit dan sel plasma. Iris dan badan siliar mengandung
banyak makrofag dan sel dendritik yang berperan sebagai
APC ataupun sebagai sel efektor. Pada vitreus tidak
ditemukan kekhususan tertentu. Gel vitreus dapat mengikat
protein dan berfungsi sebagai depot antigen. Gel vitreus
secara elektrostatik dapat mengikat substansi protein
bermuatan dan mungkin kemudian berperan sebagai depot
antigen dan substrat untuk adhesi sel leukosit. Karena
vitreus mengandung kolagen tipe II, ia dapat berperan
sebagai depot autoantigen potensial pada beberapa bentuk
uveitis terkait arthritis.
7. Retina dan Koroid
Sirkulasi retina menunjukkan adanya blood retinal
barrier pada tight junction antara sel endotel pembuluh
darah. Pembuluh darah koriokapiler sangat permeabel
terhadap makromolekul, memungkinkan terjadinya
transudasi sebagian besar makromolekul plasma ke ruang
ekstravaskular dari koroid dan koriokapiler. Tight junction
antar sel RPE menyediakan barier fisiologis antara koroid
dan retina. Pembuluh limfe tidak didapatkan pada retina dan
koroid, namun APC ditemukan dalam konsentrasi yang
tinggi. Mikroglia (derifat monosit) pada retina memiliki
peran dalam menerima stimulus antigenik, dapat
mengadakan perubahan fisik dan bermigrasi sebagai respon
terhadap berbagai stimuli.
Kelainan pada mata berupa reaksi inflamasi hasil dari respon
imunitas bawaan ataupun adaptif dapat menyerang bagian mata
mulai dari permukaan bola mata hingga seluruh bagian mata.
Konsekuensi dari suatu reaksi inflamasi pada mata yakni dapat
mengancam penglihatan, sehingga imunitas pada mata
merupakan hal yang penting.
Pada sistem imun pada mata yang
kompleks, dapat terjadi reaksi imun yang serupa dengan sistem
imun tubuh secara keseluruhan, dengan memberikan pertahanan
terhadap mikroorganisme. Mata memiliki keistimewaan
imun(immune privilege) yang mampu menekan terjadinya reaksi
imun. Keistimewaan imunitasini bukanlah ketidakmampuan host
memicu respon imun, namun merupakan kemampuan menghindar
dari konsekuensi berat yang timbul akibat terjadinya inflamasi.
2. Fisiologi Penglihatan6
Jaras utama penglihatan dari kedua retina ke korteks penglihatan.
Sinyal saraf pengli- hatan meninggalkan retina melalui nervus optikus. Di
kiasma optikum, serat nervus optikus dari bagian nasal retina
menyeberangi garis tengah, tempat serat nervus optikus bergabung dengan
serat-serat yang berasal dari bagian temporal retina mata yang lain
sehingga terbentuklah traktus optikus. Serat- serat dari tiap traktus optikus
bersinaps di nukleus genikulatum lateralis dorsalis pada talamus, dan dari
sini, serat-serat genikulokalkarina berjalan melalui radiasio optikus (atau
traktus genikulokalkarina), ke korteks penglihatan primer yang terletak
difisura kalkarina lobus oksipitalis.v.
Serat penglihatan juga melalui beberapa daerah yang lebih primitif
di otak: (1) dari traktus optikus menuju nukleus suprakiasmatik di
hipotalamus, mungkin untuk pengaturan irama sirkadian yang
menyinkronisasikan berbagai perubahan fisiologi tubuh dengan siang dan
malam; (2) ke nuklei pretektalis di otak tengah, untuk mendatangkan
gerakan refleks mata agar mata dapat difokuskan ke arah objek yang
penting dan untuk mengaktifkan refleks pupil terhadap cahaya; (3) ke
kolikulus superior, untuk mengatur pergerakan arah kedua mata yang
cepat; dan (4) menuju nukleus genikulatum lateralis ventralis pada talamus
dan daerah basal otak sekitarnya, diduga untuk membantu mengendalikan
beberapa fungsi sikap tubuh.
Jadi jaras penglihatan secara kasar dapat dibagi menjadi sistem
primitif untuk otak tengah dan dasar otak depan, serta sistem baru untuk
penghantaran sinyal penglihatan secara langsung ke korteks penglihatan
yang terletak di lobus oksipitalis. Pada manusia, sistem baru bertanggung
jawab untuk persepsi seluruh aspek bentuk penglihatan, warna, dan
penglihatan sadar lainnya. Sebaliknya pada banyak hewan primitif, bentuk
penglihatan bahkan dideteksi oleh sistem yang lebih primitif, yaitu dengan
menggunakan kolikulus superior dengan cara yang sama seperti hewan
mamalia menggunakan korteks penglihatan
3. Pemulihan Mata(1)
Penyembuhan stroma kornea terjadi secara avaskular. Tidak seperti
jaringan yang lain, penyembuhan pada kornea terjadi karena jairngan
fibrous dibandingkan pembelahan jaringan fibrovaskular. Aspek avaskular
pada penyembuhan luka kornea sangat penting pada keratoplasti
sebagaimana pada fotorefraktif keratectomy, LASIK, LASEK, dan operasi
refraktif kornea yang lain
Setelah terjadinya luka pada sentral kornea, neutrofil dibawa ke
daerah luka oleh airmata, dan tepi luka mulai membengkak. Faktor
penyembuhan yang berasal dari pembuluh darah tidak ditemukan. Matrik
glicosaminoglikan, yaitu keratan sulfate dan konroitin sulfat, merusak
pinggiran luka. Fibroblas dari stroma mulai diaktivasi, akhirnya migrasi
melewati luka, menimbun kolagen dan fibronektin. Bila pinggiran luka
terpisah, jarak tersebut tidak sepenuhnya terisi dengan proliferasi
fibroblas, dan menyebabkan sebagian cekungan
Kedua epitel dan endotelium sangat baik pada penyembuhan luka
di sentral. Jika epitel tidak menutupi luka dalam beberapa hari, proses
penyembuhan stroma sangat terbatas dan lemah. Growth faktor dari
epitelium menstimulasi dan melanjutkan penyembuhan. Sel endotel akan
menyilang melewati kornea posterior. Sebagian sel digantikan selama
proses mitosis. Endotelium membentuk lapisan baru di bawah membran
descement. Bila jarak luka tidak ditutupi membran descement, fibroblas
struma akan terus membelah hingga bilik mata depan, atau luka di
posterior dapat tetap terbuka secara permanen. Jaringan fibrin kolagen
akan digantikan kolagen yang lebih kuat pada beberapa bulan kemudian.
Membran tidak beregenerasi saat dilakukan insisi atau mengalami
kerusakan. Pada ulcus, permukaannya ditutupi oleh epitelium, tapi sedikit
yang hilang digantikan jaringan ikat.
4. Keratitis
a. Definisi
Keratitis adalah peradangan pada kornea, membran transparan yang
menyelimuti bagian berwarna dari mata (iris) dan pupil, biasanya
diklasifikasikan dalam lapisan kornea yang terkena.(1)
b. Etiologi
Keratitis dapat disebabkan oleh proses infeksi ataupun peradangan
steril (tidak ada kuman infeksi yang menyerang). Infeksi pada kornea
dapat disebabkan oleh bakteri, jamur, virus ataupun protozoa
(Acanthamoeba sp) atau Riwayat trauma pada mata juga dapat
menyebabkan keratitis, seperti kemasukan benda asing atau tergores
aibat penggunaaan lensa kontak.
Penggunaan obat-obatan secara sembarangan juga dapat
menyebabkan keratitis. Terutama obat-obat golongan penekan sistem
imun, seperti kortikosteroid, dan juga obat-obat penghilang rasa
nyeri.(7)
c. Epidemiologi
Pola keratitis mikroba bervariasi dengan wilayah geografis dan
sesuai dengan iklim setempat. Profil bakteriologis pada keratitis
menunjukkan perbedaan besar di antara populasi yang tinggal di
negara barat dan di negara-negara berkembang. Insiden ini sangat
bervariasi antara negara-negara barat dan negara berkembang karena
fakta bahwa negara-negara yang kurang industri (negara berkembang)
secara signifikan memiliki lebih sedikit jumlah pengguna lensa
kontak, sehingga lebih sedikit infeksi lensa kontak terkait. Sebagai
contoh, AS memiliki insiden 11 per 100.000 orang untuk keratitis
mikroba dibandingkan dengan 799 per 100.000 orang di Nepal.
Spesies stafilokokus, Pseudomonas aeruginosa dan Streptococcus
pneumoniae sebagai isolat utama dalam keratitis mikroba palinng
banyak terjadi di Amerika Utara. Di Swedia, Neuman dan Sjostrand
menemukan Staphylococcus aureus dan Staphylococcus epidermidis
merupakan bakteri Gram-positif yang paling umum terjadi, sedangkan
Pseudomonas aeruginosa merupakan Gram-negatif yang paling
umum ditemukan pada kasus keratitis mikroba.(8)
d. Patofisiologi
Kelainan kornea yang sering terjadi merupakan peraangan
yang dapat disebabakan oleh bakteri, virus, dan jamur yang dapat
dipicu oleh beberapa kondisi seperti kurangnya air mata, keracunan
obat, penggunaan lensa kontak, dan trauma pada mata. Keratitis yang
disebabkan dapat mengancam terjadinya ganngguan penglihatan
karena perjalanan penyakitnya yang cepat yaitu 24 – 48 jam bakteri
dapat menyebabkan destruksi kornea. Lesi pada kornea umumunya
mengaburkan penglihatan terutama apabila lesi terletak di sentral dari
kornea.(9)
e. Klasifikasi
Keratitis dapat dibagi kepada dua, keratitis superfisial dan
keratitis profunda. Pada keratitis superfisial, dapat sembuh tanpa
meninggalkan jaringan parut dan keratitis profunda atau interstitial,
yang mengenai lapisan dalam kornea, sembuh dan meninggalkan
jaringan parut. Menurut Khurana, keratitis atau keratitis tanpa
ulkus dapat dibagi dua: keratitis superficial dan keratitis profunda
(deep keratitis). Keratitis superficial dapat dibagi dua, keratitis
superficial difus dan keratitis superfisial pungtata.(10)
1. Keratitis Superfisial
Keratitis superfisial sering disebabkan oleh trauma, yang
tidak melebihi jaringan membrane Bowman’s.manifestasi
klinis dari keratitis jenis ini adalah nyeri, epifora,
bhlepharospasm, konjungtivitis, penurunan visus dan
pembengkakan kelopak mata atas. Diagnosis dibuat
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, pewarnaan
kornea, inspeksi luka dengan mikroskop operasi dan jika
perlu, pemeriksaan radiologi dengan Ct scan.
a. Keratitis superfisial difus
Pada keratitis jenis ini,biasanya kornea tampak
jernih,dan ada tampak seperti debu-debu warna keabu-
abuan. Erosi epitel bisa terjadi di mana-mana saja tetapi
jika tidak dirawat, bisa menimbulkan ulkus kornea.
Pengobatannya adalah dengan antibiotik tetes mata seperti
tobramycin atau gentamycin setiap 2-4 jam.
1. Keratitis Bakterial
Setiap bakteri seperti Streptococci, Stapylococci,
Pseudomonas, dan Haemophilus dapat menyebabkan infeksi
pada kornea. Pada keratitis bakterial, akan terdapat keluhan
kelopak mata lengket setiap bangun pagi. Mata sakit silau,
merah, berair dan penglihatan yang berkurang. Kelainan ini
lebih sering ditemukan pada pemakaian lensa kontak dengan
pemakaian lama.
g. Diagnosis
Gejala klinis konjungtivitis dapat menyerupai penyakit mata lain
sehingga penting untuk membedakan konjungtivitis dengan penyakit
lain yang berpotensi mengganggu penglihatan.
Diperlukan anamnesis dan pemeriksaan mata yang teliti untuk
menentukan tata laksana gangguan mata termasuk konjungtivitis.
Infeksi virus biasanya menyerang satu mata lalu ke mata lain beberapa
hari kemudian disertai pembesaran kelenjar limfe dan edema palpebra.
Tajam penglihatan secara intermiten dapat terganggu karena sekret
mata. Jenis sekret mata dan gejala okular dapat memberi petunjuk
penyebab konjungtivitis. Sekret mata berair merupakan ciri
konjungtivitis viral dan sekret mata kental berwarna kuning kehijauan
biasanya disebabkan oleh bakteri. Konjungtivitis viral jarang disertai
fotofobia, sedangkan rasa gatal pada mata biasanya berhubungan
dengan konjungtivitis alergi.
Pemeriksaan laboratorium untuk menunjang diagnosis
konjungtivitis viral memiliki sensitivitas 89% dan spesifisitas 94%
untuk adenovirus. Tes tersebut dapat mendeteksi virus penyebab
konjungtivitis dan mencegah pemberian antibiotik yang tidak
diperlukan. Deteksi antigen dapat mencegah lebih dari satu juta kasus
penyalahgunaan antibiotic. Akurasi diagnosis konjungtivitis viral
tanpa pemeriksaan laboratorium kurang dari 50% dan banyak terjadi
salah diagnosis sebagai konjungtivitis bakteri. Meskipun demikian,
pemeriksaan laboratorium sangat jarang dilakukan karena deteksi
antigen belum tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan primer.
Sementara itu, kultur dari sekret konjungtiva memerlukan waktu tiga
hari sehingga menunda terapi.
Pendekatan algoritmik menggunakan riwayat perjalanan penyakit
dan pemeriksaan sederhana dengan penlight dan loupe dapat untuk
mengarahkan diagnosis dan memilih terapi. Konjungtivitis dan
penyakit mata lain dapat menyebabkan mata merah, sehingga
diferensial diagnosis dan karakteristik tiap penyakit penting untuk
diketahui. Penamaan diagnosis konjungtivitis virus bervariasi, tetapi
umumnya menggambarkan gejala klinis khas lain yang menyertai
konjungtivitis dan dari gambaran klinis khas tersebut dapat diduga
virus penyebabnya.
Konjungtivitis akibat virus dapat menimbulkan manifestasi klinis
akut dan kronik. Manifestasi akut berupa konjungtivitis serosa akut,
konjungtivitis hemoragik akut dan konjungtivitis folikular akut
sedangkan manifestasi kronik berupa blefarokonjungtivitis,
blefarokonjungtivitis varisela-zoster, keratokonjungtivitis morbili.(25)
h. Komplikasi
Kebanyakan konjungtivitis yang terjadi tidak menimbulkan
masalah kesehatan serius, tapi bisa menimbulkan frustrasi, terutama
pada penderita konjungtivitis alergi. Hal ini dikarenakan penderita
akan mengalami rasa gatal hebat yang terus menerus. Komplikasi
konjungtivitis yang tergolong serius, adalah adanya jaringan parut
pada mata (akibat konjungtivitis alergi yang parah) dan meningitis (
jika infeksi menyebar).(26)
i. Tatalaksana(27)
6. Abrasi Kornea
a. Definisi
Abrasi kornea adalah luka (goresan, goresan atau luka) ke epitel.
Abrasi biasanya disebabkan oleh goresan kuku, potongan kertas, alat
makeup, goresan dari pohon atau dahan semak, dan menggosok mata.
Dapat juga disebabkan karena tergores benda kecil seperti partikel
debu menyentuh mata Anda. Jika benda asing kecil tersangkut di
bawah kelopak mata, ini bisa menyebabkan goresan pada kornea.
Beberapa kondisi mata, seperti mata kering, meningkatkan
kemungkinan abrasi.(28)
b. Etiologi
Abrasio kornea umumnya akibat dari trauma pada permukaan
mata. Penyebab umum termasuk menusukkan jari ke mata, berjalan ke
sebuah cabang pohon, mendapatkan pasir di mata dan kemudian
menggosok mata atau dipukul dengan sepotong logam proyektil.
Sebuah benda asing di mata juga dapat menyebabkan goresan jika
mata digosok. Selain itu, jika kornea menjadi sangat kering, mungkin
menjadi lebih rapuh dan mudah rusak oleh gerakan di seluruh
permukaan. Trauma adalah penyebab paling umum untuk abrasio
kornea.(1)(29)
i) Abrasi dan Badan Asing
Abrasi kornea dapat disebabkan oleh sejumlah benda
termasuk kuku, keausan lensa kontak, cabang, benda asing yang
tertiup ke mata, atau benda yang jatuh ke mata saat bekerja
mengangkat kepala ke atas.
ii) Perforasi
Kasus laserasi dan perforasi kornea biasanya melibatkan
aktivitas yang menyebabkan proyektil berkecepatan tinggi seperti
gergaji, gerinda, dan benda logam yang digetok.
iii)Terbakar
Luka bakar yang berhubungan dengan paparan mata dapat
dikategorikan menjadi luka bakar kimia (asam dan alkali), luka
bakar radiasi dari sumber ultraviolet (UV), dan luka bakar termal.
Cedera alkali kornea lebih umum daripada asam karena prevalensi
agen pembersih rumah tangga yang mengandung amonia dan
alkali. Luka asam adalah cedera terkait pekerjaan yang melibatkan
proses industri. Luka bakar radiasi menghasilkan keratitis
ultraviolet dari lapisan penyamakan, lingkungan ketinggian tinggi,
busur pengelasan, dan gerhana matahari sesekali. Luka bakar
termal jelas jarang terjadi tetapi dapat terjadi pada benda-benda
seperti rambut keriting dan cedera yang berhubungan dengan api.
c. Epidemiologi
Insidensi terjadinya abrasi kornea di dunia adalah 1,57% setiap
tahunnya. Abrasi kornea cukup umum terjadi di negara Inggris,
mencapai 12-13% kasus baru setiap tahunnya. Abrasi kornea
merupakan salah satu penyebab tersering dari keluhan mata merah
setelah konjungtivitis dan perdarahan subhemoragik dan menjadi
penyebab tersering kondisi mata yang datang ke unit gawat darurat.
Hal ini disebabkan oleh karena rasa nyeri yang hebat akibat kerusakan
epitel kornea sehingga mengganggu produktivitas dan kenyamanan
pasien. Kondisi abrasi kornea lebih banyak terjadi pada pasien dengan
usia produktif dan pekerja automotif. (30)(31)(32)
Data mengenai prevalensi kejadian abrasi kornea maupun trauma
mata di Indonesia masih sangat terbatas. Pada penelitian yang
dilakukan di Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung tahun 2011
didapatkan adanya kejadian trauma mata pada 188 anak usia 0-14
tahun. Ditemukan pula ada 22 kasus trauma mata dengan luka terbuka
dan 170 mata dengan luka tertutup. (33)
d. Patofisiologi(29)
Epitel kornea kaya persarafan, rapuh dan mudah rusak, dan
karenanya, sangat menyakitkan ketika cedera terjadi. Epitel tidak
beregenerasi dengan cepat, dengan sebagian besar penyembuhan
dalam 1 hingga 2 hari.
Luka bakar pada mata dapat menyebabkan cedera kornea yang
signifikan dan jaringan parut permanen. Durasi paparan dan agen
penyebab secara langsung berkorelasi dengan tingkat keparahan luka
bakar mata. Paparan bahan kimia alkali yang kuat menghasilkan
nekrosis liquefaktif yang menembus dan melarutkan jaringan sampai
zat alkali dihilangkan. Luka bakar asam menyebabkan nekrosis
koagulasi yang cenderung kurang parah daripada luka bakar alkali
karena pengendapan protein jaringan yang bertindak sebagai
penghalang untuk penetrasi jaringan lebih lanjut. Paparan sinar UV
menyebabkan kerusakan epitel kornea langsung tetapi biasanya dapat
sembuh dengan sendiri.
e. Diagnosis(34,35)
Anestesi topikal bermanfaat untuk mempermudah pemeriksaan.
Injeksi konjungtiva biasanya dilakukan. Keburaman atau infiltrasi
kornea dapat terjadi dengan ulkus kornea atau infeksi. Kornea yang
kabur adalah tanda edema akibat gesekan berlebihan. Periksa ruang
anterior untuk hyphema atau hypopyon. Kehadiran hyphema atau
hypopyon membutuhkan rujukan oftalmologis segera. Abrasi pada
bagian tengah kornea akan menyebabkan penurunan ketajaman visual.
Penurunan ketajaman visual yang signifikan memerlukan rujukan ke
dokter mata. Dokumentasikan gerakan ekstraokular.
Pewarnaan fluorescein membantu mengidentifikasi cacat epitel
kornea. Oleskan setetes anestesi topikal ke mata atau pada strip
fluorescein dan kemudian oleskan ke konjungtiva. Pewarna tampak
hijau di bawah cahaya biru kobalt. Luka kornea traumatis biasanya
memiliki bentuk linier atau geografis. Jika seorang pasien memakai
lensa kontak, abrasi mungkin memiliki beberapa lesi belang-belang
yang menyatu menjadi bulat, cacat sentral.
f. Komplikasi
Komplikasi abrasi kornea dapat berupa keratitis bakteri, ulcus
kornea, iritis traumatik, dan sindrom erosi berulang. Abrasi kornea
dapat menjadi infeksi sekunder, terutama dalam kasus-kasus yang
melibatkan pekerjaan dalam bidang pertanian atau bahan infeksi, yang
menyebabkan keratitis bakteri. Keratitis bakteri dapat berkembang
menjadi ulkus kornea jika tidak diobati dan berpotensi kehilangan
penglihatan permanen. Pasien yang pernah mengalami trauma tumpul
mungkin mengalami komplikasi iritis traumatis.(36)
g. Tatalaksana
Tatalakasana dilakukan berdasarkan status luka pada mata dan
jenis benda asing. Biasanya, akan menggunakan obat tetes mata atau
salep yang mengandung steroid atau obat anti radang nonsteroid
(nonsteroidal anti-inflammatory/NSAID) untuk mengurangi radang
dan mencegah tergoresnya kornea. Disarankan menggunakan obat
tetes mata antispasmodic untuk meredakan rasa sakit dan mengurangi
iritasi otot.(36)
7. Patofisiologi
a. Visus menurun mata merah
Visus merupakan sebuah ukuran kuantitatif atau suatu kemampuan
untuk mengidentifikasi simbol simbol berwarna hitam dengan latar
belakang putih dengan jarak yang telah distandarisasikan serta ukuran
symbol yang bervariasi. Penurunan visus adalah apabila tajam
pengelihatan seseorang kurang dari 20/20 atau 6/6.
Pada mata merah terjadi pelebaran pembuluh darah sebagai tanda
adanya infeksi, alergi atau trauma. Mata merah akibat melebarnya
pembuluh darah konjungtiva yang terjadi pada peradangan
akut misalnya konjungtivitis, keratitis atau Pada keratitis,
pleksus arteri konjungtiva permukaan melebar, sedangkan pembuluh
darah arteri perikornea yang letaknya lebih dalam akan melebar
pada penyakit iritis dan glaukoma akut kongestif. Penyebab
mata merah dapat juga karena pecahnya pembuluh darah. Penyebab
dari visus menurun dapat dikarenakan adanya gangguan refraksi.
Contohnya apabila dikornea dikarenakan keratitis atau ulkus kornea.
Ada 2 macam visus menurun mata tenang, yaitu mata tenang
penglihatan turun mendadak dan mata tenang penglihatan turun
perlahan:(1)
1. Mata tenang penglihatan turun mendadak
Penglihatan turun mendadak tanpa radang ekstraokular dapat
disebabkan oleh beberapa kelainan. Kelainan ini dapat terlihat
pada neuritis optic, ablasi retina, obstruksi vena retina sentral,
oklusi arteri retina sentral, perdarahan badan kaca, amblyopia
toksik, histeria, retinopati serosa sentral, amaurosis fugaks, dan
koroiditis.
2. Mata tenang penglihatan turun perlahan
Penglihatan turun perlahan dapat disebabkan oleh beberapa
kelainan. Kelainan ini dapat terlihat pada katarak, glaucoma,
retinopati.
b. Sensasi berpasir
Ada dua jenis utama sindrom mata kering. Yang pertama adalah
kekurangan komponen air pada air mata karena kelenjar lakrimal
gagal menghasilkan cukup banyak komponen air untuk
mempertahankan permukaan air mata yang sehat. Ini ditemukan pada
mereka dengan sindrom Sjogren dan gangguan autoimun seperti
rheumatoid arthritis. Kekurangan air juga dapat dilihat dalam situasi di
mana ada penutupan yang buruk dari tutup atau di mana tutupnya
tidak cukup menyentuh kornea. Tipe kedua dari sindrom mata kering
disebabkan oleh masalah dengan lapisan lipid yang diproduksi oleh
kelenjar meibom. Permukaan air mata berminyak teratas
memperlambat laju penguapan air mata. Dalam situasi seperti
disfungsi kelenjar meibom, minyaknya tidak normal dan melakukan
pekerjaan yang buruk untuk menstabilkan lapisan air mata,
memungkinkan air mata menguap lebih cepat. Mata kering juga dapat
terjadi ketika ada produksi surfaktan (musin) yang tidak memadai
untuk menjaga agar air mata tetap menempel di depan kornea.
c. Mata merah
Sakit mata atau mata merah dalam istilah medis disebut
konjungtivitis. Gejala yang muncul tergantung dari penyebabnya
seperti virus, bakteri dan alergi. Mata merah ini meskipun mata
tampak sangat merah namun tidak ada gangguan penglihatan. Mata
merah pada penyakit ini dapat dibedakan dengan mata merah karena
iritasi ringan, biasanya pada iritasi ringan merah merata dan tidak
mengikuti alur pembuluh darah mata. Mata iritasi dapat disebabkan
oleh paparan sinar atau cahaya yang berlebihan pada mata. Pada
wanita atau pria dapat mengalami atau merasa keluhan pada mata
seperti mata kering. Seperti pada seorang wanita atau pria ketika lama
melihat atau membaca pada suatu objek kemudian mata yang menatap
secara terus-menerus seperti saat membaca, melihat televisi dan
menggunakan telepon genggam. 39
Pembuluh darah yang bengkak atau melebar pada bagian putih
mata, yang menyebabkan mata terlihat merah (mata merah).40 Pada
peradangan mata akut yaitu konjungtivitis, mata terlihat merah akibat
melebarnya pembuluh darah konjungtivita. Bila terjadi pelebaran
pembuluh darah arteri konjungtivita posterior dan arteri siliar anterior
maka akan terjadi mata merah.41
8. Pemeriksaan fisik mata
a. Pemeriksaan Tajam Penglihatan
Pemeriksaan tajam penglihatan merupakan pemeriksaan
fungsi mata. Gangguan penglihatan memerlukan pemeriksaan
untuk mengetahui sebab kelainan mata yang mengakibatkan
turunnya tajam penglihatan. Tajam penglihatan perlu dicatat
pada setiap mata yang memberikan keluhan mata. Untuk mengetahui
tajam penglihatan seseorang dapat dilakukan dengan kartu Snellen
dan bila penglihatan kurang maka tajam penglihatan diukur
dengan menentukan kemampuan melihat jumlah jari (hitung jari),
ataupun proyeksi sinar. Untuk besarnya kemampuan mata
membedakan bentuk dan rincian benda ditentukan dengan
kemampuan melihat benda terkecil yang masih dapat dilihat pada
jarak tertentu. Pemeriksaan tajam penglihatan dilakukan pada mata
tanpa atau dengan kacamata dan setiap mata diperiksa terpisah.(1)
Mata yang tidak dapat membaca satu huruf pun pada kartu
Snellen diuji dengan cara menghitung jari. Jika tidak bisa
menghitung jari, mata tersebut mungkin masih dapat mendeteksi
tangan yang digerakkan secara vertikal atau horizontal. Tingkat
penglihatan yang lebih rendah lagi adalah kesanggupan
mempersepsi cahaya. Mata yang tidak dapat mempersepsi cahaya
dianggap buta total.(42)
Dengan kartu Snellen standar ini dapat ditentukan tajam
penglihatan atau kemampuan melihat seseorang, seperti:(1)
a. Bila tajam penglihatan 6/6 maka berarti ia dapat melihat huruf
pada jarak enam meter, yang oleh orang normal huruf tersebut
dapat dilihat pada jarak enam meter.
b. Bila pasien hanya dapat membaca pada huruf baris yang
menunjukkan angka 30, berarti tajam penglihatan pasien adalah
6/30.
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pasien tersebut mengalami keratitis.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas HS, Yulianti SR. Ilmu Penyakit Mata. Edisi Kelima. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2017.
2. Snell RS. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi Keenam.
EGC. Jakarta. 2006.
3. Ilyas S, Sri RY. Ilmu Penyakit Mata Edisi keempat. Badan Penerbit FKUI.
Jakarta. 2012.
4. Mescher, AL. Histologi Dasar Junquera, Teks dan Atlas Ed12. EGC:
Jakarta; 2012: 403-13
5. American Academy of Ophthalmology. Ocular Immune Responses in
Intraocular Inflammation and Uveitis. Basic and Clinical Science Course.
2006. p. 33-42
6. Guyton, A.C. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9.Jakarta . EGC.
2007
7. Kanski JJ, Bowling B. Clinical ophtalmology: a systemic approach. 7th ed.
Amsterdam: Elsevier Saunders; 2011.
8. Al-Mujaini A, Al-Kharusi N, Thakral A, Wali UK. Bacterial keratitis:
perspective on epidemiology, clinico-pathogenesis, diagnosis and
treatment. Sultan Qaboos Univ Med J. 2009;9(2):184-95.
9. Farida sulvia,artati sri redjeki, ika fidianingsih, yuli sulistyowati.
Karakterisiktis penderita keratitis di rumah skait Dr.yap Yogyakarta.
Jurnal kedokteran dan kesehatan Indonesia. 2011
10. Khurana AK. Comprehensive Opthalmology. 4thed. New Age International
Limited Publisher. 2007.
11. American Academy of Ophthalmology. https://www.aao.org/eye-
health/diseases/what-is-keratitis. Accessed Sept. 18, 2018.
12. Jett BD and Gilmore MS. Host-Parasite Interactions in Staphylococcus
aureus Keratitis. DNA and Cell Biology.2002;5(6)
13. Khurana A K. Community ophthalmology in comprehensive
ophthalmology 4th Ed. India: New Age International Limited publisher;
2007:443-5
14. Mayoclinic. Keratitis diagnosis and treatment. Tersedia di
https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/keratitis/diagnosis-
treatment/drc-20374114. [online]. Di akses pada tanggal 23 February 2018
15. Lang GK. Cornea. In : Lang GK. Ophthalmology A Short Textbook Atlas.
2nd edition. Stuttgart ; thieme. 2007
16. American Academy of Ophthalmology. 2017-2018 Basic and Clinical
Science Course (BCSC) Section 8 : Externa disease and cornea, San
Fransisco. 2018.
17. Upadhyay, MP. et al. Diagnosing and managing microbial keratitis.
Community Eye Health Journal, New York: McGraw-Hill; 2015. pp. 3–6
18. American Optometric Association. Care of the Patient with Conjunctivitis.
United States of America: American Optometric Association; 2002.
19. Ratna Sitompul. Konjungtivitis Viral: Diagnosis dan Terapi di Pelayanan
Kesehatan Primer. ViralVol. 5, No. 1, April 2017.
20. Depkes RI. Jakarta: Sistem Kesehatan Nasional; 2009.
21. Scott, I.U., 2010. Viral Conjunctivitis. Departement of Opthalmology
and Public Health Sciences: Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/ 1191370-overview. [Accessed
7/2/2019]
22. Ilyas, S. Kelainan Adneksa dan Kelopak Mata. Dalam: Ilyas, S. (ed).
Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI,
2008: 44
23. American Academy of Ophthalmology. Cornea/External Disease Panel .
Preferred Practice Pattern Guidelines: Conjunctivitis-Limited Revision.
American Academy of Ophthalmology; San Francisco, CA: 2011
24. O’Brien TP, Jeng BH, McDonald M, Raizman MB. Acute conjunctivitis:
truth and misconceptions. Curr Med Res Opin. 2009;25(8):1953–1961.
25. Sitompul, Ratna. Konjungtivitis Viral: Diagnosis Dan Terapi Di Pelayanan
Kesehatan Primer. eJournal Kedokteran Indonesia, 2017, 5.1: 65-71.
26. Amir, AA, Barney, NP. Conjunctivitis A Systematic Review of Diagnosis
and Treatment. JAMA. Author manuscript, 2013. pp. 1721–1729.
27. Vaughan & Asbury. Oftalmologi Umum / Paul Riordan-Eva, John P.
Witcher. Edisi 17. Jakarta: ECG, 2009.
28. Hingorani Melanie., Kang Swan., Langton Linda. Corneal Abrasion.
Moorfieleds Eye Hospital. 2013.NHS Foundation Trust. URL :
https://www.moorfields.nhs.uk/sites/default/files/A%26E%20Corneal%20
abrasion.pdf
29. Melanson, SW and Willmann, D. Corneal Injury [Internet]. StatPearls
Publishing LLC, 2018. URL from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459283/.
30. BMJ Best Practice. Corneal Abrasions. 2018.
31. Willmann D, melanson SW. Corneal Injury. StatPearls NCBI. 2017:1-5.
32. Verma A, Khan FH. Corneal Abrasion. 2017.
33. Laila W. Characteristics and management of pediatric ocular trauma.
Ophthalmology Indonesia. 2015:74-79
34. Domingo E, Zabbo CP. Corneal Abrasion. [Updated 2018 Oct 27]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2018
Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK532960/
35. Wipperman, Jennifer L.; Dorsch, John N. Evaluation and management of
corneal abrasions. American family physician, 2013, 87.2.
36. Harper R. Basic Ophthalmology 9th edition. San Francisco: American
Academy of Ophthalmology. 2010
37. Golden MI, Fries PL. Dry Eye Syndrome. [Updated 2018 Oct 27]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2018
Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470411/
38. Harahap, Alprida, et al. Analisis Kualitas Air Sungai Akibat Pencemaran
Tempat Pembuangan Akhir Sampah Batu Bola dan Karakteristik
Sertakeluhan Kesehatan Pengguna Air Sungai Batang Ayumi di Kota
Padangsidimpuan Tahun 2012. Lingkungan dan Keselamatan Kerja, 2013,
2.2.
39. Puspita, Khairani; Sanjaya, Andi; Ummi, Khairul. Sistem Pakar
Penelusuran Bakteri Chlamydia Trachomatis Menggunakan Forward
Chaining. CSRID (Computer Science Research and Its Development
Journal), 2015, 7.2: 124-134.
40. Suciana, Fitri. Hubungan Antara Lama Penggunaan Telepon Genggam
Dengan Kelelahan Mata Di Sma Negeri 3 Klaten. TRIAGE Jurnal Ilmu
Keperawatan (Journal of Nursing Science), 2016, 6.1.
41. Riordan-Eva, P., Whitcher, J.P., Oftalmologi Umum Vaughan &
Asbury. Ed. 17. Jakarta: EGC, 2009. 28-32.
42. Cummins, M. Visual Field Testing. Medscape. [Online]. 2016. Available
from: https://emedicine.medscape.com/article/2094663-overview
43. Modi P, Arsiwalla T. Hypertensive Retinopathy [Internet]. [updated on
January 2018; cited on February 2019]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK525980/
44. Indri Seta Septadina. Perubahan Anatomi Bola Mata pada Penderita
Diabetes Mellitus. No. 2, April 2015
45. Mahanggoro, Tri Pitara, et al. Perbedaan Tingkat Ketajaman Visus antara
Penambang Pasir di Sungai Serayu dan Perenang di Umbang Tirto
Yogyakarta. Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, 2016,
7.2 (s): 111-119.
46. Palupi, Intan Retno, et al. Laporan Praktek Farmakoterapi Sistem
Endokrin, Reproduksi, Dan Sirkulasi (DEF 4274T) Semester Genap.
47. Sitompul, R. Viral Conjunctivitis: Diagnosis and Therapy in Primary
Health Care. eJournal Kedokteran Indonesia. 2017. 65-71.