Anda di halaman 1dari 41

LAPORAN DISKUSI KELOMPOK

MODUL REPRODUKSI

Disusun Oleh :

Kelompok DK 6

1. Marisa I1011131034
2. Muhammad Ibnu Nazari I1011161009
3. Riki Vernando I1011161014
4. Rachel Dhea Aprila I1011161020
5. Edi Kurniadi I1011161026
6. Amalia Betari I1011161036
7. Khusnul Wasilah I1011161047
8. Tasha Salsabila I1011161051
9. Heri Irawan I1011161057
10. Dhessy Susanto I1011161063
11. Christy Yella Harianja I1011161067
12. Vivi Yanthi I1011161069
Program Studi Pendidikan Dokter
Fakultas Kedokteran
Universitas Tanjungpura
2018

13.
14.
15.
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Pemicu
Nn. R berusia 17 tahun datang ke dokter dengan keluhan cairan dari vagina sejak 5 hari
yang lalu. Cairan keluar berwarna hijau kekuningan, tidak berbau disertai rasa gatal dan
di vagina. Pasien merasakan nyeri saat buang air kecil. Pasien belum menikah,
melakukan hubungan seksual aktif dengan berganti pasangan. Pasien bekerja di tempat
hiburan malam.

1.2 Klarifikasi Definisi


-
1.3 Kata Kunci
a. Nn. R 17 tahun
b. Duh vagina sejak 5 hari yang lalu
c. Cairan berwarna hijau kekuningan, tidak berbau
d. Terasa gatal
e. Disuria
f. Belum menikah
g. Hubungan seksual aktif
h. Berganti pasangan
i. Bekerja di tempat hiburan malam

1.4 Rumusan Masalah


Apa yang dialami Nn.R 17 tahun?
1.5 Analisis masalah

Nn.R 17 Tahun Sering berhubungan


seksual & berganti
pasangan
- Disuria
- Gatal Duh Vagina
- Hijau
kekuningan
- Tidak bau

Non-infeksi Infeksi tidak Infeksi menular


menular seksual seksual

Diagnosis :
- Gonorrhea
- Trichomonas
- Chlamydia

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan
Penunjang

Diagnosis

Tata Laksana

1.6 Hipotesis
Nn.R 17 tahun mengalami IMS dan diperlukan pemeriksaan lebih lanjut.
1.7 Pertanyaan diskusi
1. Infeksi Menular Seksual
a. Definisi
b. Etiologi
c. Klarifikasi
d. Epidemiologi
e. Pencegahan & pengendalian
f. Diagnosis
2. Gonorrhea
a. Definisi
b. Etiologi
c. Klasifikasi
d. Epidemiologi
e. Patofisiologi
f. Manifestasi Klinis
g. Faktor Resiko
h. Diagnosis
i. Tata Laksana
3. Chlamdya
a. Definisi
b. Etiologi
c. Epidemiologi
d. Patofisiologi
e. Manifestasi Klinis
f. Faktor Resiko
g. Diagnosis
h. Tata Laksana
4. Trichomonas
a. Definisi
b. Etiologi
c. Epidemiologi
d. Patofisiologi
e. Manifestasi Klinis
f. Faktor Resiko
g. Tata Laksana
5. Jelaskan mengenai Duh Vagina!
6. Hubungan sering berganti pasangan dengan kasus?
7. Peran dokter kepada masyarakat?
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Infeksi Menular Seksual


2.1.1 Definisi
Infeksi menular seksual adalah infeksi yang ditularkan dari satu
orang ke orang lainnya melalui hubungan seksual. Meskipun demikian tidak
berarti bahwa semuanya harus melalui hubungan kelamin, tetapi beberapa
ada juga yang ditularkan melalui kontak langsung dengan alat-alat, handuk
termometer dan sebagainya. Selain itu penyakit ini juga dapat ditularkan
kepada bayi dalam kandungan.1
2.1.2 Etiologi
Lebih dari 30 jenis patogen dapat ditularkan melalui hubungan
seksual dengan manifestasi klinis bervariasi menurut jenis kelamin dan
umur. Meskipun infeksi menular seksual (IMS) terutama ditularkan melalui
hubungan seksual, namun penularan dapat juga terjadi dari ibu kepada janin
dalam kandungan atau saat kelahiran, melalui produk darah atau transfer
jaringan yang telah tercemar, kadang-kadang dapat ditularkan melalui alat
kesehatan. Patogennya dapat berupa bakteri, virus, jamur, protozoa, maupun
parasit.2
2.1.3 Klarifikasi
Tabel. 1 klasifikasi infeksi menular seksual berdasarkan patogen3
1. Bakteri Neisseria gonorrhoeae Uretritis, epididimitis,
Chilamydia trachomatis servisitis, proktitis, faringitis,
Mycoplasma hominis konjuntivitis, Barthoholinitis
Ureaplasma urealyticum Uretritis, epididimitis,
Treponema palladium servisitis, proktitis, salpingitis,
Gardnerella vaginalis limfofranuloma venerum
Donovania granulomatis (hanya C. trachomatis)
Sifilis
Vaginitis
Granuloma Inguinale
1. Virus Herpes simplex virus
Herpes B virus
Human papiloma virus
Molluscum contaginosum
Virus
Human
immuinodeficiency virus

2. Protozoa Trichomonas vaginalis Vaginitis, uretritis, blasnitis


3. Jamur Candida albicans Vulvaginits, blanitis
balanopostitis
4. Ekstroparasit Phthirus pubis Pedikulosis pubis
Sarcoptes scabiei Scabies
var. hominis

2.1.4 Epidemiologi

Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), lebih dari 1 juta orang


setiap harinya mendapat infeksi menular seksual. Setiap tahun, diperkirakan
ada 357 juta infeksi baru dengan 1 dari 4 IMS: Chlamdya, Gonorrhea, Sifilis
dan Trichomoniasis. Lebih dari 500 juta orang diperkirakan memiliki
infeksi genital dengan virus herpes simplex (HSV). Lebih dari 290 juta
wanita mengalami infeksi human papillomavirus (HPV). IMS dapat
meningkatkan faktor resiko penularan HIV. Tahun 2012, lebih dari 900.000
wanita hamil terinfeksi sifilis menghasilkan sekitar 350.000 efek merugikan
termasuk lahir mati.4

2.1.5 Pencegahan & Pengendalian


Program pencegahan dan pengendalian IMS bertujuan untuk :5
1. Mengurangi morbiditas dan mortalitas berkaitan dengan IMS
Infeksi menular seksual, selain infeksi HIV menimbulkan beban
morbiditas dan mortalitas terutama di negara sedang berkembang dengan
sumber daya yang terbatas, baik secara langsung yang berdampak pada
kualitas hidup, kesehatan reproduksi dan anak-anak, serta secara tidak
langsung melalui perannya dalam mempermudah transmisi seksual infeksi
HIV dan dampaknya terhadap perekonomian perorangan maupun nasional.
Spektrum gangguan kesehatan yang ditimbulkan IMS mulai dari
penyakit akut yang ringan sampai lesi yang terasa nyeri serta gangguan
psikologis. Misalnya, infeksi oleh N.gonorrhoeae menimbulkan nyeri saat
berkemih (disuria) pada laki-laki, dan nyeri perut bagian bawah akut
ataupun kronis pada perempuan. Tanpa diobati, infeksi oleh T.pallidum,
meskipun tidak nyeri pada stadium awal, namun dapat menimbulkan
berbagai kelainan neurologis, kardiovaskular serta gangguan tulang di
kemudian hari, serta abortus pada perempuan hamil dengan infeksi akut.
Chancroid dapat menimbulkan ulkus dengan rasa nyeri hebat dan bila
terlambat diobati dapat menyebabkan destruksi jaringan,terutama pada
pasien imunokompromais. Infeksi herpes genitalis menimbulkan gangguan
psikoseksual karena bersifat rekurens dan menimbulkan rasa nyeri, terutama
pada pasien muda. Biaya yang dikeluarkan, termasuk biaya langsung baik
medis dan non medis, serta biaya tidak langsung akibat waktu yang hilang
untuk melakukan aktivitas produktif (waktu untuk pergi berobat, waktu
tunggu di sarana pelayanan kesehatan, serta waktu untuk pemeriksaan
tenaga kesehatan).
2. Mencegah infeksi HIV
Mencegah dan mengobati IMS dapat mengurangi risiko penularan
HIV melalui hubungan seks, terutama pada populasi yang paling
memungkinkan untuk memiliki banyapasangan seksual, misalnya penjaja
seks dan pelanggannya. Keberadaan IMS denganbentuk inflamasi atau
ulserasi akan meningkatkan risiko masuknya infeksi HIV saatmelakukan
hubungan seks tanpa pelindung antara seorang yang telah terinfeksi
IMdengan pasangannya yang belum tertular. Ulkus genitalis atau seseorang
dengan riwayapernah menderita ulkus genitalis diperkirakan meningkatkan
risiko tertular HIV 50-300 kasetiap melakukan hubungan seksual tanpa
pelindung. Program pencegahan HIV akan mempercepat pencapaian
Millennium Development Goal (MDG) tujuan 6 di tahun 2011.
3. Mencegah komplikasi serius pada kaum perempuan
Infeksi menular seksual merupakan penyebab kemandulan yang
paling dapat dicegahterutama pada perempuan. Antara 10%-40%
perempuan dengan infeksi Chlamydia yangtidak diobati akan mengalami
penyakit radang panggul (PRP). Kerusakan tuba falopi pasca infeksi
berperan dalam kasus kemandulan perempuan (30%-40%). Terlebih
lagperempuan dengan PRP berkemungkinan 6-10 kali mengalami
kehamilan ektopikdibandingkan dengan yang tidak menderita PRP, dan
40%-50% kehamilan ektopidisebabkan oleh PRP yang diderita sebelumnya.
MDG 5, bertujuan untuk menurunkanangka kematian ibu sebesar 75% pada
tahun 2015. Pencegahan PRP berperan dalampencapaian tujuan ini melalui
pencegahan kematian ibu akibat kehamilan ektopikPencegahan infeksi
human papillomavirus (HPV) akan menurunkan angka kematianperempuan
akibat kanker serviks, yang merupakan kanker terbanyak pada perempuan.
4. Mencegah efek kehamilan yang buruk
Infeksi menular seksual yang tidak diobati seringkali dihubungkan
dengan infeksi kongenital atau perinatal pada neonatus, terutama di daerah
dengan angka infeksi yang tinggi. Perempuan hamil dengan sifilis dini yang
tidak diobati, sebanyak 25% mengakibatkan janin lahir mati dan 14%
kematian neonatus, keseluruhan menyebabkan kematian perinatal sebesar
40%. Kehamilan pada perempuan dengan infeksi gonokokus yang tidak
diobati, sebesar 35% akan menimbulkan abortus spontan dan kelahiran
prematur, dan sampai 10% akan menyebabkan kematian perinatal. Dalam
ketiadaan upaya pencegahan, 30% sampai 50% bayi yang lahir dari ibu
dengan gonore tanpa pengobatan dan sampai 30% bayi yang lahir dari ibu
dengan klamidiosis tanpa diobati, akan mengalami oftalmia neonatorum
yang dapat mengakibatkan kebutaan.
2.1.6 Diagnosis
• Diagnosis IMS :5
1. Duh tubuh uretra
2. Duh tubuh vagina
3. Ulkus genital
4. Bubo
5. Pembesaran skrotum
6. Nyeri perut bagian bawah
7. Konjungtivitis neonatorum
8. Tonjolan / vegetasi
 Berdasarkan fasilitas / sarana yang ada:

1.Pendekatan sindrom

2.Pemeriksaan laboratorium sederhana

3.Pemeriksaan laboratorium lengkap


2.2 Gonorrhea
2.2.1 Definisi
Gonore (GO) didefinisikan sebagai infeksi bakteri yang disebabkan
oleh kuman Neisseria gonorrhoea, suatu diplokokus gram negatif. Infeksi
umumnya terjadi pada aktivitas seksual secara genito-genital, namun dapat
juga kontak seksual secara oro-genital dan ano-genital.6
2.2.2 Etiologi
Penyakit gonore disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae, kuman
diplokokus gram negatif, dengan sisi cekung berdekatan sehingga seperti
bentuk ginjal. 14 Ukuran diameter dari kuman ini adalah 0,6-1,0 µm serta
tidak bergerak, tidak membentuk spora, dan berada di dalam dan/ luar sel
lekosit polimorfonuklear (PMN) dan fastidius. 15 Selain itu, kuman ini tidak
dapat bertahan lama untuk hidup di udara bebas, cepat mati dalam keadaan
kering, tidak tahan suhu diatas 39ºC. Pada suhu 35-37ºC, pH 7,2-7,6 dapat
tumbuh secara optimal serta membutuhkan CO2 dengan konsentrasi 2-
10%.7

Kuman ini terdiri dari 4 tipe, yaitu tipe 1 dan 2 yang mempunyai pili
pada permukaannya, kecil dan bersifat virulen, sedangkan tipe 3 dan 4 tidak
mempunyai pili, lebih besar, tidak berpigmen dan tidak virulen.14 Fungsi
dari pili adalah untuk membantu proses penempelan kuman dengan
permukaan mukosa atau menyebabkan resistensi terhadap pengobatan
gonore.21 Membran luar dari kuman ini tersusun atas protein, fosfolipid,
dan lipooligosakarida (LOS).7
2.2.3 Klasifikasi
Centers for Disease Control and Prevention mengklasifikasikan
gonore menjadi 4 golongan yaitu:7
1) Infeksi gonokokal non komplikasi/ Uncomplicated Gonococcal
Infections.
Infeksi gonokokal yang termasuk dalam golongan ini
adalah infeksi gonokokal urogenital (serviks, uretra dan rektum),
faring dan gonokokal konjungtivitis. Contoh infeksi gonokokal non
komplikasi untuk lebih jelas ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Contoh infeksi gonokokal non komplikasi (A) infeksi gonokokal
serviks (B) infeksi gonokokal uretra (C) infeksi gonokokal faring (D) infeksi
gonokokal konjungtivis.7

2) Infeksi gonokokal diseminasi/ Disseminated Gonococcal


Infections.

Infeksi gonokokal diseminasi ditandai dengan munculnya


lesi pada kulit, arthritis dan seringkali komplikasi perihepatitis,
endokarditis dan meningitis. Contoh infeksi gonokokal diseminasi
untuk lebih jelas ditunjukkan pada Gambar 2.7

Gambar 2. Contoh infeksi diseminasi gonokokal (A) infeksi gonokokal lesi


pada jari (B) infeksi gonokokal lesi pada kaki (C) infeksi gonokokal
arthritis.7
3) Infeksi gonokokal pada neonatus/ Gonococcal Infections Among
Neonates.

Gonokokal dapat menjadi masalah serius bagi ibu hamil


yang terinfeksi dikarenakan dapat mengakibatkan ophtalmia
neonatorum/ infeksi konjungtivitis pada bayi baru lahir sehingga
terjadi kebutaan pada bayi baru lahir. Infeksi gonokokal pada
neonatus terdiri dari ophtalmia neonatorum dan gonococcal scalp
abscesses, untuk lebih jelas ditunjukkan pada gambar dibawah ini.7

Gambar 3. Contoh infeksi gonokokal neonatus (A) ophtalmia


neonatorum (B) gonococcal scalp abscesses.8

4) Infeksi gonokokal pada bayi dan anak/ Gonococcal


Infections Among Infants and Children.
Golongan klasifikasi ini sama dengan golongan infeksi
gonokokal non komplikasi dan infeksi gonokokal diseminasi, tetapi
golongan ini dibuat untuk memberikan panduan pengobatan yang
lebih efektif berdasarkan usia.
2.2.4 Epidemiologi
Infeksi gonore di Indonesia menempati urutan yang tertinggi
dari semua jenis penyakit menular seksual. Gonore adalah penyakit
yang harus dilaporkan kedua paling sering dilaporkan di Amerika
Serikat. Penderita paling banyak dijumpai pada remaja dan dewasa
muda. Hal tersebut dapat dimungkinkan karena aktivitas seksual pada
umur tersebut cukup tinggi.9
2.2.5 Patofisiologi
Pada laki-laki umumnya menyebabkan uretritis akut, sementara
pada perempuan menyebabkan servisitis yang mungkin saja
asimtomatik. Gonokokus akan melakukan penetrasi permukaan mukosa
dan akan berkembang biak di dalam jaringan sub epitelial. Gonokokus
akan menghasilkan berbagai macam produk ekstraseluler yang dapat
mengakibatkan kerusakan sel, termasuk di antaranya enzim seperti
fosfolipase, peptidase dan lainnya. Kerusakan jaringan ini tampaknya
disebabkan oleh dua komponen permukaan sel yaitu LOS ( Lipo
Oligosaccharide, berperan menginvasi sel epitel dengan cara
menginduksi produksi endotoksin yang menyebabkan kematian sel
mukosa) dan peptidoglikan (mengandung beberapa asam amino dan “
penicilin binding component” yang merupakan sasaran antibiotika
penisilin dalam proses kematian kuman).6
2.2.6 Manifestasi Klinis
Irianto menjelaskan bahwa gejala infeksi gonore mungkin
muncul 1 sampai 14 hari setelah terpapar, meskipun ada kemungkinan
untuk terinfeksi gonore tetapi tidak memiliki gejala. Pada wanita,
muncul cairan vagina yang banyak dengan warna kuning atau kehijauan
dengan bau yang menyengat. Pada pria, muncul cairan putih atau
kuning (nanah) keluar dari penis. Pada umumnya penderita juga akan
mengalami sensasi terbakar atau nyeri saat buang air kecil dan cairan
yang keluar dari penis.8
Di Amerika berdasarkan laporan CDC tahun 2016, kasus
terbesar terjadi akibat infeksi Chlamydia trachomatis yang rata-rata
menunjukan angka tinggi pada remaja dan dewasa muda. Kasus
Gonorrhea meningkat pada pria sebesar 22,2% dan wanita sebesar
13,8% dibandingkan tahun 2015. Kasus sifilis meningkat pada pria
sebesar 114,7% dan wanita 35,7% dibandingkan tahun sebelumnya.9

Kasus Jumlah kasus Meningkat (%)


tahun 2016 dari tahun 2015
Chlamydia trachomatis 1.598,354 4,7 %
Gonorrhea 468.514 18,5%
Sifilis 27.814 17,6 %

2.2.7 Faktor Resiko

Gonore dapat terjadi pada semua manusia. Tetapi tidak semua


manusia mempunyai risiko tinggi untuk terinfeksi kuman penyebab
gonore ini. Faktor -faktor yang meningkatkan risiko untuk terinfeksi
kuman Neissreia gonorrhoeae adalah:10

1. Semakin muda usia (<25 tahun) untuk melakukan hubungan seksual


pertama kali
2. Penggunaan obat-obatan terutama secara injeksi, peminum alkohol
3. Tinggal bersama di suatu tempat penahanan / penjara
4. Memiliki banyak pasangan seksual secara bersamaan dan
bergantian
5. Berhubungan seksual dengan pasangan baru, penderita infeksi
menular seksual (heteroseksual, homoseksual, biseksual)
6. Tidak menggunakan kondom atau menggunakan kondom tapi tidak
benar (wanita memiliki risiko ±40-60% tertular oleh pasangannya
yang terinfeksi)
7. Kondisi tubuh yang rentan terhadap suatu infeksi Sosial ekonomi
dan pendidikan yang rendah
2.2.8 Diagnosis

Kementerian Kesehatan RI (2011)b memberikan


pedoman tentang tata cara melakukan diagnosis gonore yang
terdiri dari:10

1) Anamnesis

Anamnesis dapat dilakukan oleh tenaga medis atau paramedis


dengan menanyakan beberapa informasi terkait penyakit kepada
pasien untuk membantu menentukan faktor resiko pasien,
menegakkan diagnosis sebelum melakukan pemeriksaan fisik
dan =pemeriksaan penunjang lainnya.10

2) Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik dilakukan di daerah sekitar genital pria atau


wanita dengan bantuan lampu sorot yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan ahli. Jenis pemeriksaan yang dilakukan pada wanita
dan pria memiliki perbedaan seperti:10

a) Pasien wanita, diperiksa dengan berbaring pada meja


ginekologik dengan posisi litotomi. Pemeriksaan
dilakukan dengan memisahkan kedua labia dan
diperhatikan adanya tanda kemerahan, pembengkakan,
luka/ lecet, massa atau duh tubuh vagina (cairan yang
keluar dari dalam vagina, bukan darah dan bukan air
seni).
b) Pasien pria, diperiksa dengan posisi duduk/ berdiri.
Pemeriksaan dilakukan dengan melihat pada daerah
penis adanya tanda kemerahan, luka/ lecet, duh tubuh
uretra (cairan yang keluar dari uretra, bukan darah dan
bukan air seni) dan lesi lain. Pada pasien pria sebelum
dilakukan pemeriksaan diharapkan untuk tidak berkemih
selama 1 jam (3 jam lebih baik).

3) Pengambilan spesimen

Pengambilan spesimen berdasarkan Kementerian


Kesehatan RI (2011)b dengan gejala duh tubuh uretra terdiri
dari:10

a) Pasien laki-laki, pengambilan bahan duh tubuh genitalia


dengan sengkelit steril atau dengan swab berujung kecil.
b) Pasien wanita sudah menikah, pengambilan spesimen
dilakukan dengan menggunakan spekulum steril yang
dimasukkan kedalam vagina.
c) Pasien wanita belum menikah, pengambilan spesimen
dilakukan tidak menggunakan spekulum karena dapat
merusak selaput darahnya, tetapi digunakan sengkelit
steril untuk pengambilan spesimen dari dalam vagina.

4) Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan dengan
cara:10
a) Pemeriksaan gram
Pemeriksaan gram dengan menggunakan sediaan
langsung dari duh uretra yang memiliki sensitivitas dan
spesifisitas tinggi terutama pada duh uretra pria,
sedangkan duh endoserviks memiliki sensitivitas yang
tidak terlalu tinggi. Pemeriksaan ini akan menunjukkan
Neisseria gonorrhoeae yang merupakan bakteri gram
negatif dan dapat ditemukan di dalam maupun luar sel
leukosit.
b) Kultur bakteri
Kultur untuk bakteri N.gonorrhoeae umumnya
dilakukan pada media pertumbuhan Thayer-Martin
yang mengandung vankomisin untuk menekan
pertumbuhan kuman gram positif dan kolimestat untuk
menekan pertumbuhan bakteri gram negatif dan nistatin
untuk menekan pertumbuhan jamur. Pemeriksaan kultur
ini merupakan pemeriksaan dengan sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi, sehingga sangat dianjurkan
dilakukan pada pasien wanita.
c) Tes definitif
Tes definitif dengan oksidasi akan ditemukan semua
Neisseria gonorrhoeae yang mengoksidasi dan
mengubah warna koloni yang semula bening menjadi
merah muda sampai merah lembayung, sedangkan pada
tes fermentasi dapat dibedakan N.gonorrhoeae yang
hanya dapat meragikan glukosa saja.
d) Tes betalaktamase
Tes ini menggunakan cefinase TM disc dan akan
tampak perubahan warna koloni dari kuning menjadi
merah.
e) Tes thomson
Tes ini dilakukan dengan menampung urin setelah
bangun pagi ke dalam 2 gelas dan tidak boleh menahan
kencing dari gelas pertama ke gelas kedua. Hasil
dinyatakan positif jika gelas pertama tampak keruh
sedangkan gelas kedua tampak jernih.
5) Pemeriksaan lain10
Jenis pemeriksaan lain yang dapat digunakan untuk
menunjang diagnosis gonore sesuai Kementerian
Kesehatan RI (2011)b terdiri dari pemeriksaan bimanual
dan pemeriksaan anoskopi.
2.2.9 Tata Laksana
Berdasarkan rekomendasi dari Centers for Disease Control
(CDC) untuk pengobatan gonore dengan pemberian seftriakson 250 mg
dosis tunggal secara intramuskuler dan sefiksim 400 mg dosis tunggal
secara oral sebagai regimen alternatif apabila terapi dengan seftriakson
gagal. Penatalaksanaan gonore adalah sebagai berikut: a. Memberitahu
pasien untuk tidak melakukan kontak seksual hingga dinyatakan
sembuh dan menjaga kebersihan genital. b. Pemberian farmakologi
dengan antibiotik: Tiamfenikol, 3,5 gr per oral (p.o) dosis tunggal, atau
ofloksasin 400 mg (p.o) dosis tunggal, atau Kanamisin 2 gram Intra
Muskular (I.M) dosis tunggal, atau spektinomisin 2 gram I.M dosis
tunggal. Catatan: tiamfenikol, ofloksasin dan siprofloksasin merupakan
kontraindikasi pada kehamilan dan tidak dianjurkan pada anak dan
dewasa muda.7
2.3 Chlamdya
2.3.1 Definisi

Chlamydia adalah Infeksi Menular Seksual (IMS) yang paling


sering dijumpai di Australia, terutama di antara orang muda yang
berumur antara 15 – 25 tahun. Ini disebabkan oleh bakteri Chlamydia
trachomatis dan dapat menjadi serius pada wanita dan laki-laki.9

2.3.2 Etiologi

Klamidia atau chlamydial genitourinary infections merupakan


infeksi yang disebabkan oleh Chlamydia trachomatis, bakteri
intraseluler obligat gram negatif. Transmisi klamidia biasanya
disebabkan oleh kontak oral, anal, atau vaginal intercourse. Infeksi
neonatal (misalnya konjungtivitis atau pneumonia) dapat terjadi secara
sekunder akibat penularan saat persalinan dari ibu ke bayi.12
2.3.3 Epidemiologi
Prevalensi dari klamidia trakomatis tergantung pada
karakteristik dari populasi yang diteliti. Di Amerika Serikat berkisar
antara 2 sampai dengan 7% diantara mahasiswa perempuan, dan 4 - l2%
diantara wanita yang berkunjung ke klinik keluarga berencana. Di
Jepang penelitian diantara pekerja seks komersil yang terinfeksi
klamidia adalah l3%.Di Inggris penelitian pada pria usia muda memiliki
insidens 9,8% positif klamidia.Prevalensi infeksi klamidia tertinggi
pada kelompok yang paling jarang memeriksakan dirinya ke dokter, dan
angka prevalensi akan rendah pada daerah - daerah dimana telah
dilakukan skrining – skrining terhadap klamidia.Di Indonesia angka
kejadian klamidia trakomatis belum didapatkan secara. rinci. Beberapa
peneliti memberikan hasil yang beragam. Wisnuwardani dalam
penelitiannya dengan menggunakan metode ELISA swab
(Klamidiazyme) mendapatkan prevalensi klamidia pada pasien dengan
servisitis yang berobat di Bagian Kebidanan FKUI/RSCM sebesar
l2,66% sedangkan prevalensi antibodi terhadap klamidia trakomatis
(chlamydelisa) sebesar 45,57%. Penelitian Sutrisno di puskesmas
Mulya Jaya mendapatkan prevalensi 2l% dengan Clearview. Klamidia
dan l8% dengan metode ELISA Wellcozyme, Penelitian Wahyuni
melaporkan angka kejadian infeksi klamidia pada pasien keputihan
sebesar 6,3% dengan metode Gen probe PACE 2 . Penelitian Febrianti
mendapatkan prevalensi infeksi klamidia pada PSK sebesar 44,3%
dengan QuickstripeTM dan 43,2% dengan PCR. Widjaja dkk.
melaporkan prevalensi infeksi Klamidia pada 3 rumah sakit di
Kalimantan Selatan sebesar 9,2% dengan teknik Ligase Chain Reaction
(LCR).12
2.3.4 Patofisiologi

Klamidia adalah bakteri intra selular kecil yang membutuhkan


sel - sel yang hidup untuk bermultiplikasi. Kromosom bakteri klamidia
terdiri dari lebih kurang 1 juta pasangan basa dan memiliki kapasitas
untuk mengkodekan lebih dari 600 protein. Ada 18 serotipe dari
klamidia trakomatis yang teridentifikasi. Serotipe D - K merupakan
penyebab infeksi menular seksual dan infeksi neonatal. Tidak
ditemukan bukti kuat bahwa sindroma genital spesifik atau manifestasi
klinis, seperti PID, disebabkan oleh serotipe yang spesifik. Siklus sel
dari klamidia berbeda dari bakteria yamg lain. Endositosis membuat
terjadinya formasi inklusi intraselular yang terikat membran.
Kemampuan dari klamidia untuk merubah dari fase istirahat ke fase
replikasi bentuk infeksius dalam sel penjamu meningkatkan kesulitan
dalam mengeliminasi mikroba ini. Bagaimanapun banyak yang belum
dapat dimengerti mengenai mekanisme spesifik kejadian dalam
membran, perlekatan, dan endositosis, multiplikasi dari organisme
dalam sel, tansformasi dari metabolik inaktif badan retikulat (RB) ke
metabolik aktif replikatif badan elementer (EB), dan ekspresi dari
antigen Klamidia yang berbeda selama siklus sel.14
Siklus perkembangan Klamidia.

Siklus Perkembangan Klamidia, Badan Elemnter (EB) dibawa kedalam


endosome dari sel penjamu, kemudian endosome melebur (A), dan
badan elementer berdifferensiasi menjadi Badan Retikulat (RB) (B)
Badan retikulat bereplikasi (C) dan menyebabkan membrane
endoplasmic untuk membesar sampai mengisi hampir semua rongga
sitoplasme (D) Badan Retikulat berubah menjadi badan elementer (E).
Membran endoplasmic akan ruptur dan melepas badan elementer
kedalam sitoplasma sel penjamu atau melebur dengan membran
sitoplasma penjamu, dan badan elementer akan dikeluarkan ke
lingkungan bebas (F).

Klamidia trakomatis memiliki genom yang sangat kecil, tetapi


itu bukan berarti klamidia tidak memiliki siklus perkembangan hidup
yang kompleks, siklus ini terdiri dari dua bentuk: EB, yang di disain
untuk dapat bertahan diluar sel manusia dan untuk menginfeksi sel
manusia yang baru, dan RB yang lebih rentan sebagai bentuk
pembelahan diri bakteria ini. Dengan ukuran genom antara 1 Mbp dan
banyak gen berperan dalam siklus perkembangan ini, Klamidia harus
berhemat untuk membatasi gen yang ingin mereka pertahankan. Karena
klamidia bereplikasi didalam sel penjamu, mungkin kita akan berpikir
bahwa salah satu cara untuk mengurangi ukuran genom adalah dengan
menghilangkan gen yang mengkode protein metabolik dan sistem
biosintesis yang umurmya terdapat pada bakteri dari pada menggunakan
molekul penjamu. Bagian dalam dari sel manusia ini sangat kaya akan
nutrisi, sehingga RB tidak perlu membuat banyak asam amino dan
komponen-komponen lain yang biasanya dibutuhkan sel-sel yang hidup
bebas. Meskipun klamidia trakomatis memiliki gen yang sedikit untuk
biosintesis asam amino, genom-genonmya memiliki gen-gen untuk
beberapa jalur pembangkit energi, termasuk glikolisis, jalur pentose
phosphate, dan siklus parsial TCA. Untuk beberapa lama, diyakini
bahwa klamidia trakomatis adalah suatu parasit adenosine triphosphate
(ATP) yang tidak memiliki ATP dan harus mendapatkannya dari sel
penjamu. Hal ini telah diketahui salah, terutama untuk klamidia
trakomatis. Spesies lain dari klamidia mungkin parasit ATP,
berdasarkan dari kurangnya gen untuk biosintesis.15

Meskipun klamidia memiliki sitoplasmik tipe gram negatif dan


membran luar, baik EB juga RB tidak memiliki peptidoglikan.
Bagaimana bakteria ini menghindari lisis? RB mungkin dilindungi
dalam beberapa hal dengan adanya osmolaritas yang tinggi dari bagian
dalam sel manusia. EB bagaimanapun, harus beradaptasi dengan
kondisi osmolaritas yang rendah diluar sel penjamu. Jawaban dari
pertanyaan kenapa EB resisten terhadap lisis tampaknya karena
membran EB memiliki protein dengan persilangan multipel disulfida.
Ini termasuk protein yang dinamakan major outer membrane protein
(MOMP), polymorphic outer membrane protein (POMP), dan cysteine-
rich proteins (CRP). Model dari dinding sel EB tampak seperti di
gambar.15
Infeksi klamidia merupakan suatu komplikasi inflamasi jangka
panjang dari infeksi ascending klamidia yang menyebabkan
terbentuknya jaringan parut pada tuba.16 Banyak peneliti yang
menemukan adanya organisme ini pada tuba falopii setelah berbulan-
bulan atau bertahun-bertahun setelah infeksi yang pertama. Belum dapat
dimengerti bagaimana mekanisme yang menjelaskan kenapa klamidia
trakomatis menjadi persisten. Dibawah ini dijelaskan mengenai
mekanisme evasi imun dari klamidia trakomatis.17

1. Pertahanan diluar sel pejamu dengan adanya protein permukaan


seperti MOMP dan protein membran yang bersifat polimorfik, akan
mencegah terjadinya deteksi oleh antibodi.

2. Pertahanan didalam sel pejamu dengan cara replikasi terjadi pada


badan inklusi sehingga membatasi paparan terhadap antibodi, inhibisi
pelepasan sitokrom-C di mitokondria yang dibutuhkan untuk apoptosis
yang dimediasi oleh kaspase 9 sehingga menghambat apoptosis dari sel
pejamu yang terinfeksi. Selain itu adanya tyrosyl radical site pada
ribonukleotida reduktase bakteri kemungkinan berperan pada
peningkatan resistensi terhadap nitric oxide.

3. Sekresi tumor necrosis factor (TNF) oleh makrofag yang terinfeksi


klamidia trakomatis merangsang apoptosis dari sel T yang teraktivasi.
Begitu pula sekresi dari klamidia trakomatis protease di sitoplasma
menghancurkan faktor tanskripsi yang dibutuhkan untuk transkripsi
dari major histocompability complex (MHC) yang menghambat
interferon-γ (IFN-γ) merangsang ekspresi molekul MHC kelas I dan II.

4. Klamidia trakomatis memiliki kemampuan untuk tetap berada


dalam bentuk intaselular, yang dapat disebabkan akibat pemberian
antibiotika, defisiensi nutrisi atau sitokin (seperti IFN-γ) atau setelah
infeksi pada monosit. Adanya ekspresi dari gen yang mengkode
triptofan sintase dan represor, menghambat efek IFN-γ.

Infeksi kronik klamidia dapat memicu kerusakan tuba yang dari


beberapa penelitian in vitro diperkirakan dapat diakibatkan oleh:15,16

1. Badan elementer Klamidia trakomatis yang terdapat pada


semen pria yang terinfeksi menularkan ke perempuan pasangan
seksualnya.

2. Klamidia naik ke traktus reproduksi wanita dan menginfeksi


sel epitel pada tuba falopii.

3. Didalam sel badan elementer berubah menjadi badan


retikulat dan mulai untuk bereplikasi.

4. Jalur apoptosis dihambat, yang menyebabkan sel yang


terinfeksi dapat bertahan.

5. Ketika jumlah badan elementer mencapai tingkat densitas


tertentu, maka badan elementer tersebut akan terlepas dari sel
epitel dan menginfeksi sel disebelahnya.
6. Badan elementer ekstaseluler akan mengaktivasi sistem imun
berupa diproduksinya IFN-γ, TNF-α dan sitokin-sitokin
proinflamasi lainnya.

7. Respon imun akan menurunkan jumlah badan elementer dan


menghambat replikasi intraseluler dari badan retikulat.

8. Interupsi replikasi badan retikulat menyebabkan klamidia


tetap ada dalam bentuk intaseluler sehingga dapat menimbulkan
respon imun yang bersifat destrruksif. Pada bentuk persisten ini,
potein-60 (CHSP60) dilepaskan, yang dapat menyebabkan
respon inflamasi.

9. Ketika jumlah badan elementer berada di bawah kadar kritis


tertentu maka aktivasi sistem imun berhenti dan replikasi badan
retikulat mulai kembali.

10. Perubahan siklus infeksi badan elementer dengan destruksi


dari sel epitel baru dan persisten dalam intaseluler dengan
pelepasan CHSP60 menyebabkan pembentukkan jaringan parut
dan merusak patensi tuba falopii. Disamping secara langsung
mencegah apoptosis, IFN-γ juga merangsang adanya efek anti
apoptosis. Dean dan Powers (2001) mengemukakan bahwa
inhibisi dari apoptosis sel pejamu mengakibatkan Klamidia
mampu membentuk infeksi persisten dan IFNγ dan interleukin-
10 (IL-10) membantu perkembangan dari klamidia dengan
peningkatan ekspresi dari CHSP60 yang mendukung proses
inflamasi. Perbedaan ekspresi MOMP dan CHSP60 selama
perkembangan klamidia yang normal maupun yang mengalami
perubahan telah diketahui sejak lama, namun makna sebenarnya
dari keseimbangan ini dalam infeksi klamidia persisten tidak
diketahui.16
Transmisi dapat terjadi melalui kontak seksual langsung
melalui oral, vaginal, servikal melalui uretra maupun anus.
Bakteri ini dapat menyebar dari lokasi awalnya dan
menyebabkan infeksi uterus, tuba fallopii, ovarium, rongga
abdomen dan kelenjar pada daerah vulva pada wanita dan testis
pada pria. Bayi baru lahir melalui persalinan normal dari ibu
yang terinfeksi memiliki risiko yang tinggi untuk menderita
konjungtivitis klamidia atau pneumonia.17

Infeksi klamidia trakomatis biasanya menular melalui


aktifitas seksual dan dapat menular secara vertikal, yang
kemudian menyebabkan konjungtivitis dan pneumonia pada
bayi baru lahir. Jika tidak diobati, penyakit kelamin ini dapat
berkembang menjadi epididimitis pada pria dan penyakit infeksi
saluran genital bagian atas pada wanita. Klamidia menginfeksi
sel epitel kolumnar, yang menyebabkan wanita usia remaja
memiliki risiko infeksi karena squamocolumnar junction pada
ektoserviks sampai dengan usia dewasa. Pria yang terinfeksi
memiliki kemungkinan untuk menularkan sekitar 25% melalui
hubungan seksual ke wanita yang sehat. Angka penularan dari
ibu yang terinfeksi ke bayi baru lahir adalah 50% yang
mengakibatkan konjungtivitis atau pneumonia (l0 - 20%). Masa
inkubasi adalah 1 – 5 minggu, dibandingkan 0 - 2 minggu untuk
N.gonorrhea yang merupakan diagnosis banding dari klamidia
untuk terjadinya konjungtivitis pada bayi baru lahir.18

2.3.5 Manifestasi Klinis

Infeksi Chlamydia pada pria dan wanita sebagian besar tidak


menunjukan gejala, dengan demikian diperlukan pemeriksaan lebih
lanjut untuk menentukan hasil diagnosis. Berikut tanda dan gejala yang
mungkin timbul:17
1) Manifestasi klinis pada wanita
1. Disuria
2. Discharge mukopurulen kuning dari uretra
3. Pendarahan vagina abnormal (tidak berhubungan dengan
menstruasi)
4. Dispareunia (nyeri pada area vagina, klitoris dan labia)
5. Nyeri perut bagian bawah
6. Demam berhubungan dengan adanya penyakit radang
pelvis
7. Vaginitis, uretritis, cervisitis, endometritis, salpingitis,
proktitis dan perhepatitis (Fitz-Hugh-Curtis syndrome)
8. Gejala pneumonia (jika ada) dimulai pada 1-3 bulan
9. Gejala konjungtiviitis (jika ada) berkembang 1-2 minggu.
2) Manifestasi klinis pada pria
1. Discharge mukopurulen kuning dari uretra
2. Nyeri rasa terbakar saaat kencing
3. Urgensi atau frekuensi urin
4. Demam
5. Nyeri dan bengkak pada skotrum (kadang-kadang
unilateral). Apabila infeksi pada uretra menyebar secara
ascendent, maka dapat terjadi epididimitis yang biasanya
terjadi pada satu sisi dengan keluhan adanya nyeri testikular
dan skrotum akan tampak eritema.18
2.3.6 Faktor Resiko

Di Indonesia angka kejadian infeksi Chlamydia trachomatis


secara global belum diketahui. Penelitian sebelumnya dilakukan
terhadap populasi yang dianggap berisiko. Pada populasi pekerja seks
komersial wanita di Indonesia didapatkan prevalensi infeksi Chlamydia
trachomatis mencapai 35-55%. Ketidakseimbangan pH dan jumlah
flora normal yang ada di vagina ini dapat disebabkan oleh beragam
faktor mulai dari kurangnya kebersihan, penggunaan cairan pembersih
kemaluan yang tidak sesuai, dan penggunaan alat kontrasepsi.19

2.3.7 Diagnosis

Pengujian untuk klamidia diindikasikan pada pasien dengan


gejala urogenital, anorektal, dan okular, pasien dengan IMS selain
klamidia, kontak seksual orang dengan IMS, dan orang yang
ditakdirkan untuk skrining klamidia. Prosedur diagnostik untuk
mendeteksi infeksi CT termasuk metode langsung dan tidak
langsung. Umumnya, infeksi lokal diperiksa dengan tes untuk deteksi
patogen langsung, seperti kultur, tes antigen (EIA, antibodi fluoresen
langsung (DFA), dan RDR kromatografi imun), hibridisasi asam
nukleat dan tes amplifikasi. Metode tidak langsung bergantung pada
deteksi antibodi terhadap C. trachomatisyang dapat diterapkan untuk
evaluasi diagnostik infeksi kronis / invasif (PID, LGV) dan pasca
komplikasi infeksi, seperti arthritis reaktif yang didapat secara seksual
(SARA). Dalam kondisi ini, patogen telah melewati epitel dan mungkin
tidak lagi terdeteksi dalam swab. Di sisi lain, serologi tidak tepat untuk
mendiagnosis infeksi akut pada saluran genital dan dubur bawah, karena
respons antibodi hanya dapat dideteksi setelah berminggu-minggu
sampai berbulan-bulan dan sering kurang jelas.21

2.3.8 Tata Laksana

Pengobatan terhadap infeksi klamidia diberikan ketika infeksi


ini telah terdiagnosis atau dicurigai. Pengobatan juga melibatkan
partner seksual, atau kepada pasien yang sedang diobati untuk infeksi
gonorrhea. Pengobatan untuk infeksi klamidia tergantung dari gejala
klinis. Pengobatan yang efektif dan murah untuk infeksi genital
klamidia telah tersedia untuk setiap gejala klinis yang umum.22
Efikasi pengobatan 7 hari dengan doksisiklin adalah sama
dengan pengobatan dengan azitromisin dosis tunggal. Keduanya
memiliki angka kesembuhan lebih dari 95% pada pria dan wanita yang
tidak hamil. Terapi untuk penyakit radang panggul harus untuk 24
sampai dengan 48 jam setelah perbaikan klinis muncul dan harus terdiri
pemberian lebih lanjut tarapi oral dengan doksisiklin, 100 mg 2 kali
perhari, atau klindamisin, 450 mg oral 4 kali perhari, untuk total
pemberian 14 hari.23
2.4 Trichomonas
2.4.1 Definisi
Trichomonas vaginalis merupakan protozoa patogenik yang
biasanya dijumpai di traktus genitaourinaria manusia yang terinfeksi.
Ditularkan melalui hubungan seksual, yang dapat menyebabkan
vaginitis pada wanita dan uretritis non-gonococcoal pada pria.24
2.4.2 Etiologi

Trichomonas vaginalis, yang mengkolonisasi saluran


genitourinari pria dan wanita, adalah parasit menular seksual yang
menyebabkan trikomoniasis simtomatik atau asimtomatik.24
Trichomonas vaginalis adalah salah infeksi menular seksual non-virus
yang paling umum. Buruknya perhatian dan pemahaman kesehatan
tentang dampak kesehatan bagi masyarakat terhadap trichomoniasis
meningkatkan resiko infeksi HIV dan hasil yang buruk untuk
kehamilan.25. Trichomonas vaginalis adalah protozoa yang diberi
flagela kira-kira seukuran leukosit. Ini membutuhkan kepatuhan untuk
sel inang untuk bertahan hidup. Periode inkubasi rata-rata 1 minggu
tetapi berkisar dari 5 hingga 28 hari.26

2.4.3 Epidemiologi

Diperkirakan sekitar 180 juta wanita do seluruh dunia terinfeksi


TV (Trichomonas vaginalis). Infeksi TV merupakan salah satu dari tiga
penyebab tersering vagintis selain bakteri anaerob dan jamur candida.
Prevalensi pada wanita bervariasi antara 5-74% dengan angka tertinggi
dilaporkan pada klinik penyakit menular seksual dan populasi risiko
tinggi.27 Di poliklinik Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Sanglah
Denpasar selama periode Januari 2004-Desember 2008 dijumpai 5,07%
kasus trikomoniasis.28

Prevalensi pada laki-laki dilaporkan sekitar 5-29%. Prevalensi


laki-laki lebih rendang dibanding perempuan. Karena infeksi pada laki-
laki sering asimtomatik, diagnosis pada laki-laki jarang ditegakkan dan
tidak mencari pertolongan ke klinik.

Manusia merupakan satu-satunya pejamu alamiah dari TV.


Tropozoit ditransmisikan terutama melalui hubungan seksual.
Transimisi nonseksual dilaporkan terjadi melalui semprotan air,
spekulum, atau tempat duduk toilet.27

2.4.4 Patofisiologi

T. vaginalis merupakan protozoa parasitik anaerobik, uniseluler,


berflagela yang menempel dan merusak sel epitel skuamosa. Pada
umumnya, T. vaginalis menyebar melalui seks penal-vaginal, walaupun
seks anal dan oral juga berpotensi menjadi jalur infeksi. Karena
protozoa ini secara selektif menempel pada epitel skuamosa, jaringan
pada vagina dan uretra, serta glandula periuretra dan Bartolini
merupakan tempat yang sering terinfeksi.Kanal endoserviks jarang
terinfeksi oleh protozoa ini karena dilapisi oleh epitel kolumnar.29
T. vaginalis merusak sel epitel melalui kontak langsung dengan
sel dan dengan melepaskan substansi sitotoksik. T. vaginalis juga
berikatan dengan protein plasma host, sehingga mencegah pengenalan
protozoa oleh jalur komplemen alternatif dan proteinase host. Selama
infeksi, pH vagina akan meningkat serta jumlah sel PMN akan
meningkat. Sel PMN ini merespon terhadap substansi kemotatik yang
dilepaskan oleh Trichomonas.30
2.4.5 Manifestasi Klinis

T. vaginalis adalah spesifik untuk saluran genitourinari dan telah


diisolasi dari hampir semua struktur genitourinaria. Namun, banyak
wanita yang didiagnosis dengan trikomoniasis tidak menunjukkan
gejala. Ketika gejala muncul, keluhan utama yang paling umum di
kalangan wanita yang didiagnosis dengan T. vaginalis adalah keputihan,
terlihat pada lebih dari 50% kasus, diikuti dengan pruritus atau dysuria.
Pada pemeriksaan spekulum, duh vagina mungkin bewarna atau
berkarakteristik, dan meskipun duh vagina bewarna hijau berbusa telah
klasik dikaitkan dengan trikomoniasis. Duh vagina mungkin berbau
busuk dengan pH > 4.5.31
Selain itu, juga terjadi pendarahan abnormal setelah koitus atau
nyeri abdomen. Jika terjadi urethritis maka gejala yang timbul adalah
disuria dan frekuensi berkemih meningkat. Pada pemeriksaan epitel
vulva dan vaginal dengan spekulum, mukosa tampak hiperemis dengan
bintik lesi berwarna merah dan ini dikenal sebagai “strawberry
vaginitis” atau “colpitis macularis”. Trikomoniasis pada laki-laki yang
simptomatik akan mengalami irritasi penis, penegeluaran cairan atau
perasaan terbakar setelah berkemih atau ejekulasi.32
2.4.6 Faktor Resiko
Infeksi dimulai dari hubungan seksual dengan orang yang
mengandung T. vaginalis. Tempat hidup parasit ini pada perempuan di
vagina dan uretra, sedangkan pada laki-laki di uretra, vesika seminalis,
dan prostat. Bila pH dan fisiologi vagina memungkinkan untuk hidup,
T.vaginalis akan berkembangbiak dengan cepat dan menimbulkan
degenerasi dan deskuamasi sel epitel vagina yang dapat menyebabkan
fluor albus atau keputihan (leucorrhoea). Insiden yang lebih tinggi
pada kelompok usia yang lebih muda mungkin terkait dengan perilaku
seksual, dengan kurangnya kesadaran mengenai DST, tetapi juga untuk
perubahan mikrobiota vagina (terutama selama periode menstruasi),
yang menyebabkan penurunan produksi glikogen, perubahan pH,
fluktuasi hormonal, dan deskuamasi jaringan epitel, mendukung
pemasangan dan multiplikasi protozoa pada pasien yang lebih muda.30
2.4.7 Tata Laksana
Golongan nitroimidazole hanyalah satu satunya obat yang
diakui efektif untuk mengobati Trichomoniasis, dengan dosis tunggal
metronidazol. Resistensi metronidazol jarang terjadi. Isolat T. vaginalis
yang resisten secara klinis biasanya menunjukkan peningkatan
konsentrasi mematikan minimum untuk metronidazol dalam kondisi
pertumbuhan aerobik tapi tidak bany ak ketika dalam kondisi
anaerobik.7
Centers for Diseases Control and Prevention (CDC)
merekomendasikan regimen untuk mengobati Trichomoniasis adalah
metronidazol 2 gram secara oral diberikan dalam dosis tunggal. Angka
kesembuhan sekitar 90-95%. Rejimen alternatif adalah metronidazol
500 mg 2 kali sehari selama 7 hari. Jika perawatan gagal, pasien harus
kembali diobati dengan metronidazole 500 mg 2 kali sehari selama 7
hari. Jika gagal lagi, pasien harus diobati dengan 2 gram metronidazole
sekali sehari selama 3-5 hari. Baik metronidazole atau tinidazol, sebuah
nitroimidazole generasi kedua dalam 2 gram dosis tunggal oral, atau
metronidazole 400 mg 2 kali sehari selama 5-7 hari digunakan jika dosis
tunggal gagal.Tinidazol adalah nitroimidazole generasi kedua dengan
aktivitas terhadap bakteri protozoa dan anaerobik. Dosis 2 gram
tinidazol setara dengan 2 gram dosis metronidazol. Tinidazol memiliki
eliminasi paruh plasma dua kali lipat dari metronidazole dan menembus
lebih baik ke dalam jaringan reproduksi laki-laki daripada
metronidazole. Untuk semua kasus di mana perawatan metronidazole
awal gagal, harus diperhatikan faktor berupa; kepatuhan minum obat
jelek dan infeksi ulang dari pasangan seksual laki-laki yang tidak
diobati dan biasanya tanpa gejala. Kemungkinan metronidazol dapat
inaktif oleh bakteri vagina, sehingga pemberian amoksisilin 250 mg 3
kali sehari atau eritromisin 250 mg 4 kali sehari selama 5-7 hari dapat
diberikan sebelum atau bersamaan dengan pengobatan ulang dengan
metronidazol.7
Efek samping untuk metronidazol termasuk mual, muntah, rasa
logam, dan gangguan pencernaan, dan biasanya dapat sembuh dengan
sendiri. Pasien yang memakai metronidazol tidak boleh mengkonsumsi
alkohol selama pengobatan dan setidaknya 48 jam kemudian karena
dapat terjadi reaksi seperti disulfiram. Metronidazole harus dihindari
pada trimester pertama kehamilan dan selama menyusui. Pesarium
clotrimazole lokal dapat digunakan untuk mengurangi gejalagejala
selama periode ini. Setelah trimester pertama, pengobatan metronidazol
sistemik akhirnya akan dibutuhkan untuk mengobati infeksi. Tinidazol
tidak dianjurkan pada kehamilan dan menyusui, atau pada pasien
dengan dyskrasia darah atau gangguan neurologis aktif.
Trichomoniasis adalah IMS yang lazim. Semua kontak seksual
harus ditelusuri dan diobati terlepas dari ada atau tidak adanya gejala.
Para pasien dan pasangan seks mereka harus diskrining untuk IMS dan
HIV.30
2.5 Jelaskan mengenai Duh Vagina!

Leukorrea fisiologis

1. Warna sekret bening


2. Sekret jernih
3. Sekret tidak berbau
4. Tidak ada/sedikit leukosit
Pada keadaan normal, cairan yang keluar dari vagina wanita dewasa
sebelum menopause terdiri dari epitel vagina, cairan transudasi dan dinding
vagina, sekresi dan endoserviks berupa mukus, sekresi dan saluran yang lebih
atas dalam jumlah yang bervariasi serta mengandung berbagai mikroorganisme
terutama Latobasillus doderlein.30
Peranan basil Doderlein dianggap sangat penting dalam menjaga
suasana vagina dengan menekan pertumbuhan mikroorganisme patologis
karena basil Doderlein mempunyai kemampuan mengubah glikogen dari epitel
vagina yang terlepas menjadi asam laktat, sehingga vagina tetap dalam keadaan
asam dengan Ph 3,0-4,5 pada wanita masa reproduksi. Suasana asam inilah
yang mencegah timbulnya mikroorganisme.
2.6 Hubungan sering berganti pasangan dengan kasus?
Individu yang sering melakukan aktivitas seksual dengan berganti
pasangan merupakan beresiko tinggi untuk terserang infeksi menular
seksual [IMS].13 Karena semakin sering individu melakukan hubungan
seksual yang berganti pasangan, maka makin besar kemungkinan individu
tersebut berhubungan dengan pengidap IMS. Ketika terjadi kontak seksual
secara langsung dengan pengidap IMS maka besar kemungkinan incdividu
tersebut akan tertular sehingga menimbulkan gejala-gejala penyakit.
2.7 Peran dokter kepada masyarakat?
Memberi edukasi tentang IMS mengingat salah satu tujuan program
penanggulangan HIV/AIDS ialah merubah perilaku yang berhubungan erat
dengan penyebaran IMS. Konseling bagi pasien merupakan peluang
penting sekaligus memberi edukasi tentang pencegahan HIV pada orang-
orang yang berisiko. Sasaran khusus pada kelompok remaja dalam upaya
pencegahan primer yang terkadang mereka tidak menyadari risiko yang
mereka hadapi untuk tertular IMS. Kepada kelompok dewasa muda juga
perlu diinformasikan di mana mereka bisa mendapatkan alat kontrasepsi
dan kondom. ekalipun kondom tidak memberikan perlindungan 100%
untuk setiap infeksi, namun bila digunakan dengan tepat akan sangat
mengurangi risiko infeksi. Penjelasan dokter diharapkan dapat mendorong
pasien untuk mau menuntaskan pengobatan dengan benar. Dalam
memberikan penjelasan, dokter atau perawat sebaiknya menggunakan
bahasa yang mudah dipahami dan dimengerti oleh pasien, dan bila dianggap
perlu dapat digunakan istilah-istilah setempat. Adapun penjelasan yang
dapat disampaikan dokter kepada pasien:32
1. Memberi pesan edukasi IMS
1) Mengobati sendiri cukup berbahaya
2) IMS umumnya ditularkan melalui hubungan seksual.
3) IMS adalah ko-faktor atau faktor risiko dalam penularan HIV.
4) IMS harus diobati secara paripurna dan tuntas.
5) Kondom dapat melindungi diri dari infeksi IMS dan HIV.
6) Tidak dikenal adanya pencegahan primer terhadap IMS dengan
obat.
7) Komplikasi IMS dapat membahayakan pasien.
2. IMS yang diderita dan pengobatannya
1) Menjelaskan kepada pasien tentang IMS dan obat yang dianjurkan
2) Memberitahu efek samping pengobatan
3) Menjelaskan komplikasi dan akibat lanjutnya
4) Menganjurkan agar mematuhi pengobatan
5) Menganjurkan agar tudak mengobati sendiri dan haru berobat
kepada dokter
6) Menjelaskan agar pasien tidak melakukan douching
3. Menilai tingkat resiko
1) Tanyakan perilaku seksual pasien
2) Tanyakan perilaku seksual pasangan pasien
3) Tanyakan pada pasien perilaku seperi apa yang melindungi pasien
dari IMS/HIV
4. Menjelaskan pilihan perilaku seksual yang aman
1) Cara ABCD
 A = Abstinence (tidak melakukan hubungan seksual untuk
sementara waktu)
 B = Be faithful (setia pada pasangan)
 C = Condom (gunakan kondom bila tidak mau melaksanakan A
dan B, termasuk menggunakan kondom sebelum IMS yang
dideritanya sembuh)
 D = no Drugs Tidak menggunakan obat psikotropik atau zat
adiktif lainnya
2) Ada juga cara lain yaitu dengan mengganti hubungan seksual
penetratif berisiko tinggi (hubungan seksual anal maupun vaginal
yang tidak terlindung) dengan hubungan seksual non-penetratif
berisiko rendah).
Perilaku berisiko tinggi adalah perilaku yang menyebabkan
seseorang terpapar dengan darah, semen, cairan vagina yang tercemar
kuman penyebab IMS atau HIV. Yakinkan pasien bahwa mereka telah
terinfeksi melalui hubungan seksual tak terlindung dengan pasangan
yang terinfeksi, dan bahwa tidak ada penyebab lainnya.32
5. Mengusahakan mengubah perilaku seksual berisiko
Pada tahap ini anda akan menolong pasien memutuskan untuk
mengubah perilaku seksualnya dalam rangka mencegah infeksi di
kemudian hari. Berikan kesempatan kepada pasien untuk memilih
perubahan yang sesuai dengan gaya hidupnya sehari-hari.
6. Mengenali hambatan dalam mengubah perilaku seksual berisiko
Beberapa kendala atau hambatan yang menyulitkan perubahan
perilaku seksual berasal dari pengalaman hidup seseorang, misalnya
gender, budaya, agama, kemiskinan dan masalah sosial.
7. Kepentingan mengobati pasangan seksual
Selalu katakan kepada pasien tentang perlunya mengobati
pasangan seksualnya, sebab bila tidak diobati akan terinfeksi ulang dari
pasangan seksualnya. Yakinkan pasien bahwa kerahasiaannya akan
tetap terjaga. Sekaligus bicarakan cara-cara pasien membujuk pasangan
seksualnya untuk mau datang berobat.
BAB III
KESIMPULAN

Nn.R 17 tahun mengalami Gonorrhea.


DAFTAR PUSTAKA
1. Holmes KK, Sparling PF, Stamm WE, Piot P, Wasserheit JN, Corey L, et al.
Sexually Transmitted Diseases. Edisi ke 4. United States : McGraw - Hill;
2004.607-39
2. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Penanganan
Infeksi Menular Seksual. Jakarta: Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan; 2015.
3. Daili F. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2009.
4. World Health Organization. Sexually transmitted infections (STIs). Geneva:
WHO. Diunduh dari : http://www.who.int/news-room/fact-
sheets/detail/sexually-transmitted-infections-(stis) [akses 23 Oktober 2018].
5. Jawas FA, Murtiastutik D. Penderita gonore di divisi penyakit menular seksual
unit rawat jalan ilmu kesehatan kulit dan kelamin RSU Dr. Soetomo Surabaya
tahun 2002–2006. J Berkala Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin. 2008; 20(3):
217-28.
6. Ohnishi M, Saika T, Hoshina S, Iwasaku K, Nakayama S, Watanabe H, et al.
Ceftriaxon-Resistance Neisseria Gonorrhea, Japan. Emerg Infect Dis .2011
7. Centers for Disease Control and Prevention. Sexually Transmitted Disease
Surveillance 2016. Division of STD Prevention: Atlanta, September 2017.
8. Irianto, K. Epidemologi Penyakit Menular & Penyakit Tidak Menular.
Bandung: Penerbit Alfabeta. 2014.
9. Sjaiful F. Strandarisasi Diagnostik dan Penataklasanaan Uretirits Gonore Akuta
Komplikasi. Jakarta: Balai penerbit FK UI, 1990:143-52
10. Kementerian Kesehatan RI, 2011b, Pedoman Nasional Penanganan Infeksi
Menular Seksual. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2011.
11. Pospischil A1. From disease to etiology: historical aspects of Chlamydia-
related diseases in animals and humans. Drugs Today (Barc). 2009 Nov;45
Suppl B:141-6.
12. Lameshow,S, Homser Jr.D.W.,Klar.,J.,Lwanga.S.K. 1997.Besar Sampel
Dalam Penelitian, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
13. Paavonen J. klamidia Trachomatis Infection – from diagnosis to treatment and
prevention. Fertility and reproductive Medicine-proceedings of the XVI- World
congres on Fertility and Sterility, san Fransisco, 4-9 october 1998. Amsterdam:
ELSEVIER, 1998:497-509.
14. Salyers AA, Whitt DD. Klamidia trachomatis in Bacterial Phatogenesis a
molecular approach. Washington DC. ASM Press 2nd ed, 2002:452-60.
15. Lan J, Brule, AJC, Hemrica DJ, et al. Klamidia tracomatis and ectopic
pregnancy: retrospective analysis of Salfingectomy specimens, Endometrial
Biopsies, cervical smears. J clin Pathol 1995: 48: 815-819.
16. Qureshi, S. Chlamydia (Chlamydial Genitourinary Infections) Clinical
Presentation. Medscape, Sep 25, 2018. Diunduh dari:
https://emedicine.medscape.com/article/214823-clinical#showall [akses 23
Oktober 2018].
17. Reza, N dan Tantari. Pemeriksaan Laboratorium Infeksi Chlamydia
trachomatis Pada Saluran Genital. Telaah Kepustakaan. 2015: 27(2);144-9.
18. American Academy of Pediatrics. Trichomonas vaginalis Infections In:
Kimberlin DW, Brady MT, Jackson MA, Long SS, eds. Red Book: 2015 Report
of the Committee on Infectious Diseases. 30th ed. Elk Grove Village, IL:
American Academy of Pediatrics; 2015:pp 798.
19. Sariroh W, Primariawan RY. Tingginya infeksi chlamydia trachomatis pada
kerusakan tuba fallopi wanita infertil. Majalah Obstetri & Ginekolog. 2015;
23(2): 69-74.
20. Meyer T. Diagnostic procedures to detect Chlamydia trachomatis infections. J
Microorganisms. 2016; 4(3): 25.
21. Paavonen, J., Kruse, W.E, “Chlamydia Trachomatis: Impact on Human
Reproduction”, Human Reproduction Update, 5(5); 433-447.2009.
22. Schorge et al. Gynecologic Infection. Williams Gynecology 2nd. McGrawHills
Companies.2005.
23. Mielczarek, E and Blaszkowska, J. Trichomonas vaginalis: pathogenicity and
potential role in human reproductive failure. Infection, August 2016: 44(
4);447-58.
24. Secor, W. E., Meites, E., Starr, M. C., and Workowski, K. A. Neglected
parasitic infections in the United States: trichomoniasis. The American journal
of tropical medicine and hygiene, 2014: 90(5), 800-4.
25. Swygard H, Sena AC, Hobbs MM, Cohen MS. Trichomoniasis: clinical
manifestation, diagnosis and management. Sex Transm Infect 2004; 80:91-9.
26. Santoso IM, Saraswati Dewi AAI, Wiraguna AAGP. Vaginitis in Dermato-
Venerology Clinic of Sanglah Hospital Denpasar (Januari 2004-Desember
2008). In: Buku Makalah Lengkap I. Pertemuan Ilmiah Tahunan X
Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia. 2009. P.71-4.
27. Krieger JN, Jenny C, Siegel N, Springwater R, Critchlow CW, Holmes KK.
Clinical Manifestations of Trchomoniasis in Men. Annals of Internal Medicine
1993;118 (11): 844-49.
28. Schwebke JR. Trichomonas vaginalis. In: Mandell GL., Bennett JE, Dolin R,
ed. Mandell, Douglas, and Bennett’s Principle and Practice of Infectious
Diseases 7th ed. Philadelphia: Churchill Livingstone Elsevier. 2010. H. 3535-
37.
29. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
V. Jakarta: FKUI; 2009.
30. Ambrozio, Cíntia Lima et al. Trichomonas vaginalis prevalence and risk factors
for women in Southern Brazil. Revista do Instituto de Medicina Tropical de Sao
Paulo. 2016; 58 (61).
31. Adhi Djuanda Daili.2002.Trikomoniaisis Dalam: Tony S Djajakusumah ed.
Ilmu Penyakit Dan Kelamin. Edisi Ketiga: Balai Penerbit FKUI.
32. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Pedoman Nasional Penanganan Infeksi Menular Seksual 2015. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI, 2015. ISBN 978-602-235-950-0.

Anda mungkin juga menyukai