TINJAUAN PUSTAKA
2.1 STDs
2.1.1 Konsep Dasar
1. Defenisi
STDs merupakan singkatan dari sexually transmitted disease atau dikenal dengan penyakit
menular seksual (PMS). Penyakit ini umumnya diperoleh melalui kontak atau hubungan
seksual yang tidak aman. Organisme baik itu bakteri, virus, atau parasit yang menyebabkan
penyakit menular seksual dapat berpindah dari orang ke orang melalui darah, air mani, atau
vagina, dan cairan tubuh lainnya. Kadang-kadang infeksi ini dapat ditularkan secara
nonseksual, seperti dari ibu ke bayi selama kehamilan atau persalinan, atau melalui transfusi
darah atau jarum suntik bersama. Dapat disimpulkan bahwa pengertian dari Penyakit
Menular Seksual ini adalah terjadinya infeksi yang menimbulkan penyakit-penyakit akibat
berhubungan seksusal secara tidak aman.
PMS tidak selalu menimbulkan gejala. Ada kemungkinan tertular penyakit menular seksual
dari orang-orang yang tampak sangat sehat dan bahkan mungkin tidak tahu bahwa mereka
terinfeksi.
2. Etiologi
Secara umum faktor penyebab terjadinya infeksi pada penyakit menular seksual yaitu bakteri,
jamur, virus, atau parasite.
Menurut Handsfield (20001) dalam Chiuman (2009), penyakit menular seksual dapat
diklasifikasikan berdasarkan agen penyebabnya, yaitu:
Penyakit menular seksual dapat disebabkan dari berbagai hal terutama kurangnya
pengetahuan. Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI, 2012),
pengetahuan remaja (pria dan wanita umur 15-24 tahun) tentang penyakit menular seksual
masih rendah dimana 35% wanita dan 19% pria mengetahui gonorrhea, 14% wanita dan 4%
pria mengetahui genital herpes, sedangkan pengetahuan mengenai condylomata, chancroid,
chlamydia, candida, dan jenis IMS lain yang tergolong sangat rendah (dibawah 1%).
Selain itu, hubungan seks pertama kali yang terlalu muda akan meningkatkan resiko
terinfeksi PMS. Perilaku remaja yang rentan terhadap PMS meliputi: terlalu dini melakukan
hubungan seks, tidak konsisten memakai kondom, melakukan aktifitas seks tanpa
perlindungan, berhubungan seks dengan pasangan yang beresiko atau berganti-ganti
pasangan.
4. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis PMS biasanya tergantung dari jenisnya masing-masing. Namun secara
umum tanda dan gejala dari penyakit menular seksual yaitu:
Keluar cairan/keputihan yang tidak normal dari vagina atau penis. Pada wanita,
terjadi peningkatan keputihan, warnanya bisa menjadi lebih putih, kekuningan,
kehijauan, atau kemerah mudaan dan memiliki bau yang tidak sedap serta berlendir.
Pada pria, rasa panas seperti terbakar atau sakit selama atau setelah kencing, biasanya
disebabkan oleh PMS. Pada wanita, beberapa gejala dapat disebabkan oleh PMS tapi
juga disebabkan oleh infeksi kandung kemih yang tidak ditularkan melalui hubungan
seksual.
Luka terbuka dan atau luka basah disekitar alat kelamin atau mulut. Luka tersebut
dapat terasa sakit atau tidak.
Tonjolan kecil-kecil (papules) disekitar alat kelamin
Kemerahan di sekitar alat kelamin
Pada pria, rasa sakit atau kemerahan terjadi pada kantung zakar
Rasa sakit diperut bagian bawah yang muncul dan hilang, dan tidak berhubungan
dengan menstruasi.
Bercak darah setelah hubungan seksual
Anus gatal atau iritasi
Pembengkakan kelenjar getah bening di selangkangan
Nyeri di paha atau perut lebih rendah
Pendarahan pada vagina
Nyeri atau pembengkakan testis
Pembengkakan atau kemerahan dari vagina
Nyeri seks
Perubahan pada kulit di sekitar kemaluan
Terasa sakit pada daerah pinggul (wanita)
5. Pemeriksaan diagnostic
Pemeriksaan untuk penyakit menular seksual menurut PERDOSKI (2018), yaitu:
a. Pemeriksaan pap smear, atau anoskopi. Pemeriksaan ini digunakan untuk
menyingkirkan adanya infeksi virus Human Papiloma (VPH) dan virus ini
dapat menyerang laki-laki maupun perempuan.
b. Mengambil sedikit cairan dari daerah kelamin, urethra, atau anus. Lalu
menguji sampel tersebut untuk memastikan adanya infeksi Gonore dan
Chlamydia.
c. Bila ada luka di sekitar area genital, ambil sampel darah dan sampel cairan
dari area luka. Lalu menguji sampel tersebut juga dilakukan untuk
menyingkirkan adanya infeksi Syphilis dan Herpes kelamin.
7. Komplikasi
Suatu studi epidemiologi menggambarkan bahwa pasien dengan infeksi menular seksual lebih
rentan terhadap HIV. Infeksi menular seksual diimplikasikan sebagai faktor yang memfasilitasi
penyebaran HIV (WHO, 2004). Jika tidak ditangani dengan serius, penyakit menular seksual
dapat menyebabkan:
Peradangan pada mata
Radang sendi
Nyeri panggul
Radang panggul
Penyakit jantung
Kanker serviks
Kanker anus
Abses anus
Penyakit menular seksual juga dapat menyebabkan komplikasi pada kehamilan. Beberapa
penyakit menular seksual seperti gonore, chlamydia, HIV, dan sifilis dapat menular dari ibu
hamil ke janinnya selama kehamilan atau saat persalinan. Kondisi ini dapat memicu keguguran
dan gangguan kesehatan atau cacat lahir pada bayi.
8. Prognosis
Dalam kasus yang jarang terjadi, PMS tidak dapat diobati bahkan bisa berakibat fatal.
Untungnya sebagian besar PMS dapat diobati dan dalam beberapa kasus mereka dapat
disembuhkan sepenuhnya. Dalam kasus lain, pengobatan dini dan efektif dapat membantu
meringakan gejala, menurunkan resiko komplikasi, dan melindungi pasangan seksual.
Lebih dari 30 bakteri, virus, dan parasit yang berbeda diketahui ditularkan melalui kontak
seksual. Delapan dari patogen ini terkait dengan insiden terbesar penyakit menular seksual. Dari
8 infeksi ini, 4 saat ini dapat disembuhkan: sifilis, gonore, klamidia, dan trikomoniasis. Empat
lainnya adalah infeksi virus yang tidak dapat disembuhkan: hepatitis B, virus herpes simpleks
(HSV atau herpes), HIV, dan human papillomavirus (HPV). Gejala atau penyakit akibat infeksi
virus yang tidak dapat disembuhkan dapat dikurangi atau dimodifikasi melalui pengobatan.
Penyakit menular seksual (PMS) atau infeksi menular seksual (IMS) memiliki dampak besar
pada kesehatan seksual dan reproduksi di seluruh dunia. Lebih dari 1 juta IMS didapat setiap
hari. Pada tahun 2016, WHO memperkirakan 376 juta infeksi baru dengan 1 dari 4 IMS:
klamidia, gonore, sifilis, dan trikomoniasis. Lebih dari 500 juta orang hidup dengan infeksi HSV
(herpes) genital dan diperkirakan 300 juta wanita memiliki infeksi HPV, penyebab utama kanker
serviks. Diperkirakan 240 juta orang hidup dengan hepatitis B kronis secara global.
Pada umumnya prognosis penyakit menular seksual memiliki variasi, tergantung dari organ dan
tingkat kekambuhannya, salah satunya yaitu herpes genital. Mayoritas kasus infeksi HSV
bersifat asimtomatik, sekitar 74% pada kasus HSV 1 dan 63% pada kasus HSV 2. Tingkat
keparahan manifestasi klinik yang muncul bergantung keberadaan antibodi terhadap virus HSV
1. Virus HSV akan berada pada kondisi dorman di dalam tubuh pasien dan memungkinkan untuk
reaktivasi secara kronis dengan frekuensi bervariasi. Umumnya reaktivasi HSV 1 terjadi 0-1 kali
dalam setahun sedangkan HSV 2 sebanyak 4-5 kali dalam setahun.
Pada kasus ensefalitis herpes simpleks ketepatan dan kecepatan pemberian terapi mempengaruhi
prognosis. Pada pasien yang tidak tertangani, 70% mengalami kematian. Hal ini serupa dengan
neonatus ensefalitis herpes simpleks, 85% kasus ini berujung kepada kematian.
A. Pengkajian
1) Identitas, mencakup nama pasien, alamat pasien, umur pasien, jenis kelamin, agama,
tanggal masuk rumah sakit penting untuk dikaji untuk melihat perkembangan dari
pengobatan, penanggung jawab pasien agar pengobatan dapat dilakukan dengan
persetujuan dari pihak pasien dan keluarga.
2) Riwayat kesehatan
a. Riwayat kesehatan sekarang
Apakah ada gejala: keputihan tidak biasa jumlah banyak atau terus keluar warna,
tidak biasa, rasa gatal, bau busuk amis atau asam. Apakah nyeri saat BAK, apakah
keluar nanah (abses) dari alat kelamin, apakah ada pembengkakan kelenjar lipat
paha, nyeri perut bagian bawah, apakah ada daging atau kutil pada alat kelamin,
gangguan menstruasi, dan kapan terjadi haid terakhir.
b. Riwayat kesehatan keluarga
Adakah riwayat penyakit yang sama diderita oleh anggota keluarga yang lain atau
riwayat penyakit lain yang bersifat genetis maupun tidak. Apakah ada anggota
keluarga yang juga pernah terkena penyakit menular seksual sebelumnya atau
penyakit degeneratif yang kronis.
c. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit yang sama atau penyakit lain yang pernah diderita oleh pasien,
apakah klien ada riwayat terkena penyakit menular seksual. Faktor resiko (pasien
sendiri bukan pasangannya) lebih dari satu pasangan seksual dalam satu bulan
terakhir, hubungan seksual dengan pekerja seks dalam satu bulan terakhir,
mengalami 1 atau lebih episode PMS dalam 1 tahun terakhir, pekerjaan suami
beresiko tinggi.
3) Pemeriksaan fisik
a. Sistem integument
b. Kulit: biasanya terdapat lesi. Berupa papula, macula, postula.
c. Kepala: biasanya terdapat nyeri kepala
d. Mata: biasanya pada sifilis kongenital terdapat kelainan pada mata (konjungtivitis)
e. Hidung: dapat merusak tulang rawan pada hidung dan palatum.
f. Telinga: dapat menyebabkan ketulian.
g. Mulut: pada sifilis kongenital, gigi Hutchinson (incisivus I atas kanan dan kiri
bentuknya seperti obeng)
h. Leher: biasanya terdapat nyeri leher
i. Sistem pernafasan: kelelahan terus menerus, kaku kuduk, malaise. Tanda (kelemahan,
perubahan tanda-tanda vital)
j. Sistem kardiovaskuler: kemungkinan adanya hipertensi, arteriosclerosis, dan penyakit
jantung reumatik sebelumnya.
k. Sistem pencernaan: biasanya terjadi anorexia pada stadium
l. Sistem musculoskeleteal: pada neurosifilis terjadi athaxia
m. Sistem perkemihan: penurunan berkemih, nyeri pada saat kecing, kencing keluar
nanah. Tanda: kencing bercampur nanah, nyeri pada saat kencing
n. Sistem reproduksi: kutil didaerah vulva, vagina, anus, dan servik.
4) Pengkajian 11 Fungsional Gordon
a) Pola persepsi kesehatan manajemen kesehatan
Tanyakan pada klien bagaimana pandangannya tentang penyakit yang dideritanya dan
pentingnya kesehatan bagi klien, kaji apakah klien merokok atau minum alkohol,
apakah klien mengetahui tanda dan gejala penyakitnya.
b) Pola nutrisi dan metabolism, cairan dan elektrolit
Kaji apakah klien mengalami penurunan berat badan, adanya edema atau tanda-tanda
dehidrasi, ada perasaan mual atau muntah, dan tanyakan pola makan pasien, serta kaji
turgor kulit klien, adanya bau tidak sedap pada mulut klien, kaji intake dan output
cairan klien.
c) Pola eliminasi
Kaji bagaimana pola miksi dan defekasi klien apakah mengalami gangguan, apakah
klien menggunakan alat bantu untuk eliminasinya, apakah klien merasakan nyeri saat
BAK dan BAB, apakah penyakit ini mengganggu kenyamanan saat BAK dan BAB,
biasanya klien mengalami gejala: penurunan berkemih, nyeri pada saat kencing,
kencing keluar nanah.
d) Pola aktivitas latihan
Kaji bagaimana klien melakukan aktivitas sehari-hari sebelum menghadapi
pembedahan, apakah klien dapat melakukannya sendiri atau malah dibantu keluarga,
apakah aktivitas terganggu karena penyakit yang dihadapinya.
e) Pola istirahat tidur
Kaji perubahan pola tidur klien, berupa lama klien tidur dalam sehari dan apakah
klien mengalami gangguan dalam tidur, seperti nyeri
f) Pola persepsi dan kognitif
Kaji tingkat kesadaran klien, apakah klien mengalami gangguan pada panca indera,
bagaimana kemampuan berkomunikasi, memahami serta berinteraksi klien terhadap
orang lain.
g) Pola persepsi dan konsep diri
Tanyakan apakah klien puas denga dirinya saat ini, apakah klien puas dengan citra
diri dan peran dirinya, dan apakah klien merasa ada perubahan pad dirinya semenjak
menderita penyakit tersebut.
h) Pola peran dan hubungan
Tanyakan apakah klien tinggal sendiri atau ditemani keluarga, adakah orang terdekat
yang sangat dekat dengan klien dan kaji tanda-tanda menarik diri, seperti tidak ingin
diajak bicara, selalu ingin sendiri dan tidak mau ditemani.
i) Pola reproduksi dan seksualitas
Kaji pasien, apakah saat berhubungan memakai alat pelindung, apakah klien
mengganti-ganti pasangannya
j) Pola koping dan stress
Kaji apa yang biasa dilakukan klien saat ada masalah, biasanya klien akan mengalami
stress dan depresi karena penyakitnya.
k) Pola nilai dan kepercayaan
Kaji bagaimana pengaruh agama terhadap klien menghadapi penyakitnya, apakah ada
pantangan agama dalam proses penyembuhan klien, dan kaji bagaimana pengaruh
agama terhadap klien menghadapi pembedahan.
Diagnose keperawatan
1. Nyeri Akut b/ kerusakan jaringan
2. Resiko tinggi infeksi
3. Gangguan intergritas kulit b/d adanya ulkus pada genetalia
A. Intervens
Diagnosa Keperawatan/ Rencana keperawatan
Masalah Kolaborasi
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Nyeri akut berhubungan Luaran Intervensi :
dengan: Pain Level, Lakukan pengkajian nyeri secara
Agen injuri (biologi, kimia, pain komprehensif termasuk lokasi, karakteristik,
fisik, psikologis), kerusakan control, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor
jaringan comfort presipitasi
level Observasi reaksi nonverbal dari
Setelah dilakukan tinfakan ketidaknyamanan
keperawatan selama …. Bantu pasien dan keluarga untuk
Pasien tidak mengalami mencari dan menemukan dukungan
nyeri, dengan kriteria hasil: Kontrol lingkungan yang dapat
Mampu mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan,
mengontrol nyeri (tahu pencahayaan dan kebisingan
penyebab nyeri, mampu Kurangi faktor presipitasi nyeri
menggunakan tehnik Kaji tipe dan sumber nyeri untuk
nonfarmakologi untuk menentukan intervensi
mengurangi nyeri, mencari Ajarkan tentang teknik non
bantuan) farmakologi: napas dala, relaksasi, distraksi,
Melapork kompres hangat/ dingin
an bahwa nyeri berkurang Berikan analgetik untuk mengurangi
dengan menggunakan nyeri: ……...
manajemen nyeri Tingkatkan istirahat
Mampu Berikan informasi tentang nyeri
mengenali nyeri (skala, seperti penyebab nyeri, berapa lama nyeri
intensitas, frekuensi dan akan berkurang dan antisipasi
tanda nyeri) ketidaknyamanan dari prosedur
Menyatak Monitor vital sign sebelum dan
an rasa nyaman setelah sesudah pemberian analgesik pertama kali
nyeri berkurang
Tanda
vital dalam rentang normal
Tidak
mengalami gangguan tidur
Sindrom ini dianggap sebagai hipersensitivitas kompleks yang mempengaruhi kulit dan
selaput lendir. Stevens Johnson Syndrome adalah sindroma yang mengenai kulit, selaput
lendir orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat.
Kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel, bula dapat disertai purpura.
Stevens Johnson Syndrome adalah bentuk penyakit mukokutan dengan tanda dan gejala
sistemik yang parah berupa lesi target dengan bentuk yang tidak teratur, disertai macula,
vesikel, bula, dan purpura yang tersebar luas terutama pada rangka tubuh, terjadi
pengelupasan epidermis kurang lebih sebesar 10% dari area permukaan tubuh, serta
melibatkan membran mukosa dari dua organ atau lebih. Sindrom Stevens Johnson
umumnya terjadi pada anak-anak dan dewasa muda terutama pria. Tanda-tanda oral
sindrom Stevens Johnson sama dengan eritema multiforme, perbedaannnya yaitu
melibatkan kulit dan membran mukosa yang lebih luas, disertai gejala-gejala umum yang
lebih parah, termasuk demam, malaise, sakit kepala, batuk, nyeri dada, diare, muntah dan
artralgia.
Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi dalam darah
mengendap di dalam pembuluh darah atau jaringan. Antibiotik tidak ditujukan kepada
jaringan tersebut, tetapi terperangkap dalam jaringan kapilernya. Pada beberapa kasus
antigen asing dapat melekat ke jaringan menyebabkan terbentuknya komplek antigen
antibodi ditempat tersebut. Reaksi tipe ini mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel
mast sehingga terjadi kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya reaksi tersebut.
Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan mulai memtagositosis sel-sel yang rusak
sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim sel, serta penimbunan sisa sel. Hal ini
menyebabkan siklus peradangan berlanjut.
Kompleks imun beredar dapat mengendap di daerah kulit dan mukosa, serta
menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi komplemen dan reaksi inflamasi yang
terjadi. Kerusakan jaringan dapat pula terjadi akibat aktivitas sel T serta mediator yang
dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang terlihat sebagai kelainan klinis lokal di kulit dan
mukosa dapat pula disertai gejala sistemik akibat aktivitas mediator serta produk
inflamasi lainnya. Adanya reaksi imun sitotoksik juga mengakibatkan apoptosis
keratinosit yang akhirnya menyebabkan kerusakan epidermis.15 Oleh karena proses
hipersensitivitas, maka terjadi kerusakan kulit sehingga terjadi seperti kegagalan fungsi
kulit yang menyebabkan kehilangan cairan, stress hormonal diikuti peningkatan resistensi
terhadap insulin, hiperglikemia dan glukosuria, kegagalan termoregulasi, kegagalan
fungsi imun, dan infeksi.
4. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan laboratorium
a. Tidak didapatkan pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu dalam pengkajian
diagnosis
b. CBC (complete blood count) bisa didapatkan sel darah putih yan gnormal atau
leukositosis nonspesifik. Peningkatan kadar leukosit disebabkan oleh infeksi bakteri
c. Kultur darah, urin, dan luka merupakan indikasi bila dicurigai penyebab infeksi.
Pemeriksaan lainnya
a. Biopsi kulit merupakan pemeriksaan diagnostik tapi bukan merupakan prosedur unit
gawat darurat
b. Biopsi kulit dapat memperlihatkan bulla subepidermal
c. Adanya nekrosis sel epidermis
d. Infiltrasi limfosit pada daerah perivaskular.
PENATALAKSANAAN
Manajemen pasien harus dikerjakan dengan cepat dan tepat. Hal penting yang harus dilakukan
mendiagnosis dengan cepat, perawatan khusus dan multidisiplin tim pada intensive care unit
(ICU) atau unit luka bakar. Perawatan suportif termasuk menjaga keseimbangan hemodinamik
dan mencegah komplikasi yang mengancam jiwa. Tujuan pada dasarnya sama dengan tujuan
luka bakar yang luas.
1. Penatalaksanaan Umum
Adapun prinsip – prinsip utama perawatan suportif adalah sama seperti pada luka bakar.
Selain menghentikan pemberian obat penyebab, dilakukan perawatan luka, manajemen
cairan dan elektrolit, dukungan nutrisi, perawatan mata, manajemen suhu, kontrol nyeri
dan pemantauan pengobatan infeksi.
a. Penghentian Obat Penyebab
Diagnosis dini dengan pengenalan dini dan penghentian segera dari segala obat-
obatan yang diduga menjadi penyebab sangat menentukan hasil akhir. Morbiditas dan
mortalitas meningkat jika obat-obatan yang menjadi penyebab terlambat dihentikan.
Ignacio Garcia dkk melakukan penelitian untuk menentukan apakah waktu
penghentian obat berhubungan dengan prognosis pasien NET atau SSJ. Hasil
penelitian menunujukkan bahwa angka kematian lebih rendah apabila obat penyebab
dengan waktu paruh eliminasi yang pendek dihentikan tidak lebih dari 1 hari ketika
bula atau erosi muncul. Pasien yang mengkonsumsi obat penyebab dengan waktu
paruh yang panjang, memiliki resiko kematian yang lebih tinggi.
b. Menjaga Keseimbangan Cairan, Termoregulasi dan Nutrisi
SSJ/NET dihubungkan dengan hilangnya cairan yang signifikan dikarenakan erosi,
yang menyebabkan hipovolemia dan ketidakseimbangan elektrolit. Penggantian ulang
cairan harus dimulai secepat mungkin dan disesuaikan setiap harinya. Jumlah infus
biasanya kurang dari luka bakar pada tingkat keparahan yang sama, karena interstisial
edema tidak dijumpai. Aliran vena perifer lebih disukai jika dimungkinkan, karena
bagian tempat masuk aliran sentral sering melibatkan pelepasan epidermis dan mudah
terinfeksi. Hal lain yang perlu dijaga adalah temperatur lingkungan, sebaiknya
dinaikkan hingga 28˚C hingga 30˚C - 32°C untuk mencegah pengeluaran kalori yang
berlebihan karena kehilangan epidermis. Penggunaan pelembab udara saat tidur
meningkatan rasa nyaman pasien.
Pasien SSJ dan NET mengalami status katabolik yang tinggi sehingga memerlukan
tambahan nutrisi. Kebutuhan energi dan protein berhubungan dengan luas area tubuh
yang terlibat. Terapi enteral lebih diutamakan daripada parenteral karena dapat
ditoleransi dengan lebih baik dan dapat memberikan pemasukan kalori lebih banyak.
Sedangkan terapi parenteral membutuhkan akses vena sentral dan meningkatkan
resiko sepsis. Dapat juga digunakan nasogastric tube apabila terdapat lesi mukosa
mulut.
c. Antibiotik
Antibiotik profilaksis bukan merupakan indikasi, malah mungkin dapat menyebabkan
resistensi organisme dan meningkatnya mortalitas. Pasien diberikan antibiotik apabila
terdapat tanda-tanda klinis infeksi. Tanda-tanda tersebut antara lain perubahan status
mental, mengigil, hipoterimia, menurunnya pengeluaran urin dan penurunan kondisi
klinis. Selain itu juga terdapat peningkatan bakteri pada kultur kulit. Kultur rutin dari
kulit, darah, urin, dan kanula intravascular sangat disarankan. Penyebab utama dari
sepsis pada pasien SSJ/NET adalah Staphylococus aureus dan Pseudomonas
aeruginosa. Spesies Staphylococus yang dikultur dari darah biasanya sama dengan
yang dikultur dari kulit.
d. Perawatan Luka
Pembersihan luka (debridement) nekrosis epidermis yang ekstensif dan agresif tidak
direkomendasikan pada kasus NE karena nekrosis permukaan bukanlah halangan
untuk reepitelisasi, dan justru dapat mempercepat proliferasi sel-sel stem berkenaan
dengan sitokin peradangan.
Pengobatan topikal diberikan untuk mengurangi kehilangan cairan, elektrolit, dan
mencegah terjadinya infeksi. Debridement dilakukan dengan pemberian analgetik
dengan derivat morfin sebelumnya. Kulit dibersihkan dengan antiseptic yang ringan
dan solusio antibiotik seperti sabun povidone iodine, chlorhexidine, silver nitrate
untuk mengurangi pertumbuhan bakteri.
e. Perawatan Mata dan Mulut
Komplikasi oftalmik adalah satu dari permasalahan tersering terhadap SSJ/NET.
Sekitar 80% pasien yang dihospitalisasi mengalami komplikasi ocular akut yang sama
pada SSJ maupun NET dengan keterlibatan berat sebesar 25%. Gejala sisa kronis
terjadi pada sekitar 35% pasien, biasanya disebabkan oleh skar konjungtiva.
Permasalahan residual pada mata yang paling sering dilaporkan adalah
fotosensitivitas kronis dan mata kering. Namun pada beberapa pasien penyakit ocular
kronis bermanifestasi sebagai kegagalan permukaan mata, inflamasi episodik rekuren,
skleritis, atau sikatriks konjungtiva progresif yang menyerupai pemfigoid membran
mukosa. Perawatan mata meliputi pembersihan kelopak mata dan memberi pelumas
setiap hari dengan obat tetes atau salep mata.
Mulut harus dibersihkan beberapa kali dalam sehari untuk menjaga kebersihan rongga
mulut, berulang-ulang kumur-kumur dengan antiseptik dan mengoleskan topikal
anestesi seperti xylocaine, lignocaine sebelum makan sehingga dapat mengurangi
sakit waktu menelan. Tindakan ini hanya direkomendasikan bila penderita tidak
mengalami pharyngealdysphagia. Hindari makanan yang terlalu panas atau dingin,
makanan yang asam dan kasar. Sebaiknya makanan yang halus dan basah sehingga
tidak mengiritasi lesi pada mulut. Kadang-kadang diberikan obat anti fungal seperti
mikostatin, obat kumur-kumur soda bikarbonat, hydrogen peroksida dengan
konsentrasi ringan. Pemberian topikal pada bibir seperti vaselin, lanolin.
f. Perawatan vulvovaginal
Pencegahan pada vulvovaginal dengan memeriksakan ginekologi dini harus
dilakukan pada semua pasien wanita penderita SJS/NET. Tujuan dari pengobatan ini
untuk mencegah keterlibatan vagina yang membentuk adhesi dan aglutinasi labial
serta mencegah adenosis vagina ( bila dijumpai keterlibatan metaplastik serviks /
endometrium, epitel kelenjar divulva atau vagina ). Pencegahan dengan memberikan
kortikosteroid intravaginal diterapkan dua kali sehari pada pasien dengan lesi ulseratif
sampai resolusi fase akut penyakit. Pemberian kortikosteroid topical ini disertai
dengan krim antijamur topical untuk mencegah kandidiasis vagina.
2. Penatalaksanaan spesifik
Kortikosteroid Sistemik
Pemakaian kortikosteroid sistemik masih kontroversial. Beberapa studi menemukan
bahwa pemberian kortikosteroid dapat mencegah perluasan penyakit bila diberikan
pada fase awal. Studi lain menyebutkan bahwa steroid tidak menghentikan
perkembangan penyakit dan bahkan dihubungkan dengan kenaikan mortalitas dan
efek samping, khususnya sepsis. Selanjutnya, banyak kasus telah dilaporkan yang
telah diobati dengan kortikosteroid, akan meningkatkan resiko SSJ/NET. Jadi,
kortikosteroid sistemik tidak dapat direkomendasikan sebagai pedoman utama
pengobatan SSJ/NET.
Kortikosteroid dapat diberikan dalam 72 jam pertama setelah onset untuk mencegah
penyebaran yang lebih luas, dapat diberikan selama 3-5 hari diikuti penurunan secara
bertahap (tapering off). Dosis yang dapat diberikan adalah 30-40 mg sehari. Dapat
digunakan deksametason secara intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari.
Tapering off hendaknya cepat dilakukan karena pada umumnya penyebab SSJ/NET
adalah eksogen (alergi). Pada SSJ/NET, kortikosteroid berperan sebagai anti
inflamasi, imunosupresif dan anti apoptosis. Kortikosteroid juga mempunyai efek
anti-apoptosis pada banyak jaringan termasuk kulit dengan menghambat aktivitas
Fas-FasL
Immunoglobulin Intravena (IVIG)
Anjuran pemakaian immunoglobulin intravena dosis tinggi didasarkan pada
demonstrasi bahwa kematian sel yang diperantarai Fas dapat dibatalkan oleh aktivitas
antiFas yang ada dalam sejumlah immunoglobulin manusia normal. Keuntungan telah
ditegaskan oleh beberapa studi dan laporan kasus tetapi disangkal oleh beberapa yang
lainnya.
IVIG mengandung antibodi imun yang mengganggu jalur apoptosis yang diperantarai
oleh FasL dan reseptor. Secara teoritis, yang paling baik pemberian IVIG pada awal
(24-72 jam setelah munculnya bulla pertama), sebelum Fas-L dan reseptor berikatan,
walaupun masih efektif jika bulla yang baru muncul. Pasien dengan defisiensi Ig A
akan terjadi anafilaksis akibat IVIG. Sangat baik dilakukan pemeriksaan tingkat IgA
sebelum pemberian namun menunggu hasilnya dapat menyebabkan keterlambatan
pengobatan.
Hasil studi dari IVIG pada SSJ dan NET masih diperdebatkan, dan IVIG tidak
disarankan sebagai pengobatan rutin. Namun jika diputuskan untuk menggunakan
IVIG dengan penyakit berat diberikan dosis 1 gr/kgBB perhari selama 3 hari berturut
– turut ) pada fase awal penyakit yaitu dalam waktu 24-48 jam dari onset gejala.13,15
Efek samping IVIG termasuk ginjal , hematologi dan komplikasi trombotik. Resiko
komplikasi yang serius meningkat pada pasien usia tua yang menerima dosis tinggi
IVIG serta pada penderita gangguan ginjal dan jantung. Telah dilaporkan hemolysis
berat dan nefropati pada pasien SJS/NET yang diobati dengan IVIG.
Siklosporin A
Siklosporin merupakan suatu agen imunosupresif yang penuh kekuatan dihubungkan
dengan efek biologik yang secara teoritis berguna dalam pengobatan SSJ/NET.
Dalam sebuah serial kasus retrospektif, 11 pasien NET diterapi dengan siklosporin A
(3 mg/kg/hari), terapi siklosporin A menyebabkan reepitelisasi yang cepat dan angka
mortalitas yang rendah bila dibandingkan dengan siklofosfamid dan kortikosteroid
(0% vs 50%). Berbagai laporan kasus individual yang menggunakan dosis 3 hingga 5
mg/kg/hari secara intravena atau oral juga telah dipublikasikan memperlambat
perkembangan SJS/NET tanpa toksisitas yang signifikan. Durasi pengobatan
bervariasi mulai dari 8 hingga 24 hari, biasanya hingga pasien mengalami
reepitelisasi. Efek samping termasuk peningkatan ringan dari serum kreatinin,
hipertensi dan infeksi. Siklofosfamid sebagai bahan tunggal telah digunakan
meskipun saat ini tidak digunakan di kebanyakan sentra.
Agen TNF-α
Dalam beberapa laporan kasus dengan pemberian infus tunggal 5 mg/kgbb TNF- α
menghentikan perluasan dan perkembangan dari SJS/NET dan memicu epitelisasi.
Pemberian etanercept 50 mg inj subkutan telah berhasil digunakan dalam sejumlah
kecil pasien.
Plasmafaresis atau Hemodialisis
Dasar pemikiran untuk memakai plasmafaresis atau hemodialisis adalah mendorong
perpindahan obat yang salah, metabolitnya, atau mediator peradangan seperti sitokin.
Sebuah laporan kasus kecil melaporkan efikasi dan keamanannya dalam
penatalaksanaan SSJ/NET. Bagaimanapun, mempertimbangkan tidak adanya dasar
dan adanya resiko yang dihubungkan dengan pemasangan kateter intravaskular,
penatalaksanaan ini tidak direkomendasikan.
KOMPLIKASI
Komplikasi yang tersering ialah bronkopneunomia yang didapati sejumlah 16 % diantara seluruh
kasus yang ada. Komplikasi yang lain ialah kehilangan cairan atau darah, gangguan
keseimbangan elektrolit dan syok. Pada mata dapat terjadi kebutaan karena gangguan lakrimasi.
Selain itu, komplikasi lain yang dapat terjadi, antara lain sebagai berikut:
PROGNOSIS
SSJ adalah reaksi yang gawat. Bila tidak diobati dengan baik, reaksi ini dapat menyebabkan
kematian, umumnya sampai 35 persen orang yang mengalami walaupun angka ini dapat
dikurangi dengan pengobatan yang baik sebelum gejala menjadi terlalu gawat. Reaksi ini juga
dapat menyebabkan kebutaan total, kerusakan pada paru, dan beberapa masalah lain yang tidak
dapat disembuhkan.
Pada kasus yang tidak berat, prognosisnya baik, dan penyembuhan terjadi dalam waktu 2-3
minggu. Kematian berkisar antara 5-15% pada kasus berat dengan berbagai komplikasi atau
pengobatan terlambat dan tidak memadai. Prognosis lebih berat bila terjadi purpura yang lebih
luas. Kematian biasanya disebabkan oleh gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit,
bronkopneumonia, serta sepsis.
ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
4. Identitas
Kaji nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama, suku atau bangsa,
pendidikan, pekerjaan, alamat dan nomor register.
5. Riwayat kesehatan
Keluhan utama
Kaji apa alasan klien membutuhkan pelayanan kesehatan
Riwayat kesehatan sekarang
Kaji bagaimana kondisi klien saat dilakukan pengkajian. Klien dengan steven-
johnson biasanya mengeluh demam, melaise, kulit merah dan gatal, nyeri kepala,
batuk, pilek, dan sakit tenggorokan.
Riwayat kesehatan dahulu
Kaji riwayat alergi makanan klien, riwayat konsumsi obat-obatan dahulu, nilai
penyakit yang sebelumnya dialami klien.
Riwayat kesehatan keluarga
Kaji apakah di dalam keluarga klien, ada yang mengalami penyakit yang sama.
6. Pemeriksaan Fisik
B. A (Airway)
Jalan nafas, adakah sumbatan jalan nafas berupa sputum, lendir ataupun darah
yang ditandai oleh kesulitan bernafas atau suara nafas yang berbunyi (stridor,
hoarness).
C. B (Breathing)
- Klien sesak, batuk, mengi, tidak mampu menelan
- Bunyi nafas: gemarik (edema paru), stridor (edema laryngeal), ronkhi (sekret
jalan nafas dalam)
- Pernafasan menggunakan otot-otot pernafasan
- Menggunakan alat bantu nafas (nasal, sungkup)
- Pernafasan cepat lebih dari 20×/ menit
- Irama pernafasan regular atau irreguler
- Saturasi oksigen > 96%
- Refleks batuk ada
D. C (Circulation)
Tekanan darah hipotensi
Takikardia
Destrimia, detak jantung tidak beraturan
Edema jaringan
Penurunan nadi perifer distal pada ekstremitas yang cedera
Kulit dingin dan pucat
Akral dingin
Pengisian kapiler lambat karena adanya penurunan curah jantung
E. D (Disability)
Penurunan tingkat kesadaran (apatis, somnolen)
Keterbatasan rentang gerak pada area yang sakit
Gangguan massa otot, perubahan tonus otot
Tidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri
Perubahan orientasi dan perilaku
Kemampuan bicara klien tidak jelas
Klien tampak sakit ringan, sedang ataupun berat
F. E (Explusure)
Umumnya klien mengalami:
Demam tinggi
Malaise
Batuk, pilek
Sakit menelan
Nyeri dada
Nyeri kepala
Muntah
Pegal otot
Kemudian muncul lesi di:
Kulit berupa eritema, papil, vesikel,buka secara simetris pada hampir seluruh
tubuh
Mukosa (mulut, tenggorokan dan genital) berupa vesikel, Bula, erosi es,
ekskoriasi, perdarahan dan krusta berwarna merah
Mata berupa konjungtivitis kataralis, blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis,
kelopak mata edema dan sulit terbuka.
G. F (Fluid)
Cairan longer laktat, natrium klorida, dektrose 5%
Nutrisi 2500-3000 kalori sehari dengan kadar protein tinggi
Pengeluaran urine menurun, dan nyeri saat BAK
Diuresis
H. Tanda-tanda vital
Tekanan darah normal (100-139/60-96 mmHg)
Respirasi Rate (16-20×/menit)
Denyut Nadi (60-100×/menit)
Suhu (36,5-37,4 °C)
I. Head to Toe
Kepala
Bentuk : Normochepalig
Muka : Simetris
Rambut :Warna:hitam, Distribusi; merata, Kekuatan:
tidak mudah dicabut
Nyeri tekam : Tidak ada
Mata
Bentuk : Simetris
Kelopak mata : Edema dan sulit terbuka
Konjungtiva : Konjungtivitis kataralis dan purulen
Sklera : Tidak ikterik, putih
Kornea : Ulkus kornea
Pupil : Isokor, diameter 3-6 mm
Reaksi cahaya : Positif
Lapang penglihatan : Penyempitan lapangan penglihatan
Kelainan mata : Simbleferon, iritis, iridosiklitis
Telinga
Bentuk : Simetris
Nyeri tekan : Tidak ada
Liang telinga : Liang telinga lapang, tidak ada serumen
Pendengaran : Tidak mengalami ketulian
Hidung
Bentuk : Sinetris
Concha : Tidak membesar
Septum : Tidak terdapat deviasi
Selaput lender : Lesi, ada penyumbatan, perdarahan, ingus
Pembauan : Mengalami penurunan
Leher
Bentuk : Simetris
Pembesaran kelenjar : Tidak ada
Pergerakan leher : Tidak terbatas
Peningkatan JVP : Tidak terlihat
Dada
Paru-paru
Sistem kardiovaskular
Inspeksi : Ictus kordis tidak terlihat, edema jaringan
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba, frekuensi HR >
100×/ menit,. Irama regular/irreguler, akral
dingin, kapiler repil > 3 detik
Perkusi : Pekak pada bagian-bagian batas jantung
Auskultasi : Tekanan darah hipotensi, irama jantung tidak
beraturan, tidak ada bunyi jantung tambahan
Abdomen
Extermintas
Edema, Tremor, Rom terbatas, akral dingin
Integumen
7. Data penunjang
2. Diagnosa keperawatan
Gangguan integritas kulit b.d inflamasi dermal dan epidermal
Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d kesulitan menelan
Gangguan rasa nyaman nyeri b.d inflamasi pada kulit
Gangguan intoleransi aktivitas b.d kelemahan fisik
Gangguan persepsi sensori: kurang penglihatan b.d kelainan mata
3. Intervensi
a. Gangguan integritas kulit b.d inflamasi dermal dan epidermal
4. Implementasi
Implementasi adalah realisasi rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Kegiatan dalam pelaksanaan meliputi penguimpulan data berkelanjutan,
mengobservasi respon klien selama dan sesudah pelaksanaan tindakan, serta menilai data
yang baru. Mendokumentasikan semua tindakan keperawatan yang dilakukan ke dalam
catatan keperawatan secara lengkap yaitu ; jam, tgl, jenis tindakan, respon klien dan nama
lengkap perawat yang melakukan tindakan keperawatan.
5. Evaluasi
a. S (subjectif) : Data subjectif berisi data dari pasien melalui anamnesis
(wawancara) yang merupakan ungkapan langsung.
b. O (objectif) : Data objectif data yang tampak dari obsevasi melalui
pemeriksaan fisik.
c. A (assesment) : Analisis dan interprestasi berdasarkan data yang terkumpul
kemudian dibuat kesimpulan yang meliputi diagnosis, antisipasi diagnosis tau
masalah pontesial, serta tidakna dilakukan tindakan segera.
d. P (plan) : Perencanaan merupakan rencana dari tindakan yang akan diberikan
termasuk asuhan mandiri, kolaborasi, diagnosis atau laboratorium, serta
konseling untuk tidak lanjut
Yang harus dievalusi perawat diantaranya:
a. inflamasi dermal dan epidermal berkurang
b. Nyeri berkurang / hilang
c. Kebutuhan nutrisi terpenuhi
d. Tidak terjadi komplikasi
e. peningkatan toleransi aktivitas
WOC