Anda di halaman 1dari 26

untuk tanda gejala dan patofisiologi itu bergantung ke macam-macam IMS

A. Definisi Infeksi Menular Seksual (IMS)

Infeksi Menular seksual (IMS) adalah penyakit yang timbul atau ditularkan
melalui hubungan seksual dengan manifestasi klinis berupa timbulnya kelainan-
kelainan terutama pada alat kelamin. IMS merupakan satu diantara penyebab
penyakit utama didunia dan telah memberikan dampak luas pada masalah kesehatan,
sosial, dan ekonomi di banyak negara. Menurut the centers for disease control and
Prevention (CDC) terdapat sekitar 20 juta kasus baru IMS dilaporkan pertahun.
Kelompok remaja dan dewasa muda (15-24 tahun) adalah kelompok umur yang
memiliki resiko paling tinggi untuk tertular IMS, dimana 3 juta kasus baru tiap tahun
adalah kelompok ini (CDC, 2010).

B. Manifestasi Klinis Infeksi Menular Seksual (IMS)

Perempuan Laki-Laki
Cairan yang tidak biasa keluar dari Rasa sakit atau panas saat buang
alat kelamin perempuan air kecil
Warnanya kekuningan-kuningan, Keluar darah saat BAK
berbau tidak sedap.
Menstruasi atau haid tidak teratur Keluarnya nanah dari penis
Rasa sakit di perut bagian bawah Adanya luka pada alat kelamin
Rasa Gatal berkepanjangan Rasa gatal pada penis
disekitar kelamin
Keputihan yang berbusa, bintil-bintil berisi cairan
kehijauan
Timbul bercak-bercak darah Adanya kutil atau tumbuh daging
setelah berhubungan seksual seperti jengger ayam

C. Macam-Macam Penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS)


1 Herpes Simpleks
a. Pengertian
Herpes genitalis atau herpes simpleks adalah infeksi pada genital yang
disebabkan oleh Herpes Simplex Virus (HSV) dengan gejala khas berupa
vesikel yang berkelompok dengan dasar eritema dan bersifat rekurens (CDC
Fact Sheet, 2007).
b. Etiologi
Herpes Simplex Virus (HSV) dibedakan menjadi 2 tipe oleh
SHARLITT tahun 1940 menjadi HSV tipe 1 dan HSV tipe 2. Secara serologik,
biologik dan fisikokimia, keduanya hampir tidak dapat dibedakan. Namun
menurut hasil penelitian, HSV tipe 2 merupakan tipe dominan yang ditularkan
melalui hubungan seksual genito-genital. HSV tipe 1 justru banyak ditularkan
melalui aktivitas seksual oro-genital atau melalui tangan (Salvaggio, 2009).
c. Manifestasi klinis
Gejala awalnya mulai timbul pada hari ke 4-7 setelah terinfeksi. Gejala
awal biasanya berupa gatal, kesemutan dan sakit. Lalu akan muncul bercak
kemerahan yang kecil, yang diikuti oleh sekumpulan lepuhan kecil yang terasa
nyeri. Lepuhan ini pecah dan bergabung membentuk luka yang melingkar.
Luka yang terbentuk biasanya menimbulkan nyeri dan membentuk keropeng.
Penderita bisa mengalami nyeri saat berkemih atau disuria dan ketika berjalan
akan timbul nyeri. Luka akan membaik dalam waktu 10 hari tetapi bisa
meninggalkan jaringan parut. Kelenjar getah bening selangkangan biasanya
agak membesar. Gejala awal ini sifatnya lebih nyeri, lebih lama dan lebih
meluas dibandingkan gejala berikutnya dan mungkin disertai dengan demam
dan tidak enak badan (Salvaggio, 2009).
Pada pria, lepuhan dan luka bisa terbentuk di setiap bagian penis,
termasuk kulit depan pada penis yang tidak disunat. Pada wanita, lepuhan dan
luka bisa terbentuk di vulva dan leher rahim. Jika penderita melakukan
hubungan seksual melalui anus, maka lepuhan dan luka bisa terbentuk di
sekitar anus atau di dalam rektum. Pada penderita gangguan sistem kekebalan
(misalnya penderita infeksi HIV), luka herpes bisa sangat berat, menyebar ke
bagian tubuh lainnya, menetap selama beberapa minggu atau lebih dan
resistenterhadap pengobatan dengan asiklovir. Gejala-gejalanya cenderung
kambuh kembali di daerah yang sama atau disekitarnya, karena virus menetap
di saraf panggul terdekat dan kembali aktif untuk kembali menginfeksi kulit.
HSV-2 mengalami pengakt ivan kembali di dalam saraf panggul. HSV-1
mengalami pengaktivan kembali di dalam saraf wajah dan menyebabkan fever
blister atau herpes labialis. Tetapi kedua virus bisa menimbulkan penyakit di
kedua daerah tersebut. Infeksi awal oleh salah satu virus akan memberikan
kekebalan parsial terhadap virus lainnya, sehingga gejala dari virus kedua
tidak terlalu berat.
d. Diagnosis
Diagnosis secara klinis ditegakkan dengan adanya gejala khas berupa
vesikel berkelompok dengan dasar eritema dan bersifat rekuren. Pemeriksaan
laboratorium yang paling sederhana adalah tes Tzank yang diwarnai dengan
pengecatan Giemsa atau Wright dimana akan tampak sel raksasa berinti
banyak. Cara terbaik dalam menegakkan diagnosa adalah dengan melakukan
kultur jaringan karena paling sensitif dan spesifik. Namun cara ini
membutuhkan waktu yang banyak dan mahal. Dapat pula dilakukan tes-tes
serologis terhadap antigen HSV baik dengan cara imunoflouresensi,
imunoperoksidase maupun ELISA (Daili, 2009).
e. Komplikasi
Komplikasi yang paling ditakutkan adalah akibat dari penyakit ini pada
bayi yang baru lahir (Daili, 2009). Herpes genitalis pada trimester awal
kehamilan dapat menyebabkan abortus atau malformasi kongenital berupa
mikroensefali. Pada bayi yang lahir dari ibu pengidap herpes ditemukan
berbagai kelainan seperti hepatitis, ensefalitis, keratokonjungt ifitis bahkan
stillbirth.
2 Klamidia Trachomatis
a. Pengertian
Klamidia trachomatis adalah jenis penyakit seksual umum yang
disebabkan oleh bakteri klamidia trachomatis. Beberapa orang tidak
merasakan gejala sama sekali, jadi penularan bisa terjadi tanpa disadari oleh
orang yang sudah terinfeksi.
b. Manifestasi klinis
1) Gejala klamidia pada wanita:
 Cairan vagina tidak normal dan mengeluarkan bau yang tidak biasa
 Sensasi terbakar atau sakit saat buang air kecil
 Menstruasi yang sakit
 Sakit saat melakukan hubungan seksual
 Rasa gatal atau sensasi terbakar di sekitar vagina
2) Gejala klamidia pada pria:
 Pada ujung penis keluar kotoran berwarna jernih atau putih
 Sakit pada saat buang air kecil
 Rasa gatal atau panas sekitar lubang penis
 Rasa sakit dan pembengkakan di sekitar testikel
c. Diagnosis
Infeksi klamidia juga dapat menyerang rektum, tenggorokan, atau
mata. Untuk mendiagnosis klamidia bisa digunakan dengan cara tes urin atau
pengambilan sampel cairan dari alat kelamin.
d. Penatalaksanaan
Pengobatan infeksi ini adalah dengan cara mengonsumsi antibiotik.
Pastikan untuk menghabiskan obat yang sudah diresepkan oleh dokter, meski
kondisi terasa sudah membaik. Lakukan tes urin atau sampel cairan alat
kelamin sekali lagi setelah pengobatan selesai untuk memastikan infeksi
benar-benar telah sambuh.
e. Komplikasi
Infeksi klamidia ini jika tidak dirawat, pada wanita akan dapat
menyebabkan kemandulan (infertilitas) dan juga kelahiran prematur. Infeksi
ini juga bisa ditularkan saat melahirkan, bayi bisa mengalami infeksi mata dan
bahkan kebutaan. Sedangkan, pada pria infeksi klamidia ini dapat
menyebabkan peradangan pada saluran kencing, infeksi pada kandung kemih,
dan epididymitis, serta infeksi pada rektum.
3 HIV AIDS
a. Pengertian
Human immunodeficiency virus (HIV) adalah retrovirus yang
menginfeksi sel-sel sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak
fungsinya. Selama infeksi berlangsung, sistem kekebalan tubuh menjadi
lemah, dan orang menjadi lebih rentan terhadap infeksi. Tahap yang lebih
lanjut dari infeksi HIV adalah acquired immunodeficiency syndrome (AIDS).
Hal ini dapat memakan waktu 10-15 tahun untuk orang yangterinfeksi HIV
hingga berkembang menjadiAIDS; obat antiretroviral dapat memperlambat
proses lebih jauh.HIV ditularkan melalui hubungan seksual(anal atau vaginal),
transfusi darah yang terkontaminasi, berbagi jarum yang terkontaminasi, dan
antara ibu dan bayinyaselama kehamilan, melahirkan dan menyusui (WHO,
2010).
Kehamilan merupakan usia yang rawan tertular HIV-AIDS. Penularan
HIV-AIDS pada wanita hamil terjadi melalui hubungan seksual dengan
suaminya yang sudah terinfeksi HIV. Pada negara berkembang isteri tidak
berani mengatur kehidupan seksual suaminya di luar rumah. Kondisi ini
dipengaruhi oleh sosial dan ekonomi wanita yang masih rendah, dan isteri
sangat percaya bahwa suaminya setia, dan lagi pula masalah seksual masih
dianggap tabu untuk dibicarakan (Harrison, 1995).
Wanita hamil lebih berisiko tertular Human Immunodeficien Virus
(HIV) dibandingkan dengan wanita yang tidak hamil. Jika HIV positif, wanita
hamil lebih sering dapat menularkan HIV kepada mereka yang tidak terinfeksi
daripada wanita yang tidak hamil International Microbicides Conference 2010,
Peningkatan kerentanan untuk terinfeksi HIV selama kehamilan adalah
mereka yang berperilaku seks bebas dan mungkin karena penyebab biologis
yang tidak diketahui (Walter J. 2011).
b. Etiologi
Penyebab AIDS adalah sejenis virus yang tergolong Retrovirus yang
disebut Human Immunodeficiency Virus (HIV). Virus ini pertama kali
diisolasi oleh Montagnier dan kawan-kawan di Prancis pada tahun 1983
dengan nama Lymphadenopathy Associated Virus (LAV), sedangkan Gallo di
Amerika Serikat pada tahun 1984 mengisolasi (HIV) III. Kemudian atas
kesepakatan internasional pada tahun 1986 nama firus dirubah menjadi HIV.
Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis Retrovirus RNA.
Dalam bentuknya yang asli merupakan partikel yang inert, tidak dapat
berkembang atau melukai sampai ia masuk ke sel target. Sel target virus ini
terutama sel Lymfosit T, karena ia mempunyai reseptor untuk virus HIV yang
disebut CD-4. Didalam sel Lymfosit T, virus dapat berkembang dan seperti
retrovirus yang lain, dapat tetap hidup lama dalam sel dengan keadaan inaktif.
Walaupun demikian virus dalam tubuh pengidap HIV selalu dianggap
infectious yang setiap saat dapat aktif dan dapat ditularkan selama hidup
penderita tersebut.
Secara mortologis HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu bagian inti
(core) dan bagian selubung (envelop). Bagian inti berbentuk silindris tersusun
atas dua untaian RNA (Ribonucleic Acid). Enzim reverce transcriptase dan
beberapa jenis prosein. Bagian selubung terdiri atas lipid dan glikoprotein (gp
41 dan gp 120). Gp 120 berhubungan dengan reseptor Lymfosit (T4) yang
rentan. Karena bagian luar virus (lemak) tidak tahan panas, bahan kimia, maka
HIV termasuk virus sensitif terhadap pengaruh lingkungan seperti air
mendidih, sinar matahari dan mudah dimatikan dengan berbagai disinfektan
seperti eter, aseton, alkohol, jodium hipoklorit dan sebagainya, tetapi telatif
resisten terhadap radiasi dan sinar utraviolet. Virus HIV hidup dalam darah,
saliva, semen, air mata dan mudah mati diluar tubuh. HIV dapat juga
ditemukan dalam sel monosit, makrotag dan sel glia jaringan otak. (Siregar ,
FA .2004)
c. Patofisiologi
Denominator umum pada penyakit klinis AIDS adalah imunosupresi
berat, terutama imunitas seluler yang menyebabkan timbulnya berbagai infeksi
oportunistik dan neoplasma, limfosit yang berasal dari timus-limfosit T-yang
secara fenotipe didefinisikan oleh antigen permukaan CD4 adalah sasaran
utama. CD4 berfungsi sebagai reseptor virus. Untuk infeksi, dibutuhkan dua
ko-reseptor virus, dan dua reseptor kemokin-CCR5 dan CXCR4-telah
diketahui melakukan peran ini (Kahn dan Walker 1998 dalam Cunningham et
al, 2005). Setelah terjadi fusi sel-virus, HIV akan melepaskan single strand
RNA (ssRNA) ke dalam sitoplasma sel pejamu, maka terjadi transkripsi
terbalik (reserve transcription) dari satu untai-tunggal RNA menjadi DNA
salinan (cDNA) untai-ganda virus. Dengan demikian, DNA virus dapat
diintegrasikan ke dalam DNA sel seumur hidup sel tersebut. Setelah
terintegrasi dengan kromosom pejamu, maka dua untai DNA sekarang
menjadi provirus. Provirus menghasilkan RNA messenger (mRNA), yang
meninggalkan inti sel dan masuk ke dalam sitoplasma. Protein-protein virus
dihasilkan dari mRNA yang lengkap dan telah mengalami splicing
(penggabungan). Tahap akhir produksi virus membutuhkan suatu enzim virus
yang disebut HIV protease, yang memotong dan menata protein virus menjadi
segmen-segmen kecil yang mengelilingi RNA virus, membentuk partikel virus
yang menular yang menonjol dari sel penjamu. Pada saat yang sama, viremia
yang terjadi dapat dideteksi dan dikuantifikasi dengan berbagai pemeriksaan
RNA virus.
Setelah infeksi awal, kadar viremia biasanya berkurang sampai
mencapai pada suatu titik patokan (set point). Kadar virus yang tinggi dalam
darah dapat diturunkan oleh sistem imun tubuh. Proses ini berlangsung
berminggu-minggu sampai terjadi keseimbangan antara pembentukan virus
baru dan upaya eliminasi oleh respon imun. Titik keseimbangan disebut set
point dan amat penting karena menentukan perjalanan penyakit selanjutnya.
Pasien dengan beban virus tertinggi lebih cepat mengalami AIDS dan
kematian (Kahn dan Walker 1998 dalam Cunningham et al, 2005). Setelah
infeksi, jumlah sel T menurun secara perlahan dan progresif seiring dengan
waktu, sehingga akhirnya terjadi imunosupresi berat. Monosit-makrofag juga
dapat terinfeksi, dan infeksi pada sel mikroglia otak dapat menyebabkan
kelainan neuropsikiatrik.
Serokonversi (perubahan antibodi negatif menjadi positif) terjadi 1-3
bulan setelah infeksi, tapi pernah juga dilaporkan sampai 8 bulan. Menurut
Centre for Disease Control and Prevention (1998) antibody dapat dideteksi
pada 95% pasien dalam waktu 6 bulan setelah infeksi. Kemudian pasien akan
memasuki masa tanpa gejala, dalam masa ini terjadi penurunan bertahap
jumlah CD4 (normal 800-1000) yang terjadi setelah replikasi persisten HIV
dengan kadar RNA virus relative konstan. Mula-mula penurunan jumlah CD4
sekitar 30-60/tahun, tapi pada 2 tahun terakhir penurunan jumlah CD4 menjadi
lebih cepat, 50-100/tahun, sehingga tanpa pengobatan, rata-rata masa infeksi
HIV sampai masa AIDS adalah 8-10 tahun, dimana jumlah CD4 akan
mencapai dibawah 200.
d. Manifestasi Klinis
Gejala HIV/AIDS pada masa kehamilan meningkat lebih cepat
daripada saat tidak hamil, walaupun tidak ada perbedaan dalam seberapa cepat
wanita meninggal akibat AIDS (Reeder, et al., 2013). Menurut Bobak,
Lowdermilk, dan Jensen (2005), gejala yang sering muncul adalah adanya
ketidaknyamanan prenatal antara lain adanya keletihan yang hebat, anoreksia
dan penurunan berat badan. Indikasi lain yang merupakan awal kemungkinan
infeksi HIV yang sering muncul akibat disfungsi sel T yaitu adanya infeksi
Candida persisten, condiloma angogenital, dan adanya tanda herpes simplek
(Reeder, et al., 2013). Menurut Bobak, Lowdermilk, dan Jensen (2005),
biasanya pada pemeriksaan prenatal juga dapat menunjukkan adanya infeksi
gonorhea, c. Trachomatis, hepatitis B, micobacterium dan tuberculosis. Tanda
gejala perburukan infeksi HIV antara lain penurunan berat badan lebih dari
10% dari sebelum hamil, diare kronis yang muncul lebih dari 1 bulan, dan
adanya demam secara intermiten maupun konstan selama lebih dari 1 bulan
(Bobak, Lowdermilk, dan Jensen, 2005).
e. Penularan
1) Transmisi Seksual
Penularan melalui hubungan seksual baik Homoseksual maupun
Heteroseksual merupakan penularan infeksi HIV yang paling sering
terjadi. Penularan ini berhubungan dengan semen dan cairan vagina atau
serik. Infeksi dapat ditularkan dari setiap pengidap infeksi HIV kepada
pasangan seksnya. Resiko penularan HIV tergantung pada pemilihan
pasangan seks, jumlah pasangan seks dan jenis hubungan seks. Pada
penelitian Darrow (1985) ditemukan resiko seropositive untuk zat anti
terhadap HIV cenderung naik pada hubungan seksual yang dilakukan pada
pasangan tidak tetap. Orang yang sering berhubungan seksual dengan
berganti pasangan merupakan kelompok manusia yang berisiko tinggi
terinfeksi virus HIV (Yopan, 2012).
2) Transmisi Non Seksual
 Transmisi Parenral yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat
tusuk lainnya (alat tindik) yang telah terkontaminasi, misalnya pada
penyalah gunaan narkotik suntik yang menggunakan jarum suntik yang
tercemar secara bersama-sama. Disamping dapat juga terjadi melaui
jarum suntik yang dipakai oleh petugas kesehatan tanpa disterilkan
terlebih dahulu. Resiko tertular cara transmisi parental ini kurang dari
1%. Transmisi melalui transfusi atau produk darah terjadi di negara-
negara barat sebelum tahun 1985. Sesudah tahun 1985 transmisi
melalui jalur ini di negara barat sangat jarang, karena darah donor telah
diperiksa sebelum ditransfusikan. Resiko tertular infeksi/HIV lewat
trasfusi darah adalah lebih dari 90%.
 Transmisi Transplasental yaitu penularan dari ibu yang mengandung
HIV positif ke anak mempunyai resiko sebesar 50%. Penularan dapat
terjadi sewaktu hamil, melahirkan dan sewaktu menyusui. Penularan
melalui air susu ibu termasuk penularan dengan resiko rendah.
 Penularan Masa Prenatal
HIV dapat ditularkan dari ibu ke bayinya dengan tiga cara yaitu
di dalam uterus (lewat plasenta), sewaktu persalinan dan melalui air
susu ibu. Pada bayi yang menyusui kira-kira separuhnya transmisi
terjadi sewaktu sekitar persalinan, sepertiganya melalui menyusui ibu
dan sebagian kecil di dalam uterus. Bayi terinfeksi yang tidak disusui
ibunya, kira-kira dua pertiga dari transmisi terjadi sewaktu atau dekat
dengan persalinan dan sepertiganya di dalam uterus (Ayu, 2012).
KehamilanMenurut Ayu (2012), kehamilan bisa berbahaya bagi wanita
dengan HIV atau AIDS selama persalinan dan melahirkan. Ibu sering
akan mengalami masalah-masalah sebagai berikut :
 Keguguran
 Demam, infeksi dan kesehatan menurun
 Infeksi serius setelah melahirkan, yang sukar untuk di rawat dan
mungkin mengancam jiwa ibu.

Setelah melahirkan cucilah alat genitalia 2 kali sehari dengan


sabun dan air bersih sehingga terlindungi dari infeksi (Yopan,
2012).Menyusui meningkatkan risiko penularan sebesar 4%. Infeksi
HIV kadang-kadang ditularkan ke bayi melalui air susu ibu (ASI). Saat
ini belum diketahui dengan pasti frekuensi kejadian seperti ini atau
mengapa hanya terjadi pada beberapa bayi tertentu tetapi tidak pada
bayi yang lain. Di ASI terdapat lebih banyak virus HIV pada ibu-ibu
yang baru saja terkena infeksi dan ibu-ibu yang telah memperlihatkan
tanda-tanda penyakit AIDS. Setelah 6 bulan, sewaktu bayi menjadi
lebih kuat dan besar, bahaya diare dan infeksi menjadi lebih baik. ASI
dapat diganti dengan susu lain dan memberikan makanan tambahan.
Dengan cara ini bayi akan mendapat manfaat ASI dengan resiko lebih
kecil untuk terkena HIV .

f. Pencegahan
Penularan HIV dari ibu ke bayi bisa dicegah melalui empat cara, mulai
saat hamil, saat melahirkan, dan setelah lahir yaitu :
1) Penggunaan antiretroviral selama kehamilan
2) Penggunaan antiretroviral saat perasalinan dan bayi bayi yang baru
dilahirkan
3) Penatalaksanan selama menyusui

Bayi dari ibu yang terinfeksi HIV memperlihatkan antibody terhadap


virus tersebut hingga 10 sampai 18 bulan setelah lahir karena penyaluran IgG
anti-HIV ibu menembus plasenta. Karena itu, uji terhadap serum bayi untuk
mencari ada tidaknya antibodi IgG ,erupakan hal yang sia-sia, karena uji ini
tidak dapat membedakan antibody bayi dari antibody ibu. Sebagian besar dari
bayi ini, seiring dengan waktu, akan berhenti memperlihatkan antibody ibu
dan juga tidak membentuk sendiri antibody terhadap virus, yang menunjukkan
status seronegatif. Pada bayi, infeksi HIV sejati dapat diketahui melalui
pemeriksaan-pemeriksaan seperti biakan virus, antigen p24, atau analisis PCR
untuk RNA atau DNA virus. PCR DNA HIV adalah uji virologik yang
dianjurkan karena sensitive untuk mendiagnosis infeksi HIV selama masa
neonatus.

Selama ini, mekanisme penularan HIV dari ibu kepada janinnya masih
belum diketahui pasti. Angka penularan bervariasi dari sekitar 25% pada
populasi yang tidak menyusui dan tidak diobati di negara-negara industri
sampai sekitar 40% pada populasi serupa di negara-negara yang sedang
berkembang. Tanpa menyusui, sekitar 20% dari infeksi HIV pada bayi terjadi
in utero dan 80% terjadi selama persalinan dan pelahiran. Penularan
pascapartus dapat terjadi melalui kolostrum dan ASI dan diperkirakan
menimbulkan tambahan risiko 15% penularan perinatal.

Faktor ibu yang berkaitan dengan peningkatan risiko penularan


mencakup penyakit ibu yang lanjut, kadar virus dalam serum yang tinggi, dan
hitung sel T CD4+ yang rendah. Pada tahun 1994, studi 076 dari the Pediatric
AIDS Clinical Trials Group (PACTG) membuktikan bahwa pemberian
zidovudin kepada perempuan hamil yang terinfeksi HIV mengurangi
penularan ibu ke bayi sebesar dua pertiga dari 25% menjadi 8%. Di Amerika
Serikat, insiden AIDS yang ditularkan pada masa perinatal turun 67% dari
tahun 1992 sampai 1997 akibat uji HIV ibu prenatal dan profilaksis prenatal
dengan terapi zidovudin. Perempuan merupakan sekitar 20% dari kasus HIV-
AIDS di Amerika Serikat. Perempuan dari kaum minoritas (Amerika Afrika
dan keturunan Spanyol) lebih banyak terkena, merupakan 85% dari seluruh
kasus AIDS. Selain pemberian zidovudin oral kepada ibu positif HIV selama
masa hamil, tindakan-tindakan lain yang dianjurkan untuk mengurangi risiko
penularan HIV ibu kepada anak antara lain :

1) Seksio sesaria sebelum tanda-tanda partus dan pecahnya ketuban


(mengurangi angka penularan sebesar 50%)
2) Pemberian zidovudin intravena selama persalinan dan pelahiran
3) Pemberian sirup zidovudin kepada bayi setelah lahir
4) Tidak memberi ASI

Perjalanan infeksi HIV pada anak dan dewasa memiliki kemiripan dan
perbedaan. Pada anak sering terjadi disfungsi sel B sebelum terjadi perubahan
dalam jumlah limfosit CD4+. Akibat disfungsi sistem imun ini, anak rentan
mengalami infeksi bakteri rekuren. Invasi oleh pathogen-patogen bakteri ini
menyebabkan berbagai sindrom klinis pada anak seperti otitis media, sinusitis,
infeksi saluran kemih, meningitis infeksi pernapasan, penyakit GI, dan
penyakit lain. (Price.2006).

g. Komplikasi
1) Oral lesi
Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral,
gingivitis, penurunan berat badan, nutrisi, dehidrasi, keletihan dan cacat.
2) Neurologik
 Enselopathi akut, karena reaksi terapeutik, hipoksia, hipoglikemi,
ketidakseimbangan elektrolit.
 Infark serebral kornea sifilis meningo vaskuler, hipotensi sistemik dan
maranik endocarditis.
 Neuropati karena inflamasi dimielinasi oleh serangan HIV.
3) Gastrointestinal
 Diare, karena bakteri dan virus.
 Hepatitis, karena bakteri dan virus.
 Penyakit anorektal, karena abses dan vistula.
4) Respirasi, infeksi karena pneumocystik, cytomegalovirus, virus influenza.
5) Dermatologik, karena virus.
6) Sensorik, berefek pada kebutaan, otitis media akut.
h. Penatalaksanaan
1) Pengobatan ARV pada kehamilan
Pengobatan ARV pada wanita hamil dengan HIV tidak berbeda dengan
wanita yang tidak hamil karena ARV tidak mengganggu janin tapi justru
melindungi janin dari HIV (Nursalam, 2009). ARV pada ibu hamil ini
diberikan apabila jumlah CD4 kurang dari 500sel/µL (Reeder, et al.,
2013). Dengan pengobatan ARV, risiko janin tertular HIV setelah
persalinan hampir tidak ada (Green, 2009).
2) Nutrisi pada ibu hamil
Menurut Nursalam (2009), nutrisi wanita hamil dengan HIV/AIDS
memerlukan perhatian khusus, karena kekurangan nutrisi dapat
menyebabkan wanita hamil ini rentan terhadap infeksi. Untuk menyokong
sistem imun wanita hamil ini, perlu adanya konseling, nutrisi optimum dan
reduksi stres (Bobak, Lowdermilk, dan Jensen, 2005). Pada saat hamil
nutrisi ditingkatkan 300kall dan 10 gr protein dalam sehari. Kenaikan berat
badan seharusnya mencapai 11 – 16 kg selama hamil, yaitu 2 kg pada
trimester pertama, 4-7 kg pada trimester ke dua dan 7 kg pada timester
ketiga. Asupan vitamin ekstra, mineral, ion, cairan, serat juga diperlukan
(Nursalam, 2009).Wanita hamil dengan HIV/AIDS sebaiknya juga
melakukan olahraga teratur, istirahat yang cukup, makan makanan yang
sehat, dan menempatkan kebutuhannya sendiri pada prioritas tertinggi
(Nursalam, 2009).
4 Gonore
a. Definisi
Gonore merupakan semua penyakit yang disebabkan oleh bakteri.
Neisseria gonorrhoeae yang bersifat purulen dan dapat menyerang permukaan
mukosa manapun ditubuh manusia (Behrman, 2009).
b. Etiologi
Gonore disebabkan oleh gonokukus yang ditemukan oleh Neisser pada
tahun 1879. Kuman ini masuk dalam kelompok Neisseria sebagai
N.gonorrhoeae bersama dengan 3 spesies lainnya yaitu : N.meningitis,
N.catarrhalis dan N.pharyngis sicca.
Gonokukus termasuk golongan diplokokus berbentuk biji kopi dengan
lebar 0,8 u dan panjang 1,6 u. kuman ini bersifat tahan asam, gram negative,
dan dapat ditemui baik didalam maupun diluar leukosit. Kuman ini tidak dapat
bertahan hidup pada suhu 39oC, pada keadaan kering dan tidak tahan terhadap
zat disinfektan. Gonokok terdiri atas 4 tipe yaitu tipe 1, tipe 2, tipe 3, dan tipe
4. Namun hanya gonokok tipe 1 dan tipe 2 yang bersifat virulen karena
memiliki pili yang membantunya untuk melekat pada mukosa epitel terutama
yang bertipe kuboidal atau lapis gepeng yang belum matur dan menimbulkan
peradangan (Daili, 2009).
c. Gejala Klinis
1) Masa tunas sulit untuk ditemukan karena pada umumnya asimtomatik,
gejala awal bisa timbul pada waktu 7-21 hari setelah terinfeksi.
2) Pada wanita, penyakit akut atau kronik jarang ditemukan gejala subyektif
dan objektif
3) Infeksi pada wanita, pada mulanya hanya mengenai serviks uteri.
4) Keluhan : kadang-kadang menimbulkan rasa nyeri pada panggul bawah,
demam, keluarnya cairan dari vagina, nyeri ketika berkemih, dan desaskan
untuk berkemih.
5) Pada pemeriksaan serviks tampak merah dengan erosi dan secret
mukopurulen.
6) Pada laki-laki dan perempuan seringkali berupa kemandulan pada
perempuan bisa terjadi radang panggul, dan dapat diturunkan kepada bayi
yang baru lahir berupa infeksi pada mata yang dapat menyebabkan
kebutaan (Daili, 2009).
d. Komplikasi
Komplikasi local pada pria dapat berupa tisonitis, parauretritis, littritis,
dan cowperitis. Sementara pada wanita dapat trjadi servisitis gomore yang
dapat menimbulkan komplikasi selpingitis ataupun penyakit radang panggul
dan radang tuba yang dapat mengakibatkan infertilitas atau kehamilan ektopik.
Dapat pula terjadi komplikasi diseminata seperti arthritis, mlokarditis,
endokarditis, perikarditis, meningitis, dan dermatitis. Infeksi gonore pada mata
dapat menyebabkan konjungtivitis hingga kebutaan (Behrman, 2009).
Komplikasi pada bayi adanya kemungkinan lahir premature, infeksi
neonatal, dan keguguran akibat infeksi gonokokus pada wanita hamil. Adanya
parutan pada kornea dan kebutaan permanen akibat gonokokus pada mata.
Adanya sepsis pada bayi baru lahir karena gonore pada ibu.
e. Patofisologi
Bakteri Neisseria honorhoeae merupakan bakteri diplokokus aerobic
gram negative, intraseluler yang dapat mempengaruhi epitel kuboid atau
kolumner host. Pili dapat membantu pergerakan gonokokus ke permukaan
mukosa. Membrane protein luar seperti opacity-associated (opa) dapat
meningkatkan perlekatan antara Gonokokus dan juga dapat meningkatkan
perlektan fagosit. Dengan bantuan pili dan protein opa gonokokus dapat
melekat pada sel mukosa host dan kemudian terjadi penetrasi seluruhnya
diantara sel dalam ruang subepitel.
Gonokokus akan melakukan penetrasi permukaan mukosa dan akan
berkembang biak didalam jaringan sub epithelial. Gonokokus akan
menghasilkan berbagai macam produk ekstraseluler yang dapat
mengakibatkan kerusakan sel, termasuk diantaranya enzim seperti fosfolipase,
peptidase, dan lainnya. Keruskan jaringan ini tampaknya disebabkan oleh dua
komponen permukaan sel yaitu LOS (Lipo Oligosaccharide, berperan
menginvasi sel epitel dengan cara menginduksi produksi endotoksin yang
menyebabkan kematian sel mukosa) dan peptidoglikan (mengandung beberapa
asam amino dan “penicillin binding component” yang merupakan sasaran
antibiotika penisilin dalam proses kematian kuman). Mobilisasi leukosit PMN
menyebabkan terbentuk mikroabses sub epithelial yang pada akhirnya akan
pecah dan melepaskan gonokokus.
f. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan gram dengan menggunakan sediaan langsung dari duh uretra
memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi terutama pada duh uretra
pris, sedangkan duh endoserviks memiliki sensitivitas yang tidak begitu
tinggi. Pemeriksaan ini akan menunjukkan N.gonorrhoeae yang
merupakan bakteri gram negative dan dapat ditemukan baik didalam
maupun luar sel leukosit.
2) Kultur untuk bakteri N.gonorrhoeae umumnya dilakukan pada
pertumbuhan Thayer-Martin yang mengandung vankomisin untuk
menekan pertumbuhan kuman gram positif dan kolimestat untuk menekan
pertumbuhan bakteri negative gram dan nistatin untuk menekan
pertumbuhan jamur. Pemeriksaan kultur ini merupakan pemeriksaan
dengan sensitivitas dan spesifitas yang tinggi, sehingga sangat dianjurkan
dilakukan terutama pada pasien wanita.
3) Tes defenitif : dimana pada tes oksidasi akan ditemukan semua Neisseria
akan mengoksidasi dan mengubah warna koloni yang semula bening
menjadi merah muda hingga merah lembayung. Sedangkan dengan tes
fermentasi dapat dibedakan N.gonorrhoeae yang hanya dapat meragikan
glukosa saja.
4) Tes beta-laktamase : tes ini menggunakan cefinase TM disc dan akan
tampak perubahan warna koloni dari kuning menjadi merah.
5) Tes Thomson : tes ini dilakukan dengan menampung urine setelah bangun
pagi ke dalam 2 gelas dan tidak boleh Manahan kencing dari gelas
pertama ke gelas kedua. Hasilnya dinyatakan positif jika gelas pertama
tampak keruh sedangkan gelas kedua tampak jernih.
g. Penatalaksanaan
1) Medikamentosa
Gonore biasanya diobati dengan suntikan tunggal seftriakson
intramuskuler (melalui otot) atau dengan pemberian antibiotik per-oral
(melalui mulut) selama 1 minggu (biasanya diberikan doksisiklin).Jika
gonore telah menyebar melalui aliran darah, biasanya penderita dirawat di
rumah sakit dan mendapatkan antibiotik intravena (melalui pembuluh
darah, infus).
 Walaupun semua gonokokus sebelumnya sangat sensitif terhadap
penicilin, banyak ‘strain’ yang sekarang relatif resisten. Terapi
penicillin, amoksisilin, dan tetrasiklin masih tetap merupakan
pengobatan pilihan.
 Untuk sebagian besar infeksi, penicillin G dalam aqua 4,8 unit
ditambah 1 gr probonesid per- oral sebelum penyuntikan penicillin
merupakan pengobatan yang memadai.
 Spectinomycin berguna untuk penyakit gonokokus yang resisten dan
penderita yang peka terhadap penicillin. Dosis: 2 gr IM untuk pria dan
4 gr untuk wanita.
 Pengobatan jangka panjang diperlukan untuk endokarditis dan
meningitis gonokokus.
2) Nonmedikamentosa
 Memberikan pendidikan kepada pasien dengan menjelaskan tentang:
 Bahaya penyakit menular seksual (PMS) dan komplikasinya
 Pentingnya mematuhi pengobatan yang diberikan
 Cara penularan PMS dan perlunya pengobatan pasangan seks
tetapnya
 Hindari berhubungan seksual sebelum sembuh, dan memakai
kondom jika tak dapat dihindarkan
 Cara-cara menghindara infeksi PMS dimasa datang
 Pengobatan pada pasangan seksual tetapnya

5 Kandidiasis Vaginalis
a. Definisi
Kandidiasis vaginalis adalah infeksi yang disebabkan oleh jamur, yang
terjadi di sekitar vagina. Umumnya menyerang orang-orang yang imun
tubuhnya lemah. Kandidiasis dapat menyerang wanita di segala usia, terutama
pada usia pubertas, keparahannya berbeda antara satu wanita dengan wanita
yang lain dan dari waktu ke waktu pada wanita yang sama.
Kandidiasis vaginalis merupakan jamur pada dinding vagina yang
disebabkan oleh genus candida albicansdan ragi (yeast) lain dari genus
candida. Penyebab tersering kandidiasis vaginalis adalah candida albicans
yaitu sekitar 85-90%. Sisanya disebabkan oleh spesies non albicans, yakni
candida glabrata (Torulopsis Glabarata). Thin (1983) menyatakan penyebab
kandidiasis vagina 81% oleh candida albicans, 16% oleh torulopsis glabarata,
sedang 3% lainnya disebabkan oleh Candida tropicalis, Candida
pseudotropicalis, Candida krusei dan Candida stellatoidea.
b. Etiologi
KV sering disebabkan oleh C.albicans, walaupun spesies non-albicans
dapat ditemukan sebagai agen penyebab. Candida merupakan organisme yang
berasal dari genus Candidadari famili Cryptococcaceae, ordo Moniliales dari
filum Fungi imperfecti. Pada tahun 1877 Grawitz mengemukakan bahwa
genus ini merupakan jamur dimorfik. Martin kemudian membagi genus
menjadi beberapa spesies. Telah diketahui 163 spesies Candida, walau
diketahui hanya 20 spesies yang patogen pada manusia. Sel jamur
Candidaberbentuk bulat atau lonjong dengan ukuran 2-5 u X 3-6 u hingga 2-
5,5 u X 528,5 u. Jamur membentuk hifa semu (pseudohifa) yang merupakan
rangkaian blastospora (blastokonidia) yang memanjang tanpa septa, yang juga
dapat bercabang-cabang. Berdasarkan bentuk tersebut maka dikatakan bahwa
Candida menyerupai ragi (yeast like). Dinding sel Candida terutama terdiri
atas β-glucan, mannan, chitin serta sejumlah protein dan lemak. Mannan
merupakan komponen antigen yang utama. Candidadapat tumbuh pada
medium dengan pH yang luas, tetapi pertumbuhannya akan lebih baik pada pH
antara 4,5 sampai dengan 6,5.
Infeksi kandida dapat terjadi secara endogen maupun eksogen atau
secara kontak langsung. Infeksi endogen lebih sering karena sebelumnya
memang candida sudah hidup sebagai saprofit pada tubuh manusia. Pada
keadaan tertentu dapat terjadi perubahan sifat jamur tersebut dari saprofit
menjadi patogen sehingga oleh karena itu jamur candida disebut sebagai jamur
oportunistik.
c. Faktor Yang Mempengaruhi
1) Alat Kontrasepsi
Menurut Sugiman (2000), bahwa pada pemakai suatu kontrasepsi lebih
sering didapatkan pertumbuhan candida daripada bukan pemakai
kontrasepsi. Hal ini sering terjadi pada wanita pemakai kontrasepsi oral
atau KB, dan alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR). Kandidiasis vaginalis
merupakan infeksi vagina yang disebabkan oleh Candida sp. terutama C.
albicans. Infeksi Candida terjadi karena perubahan kondisi vagina. Sel ragi
akan berkompetisi dengan flora normal sehingga terjadi kandidiasis. Salah
satu penyebab yang mempermudah pertumbuhan ragiadalah peningkatan
hormon esterogen dan progesterondalam tubuh karena pemakaian
kontrasepsi oral, kontrasepsi ini menyebabkan perlekatan Candida
albicanspada sel epitel vagina dan merupakan media bagi pertumbuhan
jamur. Candida albicansvberkembang dengan baik pada lingkungan pH 5-
6,5. Perubahan ini bisaasimtomatis atau sampai sampai menimbulkan
gejala infeksi. Penggunaan obat immunosupresan juga menjadi faktor
predisposisi kandidiasis vaginalis. Pada alat kontrasepsi dalam rahim.
Pada pemakaian alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) selain
keluarnya bercak-bercak darahdiantara siklus menstruasi akibat pengaruh
capek dan stres, penggunaan AKDR juga memicu rekurensi bakteri/jamur
di vagina. Yaitu keadaan abnormal pada ekosistem vagina yang
disebabkan bertambahnya pertumbuhan flora vagina bakteri anaerob/jamur
menggantikan lactobacillus yang mempunyai konsentrasi tinggi sebagai
flora normal vagina.
2) Antibiotika
Salah satu faktor predisposisi penyakit kandidiasis vaginalis adalah
pemakaian obat-obatan, salah satunya antibiotik yang berlebihan,
kortikosteroid, atau sitostatik. Penggunaan antibiotik berspektrum luas
juga menyebabkan ketidakseimbangan flora normal dan predisposisi untuk
kolonisasi di daerah usus dan vagina. Pada penggunaan antibiotik beberapa
wanita hadir dengan debit berlebihan vagina berwarna putih, mikroskop
akan menunjukkan aktif berkecambah sel ragi atau sel ragi membutuhkan
beberapa kultur untuk diagnosis yang tepat dan tindakan kontrol yang
efektif (Siregar, 2005).
Penggunaan antibiotika dalam jangka waktu yang cukup lama dapat
menyebabkan perubahan suasana vagina dan membunuh bakteri Doderlin
yang hidup bersama-sama candida sebagai komersal di vagina.
Berkurangnya bakteri di dalam vagina menyebabkan candida dapat
tumbuh dengan subur karena tidak ada lagi persaingan dalam memperoleh
makanan yang menunjang pertumbuhan jamur tersebut.
3) Vaginal Hygiene
Struktur kemaluan wanita bersifat khas. Saluran vagina senantiasa
terbuka dengan dunia luar sehingga selalu memiliki risiko terkena infeksi
dari luar. Akan tetapi suasana asam yang terbentuk di mulut saluran vagina
dan posisi saluran vagina yang selalu dalam kondisi terkatup menyebabkan
tidak seluruh bibit penyakit berhasil memasukinya. Suasana asam tersebut
terbentuk dengan kehadiran kuman Doderlein yang hidup dalam harmoni
dengan tubuh. Suasana asam ini tidak boleh dihilangkan, keasaman vagina
akan dapat hilang dengan kebiasaan rajin menyabuni vagina secara
berlebihan, memakai obat semprot pewangi vagina (douching), atau
pemakaian bahan kimia lainnya. Selain itu, cara membilas vagina yang
tidak benar, juga membiarkan kondisi vagina lembab setelah dibilas juga
memicu terjadinya penyakit pada alat reproduksi wanita seperti kandidiasis
vaginalis.
Selain itu, Faktor lainnya yang merupakan faktor risiko terjadinya
kandidiasis vaginalis adalah selalu memakai pakaian yang ketat,
penggunaan pakaian dalam nilon dan pakaian yang terlalu sesak juga
merangsang terjadinya infeksi yeast (kandidiasis), ditambah lagi dengan
mengganti celana dalam kurang dari 2x sehari, atau memakai handuk atau
lap yang sama dengan yang dipakai penderita kandidiasis. Iklim panas dan
kelembaban menyebabkan banyak keringat terutama pada lipatan-lipatan
kulit seperti daerah kemaluan sehingga menyebabkan kulit maserasi dan
ini mempermudah invasi candida.
4) Diabetes Mellitus
Diabetes Mellitus adalah penyakit metabolik kronis yang disebabkan
oleh ketidak mampuan sel menggunakan glukosa, akibat kurangnya
produksi atau tidak adekuatnya insulin dari sel beta pankreas. Faktor
herediter biasanya memainkan peranan besar dalam menentukan pada
siapa diabetes akan berkembang dan pada siapadiabetes tidak akan
berkembang. Gejala diabetes dapat dilihat dari keadaan mulutnya seperti
rasa kering pada mulut, sering merasa haus atau polydipsia, selain itu
polyuriatau sekresi urin yang berlebih, polyphagi, mata kabur, serta mudah
merasa lelah.
Sedangkan pada keadaan Diabetes Mellitus terjadi kenaikan kadar
glukosa dalam darah dan urine. Gangguan metabolisme karbohidrat dan
perubahan proses glycogenolysisyang menyebabkan kadar glikogen pada
epitel vagina meninggi sehingga pertumbuhan candida juga akan
meningkat. Manifestasi klinis diabetes mellitus dikaitkan dengan
konsekuensi metabolik defesiensi insulin. Pasien yang mengalami
defesiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar glukosa plasma
puasa yang normal, atau toleransi glukosa sesudah makan makanan yang
mengandung karbohidrat. Penderita diabetes mellitus mengalami masalah
mulut kering (dry mouth) atau xerostomia dan disfungsi glandula
salivarius. Hal ini dihubungkan dengan polyuria sehingga pasien sering
merasa haus, selain itu terjadi perubahan membran dari glandula salvarius.
Pada DM tipe 2 terjadi hyperglycemiaakut yang menyebabkan
perubahan-perubahan dalam respon imun. Pasien dengan keadaan sering
mengalami xerostomia dan dengan imun yang rendah menyebabkan
infeksi jamur Candida dapat berkembang dengan baik. Dengan kata lain
Diabetes melitus predisposes untuk kolonisasi vagina; Wanita dengan tipe
2 diabetes lebih rentan untuk kolonisasi dengan infeksi candida.
Kebersihan kelamin dan kontrol yang efektif diabetes meningkatkan
pemulihanserta mengurangi konsumsi makanan olahan akan membantu
dalam pengurangan infeksi Candida
Pada Diabetes Mellitus terjadi kenaikan kadar glukosa dalam darah
dan urine. Gangguan metabolisme karbohidrat dan perubahan proses
glycogenolysis yang menyebabkan kadar glikogen pada epitel vagina
meninggi sehingga pertumbuhan candida juga akan meningkat. Selain itu,
faktor obesitas atau kegemukan juga merupakan faktor yang menjadi
resiko untuk timbulnya penyakit kandidiasis vaginalis, karena wanita yang
mengalami obesitas (kegemukan) menghasilkan banyak keringat, mudah
terjadi maserasi kulit, dan memudahkan infestasi candida dalam tubuh
terutama pada vagina wanita. Meningkatnya mobilisasi lemak dari daerah
penyimpanan lemak, sehingga menyebabkan metabolisme lemak yang
abnormal disertai endapan kolesterol pada dinding pembuluh darah yang
mengakibatkan timbulnya gejala aterosklerosis
5) Kehamilan
Menurut Indriatmi (1998), dalam penelitiannya melaporkan dari 300
wanita hamil yang diperiksa terdapat 28,4% menderita infeksi saluran
reproduksi dengan jenis terbanyak adalah kandidiasis vaginalis (15%)
dengan OR = 3,564 dan faktor yang paling berhubungan dengan kejadian
kandidiasis vaginalis pada wanita hamil adalah duh tubuh bergumpal atau
melekat di dinding, hal ini dapat terjadi karena pada masa selama
kehamilan, terutama pada trimester ketiga, terjadi peningkatan kolonisasi
jamur candida di vagina yang menimbulkan gejala simptomatik
kandidiasis vaginalis. Peningkatan kadar hormon estrogen yang terjadi
pada kehamilan menyebabkan kadar glikogen di vagina meningkat yang
mana merupakan sumber karbon yang baik untuk pertumbuhan candida.
Pada masa kehamilan, terutama pada trimester ketiga, terjadi
peningkatan kolonisasi jamur candida di vagina yang menimbulkan gejala
simptomatik kandidiasis vaginalis. Peningkatan kadar hormon estrogen
yang terjadi pada kehamilan menyebabkan kadar glikogen di vagina
meningkat yang mana merupakan sumber karbon yang baik untuk
pertumbuhan candida.
6) Hormon seks
Umur merupakan faktor penting pada prevalensi KVVR. Tingginya
hormon seks wanita selama usia reproduksi meningkatkan kemungkinan
terhadap terjadinya infeksi Candida. Estrogen meningkatkan perlekatan
organisme yeast pada sel mukosa vagina. Reseptor sitosol atau sistem
perlekatan untuk hormon reproduksi wanita telah diketahui pada C.
Albicans menyebabkan meningkatnya pembentukan miselial/hifa.
7) Obesitas
Kontrol glikemik yang buruk pada pasien diabetes merangsang
kejadian KV. Korelasi antara tingginya IMB (indeks massa tubuh) dan
infeksi Candida genital telah dihubungkan dengan peningkatan toleransi
glukosa, sedangkan penelitian lain tidak menemukan adanya korelasi
antara IMB dan KV. Namun pengaruh obesitas pada KV tidak dapat
dieksklusikan.
d. Manifestasi Klinis
Manifestasi kandidiasis vaginalis merupakan hasil interaksi antara
patogenitas candida dengan mekanisme pertahanan tuan rumah, yang
berkaitan dengan faktor predisposisi.
Keluhan yang paling menonjol pada penderita kandidiasis vagina
adalah rasa gatal pada vagina yang disertai dengan keluarnya duh tubuh
vagina (fluor albus). Kadang-kadang juga dijumpai adanya iritasi, rasa
terbakar dan dispareunia. Pada keadaan akut duh tubuh vagina encer
sedangkan para yang kronis lebih kental. Duh tubuh vagina dapat berwarna
putih atau kuning, tidak berbau atau sedikit berbau asam, menggumpal seperti
“Cottage Cheese” atau berbutir-butir seperti kepala susu. Pada pemeriksaan
dijumpai gambaran klinis yang bervariasi dari bentuk eksematoid dengan
hiperemi ringan sehingga ekskoriasi dan ulserasi pada labia minora, introitus
vagina sampai dinding vagina terutama sepertiga bagian bawah. Pada keadaan
kronis dinding vagina dapat atrofi, iritasi dan luka yang menyebabkan
dispareunia. Gambaran yang khas adalah adanya pseudomembran berupa
bercak putih kekuningan pada permukaan vulva atau dinding vagina yang
disebut “vaginal trush”. Bercak putih tersebut terdiri dari gumpalan jamur,
jaringan nekrosis dan sel epitel. Pada pemeriksaan kolposkopi tampak adanya
dilatasi dan meningkatnya pembuluh darah pada dinding vagina atau serviks
sebagai tanda peradangan.
e. Patofisiologi
Mekanisme terjadinya KVV terutama pada kehamilan berlangsung
sangat kompleks. Selama kehamilan, terjadi peningkatan kedua hormon yaitu
progesteron dan estrogen. Progesteron memiliki efek supresi terhadap anti-
kandida pada aktivitas neutrofil. Sedangkan estrogen bekerja mengurangi
kemampuan sel epitel vagina untuk menghambat pertumbuhan Candida
albicans dan juga menurunkan immunoglobin pada sekret vagina. Kondisi ini
mendukung terjadinya kolonisasi dari kandida tersebut. Sehingga
meningkatkan kerentanan pada ibu hamil mengalami KVV.
Selain itu, KVV umumnya terjadi karena perubahan pH dan
kandungan gula pada sekret vagina. Peningkatan hormon estrogen selama
kehamilan menyebabkan produksi glikogen lebih banyak pada vagina. Hal ini
memiliki efek langsung pada sel ragi dikarenakan pertumbuhannya yang cepat
dan mudah lengket pada dinding vagina.
f. Komplikasi
Komplikasi KVV pada ibu hamil dapat terjadi dengan cara penyebaran
infeksi ke bagian atas saluran reproduksi (ascending infection) melalui
diseminasi hematogen. Bayi yang lahir dari ibu yang menderita KVV dapat
terinfeksi secara langsung dari kontaminasi cairan amnion atau melalui jalan
lahir.
Komplikasi tersebut adalah prematuritas, aborsi spontan,
chorioamnionitis, dan beberapa infeksi yang dapat diderita bayi pada saat
persalinan. Neonatus prematur mudah terinfeksi jamur dikarenakan sistem
imun yang belum matang. Selama persalinan, transmisi dapat terjadi melalui
vagina ibu yang telah terinfeksi dengan bayi yang baru lahir dan
meningkatkan resiko kejadian infeksi kandida kongenital. Bayi dengan oral
thrushyang mendapatkan air susu ibu (ASI) dapat meningkatkan risiko
kandidiasis pada puting susu ibu tersebut.
g. Tatalaksana
Penatalaksanaan kandidiasis vaginalis meliputi usaha pencegahan dan
pengobatan yang bertujuan untuk menyembuhkan seorang penderita dari
penyakitnya, tidak hanya untuk sementara tetapi untuk seterusnya dengan
mencegah infeksi berulang ( Darmani,2010).
Usaha pencegahan terhadap timbulnya kandidiasis vaginalis meliputi
penanggulangan faktor predisposisi dan penanggulangan sumber infeksi yang
ada. Penanggulangan faktor predisposisi misalnya tidak menggunakan
antibiotika atau steroid yang berlebihan, tidak menggunakan pakaian ketat,
mengganti kontrasepsi pil atau AKDR dengan kontrasepsi lain yang sesuai,
memperhatikan higiene. Penanggulangan sumber infeksi yaitu dengan mencari
dan mengatasi sumber infeksi yang ada, baik dalam tubuhnya sendiri atau di
luarnya.
Selain usaha pencegahan, pengobatan kandidiasis vaginalis dapat
dilakukan secara topikal maupun sistemik. Obat anti jamur tersedia dalam
berbagai bentuk yaitu: gel, krim, losion, tablet vagina, suppositoria dan tablet
oral.
1) Derivat Rosanillin
Gentian violet 1-2 % dalam bentuk larutan atau gel, selama 10 hari.
2) Povidone – iodine
Merupakan bahan aktif yang bersifat antibakteri maupun anti jamur.
3) Derivat Polien
 Nistatin 100.000 unit krim/tablet vagina selama 14 hari
 Nistatin 100.000 unit tablet oral selama 14 hari
4) Drivat Imidazole
 Topical
 Mikonazol 2% krim vaginal selama 7 hari, 100 mg tablet vaginal
selama 7 hari 200 mg tablet vaginal selama 3 hari, 1200 mg tablet
vaginal dosis tunggal
 Ekonazol 150 mg tablet vaginal selama 3 hari
 Fentikonazol 2% krim vaginal selama 7 hari, 200 mg tablet vaginal
selama 3 hari, 600 mg tablet vaginal dosis tunggal
 Tiokonazol 2% krim vaginal selama 3 hari, 6,5% krim vaginal
dosis tunggal
 Klotrimazol 1% krim vaginal selama 7 – 14 hari, 10% krim vaginal
sekali aplikasi, 100 mg tablet vaginal selama 7 hari, 500 mg tablet
vaginal dosis tunggal
 Butokonazol 2% krim vaginal selama 3 hari
 Terkonazol 2% krim vaginal selama 3 hari
 Sistemik
 Ketokanazol 400 mg selama 5 hari
 Itrakanazol 200 mg selama 3 hari atau 400 mg dosis tunggal
 Flukonazol 150 mg dosis tunggal
Dan pada pengobatan kandidiasis vaginalis berulang sama
seperti pada pengobatan kandidiasis akut akan tetapi perlu jangka
lama (10-14 hari) baik obat tropikal maupun oral.
 Profilaksasi
 Ketokanazol 50 mg/hari selama 6 bulan
 Klotrimazol 200 mg tablet vaginal 2x/minggu, 500 mg tablet
vaginal 1x/minggu, 500 mg tablet vaginal 1x/2 minggu, 500 mg
tablet vaginal 1x/bulan
 Terkonazol 0,8% krim vagina 5 gram 1x/minggu
 Intrakonazol 200 mg 1x/bulan, 400 mg 1x/bulan
 Flukonazol 150 mg 1x/bulan
 Boric acid 600 mg vaginal suppositoria sekali sehari selama
menstruasi
5) Sedangkan pada ibu hamil di gunakan:
 Butoconazole 2% krim, 5 gram secara intravaginal selama 3 hari atau
fluconazole 150 mg secara oral dengan dosis tunggal.

6 Sifilis
a. Definisi
Penyakit seksual yang disebabkan oleh Treponemia pallidum yang
sangat kronik dan bersifat sistemik. Pada perjalanannya dapat menyerang
hampir semua alat tubuh, dapat menyerupai banyak penyakit, mempunyai
masa laten, dan dapat ditularkan dari ibu ke janin yang berarti infeksi dapat
ditularkan secara seksual atau transplasenta (kusuma, 2015).Sifilis kongenital
dapat dicegah jika infeksi sifilis pada ibu hamil terdeteksi dan diobati sebelum
usia kandungan mencapai pertengahan trimester kedua. Deteksi sifilis dini dan
pengobatan sangat penting dalam mencegah komplikasi berat jangka panjang
pada pasien dan mencegah penularan pada mitra seksual.
Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia sekitar 12 juta kasus baru
sifilis terjadi setiap tahunnya. Di negara berkembang sekitar 3-15 % wanita
usia subur terkena sifilis. Sekitar 30 % wanita hamil penderita sifilis akan
mengakibatkan bayi mati sebelum lahir (stillbirth). 30% bayi lahir dan
menderita penyakit sifilis kongenital, suatu kondisi dengan yang dapat
mengakibatkan kematian hingga 50 %.
Sifilis dibagi menjadi tiga tahap yaitu sifilis primer berupa efek primer,
sifilis sekunder berupa stadium penyebaran sistemik, dan sifilis tersier yang
berupa kelainan organ dan sistem syaraf, ketiga tahap itu sering disebut L.1,
L.II, L.III (lues i, ii, iii) (Djuanda, 2010).
b. Etiologi
Disebabkan oleh Treponemia pallidum yang termasuk ordo
Spirochaetales familia Spirochaetaceae dan genus Treponema. Organisme ini
memasuki tubuh pasangan seksual melalui luka pada kulit atau epitel dan
menyebar melalui darah. Klasifikasi sifilis terdiri dari;
1) Sifilis Kongenital
 Dini ( sebelum 2 tahun)
 Lanjut (sesudah 2 tahun)
 Stigmata
2) Sifilis Akuisita
 Penyakit ini secara klinis dibagi atas stadium 1, 2, dan 3.
 Menurut WHO
 Stadium dini menular ( dalam satu tahun sejak infeksi) terdiri atas S
I, S II, stadium rekuren, stadium laten dini
 Stadium lanjut tak menular ( setelah satu tahun sejak infeksi),
terdiri atas stadium laten lanjut dan S III.
c. Manifestasi Klinis
1) Sifilis Primer : Ditandai dengan munculnya ulkus genital (chancre) tidak
nyeri yang menghilang spontan. Masa tunas 2-4 minggu. Menular melalui
senggama dan setelah terpajan timbul papul kecil soliter di tempat invasi
dalam 10-90 hari. Dalam beberapa minggu papul berkembang menjadi
ulkus merah dan berbatas tegas ( chancre) dan dipenuhi spirokaeta.
Chancre pada pria (penis, anus, dan rectum), pada wanita di vulva,
perinium dan serviks. Chancre ekstra genital dirongga mulut, jari tangan,
dan payudara, chancre sembuh spontan dalam 4-6 minggu.
2) Sifilis Sekunder : Timbul beberapa minggu atau beberapa bulan kemudian
dan ditandai oleh ruam kulit temporer, terutama ditelapak tangan dan kaki.
Dapat timbul juga dalam 6-8 minggu sejak sifilis primer, gejala umunya
tidak berat berupa anoreksia, turunnya berat badan, malaise, nyeri kepala,
demam yang tidak tinggi dan artralgia, tidak gatal, sering disertai
limfadenitis generalisata.
3) Sifilis Laten : Gejala dan tanda menghilang.satu-satunya manifestasi
infeksi adalah pemeriksaan serologis yang positif. Infeksi SSP umum
terjadi.
4) Sifilis Tersier : Guma ( lesi granulomastosa yang keras) timbul setelah 3-
10 tahun setelah infeksi awal diberbagai tempat, termasuk dikulit, dimana
terjadi ulkus setelah ada kerusakan jaringan kartilago dan jaringan ikat
bawahnya. Biasanya ditandai juga dengan gangguan sensorik, kelemahan
otot, dan defek jantung.
d. Patofisiologi
Sifilis kongenital adalah infeksi akut yang parah dapat melumpuhkan
dan mengancam jiwa bayi. Seorang ibu hamil yang memiliki sifilis dapat
menyebarkan penyakit melalui plasenta ke bayi dalam kandungannya. Hampir
setengah dari semua anak yang terinfeksi sifilis akan mati didalam rahim atau
sesaat setelah lahir.
Pada Ibu Hamil Lesi genital pada sifilis primer disebut chancre.
Chancre primer ditandai oleh ulkus padat yang tidak nyeri dengan tepi
meninggi dan dasar jaringan granulasi. Ulkus menetap selama 2 hinga 6
minggu dan kemudian sembuh spontan dan sering disertai pembesaran tak-
nyeri kelenjar getah bening inguinal. Sekitar 4 hingga 10 minggu setelah
chancre tersebut sembuh, biasanya timbul sifilis sekunder dalam bentuk ruam
kulit yang sangat bervariasi. Mungkin dijumpai lesi mirip target di telapak
tangan dan kaki, alopesia, dan bercak di mukosa. Pada sebagian kasus, lesi
terbatas di genitalia dan tampak sebagai lesi meninggi yang disebut kondiloma
lata. Gejala konstitusi berupa demam, malaise, artralgia, dan mialgia sering
terjadi. Jika tidak diobati, sifilis berkembang menjadi tahap asimtomatik,
diagnosisnya adalah sifilis laten dini. Jika durasinya lebih dari 12 bulan,
ditegakkan diagnosis sifilis laten lanjut (Leveno, 2009).
e. Komplikasi
Pada Janin dan Neonatus Spiroketa mudah menembus plasenta dan
dapat menyebabkan infeksi kongenital. Karena adanya imuno-inkompetensi
relatif sebelum 18 minggu, janin biasanya tidak memperlihatkan gejala klinis
jika terinfeksi sebelum kurun ini. Frekuensi sifilis kongenital bervariasi sesuai
stadium dan durasi infeksi pada ibu. Insidensi tertingi adalah pada neonatus
yang lahir dari ibu dengan sifilis dini (primer, sekunder, atau laten dini) dan
inseidensi terendah pada pnyakit laten lanjut. Semua stadium sifilis pada ibu
dapat menyebabkan infeksi pada janin. Infeksi sifilis kongenital dibagi
menjadi penyakit stadium dini, yang bermanifestasi pada masa neonatus, dan
penyakit stadium lanjut bermanifestasi pada masa remaja (Leveno, 2009).
Gejala sifilis kongenital pada bayi baru lahir yaitu :
 Berat badan sulit bertambah bahkan tidak mampu untuk bertambah
 Demam
 Mudah teriritasi
 Tidak memiliki tulang hidung
 Ruam pada mulut, alat kelamin dan anus. Ruam diawali dengan
munculnya luka lepuh kecil di telapak tangan dan kaki.
 Keluarnya cairan dari hidung
Gejala sifilis kongenital pada bayi yang lebih besar dan anak-anak yaitu :
 Pertumbuhan gigi yang abnormal dan berbentuk seperti pasak
 Nyeri tulang
 Kebutaan
 Kekeruhan pada kornea
 Penurunan pendengaran atau tuli
 Lendir yang keluar dari anus dan vagina luar
 Bengkak pada sendi
 Sulit untuk menggerakkan lengan dan kaki atau sakit saat
menggerakkannya
 Masalah pada tulang tungkai kaki bagian bawah (tulang kering)
 Parut pada kulit di sekitar mulut, alat kelamin dan anus
f. Pemeriksaan Penunjang
Beberapa metode pengkajian klinis sifilis tersedia. Setiap pemeriksaan
antibodi dapat menjadi tidak reaktif jika individu sedang terjadi infeksi karena
sisitem imun tubuh memerlukan waktu untuk membentuk antibodi untuk
setiap antigen.
Pemeriksaan serologi tidak spesifik, yang digunakan untuk tujuan
skrining, terdiri dari dua tipe, yakni fiksasi komplemen (Kolmer, Wasserman)
dan flokulasi (Kahn, reagen plasma cepat [RPR: rapid plasma reagin]),
Laboraturium Riset Penyakit Hubungan Seksual [Veneral Disease Research
Laboratories]). Hasil pemeriksaan VDRL positif baru bisa dilihat pada hari
ke-10 sampai ke-90 setelah infeksi. Dengan demikian, infeksi mungkin sudah
terjadi walaupun hasil tes VDRL negatif. Apabila antibodi pada bayi baru lahir
didapat dari ibu, titer menurun sampai 0 pada bulan ketiga. Hasil positif palsu
dapat terjadi, misalnya, jika ibu terinfeksi pada tahap lanjut kehamilan. Hasil
positif palsu dapat terjadi dalam kasus ketergantungan heroin.
Pemeriksaan spesifik adanya antigen treponema lebih mahal dan
digunakan untuk diagnosis banding. Pemeriksaan ini mencakup imobilisasi T.
Pallidum (TPI), absorpsi antibodi treponema flouresen (FTA- ABS), dan
absorbsi antibodi treponema flouresen, imunoglobulin M (FTA-ABS IgM).
IgM FTS- ABS paling spesifik untuk sifilis neonatus. Hasil yang positif
khususnya bermanfaat dalam mendiagnosis kondisi pada anak bebas-gejala.
Infeksi pada kehamilan dapat diketahui melalui pemeriksaan invasif.
PCR cairan amnion sangat sensitif dan spesifik. Darah janin juga dapat
digunakan dan dapat mengidentifikasi IgM terhadap T. Pallidum yang sudah
pasti diproduksi janin. Ultrasound akan mengidentifikasi hidrops fetalis,
dilatasi usus, pembesaran plasenta, dan hepatosplenomegali, yang merupakan
tanda tunggal yang paling konsisten. Penyakit ini dapat diidentifikasi sejak
kehamilan 20 minggu. Bahkan jika diterapi dengan baik, 15% janin yang
terinfeksi akan meninggal atau dilahirkan dengan sifilis kongenital.
g. Penatalaksanaan

Sifilis diobati dengan penisilin intaramuskulus. Apabila pasien hamil,


diberikan eritromisin atau seftriakson, doksisiklin atau tetrasiklin dianjurkan
pada individu yang alergi penisilin tetapi tidak hamil. Penisilin sebagai terapi
utama dan satu-satunya yang telah digunakan secara luas untuk neurosifilis,
sifilis kongenital, atau sifilis selama kehamilan.
 Sifilis didapat : pemberian penisilin G Benzathine atau Procaine, bisa peroral
atau parenteral, tergantng keadaan pasien.
 Sifilis kongenital: penisilin G. Dosis pada bayi, orang dewasa, dan ibu hamil
berbeda.
 Penisilin G benzatin (Bicillin L-A) untuk infeksi sifilis primer dan sekunder
 Penisilin G prokain lini pertama untuk infeksi laten
 Doksisiklin (Doryx, vibramycin) dan Tetrasiklin (Sumycin) digunakan untuk
terapi alternatif untuk infeksi sifilis. Menghambat pertumbuhan bakteri denga
mengikat ribosom 30 S unit, mencegah sintesis protein
 Eritromisin ( E.E.S , E-Mycin) menghambat pertumbuhan bakteri. Hal ini
digunakan untuk pengobatan infeksi staphylococcal dari streptokokus
 Ceftriaxone ( Rocephin) merupakan agen alternatif untuk pasien alergi
penisilin
 Urikosurik ( Probenesid) digunakan untuk meningkatkan konsentrasi serum
antibiotik tertentu dan obat lain. Probenesid ini menghambat sekresi tubular
penisilin dan meningkatkan penisilin kadar plasma oleh rute antibiotik yang
diberikan. Probenesid digunakan sebgai tambahan terhadap penisilin pada
sifilis laten dan neurosifilis.
DAFTAR PUSTAKA

1 Corwin, E. J. (2009). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.


2 Daili S.F. 2002. Tinjauan Penyakit Menular Seksual (PMS) dalam Buku Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. Editor: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Edisi ke-3.
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
3 Daili S.F., dkk. 2010. Pedoman Penatalaksanaan Infeksi Menular Seksual. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI.
4 Djuanda, A. (2010). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edis keenam. Jakarta: FKUI.
5 Dr.Widoyono M.2011. Penyakit Tropis. Semarang: Erlangga

Anda mungkin juga menyukai