Anda di halaman 1dari 9

PENGARUH PEMBERIAN BIOFLOK TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP

LARVA IKAN PATIN (Pangasius pangasius)

Garin Fatayanti*1, Henni Wijayanti Maharani2 dan Berta Putri2

Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung


Jl. Prof. Dr. Sumantri Brojonegoro No.1 Gedung Meneng, Bandar Lampung 35145
*
Mahasiswa Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung
e-mail: semnasfpik@yahoo.com

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian bioflok
terhadap kelangsungan hidup larva ikan patin (Pangasius pangasius). Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan Oktober sampai Desember 2015 di Laboratorium Perikanan,
Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Rancangan percobaan yang digunakan adalah
Rancangan Acak Lengkap dengan 3 perlakuan dengan 3 kali ulangan meliputi
perlakuan A (pemberian bioflok 3 ml), perlakuan B (pemberian bioflok 5 ml) dan
perlakuan C (pemberian bioflok 7 ml). Hasil penelitian menunjukan bahwa pemberian
bioflok tidak berbeda nyata (P>0,05) atau tidak memberikan pengaruh nyata terhadap
kelangsungan hidup larva ikan patin. Pemberian bioflok sebagai sumber nutrisi dengan
volume 5 ml/akuarium memberikan pengaruh terbaik dengan tingkat kelangsungan
hidup 75%.

Kata kunci: larva ikan patin, bioflok, tingkat kelangsungan hidup, pemberian pakan

ABSTRACT

The aim of this reseach was to study the effect of the of biofloc on the survival rate of
catfish larvae (Pangasius pangasius). The research was conducted from October to
December 2015 at the Fisheries Laboratory, Faculty of Agriculture, University of
Lampung. The used experimental design was completely randomized design with 3
treatments and 3 replicates. The treatments were: treatment A (biofloc 3 ml), treatment
B (biofloc 5 ml) and treatment C (biofloc 7 ml). The results showed that the use of
biofloc didn’t effect on the survival of catfish larvae. The biofloc with volume 5
ml/aquarium gave the best effect with the survival rate of 75%.

Keywords: catfish larvae, biofloc, survival rate, feeding


Pendahuluan

Ikan patin merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang umum dibudidayakan
karena cukup digemari oleh masyarakat. Organisme ini memiliki kelebihan antara lain
laju pertumbuhannya cepat, fekunditas tinggi, dapat diproduksi secara masal dan
termasuk jenis ikan omnivora yang memiliki nafsu makan tinggi, sehingga pemberian
pakan menjadi faktor penentu kelangsungan hidup ikan dalam budidaya (Susanto dan
Amri, 2002). Kegiatan pembenihan ikan patin umumnya memiliki banyak kendala salah
satunya yaitu tingginya mortalitas disebabkan kekurangan makanan pada masa kritis
bagi larva ikan patin yang membutuhkan asupan makanan dari luar (Budiawan, 2011)
Larva ikan patin memerlukan pakan dengan kandungan nutrisi tinggi untuk
mencapai pertumbuhan yang optimal, sehingga diperlukan pemberian pakan yang baik
untuk menunjang kelangsungan hidup larva ikan patin. Menurut Afrianto dan Liviawaty
(2005) larva ikan patin membutuhkan protein sebanyak 35-40% untuk pertumbuhannya.
Dalam budidaya, pakan yang diberikan pada ikan budidaya hanya 25% yang
dimanfaatkan sebagai biomassa sedangkan sisanya diekskresikan ke lingkungan berupa
feses, sehingga perlu adanya pakan alternatif yang dapat memenuhi kebutuhan nutrisi
bagi larva ikan patin (Avnimelech dan Ritvo, 2003)
Teknologi bioflok dapat diaplikasikan menjadi salah satu pakan alternatif untuk
kelangsungan hidup ikan budidaya yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas air dan
meningkatkan efisiensi pemanfaatan nutrien (Ekasari, 2009). Bioflok merupakan
kumpulan berbagai jenis mikroorganisme seperti bakteri pembentuk flok, bakteri
filamen, partikel tersuspensi dan polimer organik (De Schryver et al., 2008). Bioflok
yang didominasi oleh bakteri dan mikroalga hijau memiliki kandungan protein 38 %
dan 42% (Ju et al., 2008). Menurut Crab et al., (2009) bioflok terdiri atas protozoa,
bakteria, mikroalga, zooplankton dan mikroorganisme lainnya. Banyaknya keunggulan
bioflok tersebut diharapkan pemberian bioflok dapat meningkatkan kelangsungan hidup
larva ikan patin.

Material dan Metode

Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober – Desember 2015, bertempat di


Laboratorium Budidaya Perikanan, Universitas Lampung. Alat yang digunakan dalam
penelitian ini adalah akuarium ukuran 20 cm x 15 cm x 15 cm sebanyak 9 buah, blower,
selang aerasi, selang sifon, termometer, pH meter, DO meter, Imhoff Cone dan alat tulis.
Bahan yang digunakan adalah larva ikan patin D6 sebanyak 108 ekor, bioflok dan air
tawar. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL), dengan
pemberian bioflok (3, 5, 7 ml) sebagai perlakuan dengan tiga kali ulangan.
Pembuatan bioflok menggunakan C/N rasio 20. Akuarium yang digunakan
berukuran 40 cm x 30 cm x 30 cm dengan volume air 30 liter. Bahan-bahan pembentuk
bioflok adalah pakan yang telah difermentasi, gula pasir dengan komposisi 14,72 gram
dan bakteri aktivator sebanyak 3 ml. Bioflok mulai terbentuk pada hari ke-10 dan
diberikan kepada larva ikan patin.
Padat tebar larva ikan patin adalah 4 ekor/liter (12 ekor/akuarium). Pemberian
bioflok dilakukan dalam tiga tahap, D1 – D2 bioflok diberikan dengan frekuensi 2 jam
sekali (pukul 10.00, 12.00, 14.00, 16.00, 18.00, 20.00, 22,00, 24.00, 02.00, 04.00,
06.00, dan 08.00 WIB) yaitu perlakuan A (3 ml), B (5 ml), dan C (5 ml). Frekuensi
pemberian bioflok pada D3 – D6 yaitu 4 jam sekali dengan penambahan jumlah bioflok
yang diberikan menjadi dua kali lipat yaitu perlakuan A (6 ml), B (10 ml), C (14 ml)
dengan jadwal pemberian pakan (24.00, 04.00, 08.00, 12.00, 16.00, dan 20.00 WIB).
Frekuensi pemberian bioflok pada D7 – D20 dilakukan 6 jam sekali dengan
penambahan jumlah bioflok menjadi tiga kali lipat yaitu perlakuan A (9 ml), B (15 ml),
C (21 ml) dengan jadwal pemberian pakan (24.00, 06.00, 12.00 dan 18.00 WIB).
Pengamatan tingkat kelangsungan hidup larva ikan patin dilakukan setiap hari. Tingkat
kelangsungan hidup dihitung dengan menggunakan rumus (Effendie, 2002) :
𝑁𝑡
SR = 𝑁𝑜 x 100 %

Keterangan :
SR : Tingkat kelangsungan hidup (%)
Nt : Jumlah ikan pada akhir pemeliharaan (ekor)
No : Jumlah ikan pada awal pemeliharaan (ekor)

Pengukuran suhu dan pH dilakukan dua kali sehari yaitu pada pagi hari (06.00
WIB) dan sore hari (18.00 WIB). Pengukuran DO dilakukan dua hari sekali, yaitu pada
pagi hari (06.00 WIB). Pengukuran amoniak dilakukan sebanyak empat kali selama
penelitian berlangsung, yaitu D1, D7, D14 dan D20.
Data penelitian berupa tingkat kelangsungan hidup larva ikan patin selama
pemeliharaan diuji normalitas dan diuji homogenitas menggunakan uji kolmogrov dan
uji Levene. Data yang berdistribusi normal dan homogen diuji menggunakan uji
ANOVA untuk mengetahui perbedaan setiap perlakuan. Perlakuan yang berbeda
selanjutnya diuji menggunakan uji lanjut Beda Nyata Terkecil (BNT) dengan selang
kepercayaan 95 % untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan. Data kualitas air
dianalisis secara deskriptif.

Hasil dan Pembahasan

Rerata populasi larva ikan patin yang dipelihara dalam 3 media perlakuan dapat
dilihat pada (Gambar 1).

12
Rerata populasi ikan

10
hidup (ekor)

8
6 A (3 ml)
4 B (5 ml)
C (7 ml)
2
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

Pengamatan hari ke-


Gambar 1.. Rerata Populasi Larva Ikan Patin
Berdasarkan hasil pengamatan selama 20 hari penelitian, diperoleh kelangsungan
hidup larva ikan patin pada perlakuan C memiliki tingkat kematian tinggi sejak D1-D3
dibandingkan pada perlakuan A dan B memiliki tingkat kematian larva yang sama,
sedangkan D4-D6 kematian larva patin mengalami penurunan disetiap perlakuan namun
pada perlakuan C kematian larva masih tinggi dibandingkan perlakuan A dan B.
Kematian larva pada D7 terdapat di perlakuan A dan B, sedangkan D8 hanya terdapat
kematian larva pada perlakuan A dan pada D9-D20 tidak terdapat kematian di setiap
perlakuan. Kematian larva ikan tertinggi pada minggu pertama (29 %) dan mengalami
penuruan pada minggu kedua (10%). Penurunan jumlah kematian ini menunjukkan
bahwa larva ikan patin mengalami proses adaptasi terhadap bioflok sebagai pakan.
Peresentase tingkat kelangsungan hidup larva ikan patin dapat dilihat pada (Gambar 2).

75 ± 0
75
74
Kelangsungan Hidup %

73 72.22 ± 4.81
Persentase Tingkat

72
71
70 69.44 ± 4.81
69
68
67
66
65
A (3 ml) B (5 ml) C (7 ml)
Perlakuan
Gambar 2. Persentase Tingkat Kelangsungan hidup larva ikan patin

Tingkat kelangsungan hidup larva ikan patin perlakuan A, B dan C secara


berturut-turut adalah 72%, 75 % dan 69 %. Perlakuan B merupakan perlakuan yang
memberikan hasil terbaik yaitu sebesar 75%, sedangkan perlakuan C merupakan
perlakuan dengan tingkat kelangsungan hidup terendah yaitu sebesar 69 %.
Perlakuan C memberikan nilai kelangsungan hidup terendah. Hal ini
dikarenakan tingginya pemberian bioflok yang menyebabkan bioflok yang diberikan
menumpuk dan membentuk aggregat di dasar akuarium sehingga larva ikan patin sulit
untuk memakannya. Perlakuan A diduga karena pemberian bioflok terlalu rendah. Hal
tersebut mengakibatkan bioflok yang diberikan tidak mencukupi kebutuhan nutrisi bagi
larva ikan patin. Perlakuan B memberikan kelangsungan hidup tertinggi yaitu 75%. Hal
tersebut diduga karena jumlah bioflok telah mencukupi kebutuhan makanan bagi larva
ikan patin,
Pemberian bioflok dilakukan dalam 3 tahap untuk melihat respon makan larva
ikan patin. Pada stadia larva, ikan patin masih memiliki sistem pencernaan yang
sederhana sehingga hanya bisa menampung sedikit makanan. Hal tersebut yang
menyebabkan frekuensi pemberian pakan menjadi tinggi sedangkan semakin
meningkatnya pertumbuhan larva, sistem pencernaan akan semakin sempurna dan dapat
menampung makanan lebih banyak sehingga frekuensi pemberian pakan menjadi
rendah tetapi jumlah pemberian pakan ditingkatkan.
Menurut penelitian Effendi et al. (2003) larva ikan patin umur 1 hari masih
memiliki sistem pencernaan yang sangat sederhana, relatif pendek, dan belum
berkembangnya saluran pencernaan. Hal ini yang menyebabkan kelangsungan hidup
larva ikan patin pada awal pemeliharaan menghasilkan kelangsungan hidup yang rendah
diduga larva patin belum mampu memanfaatkan pakan alami bioflok dengan baik
karena alat pencernaan belum berfungsi dengan sempurna sehingga proses pencernaan
di dalam tubuh larva ikan patin tidak berlangsung dengan baik.
Kelangsungan hidup ikan dipengaruhi oleh faktor makanan yang diberikan. Pada
stadia larva, ikan patin tergolong ikan pemakan segala (omnivora) sehingga dapat
mengkonsumsi pakan berupa hewan atau tumbuhan. Ikan patin dikenal sebagai hewan
yang bersifat nokturnal, yakni aktif mencari makan pada malam hari. Larva ikan patin
memakan hewan kecil yang hidup melayang – layang di air atau di permukaan sedimen
(Budiawan, 2011). Kelangsungan hidup ikan sangat dipengaruhi oleh protein yang
terkandung dalam pakan yang akan digunakan sebagai sumber energi (Zonneveld et al.,
1991). Menurut Afrianto dan Liviawaty (2005) larva ikan patin membutuhkan protein
sebanyak 35-40%.
Bioflok mengandung 38% protein yang sangat bermanfaat sebagai sumber
nutrisi untuk pertumbuhan ikan budidaya (Azim dan Little, 2008). Menurut Crab et al.,
(2009) bioflok terdiri atas protozoa, bakteria, mikroalga, zooplankton dan
mikroorganisme lain. Menurut De Schryver et al., (2010) menyatakan bahwa penyusun
utama bioflok yaitu bakteri dapat menghasilkan senyawa polyhydroxybutyrate (PHB)
yang bermanfaat sebagai immunostimulan. Senyawa polyhydroxybutyrate (PHB) yang
terkandung didalam bioflok dapat mencegah serangan patogen di usus dan sebagai
antimikroba (Boon et al., 2010), sehingga pada penelitian ini pemberian bioflok mampu
meningkatkan kelangsungan hidup karena bioflok mengandung PHB yang dapat
dijadikan sebagai immunostimulan bagi larva ikan patin. Hasil pengukuran parameter
kualitas air selama pemeliharaan dapat dilihat pada (Tabel 1).

Tabel 1. Hasil pengukuran parameter kualitas air selama pemeliharaan


Perlakuan
Parameter Batas
No Satuan Sumber
Kualitas Air A (3 ml) B (5 ml) C (7 ml) Toleransi
º
1 Suhu C 28-29 28-29 28-29 28-30oC Sunarma, (2007)
2 DO ppm 4,9-5.5 5-5,6 4,9-5,5 >3 Sularto dan
Bambang (2007)
3 pH - 6,9-7,6 6,9-7,6 6,9-7,6 6,5 – 8 Djokosetiyanto
(2005)
4 Amoniak mg/l 0,0008 – 0,0079 0,0009 – 0,0089 0,0009 – 0,0093 0 - 0,1 Herdiansyah
(1999)

Hasil pengukuran Oksigen terlarut (DO) pada masing-masing perlakuan dapat


dilihat pada (Gambar 3).
5.8
5.6
5.4

DO (ppm)
A (3 ml)
5.2
B (5 ml)
5
C (7 ml)
4.8
4.6
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Pengamatan ke

Gambar 3. Konsentrasi oksigen terlarut (DO) selama pemeliharaan

Hasil pengukuran oksigen terlarut selama penelitian yaitu berkisar antara 4,9 –
5,7 ppm. Pada awal penelitian oksigen terlarut pada perlakuan pemberian bioflok A (3
ml), B (5 ml) dan C (7 ml) sangat baik, namun mengalami penurunan pada pengukuran
hari ke- 2 hingga hari ke- 4 pada tiap perlakuan. Penurunan oksigen terlarut ini diduga
akibat suplai oksigen dari aerasi yang digunakan menurun, sisa metabolisme ikan
berupa feses dan pakan yang tidak termanfaatkan di dasar sehingga mengakibatkan
penurunan kadar oksigen terlarut, Pengukuran oksigen terlarut pada pengamatan ke- 5
hingga hari ke- 10 kadar oksigen terlarut semakin meningkat stabil. Kenaikan kadar
oksigen terlarut ini disebabkan oleh suplai oksigen dari aerasi yang meningkat dan
pakan yang diberikan mulai dimanfaatkan oleh larva ikan patin sehingga tidak adanya
penumpukan pakan di dasar akuarium yang mengakibatkan kadar ammonia meningkat
dan baik untuk kehidupan ikan. Menurut Sularto dan Bambang (2007) menyatakan
bahwa kandungan oksigen yang optimal untuk pertumbuhan larva ikan patin adalah >3
ppm. Hasil pengukuran pH dapat dilihat pada (Gambar 4).

7.8

7.6

7.4
A (3 ml)
7.2 B (5 ml)
pH

C (7 ml)
7

6.8

6.6
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Pengamatan Hari ke

Gambar 4. Nilai pH selama pemeliharaan

Berdasarkan pengamatan nilai pH pada penelitian ini secara keseluruhan


mengalami kenaikan disetiap perlakuan. Kisaran nilai pH dari ketiga perlakuan yaitu
antara 7 – 7,8. Perubahan nilai pH disetiap perlakuan tidak terlalu signifikan. Penelitian
ini masih dalam kisaran pH yang mendukung pertumbuhan larva ikan patin. Hal ini
sesuai dengan penelitian Djokosetiyanto (2005) menyatakan bahwa nilai pH yang dapat
ditoleransi larva ikan patin berkisar antara 7,02 – 7,77. Konsentrasi pH di dalam air
yang berkisar antara 6 – 8 sangat mendukung kelangsungan hidup ikan (Sularto dan
Bambang 2007). Hasil pengukuran nilai pH selama penelitian masih berada dalam
kisaran yang dapat ditolerir oleh larva ikan patin. Hasil pengukuran suhu pada masing-
masing perlakuan dapat dilihat pada (Tabel 2).

Tabel 2. Parameter suhu pagi dan sore selama pemeliharaan


Suhu
Perlakuan
Pagi Sore
A (3 ml) 27.6 - 28.3 28 – 29
B (5 ml) 27.6 - 28.3 28 – 29
C (7 ml) 27.6 - 28.3 28 – 29

Hasil pengukuran suhu selama penelitian pada masing - masing perlakuan dapat
diketahui bahwa tidak memiliki perbedaan suhu yang signifikan yaitu dengan suhu
berkisar antara 28 - 29oC. Nilai ini menunjukkan suhu air masih berada dalam kisaran
yang normal bagi pertumbuhan larva ikan patin karena tidak mengalami kenaikan dan
penurunan yang signifikan pada pagi dan sore hari. Menurut Sunarma (2007) kisaran
suhu yang optimal untuk pertumbuhan larva ikan patin adalah 28 - 30oC. Kelangsungan
hidup larva ikan patin mulai terganggu apabila suhu menurun sampai 14oC-15oC atau
meningkat di atas 35oC. Hasil pengukuran amoniak dapat dilihat pada (Tabel 3).

Tabel 3. Kandungan amoniak selama pemeliharaan


Perlakuan
Pengamatan ke
A (3ml) B (5 ml) C (7 ml)
1 0.000829 0.000912 0.000995
2 0.007962 0.008957 0.009372
3 0.006469 0.006801 0.008211
4 0.002405 0.002986 0.003234

Kadar ammonia pada awal penelitian minggu ke- 1 cukup rendah pada setiap
perlakuan karena pengujian dilakukan pada hari pertama pemberian pakan. Pada
minggu ke- 2 kadar ammonia mengalami kenaikan pada setiap perlakuan. Kenaikan
kadar ammonia yang paling tinggi pada perlakuan C disebabkan oleh adanya akumulasi
hasil metabolisme dan pakan yang tidak termanfaatkan. Pengukuran ammonia pada
minggu ke- 3 hingga minggu k- 4 kadar ammonia mengalami penurunan yang bertahap
pada tiap-tiap perlakuan. Penurunan ini diakibatkan pakan yang diberikan mulai
dimanfaatkan sebagai pakan oleh larva ikan patin sehingga tidak terjadi penumpukan
sisa pakan yang menyebabkan kandungan ammonia meningkat, selain itu penurunan
kadar ammonia dapat disebabkan oleh komunitas mikroba yang memanfaatkan sumber
nitrogen untuk membentuk biomassa sel (protein mikroba). Menurut (Brune et al.,
2003) Bakteri pembentuk flok memanfaatkan nitrogen anorganik berupa ammonia
dalam air untuk disintesa menjadi protein bakteri dan sel tunggal protein yang dapat
dimanfaatkan sebagai pakan bagi larva ikan patin sehingga pemanfaatan ammonia
dalam sistem bioflok dapat menurunkan kandungan ammonia dalam media
pemeliharaan. Menurut Herdiansyah (1999) Kandungan ammonia yang dapat
ditoleransi bagi larva patin yaitu antara 0 - 0,1 ppm.
Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian bioflok


sebanyak 5 ml memberikan hasil terbaik dalam meningkatkan kelangsungan hidup larva
ikan patin yaitu sebesar 75 %.

Daftar Pustaka

Afrianto, E. dan Liviawaty, E. 2005. Pakan Ikan. Penerbit Kansius.Yogyakarta. 148 hal.
Avnimelech, Y. and G. Ritvo. 2003. Shrimp and Fish Pond Soils : processes and
management. Aquaculture, 220 : 549-567.
Azim, M.E. and D.C. Little. 2008. The biofloc technology (BFT) in indoortanks: water
quality, bioflocs composition, and growth and welfare of nile tilapia (Oreochromis
niloticus). Aquaculture: 29–35
Boon, N., T. Defoirdt, W. de Windt, T. Van De Wiele, dan W. Verstraete. 2010.
Hydroxybutyrate and PolyHydroxybutyrate as Components of Animal Feed or
Feed Additives. Patent Application Publication. April : 1-4.
Budiawan, A. 2011. Pengaruh Pemberian Artemia yang Di perkaya dengan Ragi
terhadap Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Larva Patin (Pangasius
pangasius). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. UNPAD
Crab, R., M. Kochva, W. Verstraete, dan Y. Avnimelech. 2009. Bio-flocs Technology
Application in Over-wintering of Tilapia. Aquaculture Engineering. 40 : 105 112.
D. Djokosetiyanto, R. K. Dongoran dan E. Supriyono. 2005. Pengaruh Alkalinitas
Terhadap Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Larva Ikan Ptain Siam
(Pangasius sp), Jurnal Akuakultur Indonesia, 4(2): 53-56 (2005).
De Schryver P, Crab, R, Detroit, T. Boon, N., Verstrate, W. 2008. The Basic of Bioflock
Technology : The Added Value for Aquaculture, 227: 125-137.
De Schryver, P., A.K. Sinha, P.S. Kunwar, K. Baruah, dan W. Verstraete. 2010. Poly-
Beta-Hydroxybutyrate (PHB) Increases Growth Performance and Intestinal
Bacterial Range-Weighted Richness In Juvenile European Sea Bass, Dicentrarchus
labrax. Applied Microbiology and Biotechnology.86 : 1535 – 1541.
Effendi, Widanarni dan D. Augustine. 2003. Perkembangan enzim pencernaan larva
ikan patin (pangasius hypophthalmus sp), Jurnal Akuakultur Indonesia, 2(1):13-
20(2003).
Effendie, M.I. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Utama. Jakarta
Ekasari, J. 2009. Teknologi Bioflok : Teori dan Aplikasi dalam Perikanan Budidaya
Sistem Intensif. Jurnal Akuakultur Indonesia, 8(2): 9-19 (2009)
Herdiansyah, H. 1999. Pengaruh alkalinitas dan kalsium karbonat terhadap
kelangsungan hidup dan pertumbuhan larva ikan jambal Siam (Pangasius
pangasius) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB.
Ju, Z.Y., Forster, 1., Conquest, L., Dominy, W., Kuo, W.C., Horgen, F.D., 2008.
Determination of Microbial Community Structures of Shrimp Floe Cultures by
Biomarkers and Analysis of Floe Amino Acid Profiles. Aquaculture Research, 39:
118-133.
Sularto, E. dan Bambang I. 2007. Petunjuk Teknis Pembenihan Ikan Patin. BPPI
Sukamandi, Subang.
Sunarma, Ade. 2007. Panduan Singkat Teknik Pembenihan Ikan Patin (Pangasius
hypopthalmus). Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar.Sukabumi
Susanto dan Amri. 2002. Budidaya Ikan Patin. Penebar Swadaya. Jakarta
Zonneveld, N., E. A. Huisman and J. H. Boon. 1991. Prinsip-prinsip Budidaya Ikan.
PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai