Anda di halaman 1dari 47

MAKALAH METODOLOGI PENELITIAN AKUNTANSI

EPISTEMOLOGI ISLAM

KELOMPOK 5

LUDIA DANIEL A31116037

NUR AFNI JABIR A31116329

KURNIATY SAMBARA A31116522

ATALYA FIDELA SAMBENGA A31116524

NUR RAHMA MAETA A31116525

ARNIANTI A31116701

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2018
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kita panjatkan kehadiran Allah S.W.T., Tuhan yang menciptakan, mengatur dan
memelihara alam semesta yang menundukkan segala sesuatu untuk kepetingan dan
kemaslahatan semua makhluk ciptaannya, salam dan salawat semogah terlimpah atau
tercurah kepada junjungan Rasul-Nya Muhammad S.A.W., keluarga, sahabat, dan orang-
orang yang mengikuti sunnah-nya sampai akhir zaman.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang membantu dalam
penyusunan makalah ini.
Penulis berharap tugas ini dapat bermanfaat bagi penulis secara pribadi untuk
meningkatkan kapasitas diri dan juga bagi pembaca umum untuk menambah wawasan
mengenai Epistemologi Islam. Selain itu, untuk menambah khazanah keilmuan dan sebagai
tolak ukur dosen dalam memberikan penilaian. Karena makalah ini merupakan sebuah tugas
kelompok pada mata kuliah Metodologi Penelitian Akuntansi.
Penulis menyadari betul bahwa makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan, sehingga
menjadi harapan Penyusun kirannya kritik korektif yang bersifat kontruktif dalam proses
revisi atau perbaikan selanjutnya.
Pada akhirnya, hanya kepada Allah SWT, kami berserah diri serta berharap semoga
bimbingan, pertolongan dan perlindungan tetap tercurah untuk mendapat ridha-Nya.

Makassar, 19 November 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...............................................................................................................ii

DAFTAR ISI............................................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1

1.1 Latar belakang ............................................................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................................... 2

1.3 Tujuan Penulisan ......................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................................... 3

2.1 Imperialisme Epistemologi ......................................................................................... 3

2.2 Pendekatan- Pendekatan Epistemologi Barat .............................................................. 4

2.3 Konsep Ilmu Pengetahuan ......................................................................................... 10

2.4 Islamisasi Ilmu Pengetahuan ..................................................................................... 16

2.5 Karakteristik Ilmu Pengetahuan dalam Perspektif Islam .......................................... 21

2.6 Epistemologi Islam .................................................................................................... 31

2.7 Metodologi Islam ...................................................................................................... 39

BAB III PENUTUP ................................................................................................................. 43

3.1 Kesimpulan................................................................................................................ 43

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 44

iii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Harus diakui bahwa dunia Barat sekarang ini telah mencapai kemajuan yang pesat.
Berbagai belahan dunia merasa tertarik menjadikan Barat sebagai referensi dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Barat dianggap mampu menyajikan
berbagai temuan baru secara dinamis dan varian, sehingga memberikan sumbangan yang
besar terhadap sains dan teknologi modern. Barat yang dikenal maju itu sebenarnya
diawali di Amerika Utara dan Eropa Barat. Dua belahan wilayah inilahn yang membawa
gerbong kemajuan Barat, sehingga kemajuan yang dicapai tersebut mempengaruhi
seluruh negara dan wilayah di seantero dunia. Pengaruh Barat ini makin meluas, bukan
saja sari segi wilayahnya, melainkan di samping sains dan teknologi, juga sampai pada
persoalan gaya hidup, gaya berpakaian dan sebagainya.
Kemajuan Barat itu disebabkan oleh pendekatan sainsnya pada epistemologi.
Epistemologi yang dikuasai ilmuwan Barat benar-benar dimanfaatkan untuk mewujudkan
temuan-temuan baru dalam sains dan teknologi. Tradisi untuk menawarkan teori-teori
ilmiah yang dibangun berdasarkan penalaran dan pengamatan tampak begitu subur
dikalangan mereka, sehingga menghasilkan temuan baru yang silih berganti, baik bersifat
menyempurnakan temuan lama, temuan baru, maupun menentang temuan lama sama
sekali. Epistemologi yang dikembangkan ilmuwan Barat ini sekanjutnya mempengaruhi
pemikiran para ilmuwan di seluruh dunia seiring dengan pengenalan dan sosialisasi sains
dan teknologi mereka. Epistemologi itu dijadikan acuan dalam mengembangkan
pemikiran para ilmuwan di masing-masing negara, akhirnya secara praktis mereka
terbaratkan; pola pikirnya, pijakan berpikirnya, metode berpikirnya, caranya mempresepsi
terhadap pengetahuan dan sebagainya, mengikuti gaya Barat semuanya. Secara sadar atau
tidak mereka telah terbelenggu oleh pengaruh yang mengikat itu. Padahal epistemologi
yang semestinya dijadikan sarana penalaran yang bisa mewujudkan dinamika pemikiran,
berubah menjadi penyeragaman cara-cara berpikir. seolah-olah hanya ada satu model
berpikir yang harus diikuti. Kondisi semacam ini makin membuktikan, bahwa sedang
terjadi imperialism epistemologi Barat terhadap pemikiran masyarakat sedunia.
Akibat epistemologi Barat yang mengistimewakan peranan manusia dalam
memecahkan “segala sesuatu”, dan dalam waktu bersamaan menentang dimensi spiritual

1
yang kemudian menjadi sumber utama krisis epistemologi yang berimplikasi pada krisis
pengetahuan, maka ada upaya untuk mencari pemecahan dengan mempertimbangkan
epistemologi lain. Di kalangan pemikir muslim menawarkan pemecahan itu dengan
epistemologi Islam. Mereka sedang mencoba menggagas bangunan epistemologi Islam
tersebut yang diformulasikan berdasarkan Al-Quran dan As-sunnah sebagai wahyu
Tuhan. Jadi, gagasan epistemologi Islam merupakan respons kreatif terhadap tantangan-
tantangan mendesak dari ilmu pengetahuan modern yang membahayakan kehidupan dan
keharmonisan manusia sebagai akibat dari epistemologi Barat.
Sebelum membahas inti persoalan, yakni epistemologi Islam kita perlu memahami
dahulu persoalan-persoalan yang berada di seputarnya yang bisa mengantarkan keutuhan
pemahaman, seperti konsep ilmu pengetahuan, islamisasi ilmu pengetahuan, dan karakter
ilmu dalalm perspektif Islam.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, adapun rumusan masalah yang akan di uraikan dalam makalah
ini, yaitu:
1. Bagaimana perkembangan imperialisme epistemologi Barat?
2. Apa pendekatan-pendekatan atau metode yang digunakan Epistemologi barat dalam
melakukan imperialisme modern?
3. Bagaimana konsep ilmu pengetahuan dalam epistemologi Islam?
4. Bagaimana islamisasi ilmu pengetahuan?
5. Apa karakteristik ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam?
6. Bagaimana perkembangan epistemologi Islam?
7. Mengapa metodologi Islam digunakan dalam epistemologi ?
1.3 Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah di atas, adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Mengetahui perkembangan imperialisme epistemologi Barat.
2. Mengetahui pendekatan epistemologi Barat yang telah melakukan imperialisme
epistemologi di seluruh dunia terutama di dunia Islam.
3. Mengetahui konsep ilmu pengetahuan dalam pandangan epistemologi Islam.
4. Mengetahui islamisasi ilmu pengetahuan.
5. Mengetahui karakteristik ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam.
6. Mengetahui perkembangan epistemologi Islam.
7. Mengetahui alasan metodologi Islam digunakan dalam epistemologi.

2
BAB II

PEMBAHASAN
Secara etimologis, epistemologi berasal dari bahasa Yunani yaitu episteme yang berarti
pengetahuan atau ilmu, dan logos yang berarti pengetahuan. Jadi epistemologi dapat
dipahami bahwa epistemologi adalah ilmu tentang pengetahuan, atau pemikiran tentang
pengetahuan. Epistemologi berupaya menjawab pertanyaan “apa yang dapat kita ketahui, dan
bagaimana kita dapat mengetahuinya” (what can we know, and how do we know it ).
Epistemologi dapat juga diartikan sebagai studi yang menganalisa dan menilai secara kritis
tentang mekanisme dan prinsip-prinsip yang membentuk keyakinan.

EPISTEMOLOGI BARAT
2.1 Imperialisme Epistemologi
Imperialisme epistemologi Barat telah berjalan sekitar 300 tahun, sejak kolonialisme
Eropa di dunia Islam. Menurut Amrullah Achmad, Ziauddin Sardar, Epistemologi Barat
yang dipandang oleh pakar Muslim dan non-Muslim sebagai epistemologi universal, telah
dipakai menjadi cara untuk mengetahui dan menyelidiki sesuatu yang dominan saat ini
dan telah mengesampingkan cara cara mengetahui dengan alternatif lain.
Epistemologi Barat selalu dimanfaatkan untuk mempengaruhi dan menanamkan
keyakinan secara apriori bahwa baratlah sumber pengetahuan, cara-cara berfikir model
baratlah yang bisa diandalkan, dan barat sebagai pusat metode ilmiah. Begitu dominannya
epistemologi Barat dalam mempengaruhi dan meyakinkan orang terhadap keterandalan
cara-cara berfikir dalam memperoleh pengetahuan, menyebabkan para ilmuwan dan
komunitas ilmiah seperti telah “mengkultuskan” kebenaran epistemologi Barat. Dalam
waktu yang bersamaan mereka tidak lagi mau mempertimbangkan kemungkinan adanya
epistemologi versi lain yang juga berfungsi sebagai alat yang efektif dalam memperoleh
pengetahuan. Epistemologi selain Barat dipandang rendah kualitasnya dan belum teruji
keandalannya dalam memberikan jawaban-jawaban, tentang bagaimana cara memperoleh
pengetahuan yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dengan demikian
epistemologi Barat dipandang sebagai satu satunya epistemologi yang harus dipedomani
dalam memperoleh pengetahuan.
Media yang dipersiapkan untuk memperkenalkan mekanisme kerja epistemologi barat
hingga diperoleh pengetahuan baru yaitu buku, jurnal, forum seminar, penayangan di layar
televisi dan sebagainya. Begitu besarnya upaya yang dilakukan untuk memperkenalkan

3
cara kerja epistemologi barat akan mampu membentuk opini publik bahwa epistemologi
produk barat inilah yang harus diakui sebagai cara yang paling benar dalam memperoleh
keyakinan. Pembentukan image semacam ini sekaligus berfungsi melemahkan
kepercayaan masyarakat terhadap kebenaran epistemologi yang dihasilkan selain dari
barat serta menjadikan masyarakat tidak mempercayai potensi ilmuwan-ilmuwan non
barat dalam merumuskan epistemologi. Contoh besarnya pengaruh epistemologi barat
yaitu masyarakat islam maupun non islam mulai telah terbaratkan. Seperti masyarakat
muslim turki lebih terampil meniru barat dalam hal pergaulan bebas, pakaian dan makanan
serta juga masyarakat di negara Indonesia begitu cepat mengadaptasi budaya barat dalam
hubungan laki laki dan perempuan, penampilan, tempat tempat hiburan, dan sebagainya.
Umat islam digiring mengikuti pola pemikiran barat dari dua arah yaitu dari pengaruh
pemikiran barat secara langsung dan melalui pembaru-pembaru/pemikir islam yang juga
sudah terpengaruh fikirannya dengan pemikiran barat. Yang sesungguhnya keberadaan
pemikir-pemikir islam lebih dahulu ada daripada pemikir pemikir barat modern sehingga
seharusnya pemikiran pemikiran islam lebih banyak mempengaruhi pemikiran-pemikiran
barat tetapi kenyataan yang terjadi justru pemikir pemikir islam mengalami kebingungan
dibawah bayang bayang keagresifan pemikir pemikir Barat. Akibatnya, sebagimana
dikatakan oleh Muslih Usa, bahwa ilmuwan barat mampu mengolah epistemologi yang
mereka pelajari dari Islam smenjadi kerangka ilmu yang sesuai dengan keinginan mereka,
sedangkan cendekiawan muslim tidak mampu lagi mengolahnya kembali agar
epistemology barat yang sudah berkembang dapat bersahabat dengan islam.
2.2 Pendekatan- Pendekatan Epistemologi Barat
Ada beberapa pendekatan epistemologi barat yang telah melakukan imperialisme
epistemologi di seluruh dunia terutama di dunia islam. Menurut Kazuo Shimogaki
kecenderungan epistemologi barat ada lima yaitu pemisahan anatara bidang sakral dan
bidang duniawi, kecenderungan kea rah reduksionisme, pemisahan antara subjektivitas
dan objektivitas, antroposentrisme, dan progresivisme.Selain yang disebutkan kazuo,
pendekatan epistemologi barat lainnya yaitu :
1. Pendekatan Skeptis (Keragu-raguan)
Skeptisisme diperkenalkan oleh René Descrates (1596-1650). Ciri skeptis atau keragu-
raguan (kesangsian) menjadi sesuatu yang khas bagi epistemologi Barat. Paradigma
berfikir skeptis sampai sekarang telah dijadikan pedoman dalam memperbarui dan
mengembangkan ilmu pengetahuan. Dalam pendekatan ini, sikap keraguan terhadap
sesuatu dapat memotivasi timbulnya koreksi secara berkesinambungan terhadap

4
persoalan-persoalan yang belum jelas kebenarannya. Sikap skeptis yang dimilki
ilmuwan, artinya dia tidak pernah menerima kebenaran suatu pernyataan sebelum
penjelasan mengenai isi pernyataan itu dapat dia terima. Melalui sikap skeptis ini, para
ilmuwan terlatih untuk tidak cepat-cepat bersikap apriori terhadap kebenaran maupun
kesalahan suatu pernyataan. Sebaliknya mereka juga tidak tergesa-gesa menolak suatu
pengetahuan. Mereka Cenderung bersikap menunggu dan meragukan sebelum
terbuktikan.
Akan tetapi seiring berjalannya waktu sikap keraguan berkesinambungan yang
digunakan ilmuwan sebagai metode epistemologi memiliki konsekuensi yang bisa
menjadi “jebakan” bagi para ilmuwan sendiri karena jika saja keraguan tersebut
berfungsi untuk mengatasi keraguan (mencapai kemantapan) maka kemantapan
tersebut hanya bersifat sementara. Pada saatnya nanti, kemantapan ini bisa digugat
lagi menjadi keraguan. Apa yang menjadi kemantapan sekarang akan menjadi
keraguan dikemudian hari, kemudian keraguan itu akan menghasilkan kemantapan
dan ketika digugat akan berubah lagi menjadi keraguan sehingga hanya akan berputar
putar seperti lingkaran setan yang tiada putus-putusnya, sehingga konsekuensi ini
menjadi kelemahan dari Skeptis sebagai pendekatan epistemologis.
Sesungguhnya yang mengantarkan kita kepada kebenaran adalah hidayah
(Petunjuk Allah), bukan keraguan. Keraguan hanya mampu mencapai sesuatu yang
sebenarnya masih diragukan kebenarannya. Karena bagaimana mungkin keraguan
bisa memperoleh kepastian, jika di dalam kepastian itu sendiri masih terdapat
keraguan.
2. Pendekatan Rasional-Empiris
Selain Descartes, rasionalisme juga dikembangkan oleh Gottfried Wilhelm Leibniz
(1646-1716), dan Christian Wolf (1679-1754). Dalam pendekatan rasional
beranggapan bahwa betapapun bagusnya temuan ilmu pengetahuan, bila tidak rasional
(tidak diterima akal manusia) kebenarannya, maka temuan tersebut tidak akan diakui
sebagai kebenaran ilmiah.
Mekanisme kerja pendekatan rasional dalam epistemologi barat yaitu dengan
penggunaan pengujian rasio. Pengujian rasio berfungsi menentukan dan memperlancar
pengakuan terhadap konsep yang diyakini, apakah diterima sebagai suatu kebenaran
atau ditolak sebagai suatu kesalahan. Apabila konsep itu masuk akal, maka akan
diterima, namun bila bertentangan dengan akal tentu harus ditolak.

5
Semua konsep dan teori dalam rumpun ilmu selalu dilihat dari sudut pandang
pertimbangan rasio sehingga rasio/ akal sering dianggap sebagai dewa penyelamat.
Meskipun terdapat fakta yang benar-benar riil, tetapi sepanjang tidak bisa dinalar
dengan rasio maka kejadian itu tidak dapat dikategorikan sebagai ilmu. Contoh kasus
santet, ini tidak bisa digolongkan sebagai ilmu karena cara kerjanya tidak bisa diterima
oleh akal sehat.
Selain Rasionalisme, epistemologi barat juga mengakui Empirisme yang
merupakan lawan dari rasionalisme. Empirisme dikenalkan oleh Francis Bacon (1561-
1626), Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), George Berkeley
(1685-1753), dan David Hume (1711-1776). Jika rasionalisme memiliki pendapat,
bahwa pengetahuan dapat dicapai atau ditemukan melalui rasio(akal sehat), sedangkan
empirisme memandang pengalamanlah yang merupakan metode utama dalam
memperoleh pengetahuan baik pengelaman lahiriah(sensation) maupun pengalaman
batiniah (reflection). Empirisme menganggap segala sesuatu yang ada dalam
pikiran(rasio) berasal dari pengalamam inderawi, maka pengalaman inderawilah yang
berperan dalam memperoleh pengetahuan. Otak (rasio) itu asalnya kosong, baru
melalui pengalaman inderawi rasio itu terisi. Tetapi secara riil kedua metode tersebut
yaitu rasional dan empiris sama sama berperan dalam menemukan pengetahuan.
Walaupun metode rasional dan empiris dianggap sebagai sumber kebenaran
pengetahuan, ia tetap mempunyai kelemahannya masing masing. Dalam pendekatan
rasional seringkali menjadikan akal sebagai dewa penyelamat yang diyakini mampu
memberikan pemecahan masalah sedangkan pendekatan empiris selalu hanya
menghiraukan bukti tanpa memperdulikan sumber dari bukti tersebut yaitu berasal dari
Allah. Jadi walaupun begitu banyak metode untuk mendapatkan kebenaran
pengetahun, namun sesungguhnya segala kebenaran yang hakiki hanya bersumber dari
Allah.
3. Pendekatan Dikotomik
Dikotomik adalah pembagian atas dua konsep yang saling bertentangan. Dikotomik
pengetahuan ini muncul bersamaan dengan masa Renaissance di Barat. Sebelumnya
kondisi sosio religious maupun sosio intelektual di Barat dikendalikan oleh gereja.
Ajaran Kristen menjadi penentu kebenaran ilmiah dan temuan ilmiah dianggap sah
bila sesuai dengan doktrin gereja. Para ilmuan yang mempertahankan temuannya
yang tidak sesuai dengan doktrin tersebut akan mendapatkan tindakan kekerasan dari
pihak gereja. Oleh karena itu banyak ilmuan yang berkoalisi dengan raja untuk

6
menumbangkan kekuasaan gereja, yang kemudian muncul lah masa Renaissance yang
melahirkan sekulerisasi (pemisahan urusan dunia dan akhirat) dan dari sekulerisasi
inilah muncul dikotomi pengetahuan. Lahirnya sekuleritasi yang menimbulkan
dikotomi adalah dalam rangka membebaskan ilmuwan untuk berkreatif melalui
penelitian, penggalian, maupun percobaan ilmiah tanpa dibayang-bayangi ancaman
gereja.
Epistemology barat selalu berusaha memisahkan antara pertimbangan moral
dengan pertimbangan objektivitas. Karakteristik epistemology barat adalah dikotomi
anatara nilai dan fakta, realitas objektif dan nilai-nilai subjektif, antara pengamat dan
dunia luar. Dalam pandangan barat fakta tetap fakta, tidak bisa diwarnai oleh nilai-
nilai tertentu, terutama fakta-fakta eksakta. Misalnya, sifat air mengalir ke dataran
rendah adalah fakta eksakta yang tidak bisa dipengaruhi nilai apa pun. Epistemology
barat juga memisahkan antara pengamat dengan objek yang diamati karena objek
menyatakan fakta adanya, sedangkan pengamat selalu dipengaruhi oleh latar belakang
intelektual, sudut pandang, dan kecenderungannya dalam melihat suatu objek,
sehingga menimbulkan berbagai penafsiran. Maka dari itu, objek harus dinyatakan
sesuai dengan kenyataan yang ada padanya tanpa ditambahi dan dikurangi sedikitpun.
Epistemology barat yang bersifat dikotomis bagi ilmuwan barat adalah cara
terbaik untuk memperoleh kebenaran pengetahuan namun, berbahaya bagi dunia
Islam. Pandangan dikotomi dapat mengancam realisasi Islam dalam kehidupan
pribadi dan kebersamaan bermasyarakat, bahkan dikhawatirkan mendistrorsi akidah.
Akibat yang dirasakan dalam masyarakat ilmu, seni dan teknologi adalah wajarnya
pendapat yang berpendirian ilmu, seni dan teknologi adalah bebas nilai. Apa pun
keadaan dan bahkan kehancuran umat manusia tidak dihiraukan karena ilmu, seni dan
teknologi tidak mengemban misi untuk menyelamat kan manusia dari kehancuran.
4. Pendekatan Positif-Objektif
Ciri positif yang terdapat pada epistemology barat dipengaruhi oleh positivism, aliran
pemikiran filsafat yang digagas oelh Auguste Comte (19798-1857). Kata “positif”
sama artinya dengan factual (berdasarkan fakta-fakta). Bagi positivisme hanya yang
positif yang dapat dialami kebenarannya, ilmu yang tidak positif itu bukan ilmu yang
sebenarnya. Sesuatu yang berada di luar pengalaman inderawi tidak bisa dijadikan
sebagai metode epistemology dalam menetapkan pengetahuan, sebab tidak bisa
dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan riil.

7
Positivisme memiliki pengaruh besar di Inggris. Pikiran-pikiran Comte
diterima dengan baik oleh John Stuart Mill (1806-1873) dengan sedikit perbedaan
pandangan, dan Herbert Spencer (1820-1903) seorang tokoh teori evolusi yang
mendahului Charles Darwin. Dibeberapa Negara lain pikiran-pikiran Comte
memainkan peranan yang sangat penting dalam berbagai bidang pengetahuan.
Positivisme telah memainkan peran yang sangat penting dalam mewarnai corak
pengetahuan yang mendominasi seluruh dunia ini serba empiris, material, kausal,
kuantitatif, dualistic, reduksionis, proposisional, verifikatif, dan bebas nilai.
Implikasinya ilmu pengetahuan sekarang ini makin jauh dari “cita rasa” moral dan
spiritual.
Pendekatan yang dekat dengan pendekatan positif adalah pendekatan objektif.
Pendekatan objektif yang paling “radikal” terdapat pada pikiran-pikiran Karl Raimund
Popper. Pendekatan objektif yang dimaksud adalah pendekatan yang memandang
pengetahuan manusia sebagai suatu system pernyataan atau teori yang dihadapkan
apda diskusi kritis, ujian intersubjektif atau kritik timbal balik. Pendekatan objektif ini
berusahan membersihkan pengetahuan dari subjektivitas orang yang
mengembangkannya lantaran factor agama, biografi intelektual, ideology, adat,
ataupun kepentingan golongan tertentu.
Dalam realitasnya, pendekatan objektivis ini menumbuhkan kejujuran
intelektual (intellectual honesty) dan keterbuakaan. Pendekatan objektivis adalah
pendekatan yang dipakai ilmuwan untuk menyatakan fakta adanya sesuai dengan
kenyataan yang sesunggunya tanpa ada tekanan dan pesanan tertentu, segingga tidak
satupun aspek ilmu pengetahuan yang perlu disembunyikan atau ditutupi dari gugatan
pemikiran-pemikiran rasional dan argumentative.
Pendekatan objektivis ini menghasilkan konsekuansi seperti kontinuitas kritik.
Akibatnya, apa yang dianggap benar, suatu saat ketika terbukti tidak mampu bertahan
dari kritikan harus diakui sebagai susuatu yang salah. Ilmu dianggap benar bila mampu
bertahan dari kritik secara keras, jika ilmi tidak lagi mampu bertahan dari kritikan
berarti pudarlah kebenarannya. Dalam sejarah pengetahuan di dunia tradisi kritik telah
menghasilkan kemajuan luar biasa. Filsafat mampu berkembang di Yunani lantaran
tradisi kritik dan pada zaman kejayaan Islam, tradisi kritik dibudayakan oleh para
ilmuwan muslim, baik dalam lapangan filsafat, ilmu kalâm, fiqh, hadîs, dan
sebagainya. Setelah tradisi kritik itu padam, dunia Islam menjadi tertinggal. Kemudian
tradisi kritik dibawa ke dunia Barat, sehingga Barat modern sekarang mencapai

8
puncak kemajuan. Bagi dunia barat modern pendekatan objektif terus ditingkatnkan
dalam kerangka epistemologinya. Hal ini sekaligus menolak pendekatan subjektif yang
dianggap membahayakan dinamika ilmu pengetahuan.
5. Pendekatan yang Menentang Dimensi Spiritual (Anti Metafisika)
Corak pemikiran filosofis yang berkembang pada tiap zaman memiliki ciri yang
berbeda. Filsafat zaman kuno bersifat “kosmosentris” yang berusaha mengungkapkan
asal-usul alam semesta, filsafat abad pertengahan bersifat “teosentris” menekankan,
bahwa Allah adalah asal-usul alam semesta, atau dalam bentuk lain menyelaraskan
hubungan agama dan filsafat. Adapun filsafat zaman modern bersifat “antroposentris”
menekankan, bahwa pusat kenyataan berada dalam diri manusia sendiri, seperti
tampak pada pemikiran Rene Descartes dan sederet panjang para pengikutnya hingga
sekarang.
Dalam wilaya epistemologi filsafat modern memberikan kepercayaan kepada
manusia dengan segala potensinya untuk mencari cara, metode atau pendekatan yang
efektif dan terandalkan dalam menggali pengetahuan. Ilmu pengetahuan, termasuk
filsafat, hanya menyelidiki fakta-fakta dan hubungan yang terdapat antara fakta-fakta.
Metafisika, baik dalam pengertian leterlek dan pengertian yang biasa digunakan filosof
engan makna sesuatu yang berda di balik alam (mâ warâ’a al-tabîah) maupun
bersember dari agama berupa persoalan-persoalan akhirat atau alam baka bagi
positivism ditolak, karena tidak dalam bentuk fakta, tidak bisa diukur, tidak bisa diuji,
tidak bisa dikuantitatifkan, dan tidak bisa diamati secra inderawi.
Pandangan yang menempatkan indera pada posisi istimewa dalam menentukan
pengetahuan cenderung bersifat materialistic dan menjaadikan manusia sebagai
sandaran semua problem kehidupan keseharian. Manusia diyakini mampu menentukan
kesulitan-kesulitannya sendiri tanpa melibatkan unsur-unsur di luar dirinya. Sebagai
implikasinya, ilmuwan-ilmuwan modern tidak memerlukan petunjuk atau bantuan
spiritual dalam kerja ilmiahnya. Ketrlibatan unsur-unsur spiritual dipandang tidak
perlu dan bahkan merusak cara kerja ilmiah.
Sains modern Barat tidak membangun keseimbangan antara orientasi
antroposentris dengan teosetris, sehingga ia bisa berkembang dengan cepat, tetapi
kehilangan nilai-nilai ketuhanan. Paradigm berbikir para ilmuwan yang dikembangkan
hingga kini adalah paradigma ilmiah, yaitu kerangka berpikir yang menekankan
kelogisan, objektif, empris, sistematis, dan metodis. Sementara menurut pengamatan
Jalaluddin, paradigm ‘irfâniah tidak pernah dibicarakan lagi karena dianggap tidak

9
ilmiah dan kenyataannya memang benar- sebagaimana paradigma ilmiah juga tidak
‘irfâniah.
Paradigma ‘irfâniah tidak hanya mengikuti kaidah-kaidah ilmiah, tetapi juga
“kaidah-kaidah” supra ilmiah, karena paradigm ini mendasarkan pada wahyu Tuhan.
Wahyu Tuhan memiliki wilayah cakupan yang komprehensif dan holistic mulai dari
dogma, doktrin, hal-hal rasional dan hal-hal suprarasional. Suprarasional memiliki
substansi pemahaman di atas jangkauan akal, tetapi tidak bertentangan dengan akal.
Maka paradigm ‘irfâniah sebenarnya lebih dari sekedar paradigm ilmiah, karena
menjangkau persoalan-persoalan yang berada di luar kemampuan akal dan hanya dapat
dicapai melalui bantuan wahyu Tuhan. Namun, pengetahuan barat modern menolak
pengaruh wahyu dan tidak memasukkan level wahyu sebagai satu tingkat pengetahuan.
Rasinonalime umumnya menolak wahyu sebagai sumber pengetahuan. Hanya
penelaran, melalui metode deduktif dan induktif yang dapat menghasilkan penjelasan
yang diandalkan. Wahyu tidak pernah dipertimbangkan sebagai suatu kebenaran
ilmiah selagi penjelasan itu tidak diperkuat oleh hasil penelaran dan terutama
pembuktian. Sikap menolak wahyu maupun keberadaan Tuhan memiliki konsekuensi
menolak agama mengingat agama bersandar pada wahyu Tuhan. Alasan untuk
mengeluarkan agama secara total dari epistemology Barat karena mereka berdalih
mewujudkan objektivitas sebagi salah satu syarat keilmiahan, menyebabkan konsep-
konsep normative agama dianggap tidak diperlukan dan justru dianggap merusak
validitas ilmu pengetahuan. Konsep-konsep agama sering kali bersifat doktriner, tanpa
melalui pengujian dan seringkali tidak dapat diuji karena itu demi mencapai kebenaran
ilmu pengetahuan yang terandalkan, epistemology barat dibersihkan dari pengaruh
normative agama.

EPISTEMOLOGI ISLAM

2.3 Konsep Ilmu Pengetahuan


Ada beberapa istilah yang dipakai untuk menyebutkan ilmu pengetahuan, seperti istilah
ilmu, pengethuan, al-‘ilm dan sains. Seringkali untuk menyederhanakan masalah,
keempat istilah tersebut bebas digunakan dalam wacana keilmiahan tanpa dikaitkan
dengan konotasi-konotasi pemahaman yang spesifik dan memiliki kandungan makna
yang tidak sama bukan sekadar karena faktor asal-usul bahasa, melainkan juga substansi
makna yang dikandung masing-masing istilah tersebut. Masing-masing istilah tersebut

10
memiliki perbedaan jangkauan makna dan bobot kebenaran setidaknya dalam pandangan
pengkajinya.
Hal ini menunjukkan, bahwa kita tidak bisa dengan sesuka hati memakai dua istilah
dengan maksud yang sama. Misalnya, ketika kita menggunakan istilah pengetahuan
sebaiknya segera diikuti dengan pemahaman sebagai pengalaman sehari-hari yang belum
menjadi suatu bangunan sistemik, sehingga belum bisa disamakan dengan ilmu. Dari segi
proses bangunan tersebut tahapan pengetahuan mendahului tahapan ilmu. Bobot
kebenarannya pun berbeda; bobot kebenaran ilmu lebih tinggi, daripada pengetahuan.
Dalam kasus lain, jika kita menggunakan secara bergantian istilah ilmu dan sains untuk
maksud ilmu pengetahuan yang sebenarnya secara teliti juga tidak tepat karena istilah-
istilah itu muncul dilatarbelakangi tradisi intelektual yang berbeda.
Dalam konteks Islam, sains tidak menghasilkan kebenaran absolut. Istilah yang paling
tepat untuk mendefinisikan pengetahuan adalah al-‘ilm, karena memiliki dua komponen.
Pertama, bahwa sumber asli seluruh pengetahuan adalah wahyu atau Alquran yang
mengandung kebenaran absolut. Kedua, bahwa metode mempelajari pengetahuan yang
sistematis dan koheren semuanya sama-sama valid; semuanya menghasilkan bagian dari
satu kebenaran dan realitas –bagian yang sangat bermanfaat untuk memecahkan masalah
yang sedang dihadapi. Dua komponen ini menunjukkan, bahwa al-‘ilm memiliki akar
sandaran yang lebih kuat dibandinga sains dalam versi Barat. Akar sandaran al-‘ilm justru
berasal langusng dari yang Maha Berilmu, Tuhan yang secara teologis diyakini sebagai
Sang Penguasa segala-galanya.
Wahyu sebagai sumber asli seluruh pengetahuan memberi kekuatan yang sangat besar
terhadap bangunan pengetahuan bila mampu mentransformasikan berbagai bentuk ajaran
normatif-doktriner menjadi teori-teori yang bisa diandalkan. Di samping itu, wahyu
memberikan bantuan intelektual yang tidak terjangkau oleh kekuatan rasional dan
empiris, sehingga pengetahuan yang berdasarkan wahyu memiliki khazanah intelektual
yang lebih lengkap daripada sains. Wahyu bisa dijadikan sebagi sumber pengetahuan baik
oada saat seseorang menemui jalan buntu ketika melakukan perenungan secara radikal
maupun dalam kondisi biasa, artinya wahyu bisa dijadikan rujukan pencarian
pengetahuan yang bersumber dari wahyu memiliki sambungan vertikal, yakni Allah
sebagai pemilik ilmu di seluruh alam jagat raya ini,
Realitas ini selanjutnya memiliki perbedaan bobot kualitas kebenaran. Pengetahuan
yang bersumber pada wahyu, sebagaimana disebut al-‘ilm tersebut memiliki bobot
kualitas yang lebih tinggi daripada sains. Keunggulan ini akan semakin kokoh dengan

11
dukungan penggunaan merode yang valid, sehingga pengetahuan yang dihasilkan tidak
secara keseluruhan apriori terhadap wahyu, tetapi juga melalui tahapan-tahapan
mekanisme kerja ilmiah. Banyak ayal Alquran yang berkenaan dengan fenomena alam
dan secara ilmiah terbuktukan kebenarannya. Alquran tidak hanya memberikan doktrin-
doktrin yang bersifat dogmatis, tetapi juga memberikan peluang terhadap para ilmuan
yang mengadakan penelitian terhadap bukti kebenaran ayat-ayatnya sebatas berada pada
wilayah yang bisa diteliti. Di luar wilayah peneliti itu berarti penelitian yang tidak mampu
menjangkau, kita tidak bisa menyalahkan Alquran. Justru dalam wilayah yang tidak
terjangkau oleh pemikiran ilmiah inilah yang merupakan kelemahan sains dan sekaligus
keunggulan al-‘ilm yang bersumber pada wahyu.
Al-‘ilm meletakkan nilai-nilai di permukaan agar jelas dan menjadikan nilai-nilai
tersebut sebagai aturan main yang harus ditaati. Berbeda dengan al-‘ilm, sains modern
Barat terlanjur mempercayakan manusia mampu memecahkan segala sesuatu melalui
kemampuan berpikirnya. Ternyata, masih banyak yang tidak terpecahkan oleh kerja pikir
manusia, meskipun termasuk wilayah penelitian, apalagi terhadap wilayah yang tidak bisa
diteliti, manusia tentu tidak memiliki kesanggupan sama sekali untuk mengungkapkan
rahasia-rahasianya. Sedangkan al-ilm mengakui keterbatasan-keterbatasan manusia dalam
menangkap pengetahuan, sehingga dalam wilayah yang tidak bisa ditangkap manusia ini
al-‘ilm menyadarkan pada bantuan wahyu. Allahlah yang menggenggam rahasia-rahasia
itu kemudian diinformasikan kepada manusia melalui wahyu. Maka ajaran wahyu ada
yang berkenaan dengan fisik dan metafisik, empiris dan metaempiris, bentuk dan
substansi.
Konsep al-‘ilm melampaui wilayah-wilayah yang biasa dijadikan pemetaan, secara
sistemik, yaitu suatu konsep ilmu yang tidak hanya tersusun dari segi-segi apa (ontologi),
bagaimana (epistemologi), dan untuk apa (aksiologi), tetapi juga dari segi-segi darimana,
kenapa dan mau kemana. Konsep ilmu yang demikian ini barulah dapat disebut all-
comprehensive, apabila telah melalui pengujian dengan menggunakan tolok ukur dengan
sistem nilai; benar-salah, baik-buruk, halal-haram, adil-zalim, dan manfaat-madarat. Al-
‘Ilm memandang, bahwa permasalahan-permasalahan ilmu pengetahuan pada tingkat
elementer saja, tidak mungkin tuntas hanya dilihat dari ontologi, epistemologi dan
aksiologi, tetapi juga dari segi seumbernya, alasannya, arahannya dan sebagainya.
Dari segi sumbernya, perbedaan-perbedaan yang terjadi pada al-‘ilm dengan sains
dapat diketahui dengan jelas hingga konsekuensi-konsekuensinya. Sumber pengetahuan
ini memainkan peranan penting untuk mengetahui jangkauan pengetahuan yang

12
diperoleh, karakternya, tingkat manfaat yang dapat dirasakan, kemungkinan bahaya yang
ditimbulkan, segi-segi etika bagi kehidupan manusia, pengaruh terhadap kecenderungan-
kecenderungan sikap manusia, kualitas kebenaran dan sebagainya.
Di kalangan Muslim telah memiliki landasan teologis, bahwa surah al-‘alaq: 1-5
diterima sebagai informasi bahwa Allah Swt. itulah sumber segala ilmu yang kemudian
diajarkan kepada manusia. Mereka meyakini asal (origin) ilmu itu adalah Allah sendiri,
Pencipta alam semesta yang diperuntukkan bagi hamba-Nya. Sedangkan ilmuwan adalah
peramu butiran-butiran ilmu dalam tataran sistemik yang disebut manusia dalam nama-
nama yang disepakati bersama demi kemudahan menggaulinya. Jika disebut hukum
Newton, pada dasarnya adalah hukum Allah yang diberlakukan di dalam alam semesta
yang biasa disebut sunnatullah atau law of nature yang kebetulan dipopulerkan oleh
Newton. Sebab apa pun yang ditemukan oleh Newton sebagai gejala alam sejak semula
telah terjadi, sebagaimana hasil temuannya itu. Hanya Newton memang berjasa
memberikan penjelasan-penjelasan secara konseptual dan rasional terhadap fenomena-
fenomena alam tersebut. Jadi, pada hakekatnya, Allahlah yang memiliki hukum itu,
sedangkan Newton hanya memperkenalkan hukum Allah itu melalui penjelasan-
penjelasan yang bisa diterima oleh akal manusia.
Oleh karena itu, terdapat sebutan scientist dan seniman yang memetik butiran ilmu
dan seni, bukan sebagai “investor” atau “creator” (istilah-istilah Barat uang dapat
menyebabkan kerancuan sekaligus memungkinkan penyelewengan akidah). Maka,
manusia sangat dimotivasi untuk melakukan tindakan-tindakan kreatif dan produktif,
seperti; perenungan, pengamatan, penelitian dan penggalian terhadap hukum-hukum
Allah yang diberlakukan pada alam semesta itu. Tuhan sengaja tidak mengungkapkan
teori-teori pengetahuan melalui kitab suci mengingat kitab suci itu berfungsi sebagai buku
petunjuk dari kerusakan menuju perbaikan perilaku, bukan buku sains.
Adapun tradisi pengetahuan di kalangan ilmuan Barat pada satu sisi justru telah
mengamalkan dorongan untuk bersikap kreatif dan produktif. Mereka memiliki tingkat
keseriusan yang bisa diandalkan dalam melakukan kegiatan-kegiatan keilmuan, sehingga
banyak temuan, baik di bidang sains maupun teknologi belakangan ini berasal dari Barat
sehingga Barat sedang menjadi “kiblat” bagi ilmuwan dan teknolog di seluruh dunia,
setidaknya dua abad terakhir ini. Akan tetapi, pada sisi lain keseriusan mereka dalam
menggali ilmu telah terlalu jauh menyimpang dari norma-norma kemanusiaan yang
mestinya perlu diperhatikan. Inilah sisi kelemahan tradisi keilmuan Barat yang perlu kita

13
luruskan melalui kerangka pemikiran yang sesuai dengan ajaran-ajaran Islam yang
terangkum dalam Alquran dan Sunah Rasul.
Dalam hal sumber dan metode ilmu, tampaknya ilmu dalam Islam bertentangan
dengan filsafat dan sains modern. Kita memandang bahwa ilmu datang dari Tuhan, dan
diperoleh melalui sejumlah saluran; indera yang sehat, laporan yang benar yang
disandarkan pada otoritas, akal yang sehat, dan intuisi. Dalam tradisi sains Barat,
kebenaran yang didasarkan pada otoritas ilmiah tidak bisa diterima, karena penerimaan
kebenaran itu berdasarkan kepada keahlian seseorang, tanpa kritik dan pengujian,
sehingga yang menerima kebenaran itu hanya bersikap apriori. Begitu pula dengan
intuisi, seseorang memberikan penilaian tanpa didahului perenungan dan tidak terdapat
langkah-langkah yang sistematik serta terkendali, sehingga pengetahuan yang dicapai
melalui intuisi sulit dipercaya. Sebaliknya, dalam pandangan Islam otoritas dan terutama
intuisi tersebut dapat dipertimbangkan sebagi salah satu saluran ilmu yang bisa diperoleh
manusia.
Islam memandang, bahwa sumber utama ilmu adalah Allah. Selanjutnya, Allah
memberi kekuatan-kekuatan kepada manusia. Secara terinci, Islam mengakui, bahwa
sumber atau saluran ilmu lebih banyak dari sekadar yang diakui oleh ilmuwan Barat. Al-
Syaibany mengatakan, bahwa pengalaman langusng, pemerhatian dan pengamatan indera
hanya sebagian dari sumber-sumber tersebut. Banyak lagi sumber lain dan barangkali
yang paling penting dan paling menonjol adalah : percobaan-percobaan ilmiah yang halus
dan teratur; renungan pikiran dan pemikiran akal, bacaan dan telaah terhadap
pengalaman-pengalaman orang-orang dulu; perasaan, rasa hati, limpahan dan celik akal;
dan bimbingan Ilahi. A. Yusuf Ali meringkas sumber pengetahuan itu menjadi tiga saja,
yakni wahyu, rasio dan indera. Menurut pola Alquran, pengetahuan tersebut (al-‘ilm)
diperoleh melalui wahyu atau penobatan secara ketuhanan pengetahuan yang absolut
(haqq al-yaqin, rasionalisme atau kesimpulan yang didasari pada keputusan dan
penilaian/pengharapan fakta-fakta ( al-‘ilm al-yaqin), dan melalui empirisme dan
persepsi, yaitu dengan menggunakan observasi, eksperimen, laporan sejarah, deskripsi
pengalaman-pengalaman kehidupan dan semacamnya (‘ain al-yaqin). Ketiga sumber ini
memiliki bobot kebenaran yang berbeda secara bertingkat. Pengetahuan yang diperoleh
melalui indera yang disebut dengan ‘ain al-yaqin itu dalam batas-batas pengamatan
indera bisa dibenarkan. Namun, ternyara apa yang dinyatakan oleh indera secara kolektif
tidak selalu benar, jika dilihat realitasnya secara ilmiah. Maka rasio tidak puas dengan
kebenaran yang telah dicapai oleh indera tersebut dan sebagai konsekuensinya rasio

14
melakukan perenungan-perenungan untuk mendapatkan pengetahuan yang kebenarannya
bisa dipercaya yang disebut dengan ‘ilm al-yaqin tersebut. Betapa pun rasio berusaha
keras mencapai pengetahuan yang bisa dipercaya kebenarannya, tetapi kemampuan rasio
manusia sangat terbatas, sehingga tidak jarang rasio kesulitan bahkan tidak mampu
menembus “wilayah gelap (misteri)”. Dalam kondisi demikian ini rasio memerlukan
bantuan spiritual dengan mengikuti wahyu untuk mendapatkan pengetahuan yang disebut
dengan haqq al-yaqin. Dengan pengertian lain, haqq al-yaqin lebih tinggi, daripada ‘ilm
al-yaqin, sedang ‘ilm al-yaqin lebih tinggi, daripada ‘ain al-yaqin.
Pengetahuan yang diperoleh melalui wahyu berangkat dari sikap percaya atau bahasa
agamanya iman terhadap pertanyaan-pertanyaan wahyu, tanpa koreksi sama sekali,
sehingga bersifat apriori. Pengetahuan yang diperoleh melalui rasio bertolak dari
sejumlah pertanyaan untuk mendapatkan jawabannya. Dari proses kerjanya, rasio sering
memanfaatkan logika sebgai parameter untuk mengukur kebenaran pengetahuan yang
akan dicapai. Sedangkan pengetahuan yang dicapai melalui indera selalu didasarkan pada
pengamatan terhadap fakta-fakta secara empiris. Benar salahnya pengetahuan akan diukur
dari pengamatan terhadap fakta-fakta atau kenyataan yang ada.
Ifran Akhmad Khan menyatakan, bahwa menurut anjuran Alquran sumber-sumber
pengetahuan pada dasarnya ada tiga, yaitu sama’ (pendengaran), basar (penglihatan) dan
fu’ad (hati). Fu’ad adalah yang terpenting di antara ketiga sumber/kemampuan itu.
Adapun sumber atau kemampuan yang keempat adalah wahyu. Pengetahuan yang
dihasilkan oleh indera disebut pengetahuan empirik. Sebagaimana disebutkan di muka,
bahwa kualitas kebenaran pengetahuan ini tergolong paling rendah kendati juga masih
ada kebenaran yang diperoleh. Oleh karena itu, ilmu dalam Islam berdasarkan intelek,
yang mengarahkankan rasio untuk membentuk ilmu yang bertopang pada kesadaran dan
keimanan terhadap kekuasaan Allah. Inilah ilmu yang menjadi petunjuk (hidayah) dari
kegelapan menuju terang (nur). Suatu ilmu yang mengemban misi kesejahteraan hidup
manusia, dunia maupun akhirat. Dalam ilmu ini intelek diperankan sebagai media untuk
melakukan terobosan-terobosan pemikiran, penajaman-penajaman gagasan, perenungan-
perenungan terhadap fenomena alam, baik yang eksakta maupun sosial, dan penggalian-
penggalian khazanah keilmuan. Sedangkan keimanan diposisikan sebagai pemberi
bimbingan dan pengarahan terhadap arah-arah yang ingin dituju oleh pengembaraan
intelek. Betapapun intelek diberi kesempatan untuk melakukan pengembaran penalaran
secara maksimal, tetapi dalam batas-batas yang dapat dikontrol oleh keimanan terhadap
kekuasan Allah, sehingga dapat menghasilkan ilmu pengetahuan yang memberi kesadaran

15
kepada manusia untuk mengetahui jati dirinya sendiri, yaitu suatu identitas diri yang tetap
sebagai hamba Allah yang diberikan kepercayaan untuk berkreasi.
Corak ilmu yang demikian ini cukup membedakan dengan ilmu pengetahuan positif
yang sekarang mendominasi sains modern. Ilmu pengetahuan positif tidak memberikan
jalan keluar (solusi). Ia menghasilkan hukum-hukum dan imperatif-imperatif yang tidak
bias ditawar-tawar sekaligus tidak menyediakan tempat bagi kehendak atau nilai-nilai
manusiawi. Sedangkan ilmu dalam Islam kendatipun tetap menyajikan suatu tawaran
pengembangan intelektual, tetapi tetap mempertahankan nilai-nilai manusiawi. Artinya ia
mendudukkan nanusia pada posisi yang sesungguhnya, dan memberi kepercayaan kepada
manusia tetap dalam batas-batas kapasitasnya, sehingga tidak melangkahi peran Tuhan.
Dari segi sumber pengetahuan dan alat memperolehnya, pengetahuan dapat dibagi
menjadi: pengetahuan saintifik, pengetahuan logika, pengetahuan intuisi dan perasaan,
pengetahuan ilham dan kasyaf, dan pengetahuan yang diwahyukan. Sedangkan Ibn Butlan
(w. 496/ 1068) menyederhanakan klasifikasi ilmu menjadi tiga cabang besar saja: ilmu-
ilmu (keagamaan) Islam, ilmu-iimu filsafat dan ilmu-ilmu alam, dan kesusatraan.
Hubungan antara ketiga cabang ini digambarkan sebagai segi tiga: sisi sebelah kanan
adalah ilmu agama, sisi sebelah kiri ilmu Filsafat dan ilmu alam, dan sisi bawah adalah
kasusastraan.la Dua macam pembagian ilmu pengetahuan ini tampak berbeda. Terlepas
dari perbedaan ia, yang jelas keduanya memiliki perhatian dan menegaskan, bahwa
memang ada ilmu-ilmu yang bersumber dari wahyu Tuhan secara langsung. Hanya saja
upaya penyederhanaan Ibn Butlan tersebut menghasilkan dikotomi antara ilmu-iimu
Islam dan non Islam yang akhir-akhir ini menjadi persoalan serius karena banyak
ditentang oleh pemikir Muslim kontemporer. Sebenarnya, pemikir-pemikir Islam lainnya
juga menaruh perhatian pada klasifikasi iimu pengetahuan itu, seperti Al-Farabi, Al
Ghazali maupun Quthb Al Din Al Syirazi. Mereka menawarkan klasifikasi yang tidak
seragam. Kendati demikian, lagi-lagi mereka sepakat untuk mengakui adanya ilmu yang
bersumber dari agama.
2.4 Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Hegemoni sains dan teknologi Barat atas masyarakat negara-negara di seluruh dunia
membawa pengaruh yang sangat besar terhadap gaya, corak dan pandangan kehidupan
masyarakat. Mereka seperti tak sadarkan diri mengikuti pola-pola pemikiran dari sains
Barat, sehingga cara-cara berpikirnya, cara pandangnya, dan persepsinya terhadap sains
dan hal-hal terkait yang menjadi implikasinya menjadi terbaratkan. Dalam sejarahnya,
sains Barat modern dibangun atas dasar semangat kebebasan dan penentangan terhadap

16
doktrin ajaran Kristen, sehingga ia mencoba menampilkan pola berpikir yang berlawanan
dengan tradisi pemikiran agama (Kristen) sebagai antitesis. Misi yang paling menyolok
yang disisipkan ke dalam sains Barat modern itu adalah sekulerisasi. Pada akhirnya,
konsep sekulerisasi ilmu pengetahuan itu menjadi opini publik pada tingkat global. Ada
beberapa kelompok masyarakat yang paling dirugikan akibat penerapan konsep
sekulerisasi pengetahuan Barat modern itu. Mereka adalah kelompok-kelompok
masyarakat yang memiliki ikatan moral dengan ajaran agamanya, terutama masyarakat
Muslim. Ketika mengikuti arus perkembangan sains modern dari Barat, mereka secara
sadar maupun “terpaksa” harus menggantikan nilai-nilai religius mereka dengan nilai-
nilai sekuler yang sangat kontras. Selama ini agama Islam dipedomani sebagai juklak
dalam menempuh kehidupan sehari-hari. Tidak ketinggalan juga, agama diyakini
memiliki peranan untuk mewarnai bangunan ilmu pengetahuan dan unsur-unsur lain yang
terkait. Namun kenyataannya, masyarakat Muslim seolah dipaksa untuk melaksanakan
ajaran sekuler (sekulerisme) dalam seluk beluk kehidupan lantaran derasnya arus
sekularisasi. Secara riil sekarang ini mereka semakin menjauhi nilai-nilai religius Islam.
Kondisi inilah yang menjadi keprihatinan para pemikir Muslim, sebab bisa
membahayakan keimanan (akidah) Islam. Berkaitan dengan keprihatinan itu, mereka
sedang menggagas islamisasi pengetahuan sebagai upaya untuk menetralisir pengaruh
sains Barat modern sekaligus menjadikan Islam sebagai paradigma ilmu pengetahuan.
Mereka berupaya membersihkan pemikiran-pemikiran Muslim dari pengaruh negatif
kaidah-kaidah berpikir ala sains modern, sehingga pemikiran Muslim benar-benar steril
dari konsep sekuler. Al-Attas mengatakan, bahwa islamisasi ilmu berarti pembebasan
ilmu dari penafsiran-penafsiran yang didasarkan pada ideologi sekuler, dan dari makna-
makna serta ungkapan-ungkapan manusia sekuler.
Usaha tersebut sangat berat, karena harus mengerahkan seluruh potensi para ilmuwan
Muslim yang mengacu pada petunjuk wahyu Tuhan. Ini baru beban secara teknis, belum
lagi beban psikologis. Secara psikologis mengembalikan cara pandang atau persepsi
masyarakat Muslim terhadap konsep-konsep ilmu pengetahuan yang telah lama
tersekulerkan dan terbaratkan menuju persepsi yang sarat nilai-nilai Islam bukanlah
pekerjaan yang ringan. Pekerjaan ini membutuhkan keuletan-keuletan sikap, sosialisasi
yang gencar, proses secara kontinyuitas, di samping tentu saja argumentasi-argumentasi
yang tidak saja cukup rasional, tetapi lebih dari itu semua seyogyanya mampu
mengungguli argumentasi-argumentasi yang dibangun para ilmuwan Barat. Kita
menyadari, bahwa ilmuwan-ilmuwan Barat dalam mendasari ilmu pengetahuannya

17
dikenal sangat rasional, mengingat bahvya salah satu pendekatan yang diandalkan dalam
membangun kerangka ilmu pengetahuan adalah pendekatan rasional. Hanya saja masih
ada celah-celah kelemahan hasil pemikiran mereka itu, jika dicermati secara mendalam,
apalagi ditinjau dari perspektif pesan-pesan Islam.
Celah-celah kelemahan itulah yang dijadikan alasan perlunya islamisasi. Upaya
islamisasi pengetahuan ini memiliki tujuan cuman yang jelas sekali, yakni secara
substansial adalah untuk meluruskan pemikiran- pemikiran orang Islam dari
penyelewengan-penyelewengan sains modern yang sengaja ditanamkan. Fazlur Rahman
menyarankan, bahwa tujuan kaum Muslim untuk mengislamkan beberapa ilmu
pengetahuan tidak akan bisa dicapai sepenuhnya, kecuali bila mereka secara efektif
melaksanakan tugas intelektual memerinci suatu metafisika Islam yang berdasarkan
Alquran. Suatu pandangan dunia Islam pertana-rama haruslah, kalaupun untuk sementara,
diupayakan apabila berbagai lapangan khusus dari upaya-upaya intelektual mau
dikoherenkan sebagai dijiwai oleh Alquran.
Metafisika Islam, sebagaimana mengikuti perunjuk-perunjuk wahyu Allah (Alquran
dan sunnah) bukan hanya terdiri atas apa yang disebut sebagai sesuatu di balik alam (ma
wava’a al-tabi’ah) secara kealaman, melainkan juga kalau dijabarkan bisa meliputi,
persoalan-persoalan spiritual, kegaiban, eskatologis, dan berita-berita yang bakal terjadi
di dunia yang penuh misteri. Dalam persoalan-persoalan demikian kontribusi akal kecil
sekali, hampir semuanya disandarkan pada petunjuk-petunjuk wahyu Allah yang memang
lebih komprehensif kandungannya dibanding dengan buku-buku ilmiah.
Sementara itu, menurut Ismail Raji Al-Faruqi, kewajiban pemikir Muslim adalah
melakukan islamisasi, untuk mendefinisikan dan menerapkan relevansi Islam hingga ke
item-itemnya di dalam kehidupan sehari-hari.Bahkan lebih jauh lagi, dia telah
menawarkan konsep operasionalnya berupa iangkah-langkah proses islamisasi
pengetahuan:
1. Penguasaan disiplin ilmu modern: penguraian kategoris,
2. Survei disiplin ilmu,
3. Penguasaan khazanah Islam: sebuah ontologi,
4. Penguasaan khazanah ilmiah Islam tahap analisis,
5. Penentuan relevansi Islam yang khas terhadap disiplin-disiplin ilmu,
6. Penilaian kritis terhadap disiplin ilmu modern: tingkat perkembangannya di
masa kini,

18
7. Penilaian kritis terhadap khazanah Islam: tingkat perkembangannya dewasa
ini,
8. Survei permasalahan yang dihadapi umat Islam,
9. Analisis kreatif dan sintesis,
10. Penuangan kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka Islam: buku-
buku daras tingkat universitas,
11. Penyebarluasan ilmu-ilmu yang telah diislamkan.
Langkah-langkah yang ditawarkan ini memang cukup operasional, untuk memproses
pelaksanaan islamisasi ilmu pengetahuan, meskipun begitu masih ada pemikir yang tidak
menyepakati tawaran tersebut di kalangan yang dikenal ikut merintis islamisasi
pengetahuan, seperti Ziauddin Sardar. Dia memiliki tawaran sendiri dalam proses
pelaksanaan islamisasi pengetahuan dan kebetulan berbeda dengan konsep Ismail Raji Al-
Faruqi. Persoalan ini sebenarnya hanya menyangkut perbedaan teknis semata yang tidak
perlu dipertajam dalarn bahasan ini. Sedangkan substansi persoalannya relatif sama,
kedua-duanya menghendaki upaya maksimal untuk melaksanakan proses islamisasi
pengetahuan. Kesepakatan ini tercapai setelah keduanya sama-sama merasakan
keprihatinan terhadap pengaruh perkembangan sains modern terhadap masa depan
tatanan kehidupan umat Islam. Mereka mengalami ketertinggalan dalam segala bidang
kehidupan, bahkan yang paling parah telah timbul gejala, bahwa mereka semakin
menjauh dari tatanan Islam yang semestinya. Hal ini merupakan agenda utama yang ingin
diluruskan melalui islamisasi pengetahuan.
Oleh karena itu, apabila gagasan bagi modernisasi ilmi-ilmu Islam yang lama dan
islamisasi ilmu-ilmu yang baru mau diciptakan, maka kedua tonggak orisinal Islam ---
Alquran dan sunnah, mesti ditegakkan kembali dengan tegar agar semua konformitas-
konformitas dan deformitas-deformitas Islam historis bisa dinilai dengan jelas olehnya.23
Bagaimana pun bagi kaum Muslim, Alquran dan Muhammad (sunnah) merupakan
sumber atau landasan bagi aktivitas berpikir mereka. Kedua sumber itu harus senantiasa
difungsikan untuk menjadi pedoman atau juklak dalam menilai aktivitas berpikir mereka
mulai dari kerangka berpikir, tujuan berpikir, cara-cara berpikir dan orientasi berpikirnya.
Dari kedua sumber itulah bisa diketahui apakah kegiatan berpikirnya mengarah pada
hasil-hasil yang positif-konstruktif sesuai dengan ajaran-ajaran Islam, atau mengarah pada
hasil-hasil yang negatif-destruktif yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Berdasarkan fungsi Alquran dan sunnah tersebut dalam kegiatan berpikir manusia
Muslim, maka tidak ada ilmu pengetahuan yang dapat mengklaim dirinya sepenuhnya

19
islami, bila metodologi yang digunakan tetap berakar dari paradigma sains modern.
Metode keilmuan ini harus diislamisasikan terlebih dahulu, sebab bagi orang-orang non-
Muslim Barat, metode itu menghasilkan ilmu yang sifatnya netral; walaupun
kebenarannya sudah dianggap objektif, namun, objektivitas itu belum dapat diterima oleh
Allah, karena kebenaran hanya ditunjukkan atau diberitahukan dalam Alquran.
Kebenaran yang dicapai metode Barat, jika ternyata riil, maka hanya sementara sifatnya,
dan kebenaran yang objektif tersebut suatu ketika tertandingi oleh kebenaran yang juga
mengklaim objektif. Hanya saja, para ilmuan dan pemikir Muslim dibebani untuk
mencari atau menggali bukti kebenaran itu. Sedangkan kebenarannya sudah ada, tinggal
menelusuri bukti-buktinya.
Bukti kebenaran itu dapat dicapai melalui percobaan-percobaan ilmiah terhadap
petunjuk-petunjuk Alquran. Maka ada perbedaan mekanisme kerja dalam mencapai
kebenaran di kalangan ilrnuwan Barat dengan ilmuwan Muslim. Jika metode keilmuan
Barat dipakai untuk mendapatkan kebenaran objektif yang sifatnya masih sementara,
maka kebenaran wahyu telah ditunjukkan lebih dahulu secara pasti, baru dicari bukti-
bukti kebenarannya melalui metode-metode tertentu. Dengan kata lain, kebenaran yang
dicapai melalui metode keilmuan Barat berada di belakang sebagai jawaban terhadap
upaya-upaya penggalian ilmu pengetahuan, sedangkan kebenaran wahyu berada di muka
(telah ditentukan) baru kemudian dicari bukti-buktinya melalui pendekatan atau metode
tertentu. Implikasinya, kita tidak perlu mencari kebenaran Islam, karena kebenaran itu
sudah ada. Kita hanya diwajibkan mancari dan menjelaskan bukti-bukti kebenarannya.
Hal ini merupakan konsep “universalisme” ilmu pengetahuan Islam sesuai dengan
misi Islam yang berupaya memberikan rahmat bagi semesta alam (rahmatan li al-
‘alamin). Konsep ini sebenarnya, jika dicermati secara kebahasaan tidak hanya manusia
saja yang perlu disejahterakan, tetapi juga harus melindungi kelestarian hewan dan
tumbuh-tumbuhan. Belakangan ini, lingkungan hidup telah menjadi rusak dan telah
memusnahkan berbagai jenis hewan dan tumbuh-tumbuhan akibat penerapan sains Barat
yang tidak memiliki kepedulian, dan kesadaran terhadap kelestarian lingkungan.
“Senjata-senjata epistemologi” yang dipakai ilmuan Barat untuk membawa
deislamisasi pikiran kaum Muslim selalu sama, dan ini adalah - selain dari prinsip-prinsip
filsafat dan ilmu pengetahuan sekuler yang memproduk dan mengasuh mereka
antropologi, sosiologi, linguistik, psikologi, serta prinsip-prinsip dan metode-metode
pendidikan ala Barat. Jika prinsip-prinsip dan metode-metode pokok dari ilmu-ilmu ini
tidak dirancang berdasarkan formula islamisasi, maka ilmu-ilmu tersebut akan tetap terus

20
berbahaya bagi kemajuan kesejahteraan umat Islam. Sementara itu, kita kekurangan
konsep. Karena kurangnya konseptualisasi inilah kita tidak dapat bertahan dari serangan
gencar pemikiran-pemikiran sekuleris. Selama ini kita hanya mengandalkan ajaran-ajaran
Islam yang bersifat normatif tanpa ada usaha yang berarti untuk menteorisasikan menjadi
konsep-konsep yang mapan. Padahal usaha islamisasi pengetahuan tidak akan terwujud,
jika tidak disertai konsep-konsep teoritis yang jelas. Kita tidak bisa melaksanakan
islamisasi pengetahuan hanya dengan menunjukkan adanya ayat-ayat Alquran atau hadis-
hadis Nabi yang berkaitan dengan pengetahuan tertentu. Kita perlu mulai membangun
konsep-konsep ilmu pengetahuan yang berdasarkan Islam mulai dari kerangka paling
awal hingga yang menyentuh inti pengetahuan.
Sebenarnya islamisasi pengetahuan itu masih menjadi polemik di kalangan umat
Islam, seolah-olah layaknya barang antik yang baru diperkenalkan. Pembentukan dan
proses islamisasi ilmu-ilmu sosial belum mendapat kesepakatan penuh dari umat Islam.“
Islamisasi ilmu-ilmu sosial pun -yang sebenarnya lebih memungkinkan, daripada ilmu-
ilmu eksakta masih dipertentangkan para pemikir Muslim; ada yang proislamisasi,
bahkan mempropagandakan dan ada yang menentangnya. Para pemikir, seperti ismail
Raji Ai-Faruqi, Ziauddin Sardar dan Muhammad An-Naquib Ai-Attas merupakan pelopor
“proyek” islamisasi pengetahuan, meskipun konsep-konsep operasional yang ditawarkan
berbeda. Kemudian para pemikir, seperti Mohammed Arkoun dan Aziz Al-Azmeh
menentangnya. Sedangkan Fazlur Rahman tidak jelas kecenderungannya. Dia cenderung
menolaknya di satu sisi, tetapi pada sisi lain dia memberikan saran-saran tentang cara
melakukan islamisasi pengetahuan. Mereka semua memiliki alasan masing-masing untuk
mempertahankan sikapnya.
2.5 Karakteristik Ilmu Pengetahuan dalam Perspektif Islam
Ilmu pengetahuan dalam pandangan islam tidak bertolak belakang secara menyeluruh
dengan ilmu pengetahuan Barat. Ada segi-segi tertentu yang merupakan titik persamaan
dan perbedaannya. Titik-titik persamaan antara keduanya itu menunjukkan, bahwa
keberadaanya diterima secara universal.
Misalnya, indera diakui oleh Islam sebagai salah satu media mendapatkan
pengetahuan. Demikian pula yang terjadi pada akal manusia. Islam mengakui akal
manusia sebaagai salah satu sumber atau sarana untuk mendapatkan pengetahuan. Tetapi
indera dan akal tentunya memiliki keterbatasan-keterbatasan. Keduanya tidak bisa
diharapkan mampu memecahkan seluruh persoalan yang dihadapi manusia. Untuk itulah,

21
ilmu dalam Islam dirancang dan dibangun disamping melalui kedua sumber tesebut juga
berdasarkan kekuatan spiritual yang bersumber dari Allah memalui wahyu.

1. Bersandar Pada Kekuatan Spiritual


Dewasa ini, keprihatinan mulai muncul di kalangan pemikir Muslim terhadap watak
sains modern Barat dan akibat-akibat yang ditimbulkannya. Sains ini telah dirasakan
membahayakan umat Islam khususnya. Mereka bisa digiring menjadi komunitas yang
tidak memiliki kepekaan sosial sama sekali. Mereka selalu diarahkan untuk bersikap
individual dan menggunakan parameter-parameter kebendaan dalam mengukur
kebahagiaan seseorang. Sains tersebut mengalami krisis spiritual yang sangat parah.
Sains yang berkembang sekarang tidak mempunyai konsep dasar islami,
sehingga tidak mampu membendung arus materialisme. Oleh karena itu, sains harus
diselamatkan secepatnya, dengan paradigma dan epistimologi Alquran. Sains harus
memiliki nilai-nilai spiritual, dengan memakai metode intuitif subjektif yang selama
ini di remehkan, bahkan sepenuhnya diabaikan. Para ilmuwan sekuler sampai
sekarang tetap bertahan dengan ‘rasional subjektif’, karena inilah yang paling ilmiah,
di mana manusia sampai tahap berpikir positif yang tidak mungkin keliru menurut
logika. Padahal sesungguhnya rasional-objektif mestinya berpasangan dengan intuitif-
subjektif sewaktu melihat sains, agar tidak ‘pincang’.
Ilmu pengetahuan dalam Islam lebih luas dan lebih bervariasi baik itu dari segi
metode maupun objek pemikiran dibandingkan dengan yang dialami oleh sains
modern Barat. Ilmu dalam Islam di samping tetap menggunakan metode yang biasa
dipakai sains Barat meskipun tidak seluruhnya, juga memiliki metode sendiri yang
tidak dimiliki oleh sains Barat. Demikian juga objek pemikirannya, di samping
terhadap masalah yang dapat dijangkau oleh pikiran manusia juga masalah yang tidak
mampu dijangkau. Di sinilah peranan kekuatan spiritual sangat besar.
Para ilmuwan Muslim dalam mengembangkan beraneka ragam cabang
pengetahuan telah menggunakan setiap jalan pengetahuan yang terbuka bagi manusia,
dari rasionalisasi dan interpretasi kitab suci hingga observasi dan eksperimentasi.
Berbeda dengan sains modern yang hanya membatasi ruang lingkup pada benda-
benda yang bersifat inderawi (observable facts), ilmu pengetahuan Islam termasuk
prikologi islami, bekerja pada wilayah yang terpikirkan (conceivable area) dan
wilayah yang tidak terpikirkan (unconceivable area). Pada wilayah yang tidak

22
terpikirkan ini ilmu pengetahuan dalam Islam banyak diperoleh melalui metode-
metode spiritual yang tidak pernah dipakai oleh sains modern.
Menurut M. Riaz Kirmani, metode spiritual itu terdiri atas intuisi, inspirasi,
dan mimpi. Fakta bahwa inspirasi dan mimpi adalah sumber pengetahuan jelas dari
Alquran, seperti terkandung dalam surat Al-Qasas [28]:7 dan Yȗsuf [12]: 4.
Sedangkan sejarah, observasi, eksperimen, penalaran dan penyimpulan termasuk
metode-metode non spiritual.
Salah satu ciri utama ilmu pengetahuan Islam adalah wahyu Tuhan
ditempatkan di atas rasio. Wahyu memperoleh kedudukan yang paling tinggi. Dalam
upaya mengembangkan ilmu pengetahuan Islam, yang akan dilakukan adalah
menjadikan wahyu Ilahi sebagai sumber kebenaran mutlak. Suatu kebenaran kokoh
dan tidak tergoyahkan sedikitpun oleh kebenaran lain. Wahyu menjadi tempat
petunjuk dan konsultasi bagi ilmu pengetahuan dalam Islam. Hal ini dikarenakan
wahyu berupa ajaran-ajaran Allah untuk kemaslahatan manusia, juga sebagai
implikasinya wahyu mengandung bobot kebenaran paling tinggi di banding dengan
bobot kebenaran yang dicapai, baik melalui indera maupun akal. Wahyu mencakup
pemberitaan yang tidak terjangkau oleh indera dan akal. Untuk itulah menurut
pandangan Islam sumber pengetahuan, seperti indera dan akal harus tunduk pada
wahyu. Semua kebenaran ada dalam wahyu, karena wahyu mewadahi berbagai
dimensi kehidupan masyarakat secara komplek.
Di samping wahyu, kekuatan spiritual lain bisa berupa intuisi. Seperti halnya
wahyu, intuisi juga ditinggalkan oleh ilmuwan Barat, baik sebagai sumber maupun
sebagai pendekatan pengetahuan. Di kalangan pemikir Muslim intuisi menempati
kedudukan yang paling baik sebagai sumber maupun pendekatan untuk mendapatkan
pengetahuan. Maka dalam mekanisme kerja ilmiah mereka, intuisi bisa berfungsi
melengkapi pengetahuan yang hanya bisa dicapai dengan akal maupun mencari
terobosan pemecahan terhadap persoalan-persoalan yang tidak bisa dituntaskan akal
pikiran. Terobosan ini semata-mata pemberian dari Tuhan. Dengan demikian,
disamping rasionalisme dan empirisme masih terdapat cara untuk mendapatkan
pengetahuan yang lain, yaitu intuisi dan wahyu.
Dengan wahyu, kita mendapatkan pengetahuan lewat keyakinan
(kepercayaan), bahwa yang diwahyukan itu adalah benar, demikian juga dengan
intuisi, kita percaya, bahwa intuisis adalah sumber pengetahuan yang benar, meskipun

23
kegiatan berpikir intuitif tidak mempunyai logika atau pola berpikir tertentu. Namun,
logika atau pola berpikir tidak merupakan jaminan kebenaran.
Dalam pandangan islam, ilmu pengetahuan tidak hanya disandarkan pada
sesuatu yang rasional dan empirik semata. Islam menyediakan dirinya melalui wahyu,
Alquran dan al-sunah, untuk dijadikan acuan dalam mencari, memelihara dan
mengembangkan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, islam tidak hanya merupakan
panduan atau petunjuk praktis bagi kaum Muslim dalam menjalankan ibadah salat,
puasa, zakat, haji dan ibadah-ibadah mahdah lainnya. Lebih dari itu semua, Islam –
melalui wahyu Tuhan- dapat dan seharusnya diperankan dalam mewarnai ilmu
pengetahuan.
Dalam kehidupan masyarakat modern seharusnya diperkuat upaya
memperoleh kebenaran agama dan akal agar ada keseimbangan. “Berpikir filsafat dan
berpikir ilmiah tidak boleh dibuang dalam kehidupan masyarakat modern. Akan tetapi
manusia juga tidak boleh meninggalkan kebenaran agama yang datangnya dari Allah
Swt. Sebagai kebenaran mutlak yang tidak akan berubah sepanjang zaman”.
Keseimbangan ini dalam pandangan Islam sangat penting agar tidak terjadi
kepincangan-kepincangan. Keseimbangan ini juga dapat menjauhkan pandangan dan
sikap ekstrem ke salah satu pihak dalam kehidupan masyarakat.
2. Hubungan yang Harmonis antara Wahyu dan Akal
Karakter ilmu dalam Islam yang kedua adalah didasarkan hubungan yang harmonis
antara wahyu dan akal. Keduanya tidak dipertentangkan, karena terdapat titik temu.
Oleh karena itu, ilmu dalam Islam tidak hanya diformulasikan dan dibangun melalui
akal semata, tetapi juga melalui wahyu. Akal berusaha bekerja maksimal untuk
menemukan dan mengembangkan ilmu, sedang wahyu datang memberikan
bimbingan serta petunjuk yang harus dilalui akal. Maka ilmu dalam Islam memiliki
sumber yang lengkap apalagi ketika dibandingkan dengan sains Barat.
Para ilmuwan barat dapat menerima, bahkan menerapkan, bahwa akal sebagai
alat untuk mendapatkan kebenaran pengetahuan. Namun, mereka menolak wahyu
sebagai alat yang dipakai untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah. Bagi mereka
wahyu terlepas dari akal, sedangkan akal sendiri mereka yakini tidak memiliki
hubungan sama sekali dengan wahyu. Sehingga sampai sekarang masih terkesan
adanya pertentangan antara agama dan ilmu. Agama dianggap penuh dengan kondisi
yang negatif, seperti; sifat statis, sikap tertutup, sikap emosional, terikat tradisi dan
sulit menerima pembaruan. Sedangkan ilmu pengetahuan penuh dengan kondisi yang

24
positif, seperti; sikap dinamis, sikap terbuka, sikap rasional, mudah melanggar tradisi
dan mudah menerima perubahan. Padahal sebenarnya salah satu sifat agama terdapat
dalam pengetahuan dan sebaliknya salah satu sifat agama terdapat pada agama dan
pandangan inilah yang justru memperlemah dinamika peradaban manusia.
Oleh karena itu, pandangan yang mempertentangkan agama dan ilmu (filsafat)
itu perlu diluruskan agar menumbuhkan manfaat yang besar. Ibn Rusyd menegaskan,
“Sekiranya tidak terdapat perselisihan –dalam pandangan Islam- antara agama dan
akal, maka keduanya adalah jalan mencapai kebenaran tunggal, dan sebagai sarana
mencapai satu tujuan, yaitu kebaikan manusia dan kebahagiaannya.” Filsafat dan
agama adalah dua cara yang berbeda dari segi cara, tetapi keduanya sepakat dalam
tujuan. Filsafat dan agama sama-sama bertujuan untuk mencapai kebenaran.
Hubungan timbal balik antara wahyu (agama) dengan akal (filsafat) dalam
proses pencapaian bermacam-macam cara pengetahuan dapat digambarkan oleh Al-
Isfahani dalam istilah-istilah organis yang tegas. Bagi dia, dua hal itu saling
melengkapi: Tanpa wahyu (syara’) akal tidak sepantasnya dipedomani dan tanpa akal,
wahyu tidak dapat dicapai secara eksplisit maknanya. Mengenai hubungan timbal
balik ini Albert Einsten, sebagaimana dikutip Jujun S.Suriasumantri memberikan
gambaran yang berbeda, tetapi substansinya relative sama dengan gambaran yang
diungkapkan Al-Isfahani tersebut. Einsten mengatakan, “Ilmu tanpa agama adalah
buta, dan agama tanpa ilmu adalah lumpuh.” Dua macam gambaran atau ibarat ini
mempertegas adanya hubungan harmonis antara wahyu (agama) dengan akal ( ilmu
atau filsafat).
Oleh karena itu, menurut Ibrahim Madkour, “Filsafat Islam berupaya
memadukan antara wahyu dengan akal, antara akidah dengan hikmah, antara agama
dengan filsafat.” Maka filsafat Islam memiliki ciri khas dan kepribadian tersendiri,
yaitu sinkritis dan eklektis: memadukan antara logika dengan agama dan
mendamaikan antara agama dan filsafat. Bagi pemikir Islam, ilmu pengetahuan perlu
mendapatkan bimbingan agama, sedangkan agama perlu didampingi ilmu
pengetahuan.
Dilihat dari perspektif tertentu tampak jelas adanya perbedaan antara agama
dengan ilmu (filsafat). Dari segi pembobotan saja tentu jauh berbeda. Ada banyak
perbedaan antara wahyu dengan akal atau agama dengan ilmu (filsafat). Namun,
adanya perbedaan tersebut tidak menghalangi keselarasan, keserasian, keharmonisan
dan kedamaian di antara keduanya. Pada gilirannya keselarasan tersebut memiliki

25
konsekuensi terhadap keutuhan bangunan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, menurut
M. Arifin, “dalam Islam tidak dikenal adanya ilmu pengetahuan yang religius dan non
religious (sekuler).” Semua ilmu pada hakekatnya berasal dari Allah, sehingga tidak
terdapat dikotonomi antara yang religius dan sekuler. Prinsip ini menjadi karakter
ilmu pengetahuan dalam Islam.
3. Interdepensi Akal dengan Intuisi
Dalam tradisi pemikiran islam, ilmu pengetahuan dibangun adakalanya atas kerjasama
pendekatan akal dan intuis. Akal memiliki keterbatasan-keterbatasan penalaran yang
kemudian disempurnakan oleh intuisi yang sifatnya pemberian atau bantuan,
sedangkan pemberian dari intuisi masih belum tersusun rapi, sehingga dibutuhkan
bantuan nalar untuk mensistematisasikan pengetahuan-pengetahuan yang bersifat
pemberian itu. Dengan pengertian lain, akal membutuhkan intuisi, dan begitu pula
sebaliknya, intuisi membutuhkan akal. Keduanya saling membutuhkan bantuan dari
pihak lainnya untuk menyempurnakan pengetahuan yang dicapai masing-masing.
Sebagaimana disebutkan K.G. saiyidain, Muhammad Iqbal menegaskan,
bahwa kedua cara menghayati kenyataan (pengamatan intelek dan intuisi) bukanlah
dua hal yang saling berlawanan secara hakiki. Sebab cara yang bertama
memungkinkan kita menghayati kenyataan secara menyeluruh dan sekaligus
(simultan), sementara cara yang kedua mencoba menangkap berbagai wajah dari
kenyataan tersebut dengan jalan mengamati masing-masing segi secara khusus,
ekslusif dan berturut-turut. Dalam menggali pengetahuan, seseorang ilmuwan bisa
menggunakan salah satu cara tersebut. Tapi pengetahuan yang dicapai akan lebih
sempurna bila kedua cara tersebut dipakai secara berdampingan, sebab sebagai suatu
pendekatan epistemologis keduanya memiliki kelemahan dan kekuatan atau
kelebihan masing-masing. Ketika keduanya dipadukan akan menghasilkan
pengetahuan yang lebih sempurna, karena saling melengkapi satu sama lain.
Dalam proses pemahaman kebenaran, akal dan intuisi harus saling menunjang
satu sama lain. Pemberian prioritas kepada salah satunya, akan menyesatkan. Dalam
menjelaskan fakta, kemampuan rasional akan menjadi lebih dominan. Sebaliknya
ketika berhadapan dengan transedensi, maka intuisilah yang cenderung dominan.
Keduanya memiliki wilayah pusat perhatian masing-masing yang sama-sama efektif
dalam memahami kebenaran pada wilayahnya tersebut. Melalui akal dan intuisi ,
corak pemahaman kebenaran yang diperoleh seseorang bisa bersifat ganda, pemahana
terhadap pengetahuan empiris berikut ciri-cirinya dan pemahaman terhadap

26
pengetahuan metaempiris, bahkan transendental juga disertai karakternya. Jadi, kerja
sama akal dan intuisi mampu memberikan pemahaman atau pengetahuan bukan hanya
berdimensi tunggal, melainkan berdimensi ganda, yakni faktual dan spiritual, lahiriah
dan ruhaniah, empiris dan metaempiris (fisik dan metafisik), keduniaan dan
keakhiratan (eskatologis).
4. Memiliki Orientasi Teosentris
Bertolak dari suatu pandangan, bahwa ilmu berasal dari Allah dan ini merupakan salah
satu perbedaan mendasar anatar ilmu dengan sains. Maka implikasinya berbeda sekali
dengan sains, ilmu dalam islma memiliki perhatian yang sangat besar kepada Allah.
Artinya ilmu tersebut mengemban nilai-nilai ketuhanan, sebagai nilai yang
memberikan kesejahteraan dan kedamaian bagi semua makhluk, sebaliknya, ilmu
tersebut tidak boleh menyimpang dari ajaran-ajaran Allah. Jika sains Barat tidak
memiliki kepedulian kepada Tuhan, maka ilmu dalam Islam selalu diorientasikan
kepada Allah untuk mencapai kebahagiaan hakiki.
Oleh karena itu, ilmu dalam islam tida hanya semata-mata berupaya mencapai
kemudahan-kemudahan atau kesejahteraan duniawi, tetapi juga kebahagiaan ukhrawi
dengan menjadikannya sebagai sarana dalam melakukan ibadah. Mahdi Ghulsyani
menegaskan, “setiap ilmu, apakah itu teologi atau fisika, adalah alat untuk mencapai
kedekatan dengan tuhan, dan selama ilmu tersebut memainkan peranan ini, ia sakral.
Namun, kesakralan ilmu ini bisa menjadi bumerang bagi kelangsungannya. Ini sudah
mengkhawatirkan terhadap masa depan ilmu itu sendiri. apa yang dikhawatirkan
adalah ketika ilmu itu dianggap sakral padahal misalnya, pada saat dilemahkan oleh
teori baru yang lebih dipercaya, maka di mana letak kesakralannya itu. Apabila ilmu
diperankan mengantrakan kedekatan kepada Allah memang seharusnya, tetapi tidak
perlu dipandang sakral, karena pandangan ini terlalu jauh dan membahayakan. Kita
harus menyadari, bahwa tida semua hal yang mampu mendekatkan kepada Allah bisa
disebut sakral.
Ilmu dalam islam di samping berdasarkan fakta empiris dann akal juga
berdasarkan wahyu (agama). Wahyu mencakup berbagai dimensi persoalan; mulai
dari permasalahan yang berkaitan dengan pengalaman atau pengetahuan sehari-hari
(knowledge), ilmu pengetahuan (science), filsafat yang mengandalkan potensi akal,
dan persoalan-persoalan suprasional (diatas jangkauan akal). Pada persoalan yang
terakhir ini, adalah merupakan wilayah jelajah agama dan di luar jangkauan ilmu
maupun filsafat. Ketika mengemukakan permasalahan yang berkait dengan dimensi

27
spiritual atau transendental, maka ilmu dalam islam juga menggarap wilayah diluar
jelajah ilmu dan fulsafat tersebut. Mattulada menegaskan, “ sikap ilmiah seorang
ilmuwan yang beriman, adalah kesadaran yang mendalam, bahwa pada batas terakhir
kemampuan ilmu pengetahuan untuk memecahkan sesuatu, maka disitulah bermula
ilmu yang berpangkall pada iman Islam, diharapkan mampu memberikan jawaban.
Ilmu-ilmu islam bersifat universal yang menyatu dengan nilai-nilai ilahiyah
atau ketuhanan. Maka keberagaman atau keimanan seseorang dalam ajaran islam
meliputi pernyataan tiga komponen yang ada pada diri manusia, yakni hati nurani atau
kalbu (tasdiq bi al-qalb), lisan (iqrar bi al-lisan), dan perbuatan (‘amal bi al-arkan)
yang saling melingkapi satu sama lain. Kebenaran ilahiyah atau menurut Ziauddin
Sardar denga istilah Kerangka Pedoman Mutlak itu secara jelas dan tertulis ditemukan
dalam Al-quran. Para ilmuan Muslim merujuk pada Al-quran itu. Menurut Hamid
Hasan Bilgrami dan Sayid Ali Asyraf, Al-quran merupakan petunjuk jalan bagi
cendekiawan Muslim dalam hal cara berpikir, terutama mengenai tiga aspek pokok
ilmu pengetahuan, yaitu:
a. Aspek etika, termasuk aspek-aspek perseptual dalam ilmu pengetahuan;
b. Aspek-aspek historis dan psikologik dalam ilmu pengetahuan; dan
c. Aspek-aspek observatif dan eksperimental dalam ilmu pengetahuan.

Ketiga cara untuk memperoleh ilmu penegtahuan itu menurut Muhammad Iqbal
merupakan satu-satunya alat untuk menempatkan prinsip tauhid sebagai “faktor yang
berperan dalam kehidupan intelektual dan emosional manusia, yang merupakan
landasan spiritual Islam tertinggi”. Oleh karena itu, tauhid lebih jauh harus diperankan
dalam mengendalikan, mengontrol dan mengarahkan kecenderungan-kecenderungan
nalar manusia yang selam ini condong bebas dan tak mau terikat oleh siapa pun.

5. Terikat Nilai
Mengingat ilmu dalam islam dipengaruhi dimensi spritual, wahyu, intuisi, dan
memiliki orientasi teosentris, konsekuensi berikutnya sebagai salah satu ciri ilmu
tersebut adalah terikat nilai. Ini sangat membedakan dengan sains barat, karena
semangat tradisi ilmiah barat senantiasa beusaha menegaskan, bahwa ilmu itu netral
atau bebas nilai, tidak boleh terikat nilai tertentu. Bahkan menurut pandangan barat,
salah satu syarat keilmiahan adalah bersifat objektif, sifat objektif ini berarti
menyatakan fatwa apa adanya dan tidak boleh dipengaruhi oleh fakta apapun.

28
Pengetahuan tidaklah netral dan memang dapat dimasuki suatu sifat dan
muatan yang ditopengi sebagai pengetahuan. Menurut epistimologi Kuhn, sebuah
sains yang objektif, bebas nilai dan netral, tidak ada mungkin akan ada. demikian
juga, konsep ‘bebas nilai’ dalam penelitian ilmiah, yang diagung-agungkan oleh Max
Weber, tidak lebih daripada mitos, hanyallah impiah yang indah. Ketika seorang
ilmuan merumuskan teori-teori sebagai hasil dari penelitiannya tidak mungkin secara
utuh disampaikan sesuatu yang benar-benar netral dan bebas nilai. Ada banyak faktor
yang turut mempengaruhi rumusan teori tersebut, sebab para ilmuan sendiri tidak
mungkin hidup di “alam telanjang”. Profil seorang ilmuan itu akan dibentuk oleh
pengaruh-pengaruh yang diserap selam hidupnya. Pengaruh-pengaruh tersebut bisa
berbentuk agama, idelogi, faham, latar belakang, pendidikan, profesi, teori-teori
pengetahuan yang dikuasai, paradigma berpikir dan sebagainya.
Pengaruh-pengaruh tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung,
baik disengaja maupun kebetulan akan turut mewarnai hasil kerja ilmiah seseorang
ilmuan termasuk menyangkut teori-teori ilmiah yang dirumuskannya. Dia tidak bisa
mneghindar dari pengaruh-pengaruh itu karena seringkali muncul diluar kesadaran
dirinya. Contoh yang paling sederhana, jika seorang ilmuan dalam mengungkapkan
teori-teori ilmiah dengan menggunakan pola berpikir atau pendekatan tertentu dari
ilmuan lain, padahal pola berpikir dan pendekatan itu mengandung kelemahan-
kelemahan, sementara itu ilmuan lainnya lagi memiliki pola pikir dan pendapat yang
berbeda sama sekali. Ini berarti pola pikir dan pendekatan dari ilmuan lain yang
dipakai itulah yang mempengaruhi jalan pikirannya, dan tentu juga berpengaruh
sampai pada hasil pemikirannya yang disebut bebas nilai itu.
Ilmu pengetahuan tidak selalu bersifat ‘netral’ dan tidak memihak dalam
masalah-masalah kemanusiaan dan lingkungan mulai digugat oleh anak cucu
renaissance dan aufklarung sendiri. teori ilmu objektif, yang dikembangkan oleh
orang-orang, seperti Descartes dari masa lampau dan Poppr dari masa sekarang, terus
menerus digugat. Oleh karena itu, klaim ilmu pengetahuan yang netral (bebas nilai)
dan objektif terpaksa menyebabkan manusia modern untuk melihat manusia dan
lingkungan sebagai ‘objek’ semata. Suatu objek yang bisa dimanipulasi kembali
dengan rekayasa mereka, sehingga orang mulai tertarik kembali kepada etika, yaitu
etika pada aspek ‘praxis’nya, bukan pada aspek ‘teorinya’nya. Etika sebagai nilai
dapat mmeberikan penghargaan yang tinggi kepada manusia dan lingkungannya

29
dengan peranannya bukan saja sebagai ‘objek’, melainkan yang lebih penting justru
sebagai ‘subjek’.
Etika ini tidak diperhatikan dalam tradisi keilmuan barat, sehingga barat
mampu mencapaki kemajuan sains dan teknologi, namun kemajuan tersebut
sesungguhnya semu dan mengalami kepincangan mengingat dalam waktu yang
bersamaan menimbulkan dekadensi moral yang sangat parah. Orang barat merasa
serah terhadap dampak negatif dari serangkaian kemajuan yang berhasil dicapai.
Kondisi demikian ini secara langsung maupun tidak langsung adalah akibat dari sains
mereka yang tidak dibangun di atas landasan etika. Jika saja etika dijadikan landasan
bagi bangunan ssains mereka, setidaknya mampu mengendalikan, bahkan mencegah
timbulnya krisis moralitas tersebut.
Berbeda dengan tradisi barat tersebut, tradisi keilmuan islma sejak dini
memiliki perhatian besar pada etika. Pada prinsipnya etika diyakini memiliki peranan
yang besar dalam menentukan perkembangan pengetahuan dan respons masyarakat,
sehingga pertimbangan-pertimbangan epistemologis, agar di samping mampu
mencapai kemajuan juga mampu mempertahankan keutuhan moralitas yang positif.
A. Rashid Moten menegaskan, “dalam Islam ilmu harus didasarkan nilai dan harus
memiliki fungsi dan tujuan. Dengan kata lain, pengetahuan bukan untuk
kepentingannya sendiri, tetapi menyajikan jalan keselamatan, dan agaknya tidak
seluruh pengetahuan melayani tujuan ini”.
Pentingnya nilai mendasari ilmu tersebut pada bagian lain juga untuk
kesejahteraan dan kekuatan manusia. Hanya dengan menempatkan manusia sebagai
subjek, maka manusia dapat memanfaatkan ikmu secara optimal. Bila manusia
ditempatkan sebagai “objek”, maka tidak akan mampu berperan secara leluasa dan
derajatnya tidak lagi terhormat, seperti dalam persepsi ilmuan barat. Barangkali tidak
banyak ilmuan barat, seperti francis bacon. Dia menyarankan, “pengetahuan itu harus
dapat mendatangkan keuntungan bagi manusia, artinya ia harus dapat dipakai untuk
meningkatkan kemampuan dan memperbesar kekuasaan manusia”. Francis bacon
seperti berupaya untuk mengigatkan para ilmuan agar bersikap memandang ilmu
untuk kepentingan manusia, dan peringatan ini agaknya untuk meluruskan fenomena
yang sedang berkembang di barat, bahwa justru sebaliknya manusia untuk
kepentingan ilmu, sehingga hanya dipandang sebagai ‘objek’ bagi proses kegiatan
ilmiah. Memang banyak disiplin ilmu yang objek materialnya adalah manusia, tetapi

30
secara keseluruhan manusia harus diperankan sebagai subjek dengan pengertian,
bahwa dialah yang memanfaatkan ilmu.
Dalam Al-quran terdapat banyak macam nilai, terutama jika diamati, bahwa
ketentuan-ketentuan yang ada didalamnya kebanyakan bersifat normatif sesuai
dengan kapasitasnya sebagai kitab petunjuk, bukan kitab ilmiah, meskipun ada banya
pernyataannya yang memberikan informasi dan sekaligus inspirasi untuk membangun
ilmu pengetahuan. Sebagai kitab petunjuk, Al-quran tentu penuh dengan nilai-nilai.
Demikian juga yang terjadi pada hadis shih. Mengenai nilai ini dalam seminar di
Stockholm pada 1981 tentang “ pengetahuan dan nilai” diidentifikasi 10 konsep yang
menggeneralisasikan nilai-nilai dasar kultur islam: tauhid, khilafah, ibadah, ‘ilm,
halal, dan haram, ‘adl, zulm, istislah dan diya. Nilai-nilai ini masih bisa diperdalam
lagi secara detail dan dikembangkan secara spesifik, jika diinginkan untuk
menggalinya.
2.6 Epistemologi Islam
Epistemologi islam perlu dijadikan alternatif terutama bagi filosof, pemikir dan ilmuwan
Muslim untuk menyelamatkan mereka dari keterjebakan kedalam arus besar dibawah
kendali epistemologi barat. Sekarang ini epistimologi barat menguasai seluruh wilayah
dunia. Sehingga tidak mempedulikan adanya alternatif-alternatif epistemologi lain. Para
ilmuwan muslim juga mengikuti bahkan tida jarang yang mengandalkan epistemologi
barat tanpa koreksi sama sekali, maka secara intelektual sebenarnya umat muslim menjadi
terjajah oleh barat. Sebagai “penjajah” epistemologi barat dapat memaksakan kehendanya
melalui berbagai argumen rasional dan logis, sedang sebagai “terjajah” umat islma
semacam merasa tidak memiliki kekuatan sama sekali.
Epistemologi islam ini memiliki fungsi yang sangat penting dalam menjaga
kehormatan umat islma. Epistemologi ini bisa membangkitkan umat islam untuk segera
mencapai kemajuan ilmu pengetahuan dan secara umum peradaban, mengingat bahwa
epistemologi tersebut merupakan media atau alat untuk menggali, menemukan, dan
mengembangkan pengetahuan. Hanya saja sangat disayangkan, fungsi demikian ini
kurang disadari oleh kalangan muslim, khususnya para ilmuwan, sehingga mereka lebih
cenderung menggungkapkan ide-ide dan gagasan-gagasan yang bersifat normatif dan etis,
daripada bersifata epistemologis dan metodologis. Disamping itu, epistemologis islam
juga bisa dimanfaatkan untuk meluruskan para ilmuwan muslim agar tidak lagi terjebak
dalam kesesatan akibat hanya mengikuti epistemologis barat yang sekuler. Epistemologis

31
islam dengan begitu menjadi persoalan keilmiahan pertama yang harus mendapatkan
perhatian serius dan harus segara diwuujudkan.
Tanpa epistemologi islam, kita tidak mungkin dapat membangun kehidupan umat
yang baik dengan suatu peradaban (islam) yang mapan dan dapat ‘dipercaya’ kestabilan
eksistensinya”. Epistemologi islam itulah solusinya ketika kita ingin mengembangkan
peradaban islam dan tida ingin mengulang kembali keterbelakangan yang kita derita
selama ini dengan mengerjakan kegiatan rutinitas yang stagnan. Tauhid adalah yang
mendasari epistemologi islam yang hendak dibangun, merupakan salah satu disiplin dasar
yang sangat penting dalam mengembangkan ilmu-ilmu islam, sebab epistemologi
merupakan operator mayor yang mentrasformasikan visi tauhid dan visi dunia didalam
realita. Dalam prespektif keimanan, dasar tauhid itu ditemukan pada prinsip bahwa
epistemologi islam mulai dari premis seluruh pengetahuan semula adalah milik Allah.
Bila kemudian ilmu pengetahuan itu tidak dapat diperoleh melalui penggalian sendiri,
kecuali melalui pendekatan yang disebut epistemologi, maka tentu epistemologi ini harus
diwujudkan lebih dahulu. Logikanya alat atau media perlu mendapat perhatian dulu
karena sebagai perantara. Seperti dalam shalat, perantara itu ditempatkan sebagai syarat.
Seseorang yang shalatnya khuyu sekalipun, jika tidak berwudhu, maka salatnya tidak
memiliki arti sama sekali.
Pada zaman kejayaan islam masa lalu, para pemikir islma telah memilih kesadaran
membangun alat untuk mencapai pengetahuan yang disebut epistemologi. “sarjana-
sarjana klasik, seperti Al-Ghazali, Al-biruni, Al-khawarizmi dan sebagianya, telah
meletakankan fondasi yang kuat bagi suatu epistemologi islam yang praktis. Kiranya
perlu diketengahkan kembali perkembangan epistemologis zaman klasik islam yang tidak
dikotomik itu. Akan tetapi, “satu hal yang perlu dicatat, bahwa tradisi pemikiran klasik
islam-ortodok tidak mengenal tradisi kritik epistemologis dalam artian yang
sesungguhnya”. Sebenarnya kritis ada, hanya belum menyentuh jantung epistemologis.
Kritik tersebut lebih bersifat memvonis, sehingga teologisnya cukup jelas seperti kritik
imam syafi’i terhadap orang yang menggunakan pendekatan istihsan, kritik imam Al-
Ghazali terhadap para filosofi, dan kritik para ahli hadit terhadap kapasitas orang yang
menerima riwayat.
Pada wilayah kritik epistemologis ini tradisi pemikiran islam klasik memang lemah,
tetapi pada dimensi-dimensi lainnya memiliki kelebihan. Sementara itu, konsep ilmu
kontemporer memiliki keunggulan dalam bidang kritik epistimologis, meskipun
mengalami kelemahan terutama pada ranah aksiologis. Akhirnya ada upaya untuk

32
mensistensikan pemahaman dua macam tradisi pemikiran tersebut menjadi tawaran bari
bagi pemikiran umat islam. Munawar Ahmad Anees mengusulkan, “reorientasi
intelektual umat harus dimulai dengan pemahaman yang segar dan kritis terhadap
epistemologis islam klasik dan formulasi konsep ilmu kontemporer yang kreatif.
Perubahan harus dilakukan hanya benuk luarnya, sedangkan keseluruhan struktur fisik
dan infrastruktur gagasan yang abadi dari epistemologi islam harus disimpan. Substansi
epistemologi islam memiliki ketahanan yang kuat untuk direalisasikan sewaktu-waktu,
sedangkan penampilannya perlu berubah-ubah mengikuti perkembangan zaman.
Epistemologi islma ini diharapkan menjadi suatu pendekatan keilmuan yang memiliki
kekuatan besar dalam mengembangkan ilmu pengetahuan baru dan teknologi yang
berkepedulian terhadap lingkungan baik lingkungan geografis, lingkungan sosial maupun
lingkungan budaya. Dengan kata lain, epistemologi islma menjadi media mewujudkan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang “beradab”.
Selanjutnya umat muslim harus berupaya keras untuk membangun peradaban mereka
sendiri yang anggun. Ziauddin Sardar menyatakan, bahwa masyarakat muslim harus
memikirkan dan mempelajari masa depan mereka dan proses rekonstruksi yang terencana
dan terus menerus terhadap peradaban mereka. Proses ini memasukkan ekspresi-ekspresi
eksternal peradaban muslim kedalam mode epistemologi islam dan metodologi syariah.
Mereka memiliki ha oenuh untuk memproyeksikan masa depan melalui program-program
perbaikan secara matang. Karena bisa memetakan kondisi peradaban masa depan yang
dicita-citakan dan seluruh sarana dan prasarana yang dibutuhkan guna merespons tuntutan
peradaban masa depan itu.
Oleh karena itu, tugas yang dihadapi oleh intelegensia muslim adalah
mengembangkan dan menggunakan epistemologi islam dan paradigma-paradigma ilmu
pengetahuan alternatif, baik menyangkut ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial, serta
merumuskan dan mneyusun disiplin-disiplin ilmu yang paling relevan dengan kebutuhan-
kebutuhan masyarakat muslim kontemporer. Epistemologi islam ini menjadi “pekerjaan
rumah” pertama sebelum mereka menggarap masalah-masalah lainnya, karena ia menjadi
kata kunci bagi peradaban islam masa depan. Hal ini jika dilihat dari segi kesiapan kaum
intelektual muslim dan kronologi struktur mekanisme kerja mereka. Apapun ditinjau dari
perspektif kaitan-kaitan dengan epistemologi yang mendominasi pola pikir ilmuwan
seakarang ini, maka epistemologi islam memberikan jaminan adanya dinamika keilmuan
atau dinamika peradaban dan sekaligus keharmonisannya agar keduanya bisa berjalan
seimbang. Selama ini yang terjadi adalah adanya kepincangan antara dinamika dan

33
keharmonisan, antara intelekual dan moral, aibat pengaruh epistemologi barat yang
menguasai hampir semua pola pikir dan kecenderungan filosofi, ilmuwan dan pemikir
didunia ini.
Dengan demikian, epistemologi islam menawarna sesuatu yang tidak dimiliki oleh
epistemologi barat. Menurut Ziauddin Sardar, epistemologi islam menekankan totalitas
pengalaman dan kenyataan serta menganjurkan banya cara untuk mempelajari alam,
sehingga ilmu bisa diperoleh dari wahyu mauoun akal. Maka epistemologi islam
menekankan pencarian semua bentuk ilmu pengetahuan dalam peradaban muslim. Untuk
mengembangkan suatu pemahaman islam yang segar, kita memerlukan sejumlah sarana
intelektual. Kita perlu mengembangkan suatu tradisi ilmiah muslim yang menggabungkan
teknik-teknik terbaik dari metode pengkajian dan riset modern: kita harus mendapatkan
kekuatan dari kerangka pedoman mutlak dari satu pihak, dan menyajikan suatu kerangka
analisis dan artikulasi pada tingkat kedalaman yang diperlukan dipiha lain.
Selanjutnya, kita mmeperhatikan, bahwa terdapat banya kasus ilmu yang justru
melahirkan bahaya atau malapetaka bagi kehidupan manusia. Ilmu yang berbahaya inin
ternyata bertolak dari epistemologinya. Adapun epistemologi yang mampu mengarahkan
keselamatan ilmu adalah epistemologi yang didasarkan pada dimensi spiritual. Oleh
karena itu menurut Mustofa mas’ud dan yusra marasabessy, “epistemologi tidak bisa
menjaga kemurnian ilmu, selama epistemologi itu tida punya basis spiritual. Epistimologi
yang melahirkan berbagai disiplin imu, dengan beraneka ragam spesifikasi, justru akan
menyesatkan, karena tanpa arah yang jelas. Padahal manusia mempunyai kesadaran
eskatologis”. Namun, letak persoalannya adalah bahwa penyebab utama yang
menyesatkan itu sebenarnya bukan karena spesifikasi, melainkan karena epistemologi
tersebut “liar” tanpa kendali nilai-nilai spiritual sama sekali. Aibatnya epistemologi bisa
digerakkan kemana saja sesuai dengan selera para ilmuwan yang menggunakan tanpa
kontrol dan pengarahan dari kekuatan spiritual.
Mengenai pengaruh pola pemikiran barat bagi pemikir islam seharusnya mulai
dijauhi. Pengembangan tauhid dalam arti teologi yang bernetodologi barat, sudah
seharusnya mulai ditinggalkan, karena tida mampu melahirkan girah intelektual islami
bagi pengembangan peradaban islam dimasa depan justru secara substansial metodologi
barat itu akan melemahkan peradaban islam, karena karakter yang bukan saja berbeda,
melainkan dalam beberapa hal berbenturan dengan islam kendatipun dalam beberapa hal
lainnya ada kesamaan. Akhirnya peradaban islam tidak mungkin diwujudkan dengan
menggunakan epistemologi (metodologi barat). Epistemologi barat hanya mampu

34
melahirkan peradaban yang sekuler, peradaban yang hanya bertopang pada fakta empirik,
peradaban yang trelepas dari nilai-nilai spiritual, dan peradaban yang tidak dikendalikan
oleh agama (wahyu). Aibat berikutnya adalah menjadi peradaban yang menakutkan dan
meresahkan umat manusia, seperti yang dialami sekarang ini.
Hal ini tidak berarti seluruh model atau pola berpikir Barat ditolak semuanya oleh
Islam. Osman Bakar melaporkan, “Di kalangan para filsof dan ilmuawan Muslim, logika
senantiasa dipandang sebagai suatu alat berpikir ilmiah yang tak dapat sikesampingkan.
mereka juga memandang logika sebagai salah satu bentuk hikmah (kebijaksanaan),
sebentuk pengetahuan yang amat diagungkan oleh Al-Quran.
Demikian juga dalam pencarian objektivitas, meskipun ilmu dalam Islam bersifat
subjektif, usaha mencari objektivitas tetap dipertahankan terutama yang berkaitan
langsung dengan fakta. hal-hal yang berkaitan dengan fakta atau data memang harus
objektif. Jika bersifat subjektif justru akan mengacaukan makna data atau fakta itu
sendiri. Dalam hal menjadi saksi atas sesuatu perkara misalnya, wajib bersikap objektif,
artinya menyatakan fakta adanya sesuai dengan kesaksiannya itu untuk menjadi rujukan
dalam mencapai kebenaran. Bila seseorang menyatakan kesaksiannya jauh dari kenyataan
sebenarnya, berarti kesaksian itu palsu dan ini dikutuk oleh agama.
Terdapat hadis Nabi yang menyatakan, “Katakanlah yang benar, walaupun terasa
pahit”. Artinya ungkapkanlah fakta adanya secara objektif, meskipun dengan cara itu
menyakitkan diri kita sendiri dan mungkin juga kelompok atau golongan kita sendiri. ini
berarti objektivitas harus diterapkan terhadap diri sendiri maupun orang lain. Dalam
konteks ilmu pengetahuan dalam Islam, tidak semua persoalan bisa diobjektifkan, karena
tidak semua elemennya berdasarkan fakta empiris, tetapi sebagian berdasar pada
informasi wahyu (agama) dan intuisi.
Menurut Kuntowijoyo,”Ayat-ayat Al-Quran sesungguhnya merupakan pernyataan-
pernyataan normatif yang harus dianalisis untuk diterjemahkan pada level yang objektif,
bukan subjektif. ini berarti Al-Quran harus dirumuskan dalam bentuk konstruk-konstruk
teoritis. Dengan begitu, sekarang ini kita membutuhkan tingkat kesadaran ilmiah untuk
merumuskan konsep-konsep normatif menjadi konsep-konsep teoritis. kesadaran ilmiah
ini sungguh penting diwujudkan agar umat Islam mampu membangun rumusan atau
konsep-konsep teori berdasarkan inspirasi atau bahan baku dari wahyu yang bersifat
normatif itu. Sikap yang normatif-ideologis inilah yang perlu dilakukan pembaruan
pemikiran agar mereka mengubah kecenderungan tersebut menjadi kecenderungan yang
bersifat ilmiah.

35
Untuk kepentingan inilah, Kuntowijoyo mengajukan beberapa program pembaruan
pemikiran, yaitu:
1. Perlu dikembangakan penafsiran sosial struktural lebih daripada penafsiran individual
ketika memahami ketentuan-ketentuan tertentu di dalam Al-Quran,
2. Mengubah cara berpikir subjektif ke cara berpikir objektif,
3. Mengubah Islam yang normatif menjadi teoritis,
4. Mengubah pemahaman yang ahistoris menjadi historis, dan
5. Bagaimana merumuskan formulasi-formulasi wahyu yang spesifik dan empiris.

Ringkasnya adalah upaya mengubah cara-cara berpikir yang ditradisikan masyarakatn


religious yang memiliki sifat individual, subjektif, normatif, ahistoris dan general menjadi
cara berpikir yang dikehendaki oleh tradisi ilmiah dengan ciri-ciri atau sifat sosial
struktural, objektif, teoritis, historis, spesifik dan empiris. perubahan cara berpikir atau
pola berpikir ini menjadi penentu bagi masa depan peradaban Islam.

Ketika mengomentari munculnya gagasan tentang ilmu sosial transformatif,


Kuntowijoyo mengajukan alternatif, bahwa yang kita butuhkan sekarang adalah ilmu-
ilmu sosial profetik, yaitu ilmu yang tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena
sosial, tapi juga memberi petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa
dan oleh siapa. Epistemologi Islam yang dibangun dengan dukungan ilmu-ilmu sosial
profetik memiliki kejelasan tentang misi inovasi, orientasi, tujuan dan pelakunya.
Epistemologi Islam itu akan memberikan perspektif baru berkaitan dengan seluk-beluk
pengetahuan, baik tentang sumber pengetahuan, batas pengetahuan, validitas
pengetahuan, cara mendapatkan pengetahuan dan lain sebagainya yang cukup berbeda
dengan epistemologi Barat.

Mengenai epistemologi Islam, sebenarnya sudah dikenal dan dipraktekkan umat Islam
sejak lama terutama oleh ulama-ulama fiqh. Para juris klasik menggunakan ijma’, qiyas,
ijtihad, istishan, istislah dan ‘urf sebagai metode untuk memecahkan problem-problem
praktis. Menurut Irfan Ahmad Khan, “Usul al-fiqh membahas metode secara detail
tentang syariah Islam yang diperoleh dari sumber-sumber Islam: Al-Quran, hadis, ijma
dan qiyas”. Oleh karena itu, usul al-fiqh menggarap proses untuk memproduk teori-teori
hukum Islam, sedang fiqh hanya membahas produk-produk berupa teori-teori hukum
Islam tersebut. Dari kronologinya, usul al-fiqh timbul lebih dahulu disbanding fiqh, dan
penguasaan usul al-fiqh lebih penting, daripada penguasaan fiqh sekiranya keduanya

36
harus diperhadapkan. hanya saja para pemikir, ulama maupun fuqaha sekarang ini lebih
hanya menghafal-hafal kaidah-kaidah usuliyah, daripada mengembangkan kaidah-kaidah
tersebut. Akibatnya hukum Islam hanya berkembang secara dinamis pada zaman klasik,
namun sekarang ini hampir bisa dikatakan stagnan sama sekali. Perkembangan hukum
Islam dan bidang-bidang lainnya adalah melalui pemikiran, bukan melalui hafalan.
Pemikiran selalu mencari celah-celah kekurangan yang bisa dimasuki untuk ditawarkan
sesuatu konsep, sedangkan menghafal hanya bersifat mempertahankan kekayaan
intelektual yang sudah dimiliki.

Bagaimanapun peradaban suatu bangsa akan banyak bergantung kepada jumlah


pemikir yang dimilikinya. Sejarah telah mencatat bahwa pengalaman bangsa-bangsa atau
negara-negara yang maju ternyata, karena memiliki banyak pemikir dalam berbagai
bidang keahlian dan mereka betul-betul bekerja secara maksimal untuk memajukan
bangsa atau negaranya. Salah satu upaya yang diyakini mampu mempercepat pencapaian
kemajuan peradaban Islam adalah dengan memperkokoh epistemologi. Para pemikir
menyadari bahwa kelebihan Barat modern dalam mengembangkan dan memajukan sains
dan teknologi mutakhir ini adalah lantaran mereka memperkokoh dan memperkuat
bangunan epistemologi.

Epistemologi Islam juga dapat menghubungkan ajaran-ajaran Islam dengan masalah-


masalah sekarang dan menghadapi tantangan-tantangan masa depan yang makin
kompleks. Ada banyak permasalahan pengetahuan atau peradaban sekarang ini yang
mengalami keterjerumusan yang membutuhkan keterlibatan epistemologi Islam dalam
memberikan pemecahan lantaran di dalamnya terdapat cara-cara menggali dan
mengembangkan pengetahuan dan atau peradaban secara terbimbing (terarahkan) oleh
ajaran-ajaran Tuhan. Demikian juga, epistemologi Islam dapat merespons tantangan-
tantangan masa depan dengan mengemban dua macam misi sekaligus, yaitu
memberdayakan pola piker para ilmuwan Muslim dalam upaya mempercepat pencapaian
kemajuan peradaban, dan berusaha mewarnai peradaban itu dengan nilai-nilai Islam.

Epistemologi Islam memiliki dua jalur yang menghubungkan dengan pengetahuan,


yaitu jalur luar (lahiriah) dan jalur dalam (batiniah). Melalui dua jalur penghubung
pengetahuan tersebut, yaitu jalur luar dan jalur dalam, maka epistemologi Islam
membawa ciri tersendiri yang sangat berbeda dengan ciri epistemologi lainnya. Ziauddin
Sardar menyebutkan bahwa ada Sembilan ciri dasar epistemologi Islam yaitu:

37
1. Yang didasarkan atas suatu Kerangka Pedoman Mutlak
2. Dalam kerangka pedoman ini, epistemologi Islam bersifat aktif dan bukan pasif
3. Dia memandang objektivitas sebagai masalah umum dan bukan masalah pribadi
4. Sebagian besar bersifat deduktif
5. Dia memadukan pengetahuan dengan nilai-nilai Islam
6. Dia memandang pengetahuan sebagai yang bersifat inklusif dan buka ekslusif,
yaitu menganggap pengalaman manusia yang subjektif sama sahnya dengan
evaluasi yang objektif
7. Dia berusaha menyusun pengalaman subjektif dan mendorong pencarian akan
pengalaman-pengalaman ini, yang dari sini umat muslim memperoleh komitmen-
komitmen nilai dasar mereka
8. Dia memadukan konsep-konsep dari tingkat kesadaran, atau tingkat pengalaman
subjektif, sedemikian rupa sehingga konsep-konsep dan kiasan-kiasan yang sesuai
dengan satu tingkat tidak harus sesuai dengan tingkat lainnya. (ini sama dengan
perluasan dari jangkauan proses ‘kesadaran’ yang dikenal dan termasuk dalam
bidang imajinasi kreatif dan pengalaman mistis serta spiritual)
9. Dia tidak bertentangan dengan pandangan holistik, menyatu dan manusiawi dari
pemahaman dan pengalaman manusia. Dengan begitu dia sesuai dengan
pandangan yang lebih menyatu dari perkembangan pribadi dan pertumbuhan
intelektual.

Ciri-ciri tersebut sesungguhnya menggambarkan betapa epistemologi Islam berusaha


tampil membawa nuansa yang berbeda dengan epistemologi Barat yang mempengaruhi
hampir semua ilmuwan di dunia ini. Perbedaan yang paling meyolok adalah bahwa
epistemologi Islam memiliki sandaran teologis berupa Kerangla Pedoman Mutlak,
sehingga para ilmuwan Muslim dalam proses kegiatan menggali pengetahuan senantiasa
menyandarkan diri pada Allah sebagai pemilik Kerangka Pedoman Mutlak tersebut.

Umat Islam sekarang menghadapi tantangan yang berbeda dan lebih berat daripada
zaman dahulu, maka para ilmuwan Muslim harus bersikap dinamis-progresif guna
merespons tantangan tersebut. Umat Islam jangan terjebak mengulangi beberapa kali
kesalahan yang sama dalam melakukan aktivitas ilmiah. Kecenderungan bersikap
rutinitas, seperti yang selama ini kita lakukan harus segera ditinggalkan dan kita ubah
dengan kecenderungan dinamis dengan ciri-ciri kritis, responsif, antisipatif, inovatif, dan

38
lain-lain sifat yang berupaya memperkuat pengembangan ilmu pengetahuan dan
pengembangan peradaban Islam.

Al-Quran secara langsung menunjukkan adanya potensi-potensi yang dapat


dikembangkan yang mestinya harus disyukuri. Jamil Farooqui menyatakan, bahwa ada
tiga anugerah utama yang diberikan Allah kepada manusia, yaitu sama’ (pendengaran),
basar (penglihatan), fu’ad (hati). Mereka membantu manusia memperoleh pengetahuan
dan pemahaman realitas, dan menunjukkan secara aplikatif agar dia mengendalikan
kehidupan menurut sistem ketuhanan. Fu’ad adalah kemampuan manusia yang superior
yang membantu menerima gambaran perasaan, mempergunakan pikirannya pada mereka,
dan meringkaskan gambaran-gambaran lain dari mereka. Fu’ad memainkan tiga macam
peranan penting dalam memperoleh pengetahuan, yaitu:

1. Ia menemukan kesesuaian antara dirinya sendiri dengan kemampuan-kemampuan


pengertian lainnya (sama’ dan basar)
2. Ia mencari dan menemukan perintah luar di dalam esensi sesuatu yang ada dalam
wujud atau eksistensi
3. Ia juga mencari perintah dalam tindakan manusia.

Ternyata, fu’ad (hati) ini memiliki potensi besar dalam proses pencarian pengetahuan.
Padahal fu’ad ini tidak pernah diperhitungkan sama sekali dalam mekanisme kerja ilmiah
sains Barat.

Petunjuk Al-Quran tersebut memberikan wacana yang berbeda sama sekali dengan
wacana keilmuan Barat. Potensi pendengaran dan penglihatan dipakai sebagai alat
menangkap pengetahuan di Barat karena keduanya termasuk dalam rangkaian panca
indera. Keduanya berfungsi mencapai pengetahuan empiric, yaitu pengetahuan yang
dapat ditangkap melalui indera. Di dalam epistemologi Islam, berdasarkan petunjuk Al-
Quran, alat mencapai pengetahuan itu tidak hanya pendengaran dan penglihatan, namun
lebih dari itu semua juga hati.

Berangkat dari epistemologi Islam inilah akhirnya menghasilkan metodologi Islam


sebagai perwujudannya secara operasional. Secara kronologi-struktural, jika ada
epistemologi Islam, maka akan lahir metodologi Islam.

2.7 Metodologi Islam

39
Epistemologi mencakup pembahasan tentang batas pengetahuan, sumber pengetahuan,
validitas pengetahuan, metode untuk mendapatkan penegtahuan dan lain-lain. Metode
untuk mendapatkan pengetahuan menjadi pembahasan sendiri yang disusun secara
sistematis dan logis, sehingga menjadi ilmu yang berdiri sendiri yang kemudian disebut
metodologi. Metodologi merupakan salah satu perwujudan operasional dari epsitemologi.
Demikian juga kronologi struktur dalam metodologi Islam, yaitu berangkat dari filsafat
Islam yang mencakup Epistemologi Islam melahirkan metodologi Islam.
Berpijak dari perbedaan antara filsafat Islam dan filsafat Barat, akhirnya melahirkan
epistemologi dan selanjutnya metodologi yang berbeda. Namunn ketika berpijak pada
kesamaan antara keduanya, maka terdapat titik pertemuannya. Dari perbedaan keduanya
diperoleh kenyataan bahwa filsafat Islam disamping berdasarkan akal juga berdasarkan
wahyu, dan wahyu ini mewarnai epsitemologi Islam, sehingga ia mencakup dimensi
spiritual, seperti intuisi. Selanjutnya epistemologi yang berdasarkan nilai-nilai
transcendental yang kemudian disebut metodologi Islam.
Mengingat filsafat Islam adalah berdasarkan wahyu, maka epistemologi Islam lalu
metodologi Islam juga didasarkan Al-Quran dan As-Sunnah. Dengan berpijak pada
pengetahuan Al-Quran dan hadis diharapkan penyimpangan-penyimpangan, baik
langsung maupun tidak langsung dari penerapan sesuatu metode dapat ditekan secara
maksimal. Metode Islam memiliki identitas sendiri yang ditentukan oleh kriteria-kriteria
yang ketat sekali. Metodologi Islam bersandar pada epistemologi Islam, sedang
epistemologi Islam juga berdasarkan wahyu. Hanya saja selama ini terjadi kesalahan yang
fatal dengan adanya klaim-klaim metodologi Islam, sedang kenyataannya epistemologi
yang menjadi dasarnya adalah epistemologi Barat, sebuah epistemologi sekuler atau
epistemologi yang tidak pernah mempertimbangkan nilai-nilai ketuhanan.
Penggunaan metodologi Islam akan membawa konsekuensi lebih lanjut; pengetahuan
yang dicapai dari metodologi ini merupakan pengetahuan yang dipengaruhi oleh nilai-
nilai Islam. Sebaliknya, pengetahuan yang dihasilkan dari metodologi Barat tidak bisa
diakui sebagai pengetahuan yang Islami. Hal ini tidak berarti sentiment agama melakukan
intervensi terhadap islami tidaknya sesuatu pengetahuan, tetapi lebih karena faktor yang
prinsipil, bahwa bagaimanapun metodologi yang dikembangkan oleh Barat sengaja
membuang dan menjauhkan diri dari pesan-pesan wahyu, nilai-nilai ketuhanan, atau
dimensi spiritual. Islam memiliki pandangan yang baku bahwa hakekatnya semua
pengetahuan itu berasal dari Allah. Manusia hanya berperan mempopulerkan dan

40
mensosialisasikan pengetahuan itu setelah diketahui melalui penggalian atau upaya
pencarian.
Selanjutnya metodologi Islam karena dibedakan dengan metodologi lainnya termasuk
metodologi Barat, maka metodologi Islam memiliki ciri tertentu. Barangkali ciri paling
khusus dari metodologi Islam adalah prinsip kesatuan kebenaran (Unity of Truth).
Landasan prinsip ini adalah bahwa kebenaran adalah suatu kadar perasaan akan Tuhan,
dan tidak dapat dipisahkan dari-Nya. Prinsip metodologi Islam ini menambahkan sesuatu
yang khas Islami, yaitu prinsip Umatisme. Landasan prinsip ini adalah bahwa tiada nilai,
tiada kewajiban yang semata-mata pribadi. Islam menegaskan, bahwa perintah Tuhan,
atau kewajiban moral, perlu bagi masyarakat. Jadi, ilmu yang dihasilkan dari metodologi
Islam memiliki jiwa populis, memasyaratkan atau untuk kepentingan masyarakat.
Dengan demikian, metodologi Islam tidak bebas nilai. Metodologi Islam tetap akan
dipengaruhi wahyu kendati juga dipengaruhi akal. Sesungguhnya metode Islami dalam
memperoleh pengetahuan dengan sengaja berpegang pada wahyu (naql) dan akal (aql)
bersama-sama, dan menolak sikap ekstrim. Dalam sejarahnya, metodologi Islam klasik
berasal dari ilmu usul yang membahas metode yang digunakan untuk mengambil dalil-
dalil syari’ah dari sumber-sumber Islam. Di antara berbagai penggunaan terminologi dari
kata usul, ada tiga istilah yang banyak dipakai dalam cabang-cabang pengetahuan Islam:
usul al-din, yang dianggap searti dengan kalam atau teologi skolasti; dan usul al-hadis,
yang berkaitan dengan ilmu dan terminologi hadis; dan usul al-fiqh, yang umumnya
dikatakan sebagai metodologi ilmu hukum Islam. Tampaknya diantara ketiga kata usul
itu, usul al-fiqh dianggap paling layak menjadi epistemologi, yaitu epistemologi hukum
Islam, karena ia paling banyak menghasilkan pendekatan-pendekatan epistemologi
dibanding usul al-hadis maupun usul al-din.
Belakangan ini tampaknya mulai ada sedikit respons terhadap sosialisasi metode yang
berbasis nilai-nilai transcendental, sebagaimana yang dimiliki kaum Muslim selama ini,
setidaknya sebagai suatu tawaran yang diakui eksistensinya. P. Payerabend melaporkan,
“Gagasan tentang kemajemukan metodologi kini telah mendapat pengakuan umum di
kalangan sejarawan dan filosof sains kontemporer. sebagian mereka telah memperluasnya
hingga menerima kitab suci sebagai komponen yang tak dapat dipisahkan dari pluralitas
metodologi ini.” Apabila laporan ini benar sesuai dengan realitas di lapangan, berarti
telah terjadi pergeseran kesadaran di kalangan sejarawan dan filosof sains kontemporer.
Mereka mulai menyadari adanya keterbatasan-keterbatasan pada metode-metode Barat,
dan sekaligus berarti mengakui alternatif-alternatif metode yang ditawarkan pemikir

41
Muslim, yaitu metode-metode yang berlandaskan pada wahyu Allah atau nilai-niali
spiritual.
Kemajemukan metode tersebut bukan hanya secara kuantitatif terjadi pengayaan,
sehingga terdapat macam-macam metode, melainkan lebih dari itu, secara kualitatif
merupakan keutuhan alat dalam menelusuri, mencari dan menggali pengetahuan. Salah
satu upaya untuk menemukan pengetahuan yang masih “misteri” adalah dengan
mengembangkan metode-metode yang dapat digunakan untuk menangkap atau
menemukan ilmu pengetahuan. Langkah ini menjadi logis dan relevan, terutama bila
diingat bahwa metode adalah sebagai alat yang berfungsi mengantarkan dalam mencapai
tujuan, dalam hal ini adalah menemukan pengetahuan baru.
Seiring dengan perjalanan dan peranan yang bisa dimainkan oleh sains modern Barat,
memang telah mencapai prestasi yang mengagumkan. Kelemahannya prestasi yang
gemilang di bidang pengembangan intelektual ini tidak disertai oleh kepedulian sosial
yang tinggi, sehingga lingkungan kita menjadi krisis dimensi spiritual. Lingkungan kita
menjadi rusak dan hampa dari sentuhan norma-norma teologis dan etika agama.

42
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Penentangan epistemologi Barat terhadap dimensi spiritual yang menjadi sumber krisis
sains modern, sehingga kehilangan orientasi ketuhanan. Sains modern selalu membawa
ancaman bagi keharmonisan hidup manusia, meskipun dapat mencapi kemajuan yang
cukup signifikan. Sains modern tidak berusaha mendekatkan manusia kepada Tuhannya,
melainkan secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi manusia untuk
mengingkari Tuhannya.
Epistemologi dan metodologi telah mengisyaratkan perlunya peran teologi dan etika
dalam setiap wacana di bidangnya. Teologi dan etika inilah yang akan mengendalikan
langkah-langkah epistemologi dan metodologi agar selalu mengarah pada perwujudan
pengetahuan yang membawa keharmonisan, kedamaian dan kesejahteraan alam
lingkungan sekitar kita.
Banyak sekali hasil sains dan teknologi modern yang memiliki kekuatan dahsyat,
tetapi dalam waktu yang bersamaan menjadi sesuatu yang menakutkan masa depan
manusia. Kondisi demikian ini karena epistemologi dan metodologi yang dipakai
menggali pengetahuan dan teknologi itu terlepas sama sekali dari kendalinya, yaitu nilai-
nilai ketuhanan dan etika.

43
DAFTAR PUSTAKA

(…..saya tidak tau identitas buku ini, kalau bisa Tanya ke bapak atau
jannah yang itu hari fotokopi kan….)

44

Anda mungkin juga menyukai