Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia memiliki sumber daya alam yang sangat melimpah dan harus kita

optimalkan terutama untuk obat-obatan herbal. Obat-obatan yang berasal dari

herbal telah lama dikenal oleh masyarakat kita terutama untuk penyembuhan luka.

Penelitian tanaman sebagai pengobatan ini sesuai dengan misi Fakultas Kedokteran

Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar yang ke-3, berorientasi pada IPTEKS

(Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Seni) yang memanfaatkan unsur kearifan

budaya lokal, dengan memanfaatkan tanaman-tanaman lokal yang tumbuh di

daerah kita.

Pemanfaatan tanaman berkhasiat obat di masyarakat terus berkembang dan

diwariskan ke generasi selanjutnya. Perkembangan obat tradisional ini dimulai dari

beberapa ramuan tradisional yang berkembang di tengah masyarakat, yang

kemudian berkembang menjadi suatu ramuan yang diyakini memiliki khasiat

tertentu bagi tubuh manusia (Wasito 2011).

Penelitian dengan memanfaatkan bahan alam yang bertujuan untuk

menghasilkan obat-obatan telah banyak dilakukan, hal ini diangap sangat

bermanfaat karena sejak dahulu kala masyarakat telah lama menggunakan obat-

obatan yang berasal dari bahan alam untuk mengobati macam penyakit, selain itu

pemanfaatan bahan alam juga turut mendukung upaya pemerintah dalam mengelola

dan memberdayakan sumber daya alam karena Indonesia merupakan negara yang
kaya dengan keanekaragaman hayati dan sumber daya alam (Purnamasari dkk

2010). Pemanfaatan bahan alam yang digunakan sebagai obat jarang menimbulkan

efek samping yang merugikan dibandingkan obat yang terbuat dari bahan sintetis

(Kshitiz dkk. 2011)

Pentingnya penanganan luka secara optimal telah mendorong pesatnya

perkembangan ilmu tentang luka, penyembuhan, dan penanganan luka. Saat ini

penggunaan bahan herbal untuk penggantian obat-obat kimia telah banyak

dilakukan (Harvey 2005). Salah satu tanaman yang dipercaya oleh masyarakat

dapat menyembuhkan luka yaitu tanaman belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi

Linn). Senyawa yang terdapat pada ekstrak daun belimbing wuluh antara lain

flavonoid, saponin, triterpenoid dan tanin (Hayati dkk. 2010).

Bakteri Staphylococcus aureus adalah penyebab dari berbagai infeksi pada

tubuh manusia. Penyakit infeksi memiliki karakteristik seperti nekrosis,

peradangan, dan pembentukan abses merupakan tanda-tanda khas dari infeksi ini

(Smith 2001; Loberto 2004; Kusuma 2009, Hayati 2009). Komplikasi yang timbul

dari infeksi kulit dan jaringan lunak karena Staphylococcus aureus merupakan

masalah klinis yang utama. Hal ini dikarenakan tingginya kejadian infeksi dan

munculnya strain kuman resisten antibiotik secara luas. Oleh karena itu kuman yang

menghasilkan leukosidin disebut sebagai kuman piogenik (Qureshi dkk. 2004).

Meningkatnya pertumbuhan bakteri Staphylococcus Aureus akan menghambat

proses penyembuhan luka yang terinfeksi (Shahzad dkk. 2015). Kandungan

senyawa flavonoid berperan sebagai antimikroba yang dapat mempercepat proses

penyembuhan luka (Ambiga dkk. 2007), selanjutnya senyawa tanin juga


mengandung senyawa antibakteri dimana senyawa tersebut membantu

mengkerutkan dinding sel atau membran sel sehingga menghambat permeabilitas

bakteri untuk berkembang (Ajizah 2004), dan sedangkan senyawa saponin

membantu merangsang pembentukan sel epitel yang baru dan mendukung proses

re-epitelisasi, karena semakin cepat proses re-epitelisasi maka semakin cepat proses

penyembuhan luka (Prasetyo dkk. 2010).

Penelitian Wijayanti dan Safitri (2018), tentang ekstrak daun belimbing wuluh

(Averrhoa bilimbi Linn) terhadap aktivitas antibakteri Staphylococcus aureus

dengan konsentrasi 2,5%, 5%, dan 10%, menunjukkan bahwa konsentrasi 10%

mempunyai daya hambat diameter rata-rata yang terbesar. Penelitian yang

dilakukan oleh Amirah (2013), pada jumlah fibroblast pada gingiva pasca

gingevektomi dengan konsentrasi ekstrak daun belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi

Linn) 9%, 10,5%, 12%, menunjukkan konsentrasi 12% menunjukkan peningkatan

jumlah fibroblast yang baik, sedangkan Hartini (2012), yang menggunakan

konsentrasi ekstrak daun daun belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi Linn) 10%,

20%, dan 40%, menunjukkan bahwa konsentrasi 10% sudah meningkatkan jumlah

fibroblas lebih tinggi.

Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

pengaruh pemberian ekstrak daun belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi Linn)

terhadap jumlah fibroblas pada penyembuhan luka sayat yang terinfeksi bakteri

Staphylococcus aures pada tikus wistar (Rattus norvegicus).


1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini

adalah apakah terdapat pengaruh pemberian ekstrak daun belimbing wuluh

(Averrhoa bilimbi Linn) terhadap jumlah fibroblas pada penyembuhan luka sayat

yang terinfeksi bakteri Staphylococcus aures pada tikus wistar (Rattus norvegicus)?

1.2 Tujuan Penelitian

1.2.1 Tujuan Umum

Mengetahui pengaruh pemberian ekstra daun belimbing wuluh (Averrhoa

bilimbi Linn) terhadap jumlah fibroblas pada penyembuhan luka sayat yang

terinfeksi bakteri Staphylococcus aures pada tikus wistar (Rattus norvegicus).

1.2.2 Tujuan Khusus

Mengetahui konsentrasi efektif ekstrak daun belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi

Linn) terhadap jumlah fibroblas pada penyembuhan luka sayat yang terinfeksi bakteri

Staphylococcus aures pada tikus wistar (Rattus norvegicus).

1.3 Manfaat Penelitian

1.3.1 Manfaat Akademik

Sebagai bahan referensi untuk penelitian sejenis yang memanfaatkan tanaman

herbal sebagai penyembuhan, pengobatan, dan antibakteri.


1.3.2 Manfaat Praktis

Memberikan informasi kepada mahasiswa dan masyarakat tentang

pengaruh dan konsentrasi yang efektif pada pemberian ekstra daun belimbing

wuluh (Averrhoa bilimbi Linn) terhadap jumlah fibroblas pada penyembuhan luka

sayat yang terinfeksi bakteri Staphylococcus aures pada tikus putih (Rattus

norvegicus)

Anda mungkin juga menyukai