Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ahli anestesi atau anestesiologi dewasa ini, menjadi disiplin ilmu yang sangat
berperan dalam proses pembedahan. Sebelum dilakukan pembedahan, seorang ahli
anestesi perlu melakukan pemeriksaan klinik pra bedah untuk mempersiapkan kondisi
pasien siap dilakukan pembedahan. Selain kondisi fisik dan mental pasien, tempat dan
jenis tindakan bedah yang akan dilakukan turut berperan dalam menentukan
kebutuhan anestesi yang akan diberikan. Peran ahli anestesi dalam menjaga kestabilan
tanda vital pasien sangatlah penting dalam menentukan kemudahan dan hasil akhir
suatu proses pembedahan.

B. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan adalah agar pembaca dapat memahami jenis dan urutan
penggunaan obat dalam ilmu anestesi selama perioperative. Selain itu, penulis juga
berharap pembaca dapat bertambah wawasannya dalam hal obat-obat anestesi.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Premedikasi
Agar ahli anestesiologi dapat melakukan pilihan rasional bagi tindakan untuk
pasien tertentu yang akan menjalani operasi, penting evaluasi prabedah yang teliti dan
menyeluruh. Pemeriksaan klinik prabedah dan pemeriksaan selanjutnya oleh ahli
anestesiologi bertujuan memperoleh keterangan penting tentang riwayat penyakit,
keadaan klinik, pemeriksaan fisik dan hasil laboratorium pasien. Hal ini membantu
untuk mengklasifikasi pasien menurut The American Society of Anesthesiology
yaitu :
1. Pasien sehat, normal
2. Pasien memiliki penyakit sistemik ringan, tidak ada gangguan fungsional
3. Pasien dengan penyakit sistemik sedang, dengan gangguan fungsional
4. Pasien dengan penyakit sistemik berat, yang menjadi ancaman konstan
terhadap nyawa
5. Pasien terminal yang diperkirakan tidak selamat dalam waktu 24 jam
dengan atau tanpa operasi
6. Pasien donor organ yang sudah dinyatakan mati batang otak.1
Premedikasi dimaksudkan untuk memfasilitasi prosedur anestesia.
Premedikasi adalah pemberian satu obat atau lebih sebelum anestesia untuk mencegah
semua penyakit yang dapat timbul selama dan sesudah anestesia maupun
pembedahan. Premedikasi dapat diberikan di ruangan atau di kamar bedah. Obat-obat
premedikasi juga memiliki efek samping, sehingga tidak semua pasien yang akan
menjalani anestesia selalu mendapatkan premedikasi yang sama.1
Premedikasi sendiri bukan merupakan tindakan yang dilakukan sebelum
pemberian obat tertentu, melainkan pemberian obat atau obat-obatan sebelum
anestesia, untuk mendapatkan kondisi yang diharapkan oleh anestesiologi. Obat
premedikasi diberikan oleh dokter anestesiologi bukan dokter lain. Premedikasi bukan
suatu keharusan dan sesuatu yang rutin untuk setiap anestesia.1
Tujuan dari premedikasi yaitu mengurangi kecemasan, mengurangi nyeri,
mengurangi kebutuhan obat-obat anestetik, mengurangi sekresi saluran pernapasan,
menyebabkan amnesia, mengurangi kejadian mual-muntah pascaoperasi, membantu
pengosongan lambung, mengurangi produksi asam lambung atau meningkatkan pH
asam lambung, dan mencegah refleks-refleks yang tidak diinginkan.2

1. Pencegahan Ansietas
Salah satu kondisi yang tidak diinginkan adalah kecemasan. Kecemasan dapat
meningkatkan produksi dan penglepasan katekolamin darah yang memicu
peningkatan tonus simpatis, sehingga akan terjadi peningkatan tekanan darah dan laju
jantung. Tentu kondisi ini tidak baik bagi anestesia. Konsumsi O2 meningkat,
penggunaan obat anestetik meningkat, risiko komplikasi sistem kardiovaskular
meningkat, risiko komplikasi pasca-anestesia pun meningkat. Amnesia anterograd
yang ditimbulkan oleh obat ansiolitik memiliki efek menguntungkan untuk mencegah
trauma psikologis akibat "pengalaman tidak menyenangkan" yang mungkin dialami
pasien selama pembedahan. Sebagian hipertensi perioperatif ternyata disebabkan oleh
kecemasan. Selain pemberian obat ansiolitik, kecemasan dapat dikurangi dengan
komunikasi yang baik antara dokter dan pasien pada saat kunjungan pra-anestesia.
Dalam beberapa literatur terdapat bukti bahwa pendekatan dengan cara seperti itu
memiliki efek menenangkan yang bermakna. Obat derivate benzodiazepine yaitu
diazepam dan midazolam memiliki efek antiansiolitik,sedasi dan menimbulkan
amnesia antero grad. 1

2. Pencegahan penyulit jalan napas


Hipersekresi jalan napas juga perlu dikurangi, bila mungkin dicegah. Trakea
merupakan jalan napas utama dalam tubuh manusia dan satu-satunya pintu masuk O2.
Jika pasase udara terganggu, tentu akan terganggu pula oksigenasi pasien. Terutama
pada pasien yang terhipnosis, kemampuan mempertahankan patensi jalan napas akan
terganggu. Sekalipun pasien menjalani anestesi umum dengan intubasi endotrakeal,
hipersekresi jalan napas tetap merupakan penyulit, terutama jika ini meliputi seluruh
jalan napas. Penyulit lain yang berhubungan dengan jalan napas adalah asma
bronkiale atau hipersensitivitas jalan napas. Selain harus diketahui faktor
pencetusnya, pada pasien dengan penyulit ini perlu dipersiapkan hal-hal yang dapat
mencegah atau setidaknya mengurangi gejala. Perlu dipertimbangkan pemberian obat
bronkodilator, agonis beta dan steroid. 1

3. Pencegahan pneumonia aspirasi


Terkadang pasien tertentu memiliki resiko pneumonia aspirasi yang tinggi.
Sebagian contoh pasien dengan refluks esofagitis, pasien hamil besar, pasien dengan
tumor intra-abdomen, termasuk pasien emergensi yang tidak sempat dipuasakan.
Pasien seperti ini ketika dilakukan induksi anestesia dapat terjadi refluks isi lambung
ke atas dan karena posisi pasien terlentang maka besar resiko terjadinya aspirasi isi
lambung. Pasien yang berisiko dengan risiko pneumonia aspirasi seringkali diberi
metoklopramid untuk mempercepat pengosongan lambung atau diberikan antagonis
H2. 1

4. Mengurangi nyeri
Obat analgetika seringkali diperlukan pada pasien yang terus menerus
merasakan nyeri. Penggunaan opioid sekarang ini sebagai premedikasi di ruangan
sudah sangat terbatas karena berpotensi menimbulkan depresi sistem saraf pusat.
Alternatif analgetik selain golongan opioid adalah obat-obat antiinflamasi
nonsteroid(NSAID). Pemilihan obat ini harus cermat karena efek samping yang
ditimbulkan yaitu asma bronkiale yang dicetuskan obat NSAID tertentu, NSAID
dapat bersifat iritatif pada lambung dan sistem koagulasi darah. 1

B. Obat yang sering diberikan untuk premedikasi


1. Benzodiazepin
Golongan obat benzodiazepin adalah diazepam, temazepam, lorazepam, dan
midazolam. Benzodiazepin memiliki beberapa efek yakni ansiolitik, sedatif, dan
amnesia. Midazolam oral sering digunakan pada anak-anak. Midazolam sirup efektif
sebagai sedatif dan ansiolitik pada dosis 0,2-0,4 mg/kgBB. Waktu pulih dari
midazolam meningkat pada pasien usia lanjut, obesitas, dan penyakit hati berat. Dosis
dari midazolam intravena adalah 0,05 mg/kgBB. 1,3
2. Opioid
Pemberian opioid dapat menimbulkan sedasi karena depresi susunan saraf
pusat. Opioid dengan waktu paruh yang panjang dapat pula memberikan efek
analgesia pascaoperasi. Depresi susunan saraf pusat termasuk depresi napas menjadi
kelemahan opioid. Hipoventilasi dapat mengakibatkan hipoksia dan hiperkapnia yang
tentu saja dapat berbahaya. Penggunaan opioid sebaiknya dihindari pada pasiem yang
akan melahirkan, pasien dengan kesadaran tidak baik dan pasien dengan gangguan
fungsi pernapasan. Opioid merangsang CTZ (Chemoreceptor Trigger Zone) di
ventrikel IV otak, mencetuskan mual muntah. Oleh sebab itu penggunaan opioid
seringkali disertai antiemetik. Morfin dan opioid dapat menimbulkan spasme sfinkter
Oddi pasien dengan obstruksi traktus biliaris yang dapat menimbulkan nyeri abdomen
kuadran atas. Efek lain yang sering timbul setelah pemberian opiat dan opioid adalah
penglepasan histamin.Dosis fentanyl adalah 1-5mcg/kgBB. 1
3. Antikolinergik
Obat antikolinergik adalah obat yang memblokade neurotransmitter asetilkolin
dengan cara inhibisi kompetitif. Obat-obat ini menginhibisi tonus parasimpatis,
dengan konsekuensi menurunkan tonus otot polos di saluran cerna, saluran kemih dan
sebagainya. Contoh obat golongan ini adalah atropine, glikopirolat, difenhidramin,
dimenhidrinat, ipratropium bromide. Atropin paling banyak digunakan. Selain
relaksasi sfingter, atropine menyebabkan dilatasi pupil. Oleh karena itu penggunaan
atropine perlu perhatian khusus pada glaucoma sudut sempit , hipertrofi prostat dan
obstruksi kandung kemih. Dosis atropine sebagai premedikasi adalah 0,01-0,02
mg/kgBB. Efek yang diinginkan adalah antisialagog(mengurangi sekresi jalan napas).
Obat ini juga berguna untuk mengatasi reflex vagal karena atropine mempunyai sifat
vagolitik. Efek lain antikolinergik yang tidak diinginkan adalah meningkatnya risiko
refluks gastroesofagus akibat penurunan tonus sfingter esophagus, agitasi, konvulsi
hingga koma, siklopegia, demam akibat hambatan sekresi keringat dan mulut kering
yang berlebihan. Oleh sebab itu, pemberian atropine sebagai premedikasi tidak boleh
terlalu lama sebelum anesthesia dimulai karena akan menimbulkan sensasi yang tidak
menyenangkan pada pasien. 1
4. β-blocker
Pemberian obat ini di kamar bedah sebagai premedikasi terbatas pada preparat
intravena yang berawitan sangat cepat dan durasinya pendek. Obat ideal untuk
keperluan ini adalah esmolol atau pilihan nomor dua, metoprolol. Penggunaan
golongan obat ini sebagai premedikasi dimaksudkan untuk menghambat respon
hemodinamik akibat stimulus nosiseptif(laringoskop dan intubasi) serta menghambat
respon stress neuroendokrin. Obat ini tidak memiliki kemampuan analgesia.
Penggunaan β-blocker yang tidak selektif sebaiknya dihindari pada pasien asma
bronkiale karena sekatan dapat terjadi juga di reseptor β2 di bronkus dan
menyebabkan bronkokonstriksi. 1
5. Klonidin dan Deksmedetomidin
Obat-obat ini merupakan agonis α2 yang dapat mempotensiasi anastesia
dengan menurunkan aktivitas noradrenergic pusat serta simpatolitik. Pemberian
premedikasi klonidin digunakan sebagai antihipertensi dengan dosis 0,1 mg dalam 30-
60 menit sebelum operasi, memiliki efek sedasi serta menurunkan kebutuhan akan
anastesia perioperative. Khusus deksmedetomidin dikatakan memiliki efek
analgetik.Obat golongan ini menghambat pelepasan norepinefrin secara sentral. Oleh
karena itu pemberiannya harus dihindari pada pasien-pasien yang sangat memerlukan
kemampuan kompensasi kardiovaskular, misalnya pada pasien syok hipovolemik. 1
6. Antagonis reseptor H2, Inhibitor Pompa Proton
Proton pump inhibitor seperti omeprazole, lansoprazol dan pantoprazole
bekerja pada sel parietal lambung, berikatan dengan menghambat pompa proton
sehingga menghambat sekresi asam lambung. Penggunaannya untuk profilaksis
aspirasi asam lambung pada anesthesia umum tertentu terbatas dibandingkan dengan
penggunaan di atas. Inhibitor reseptor H2 menghambat pengikatan histamin pada
reseptor H2 sehingga mengurangi sekresi dan volum gaster serta menurunkan pH
lambung sehingga lebih efektif mencegah pneumonia aspirasi. Sebagai profilaksis
dapat digunakan dosis ranitidine 50 mg IV. Ranitidin oral 150-300 mg diberikan
malam hari dan waktu 1-2 jam pra-anastesia. Pemberian harus lebih berhati-hati pada
pasien dengan kelainan ginjal dna hepar. 1
7. Antagonis Serotonin
Serotonin atau 5-hidroksitriptamin(5-HT) adalah neurotransmitter monoamine.
Secara dominan 5-HT ada dalam traktus gastrointestinal, platelet dan susunan saraf
pusat. Pada system hematologi, serotonin 5HT2A bertanggung jawab pada kontraksi
otot polos dan menyebabkan kontraksi yang meningkatkan peristaltic tanpa
memengaruhi sekresi. Selain itu 5HT3 dapat ditemukan pada reseptor yang
memediasi pusat muntah di otak dan juga lambung. Antagonis 5HT3 yang pertama
dikenal ada beberapa jenis, yaitu derivate karbazol(ondansetron),
indazol(granisetron), dan indol(tropisetron dan dolasetron). Granisteron biasa
diberikan 1 mg sebelum induksi anestesi. Antagonis reseptor 5HT hamper semuanya
adalah antiemetik. Penggunaan rutin sebagai profilaksis antimual dan muntah
dianjurkan sebelum induksi dan pasca bedah terutama pada pasien dengan riwayat
mual muntah, pasien menjalani pembedahan yang berisiko tinggi menyebabkan
nausea seperti laparoskopi, serta operasi yang memerlukan pencegahan mual muntah
seperti pada bedah saraf atau operasi mata. Dosisi yang direkomendasikan pada
ondansetron adalah 4 mg. 1
8. Metoklorpropamid
Metoklorpropamid bekerja sebagai cholinomimetic yang memfasilitasi
transmisi asetilkolin pada reseptor muskarinik selektif. Obat ini adalah agen
prokinetik pada saluran cerna bagian atas, meningkatkan tonus sfingter esophagus
bagian bawah, mempercepat pengosongan lambung dan menurunkan volum gaster.
Efektif pada pasien dengan gastropati diabetikum, gastro-esophageal reflux
disease(GERD) dan pencegahan pneumonia aspirasi. Dosis metoklorpropamid
0,25mg/kgBB efektif secara oral dengan awitan 30-60 menit dan secara intravena
dengan awitan 1-3 menit. Dosis lebih besar 1-2 mg/kgBB dapat digunakan pada
emesis kemoterapi. Efek samping pada pemberian intravena cepat adalah kram
abdominal. Obat ini dikontraindikasikan pada Parkinsonisme, obstruksi usus, serta
feookromasitoma karena dapat menyebabkan penglepasan katekolamin dari tumor.
Obat dieksresikan di urin sehingga perlu hati-hati pada pasien gangguan ginjal. 1
C. Obat-obat Anestesi Umum
Obat anestesi dapat digunakan untuk induksi dan pemeliharaan anestesi atau
sedasi tergantung dari dosis yang diberikan. Dalam sebagian besar kasus, obat
anestesi intravena digunakan untuk induksi dan obat anestesi inhalasi digunakan
untuk pemeliharaan. Obat anestesi intravena akan menuju ke seluruh jaringan tubuh
melalui sirkulasi umum, selanjutnya menuju organ target dan akhirnya dieksresikan.
Obat yang sering digunakan untuk induksi anestesi intravena adalah propofol dan
ketamine. 4
1. Propofol
Propofol telah menjadi pilihan paling popular dalam intravena anestesi.
Kemampuan onsetnya dengan barbiturate inttravena hampir sama namun kecepatan
pemulihan propofol lebih cepat dan pasien dapat berjalan lebih cepat setelah anestesi
umum. Efek farmakologi propofol adalah hipnotik murni, tidak mempunyai efek
analgetik maupun relaksasi otot. Propofol juga memiliki efek antiemetic sehingga
mengurangi kejadian mual muntah pasca operasi. Propofol memiliki onset 30-45 detik
dengan durasi 4-7 menit. Sakit saat dimasukkan secara bolus merupakan adverse
effect yang umum pada propofol. Efek samping yang ditimbulkan hipotensi, depresi
napas hingga apnea, nyeri pada saat injeksi, pergerakkan involunter, cegukan dan
propofol infusion syndrome(asidosis metabolic, kardiomiopati akut, dan miopati
skeletal). Dosis Induksi propofol yaitu 1-2mg/kgBB.3,4
2. Ketamine
Obat ini dapat menimbulkan stadium anestetik disosiatif seperti katatonia,
amnesia dan analgesia dengan atau tanpa kehilangan kesadaran. Ketamin merupakan
obat anestetik intravena yang memiliki efek analgesic dan kemampuan menghasilkan
rangsangan kardiovaskular dengan dose-related. Efek analgesia sangat kuat, akan
tetapi efek hipnotiknya kurang. Denyut nadi , arterial blood pressure dan cardiac
output dapat meningkat secara signifikan diatas nilai awal. Ketamin meningkatkan
aliran darah otak, konsumsi oksigen dan tekanan intracranial. Penggunaan ketamine
berhubungan dengan diorientasi post operasi, ilusi pada persepsi dan sensori serta
vivid dream. Diazepam 0,2-0,3 mg/kgBB atau midazolam 0,025-0,05 mg/kgBB IV
yang diberikan sebelum pemberian ketamine dapat menurunkan kejadian dari efek
yang tidak diinginkan tersebut. Terdapat tiga kemasan vial dengan konsentrasi
100mg/ml, 50mg/ml dan 25 mg/ml yang masing-masing kemasan vial berisi 10 ml.
Sebelum digunakan dibuat larutan yang mengandung 10 mg/ml dengan akuades
sebagai bahan pengencernya.Dosis ketamine adalah 1-2 mg/kgBB4,5

3. Halotan
Halotan memiliki nilai MAC nya yaitu 1 MAC = 0,75%. Efek dari halotan
menimbulkan depesi pada system saraf pusat di semua komponen otak. Depresi pada
pusat kesadaran menimbulkan efek hipnotik, depresi pada pusat sensorik
menimbulkam efek analgesia dan depresi pada pusat motoric menimbulkan relaksasi
otot. Depresi pada pusat pernapasan sehingga napas menjadi cepat dan dangkal.
Tingkat depresinya tergantung dari dosis yang diberikan. Terhadap pembuluh darah
otak menyebabkan vasodilatasi sehingga aliran darah otak meningkat dan tekanan
intracranial juga meningkat. Oleh karena itu,halotan tidak dipilih untuk anestesi pada
kraniotomi. Halotan juga menurunkan aliran darah ginjal namun bersifat temporer.
Apabila ada gangguan pada ginjal,hasil metabolism halotan dapat terjadi akumulasi. 3
4. Sevofluran
Sevofluran memiliki kecepatan induksi 2-3 menit. Konsentrasi induksi 6-7%
dengan konsentrasi pemeliharaan 2-3%. Efek samping yang diberikan adalah
vasodilatasi hingga menyebabkan hipotensi dan depresi napas. Keuntungan dari
sevofluran ialah induksi cepat dan lancar, tidak iritatif terhadap mukosa saluran
pernapasan, dan pemulihan paling cepat. Namun kelemahan dari sevofluran ialah
analgesia dan relaksasi yang kurang sehingga perlu dikombinasikan dengan obat lain.
3

5. Isoflurane
Isoflurane memiliki kecepatan induksi 2-3 menit, jarang digunakan tunggal
karena iritatif terhadap mukosa saluran pernapasan. Konsentrasi induksi ialah 5%
dengan dosis pemeliharaan 1-1,5%. Efek samping yang ditimbulkan ialah hipotensi,
takikardi, dan depresi napas. Keuntungannya adalah konsentrasi sampai 1 MAC tidak
meningkatkan aliran darah coroner dan serebral sehingga banyak digunakan dalam
kasus bedah jantung dan bedah saraf. Kelemahan dari isoflurane sama dengan
sevoflurane. 3
6. Nitrous oxide (N2O)
Nitrous oxide(N2O) berdifusi secara bertahap dari alveoli ke dalam darah dan
mencapai saturasi 100% dalam waktu 5 jam. N2O tidak diikat oleh hemoglobin, tetapi
larut dalam plasma dengan kelarutan 15 kali lebih besar daripada kelarutan oksigen.
N2O mampu berdifusi ke seluruh rongga dalam tubuh sehingga dapat menyebabkan
hipoksia difusi jika tidak dikombinasi dengan oksigen. Efek klinis yaitu analgetik.
Efek samping yang ditimbulkan adalah depresi napas(jika diberikan bersama opioid),
tuli karena perubahan tekanan rongga telinga, pneumothoraks, depresi sumsum
tulang(pada pemakaian jangka panjang), efek teratogenik(usia gestasi 1-6 minggu)
dan hipoksia difusi pasca anestesi. 3
7. Antagonis obat pelumpuh otot non depolarisasi
Pemulihan tonus otot rangka akibat pengaruh obat pelumpuh otot non
depolarisasi bisa berlangsung secara spontan setelah masa kerja obat berakhir. Namun
untuk mempercepat pemulihannya perlu diberikan obat antagonisnya yaitu
neostigmine metilsulfat atau prostigmin. Obat ini merupakan obat antikolinesterase
yang berkhasiat menghambat kerja enzim kolinesterase untuk menghidrolisis
asetilkolin, sehingga terjadi akumulasi asetilkolin oada hubungan saraf otot atau pada
ujung saraf kolinergik.Akumulasi asetilkolin akan meningkatkan kemampuan
asetilkolin untuk berkompetisi dengan obat pelumpuh otot non depolarisasi sehingga
hantaran saraf otot kembali berlangsung normal dan tonus otot pulih kembali. Namun
efek samping dari akumulasi asetilkolin ini adalah terjadinya peningkatan aktivitas
kolinergik seperti bradikardi, hiperperistaltik, dan spasme saluran cerna, peningkatan
sekresi kelenjar saluran cerna, saluran napas dan kelenjar keringat, spasme bronkus,
miosis, dan kontraksi kandung kemih. Hampir sebagian efek ini dapat dinetralkan
dengan pemberian sulfas atropine(obat antikolinergik) sehingga neostigmine harus
diberikan bersama-sama dengan sulfas atropine dalam satu spuit atau terpisah.
Neostigmin dapat diberikan secara bertahap mulai dari 0,5 mg IV, selanjutnya dapat
diulang sampai dosis total 5 mg. Neostigmin diberikan bersama-sama dengan sulfas
atropine dengan dosis 1-1,5 mg. Pada keadaan tertentu, misalnya : takikardi atau
demam, pemberian sulfas atropine dipisahkan dan diberikan setelah prostigmin. 5
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ahli anestesi atau anestesiologi dewasa ini, menjadi disiplin ilmu yang sangat
berperan dalam proses pembedahan. Sebelum dilakukan pembedahan, seorang ahli
anestesi perlu melakukan pemeriksaan klinik pra bedah untuk mempersiapkan kondisi
pasien siap dilakukan pembedahan. Premedikasi dimaksudkan untuk memfasilitasi
prosedur anestesia. Premedikasi adalah pemberian satu obat atau lebih sebelum
anestesia untuk mencegah semua penyakit yang dapat timbul selama dan sesudah
anestesia maupun pembedahan. Premedikasi dapat diberikan di ruangan atau di kamar
bedah. Obat-obat premedikasi juga memiliki efek samping, sehingga tidak semua
pasien yang akan menjalani anestesia selalu mendapatkan premedikasi yang sama.
Pentingnya tahap-tahap seperti premedikasi, induksi, maintenance, dan
pemulihan dalam anestesi tentu bertujuan agar proses pembedahan dapat memberikan
hasil akhir yang baik sesuai yang diharapkan.
DAFTAR PUSTAKA
1.Soenarto RF, Chandra S. Buku ajar anestesiologi.Jakarta:Departemen anestesiologi
dan intensive care RS Cipto Mangunkusumo;2012.h.197—207.
2.Katzung BG..Basic & clinical pharmacology.10th ed.USA : The McGraw-Hill
Companies; 2007.
3.Brunton LL, Parker KL.Goodman&gillman :manual of pharmacology and
therapeutics. USA : The McGraw-Hill Companies;2008.p.221-53.
4.Beauchamp, Evers, Mattox. Sabiston textbook of surgery.19th
ed.Canada:Elsevier;2012.p.405
5.Mangku G, Senapathi TGA. Buku ajar:ilmu anestesi dan
reanimasi.Jakarta:Indeks;2010.p.24-78.

Anda mungkin juga menyukai