Anda di halaman 1dari 12

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) disebabkan oleh bakteri (Mycobacterium

tuberculosis) yang paling sering menyerang paru-paru. TBC dapat

disembuhkan dan dicegah. TB menyebar dari orang ke orang melalui

udara. Ketika orang dengan TB paru batuk, bersin atau meludah, mereka

mendorong kuman TBC ke udara. Seseorang perlu menghirup hanya

beberapa kuman ini untuk terinfeksi. (WHO, 2018)

Menurut WHO tuberkulosis merupakan penyakit yang menjadi

perhatian global. Dengan berbagai upaya pengendalian yang dilakukan,

insiden dan kematian akibat tuberkulosis telah menurun, namun

tuberkulosis diperkirakan masih menyerang 9,6 juta orang dan

menyebabkan 1,2 juta kematian pada tahun 2014. India, Indonesia dan

China merupakan negara dengan penderita tuberkulosis terbanyak yaitu

berturut-turut 23%, 10%, dan 10% dari seluruh penderita di dunia (WHO,

2015).

Menurut WHO (2018), Tuberculosis (TB) is caused by bacteria

(Mycobacterium tuberculosis) that most often affect the lungs.

Tuberculosis is curable and preventable. TB is spread from person to

person through the air. When people with lung TB cough, sneeze or spit,

they propel the TB germs into the air. A person needs to inhale only a few

of these germs to become infected. Apabila diterjemahkan yaitu

Tuberkulosis (TB) disebabkan oleh bakteri (Mycobacterium tuberculosis)


2

yang paling sering menyerang paru-paru. TBC dapat disembuhkan dan

dicegah. TB menyebar dari orang ke orang melalui udara. Ketika orang

dengan TB paru batuk, bersin atau meludah, mereka mendorong kuman

TBC ke udara. Seseorang perlu menghirup hanya beberapa kuman ini

untuk terinfeksi. (www.who.int)

Pada tahun 1882 merupakan saat Robert Koch mengumumkan

bahwa dia telah menemukan bakteri penyebab tuberculosis (TBC) yang

kemudian membuka jalan menuju diagnosis dan penyembuhan penyakit

ini. Meskipun jumlah kematian akibat tuberkulosis menurun 22% antara

tahun 2000 dan 2015, namun tuberkulosis masih menepati peringkat ke-

10 penyebab kematian tertinggi di dunia pada tahun 2016 berdasarkan

laporan WHO. Oleh sebab itu hingga saat ini TBC masih menjadi prioritas

utama di dunia dan menjadi salah satu tujuan dalam SDGs (Sustainability

Development Goals) (2018).

Jumlah angka kejadian TBC di Indonesia pada tahun 2017 masih

terhitung sangat tinggi yaitu sebanyak 420.994 kasus (data per 17 Mei

2018). Berdasarkan jenis kelamin, jumlah kasus baru TBC tahun 2017

pada laki-laki 1,4 kali lebih besar dibandingkan pada perempuan. Bahkan

berdasarkan Survei Prevalensi Tuberkulosis prevalensi pada laki-laki 3

kali lebih tinggi dibandingkan pada perempuan. Begitu juga yang terjadi di

negara-negara lain. Hal ini terjadi kemungkinan karena laki-laki lebih

terpapar pada fakto risiko TBC misalnya merokok dan kurangnya

ketidakpatuhan minum obat. Survei ini menemukan bahwa dari seluruh

partisipan laki-laki yang merokok sebanyak 68,5% dan hanya 3,7%

partisipan perempuan yang merokok. (Badan Pusat Statistik, 2017)


3

Angka kejadian TB di Jawa Barat masih lebih tinggi dibanding

dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Jawa Barat terdapat 78.698

angka kejadian, sedangkan di Jawa Tengah terdapat 42.272 kejadian dan

di Jawa Timur terdapat 48.323 kejadian penderita TB. Sebenarnya kasus

TB Paru dapat ditanggulangi dengan indikator yang digunakan dalam

penanggulangan TB salah satunya Case Detection Rate (CDR), yaitu

jumlah proporsi pasien baru BTA positif yang ditemukan dan pengobatan

terhadap jumlah pasien baru BTA positif, yang diperkirakan dalam

wilayah tersebut (Kemenkes, 2015). Pencapaian CDR (Case Detection

Rate-Angka Penemuan Kasus) TB di Indonesia tiga tahun terakhir

mengalami penurunan yaitu tahun 2012 sebesar 61 %, tahun 2013

sebesar 60 %, dan tahun 2014 menjadi 46 % (Kemenkes RI, 2015).

Pencapaian Angka CDR Kab/Kota dan jumlah kab/Kota yang

mencapai target CDR 70 % di Jawa Barat dari tahun sebelumnya

bervariasi, ada meningkat, tetap dan menurun. Namun secara

menyeluruh pencapaian angka CDR di tingkat provinsi makin menurun,

hal ini disebabkan antara lain data penemuan kasus yang masuk dalam

indikator CDR adalah data kasus baru TB BTA positif, sedangkan

kecenderungan penemuan kasus baru TB BTA positif memang menurun,

sebagai dampak penemuan dari limpahan kasus fasilitas kesehatan

swasta (dari peserta BPJS di fasilitas kesehatan PPK I yang belum DOTS

dan diagnose tidak berdasarkan bakteriologia), umumnya diobati 1 bulan

(karena terkait pembiayaan BPJS) selanjutnya dikembalikan ke

puskesmas, sedangkan kasus yang makin meningkat adalah kasus yang

pengobatan ulang, yang tercatat sebagai suspek TB Resisten Obat,


4

karena kasus TB Resisten Obat di Provinsi Jawa Barat meningkat setiap

tahunnya. (Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Provinsi Jawa Barat,

2016)

Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan beberapa faktor yang

berhubungan dan mempengaruhi kualitas hidup pasien tuberkulosis paru,

di antaranya faktor sosiodemografi, lama pengobatan, penyakit penyerta

kronik, depresi, dan dukungan sosial (Unalan, et al, 2008). Penyakit

Tuberkulosis paru akan berdampak bukan hanya pada kesehatan fisik,

tetapi juga pada keadaan psikis (mental) dan sosialnya. Dampak

psikis dan sosial dirasakan pasien akibat adanya stigma terkait

tuberkulosis dan perubahan sikap orang di sekitarnya. Dampak akibat

tuberkulosis paru dapat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan dan

menyebabkan penurunan kualitas hidup pasien. Kualitas hidup pasien

yang optimal menjadi isu penting yang harus diperhatikan dalam

memberikan pelayanan keperawatan yang komprehensif. Hal ini

dikarenakan kualitas hidup akan mempengaruhi kelangsungan hidup

pasien itu sendiri terkait dengan harapan hidupnya. Kualitas hidup

menjadi salah satu tujuan terapi pengobatan tuberkulosis, untuk

peningkatan status kesehatan pasien secara umum. Kualitas hidup

merupakan konsep yang luas yang mempengaruhi secara kompleks

dan subyektif pada berbagai dimensi kehidupan yang berhubungan

dengan penyakit dan terapi (Jannah, 2015).

Kualitas hidup merupakan salah satu kriteria utama untuk

mengetahui intervensi pelayanan kesehatan seperti morbiditas,

mortalitas, fertilitas dan kecacatan. Di negara berkembang pada


5

beberapa dekade terakhir ini, insidensi penyakit kronik mulai

menggantikan dominasi penyakit infeksi di masyarakat. Sejumlah orang

dapat hidup lebih lama, namun dengan membawa beban penyakit

menahun atau kecacatan, sehingga kualitas hidup menjadi perhatian

pelayanan kesehatan (Yunianti, 2012).

Penyakit Tuberkulosis besar pengaruhnya pada kualitas hidup dari

penderitanya, beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kualitas hidup

pasien tuberkulosis paru di antaranya adalah jenis kelamin, tingkat

pendidikan, dan dukungan keluarga. Jenis kelamin merupakan suatu

variable untuk membedakan presentasi penyakit antara laki-laki dan

perempuan. Pada tahun 2012 WHO melaporkan bahwa disebagian besar

dunia, lebih banyak laki-laki daripada perempuan didiagnosis

tuberkulosis. Kualitas hidup juga berhubungan dengan tingkat pendidikan

seseorang. Pada penderita dengan pendidikan rendah memiliki kualitas

hidup yang rendah dibanding dengan yang berpendidikan tinggi, satu hal

yang tidak kalah penting yaitu sistem dukungan, termasuk didalamnya

dukungan yang berasal dari lingkungan keluarga, masyarakat, maupun

sarana-sarana fisik seperti tempat tinggal atau rumah yang layak dan

fasilitas-fasilitas yang memadai sehingga dapat menunjang kehidupan

(Angriyani, 2008).

Menurut Ratnasari (2012) menyatakan fenomena di masyarakat

sekarang ini adalah masih adanya anggota keluarga yang takut apalagi

berdekatan dengan seseorang yang disangka menderita tuberkulosis

paru, sehingga muncul sikap berhati-hati secara berlebihan, misalnya

mengasingkan penderita, tidak mau mengajak berbicara, kalau dekat


6

dengan penderita akan segera menutup hidup dan sebagainya. Penderita

akan tertekan dan merasa dikucilkan, sehingga dapat berdampak pada

kondisi psikologisnya dan akhirnya akan mempengaruhi keberhasilan

pengobatan, keluhan psikologis ini akan mempengaruhi kualitas

hidupnya.

Kualitas hidup terdiri dari beberapa dimensi yaitu dimensi fisik

seperti aktivitas sehari-hari, ketergantungan obat-obatan dan bantuan

medis, energi dan kelelahan, mobilitas, sakit dan ketidaknyamanan, tidur

dan istirahat, serta kapasitas kerja, dimensi hubungan sosial mencakup

relasi personal, dukungan sosial, aktivitas sosial, dimensi psikologis

mencakup bodily dan appearance, perasaan negative, perasaan positif,

self-esteem, berfikir, belajar, memori dan konsentrasi, dimensi lingkungan

mencakup sumber finansial, freedom, physical safety dan security,

perawatan kesehatan dan social care, lingkungan rumah, kesempatan

untuk mendapatkan berbagai informasi baru dan keterampilan, partisipasi

dan kesempatan untuk melakukan rekreasi atau kegiatan yang

menyenangkan (WHO (1996) dalam Nursalam (2013).

Dari berbagai faktor resiko yang ada maka peneliti mempersempit

lingkup masalah yang akan diteliti dengan hanya mengambil faktor

dukungan keluarga, status keuangan, pengobatan dan stress atau

depresi. Hal ini dikarenakan saling berkesinambungan antara ke empat

faktor tersebut dan disesuaikan dengan kondisi yang ada di wilayah

Kabupaten Cianjur. Bermula dengan keluarga yang kurang mendukung

karena masalah faktor ekonomi keluarga yang kurang sehingga


7

menghambat proses pengobatan pasien sehingga muncul lah depresi

atau stress yang diderita oleh pasien dengan TB paru.

Falsafah keperawatan menurut Roy memiliki delapan falsafah yang

kemudian dibagi menjadi dua yaitu empat berdasarkan falsafah

humanisme dan empat yang lainnya berdasarkan falsafah veritivity.

Falsafah humanisme/kemanusiaan berarti bahwa manusia itu memiliki

rasa ingin tahu dan menghargai, jadi seorang individu akan memiliki

rasa saling berbagi dengan sesama dalam kemampuannya memecahkan

suatu persoalan atau untuk mencari solusi, bertingkah laku untuk

mencapai tujuan tertentu, memiliki holismintrinsik dan selalu berjuang

untuk mempertahankan integritas agar senantiasa bisa berhubungan

dengan orang lain. Sedangkan falsafah veritivity yaitu kebenaran, yang

dimaksud adalah bahwa ada hal yang bersifat absolut. Empat falsafah

tersebut adalah tujuan eksistensi manusia, gabungan dari beberapa

tujuan peradaban manusia, aktifitas dan kreatifitas untuk kebaikan umum,

nilai dan arti kehidupan (Roy, 1995).

Dalam asuhan keperawatan, menurut Roy sebagai penerima

asuhan keperawatan adalah individu, keluarga, kelompok dan

masyarakat yang dipandang sebagai ”holistic adatif system” dalam segala

aspek yang merupakan satu kesatuan. Sistem adalah suatu kesatuan

yang dihubungkan untuk beberapa tujuan dan adanya saling

ketergantungan dari setiap bagian-bagiannya. Sistem terdiri dari proses

input, output, kontrol dan umpan balik (Tomey & Alligood, 2006).

Berdasarkan teori Roy, ada 2 pengkajian yang harus dilakukan oleh

perawat pada penderita TB paru, yaitu pengkajian perilaku dan


8

pengkajian stimulus. Pengkajian perilaku dilakukan pada 4 mode adaptasi

yaitu fisiologis, konsep diri, peran dan interdependen. Sedangkan

pengkajian stimulus ada 3 yaitu fokal, kontekstual dan residual (Roy,

1995).

Data yang peneliti terima dari Dinas Kesehatan Kabupaten Cianjur,

bahwa pada tahun 2014 jumlah penderita TB Paru berjumlah 2.893

kasus, tahun 2015 sebanyak 2.988 kasus, tahun 2016 sebanyak 3.010

kasus dan tahun 2017 sebanyak 3578 kasus. Terlihat jelas bahwa jumlah

kasus setiap tahunnya meningkat (Dinkes Cianjur, 2018).

Dalam tabel dibawah ini terdapat 10 penyakit tertinggi di RSUD

Sayang Cianjur selama tahun 2017 :

Tabel 1.1. Jumlah 10 penyakit tertinggi selama tahun 2017 di RSUD

Sayang Cianjur.

No. Nama Penyakit Jumlah


1. GASTRITIS 9980
2. HYPERTENSI 9177
3. TB PARU 7291
4. DIABETES MELLITUS 5303
5. ARTHTRITIS 4871
6. SCHIZOPHRENIA PARANOID 3529
7. CAD (CORONARY ARTERY DEASIS) 3363
8. STROKE 3350
9. ASPHYXIA 3114
10. KATARAK 3104
Sumber : Data rekam medik (2018)

Dapat dilihat bahwa TB Paru menduduki peringkat ke-3 dengan

jumlah kasus 7291. Jumlah ini menurun dari tahun sebelumnya yang

berjumlah 13034 dan menduduki peringkat pertama dalam 10 penyakit

tertinggi di RSUD Sayang Cianjur. (Rekam Medik RSUD Sayang Cianjur,

2018)
9

Peneliti melakukan studi pendahuluan kepada 10 orang responden

(7 pria & 3 wanita) pada hari Sabtu tanggal 9 Maret 2019 di ruang

penyakit dalam RSUD Sayang Cianjur. Didapatkan hasil bahwa 6 dari 10

pasien jarang berobat karena mereka mengatakan malas minum obat

karena waktu pengobatan yang begitu lama dan efek samping obat yang

dirasakan seperti mual, muntah dan pusing. 4 dari 10 orang mendapatkan

dukungan keluarga yang baik. Mereka mengatakan keluarga selalu

mengingatkan untuk minum obat dan selalu menemani untuk kontrol ke

RSUD. 4 orang dari 6 orang yang jarang minum obat beralasan karena

minimnya biaya untuk berobat. Mereka mengatakan penghasilan sehari-

hari mereka kurang dari 1 juta rupiah sehingga terkadang untuk berobat

menjadi terbengkalai. Salah satu pasien mengatakan "memang untuk

berobatnya gratis, tapi untuk ongkosnya bisa sampai Rp.100.000,-

bahkan lebih. Jadi kami bingung karena kami berasal dari keluarga yang

kurang mampu". 5 dari 10 pasien mempunyai pekerjaan sehingga mereka

mengaku harus mencari-cari waktu untuk pergi berobat dan terkadang

tidak sempat untuk berobat karena mereka harus bekerja. 4 pasien

mengaku cemas akan kondisinya karena proses penyembuhan TB Paru

yang lama sehingga mereka terkadang berfikiran untuk berhenti berobat.

Dari permasalahan tersebut, penulis tertarik untuk melakukan

penelitian tentang “Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kualitas

Hidup Pasien TB Paru di Ruang Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum

Daerah Sayang Cianjur Tahun 2019”.

B. Rumusan Masalah
10

Dari Latar belakang di atas maka yang menjadi rumusan masalah

adalah adakah hubungan antara faktor-faktor yang berhubungan dengan

kualitas hidup pasien tb paru di ruang penyakit dalam Rumah Sakit

Umum Daerah Sayang Cianjur Tahun 2019 ?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Diketahui hubungan antara faktor-faktor yang berhubungan

dengan kualitas hidup pasien TB Paru di Ruang Penyakit Dalam

Rumah Sakit Umum Daerah Sayang Cianjur Tahun 2019.

2. Tujuan Khusus

a. Diketahui gambaran dukungan keluarga di Ruang Penyakit Dalam

Rumah Sakit Umum Daerah Sayang Cianjur tahun 2019.

b. Diketahui gambaran depresi pasien TB paru di Ruang Penyakit

Dalam Rumah Sakit Umum Daerah Sayang Cianjur tahun 2019.

c. Diketahui gambaran keuangan pasien TB Paru di Ruang Penyakit

Dalam Rumah Sakit Umum Daerah Sayang Cianjur tahun 2019.

d. Diketahui gambaran pengobatan pasien TB Paru di Ruang

Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Daerah Sayang Cianjur

tahun 2019.

e. Gambaran kualitas hidup pasien TB Paru di Ruang Penyakit

Dalam Rumah Sakit Umum Daerah Sayang Cianjur tahun 2019.


11

f. Diketahui hubungan antara dukungan keluarga dengan kualitas

hidup pasien TB Paru di Ruang Penyakit Dalam Rumah Sakit

Umum Daerah Sayang Cianjur tahun 2019.

g. Diketahui hubungan antara depresi dengan kualitas hidup pasien

TB Paru di Ruang Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Daerah

Sayang Cianjur tahun 2019.

h. Diketahui hubungan antara status keuangan dengan kualitas

hidup pasien TB Paru di Ruang Penyakit Dalam Rumah Sakit

Umum Daerah Sayang Cianjur tahun 2019.

i. Diketahui hubungan antara pengobatan dengan kualitas hidup

pasien TB Paru di Ruang Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum

Daerah Sayang Cianjur tahun 2019.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi sarana untuk

menerapkan antara ilmu pengetahuan dan teori yang diperoleh di

bangku kuliah, sehingga dapat dijadikan data tambahan atau data

awal untuk penelitian selanjutnya.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Tempat Penelitian

Dapat menambah wawasan dan pengetahuan mengenai

dukungan keluarga dengan kualitas hidup pasien TB Paru dan

untuk bahan pertimbangan dalam memberikan tindakan dan

pelayanan kesehatan yang lebih tepat.

b. Bagi Responden
12

Memberikan pengetahuan dan pengalaman serta saran agar

dapat meningkatkan kualitas hidupnya dalam menjalani hidup

dengan TB Paru.

c. Bagi Peneliti

Penelitian ini dapat menambah ilmu pengetahuan baru dan

pengalaman proses belajar serta dapat menjadi pengalaman riset

sebagai bekal dalam menjalankan praktek klinis, dengan

mengembangkan Asuhan Keperawatan yang komprehensif

terutama dalam preventif dan promotif.

d. Bagi Institusi

Sebagai penambah referensi bagi generasi selanjutnya dan

bahan perbandingan bagi pihak institusi dalam meningkatkan

pelayanan kesehatan, khususnya peningkatan kualitas hidup

pasien TB paru.

Anda mungkin juga menyukai