Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Air limbah adalah air buangan yang tidak memiliki nilai ekonomis yang dihasilkan
dari suatu proses produksi industri maupun domestik (rumah tangga), yang terkadang
kehadirannya pada suatu saat dan tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungan karena akan
mengakibatkan sumber penyakit. Dalam konsentrasi dan kontaminasi tertentu, kehadiran
limbah dapat berdampak negative terhadap lingkungan terutama kesehatan manusia.
Menurut UU Nomor 18 Tahun 2008, limbah domestik adalah limbah yang berasal dari
kegiatan sehari-hari dalam rumah tangga tetapi tidak termasuk tinja. Kegiatan sehari-hari yang
dapat menghasilkan limbah adalah mencuci, memasak, mandi, kegiatan pertanian, kegiatan
peternakan
Menurut data status lingkungan hidup Indonesia tahun 2002, tidak kurang dari 400.000
m3 / hari limbah rumah tangga dibuang langsung ke sungai dan tanah, tanpa melalui
pengolahan terlebih dahulu (antara news, 2006). Bila dibandingkan sekarang, tentu limbah
rumah tangga sudah jauh dari 10 tahun yang lalu, dimana pertambahan penduduk semakin
meningkat. terutama di kota-kota besar di Indonesia.
Berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 112 Tahun 2003, air limbah
domestik terdiri dari parameter Biological Oxygen Demand (BOD), Chemical Oxygen
Demand (COD), TSS, pH, minyak dan lemak yang apabila keseluruhan parameter tersebut
dibuang langsung ke badan penerima, maka akan mengakibatkan pencemaran air. Oleh karena
itu sebelum dibuang ke badan penerima air, terlebih dahulu harus diolah sehingga dapat
memenuhi standar air yang baik.
Masuknya air limbah domestik ke dalam lingkungan perairan akan mengakibatkan
perubahan-perubahan besar dalam sifat fisika, kimia, dan biologis perairan tersebut seperti
suhu, kekeruhan, konsentrasi oksigen teralrut, zat hara, dan produksi dari bahan beracun.
Tingkat dan luas pengaruh yang ditimbulkan terhadap organisme perairan tersebut sangat
tergantung dari jenis dan jumlah bahan pencemar yang masuk ke perairan. Berubahnya
keseimbangan antara faktor fisika-kimia dan biologis dalam suatu lingkungan akibat adanya
senyawa pencemar yang dapat mempengaruhi organisme dalam lingkungan tersebut.
Salah satu cara untuk mengetahui seberapa jauh beban pencemaran pada air limbah
adalah dengan mengukur BOD dan COD. BOD adalah jumlah kebutuhan oksigen yang
diperlukan oleh mikroorganisme untuk mengoksidasi senyawa organik yang ada dalam
limbah. COD adalah banyaknya oksigen yang diperlukan untuk mengoksidasi senyawa
organik secara kimiawi (Mika Septiawan, 2013)
Salah satu upaya mengolah limbah domestik (greywater) dengan cara sederhana yaitu
dengan pengolahan biofilter aerob dan anaerob. Konsep teknologi pengolahan dengan
biofilter aerob anaerob merupakan suatu istilah dari reaktor yang dikembangkan dengan
prinsip mikroba tumbuh dan berkembang menempel pada suatu media filter dan membentuk
biofilm (attached growth). Pengolahan ini adalah pengolahan yang sangat mudah dan sangat
murah dari segi operasional. Biofilter dapat digunakan untuk air limbah dengan beban BOD
yang cukup besar dan dapat menghilangkan padatan tersuspensi (SS) dengan baik.
(Wijeyekoon et al, 2000).
Dari data Badan Pusat Statistik Sulawesi Barat Tahun 2015 menunjukkan , bahwa
tanaman kelapa (Cocos nucifera) merupakan salah satu komoditas pertanian utama dengan
tingkat produksi mencapai 44.863 ton. Sabut kelapa adalah salah satu biomassa yang mudah
didapatkan dan merupakan hasil samping pertanian. Komposisi sabut dalam buah kelapa
sekitar 35% dari berat keseluruhan buah kelapa. Sabut kelapa terdiri dari 75% serat dan 25%
gabus. Menurut Carrijo, et.al., 2002 menyebutkan bahwa potensi penggunaan serat sabut
kelapa sebagai biosorben untuk menghilangkan logam berat dari perairan cukup tinggi karena
serat sabut kelapa mengandung lignin (35% - 45%) dan selulosa (23% – 43%).
Pernyataan tersebut dapat dinyatakan bahwa serat sabut kelapa sangat berpotensi
sebagai biosorben karena mengandung selulosa yang di dalam struktur molekulnya
mengandung gugus karboksil serta lignin yang mengandung asam phenolat yang ikut ambil
bagian dalam pengikatan logam. Selulosa dan lignin adalah biopolimer yang berhubungan
dengan proses pemisahan logam berat (Pino,et.al., 2005).
Berdasarkan hasil penelitian kadar COD dengan menggunakan biosorben limbah
sabut kelapa sawit dengan kandungan 40% selulosa dan lignin, menggunakan variasi berat
sebesar 750 gr, 500 gr, 250 gr, dengan waktu 7 hari dan 2 kali penggulangan dalam setiap
sampel menunjukkan penurunan konsentrasi COD yang cukup signifikan yaitu 180 mg/L, 180
mg/L, 140 mg/L, 140 mg/L, 100 mg/L, dan 100 mg/L. (Nurrahman, 2015)
Atas dasar itulah muncul pemikiran dasar pengembangan pengolahan air limbah
domestik rumah tangga menggunakan sistem sumur resapan dengan pendekatan pengolahan
biofilter aerob-anaerob, dengan media kerikil serta sabut kelapa dan indikator kadar BOD
dan COD.
Batasan permasalahan dalam penelitian ini meliput sampel air limbah domestik yang
bersal dari warga Tadui, Parameter kimia yang akan diuji yaitu; BOD, COD dan pH,
pengujian laboratorium dilakukan di Laboratorium Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes
Mamuju, sedangkan untuk pengolahan limbah, dilakukan di Bengkel Kerja Jurusan
Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes Mamuju.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana model sumur
resapan yang aman untuk pengolahan air limbah rumah tangga”.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengembangkan sistem pengolahan air limbah rumah tangga dengan model
sumur resapan.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui efektifitas sistem pengolahan air limbah dengan konstruksi
sumur resapan dalam menurunkan kadar BOD, serta COD sebelum dan setelah
pengolahan
b. Untuk mengetahui gambaran model sumur resapan air limbah yang aman
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi akademisi dan mahasiswa dapat dijadikan rujukan dan literatur terkait tentang
pengolahan limbah cair.
2. Bagi masyarakat sebagai bahan informasi dan pengetahuan tentang pengolahan limbah
cair.
3. Bagi pemerintah dapat dijadikan acuan dalam pengelolaan limbah cair domestik.
4. Bagi Peneliti lainnya dapat dijadikan sebagai data awal untuk penelitian selanjutnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Air Limbah
1. Definisi Air Limbah
Limbah cair atau buangan merupakan air yang tidak dapat dimanfaatkan lagi serta
dapat menimbulkan dampak yang buruk terhadap manusia dan lingkungan. Keberadaan
limbah cair tidak diharapkan di lingkungan karena tidak mempunyai nilai ekonomi.
Pengolahan yang tepat bagi limbah cair sangat diutamakan agar tidak mencemari
lingkungan (Mardana, 2007).
Menurut UU Nomor 18 Tahun 2008, limbah domestik adalah limbah yang berasal
dari kegiatan sehari-hari dalam rumah tangga tetapi tidak termasuk tinja. Kegiatan sehari-
hari yang dapat menghasilkan limbah adalah mencuci, memasak, mandi, kegiatan
pertanian, kegiatan peternakan.
Menurut Tchobanoglous (1979) dalam Suhartono (2009), limbah domestik adalah
limbah yang dibuang dari pemukiman penduduk, pasar, dan pertokoan serta perkantoran
yang merupakan sumber utama pencemaran di perairan pantai. Menurut Kodoatie dan
Sjarief (2005), air limbah domestik merupakan air bekas yang tidak dapat lagi
dipergunakan untuk tujuan semula, baik yang mengandung kotoran manusia atau dari
aktivitas dapur, kamar mandi, dan cuci dimana kuantitasnya 50-70% dari total rata-rata
konsumsi air bersih yaitu sekitar 120 – 140 liter/orang/hari.
Jumlah pencemar domestik di negara-negara maju merupakan 15% dari seluruh
pencemar yang memasuki badan air (Suriawiria, 1996). Limbah domestik memiliki sebaran
areal yang sangat luas dan menyebar sehingga lebih sulit dikendalikan dari pada limbah
industri.
2. Karakteristik dan Baku Mutu Air Limbah Domestik
Limbah cair domestik adalah air yang telah dipergunakan dan berasal dari rumah tangga
atau pemukiman termasuk di dalamnya adalah yang berasal dari kamar mandi, tempat cuci, WC,
serta tempat memasak (Sugiharto, 2008). Komposisi limbah cair rata-rata mengandung bahan
organik dan senyawa mineral yang berasal dari sisa makanan, urin, dan sabun. Sebagian limbah
rumah tangga berbentuk suspensi lainnya dalam bentuk bahan terlarut.
Limbah cair ini dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu limbah cair kakus yang umum
disebut black water dan limbah cair dari mandi-cuci yang disebut grey water. Black water
oleh sebagian penduduk dibuang melalui septic tank, namun sebagian dibuang langsung
ke sungai, sedangkan gray water hampir seluruhnya dibuang ke sungai-sungai melalui
saluran (Mara, 2004).
Limbah cair domestik merupakan salah satu sumber pencemaran lingkungan.
Karakteristik limbah cair domestik dapat dilihat pada Tabel 2.1
Tabel 2.1 Karakteristik Limbah Domestik
Parameter Satuan Baku Mutu
pH - 6–9
TSS mg/L 30
Minyak & Lemak mg/L 5
Amoiak mg/L 10
Total Coliform Jumlah/100 mL 3000
Debit Liter/Org/Hari 100
Sumber: (*) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia
NO:P.68/Menlhk/Setjen/Kum.I/8/2016 Tentang Baku Mutu Air Limbah
Domestik.
3. Dampak Negatif Pencemaran Air Limbah
Limbah organik mengandung sisa-sisa bahan organik, detergen, minyak dan kotoran
manusia. Limbah ini dalam skala kecil tidak akan terlalu mengganggu, akan tetapi dalam
jumlah besar sangat merugikan. Dampak negatif yang dapat ditimbulkan limbah cair
adalah sebagai berikut (Eddy, 2008):
a. Gangguan terhadap kesehatan manusia
Gangguan terhadap kesehatan manusia dapat disebabkan oleh kandungan bakteri,
virus, senyawa nitrat, beberapa bahan kimia dari industri dan jenis pestisida yang
terdapat dari rantai makanan, serta beberapa kandungan logam seperti merkuri, timbal,
dan cadmium.
b. Gangguan terhadap keseimbangan ekosistem
Kerusakan terhadap tanaman dan binatang yang hidup pada perairan disebabkan
oleh eutrofikasi yaitu pencemaran air yang disebabkan oleh munculnya nutrient yang
berlebihan ke dalam ekosistem air, air dikatakan eutrofik jika konsentrasi total
phosphorus (TP) dalam air berada dalam rentang 35-100 μg/L dan pertumbuhan
tanaman yang berlebihan.
c. Gangguan terhadap estetika dan benda
Gangguan kenyamanan dan estetika berupa warna, bau, dan rasa. Kerusakan benda
yang disebabkan oleh garam-garam terlarut seperti korosif atau karat, air berlumpur,
menyebabkan menurunnya kualitas tempat-tempat rekreasi dan perumahan akibat bau
serta eutrofikasi.
Masuknya air limbah domestik ke dalam lingkungan perairan akan mengakibatkan
perubahan-perubahan besar dalam sifat fisika, kimia, dan biologis perairan tersebut seperti
suhu, kekeruhan, konsentrasi oksigen terlarut, zat hara, dan produksi dari bahan beracun.
Tingkat dan luas pengaruh yang ditimbulkan terhadap organisme perairan tersebut sangat
tergantung dari jenis dan jumlah bahan pencemar yang masuk ke perairan. Berubahnya
keseimbangan antara faktor fisika-kimia dan biologis dalam suatu lingkungan akibat adanya
senyawa pencemar dapat mempengaruhi organisme dalam lingkungan tersebut.
B. Tinjauan Umum Tentang Sumur Resapan
Sumur resapan merupakan rekayasa teknik konservasi air yang berupa bangunan yang
dibuat sedemikian rupa sehingga menyerupai bentuk sumur gali dengan kedalaman tertentu
yang berfungsi sebagai tempat penampungan air limbah
melalui proses penyaringan terlebih dahulu kemudian meresapkannya ke dalam tanah. Sumur
resapan ini kebalikan dari sumur air minum. Sumur resapan merupakan lubang untuk
memasukkan air ke dalam tanah, sedangkan sumur air minum berfungsi untuk menaikkan air
tanah ke permukaan (Kusnaedi, 2011).
Saluran-saluran pembungan air limbah rumah tangga tingkat rumah tangga (RT)
dibuatkan pipa-pipa menuju ke bak penampungan pertama, lalu bila penuh menuju ke
sumur/bak kedua besarnya bak tergantung jumlah rumah tangga, resapan dari sumur/bak
resapan didalamnya akan diisi berupa pasir, batu kerikil, dan ijuk sebagai penetralisir awal,
dari sumur resapan namun bila volume air banyak, maka akan keluar air bila sudah penuh
pada lubang bagian atas, lalu air masih diproses melalui pipa tunggal setelah itu menuju ke
pipa – pipa lain yang bercabang jumlah bisa divariasikan serta besarnya diameter pipa.
Pipa ini bagian bawahnya diberi lubang-lubang kecil dengan jarak tertentu sehingga
air akan keluar melalui lubang - lubang tersebut, namun sebelumnya dibawahnya pipa adalah
lubang tanah yang sudah diisi lagi bahan kerikil, pasir dan ijuk, namun jika daerah banyak
sekam yang sudah dibakar bisa juga digunakan sebagai penetralisir air yang baik namun jika
menggunakan sekam harus secara rutin diganti karena sekam mudah hancur. Bila
penampungan kedua ini bila airnya sedikit meresap kedalam tanah, namun bila airnya banyak
sudah bisa di buang ke drainase dan sebenarnya air tersebut bisa difungsikan untuk menyiram
tanaman.
Konstruksi Sumur Resapan Air (SRA) merupakan alternatif pilihan dalam mengatasi
air limbah secara dini dan menurunnya permukaan air tanah pada kawasan perumahan, karena
dengan pertimbangan :
1. Pembuatan konstruksi SRA tidak rumit.
2. Tidak memerlukan biaya yang besar.
3. Bentuk konstruksi SRA sederhana
Prinsip kerja sumur resapan adalah menyalurkan dan menampung air limbah kedalam
lubang atau sumur agar air dapat memiliki waktu tinggal di permukaan tanah lebih lama
sehingga sedikit demi sedikit air dapat meresap ke dalam tanah. Tujuan utama dari sumur
resapan adalah memperbesar masuknya air ke dalam akuifer tanah sebagai air resapan
(infiltrasi). Air tanah tersebut dapat dimanfaatkan kembali melalui sumur-sumur atau mata
air yang dapat dieksplorasi setiap saat (Kusnaedi,2011).
Sumur resapan air limbah kamar mandi memiliki banyak manfaat, diantaranya:
1. Mengurangi aliran permukaan dan mencegah terjadinya genangan air, sehingga
mengurangi terjadinya banjir dan erosi.
2. Mempertahankan tinggi muka air tanah dan menambah persediaan air
3. Mencegah menurunnya lahan sebagai akibat pengambilan air tanah yang berlebihan.
C. Tinjauan Umum Tentang Pengolahan Air Limbah
Berbagai proses pengolahan limbah telah banyak dikembangkan untuk memisahkan
suatu kontaminan dari air limbah sampai batas yang dikehendaki. Karena limbah yang akan
dibuang ke suatu lingkungan hendaknya harus memenuhi standar baku mutu air limbah.
Menyadari banyaknya dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh limbah cair,
berbagai metode pengolahan limbah cair telah dikembangkan dan secara garis besar dapat
dikelompokkan menjadi metode biologis, metode fisika dan metode kimia.
1. Pengolahan Secara Biologi
Pengolahan air limbah secara biologi adalah suatu sistem pengolahan yang diarahkan
untuk menurunkan kandungan organik yang terkandung dalam air limbah dengan
memanfaatkan aktivitas mikroorganisme untuk menguraikan substrat tersebut.
Mikroorganisme yang berperan adalah bakteri. Bakteri adalah jasad renik satu sel yang
menggunakan makanan terlarut dan dapat bereproduksi tanpa sinar matahari. Bakteri
sebagai pencerna yang memegang peranan penting dalam pembusukan unsur organik di
alam dan menstabilkan buangan organic dalam pengolahan. Pengolahan limbah cair secara
biologi ini dapat dibedakan menjadi 2 yaitu aerob dan anaerob.
a. Aerob
Pada proses aerob, di dalam wadah telah tumbuh algae dan mikroba heterotroph yang
membentuk flok. Hal ini merupakan proses penyediaan oksigen yang dibutuhkan oleh
mikroba dalam kolam. Metode pengadaan oksigen dapat dilakukan secara alami dan
atau menggunakan aerator. Dalam proses aerasi untuk menambahkan oksigen ke dalam
air limbah ada beberapa alat bantu yang digunakan seperti kompresor, nozzle, fan dan
menara (Lubis, et.al., 2004). Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut ;
Zat Organik + O2 → CO2 + N2 + Energi…………………… (2)

Gambar 2.1. Mekanisme penguraian substrat (Tjokrokusumo, 1999).


b. Anaerob
Proses anaerob merupakan proses pengolahan limbah secara biologi tanpa
membutuhkan oksigen. Dalam proses ini, bakteri anaerobik yang aktif akan membentuk
asam organik dan CO2 selanjutnya, bakteri methane (methanogenic bacterial) akan
mengubah asam organik menjadi methane dan CO2. Proses fermentasi metana pada
limbah cair dapat menghasilkan komponen yang sangat beragam yang dapat dioksidasi
oleh bakteri, karena bakteri metana yang aktif juga sangat beragam dan saling
berinteraksi. Asam volatil akan organik dipecah menjadi asam lainnya dengan berat
molekul yang lebih kecil dan asam tersebut bertindak sebagai prekusor pembentukan
metana. Tahapan reaksi yang penting dalam fermentasi adalah reaksi asam asetat yang
juga dapat digunakan oleh bakteri metana.
D. Tinjauan Umum Tentang BOD, dan COD
1. BOD
BOD atau Biochemical Oxygen Demand adalah suatu karakteristik yang menunjukkan
jumlah oksigen terlarut yang diperlukan oleh mikroorganisme (biasanya bakteri) untuk
mengurai atau mendekomposisi bahan organik alam kondisi aerobik (Umaly dan Cuvin,
1988; Metcalf & Eddy, 1991). Ditegaskan lagi oleh Boyd (1990), menyebutkan bahwa
bahan organik yang terdekomposisi dalam BOD adalah bahan organik yang siap
terdekomposisi (readily decomposable organic matter). Menurut Mays (1996),
mengartikan BOD sebagai suatu ukuran jumlah oksigen yang digunakan oleh populasi
mikroba yang terkandung dalam perairan sebagai respon terhadap masuknya bahan organik
yang dapat diurai.
Dari beberapan pernyataan tersebut dapat dikatakan bahwa walaupun nilai BOD
menyatakan jumlah oksigen, tetapi untuk mudahnya dapat juga diartikan sebagai gambaran
jumlah bahan organik mudah urai (biodegradable organics) yang ada di perairan.
Prinsip pengukuran BOD pada dasarnya cukup sederhana, yaitu mengukur kandungan
oksigen terlarut awal (DOi) dari sampel segera setelah pengambilan contoh, kemudian
mengukur kandungan oksigen terlarut pada sampel yang telah diinkubasi selama 5 hari
pada kondisi gelap dan suhu tetap (20 oC) yang sering disebut dengan DO5. Selisih DOi
dan DO5 (DOi - DO5) merupakan nilai BOD yang dinyatakan dalam miligram oksigen per
liter (mg/L). Pengukuran oksigen dapat dilakukan secara analitik dengan cara titrasi
(metode Winkler, iodometri) atau dengan menggunakan alat yang disebut DO meter yang
dilengkapi dengan probe khusus. Jadi pada prinsipnya dalam kondisi gelap, agar tidak
terjadi proses fotosintesis yang menghasilkan oksigen, dan dalam suhu yang tetap selama
lima hari, diharapkan hanya terjadi proses dekomposisi oleh mikroorganime, sehingga
yang terjadi hanyalah penggunaan oksigen, dan oksigen tersisa ditera sebagai DO5. Yang
penting diperhatikan dalam hal ini adalah mengupayakan agar masih ada oksigen tersisa
pada pengamatan hari kelima sehingga DO5 tidak nol. Bila DO5 nol maka nilai BOD tidak
dapat ditentukan.
Pada prakteknya, pengukuran BOD memerlukan kecermatan tertentu mengingat
kondisi sampel atau perairan yang sangat bervariasi, sehingga kemungkinan diperlukan
penetralan pH, pengenceran, aerasi, atau penambahan populasi bakteri. Pengenceran
dan/atau aerasi diperlukan agar masih cukup tersisa oksigen pada hari kelima. Secara rinci
metode pengukuran BOD diuraikan dalam APHA (1989), Umaly dan Cuvin, 1988; Metcalf
& Eddy, 1991) atau referensi mengenai analisis air lainnya.
Karena melibatkan mikroorganisme (bakteri) sebagai pengurai bahan organik, maka
analisis BOD memang cukup memerlukan waktu. Oksidasi biokimia adalah proses yang
lambat. Dalam waktu 20 hari, oksidasi bahan organik karbon mencapai 95 – 99 %, dan
dalam waktu 5 hari sekitar 60 – 70 % bahan organik telah terdekomposisi (Metcalf & Eddy,
1991). Lima hari inkubasi adalah kesepakatan umum dalam penentuan BOD. Bisa saja
BOD ditentukan dengan menggunakan waktu inkubasi yang berbeda, asalkan dengan
menyebutkan lama waktu tersebut dalam nilai yang dilaporkan (misal BOD7, BOD10) agar
tidak salah dalam interpretasi atau memperbandingkan.
Temperatur 20 oC dalam inkubasi juga merupakan temperatur standard. Temperatur
20 oC adalah nilai rata-rata temperatur sungai beraliran lambat di daerah beriklim sedang
(Metcalf & Eddy, 1991) dimana teori BOD ini berasal. Untuk daerah tropic seperti
Indonesia, bisa jadi temperatur inkubasi ini tidaklah tepat. Temperatur perairan tropik
umumnya berkisar antara 25 – 30 oC, dengan temperature inkubasi yang relatif lebih rendah
bisa jadi aktivitas bakteri pengurai juga lebih rendah dan tidak optimal sebagaimana yang
diharapkan. Ini adalah salah satu kelemahan lain BOD selain waktu penentuan yang lama
tersebut
2. COD
COD atau Chemical Oxygen Demand adalah jumlah oksigen yang diperlukan untuk
mengurai seluruh bahan organik yang terkandung dalam air (Boyd, 1990). Hal ini karena
bahan organik yang ada sengaja diurai secara kimia dengan menggunakan oksidator kuat
kalium bikromat pada kondisi asam dan panas dengan katalisator perak sulfat (Boyd, 1990;
Metcalf & Eddy, 1991), sehingga segala macam bahan organik, baik yang mudah urai
maupun yang kompleks dan sulit urai, akan teroksidasi. Dengan demikian, selisih nilai
antara COD dan BOD memberikan gambaran besarnya bahan organik yang sulit urai yang
ada di perairan. Bisa saja nilai BOD sama dengan COD, tetapi BOD tidak bisa lebih besar
dari COD. Jadi COD menggambarkan jumlah total bahan organik yang ada.
Metode pengukuran COD sedikit lebih kompleks, karena menggunakan peralatan
khusus reflux, penggunaan asam pekat, pemanasan, dan titrasi (APHA, 1989, Umaly dan
Cuvin, 1988). Peralatan reflux diperlukan untuk menghindari berkurangnya air sampel
karena pemanasan. Pada prinsipnya pengukuran COD adalah penambahan sejumlah
tertentu kalium bikromat (K2Cr2O7) sebagai oksidator pada sampel (dengan volume
diketahui) yang telah ditambahkan asam pekat dan katalis perak sulfat, kemudian
dipanaskan selama beberapa waktu. Selanjutnya, kelebihan kalium bikromat ditera dengan
cara titrasi. Dengan demikian kalium bikromat yang terpakai untuk oksidasi bahan organik
dalam sampel dapat dihitung dan nilai COD dapat ditentukan. Kelemahannya, senyawa
kompleks anorganik yang ada di perairan yang dapat teroksidasi juga ikut dalam reaksi (De
Santo, 1978), sehingga dalam kasus-kasus tertentu nilai COD mungkin sedikit ‘over
estimate’ untuk gambaran kandungan bahan organik.
Bilamana nilai BOD baru dapat diketahui setelah waktu inkubasi lima hari, maka nilai
COD dapat segera diketahui setelah satu atau dua jam. Walaupun jumlah total bahan
organik dapat diketahui melalui COD dengan waktu penentuan yang lebih cepat, nilai BOD
masih tetap diperlukan. Dengan mengetahui nilai BOD, akan diketahui proporsi jumlah
bahan organik yang mudah urai (biodegradable), dan ini akan memberikan gambaran
jumlah oksigen yang akan terpakai untuk dekomposisi di perairan dalam sepekan (lima 5
hari) mendatang. Lalu dengan memperbandingkan nilai BOD terhadap COD juga akan
diketahui seberapa besar jumlah bahan-bahan organik yang lebih persisten yang ada di
perairan.
E. Tinjauan Umum Tentang Sabut Kelapa
Sabut kelapa adalah salah satu biomassa yang mudah didapatkan dan merupakan hasil
samping pertanian. Komposisi sabut dalam buah kelapa sekitar 35% dari berat keseluruhan
buah kelapa. Sabut kelapa terdiri dari serat (fiber) dan gabus (pitch) yang menghubungkan
satu serat dengan serat yang lainnya.
Sabut kelapa terdiri dari 75% serat dan 25% gabus. Potensi penggunaan serat sabut
kelapa sebagai biosorben untuk menghilangkan logam berat dari perairan cukup tinggi karena
serat sabut kelapa mengandung lignin (35% – 45%) dan selulosa (23%–43%) (Carrijo et.al.,
2002). Serat sabut kelapa sangat berpotensi sebagai biosorben karena mengandung selulosa
yang di dalam struktur molekulnya mengandung gugus karboksil serta lignin yang
mengandung asam phenolat yang ikut ambil bagian dalam pengikatan logam. Selulosa dan
lignin adalah biopolimer yang berhubungan dengan proses pemisahan logam logam berat
(Pino,et.al., 2005).

Anda mungkin juga menyukai