Anda di halaman 1dari 40

MAKALAH FARMAKOLOGI TOKSIKOLOGI

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 1

SYAMSUL LAKAHORO G 701 17 041

SITI MUTMAINA AYU LESTARI G 701 17 137

KELAS A

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS TADULAKO

PALU

2019
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kehadirat Allah SWT. Shalawat dan salam selalu
tercurahkan kepada Rasulullah SAW. Berkat limpahan rahmatnya penyusun
mampu menyelesaikan tugas makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah
Farmakologi Toksikologi 2..

Dalam penyusunan materi ini, banyak sekali hambatan atau kesulitan yang
kami hadapi. Namun kami selaku penyusun sangat menyadari bahwa seluruh
kelancaran dalam pembuatan dan penyusunan materi ini tidak lain dan tidak
bukan berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan dari orang tua, sehingga segala
hambatan-hambatan yang kami alami dapat teratasi.

Makalah ini disusun agar memberikan wawasan yang lebih luas lagi
kepada pembaca yang khususnya adalah mahasiswa universitas tadulako, yang
dikhususkan lagi bagi mahasiswa jurusan farmasi fakultas MIPA. Kami selaku
penyusun sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan sangat jauh dari
kata sempurna. Oleh karena itu, kepada dosen pembimbing mata kuliah ini kami
meminta masukan-masukan demi memperbaiki pembuatan makalah kami di masa
mendatang dan mengharap kritik serta saran dari seluruh pembaca.

Palu, 25 Maret 2019

Penyusun
DAFTAR ISI

Kata Pengantar…………………………………………………………………

Daftar isi………………………………………………………………………

Bab I Pendahuluan……………………………………………………………

Latar Belakang…………………………………………………………

Rumusan Masalah……………………………………………………...

Tujuan………………………………………………………………….

Bab II Tinjauan pustaka………………………………………………………

Asma ………………………………………………………..…………

Rinitis Alergik………………………………..……………..…………

Penyakit Paru Obstruktif Kronik ……………………………………

Batuk…………………………………………………………………

Bab III Penutup………………………………………………………………

Kesimpulan…………………………………………………………

Saran ………………………………………………………………

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………
BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Masalah kesehatan adalah suatu masalah yang sangat kompleks, yang
saling berkaitan dengan masalah-masalah lain di luar kesehatan. Banyak
faktor yang mempengaruhi kesehatan, di antaranya adalah pengetahuan dan
sikap masyarakat dalam merespon suatu penyakit (Notoatmodjo, 2003).
Sistem pernapasan pada manusia adalah sistem organ yang mengatur
proses respirasi manusia. Respirasi adalah proses pertukaran oksigen dan
karbon dioksida dari luar dan dalam tubuh. Organ yang paling berperan dalam
sistem pernapasan pada manusia adalah paru-paru. Namun selain itu, terdapat
organ lain seperti hidung, tenggorokan, dan trakea
Infeksi saluran pernapasan atau respiratory tract infections adalah
infeksi yang menyerang saluran pernapasan manusia. Infeksi ini disebabkan
oleh bakteri atau virus. Ada dua jenis infeksi saluran pernapasan berdasarkan
letaknya, yaitu infeksi saluran pernapasan atas dan bawah. Infeksi saluran
pernapasan atas atau upper respiratory tract infections (URI/URTI) terjadi
pada rongga hidung, sinus, dan tenggorokan. Beberapa penyakit yang
termasuk dalam infeksi saluran pernapasan atas adalah pilek, sinusitis,
tonsillitis, dan laringitis. Infeksi saluran pernapasan bawah atau lower
respiratory tract infections (LRI/LRTI) terjadi pada jalan napas dan paru-paru.
Beberapa jenis penyakit yang termasuk dalam infeksi ini adalah Asma, Rinitis
alergik, serta Penyakit Paru Obstruktif Kronik.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa itu Asma dan bagaiamana pengobatannya?
2. Apa itu Rinitis alergik dan bagaimana pengobatannya?
3. Apa Penyakit Paru Obstruktif Kronik dan bagaimana pengobatannya?
4. Apa itu Batuk dan bagaimana pengobatannya?
C. TUJUAN
1. Mengetahui Asma dan pengobatannya
2. Mengetahui Rinitis Alergik dan pengobatannya
3. Mengetahui Penyakit Paru Obstruktif Kronik dan pengobatannya
4. Mengetahui Batuk dan pengobatannya
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Asma
1. Definisi
Asma merupakan gangguan inflamasi kronik jalan udara,
melibatkan peran banyak sel dan komponennya (The National Asthma
Education and Prevention Program, NAEPP). Asma adalah suatu penyakit
peradangan (inflamasi) saluran nafas terhadap rangsangan atau hiper
reaksi bronkus. Pada individu yang rentan, inflamasi menyebabkan
episode berulang dari bengek, sesak nafas, sempit dada, dan batuk.
Inflamasi juga menyebabkan peningkatan hiperresponsifitas bronkus
(hyperresponsivenness, BHR) terhadap berbagai stimulus. Penyakit Asma
(Asthma) adalah suatu penyakit kronik (menahun) yang menyerang
saluran pernafasan (bronchiale) pada paru dimana terdapat peradangan
(inflamasi) dinding rongga bronchiale sehingga mengakibatkan
penyempitan saluran nafas yang akhirnya seseorang mengalami sesak
nafas. (Anonim, 2008).
Meskipun asma telah dikenal sejak ribuan tahun yang lalu, para
ahli masih belum sepakat mengenai definisi penyakit tersebut. Dari waktu
ke waktu definisi asma yang umumnya disetujui oleh para ahli, yaitu asma
merupakan penyakit paru dengan karakteristik obstruksi saluran napas
yang reversible (tetapi tidak lengkap pada beberapa pasien) baik secara
spontan maupun dengan pengobatan, inflamasi saluran napas, dan
peningkatan respon saluran napas terhadap berbagai rangsangan (Sundaru,
2001).
Asma merupakan penyakit yang manifestasinya sangat bervariasi,
sekelompok pasien mungkin bebas dari serangan dalam jangka waktu
lama dan hanya mengalami gejala jika mereka berolahraga atau terpapar
alergen atau terinfeksi virus pada saluran pernafasannya. Pasien lain
mungkin mengalami gejala yang terus-menerus atau serangan akut yang
sering. Pola gejala antara pasien satu dengan pasien lain juga berbeda
(Ikawati, 2006).
Asma adalah penyakit inflamasi kronis saluran napas yang bersifat
reversible dengan ciri meningkatnya respon trakea dan bronkus terhadap
berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan nafas
yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah secara spontan yang ditandai
dengan mengiepisodik, batuk, dan sesak di dada akibat penyumbatan
saluran napas (Henneberger dkk., 2011).
2. Anatomi organ
Asma adalah salah satu jenis penyakit kronis atau jangka panjang
pada saluran pernapasan yang ditandai dengan penyempitan dan
peradangan saluran nafas sehingga menimbulkan sesak (sulit bernapas).

3. Epidemiologi
Angka kejadian asma bervariasi di berbagai negara, tetapi terlihat
kecenderungan bahwa penderita penyakit ini meningkat jumlahnya,
meskipun belakangan ini obat-obatan asma banyak dikembangkan.
National Health Interview Survei di Amerika Serikat memperkirakan
bahwa setidaknya 7,5 juta orang penduduk negeri itu mengidap bronkhitis
kronik, lebih dari 2 juta orang menderita emfisema dan setidaknya 6,5 juta
orang menderita salah satu bentuk asma. Laporan organisasi kesehatan
dunia (WHO) dalam World Health Report 2000 menyebutkan , lima
penyakit paru utama merupakan 17,4% dari seluruh kematian di dunia,
masing-masing terdiri dari infeksi paru 7,2%, PPOK (Penyakit Paru
Obstruktif Kronik) 4,8%, Tuberkulosis 3%, kanker paru/trakea/bronkus
2,1%, dan Asma 0,3%. Saat ini penyakit asma masih menunjukkan
prevalensi yang tinggi. Berdasarkan data dari WHO (2002) dan GINA
(2011), di seluruh dunia diperkirakan terdapat 300 juta orang penderita
Asma dan tahun 2025 diperkirakan jumlah pasien Asma mencapai 400
juta.
4. Patofisiologi
Penyakit asma merupakan proses inflamasi dan hipereaktivitas
saluran napas yang akan mempermudah terjadinya obstruksi jalan napas.
Kerusakan epitel saluran napas, gangguan saraf otonom, dan adanya
perubahan pada otot polos bronkus juga diduga berperan pada proses
hipereaktivitas saluran napas. Peningkatan reaktivitas saluran nafas terjadi
karena adanya inflamasi kronik yang khas dan melibatkan dinding saluran
nafas, sehingga aliran udara menjadi sangat terbatas tetapi dapat kembali
secara spontan atau setelah pengobatan. Hipereaktivitas tersebut terjadi
sebagai respon terhadap berbagai macam rangsang
Dikenal dua jalur untuk bisa mencapai keadaan tersebut. Jalur
imunologis yang terutama didominasi oleh IgE dan jalur saraf otonom.
Pada jalur yang didominasi oleh IgE, masuknya alergen ke dalam tubuh
akan diolah oleh APC (Antigen Presenting Cells), kemudian hasil olahan
alergen akan dikomunikasikan kepada sel Th ( T penolong ) terutama Th2
. Sel T penolong inilah yang akan memberikan intruksi melalui interleukin
atau sitokin agar sel-sel plasma membentuk IgE, sel-sel radang lain seperti
mastosit, makrofag, sel epitel, eosinofil, neutrofil, trombosit serta limfosit
untuk mengeluarkan mediator inflamasi seperti histamin, prostaglandin
(PG), leukotrien (LT), platelet activating factor (PAF), bradikinin,
tromboksin (TX), dan lain-lain. Sel-sel ini bekerja dengan mempengaruhi
organ sasaran yang dapat menginduksi kontraksi otot polos saluran
pernapasan sehingga menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding
vaskular, edema saluran napas, infiltrasi sel-sel radang, hipersekresi
mukus, keluarnya plasma protein melalui mikrovaskuler bronkus dan
fibrosis sub epitel sehingga menimbulkan hipereaktivitas saluran napas.
Faktor lainnya yang dapat menginduksi pelepasan mediator adalah obat-
obatan, latihan, udara dingin, dan stress.
Selain merangsang sel inflamasi, terdapat keterlibatan sistem saraf
otonom pada jalur non-alergik dengan hasil akhir berupa inflamasi dan
hipereaktivitas saluran napas. Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast
intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel
saluran napas. Reflek bronkus terjadi karena adanya peregangan nervus
vagus, sedangkan pelepasan mediator inflamasi oleh sel mast dan
makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan
memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga meningkatkan
reaksi yang terjadi. Keterlibatan sel mast tidak ditemukan pada beberapa
keadaan seperti pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan
SO2. Reflek saraf memegang peranan pada reaksi asma yang tidak
melibatkan sel mast. Ujung saraf eferen vagal mukosa yang terangsang
menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A
dan calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah yang
menyebabkan terjadinya bronkokontriksi, edema bronkus, eksudasi
plasma, hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi.
5. Etiologi
Etiologi asma masih menjadi perdebatan di kalangan para ahli,
namun secara umum terjadinya asma dipengaruhi oleh faktor genetik dan
faktor lingkungan. Faktor genetik diantaranya riwayat atopi, pada
penderita asma biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga memiliki
alergi. Hipereaktivitas bronkus ditandai dengan saluran napas yang sangat
sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen atau iritan. Jenis kelamin,
pada pria merupakan faktor risiko asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun,
prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak
perempuan. Menjelang dewasa perbandingan tersebut kurang lebih
berjumlah sama dan bertambah banyak pada perempuan usia menopause.
Obesitas, ditandai dengan peningkatan Body Mass Index (BMI) >
30kg/m2. Mekanismenya belum diketahui pasti, namun diketahui
penurunan berat badan penderita obesitas dengan asma dapat memperbaiki
gejala fungsi paru, morbiditas dan status kesehatan.
Alergen dalam lingkungan tempat tinggal seperti tungau, debu
rumah, spora jamur, kecoa, serpihan kulit binatang seperti anjing, kucing,
dll adalah faktor lingkungan yang dapat mencetuskan terjadinya asma.
Begitu pula dengan serbuk sari dan spora jamur yang terdapat di luar
rumah. Faktor lainnya yang berpengaruh diantaranya alergen makanan
(susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat, kiwi, jeruk,
bahan penyedap, pengawet, dan pewarna makanan), bahan iritan (parfum,
household spray, asap rokok, cat, sulfur,dll), obat-obatan tertentu
(golongan beta blocker seperti aspirin), stress/gangguan emosi, polusi
udara, cuaca, dan aktivitas fisik.
6. Manifestasi Klinik
Gambaran klinis asma klasik adalah serangan episodik batuk,
mengi, dan sesak napas. Pada gejala awal sering gejala tidak jelas seperti
rasa berat di dada, dan pada asma alergik mungkin disertai pilek atau
bersin. Meskipun pada mulanya batuk tanpa disertai sekret, tetapi pada
perkembangan selanjutnya pasien akan mengeluarkan sekret baik yang
mukoid, putih kadang-kadang purulen. Ada sebagian kecil pasien asma
yang gejalanya hanya batuk tanpa disertai mengi, dikenal dengan istilah
cough variant asthma. bila dicurigai seperti itu maka perlu dilakukan
pemeriksaan spirometri sebelum dan sesudah bronkodilator atau uji
provokasi bronkus dengan metakolin (Sundaru, 2001).
Gejala dan tanda penyakit asma sangat beragam dari satu pasien ke
pasien lain, dan sangat individual dari waktu ke waktu. Asma dicirikan
dengan adanya wheezing episodik, kesulitan bernapas, dada sesak, dan
batuk. Frekuensi gejala asma sangat bervariasi. Beberapa pasien mungkin
hanya mengalami batuk kering kronis dan yang lain mengalami batuk
yang produktif. Beberapa pasien memiliki batuk yang tidak sering,
serangan asma mendadak dan lainnya dapat menderita gejala itu hampir
secara terus-menerus. Frekuensi gejala asma mungkin semakin buruk di
malam hari; variasi sirkadian pada tonus bronkodilator dan reaktivitas
bronkus mencapai titik terendah antara jam 3-4 pagi, meningkatkan gejala-
gejala dari bronkokontriksi (Tierney dkk, 2002).
7. Diagnosa
Diagnosis asma yang tepat, penting dalam memudahkan
penanganan penyakit asma. Diagnosis asma dapat ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Secara klinis
ditemukan gejala berupa sesak episodik, mengi (wheezing), batuk kronik
berulang dan dada terasa sakit/sesak. Pengukuran fungsi paru digunakan
untuk menilai keterbatasan arus udara dan reversibilitas yang dapat
membantu diagnosis. Pemeriksaan status alergi dilakukan untuk
mengidentifikasi adanya penyakit alergi lain pada pasien maupun
keluarganya seperti rhinitis alergi. Pengukuran respons dapat membantu
diagnosis pada penderita dengan gejala konsisten tetapi fungsi paru
normal.
Penemuan tanda pada pemeriksaan fisik pasien asma, tergantung
dari episode gejala dan derajat obstruksi saluran napas. Melalui
pemeriksaan fisik pasien asma, tampak adanya perubahan bentuk anatomi
thoraks dan ditemukan perubahan cara bernapas. Pada pemeriksaan
inpeksi dapat ditemukan pasien menggunakan otot napas tambahan di
leher, perut, dan dada, napas cepat hingga sianosis, juga kesulitan
bernapas. Ekspirasi memanjang dan mengi dapat ditemukan saat dilakukan
auskultasi pada pasien asma. Dalam praktek sehari-hari jarang ditemui
kesulitan dalam membuat diagnosis asma, tetapi sering pula dijumpai
pasien non-asma yang mempunyai mengi, sehingga pemeriksaan
penunjang diperlukan dalam menegakkan diagnosis.
Pemeriksaan spirometri merupakan cara yang paling cepat dan
sederhana untuk menegakkan diagnosis asma dengan melihat respon
respon pengobatan menggunakan bronkodilator. Pemeriksaan dilakukan
sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator hirup golongan adrenergik
beta. Dinyatakan asma bila didapat peningkatan Volume ekspirasi paksa
detik pertama / VEP1 sebanyak ≥ 12% atau ( ≥ 200ml ). Bila respon yang
didapat ≤ 12% atau ( ≤ 200ml ) belum pasti menunjukkan bahwa pasien
tersebut tidak menderita asma, hal tersebut dapat dijumpai pada pasien
yang sudah dalam keadaan normal atau mendekati normal.
Peak expiratory flow / volume ekspirasi paksa dapat diukur
menggunakan alat Peak flow meter / PFM yang merupakan alat penunjang
diagnosis dan monitoring asma. Alat ini relatif murah, praktis, dan ideal
digunakan pasien untuk menilai obstruksi jalan napas di rumah.
Pemeriksaan spirometri tetap lebih diutamakan dibanding PFM oleh
karena; PFM tidak begitu sensitif dibanding spirometer untuk diagnosis
obstruksi saluran napas. PFM mengukur terutama saluran napas besar,
PFM dibuat sebagai alat monitoring asma bukan sebagai alat diagnostik
utama.
Uji provokasi bronkus untuk menunjukkan adanya hipereaktivitas
bronkus dapat dilakukan jika pemeriksaan spirometri normal. Beberapa
cara melakukan uji provokasi ini diantaranya dengan histamin, metakolin,
kegiatan jasmani, larutan garam hipertonik, dan bahkan dengan aqua
destilata. Dianggap bermakna bila didapat penurunan VEP1 sebesar 20%
atau lebih. Uji kegiatan jasmani, dilakukan dengan meminta pasien berlari
cepat selama 6 menit sehingga mencapai denyut jantung 80-90% dari
maksimum. Dianggap bermakna bila menunjukkan penurunan APE (Arus
Puncak Respirasi) paling sedikit 10%. APE dapat digunakan untuk
diagnosis penderita yang tidak dapat melakukan pemeriksaan VEP1.
Foto dada / X-ray thorax dilakukan untuk menyingkirkan penyebab lain
obstruksi saluran napas dan adanya kecurigaan terhadap proses patologis
di paru atau komplikasi asma seperti pneumotoraks, pneumomediastinum,
atelektasis, dan lain-lain.
8. Terapi non-farmakologi dan farmakologi
a. Terapi non-farmakologi
Terapi non farmakologis yang umumnya digunakan untuk
pengelolaan asma adalah dengan melakukan terapi pernapasan. Terapi
pernapasan bertujuan untuk melatih cara bernapas yang benar,
melenturkan dan memperkuat otot pernapasan, melatih ekspektorasi
yang efektif, meningkatkan sirkulasi, mempercepat dan
mempertahankan pengontrolan asma yang ditandai dengan penurunan
gejala dan meningkatkan kualitas hidup bagi penderitanya. Pada
penderita asma terapi pernapasan selain ditujukan untuk memperbaiki
fungsi alat pernapasan, juga bertujuan melatih penderita untuk dapat
mengatur pernapasan pada saat terasa akan datang serangan, ataupun
sewaktu serangan asma (Nugroho, 2006).
Salah satu bentuk terapi pernapasan yang dapat diberikan kepada
pasien asma adalah latihan Pursed Lips Breathing (PLB). PLB
merupakan suatu teknik pernapasan, dimana proses ekspirasi dilakukan
dengan menahan udara yang dikeluarkan melalui pengerutan bibir
dengan tujuan untuk melambatkan proses ekspirasi. Membuat bibir
mengerucut seolah-olah meniup lilin, menimbulkan perlawanan
melalui saluran udara yang memungkinkan pengosongan paru-paru
secara sempurna kemudian menggantikannya dengan udara baru dan
segar. PLB memungkinkan terjadinya pertukaran udara secara
menyeluruh di paru-paru dan memudahkan untuk bernapas,
memberikan paru-paru tekanan kecil kembali, dan menjaga saluran
udara terbuka untuk waktu yang cukup lama sehingga dapat
memperlancar proses oksigenasi di dalam tubuh. Oksigenasi yang
lancar dapat menurunkan kejadian hiperventilasi dan hipoksia pada
penderita asma (Pursed Lips Breathing.net).
b. Farmakologi
terapi farmakologi meliputi agonis β2, kortikosteroid inhalasi,
modifier leukotrien, cromolin dan nedokromil,teofilin, serta kortikosteroid
oral (Depkes, 2007).
1) Agonis β2
a) Salmeterol, suatu agonis β2 long-acting, memiliki aksi onset yang
relatif lambat dan efek panjang. Salmeterol tidak boleh digunakan
dalam pengobatan bronkospasme akut. Pasien mengambil
salmeterol harus menggunakan agonis β2 short-acting yang
diperlukan untuk mengendalikan gejala akut. Dua kali sehari
menghirup salmeterol telah efektif untuk pengobatan pemeliharaan
yang dikombinasi dengan kortikosteroid inhalasi.
b) Formoterol adalah agonis β2 long-acting seperti salmeterol. Ini
hanya boleh digunakan pada pasien yang sudah mengambil
kortikosteroid inhalasi. Formoterol digunakan Untuk pemeliharaan
pengobatan asma pada orang dewasa dan anak-anak minimal 5
tahun (Chan etal., 2005).
2) Kortikosteroid
Glukokortikoid inhalasi merupakan obat-obat pilihan pertama
pada pasien dengan asma sedang sampai berat yang memerlukan
inhalasi antagonis β2 – adrenergik lebih dari sekali sehari. Asma berat
mungkin juga memerlukan glukokortikoid sistemik, biasanya untuk
jangka waktu yang pendek. Glukokortikoid inhalasi sering
mengurangi (atau menghilangkan) kebutuhan glukokortikoid oral
pada pasien dengan asma berat.
3) Cromolin dan Nedocromil
a. Cromolin natrium, penghambat sel mast degranulasi, dapat
menurunkan respon yang berlebihan terhadap rangsangan napas
pada beberapa pasien asma. Obat ini tidak memiliki aktivitas
bronkodilatasi dan berguna hanya untuk profilaksis. Cromolin telah
hampir tidak toksisitas sistemik.
b. Nedocromil memiliki efek yang serupa sebagai cromolin. Baik
cromolin dan nedocromil jauh kurang efektif dibandingkan
kortikosteroid inhalasi (Chan et al., 2005).
4) Teofilin dan metil ksantin
Metil ksantin (teofilin, garamnya yang mudah larut dan
turunannya) akan merelaksasi secara langsung otot polos bronki dan
pembuluh darah pulmonal, merangsang SSP, menginduksi diuresis,
meningkatkan sekresi asam lambung, menurunkan tekanan sfinkter
esofageal bawah dan menghambat kontraksi uterus. Teofilin juga
merupakan stimulan pusat pernafasan. Aminofilin mempunyai efek kuat
pada kontraktilitas diafragma pada orang sehat dan dengan demikian
mampu menurunkan kelelahan serta memperbaiki kontraktilitas pada
pasien dengan penyakit obstruksi saluran pernapasan kronik (Depkes,
2007).
Teofilin adalah bronkodilator yang digunakan untuk asma
mengatasi penyakit paru obstruktif kronik yang stabil, secara umum
tidak efektif untuk eksaserbasi penyakit paru obstruksi kronik. Teofilin
mungkin menimbulkan efek aditif bila digunakan bersama agonis β 2
dosis kecil, kombinasi kedua obat tersebut dapat meningkatkan resiko
terjadinya efek samping, termasuk hipokalemia (Depkes, 2008).

B. Rinitis Alergik
1. Definisi
Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma)
tahun 2007, rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala
bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar
alergen yang diperantarai oleh IgE. Rinitis alergi dahulu dibedakan
menjadi dua macam berdasarkan sifat berlangsungnya yaitu rinitis alergi
musiman dan rinitis alergi sepanjang tahun atau perenial. Rinitis alergi
musiman hanya ada di negara yang mempunyai empat musim. Alergen
penyebabnya spesifik yaitu serbuk sari dan spora jamur. Rinitis alergi
perenial timbul intermiten atau terus menerus tanpa variasi musim.
Penyebab paling sering adalah alergen inhalan dan ingestan. Alergen
inhalan utama adalah alergen dalam rumah seperti tungau dan alergen
diluar rumah. Sedangkan klasifikasi rinitis alergi menurut WHO ARIA
berdasarkan pada sifat berlangsungnya dan berat ringannya penyakit.
2. Anatomi organ

3. Epidemologi
Rinitis alergi merupakan masalah kesehatan global yang
prevalensinya terus meningkat dan diperkirakan mengenai 10-25% populasi
di seluruh dunia. Di Amerika Serikat 1 dari 5 orang atau sekitar 60 juta orang
terkena rinitis alergi. Prevalensinya pada orang dewasa 10-30% dan lebih dari
40% pada anak-anak. Anak-anak yang mengidap satu komponen atopi yaitu
rinitis alergi, asma atau ekzema memiliki risiko tiga kali lipat untuk terkena
komponen atopi lainnya.
Talango dkk pada tahun 2011 melaporkan rasio penderita rinitis alergi
laki- laki dan perempuan adalah 1:1,1 dengan distribusi terbanyak pada umur
18-30 tahun. Soediro melaporkan rasio laki-laki dan perempuan adalah 1:1,3.
4. Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali
dengan tahap sensitisasi dan diikuti tahap provokasi atau reaksi alergi.
Reaksi alergi dapat dibagi menjadi dua yaitu reaksi alergi fase cepat dan
reaksi alergi fase lambat. Reaksi alergi fase cepat berlangsung sejak
kontak dengan alergen hingga satu jam setelahnya sedangkan reaksi alergi
fase lambat berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam setelah paparan
dan dapat berlangsung 24-48 jam.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi,
makrofag atau monosit berperan sebagai sel penyaji atau Antigen
Presenting Cell (APC) akan menangkap alergen yang menempel di
permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk
fragmen peptida pendek dan bergabung dengan molekul Human Leucocyte
Antigen atau HLA kelas II membentuk komplek peptida Major
Hystocompatibility Complex atau MHC kelas II yang kemudian
dipresentasikan pada sel T helper yaitu Th0. Kemudian APC akan
melepaskan sitokin seperti IL 1 yang akan mengaktifkan Th0 untuk
berproliferasi menjadi Th1 dan Th2.
Th2 akan menghasilkan sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5 dan IL 13.
IL 4 dan IL 13 diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B
sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan memproduksi imunoglobulin E
atau IgE. IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh
reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil sehingga kedua sel ini
menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi. Pada proses ini dihasilkan sel
mediator yang tersensitisasi.
Jika mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar oleh alergen yang
sama maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi
degranulasi sel mastosit dan basofil. Mediator kimia yang sudah terbentuk
atau disebut juga preformed mediator seperti histamin akan terlepas.
Selain itu juga dikeluarkan newly formed mediator seperti prostaglandin
D2, leukotrien D4, leukotrien C4, bradikinin, platelet activating factor dan
berbagai sitokin seperti IL 3, IL4, IL5, IL6, Granulocyte Macrofage
Colony Stimulating FactorI (GM-CSF). Reaksi ini disebut reaksi alergi
fase cepat.
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus
sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin;
hipersekresi kelenjar mukosa dan sel goblet serta peningkatan
permeabilitas kapiler sehingga terjadi rinore; vasodilatasi sinusoid
sehingga menimbulkan hidung tersumbat; menyebabkan rangsangan pada
mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion
Molecule 1 (ICAM 1).
Pada reaksi alergi fase cepat, sel mastosit juga akan melepaskan
molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan
netrofil di jaringan target. Gejala akan berlanjut dan mencapai puncak
setelah 6-8 jam. Reaksi ini disebut reaksi alergi fase lambat.
Reaksi alergi fase lambat ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah
sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di
mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5, GM-CSF
dan ICAM 1 pada sekret hidung. Gejala hiperaktif dan hiperresponsif
hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari
granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosinophilic
Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), Eosinophilic
Peroxidase (EPO).
5. Etiologi
Rinitis alergi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien
yang secara genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Alergen
yang terdapat di lingkungan merangsang respon imun pada penderita yang
secara genetik telah memiliki kecenderungan alergi. Alergen adalah
protein asing yang bisa merangsang respon imun yang diperantarai oleh
IgE. Sebagian besar alergen memiliki diameter 5- 20 μm dengan berat
molekul 10 dan 40 kD.
Berdasarkan cara masuknya, alergen dibagi atas alergen inhalan,
ingestan, injektan dan kontaktan. Alergen inhalan adalah alergen yang
masuk bersama dengan udara pernafasan misalnya tungau debu rumah
seperti D.pteronnysinus, D.farinae, B.tropicalis; kecoa; serpihan epitel
kulit binatang seperti kucing dan anjing; rerumputan serta jamur seperti
Aspergilus dan Alternaria. Alergen ingestan adalah alergen yang masuk ke
saluran cerna berupa makanan seperti susu sapi, telur, kacang- kacangan.
Alergen injektan adalah yang masuk melalui suntikan atau tusukan
misalnya penisilin dan sengatan lebah. Alergen kontaktan adalah yang
masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa misalnya bahan
kosmetik.
6. Manifestasi klinik
Gejala khas pada rinitis alergi yaitu terdapatnya bersin yang berulang bisa
disertai gejala lain seperti rinore yang encer, hidung tersuumbat, hidung
dan mata gatal disertai lakrimasi yang banyak, biasanya keluhan hidung
tersumbat sebagai satu-satunya gejala (Rafi, M, dkk, 2015).
7. Diagnosa
Diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Gejala rinitis alergi yang sering dikeluhkan
pasien antara lain bersin berulang, rinore encer dan banyak, hidung
tersumbat, hidung dan mata gatal yang kadang disertai dengan lakrimasi.
Gejala nasal dan okuler menjadi petunjuk untuk membedakan rinitis alergi
dan rinitis kronis lainnya. Gejala tambahan yang didapatkan pada
penderita merupakan akibat dari inflamasi pada tuba Eustachius, telinga
tengah dan sinus paranasal, nyeri kepala dan post nasal drip yang
menyebabkan nyeri tenggorok dan batuk kronis.
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna
pucat atau livid disertai sekret encer dan banyak. Bila gejala persisten,
tampak mukosa inferior hipertrofi. Gejala spesifik lain pada anak adalah
allergic shiner yaitu terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata
yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung, allergic
salute yaitu anak tampak menggosok-gosok hidung karena gatal dengan
punggung tangan, allergic crease yaitu timbulnya garis melintang di
dorsum nasi bagian bawah akibat menggosok hidung, mulut sering terbuka
dengan lengkung langit yang tinggi sehingga menyebabkan gangguan
pertumbuhan gigi geligi atau disebut juga fasies adenoid, dinding posterior
faring tampak edema atau cobblestone appearance, lidah tampak seperti
gambaran peta atau geographic tongue.
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan baik secara in vivo
maupun in vitro. Secara in vivo, alergen penyebab dapat dicari diantaranya
dengan tes cukit kulit dan tes intradermal tunggal atau berseri. Tes cukit
kulit merupakan pemeriksaan yang sering dilakukan. Penilaian hasil
dibandingkan dengan reaksi histamin. Hasil tes kulit dianggap positip jika
terjadi bentol pada alergen sedikitnya sama dengan bentol dari reaksi
histamin. Hasil positif tiga atau +++ jika bentol diameternya minimal 3
mm atau sama dengan reaksi histamin, positif dua atau ++ jika lebih kecil
dari histamin, positif 1 atau + jika diameter bentol kurang lebih 1 mm.
Jika gejala sangat mendukung tetapi hasil tes kulit lebih kecil dari
histamin atau diameter bentol < 3 mm dapat diulang atau dilanjutkan
dengan tes intradermal. Tes intradermal tunggal atau berseri yang disebut
juga skin end point titration dilakukan untuk alergen inhalan dengan cara
menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat
kepekatannya. Keuntungannya adalah dapat mengetahui alergen penyebab,
derajat alergi serta dosis esensial untuk desensitisasi.
Secara invitro dapat dilakukan pemeriksaan sitologi hidung, hitung
eosinofil darah tepi, pemeriksaan IgE total dan IgE spesifik. Foto polos
sinus paranasal dapat dikerjakan bila ada indikasi keterlibatan sinus
paranasal. CT Scan sinus paranasal dilakukan untuk menentukan adakah
komplikasi seperti sinusitis, tidak ada respons terhadap terapi dan
direncanakan tindakan operatif.
8. Terapi non farmakologi dan farmakologi
a. Non farmakologi
Meningkatkan kualitas hidup penderita diantaranya tidak ada
gangguan tidur, dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa ada
hambatan baik saat di sekolah, bekerja, olahraga maupun saat
bersantai, tidak ada gejala yang mengganggu dan efek samping dari
obat yang diberikan tidak ada atau minimal. Meskipun pengendalian
lingkungan tidak dapat dilakukan dengan sempurna, mengurangi
pencetus alergi dapat secara signifikan menurunkan gejala. Metode
meminimalkan paparan terhadap serbuk sari yaitu dengan cara
menghindari aktivitas di luar ruangan selama musim yang
berhubungan dengan serbuk sari, menjaga rumah dan jendela
kendaraan tetap tertutup. Untuk mengontrol tungau, spora jamur dan
bulu binatang, dapat dilakukan dengan cara menurunkan kelembaban
rumah, mencuci seprai menggunakan air panas, menghindari
penggunaan karpet dan menjauhkan binatang peliharaan dari area yang
sering digunakan terutama kamar tidur, menutup bantal dan kasur
dengan penutup hipoalergenik.
b. Farmakologi
Regimen yang digunakan dalam mengatasi rinitis alergi adalah
kortikosteroid, antihistamin, anti leukotrien, mast cell stabilizer,
dekongestan dan antikolinergik intranasal. Antihistamin sudah sejak
lama digunakan dalam pengobatan rinitis alergi. Antihistamin dapat
mengurangi bersin, gatal pada hidung, tenggorok dan palatum namun
hanya sedikit pengaruhnya untuk mengatasi kongesti hidung.
Antihistamin terdiri dari generasi-1 dan generasi-2. Antihistamin
generasi-1 bersifat lipofilik sehingga dapat menembus sawar darah
otak dan plasenta serta mempunyai efek antikolinergik. Antihistamin
generasi-1 ini diantaranya adalah difenhidramin, prometasin,
siproheptadin, klorfeniramin dan yang digunakan secara topikal seperti
azelastin. Antihistamin generasi-2 bersifat lipofobik sehingga sulit
menembus sawar darah otak, bersifat selektif mengikat reseptor H-1
dan tidak mempunyai efek antikolinergik diantaranya loratadin,
desloratadin, cetirizin, levocetirizin dan fexofenadin. Antihistamin
intranasal seperti azelastin dan olopatadin memiliki onset yang cepat
dan mengurangi hidung tersumbat. Antihistamin intranasal ini sering
dikombinasikan dengan kortikosteroid intranasal pada pasien yang
tidak terkontrol dengan monoterapi.
Kortikosteroid intranasal adalah terapi lini pertama pada rinitis
alergi intermiten sedang-berat dan persisten. Efek biasanya dirasakan
setelah 7-10 hari terapi. Penggunaannya dikatakan cukup aman pada
anak dan orang dewasa. Komplikasi yang biasa terjadi adalah
epistaksis dan iritasi hidung. Kortikosteroid sistemik jangka pendek
dapat diberikan pada rinitis alergi intermiten berat yang tidak
terkontrol dengan pengobatan.
Antileukotrien atau leukotrien receptor antagonist seperti
montelukas adalah pilihan yang tepat diberikan pada rinitis alergi yang
disertai asma. Antileukotrien ini memiliki efektivitas sama dengan
antihistamin oral namun kurang efektif jika dibandingkan dengan
kortikosteroid intranasal.
Mast cell stabilizer bekerja dengan cara menurunkan
kemampuan sel mast untuk melepaskan mediator proinflamasi,
contohnya adalah sodium kromolin dan nedokromil yang dapat
digunakan 4-8 jam sebelum terpapar dengan alergen. Mast cell
stabilizer ini kurang efektif jika dibandingkan dengan antihistamin dan
kortikosteroid intranasal.
Dekongestan bekerja pada reseptor adrenergik α1 dan α2 yang
memiliki efek vasokonstriksi. Efeknya muncul setelah 5-10 menit pada
penggunaan intranasal dan 30 menit pada penggunaan oral.
Dekongestan digunakan pada rinitis alergi dengan keluhan sumbatan
hidung yang menonjol. Efek samping yang bisa timbul diantaranya
insomnia, cemas, tremor, palpitasi dan peningkatan tekanan darah.
Penggunaan dekongestan intranasal jangka panjang dapat
menimbulkan toleransi dan fase dilatasi berulang setelah
vasokonstriksi atau disebut juga rebound dilatation.
Terapi anti-IgE merupakan terapi yang baru dikembangkan
berupa antibodi monoklonal rekombinan yang bekerja langsung pada
Fc dari IgE sehingga terjadi penurunan IgE di sirkulasi. Berbeda
dengan obat anti alergi lainnya seperti kostikosteroid inhalasi,
antihistamin dan antileukotrien yang bekerja setelah sel mast
teraktifasi dan mengalami degranulasi, Anti-IgE dapat bekerja pada
tahap awal dalam proses terjadinya alergi yaitu menghambat ikatan
alergen dan IgE melekat pada sel mast sehingga degranulasi sel mast
tidak terjadi.
Pada keadaan hipertrofi konka inferior yang menimbulkan
sumbatan hidung, dapat dilakukan tindakan konkotomi. Imunoterapi
spesifik adalah memberikan alergen yang sesuai dengan hasil tes kulit,
dosisnya secara bertahap dinaikkan sampai dosis maksimal yang tidak
menimbulkan serangan atau gejala alergi. Imunoterapi dilakukan pada
rinitis alergi yang berlangsung lama dan dengan pengobatan cara lain
tidak memberikan hasil yang memuaskan. Secara klinik imunoterapi
pada rinitis alergi terbukti efektif. Metode imunoterapi yang sering
digunakan adalah secara sublingual dengan cara meneteskan ekstrak
alergen kebawah lidah dan subkutan dengan menginjeksikan alergen
pada jaringan subkutan. Risiko tindakan ini adalah reaksi anafilaksis.
C. Penyakit Paru Obstruktif Kronik
1. Definisi
Global initiative for chronic obstructive lung disease (GOLD)
mengartikan PPOK adalah suatu penyakit yang bisa dilakukan pencegahan
dan pengobatan. PPOK memiliki tanda gejala terdapatnya hambatan aliran
udara dalam saluran pernafasan yang bersifat progresif. PPOK juga
terdapat peradangan atau inflamasi pada saluran pernafasan dan paru-paru
yang diakibatkan oleh adanya partikel dan gas yang berbahaya (GOLD,
2013). PPOK merupakan keadaan irreversible yang ditandai adanya sesak
nafas pada saat melakukan aktivitas dan terganggunya aliran udara masuk
dan keluar dari paru-paru (Smeltzer et al, 2013). PPOK merupakan
penyakit kronis ditandai dengan terhambatnya aliran udara karena
obstruksi saluran pernafasan yang disebabkan oleh paparan yang lama
terhadap polusi dan asap rokok. PPOK merupakan istilah yang sering
digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama
(Grace et al, 2011).
PPOK adalah penyakit yang dapat dicegah dan diobati yang secara
umum ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang terus-menerus
biasanya progresif dan berhubungan dengan peradangan kronis,
peningkatan respon dalam saluran udara dan paru-paru dari partikel
berbahaya atau gas. (Vestbo et.al., 2013). Penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK) adalah penyakit radang saluran nafas utama ditandai dengan
keterbatasan aliran udara sebagian besar ireversibel yang menghasilkan
hypoxemia dan hiperkapnia. (Huang, et al., 2013)
2. Anatomi organ
Penyakit ini menghalangi aliran udara dari paru-paru karena
terhalang pembengkakan dan lendir atau dahak, sehingga penderitanya
sulit bernapas.
3. Epidemiologi
PPOK merupakan salah satu penyakit tidak menular utama, yang
agak jarang terekpose karena kurangnya informasi yang diberikan. Di
Amerika Serikat data tahun 2007 menunjukkan bahwa pre-valensi PPOK
sebesar 10,1% (SE 4,8) pada laki-laki sebesar 11,8% (SE 7,9) dan untuk
perempuan 8,5% (SE 5,8)3. Sedangkan mortalitas menduduki peringkat
keempat penyebab terbanyak yaitu 18,6 per 100.000 penduduk pada tahun
1991 dan angka kematian ini meningkat 32,9% dari tahun 1979 sampai
19914. Sedangkan prevalensi PPOK di negara-negara Asia Tenggara
diperkirakan 6,3% dengan prevalensi tertinggi terdapat di Vietnam (6,7%)
dan China (6,5%) (Omeiati, R, 2013).
PPOK akan berdampak negatif dengan kualitas hidup penderita,
termasuk pasien yang berumur > 40 tahun akan menyebabkan disabilitas
penderitanya. Padahal mereka masih dalam kelom-pok usia produktif
namun tidak dapat bekerja maksimal karena sesak napas yang kronik. Co
morbiditas PPOK akan menghasilkan penyakit kardiovaskuler, kanker
bronchial, infeksi paru-paru, trombo embolik disorder, keberadaan asma,
hiper-tensi, osteoporosis, sakit sendi, depresi dan axiety (Omeiati, R,
2013).
Indonesia sebagai negara dengan jumlah perokok yang banyak
dipastikan memiliki prevalen-si PPOK yang tinggi. Namun sangat
disayangkan data prevalensi PPOK tidak dimiliki oleh Indonesia, oleh
sebab itu perlu dilakukan kajian PPOK secara komprehensip agar
pencegahan PPOK dapat dilaku-kan dengan baik (Omeiati, R, 2013).
4. Patofisiologi
Adanya proses penuaan menyebabkan penurunan fungsi paru-paru.
Keadaan ini juga menyebabkan berkurangnya elastisitas jaringan paru dan
dinding dada sehingga terjadi penurunan kekuatan kontraksi otot
pernafasan dan menyebabkan sulit bernafas. Kandungan asap rokok dapat
merangsang terjadinya peradangan kronik paru paru. Mediator peradangan
dapat merusak struktur penunjang di paru-paru. Akibat hilangnya
elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus, maka ventilasi berkurang.
Saluran udara kolaps terutama pada ekspirasi karena ekspirasi normal
terjadi akibat pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah inspirasi.
Apabila tidak terjadi recoil pasif, maka udara akan terperangkap di dalam
paru dan saluran udara kolaps. (Grece et al, 2011).
Fungsi paru-paru menentukan konsumsi oksigen seseorang, yaitu
jumlah oksigen yang diikat oleh darah dalam paru-paru untuk digunakan
tubuh. Konsumsi oksigen sangat erat hubungannya dengan aliran darah ke
paru-paru. Berkurangnya fungsi paru-paru juga disebabkan oleh
berkurangnya fungsi sistem respirasi seperti fungsi ventilasi paru. Faktor
risiko merokok dan polusi udara menyebabkan proses inflamasi bronkus
dan juga menimbulkan kerusakan pada dinding bronkiolus terminalis.
Akibat dari kerusakan pada dinding bronkiolus terminalis akan terjadi
obstruksi pada bronkiolus terminalis yang mengalami obstruksi pada awal
fase ekspirasi. Udara yang mudah masuk ke alveoli pada saat inspirasi
akan banyak terjebak dalam alveolus pada saat ekspirasi sehingga terjadi
penumpukan udara (air trapping). Kondisi inilah yang menyebabkan
adanya keluhan sesak nafas dengan segala akibatnya. Adanya obstruksi
pada awal ekspirasi akan menimbulkan kesulitan ekspirasi dan
menimbulkan pemanjangan fase ekspirasi (Price et al, 2003).
5. Etiologi
Pada PPOK terjadi gangguan pada bronkus dan alveolus atau
gabungan dari penyakit bronchitis kronis dan emfisema. Bronchitis kronis
yaitu terdapat pembesaran kelenjar mukosa bronkus, metaplasia sel goblet,
inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan, serta distorsi akibat fibrosis.
Emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal,
disertai kerusakan dinding alveoli (PDPI, 2003).
6. Manifestasi klinik
Manifestasi klinis pada PPOK menurut Mansjoer (2008) dan
GOLD (2010) yaitu: Malfungsi kronis pada sistem pernafasan yang
manifestasi awalnya ditandai dengan batuk-batuk dan produksi dahak
khususnya yang muncul di pagi hari. Nafas pendek sedang yang
berkembang menjadi nafas pendek, , sesak nafas akut, frekuensi nafas
yang cepat, penggunaan otot bantu pernafasan dan ekspirasi lebih lama
daripada inspirasi.
7. Diagnosa
Diagnosis klinis PPOK dipertimbangkan jika didapatkan sesak napas
(bersifat progresif, persisten, dan memberat dengan beraktivitas), batuk
kronik (dapat bersifat intermiten dan tidak produktif), produksi sputum
kronik, riwayat paparan faktor risiko (asap rokok, asap pembakaran dan
pemanasan, debu pekerjaan, dan kimia) dan riwayat keluarga dengan
PPOK. Spirometri diperlukan pada pasien lebih dari 40 tahun dengan
klinis tersebut dan ditegakkan diagnosis PPOK jika didapatkan
VEP1/KVP paska uji bronkodilator < 0,7 yang menunjukkan keterbatasan
aliran udara persisten (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung
Disease, 2016; Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011).
Pemeriksaan fisik penderita PPOK seringkali normal diluar serangan dan
saat penyakit pada stadium dini. Kelainan pemeriksaan fisik tampak saat
derajat berat. Tanda khas PPOK berupa pursed lipsbreathing, barrel chest,
penggunaan otot bantu napas, hipertrofi otot bantu napas, pelebaran sela
iga, peningkatan tekanan vena jugularis, dan edema tungkai. Ronki basah
kasar dan mengi sering terdapat pada saat ekspirasi (Global Initiative for
Chronic Obstructive Lung Disease, 2016; Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia, 2011). Penilaian derajat keparahan PPOK ditentukan
berdasarkan gejala klinis, derajat obstruksi aliran udara, risiko eksaserbasi,
dan faktor komorbiditas. Global Initiative of Chronic Obstructive Lung
Diseases (GOLD) tahun 2016 merekomendasikan penggunaan dua
kuisioner untuk menilai gejala klinis PPOK yaitu kuisioner Modified
Medical Research Council (mMRC) dan COPD Assesment test (CAT)
(Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease, 2014;
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011). Kuesioner mMRC untuk
menentukan derajat sesak napas PPOK dijelaskan oleh Tabel 1 (Global
Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease, 2016; Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia 2011; Bestal et al, 1999).
8. Terapi non farmakologi dan farmakologi
a. Non farmakologi
Terapi non-farmakologik antara lain berhenti merokok,
rehabilitasi dengan fisioterapi dada serta latihan pernapasan untuk
memperkuat otot napas dan membuang kelebihan CO yang terkumpul
di alveoli paru. Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis
dan berlanjut secara berulang pada setiap kunjungan, baik bagi
penderita sendiri maupun bagi keluarganya. Edukasi dapat diberikan di
poliklinik, ruang rawat, bahkan di unit gawat darurat ataupun di ICU
dan di rumah.
Penatalaksanaan edukasi sangat penting pada PPOK keadaan
stabil yang dapat dilakukan dalam jangka panjang karena PPOK
merupakan penyakit kronis yang progresif dan irreversible. Intervensi
edukasi untuk menyesuaikan keterbatasan aktifitas fisik dan
pencegahan kecepatan penurunan fungsi paru. Edukasi dilakukan
menggunakan bahasa yang singkat, mudah dimengerti dan langsung
pada inti permasalahan yang dialami pasien. Pelaksanaan edukasi
seharusnya dilakukan berulang dengan materi edukasi yang sederhana
dan singkat dalam satu kali pertemuan.
Pasien PPOK mengalami hipoksemia yang progresif dan
berkepanjangan sehingga menyebabkan kerusakan sel dan jaringan.
Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting untuk
mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik
di otot maupun organ-organ lainnya.
b. Farmakologi
1) Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis
bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat
penyakit. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas
lambat (slow release) atau obat berefek panjang (longacting).
Macam-macam bronkodilator:
a) Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai
bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir (maksimal 4 kali
perhari).
b) Golongan agonis β2
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan
jumlah penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya
eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan
bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat
digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan
untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan
atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
c) Kombinasi antara antikolinergik dengan agonis β2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek
bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang
berbeda. Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih
sederhana dan mempermudah penderita.
d) Golongan xantin
Bentuk tablet biasa atau puyer untuk mengatasi sesak (pelega
napas), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi
eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang memerlukan
pemeriksaan kadar aminofilin darah.
2) Antiinflamasi
Inflamasi berperan penting dalam patofisiologi PPOK.
Infeksi bakteri atau pajanan asap rokok menginduksi peningkatan
sel imun dan mediator inflamasi di saluran napas dan paru.
Peningkatan inflamasi paru terutama saat eksaserbasi
menyebabkan spillover mediator inflamasi paru ke sirkulasi
sehingga berdampak padapeningkatan inflamasi sistemik.Inflamasi
kronik pada PPOKmenyebabkan resisten terhadap kortikosteroid.
Penurunan sensitivitas ktortikosteroid diakibatkan oleh penurunan
kadar atau aktivitas HDAC (Knobloch et al, 2013; Roche, 2013).
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau
injeksi intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih
golongan metalprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai
terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid
positif yaitu terdapat perbaikan VEP1 pasca bronkodilator
meningkat > 20% dan minimal 250 mg.
Pendekatan terapi antiinflamasialternatif PPOK diperlukan
untuk menurunkan inflamasi sehingga dapat memperlambat
progresifitas penyakit, memperlambat penurunan fungsi paru,
menurunkan risiko eksaserbasi, morbiditas kardiovaskular, dan
risiko kanker paru, serta meningkatkan kualitas hidup penderita.
Pendekatan terapi antiinflamasi alternative nonsteroidPPOK
meliputi phosphodiesterase (PDE)-4inhibitor,anti TNFα, NFκB
dan MAPK inhibitor, serta CXCR antagonis (Hoonhorst et al.
2014).
D. Batuk
1. Definisi
Batuk merupakan suatu rangkaian refleks yang terdiri dari reseptor
batuk, saraf aferen, pusat batuk, saraf eferen,dan efektor. Refleks batuk
tidak akan sempurna apabila salah satu unsurnya tidak terpenuhi. Adanya
rangsangan pada reseptor batuk akan dibawa oleh saraf aferen ke pusat
batukyaitu medula untuk diteruskan ke efektor melalui saraf eferen
(Guyton, 2008). Batuk merupakan mekanisme pertahanan tubuh di saluran
pernafasan dan merupakan gejala suatu penyakit atau reaksi tubuh
terhadap iritasi di tenggorokan karena adanya lendir atau mukus, makanan,
debu, asap dan sebagainya. Batuk juga merupakan salah satu gejala paling
umum yang menyertai penyakit pernafasan seperti asma, bronkitis, dan
COPD (Chronic Obstructive Pulmonary Disease). Ketiadaaan batuk dapat
berbahaya dan fatal untuk kesehatan, karena bisa jadi batuk merupakan
gejala awal dari penyakit pernafasan dan memudahkan dokter untuk
mendiagnosis suatu penyakit (Chung, 2003).
Batuk bukanlah sebuah penyakit melainkan salah satu tanda atau
gejala klinis yang paling sering dijumpai pada penyakit paru dan saluran
nafas. Batuk merupakan salah satu cara untuk membersihkan saluran
pernafasan dari lendir atau bahan dan benda asing yang masuk sebagai
refleks pertahanan yang timbul akibat iritasi trakeobronkial (Susanti,
2013). Batuk juga berfungsi sebagai imun dan perlindangan tubuh
terhadap benda asing namun, dapat juga merupakan gejala dari suatu
penyakit. (LM, 2006).
2. Anatomi organ

3. Epidemiologi
Prevalensi batuk dijumpai sekitar 15% pada anak dan 20% pada orang
dewasa (Oemiati et al., 2010). Penelitian epidemiologi menunjukkan batuk
kronik banyak berhubungan dengan kebiasaan merokok. Penelitian
berskala besar di Amerika menemukan bahwa 8-20% non perokok juga
menderita batuk karena penyakit kronik, polusi, alergi dan lain-lain
(Blasio et al., 2012). Batuk juga merupakan salah satu gejala dari penyakit
asma dimana penelitian International Study on Asthma and Allergies in
Childhood menunjukkan bahwa prevalensi penyakit asma di Indonesia
meningkat dari 4,2% pada tahun 1995 menjadi 5,4% pada tahun 2003
(Oemiati et al., 2010). DKI Jakarta memiliki prevalensi asma yang lebih
besar yaitu 7,5% pada tahun 2007 (Oemiati et al., 2010). Departemen
Kesehatan memperkirakan penyakit asma termasuk 10 besar penyebab
kesakitan dan kematian di RS dan diperkirakan 10% dari 25 juta penduduk
Indonesia menderita asma (Oemiati et al., 2010).
4. Patofisiologi
Batuk adalah bentuk refleks pertahanan tubuh yang penting untuk
meningkatkan pengeluaran sekresi mukus dan partikel lain dari jalan
pernafasan serta melindungi terjadinya aspirasi terhadap masuknya benda
asing. Setiap batuk terjadi melalui stimulasi refleks arkus yang kompleks.
Hal ini diprakarsai oleh reseptor batuk yang berada pada trakea, carina,
titik percabangan saluran udara besar, dan saluran udara yang lebih kecil
di bagian distal, serta dalam faring. Laring dan reseptor tracheobronchial
memiliki respon yang baik terhadap rangsangan mekanis dan kimia.
Reseptor kimia yang peka terhadap panas, asam dan senyawa capsaicin
akan memicu refleks batuk melalui aktivasi reseptor tipe 1 vanilloid
(capsaicin). Impuls dari reseptor batuk yang telah dirangsang akan
melintasi jalur aferen melalui saraf vagus ke „pusat batuk‟ di medula.
Pusat batuk akan menghasilkan sinyal eferen yang bergerak menuruni
vugus, saraf frenikus dan saraf motorik tulang belakang untuk
mengaktifkan otot-otot ekspirasi yang berguna membantu batuk.
Menurut Yahya (2007), mekanisme batuk dapat dibagi menjadi
tiga tahap yaitu:
a. Fase inspirasi: fase inhalasi yang menghasilkan volume yang
diperlukan untuk batuk efektif
b. Fase kompresi: penutupan laring dikombinasikan dengan kontraksi
otot-otot dinding dada, diagframa sehingga menghasilkan dinding
perut menegang akibat tekanan intratoraks.
c. Fase ekspirasi: glotis akan terbuka, mengakibatkan aliran udara
ekspirasi yang tinggi dan mengeluarkan suara batuk
5. Etiologi
Terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab dari batuk diantaranya :
a. Rangsangan mekanis, misalnya asap rokok, debu, dan tumor
b. Adanya perubahan suhu yang secara cepat dan mendadak
c. Rangsangan kimiawi, misalnya gas dan bau – bauan
d. Adanya peradangan atau infeksi karena bakteri atau jamur
e. Reaksi alergi
Timbulnya respon batuk bisa dikarenakan beragam hal salah
satunya adalah keberadaan mukus pada saluran pernafasan. Normalnya,
mukus membantu melindungi paru-paru dengan menjebak partikel asing
yang masuk. Namun apabila jumlah mukus meningkat, maka mukus tidak
lagi membantu malahan mengganggu pernafasan (Koffuor dkk., 2014).
Oleh karena itu, tubuh memiliki respon batuk untuk mengurangi mukus
yang berlebihan tersebut. Selain oleh mukus, batuk dapat disebabkan oleh
faktor luar seperti debu maupun zat asing yang dapat mengganggu
pernafasan. Semakin banyak partikel asing yang harus dikeluarkan,
semakin banyak pula frekuensi batuk seseorang. Frekuensi batuk yang
terlalu tinggi dapat mempengaruhi kualitas hidup seseorang.
6. Manifestasi klinik
Batuk sering kali merupakan gejala dari kondisi lain. Batuk dapat menjadi
kronis atau akut. Berikut adalah beberapa gejala umum dari batuk:
 Batuk
 Radang tenggorokan
 Mual atau muntah
 Sakit kepala
 Hidung tersumbat
7. Diagnosis
Pada umumnya dokter anak kurang setuju pendekatan diagnostik
maupun tata laksana penyakit disamakan antara anak dengan dewasa.
Anak bukanlah orang dewasa dalam ukuran kecil. Perbedaan ini meliputi
banyak sekali aspek. Perbedaan yang paling hakiki adalah karena ada
proses tumbuh kembang yang sedang berlangsung pada masa kanak.
Selain itu pola penyakit respiratorik pada anak berbeda nyata dengan
orang dewasa. Penyakit yang sama bisa memberi gejala yang berbeda
antara anak dengan dewasa. Sebaliknya gejala yang sama bisa mengarah
ke penyakit yang berbeda. Bukti terkini menunjukkan bahwa adalah keliru
melakukan ekstrapolasi 3 penyebab utama batuk kronik pada orang
dewasa (asma, rinitis-sinusitis, dan RGE) untuk pasien anak. Oleh karena
itu, etiologi dan manajemen batuk pada anak harus pula jelas dibedakan
dengan orang dewasa.
8. Terapi non farmakologi dan farmakologi
a. Non farmakologi
Untuk batuk akut dan subakut umumnya bisa sembuh dengan
sendirinya, tetapi non farmakologi dilakukan dengan cara
menghindari pemicu atau perangsang batuk yang dapat dikenali,
seperti merokok, makan makanan berminyak, dan lain-lain. Minum air
banyak-banyak dapat membantu agar kerongkongan tidak kering yang
dapat memicu batuk.
Untuk batuk kronis, jika penyebabnya diketahui dan dapat dihindari,
maka dilakukan penghindaran terhadap penyebabnya. Misalnya, batuk
yang disebabkan oleh penggunaan obat golongan inhibitor ACE, dapat
diatasi dengan penghentian atau penggantian obat tersebut (Ikawati,
2008).
b. Farmakologi
Obat-obatan yang digunakan untuk batuk bermacam-macam
tergantung dari jenis batuknya. Terdapat beberapa jenis obat batuk
yaitu antitusif, ekspektoran dan mukolitik. Obat antitusif merupakan
obat yang ditujukan untuk menekan batuk. Obat-obatan ini kurang
memberi manfaat klinis kecuali bila memang batuk tersebut sangat
mengganggu. Contoh obat-obatannya adalah kodein, noskapin dan
dekstrometorfan. Ketiganya merupakan obat golongan narkotik.
1) Kodein
Kodein merupakan obat antitusif golongan narkotik yang
bekerja pada SSP. Kodein sejak lama digunakan sebagai „gold
standard‟ pembanding obat-obatan antitusif baru yang bekerja
pada SSP. Kodein kemungkinan merupakan obat yang paling
sering diresepkan sebagai antitusif karena dapat memberikan efek
analgesik dan antitusif yang baik pada pemberian secara peroral
(Chung, 2003).
Kodein merupakan golongan opiat yang selektif pada
reseptor μ opioid, seperti pada analognya morfin, namun dengan
afinitas yang jauh lebih kecil. Kemampuan analgesiknya diduga
berasal dari konversi dari kodein ke morfin. Reseptor μ opioid
merupakan reseptor yang berpasangan dengan G-protein yang
berfungsi sebagai regulator transmisi sinaps melalui G-protein
yang mengaktifkan protein efektor. Terikatnya opiat menstimulasi
pertukaran dari GTP (Guanosin Trifosfat) menjadi GDP (Guanosin
Difosfat) di G-protein kompleks. Sebagai sistem efektor adalah
adenylate cyclase dan cylcic adenosin monophospate (cAMP) yang
terletak di bagian dalam permukaan membran plasma. Opioid
mengurangi cAMP intraselular dengan cara menghambat adenylate
cyclase. Akibatnya, pelepasan nociceptive neurotransmitter seperti
substansi P, GABA (Gamma Amino Butyric Acid), dopamine,
asetilkolin dan noradrenaline ikut terhambat. Opioid juga
menghambat pelepasan vasopressin, somastotatin, insulin dan
glukagon. Opioid menutup N-type voltage-operated calcium
channels (OP2-receptor agonist) dan membuka calcium-dependant
inwardly rectifying potassium channels (OP3 dan OP1 receptor
agonist). Hal ini mengakibatkan hiperpolarisasi dan mengurangi
sensitivitas neuron (Schroeder dan Fahey, 2004).
Kodein merupakan sebuah prodrug. Dia akan aktif setelah
melewati metabolisme menjadi morfin melalui hepar. Kodein
mengalami demetilasi menjadi morfin oleh enzim hepar CYP2D6
(Cytochrome P450 family 2 subfamily D member 6). Sekitar 70-
80% dosis yang diberikan mengalami glukoronidasi membentuk
codeine-6-glucoronide. Proses ini dimediasi oleh UDP-
glukoronosiltranferase UGT2B7 (UDP-Glucoronyltransferase
2B7) dan UGT2B4 (UDP-Glucoronyltransferase 2B4). Lima
hingga sepuluh persen dari dosis mengalami O-demetilasi menjadi
morfin dan 10% lainnya mengalami N-demetilasi membentuk
norcodeine. CYP2D6 memfasilitasi biotransformasi menjadi
morfin. CYP3A4 (Cytochrome P450 family 3 subfamily A member
4) adalah enzim yang memfasilitasi konversi menjadi norcodeine.
Baik morfin maupun norcodeine dimetabolisme lebih lanjut dan
mengalami glukoronidasi. Metabolit glukoronid dari morfin adalah
morphine-3-glucoronide (M3G) dan morphine-6-glucoronide
(M6G). Baik morfin maupun M6G merupakan senyawa aktif dan
memiliki aktivitas analgesik. Sedangkan norcodeine dan M3G
tidak memiliki aktivitas analgesik (Vree dkk., 2000).
Efek samping yang ditimbulkan kodein antara lain
mengantuk, mual dan muntah, serta konstipasi. Selain itu, kodein
dapat mengakibatkan ketergantungan seperti layaknya pada obat-
obatan morfin, namun dengan skala yang lebih kecil (Chung,
2003).
2) Dekstrometorfan
Dekstrometorfan merupakan obat antitusif non narkotik yang
bekerja pada SSP. Dekstrometorfan yang disintesis dari derivat
morfin tidak memiliki efek analgesik maupun sedatif sehingga obat
ini diperjual belikan secara luas. Efek antitusif dari deksrometrofan
sama besar dengan efek antitusif dari kodein (Reynolds dkk.,
2003).
Dekstrometorfan merupakan obat batuk antitusif yang ditujukan
untuk batuk kering. Dekstrometorfan menekan refleks batuk
dengan cara langsung bertindak pada pusat batuk di dalam medulla
pada otak. Dekstrometorfan menunjukkan afinitas ikatan yang
tinggi pada beberapa region di otak, termasuk pusat batuk medulla.
Senyawa aktif dekstrometorfan merupakan antagonis reseptor
NMDA (N-Methyl D-Aspartate) dan bertindak sebagai non-
competitive channel blocker. (Hargreaves dkk., 1994).
Dekstrometorfan merupakan opioid-like drug yang berikatan dan
sekaligus bertindak sebagai antagonis pada reseptor NMDA
glutamatergic. Dekstrometorfan juga merupakan agonis pada
reseptor opioid σ1 dan σ2, sekaligus juga merupakan antagonis
reseptor α3/β4 nikotinik dan bertarget pada serotonin reuptake
pump (Hernandez dkk., 2000). Dekstrometorfan diabsorpsi secara
cepat dari saluran pencernaan, dimana dia akan masuk ke aliran
darah dan melewati blood-brain barrier (BBB). Dekstrometorfan
diubah menjadi dextrorphan, sebagai senyawa metabolit aktif
setelah melewati first-pass hepatic portal (Olney dan Labruyere,
1989).
Efek samping yang ditimbulkan dekstrometorfan relatif kecil pada
dosis normal, namun meningkat seiring meningkatnya dosis
dengan efek samping berupa pusing, mual dan muntah, serta sakit
kepala. Dekstrometorfan harus digunakan secara hati-hati pada
pasien dengan gangguan hepar karena memerlukan degradasi
metabolisme di liver (Chung, 2003).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Penyakit Asma (Asthma) adalah suatu penyakit kronik (menahun) yang
menyerang saluran pernafasan (bronchiale) pada paru dimana terdapat
peradangan (inflamasi) dinding rongga bronchiale sehingga
mengakibatkan penyempitan saluran nafas yang akhirnya seseorang
mengalami sesak nafas.
2. Rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin, rinore,
rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang
diperantarai oleh IgE
3. PPOK merupakan keadaan irreversible yang ditandai adanya sesak nafas
pada saat melakukan aktivitas dan terganggunya aliran udara masuk dan
keluar dari paru-paru .PPOK merupakan penyakit kronis ditandai dengan
terhambatnya aliran udara karena obstruksi saluran pernafasan yang
disebabkan oleh paparan yang lama terhadap polusi dan asap rokok.
4. Batuk merupakan suatu rangkaian refleks yang terdiri dari reseptor batuk,
saraf aferen, pusat batuk, saraf eferen,dan efektor. Batuk merupakan
mekanisme pertahanan tubuh di saluran pernafasan dan merupakan gejala
suatu penyakit atau reaksi tubuh terhadap iritasi di tenggorokan karena
adanya lendir atau mukus, makanan, debu, asap dan sebagainya.

B. Saran

Mengingat bahwa kami sebagai penyusun hanyalah mahasiswa yang sangat


jauh dari kata sempurna, dalam masa yang akan datang kami akan lebih fokus
dan detail lagi dalam menjelaskan materi yang kami sediakan dalam bentuk
makalah seperti di atas dengan sumber yang lebih banyak dan luas lagi. Kami
sebagai penyusun sangat berharap kepada para pembaca agar sekiranya
memberikan kritik maupun saran yang membangun kepada kami demi
sempurnanya makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD), 2015, Global
Strategy for the Diagnosis Management and Prevention for Chronic
Obstructive Pulmonary Disease.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), 2003, Penyakit Paru Obstruktif


Kronik ( PPOK ), Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia

Sinta Dwi Puspitasari, 2012, Hubungan Antara Kebiasaan Merokok Dengan


Kejadian Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Di RS Paru Jember,
Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Jember

Sylvia A. Price, 2005, Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit,


EGC, Jakarta

Ika Nugraha C.A, 2011, Hubungan Derajat Berat Merokok Berdasarkan Indeks
Brinkman Dengan Derajat Berat PPOK, Stikespku. Vol : 7 (3)

Hesti Septiyanti, E.S, 2007, Perilaku Agresif Pada Remaja Putri Yang Berbeda
Status Sosial Ekonomi, UG Journal, Universitas Gunadarma. Vol ; 22 (4)

O’Neil JT, Mims JW. Allergic rhinitis. Dalam: Johnson JT,Rosen CA,
penyunting. Head& Neck Surgery-Otolaryngology. Edisi ke-5. Texas:
Lippincott Williams&Wilkins, 2014; h. 460-8.

Beeh KM, Beier J, Buhl R. Seasonal variations of serum-IgE and potential impact
on dose-calculation of omalizumab (rhuMab-E25, anti-IgE). Pneumologie.
2004; 58:546-51.
Holgate ST , Polosa R. Pengobatan untuk alergi dan asma. Nat Rev Immunol.
2008; 8:218-30.

Nayak A, Casale T, Miller D, Condemi J, McAlary M. Tolerability of retreatment


with omalizumab, a recombinant humanized monoclonal anti-IgE antibody
during a second ragweed pollen season in patients with seasonal allergic
rhinitis. Allergy Asthma Proc. 2003;24:323-339.

Milgrom H, Berger W, Nayak A, Gupta N, Pollard S, McAlary M, Taylor AF,


Rohane P. Tretment of childhood asthma with anti-immunoglobulin E
antibody (omalizumab). Pediatrics. 2001;36:1-10.

Kuehr J, Brauburger J, Zielen S. Efficacy of combination tretment with anti-IgE


plus specific immunotherapy in polysensitized children and adolescents
with seasonal allergic rhinitis. J Allergy Clin Immunol. 2002;109:274-80.

Berger W, Gupta N, McAlary, Taylor AF. Evaluation of long-term safety of the


anti-IgE antibody in children with allergic asthma and rhinitis. Ann
Allergy Asthma Immunol. 2003;91:182-8.

Anda mungkin juga menyukai