Anda di halaman 1dari 18

Tugas E-learning

Blok 7 RESPIRASI

NAMA : MUHAMAD ANGGUN

NIM : 1613010008

1. Bagaimana cara mendiagnosis OSA (obstruktif sleep apnea) berdasarkan :


a. Gambaran klinis,
b. PF, dan
c. Screening OSA
2. Jika kalian akan merujuk pasien OSA, maka akan kalian rujuk kemana, spesialis apa?
3. Jelaskan bagaimana cara mendiagnosis pneumokoniasis? Berdasarkan :
a. Anamnesis (gejala klinis),
b. Pemeriksaan fisik, dan
c. Pemeriksaan ambahan
4. Jika Anda menemukan kasus pneumokoniasis, kemana akan dirujuk, spesialis apa?
5. Jika Anda mendapatkan rujukan balik kasus OSA edukasi apa yg akan kalian berikan?
6. Jika Anda mendapatkan rujukan balik kasus pneumokoniasis, apa yg akan Anda tindak lanjuti
pada pasien tersebut?
Mendiagnosis OSA (Obstruktif Sleep Apnea)

Definisi

Obstructive sleep apnea (OSA) adalah suatu kelainan dengan karakteristik berupa kolaps
secara berulang saluran napas atas baik sebagian maupun total yang terjadi pada saat tidur.

Kolaps saluran napas berhubungan dengan penurunan atau berhentinya aliran udara
meskipun masih terdapat effort untuk bernapas (DeBacker, 2006).

Kolaps saluran napas atas yang terjadi berhubungan dengan terjadinya episode tidur yang
terfragmentasi dan penurunan berulang saturasi oksihemoglobin (White, 2006).

Epidemiologi

Secara epidemiologi, OSA lebih sering terjadi pada orang dewasa daripada anak-anak.
Mendengkur karena kebiasaan, dijumpai pada masa anak-anak yang terjadi pada 7-9% dari anak-
anak pra sekolah dan anak usia sekolah.6 Schechter,3 mendapatkan prevalensi snoring berkisar
antara 3,2-12,1% bergantung kriteria inklusi yang dipakai. Gangguan pernafasan selama tidur
didapat pada kira-kira 0,7-10,3% dari anak-anak berusia 4 - 5 tahun.7,8 Kejadian OSA terjadi
pada anak semua umur termasuk neonatus.

Etiologi

Kondisi OSA berhubungan dengan kualitas hidup yang lebih rendah, termasuk kualitas tidur
yang kurang, fungsi kognitif yang kurang, penurunan kesiagaan dan kewaspadaan serta
produktivitas yang rendah (Scott, 2003; Eckert & Malhotra, 2008).

Kondisi tersebut disertai peningkatan rasa mengantuk (sleepiness) pada OSA akhirnya
meningkatkan risiko kecelakaan kendaraan bermotor (George, 2007).

Salah satu penyebab OSA yang lain adalah obesitas. Pada dewasa obesitas merupakan
penyebab utama OSA sedangkan pada anak obesitas bukan sebagai penyebab utama.
Patogenesis

Patogenesis OSA pada anak belum banyak diketahui; terjadi jika didapatkan gangguan
antara faktor yang mempertahankan patensi saluran nafas dan komponen jalan nafas bagian atas
(misalnya ukuran anatomis) yang menyebabkan kolapsnya jalan nafas.

Faktor-faktor yang memelihara patensi saluran nafas:

a) respons pusat ventilasi terhadap hipoksia, hiperkapnia, dan sumbatan jalan nafas;

b) efek pusat rangsangan dalam meningkatkan tonus neuromuskular jalan nafas bagian
atas;

c) efek dari keadaan tidur dan terbangun.

Terdapat dua teori patofisiologi sumbatan (kolaps) jalan nafas yaitu

1. Teori balance of forces


Ukuran lumen farings tergantung pada keseimbangan antara tekanan negatif
intrafaringeal yang timbul selama inspirasi dan aksi dilatasi otot-otot jalan nafas atas.
Tekanan transmural pada saluran nafas atas yang mengalami kolaps disebut closing
pressure. Dalam keadaan bangun, aktivasi otot jalan nafas atas akan mempertahankan
tekanan tranmural di atas closing pressure sehingga jalan nafas atas tetap paten. Pada
saat tidur tonus neuromuskular berkurang, akibat lumen farings mengecil sehingga
menyebabkan aliran udara terbatas atau terjadi obstruksi.

2. Teori starling resistor


Jalan nafas atas berperan sebagai starling resistor yaitu perubahan tekanan yang
memungkinkan farings untuk mengalami kolaps yang menentukan aliran udara
melalui saluran nafas atas.
Patofisiologi

Pasien dengan OSA mampu mempertahankan patensi saluran nafas bagian atas selama
bangun/tidak tidur, karena peningkatan tonus otot saluran nafas akibat input dari pusat kortikal
yang lebih tinggi. Namun selama tidur kolaps jalan nafas bagian atas terjadi pada saat inspirasi
dan kadang-kadang meningkatkan usaha bernafas. Pada anak lebih sering mengalami periode
obstruksi parsial saluran nafas yang berkepanjangan dan hipoventilasi dibandingkan orang
dewasa.

Keadaan apnea lebih jarang pada anak dan umumnya waktu lebih singkat daripada orang
dewasa. Hipoksia dan hiperkapnia terjadi akibat siklus obstruksi parsial atau total. Obstruktif
apnea menyebabkan peningkatan aktifitas otot-otot dilatator saluran nafas atas sehingga
mengakibatkan berakhirnya apnea. Pada anak dengan OSA arousal jauh lebih jarang, dan
obstruksi parsial dapat berlangsung terus selama berjam-jam tanpa terputus. (Schechter,2002)

Gambaran klinis

Kesulitan bernafas pada saat tidur yang biasanya berlangsung perlahan-lahan. Sebelum
gejala kesulitan bernafas terjadi, mendengkur merupakan gejala yang mula-mula timbul.
Dengkuran pada anak dapat terjadi secara terus menerus (setiap tidur) ataupun hanya pada posisi
tertentu saja.

Pada OSA, pada umumnya anak mendengkur setiap tidur dengan dengkuran yang keras
terdengar dari luar kamar dan terlihat episode apnea yang mungkin diakhiri dengan gerakan
badan atau terbangun Sebagian kecil anak tidak memperlihatkan dengkur yang klasik, tetapi
berupa dengusan atau hembusan nafas, noisy breathing (nafas berbunyi). Usaha bernafas dapat
terlihat dengan adanya retraksi. Posisi pada saat tidur biasanya tengkurap, setengah duduk, atau
hiperekstensi leher untuk mempertahankan patensi jalan nafas. (Schechter,2002)

Gejala utama Obstructive Sleep Apnea / OSA adalah mendengkur. Gejala lain berupa ada
periode apnea / tidak bernapas, bisa beberapa detik sampai dengan 1 menit, suara dahak di
tenggorokan waktu tidur, berkeringat, nyeri dada, lemah, mudah lupa, sulit berkonsentrasi, cepat
lelah dan biasanya penderita gemuk. ( Iswanto. 2009. )
PF

Pada pemeriksaan fisis dapat terlihat pernafasan melalui mulut, adenoidal facies,
midfacial hypoplasia, retro/mikrognasi atau kelainan kraniofasial lainnya, obesitas, gagal
tumbuh, stigmata alergi misalnya alergic shiners atau lipatan horizontal hidung.

Patensi pasase hidung harus dinilai, perhatikan adanya septum deviasi atau polip hidung,
ukuran lidah, integritas palatum, daerah orofarings, redudant mukosa palatum, ukuran tonsil, dan
ukuran uvula, mungkin ditemukan pectus excavatum. Paru-paru biasanya normal pada
pemeriksaan auskultasi. Pemeriksaan jantung dapat memperlihatkan tanda-tanda hipertensi
pulmonal misalnya peningkatan komponen pulmonal bunyi jantung II, pulsasi ventrikel kanan.
Pemeriksaan neorologis harus dilakukan untuk mengevaluasi tonus otot dan status
perkembangan. (Schechter,2002)

Hal-hal yang harus dinilai pada pemeriksaan fisik adalah IMT, ukuran lingkar leher,
keadaan rongga hidung (deviasi septum, hipertrofi konka, polip, adenoid), perasat Mueller
(untuk menilai penyempitan veloorofaring), penilaian Friedman tounge position (modifikasi
Mallampati), bentuk palatum mole, bentuk uvula, palatal flutter, palatal floppy, ukuran tonsil dan
penyempitan peritonsil lateral. Populasi dewasa dengan IMT >30 kg/m2 memiliki prevalensi
OSA >50%. Perlu diketahui bahwa penilaian IMT dan lingkar leher tidak memiliki predictive
abilities pada wanita. Mendengkur memiliki positive predictive value (PPV) 63% dan negative
predictive value (NPV) 56% pada OSA. (Welch KC, Goldberg AN, 2008)

Pada pemeriksaan fisis dapat terlihat pernafasan melalui mulut, adenoidal facies,
midfacial hypoplasia, retro/mikrognasi atau kelainan kraniofasial lainnya, obesitas, gagal
tumbuh, stigmata alergi misalnya allergic shiners atau lipatan horizontal hidung.15 Patensi
pasase hidung harus dinilai, perhatikan adanya septum deviasi atau polip hidung, ukuran lidah,
integritas palatum, daerah orofarings, redudant mukosa palatum, ukuran tonsil, dan ukuran uvula,
mungkin ditemukan pectus excavatum. Paru-paru biasanya normal pada pemeriksaan auskultasi.
Pemeriksaan jantung dapat memperlihatkan tanda-tanda hipertensi pulmonal misalnya
peningkatan komponen pulmonal bunyi jantung II, pulsasi ventrikel kanan. Pemeriksaan
neorologis harus dilakukan untuk mengevaluasi tonus otot dan status perkembangan (Sari
Pediatri, Vol. 7, No. 2, September 2005: 77 – 84)
Diagnosis

American Accademy of Sleep Medicine (AASM) telah mengembangkan kriteria sendiri,


seperti yang tercantum dalam International Classification of Sleep Disorders: Diagnostic
and Coding Manual, Second Edition. Setidaknya 1 dari kriteria berikut harus ada untuk
mendiagnosis OSA :

1. Pasien melaporkan rasa kantuk di siang hari, unrefreshing sleep, kelelahan, insomnia,
dan / atau episode tidur yang tidak disengaja selama terjaga. Pasien terbangun dengan
distress napas, napas terengah-engah, atau tersedak. Pasangan tempat tidur pasien
melaporkan pasien mendengkur keras, adanya interupsi pernapasan, atau keduanya
selama pasien tidur.
2. Polisomnografi (PSG) menunjukkan lebih dari 5 tipe pernapasan (misalnya, apnea,
hypopneas, RERAs) per jam tidur dan / atau bukti usaha pernapasan selama semua atau
sebagian dari setiap tipe pernapasan.
3. PSG menunjukkan lebih dari 15 peristiwa pernafasan diberikan skor (misalnya, apnea,
hypopneas, RERAs) per jam tidur dan / atau bukti usaha pernapasan selama semua atau
sebagian dari setiap peristiwa pernapasan.
4. Gangguan lain saat tidur, gangguan medis atau neurologis, penggunaan obat, atau
penggunaan narkoba yang mempengaruhi kondisi pasien.

A. Polisomnografi
Cara definitif untuk menegakkan diagnosis OSA dengan pemeriksaan
polisomnografi pada saat tidur. Polisomnografi merupakan pemeriksaan baku emas untuk
menegakkan diagnosis OSA.
Pada anak, tanda dan gejala obstructive sleep apnea lebih ringan dari pada orang
dewasa; karena itu diagnosisnya lebih sulit dan harus dipertegas dengan polisomnografi.
Polisomnografi juga akan menyingkirkan penyebab lain dari gangguan pernafasan selama
tidur. Pemeriksaan ini memberikan pengukuran yang objektif mengenai beratnya
penyakit dan dapat digunakan sebagai data dasar untuk mengevaluasi keadaannya setelah
operasi. (Sari Pediatri, Vol. 7, No. 2, September 2005)
B. Uji tapis
Mengingat bahwa polisomnografi memerlukan waktu, biaya yang mahal, dan
belum tentu tersedia di fasilitas kesehatan, maka diperlukan suatu metode lain sebagai uji
tapis. Uji tapis yang banyak digunakan adalah dengan menggunakan kuesioner.

Screening OSA

Menurut Brouillette menunjukkan bahwa penelitian tidur yang abnormal dapat


diprediksi dengan suatu questionnare score yang disebut skor OSA.
Skor OSA = 1,42D + 1,41A + 0,71S – 3,83
• D: kesulitan bernafas (0: tidak pernah, 1: sekalisekali, 2: sering, 3: selalu)
• A: apnea (0: tidak ada, 1: ada)
• S: snoring (mendengkur) (0: tidak pernah, 1: sekali-sekali, 2: sering, 3: selalu)
Dengan rumus di atas, ditentukan kemungkinan OSA berdasarkan nilai:
• Skor < -1 : bukan OSA
• Skor -1 sampai 3,5 mungkin OSA mungkin bukan OSAS
• Skor > 3,5 sangat mungkin OSA
Dengan menggunakan skor di atas, dapat diprediksi kemungkinan OSA meskipun
tetap memerlukan pemeriksaan polisomnografi. Artinya meskipun skor >3,5 untuk
diagnosis pasti tetap memerlukan polisomnografi. Beberapa peneliti dapat menerima
penggunaan skor tersebut, tetapi banyak pula yang tidak menyetujuinya. Skoring tersebut
mempunyai nilai sensitivitas 73% dan spesifisitas 83% dibandingkan dengan
polisomnografi. (Sari Pediatri, Vol. 7, No. 2, September 2005)

Pemeriksaan Oksimetri pada saat tidur malam hari sebagai skrining OSA, memiliki
sensitivitas sebesar 31%. Kombinasi dari semua faktor di atas dapat meningkatkan
predictive abilities antara 60-70%.

(Welch KC, Goldberg AN, 2008)


(Doghramji PP, et al. 2007)
Untuk memudahkan penilaian saluran napas atas, Friedman membuat standar
pemeriksaan daerah naso-velo-orofaring. Ada empat derajat Friedman tounge position.
Pasien membuka mulut tanpa mengeluarkan lidah, dilakukan observasi: derajat I, seluruh
uvula tervisualisasi; derajat II, uvula tervisualisasi tetapi tonsil tidak terlihat; derajat III,
palatum mole tervisualisasi, tetapi uvula tidak terlihat; derajat IV, hanya palatum durum
yang tervisualisasi. Pemeriksaan ini dapat memprediksi ada tidaknya OSA. (Friedman M.
2009)
Pemeriksaan perasat Mueller yang dilakukan saat terjaga, dapat mencerminkan
keadaan mendengkur pasien OSA saat tidur dan dapat digunakan untuk memprediksi
keberhasilan dari operasi uvulopalatopharyngealplasty (UPPP). Caranya adalah dalam
posisi duduk, dilakukan nasoendoskopi dan pasien diinstruksikan untuk melakukan
inspirasi kuat sambil menutup hidung dan mulut. Pada pemeriksaan ini dilakukan penilaian
luas saluran napas atas pada ruang retropalatal dan retroglosal. Penyempitan pada ruang ini
dapat terjadi anteroposterior, laterolateral atau konsentrik. (Friedman M. 2009)
Pemeriksaan sleep endoscopy digunakan untuk memvisualisasikan obstruksi jalan
napas saat pasien tidur. Ada lima daerah yang perlu diperhatikan, yaitu: palatum mole,
dinding faring lateral, tonsil palatina, tonsil lingua/dasar lidah dan epiglotis. Derajat
obstruksi dibagi 7 menjadi empat kategori. Simple palatal snoring, suara mendengkur
berasal dari getaran palatum mole, dinding sfingter velofaring dan orofaring bagian atas.
Lateral wall collapse, penyebab obstruksi berasal dari area orofaring dan tonsil palatina.
Tounge base/epiglotis, fungsi sfingter velofaring baik, obstruksi terdapat pada dasar lidah
atau karena hipertrofi tonsil lingua. Epiglotis mungkin memiliki kontribusi terhadap
dengkuran. Multi segmental collapse, tampak obstruksi pada beberapa tingkatan anatomi.

(Friedman M. 2009)

Polisomnografi (PSG) adalah pemeriksaan baku emas untuk menegakkan diagnosis


OSA. PSG merupakan uji diagnostik untuk mengevaluasi gangguan tidur yang dilakukan
pada malam hari di laboratorium tidur, digunakan untuk membantu pemilihan terapi dan
evaluasi hasil terapi. Ada tiga sinyal utama yang dimonitor yaitu pertama, sinyal untuk
mengkonfirmasi keadaan stadium tidur seperti elektroensefalogram (EEG),
elektrookulogram (EOG) dan submental elektromiogram (EMG). Sinyal kedua adalah
sinyal yang berhubungan dengan irama jantung, yaitu elektrokardiogram (ECG) dan sinyal
ketiga yang berhubungan dengan respirasi seperti airflow (nasal thermistor technique),
oksimetri, mendengkur, kapnografi, EMG interkostal, balon manometri esofageal, thoraco-
abdominal effort, nasal pressure transducer, pneumotachography face mask dan kadar
PCO2. (Patil SP , et al. 2007)

C. Observasi selama tidur


Kejadian OSA dapat didiagnosis dengan observasi langsung, anak di suruh tidur
di tempat praktek dokter demikian pula OSA dapat didiagnosis dengan melakukan review
audiotapes/ videotapes yang dapat dilakukan di rumah.3,18 Beberapa variabel yang
dinilai adalah kekerasan dan tipe inspirasi, pergerakan selama tidur, frekuensi terbangun,
banyaknya apnea, retraksi, dan nafas dengan mulut. Cara tersebut mempunyai nilai
sensitifitas 94%, spesifisitas 68%, nilai prediksi positif 83%, dan nilai prediksi negatif
88%.3 Observasi selama tidur dapat dilakukan dengan menggunakan pulse oximetry.
Pada saat tidur anak dipantau penurunan nilai saturasi dengan menggunakan oksimetri.
Pencatatan pulse oximetry secara kontinyu selama tidur dianjurkan sebagai tes skrining
dan dapat memperlihatkan desaturasi secara siklik yang menjadi karakteristik suatu OSA,
tetapi tidak akan mendeteksi pasien OSA yang tidak berkaitan dengan hipoksia. Dengan
menggunakan metode di atas nilai prediksi positif sebesar 97% dan nilai prediksi negatif
53%. Hal ini berarti bahwa apabila terjadi penurunan saturasi selama tidur maka
kemungkinan menderita OSA cukup besar tetapi apabila tidak terdeteksi pada
pemantauan dengan oksimetri maka di perlukan pemeriksaan polisomnografi. (Sari
Pediatri, Vol. 7, No. 2, September 2005)

D. Pemeriksaan laboratorium
Pertanda hipoksia kronis seperti polisitemia atau peningkatan ekskresi metabolit
ATP kadang-kadang digunakan sebagai indikator non spesifik OSAS. Pasien dengan
hiperkapnia kronis selama tidur dapat mengalami peningkatan bikarbonat serum yang
persisten akibat kompensasi alkalosis metabolik. Beberapa jenis sitokin diketahui
mempunyai efek somnogenik dan berperan penting dalam proses tidur. Interleukin-1 dan
TNF-α dapat meningkatkan slow wave sleep dan pemberian anti TNF-α anti body dapat
menghambat fase NREM. Irama sirkadian dari pelepasan TNF-α mengalami gangguan
pada pasien OSA, kadar puncak fisiologis pada malam harinya menghilang sedangkan
pada siang hari kadar puncaknya meningkat. (Sari Pediatri, Vol. 7, No. 2, September
2005)

Komplikasi

Komplikasi OSA terjadi akibat hipoksia kronis nokturnal, asidosis, sleep fragmentation.

1. Komplikasi neurobehavioral

2. Gagal tumbuh

3. Komplikasi kardiovaskular

4. Enuresis

5. Penyakit respiratorik

6. Gagal nafas dan kematian

(Sari Pediatri, Vol. 7, No. 2, September 2005)


Rujuk pasien OSA

Jika kalian akan merujuk pasien OSA, maka akan kalian rujuk kemana, spesialis
apa. Dirujuk ke dokter yang berkompeten dibidangnya dalam hal ini, dokter spesialis Paru
dan dapat juga bermanifestasi ke kardiovaskuler jadi bisa juga dirujuk ke dokter spesialis
jantung atau kardiovaskuler.

Edukasi kasus OSA

Modifikasi pola hidup dengan penurunan berat badan pada pasien OSA ringan terbukti
menunjukkan perbaikan gejala, derajat OSA dan kualitas hidup (Tuomilehto et al., 2009).

Hal ini sejalan dengan pernyataan Yamaguchi bahwa total health promotion plan
merupakan kunci keberhasilan mengendalikan kecelakaan dalam kerja melalui pengendalian
kelelahan.

Total health promotion plan dapat dilakukan melalui lifestyle programme antara lain
menjauhi asap rokok, nutrisi, minum air minimal 2 liter perhari, olahraga teratur, kontrol berat
badan ideal, cukup tidur, konsultasi dengan dokter apabila stress dan ada gangguan kesehatan
disamping untuk pemeliharaan kesehatan.

a. Hindari penggunaan alkohol dan sedatif.


b. Tidur yang cukup. Karena bila kurang tidur akan memperburuk keadaan pada saluran
pernapasan yang mengalami penyempitan anatomis.
c. Menggunakan masker hidung yang ketat sepanjang malam, hal ini dapat membuka
saluran pernapasan atas, mencegah obstruksi sehingga pasien tidak mudah terbangun, dan
cepat memberikan perbaikan gejala.
d. Pengaturan diet untuk menurunkan berat badan, karena jika terjadi obesitas bisa
menekan saluran pernapasan. (Patrick, 2005)
Mendiagnosis Pneumokoniasis

Definisi

Istilah pneumokoniosis berasal dari bahasa yunani yaitu “pneumo” berarti paru dan
“konis” berarti debu. Terminologi pneumokoniosis pertama kali digunakan untuk
menggambarkan penyakit paru yang berhubungan dengan inhalasi debu mineral.

International Labour Organization (ILO) mendefinisikan pneumokoniosis sebagai suatu


kelainan yang terjadi akibat penumpukan debu di dalam paru yang menyebabkan reaksi jaringan
terhadap debu tersebut. (ILO,2002)

Etiologi

1. Kelainan yang terjadi akibat pajanan debu anorganik seperti silika (silikosis), asbes
(asbestosis)
2. Kelainan yang terjadi akibat pekerjaan seperti pneumoconiosis batubara
3. Kelainan yang ditimbulkan oleh debu organik seperti kapas (bisinosis)

Jenis pneumoconiosis

Penamaan pneumokoniosis bergantung pada jenis debu yang menyebabkan penyakit


pernapasan ini. Secara ringkas terdapat dalam tabel di bawah ini:

Beberapa Jenis Pneumokoniosis Berdasarkan Debu Penyebabnya

Jenis Pneumokoniosis

Asbes Asbestosis

Silika Silikosis

Batu bara Pneumokoniosis Batu bara

Besi Siderosis
Berilium Beriliosis

Timah Stanosis

Talk Talkosis (talc pneumoconiosis)

Aluminiu Aluminosis

Grafit Pneumokoniosis grafit

Debu antimony Antimony pneumoconiosis

Debu mineral barite Baritosis (barium sulfat)

Debu karbon Pneumokoniosiskarbon

Titanium oksida Pneumokoniosis titanium

Zirkonium Pneumokoniosis

Sumber: Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi

Anamnesis (Gejala klinis)

Pneumokoniosis penambang batubara kompleks biasanya disertai dengan gejala. Gejala


yang timbul dapat berupa gejala respirasi seperti batuk berdahak yang cenderung menetap. Batuk
pada CWP kompleks yang progresif dapat disertai dengan dahak berwarna kehitaman. Hal ini
biasanya diakibatkan oleh komplikasi infeksi yang terjadi pada penderita.

Gejala pernapasan lainnya seperti sesak napas terutama saat melakukan aktifitas dan nyeri
dada. Gejala non respirasi yang mungkin terjadi adalah terdapat bengkak di kaki dan tungkai yang
merupakan komplikasi lanjut. (Miller BG, MacCalman L. 2010)

Untuk menegakkan diagnosis dari penyakit ini diperlukan anamnesis yang cermat
terhadap: Keluhan yang dirasakan oleh penderita, riwayat pekerjaan seperti lama bekerja,
penempatan tugas, dan lingkungan, kebiasaan penderita seperti menggunakan alat pelindung diri
(APD) dan kebiasaan merokok. (Ngurah Rai IB. 2003)
PF

Auskultasi: terdengar bunyi mengi

Karena terdapat hipoxia, maka dapat terjadi clubbing of the finger

Pemeriksaan Tambahan

Pemeriksaan penunjang yang penting untuk meningkatkan diagnosis dan menilai


kerusakan yang diakibatkan oleh penyakit pneumoconiosis adalah :
1) Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan foto thorax sangat berguna untuk melihat kelainan yang ditimbulkan
oleh debu pada Pneumokoniosis.Klasifikasi Standar menurut ILO dipakai untuk
menilai kelainan yang timbul. Pembacaan foto Thorax pneumokoniosis perlu
dibandingkan, dengan foto standar untuk menentukan klasifikasi kelainan. Kualitas
foto harus baik atau dapat diterima untuk dapat menginterpretasikan kelainan paru
lewat foto Rontgen.

2) Pemeriksaan faal paru dengan spirometri


Pemeriksaan faal paru yang sederhana, cukup sensitive dan reprodusibel serta
digunakan secara luas adalah Pemeriksaan Kapasitas Vital Paru dan Volume Ekspirasi
Paksa pada detik pertama. Selain berguna untuk menunjang diagnosis juga perlu untuk
melihat laju penyakit, efektivitas pengobatan dan menilai prognosis. Pemeriksaan
sebelum seseorang bekerja dan pemeriksaan berkala setelah bekerja dapat
mengidentifikasi penyakit dan perkembangannya, pada pekerja yang sebelumnya tidak
memiliki gejala.

3) Pemeriksaan penunjang lain


Bisa digunakan untuk keperluan penegakan diagnosis adalah CT Scan , Broncho
Alveolar Lavage ( BAL ) dan Biopsi paru.
Rujuk pasien Pneumokoniasis

Dirujuk ke dokter spesialis Paru dan dapat juga bermanifestasi ke kardiovaskuler


jadi bisa juga dirujuk ke dokter spesialis jantung atau kardiovaskuler. Rujukan balik kasus
OSA edukasi apa yg akan kalian berikan:

1. Pengobatan ditujukan untuk mengurangi permasalahan lebih lanjut dan faktor aktif
lain, seperti merokok
2. Pencegahan dan pengobatan untuk komplikasi misalnya pneumonia dengan antibiotic
juga perlu dilakukan
3. Penekanan debu dengan pengendalian teknis, dimana pekerja harus memakai masker,
tutup kepala bertekanan
4. Pemberian oksigen jika terjadi komplikasi lebih lanjut
5. Bila terjadi gagal napas, berikan nutrisi dengan kalori yang cukup
6. Terapi umum yang dilakukan yaitu :
a. Istirahat dalam hal ini tidak selalu perlu dirawat inap, dan
b. Diet : cairan harus cukup
7. Obat pertama yang digunakan yaitu
Kartimoksazol + asam folat → obat pilihan 14 – 21 hari
8. Obat alternatif yang digunakan yaitu :
a. Pentamidin parenteral
b. Klidamisin parenteral + primakuin
c. Trimtreksat + leukovorin.
Edukasi kasus Pneumokoniasis

Menurut Devey, Patrick edukasi pasien pneumokoniasis:

a. Hindari penggunaan alkohol dan sedatif.


b. Tidur yang cukup. Karena bila kurang tidur akan memperburuk keadaan pada
saluran pernapasan yang mengalami penyempitan anatomis.
c. Menggunakan masker hidung yang ketat sepanjang malam, hal ini dapat membuka
saluran pernapasan atas, mencegah obstruksi sehingga pasien tidak mudah
terbangun, dan cepat memberikan perbaikan gejala.
d. Pengaturan diet untuk menurunkan berat badan, karena jika terjadi obesitas bisa
menekan saluran pernapasan. ( Davey, Patrick. 2005.)

Sedangkan menurut Susanto, melakukan edukasi kepada pasien pneumokoniasis:


a. Berhenti merokok
b. Pengobatan dilakukan bila dicurigai terdapat penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK)
c. Gunakan APD seperti Masker d. Pencegahan infeksi dengan vaksinasi dapat
dipertimbangkan. (Susanto, 2011).
Daftar Pustaka

Davey, Patrick. 2005. At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga

De Backer W. 2006. Obstructive sleep apnea-hypopnea syndrome. Definitions and


pathopysiology

Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas


Indonesia/ Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta

Doghramji PP, Lieberman JA, Gordon ML. 2007. Stay Awake! Understanding, Diagnosing and
Successfully Managing Narcolepsy. JFP ; 56(11):17-32.

Friedman M. 2009. Friedman tongue position and the staging of obstructive sleep apnea/
hypopnea syndrome. In: Friedman M, editor. Sleep apnea and snoring, surgical and non
surgical therapy. China: Elsevier; . p.105-6

International Labour Organization. Guidelines for the use of the ILO International Classification
of Radiographs of pneumoconiosis. Revised edition 2000. Geneva; International Labour Office,
2002.

Iswanto. 2009. Gangguan Bernapas Saat Tidur. Dalam Seminar Hubungan mendengkur dan
Stroke. Yogyakarta:RS.Bethesda

Miller BG, MacCalman L. 2010. Cause-Specific Mortality In British Coal Workers

and Exposure to Respirable Dust and Quartz. Occup Environ Med ;67: 270–6

Ngurah Rai IB. 2003. Pneumokoniosis. Patogenesis dan Gangguan Fungsi. In:

Abdullah A, Patau J, Susilo HJ, Saleh K, Tabri NA, Mappangara, et al.

Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Khusus (PIK) X Perhimpunan Dokter

Paru Indonesia. Makassar: Sub-bagian paru Bagian Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin : 183-8.

Patil SP, Scheneider H, Schwartz AR, Smith PL. Adult Obstructive Sleep Apnea:
Pathophysiology And Diagnosis. Chest Journal 2007; 132:325-37.

Sari Pediatri, Vol. 7, No. 2, September 2005: 77 – 84

Schechter MS, Technical report: Diagnosis and management of childhood obstructive sleep
apnea syndrome. Pediatrics 2002; 109:1-20.

Susanto, Agus Dwi. 2011. Pneumokoniosis. Pengembangan Pendidikan Keprofesian


Berkelanjutan- IDI. J Indon Med Assoc; (61): 12

Welch KC, Goldberg AN. 2008. Sleep Disorders. In: Lalwani AK, Editor. Current Diagnosis &
Treatment, Otolaryngology Head and Neck Surgery. 2nd Ed. New York: McGraw-Hill
Companies LANGE; p.535-47.

Anda mungkin juga menyukai