Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN

CARCINOMA CERVIX + LEUKOSITOSIS + AZOTEMIA

Disusun untuk memenuhi tugas Pendidikan Profesi Keperawatan Departemen


Maternitas

di Ruang 9 Rumah Sakit Umum Daerah Dr.Saiful Anwar Malang

Disusun oleh:

NUR ARIFAH ASTRI

180070300111027

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

2018
CARCINOMA CERVIX

1. Definisi
Kanker leher rahim atau carcinoma cervix adalah keganasan dari serviks yang
ditandai dengan adanya perdarahan lewat jalan lahir atau vagina, tetapi gejala tersebut
tersebut tidak muncul sampai tingkat lanjut, dimana tanda dan diagnosa pasti bisa
ditegakkan dengan menggunakan pap smear. Kanker serviks adalah terjadinya
pertumbuhan sel abnormal yang tidak terkendali sehingga menimbulkan benjolan atau
tumor pada serviks. Berawal dari serviks, apabila telah memasuki tahap lanjut, kanker ini
bisa menyebar ke organ-organ lain di seluruh tubuh (Mansjoer dkk, 2008). Kanker
serviks dapat disebabkan oleh infeksi Human Papilloma Virus (HPV). HPV sangat
mudah menular dan dapat menginfeksi siapa saja yang sudah aktif secara seksual, baik
pria atau wanita. Tujuh puluh persen penularan HPV terjadi melalui hubungan seksual
sehingga kanker serviks dapat dikategorikan kedalam penyakit menular seksual.
Golongan HPV yang menyebabkan kanker serviks disebut sebagai HPV onkogenik yang
berperan dalam 99,7% kanker serviks. HPV tipe 16 dan 18 merupakan golongan high
risk penyebab utama pada 70% kasus kanker serviks di dunia.
2. Etiologi

Penyebab kanker serviks belum jelas diketahui namun ada beberapa faktor resiko
dan predisposisi yang menonjol, antara lain :

a. Umur pertama kali melakukan hubungan seksual


Penelitian menunjukkan bahwa semakin muda wanita melakukan hubungan seksual
semakin besar mendapat kanker serviks. Menikah pada usia 20 tahun dianggap
masih terlalu muda
b. Jumlah kehamilan dan partus
Kanker serviks terbanyak dijumpai pada wanita yang sering partus. Semakin sering
partus semakin besar kemungkinan resiko mendapat karsinoma serviks.
c. Jumlah perkawinan
Wanita yang sering melakukan hubungan seksual dan berganti-ganti pasangan
mempunyai faktor resiko yang besar terhadap kankers serviks ini.
d. Infeksi virus
Infeksi virus herpes simpleks (HSV-2) dan virus papiloma atau virus kondiloma
akuminata diduga sebagai factor penyebab kanker serviks
e. Sosial Ekonomi
Karsinoma serviks banyak dijumpai pada golongan sosial ekonomi rendah mungkin
faktor sosial ekonomi erat kaitannya dengan gizi, imunitas dan kebersihan
perseorangan. Pada golongan sosial ekonomi rendah umumnya kuantitas dan
kualitas makanan kurang hal ini mempengaruhi imunitas tubuh.
f. Hygiene dan sirkumsisi
Diduga adanya pengaruh mudah terjadinya kankers serviks pada wanita yang
pasangannya belum disirkumsisi. Hal ini karena pada pria non sirkum hygiene penis
tidak terawat sehingga banyak kumpulan-kumpulan smegma.
g. Merokok dan AKDR (alat kontrasepsi dalam rahim)
Merokok akan merangsang terbentuknya sel kanker, sedangkan pemakaian AKDR
akan berpengaruh terhadap serviks yaitu bermula dari adanya erosi diserviks yang
kemudian menjadi infeksi yang berupa radang yang terus menerus, hal ini dapat
sebagai pencetus terbentuknya kanker serviks.
3. Klasifikasi
Klasifikasi kanker serviks menurut Komite Ginekologi Onkologi FIGO
merekomendasikan (Faradina, 2006):
Stadium FIGO Keterangan
I Kanker serviks terbatas di serviks (penyebaran ke corpus uteri
diabaikan)
IA Kanker invasive didiagnosa hanya dengan mikroskopis. Semua lesi yg
dapat terlihat dengan mikroskop – meskipun dengan invasi superficial
– adalah stadium IB/T1B
IA1 Invasi stroma dengan kedalaman tidak lebih dari 3 mm atau dengan
penyebaran horizontal 7 mm atau kurang
IA2 Invasi stroma dengan kedalaman >3 mm dan <5 mm dengan
penyebaran horizontal 7 mm atau kurang
IB Lesi yg dapat dilihat secara klinis dikhususkan di serviks atau lesi
mikroskopik lebih besar dari IA2
IB2 Lesi yg dapat dilihat secara klinis >4 cm pada dimensi yg paling besar
II Telah melibatkan vagina, tetapi belum sampai 1/3 bawah atau infiltrasi
ke parametrium belum mencapai dinding panggul
IIA Besar tumor mempunyai prognosis yg sama dengan stadium IB
IIA1 Besar tumor ≤4 cm dengan keterlibatan vagina <2/3 atas
IIA2 Besar tumor >4 cm dengan keterlibatan vagina <2/3 atas
IIB Dengan invasi parametrium
III Tumor meluas ke dinding pelvis dan/atau melibatkan 1/3 bawah
vagina dan/atau menyebabkan hidronefrosis atau afungsi ginjal
IIIA Tumor melibatkan 1/3 bawah vagina & infiltrasi parametrium, tidak
terdapat perluasan ke dinding pelvis
IIIB Tumor meluas ke dinding pelvis dan/atau menyebabkan hidronefrosis
atau afungsi ginjal
IVA Tumor menginvasi mukosa kandung kencing atau rectum dan/atau
meluas ke pelvis
IVB Metastasis jauh

Klasifikasi tingkat keganasan menurut sistem TNM:


Tingkat Kriteria
T Tidak ditemukan tumor primer
T1S Karsinoma pra invasif (KIS)
T1 Karsinoma terbatas pada serviks
T1a Pra klinik: karsinoma yang invasif terlibat
dalam histologik
T1b Secara klinik jelas karsinoma yang invasif
T2 Karsinoma telah meluas sampai di luar
serviks, tetapi belum sampai dinding
panggul, atau Ca telah menjalar ke
vagina, tetapi belum sampai 1/3 bagian
distal
T2a Ca belum menginfiltrasi parametrium
T2b Ca telah menginfiltrasi parametrium
T3 Ca telah melibatkan 1/3 distal vagina /
telah mencapai dinding panggul (tidak
ada celah bebas)
T4 Ca telah menginfiltrasi mukosa rektum,
kandung kemih atau meluas sampai
diluar panggul
T4a Ca melibatkan kandung kemih / rektum
saja, dibuktikan secara histologik
T4b Ca telah meluas sampai di luar panggul
Nx Bila memungkinkan untuk menilai
kelenjar limfa regional. Tanda -/+
ditambahkan untuk tambahan
ada/tidaknya informasi mengenai
pemeriksaan histologik, jadi Nx+ / Nx-.
N0 Tidak ada deformitas kelenjar limfa pada
limfografi
N1 Kelenjar limfa regional berubah bentuk
(dari CT Scan panggul, limfografi)
N2 Teraba massa yang padat dan melekat
pada dinding panggul dengan celah
bebas infiltrat diantara massa ini dengan
tumor
M0 Tidak ada metastasis berjarak jauh
M1 Terdapat metastasis jarak jauh, termasuk
kele. Limfa di atas bifurkasio arrteri iliaka
komunis.

4. Manifestasi Klinis
Gejala umum yg dapat ditemukan yaitu: perdarahan kontak, keputihan campur
darah & berbau, serta tanda2 anemia. Sedangkan gejala khusus yg dijumpai yaitu: keluar
cairan dari kemaluan berupa darah bercampur dengan keputihan & berbau khas. Dengan
semakin berlanjutnya penyakit, tanda-tanda klinis akan terlihat jelas, berupa serviks yg
membesar, irregular & padat. Pertumbuhan serviks dapat berupa endofitik, eksofitik
maupun ulseratif. Dapat melibatkan vagina, parametrium maupun dinding panggul.
Menurut Dalimartha (2004) pada tahap awal, terjadinya kanker serviks tidak ada
gejala2 khusus. Biasanya timbul gejala berupa ketidakteraturannya siklus haid,
amenorrhea, hipermenorrhea, & penyaluran secret vagina yg sering atau perdarahan
intermenstrual, post koitus serta latihan berat. Perdarahan yg khas terjadi pada penyakit
ini yaitu darah yg keluar berbentuk mukoid. Nyeri yg dirasakan dapat menjalar ke
ekstremitas bagian bahwah dari daerah lumbal.

Gejala yang muncul :

a) Keputihan: makin lama, makin berbau busuk, diakibatkan infeksi dan nekrosis jaringan
b) Perdarahan Kontak: perdarahan yang dialami setelah senggama, merupakan gejala
Ca serviks (75-80%)
c) Perdarahan spontan: perdarahan yang timbul akibat terbukanya pembuluh darah dan
makin lama makin sering terjadi, terutama pada tumor yang bersifat eksofitik.
d) Anemia: terjadi akibat perdarahan pervaginam yang berulang.
e) Nyeri : ditimbulkan oleh infiltrasi sel tumor ke serabut saraf.
f) Gagal ginjal: infiltrasi sel tumor ke ureter yang menyebabkan obstruksi total.
5. Patofisiologi (terlampir)
6. Pemeriksaan diagnostik
a. Pemeriksaan pap smear
Dilakukan untuk mendeteksi sel kanker lebih awal pada pasien yg tidak
memberikan keluhan. Sel kanker dapat diketahui pada secret yg diambil dari posio
serviks. Pemeriksaan ini harus mulai dilakukan pada wanita usia 18 tahun atau ketika
telah melakukan aktivitas seksual sebelum itu. Setelah 3x hasil pemeriksaan pap
smear setiap 3 tahun sekali sampai usia 65 tahun.
b. Pemeriksaan DNA HPV
Pemeriksaan ini dimasukkan pada skrining bersama-sama dengan pap’s smear
untuk wanita diatas 30 tahun. Deteksi DNA HPV yg positif yg ditemukan kemudian
dianggap sebagai HPV yg persisten. Apabila hal ini dialami pada wanita dengan usia
yg lebih tua maka akan terjadi peningkatan resiko kanker serviks.
c. Biopsy
Biopsy dilakukan jika pemeriksaan panggul tampak suatu pertumbuhan atau luka
pada serviks atau jika hasil pemeriksaan pap smear emnunjukkan suatu abnormalitas
atau kanker. Teknik yg biasa dilakukan adalah punch biopsy yg tdk memerlukan
anastesi & teknik cone biopsy yg menggunakan anastesi. Biopsy dilakukan untuk
mengetahui kelainan yg ada pada serbiks. Jaringan yg diambil dari daerah bawah
kanal servikal. Hasil biopsy akan memperjelas apakah yg terjadi itu kanker invasive
atau hanya tumor saja.
d. Kolposkopi (pemeriksaan serviks dengan lensa pembesar)
Kolposkopi dilakukan untuk melihat daerah yg terkena proses metaplasia.
Pemeriksaan ini kurang efisien dibandingkan dengan pap smear karena kolposkopi
memerlukan ketrampilan & kemampuan kolpokospi dalam mengetes darah yg
abnormal.
e. Tes schiller
Pada pemeriksaan ini serviks diolesi dengan larutan iodium. Pada serviks yg
normal akan membentuk bayangan yg terjadi pada sel epitel serviks karena adanya
glikogen. Sedangkan pada sel epitel serviks yg mengadnung kanker akan
menunjukkan warna yg tidak berubah karena tidak ada glikogen.
f. Radiologi
Pemeriksaan radiologi direkomendasikan untuk mengevaluasi kandung kemih &
rectum yg meliputi sitoskopi, pielogram intravena (IVP), enema barium, &
sigmoidoskopi. Magnetic resonance imaging (MRI) atau CT scan abdomen/pelvis
digunakan untuk menilai penyebaran local tumor &/atau terkenanya nodus limpa
regional.
 Pelvic limphangiografi  dapat menunjukkan adanya gangguan pada saluran
pelvic atau peroartik limfe
 Pemeriksaan intravena urografi  dilakukan pada kanker serviks tahap lanjut, yg
dapat menunjukkan adanya obstruksi pada ureter terminal.
7. Penatalaksanaan

a. Radiasi
Radiasi merupakan perawatan standart pada penderita kanker servik untuk penyakit
kanker yang sudah lanjut (stadium 1B keatas ) dan untuk wanita yang tidak cocok
dengan pembedahan. Secara umum radioterapi akan memberikan efek secara fisik,
psikologis dan sosial hidup penderita sehingga hal ini akan menyebabkan penurunan
kualitas hidup pasien yang mendapatkan perawatan dengan radiasi. Efek samping
utama yang terjadi adalah diare, kelemahan, mual, dan abdominal kram.
b. Kemoterapi
Tujuan pengobatan menggunakan kemoterapi tergantung jenis kanker dan fase saat
diagnosis. Kemoterapi disebut sebagai pengobatan adjuvant ketika kemoterapi
digunakan untuk mencegah kanker kambuh. Kemoterapi sebagai pengobatan paliatif
ketika kanker sudah menyebar luas dan dalam fase akhir, sehingga dapat
memberikan kualitas hidup yang baik. (Galle, 2000). Kemoterapi bekerja saat sel aktif
membelah, namun kerugian dari kemoterapi adalah tidak dapat membedakan sel
kanker dan sel sehat yang aktif membelah seperti folikel rambut, sel disaluran
pencernaan dan sel batang sumsum tulang. Pengaruh yang terjadi dari kerja
kemoterapi pada sel yang sehat dan aktif membelah menyebabkan efek samping yang
umum terlihat adalah kerontokan rambut, kerusakan mukosa gastrointestinal dan
mielosupresi. Sel normal dapat pulih kembali dari trauma yang disebabkan oleh
kemoterapi, jadi efek samping ini biasanya terjadi dalam waktu singkat.
Macam-Macam kemoterapi
 Obat golongan Alkylating agent, platinum Compouns, dan Antibiotik Anthrasiklin
obst golongan ini bekerja dengan antara lain mengikat DNA di inti sel, sehingga sel-
sel tersebut tidak bisa melakukan replikasi.
 Obat golongan Antimetabolit, bekerja langsung pada molekul basa inti sel, yang
berakibat menghambat sintesis DNA.
 Obat golongan Topoisomerase-inhibitor, Vinca Alkaloid, dan Taxanes bekerja pada
gangguan pembentukan tubulin, sehingga terjadi hambatan mitosis sel.
 Obat golongan Enzim seperti, L-Asparaginase bekerja dengan menghambat
sintesis protein, sehingga timbul hambatan dalam sintesis DNA dan RNA dari sel-
sel kanker tersebut.
c. Pembedahan
Tahap awal dari kanker, biasanya Total Abdominal Hysterectomy (TAH) sering kali
digunakan untuk mengendalikan perluasan, namun jika kanker sudah metastasis
maka operasi, radiasi akan dikombinasikan. Kebanyakan ahli bedah dalam
memberikan histerektomi dilakukan pada tumor atau kanker yang kecil seringkali
<4cm.
8. Komplikasi
a. Komplikasi yang terjadi karena radiasi
Waktu fase akut terapi radiasi pelvik, jaringan-jaringan sekitarnya juga terlibat seperti
intestines, kandung kemih, perineum dan kulit. Efek samping gastrointestinal secara
akut termasuk diare, kejang abdominal, rasa tidak enak pada rektal dan perdarahan
pada GI. Diare biasanya dikontrol oleh loperamide atau atropin sulfate. Sistouretritis
bisa terjadi dan menyebabkan disuria, nokturia dan frekuensi. Antispasmodik bisa
mengurangi gejala ini. Pemeriksaan urin harus dilakukan untuk mencegah infeksi
saluran kemih. Bila infeksi saluran kemih didiagnosa, terapi harus dilakukan segera.
Kebersihan kulit harus dijaga dan kulit harus diberi salep dengan pelembap bila terjadi
eritema dan desquamasi. Squele jangka panjang (1 – 4 tahun setelah terapi) seperti :
stenosis pada rektal dan vaginal, obstruksi usus kecil, malabsorpsi dan sistitis kronis.
b. Komplikasi akibat tindakan bedah
Komplikasi yang paling sering akibat bedah histerektomi secara radikal adalah
disfungsi urin akibat denervasi partial otot detrusor. Komplikasi yang lain seperti vagina
dipendekkan, fistula ureterovaginal, pendarahan, infeksi, obstruksi usus, striktur dan
fibrosis intestinal atau kolon rektosigmoid, serta fistula kandung kemih dan
rektovaginal.
LEUKOSITOSIS

Definisi

Leukositosis adalah meningkatnya jumlah sel-sel darah putih sebanyak 15.000


selama persalinan. Jumlah leukosit akan tetap tinggi selama beberapa hari pertama masa
post partum. Jumlah sel darah putih akan tetap bisa naik lagi sampai 25.000 hingga 30.000
tanpa adanya kondisi patologis jika wanita tersebut mengalami persalinan lama.

Pada awal post partum, jumlah hemoglobin, hematokrit dan eritrosit sangat
bervariasi. Hal ini disebabkan volume darah, volume plasenta dan tingkat volume
darah yang berubah-ubah. Tingkatan ini dipengaruhi oleh status gizi dan hidarasi
dari wanita tersebut. Jika hematokrit pada hari pertama atau kedua lebih rendah dari titik 2
persen atau lebih tinggi daripada saat memasukipersalinan awal, maka pasien dianggap
telah kehilangan darah yang cukup banyak.

Etiologi

Leukositosis umumnya terjadi pada berbagai keadaan inflamasi. Seri tertentu leukosit yang
terkena bergantung pada penyebab yang mendasari:

1. Leuositosis polimorfonuklear (granulositosis neutrofil, neutrofilia) menyertai inflamasi


akut yang berkaitan dangan infeksi atau nekrosis jaringan. Sepsis atau kelainan
inflamasi yang berat menyebabkan terbentuknya sel-sel neutrofil yang dinamakan
“perubahan toksik”:
- Granul neutrofilik yang berwarna gelap dan secara abnormal tampak kasar
(granulasi toksik).
- Bercak-bercak reticulum endoplasma yang berdilatasi dan berwarna biru pada
sitoplasma.
- Vakuola dalam sitoplasma.
2. Leukositosis eosinofilik (eosinofilia) terlihat pada:
- Kelainan alergi (misalnya asma, penyakit alergi kulit).
- Investasi parasit
- Reaksi obat
- Keganasan tertentu (misal limfoma Hodgkin dan beberapa limfoma non-Hodgkin)
- Kelainan vascular kolagen dan beberapa vaskulitis
- Penyakit ateroemboli (secara transien)
3. Leukositosis basofilik jarang ditemukan; keadaan ini menunjukkan kelainan
mieloproliferasi yang mendasari (misalnya leukemia mielogenik kronik).
Etiologi leukositosis pada kehamilan belum jelas. Leukositosis yang terjadi selama
persalinan menyerupai leukositosis yang berhubungan dengan latihan fisik berat dimana sel
darah putih yang sebelumnya tidak tampak kembali masuk ke sirkulasi aktif.

Patofisiologi

Kenaikan jumlah neutrofil yang beredar dalam darah (bentuk leukositosis yang paling sering
ditemukan) terjadi karena berbagai makanisme :

1. Ekspansi sel progenitor neutrofilik sumsum tulang dan depot simpanan terjdai dalam
waktu beberapa jam hingga beberapa hari akibat kenaikan faktor-faktor penstimulasi
koloni yang dilepas dari unsure-unsur stroma sumsum tulang. Zat-zat stimulant yang
merangsang faktor penstimulasi koloni meliputi kenaikan persisten interleukin-1 (IL1)
dan tumor necrosis factor (TNF) misalnya pda penyakit infeksi dan kelainan
inflamasi.
2. Peningkatan pelepasan sel-sel neutrofil matur dari depot simpanan sumsum tulang
terjdai dengan cepat sesudah kenaikan IL1 dan TNF.
3. Peningkatan demarginasi sel-sel neutrofil darah perifer terlihat dalam keadaan stress
akut atau setelah pemberian glukokortikoid.
4. Faktor-faktor lain menyebabkan berbagai bentuk leukositosis; IL5 menyebabkan
leukositosis eosinofilik sementara ligan c-kit dan IL7 menginduksi limfopoiesis.

Manifestasi Klinis

- Kesulitan Bernapas
- Berkeringat
- Kelemahan
- Berat Badan Berkurang
- Rasa Geli
- Gangguan Visual
- Kehilangan nafsu makan
- Pusing
- Perdarahan
- Demam
- Kebingungan

Pemeriksaan Diagnosis
Pemeriksaan diagnostic untuk leukositosis yaitu dengan pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan laboratorium rutin, laboratorium khusus meliputi
biopsy jaringan, pemeriksaan sitologi. Pemeriksaan laboratorium rutin meliputi:

1. Pemeriksaan darah.
a. Darah lengkap, dilakukukan untuk mengetahui adanya anemia, adanya
leukositosis. Leukositosis yang berlebihan ada kemungkinan leukemia, terutama
bila disertai anemia.
b. Waktu perdarahan dan pembekuan, dilakukan untuk mengetahui adanya
gangguan pembekuan darah.
2. Pemeriksaan urin
Adanya leukosit dalam urin memungkinkan adanya infeksi kandung kemih atau
ginjal.
3. Kultur/ bakteriologis
Dilakukan bila dipandang perlu untuk mengetahui infeksi.

Penatalaksanaan

1. Memberikan terapi antibiotic seperti cefotaxim, Ceftriaxon, dan lain-lain


2. Melakukan pemeriksaan laboratorium secara rutin untuk memeriksa jumlah leukosit
3. Mengobservasi adanya tanda-tanda infeksi pada ibu post partum
4. Melakukan monitor tanda-tanda vital
AZOTEMIA

A. DEFINISI
Azotemia adalah kelainan biokimia yaitu peningkatan kadar kreatinin dan
nitrogen urea darah dan berkaitan dengan penurunan laju filtrasi glomerular.
Azotemia dapat disebabkan oleh banyak penyakit. Berdasarkan lokasi penyebab,
azotemia dapat dibagi menjadi azotemia prarenal dan azotemia pascarenal. Apabila
Azotemia berkaitan dengan gejala dan tanda klinis maka disebut uremia.
Peningkatan tajam kadar urea dan kreatinis plasma biasanya merupakan tanda
timbulnya gagal ginjal terminal dan disertai gejala uremik.[2] nilai normal nitrogen urea
darah adalah 8-20 mg/dL, dan nilai normal kadar kretinin serum adalah 0.7-1.4
mg/dL (Robbins, et al, 2007).

B. ETIOLOGI
1. Faktor Prarenal
Semua faktor yang menyebabkan peredaran darah ke ginjal berkurang
yang menyebabkan terdapatnya hipovolemia, misalnya:

a. Perdarahan karena trauma operasi


b. Dehidrasi atau berkurangnya volume cairan ekstraselluler (dehidrasi pada
diare)
c. Berkumpulnya cairan insterstitial di suatu daerah luka
Bila faktor prarenal dapat diatasi, faal ginjal akan menjadi normal kembali,
tetapi jika hipovolemia berlangsung lama, maka akan terjadi kerusakan pada
parenkim ginjal. (Ngastiyah, 2005).

2. Faktor Renal
Faktor ini merupakan penyebab terjadinya gagal ginjal akut terbanyak.
Kerusakan yang timbul di glomerulus atau tubulus menyebabkan faal ginjal
langsung terganggu. Prosesnya dapat berlangsung secara cepat atau
mendadak, atau dapat juga berlangsung perlahan-lahan dan akhirnya mencapai
stadium uremia. Kelainan di ginjal ini dapat merupakan kelanjutan dari
hipoperfusi prarenal dan iskemia yang kemudian menyebabkan nekrosis
jaringan ginjal (Ngastiyah, 2005).
3. Faktor Pascarenal
Semua faktor pascarenal yang menyebabkan obstruksi pada saluran
kemih seperti kelainan bawaan, tumor, nefrolitiasis, dan keracunan jengkol harus
bersifat bilateral (Ngastiyah, 2005).

C. PATOFISIOLOGI
1. Azotemia Prerenal
Aktivasi syaraf simpatik akan meningkatkan reabsorbsi air, garam dan juga
urea di tubulus proksimal, sebaliknya kreatinin disekresikan di tubulus proksimal.
Sehingga rasio BUN: Kreatinin > 20 dan ekskresi fraksi Na < 1 % dan peningkatan
osmolalitas urin.

2. Azotemia Renal
Penyakit ginjal menyebabkan Glomelurus Filter Ratio (GFR) sangat rendah
sehingga hanya sedikit filtasi bahkan tidak ada yang dapat menyebabkan
penumpukan metabolit di dalam darah. BUN : Kreatinin < 15.

3. Azotemia Pascarenal
Peningkatan tekanan tubulus di nefron menyebabkan peningkatan reabsorbsi
urea, peningkatannya lebih tinggi dari kreatinin (Robbins, et al., 2007).

D. TANDA DAN GEJALA


1. Oliguria (<400 cc/24 jam)
2. Anuria (<100 cc/24 jam)
3. Badan lemas dan cepat lelah
4. Gangguan konsentrasi
5. Takikardia
6. Mual, muntah dank kram perut
7. Xerostomia
Rasa haus (Robbins, et al., 2007).
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Dalam hal ini yang perlu diketahui dan ditanyakan kepada pasien adalah
tanda vital (pengukuran tekanan darah), BB, data mengenai intake dan output
pasien, pemeriksaan lab masa lampau dan sekarang, keseimbangan cairan, dan
obat - obatan (NSAID, diuretik, agen radiokontras, serta antibiotik) (Akcay et
al.,2010).
Pada penelitian Akcay et.al., (2010) dikatakan bahwa evaluasi selanjutnya,
dapat dilakukan pada prerenal, postrenal, dan intrarenal azotemia, karena ini
merupakan pendekatan yang paling penting dalam mendiagnosis penyebab
terjadinya gagal ginjal akut.

1. Prerenal Azotemia
Terdapat 4 kriteria untuk mendiagnosis azotemia; Pertama, peningkatan
secara akut BUN dan SCr. Kedua, penyebab hipoperfusi ginjal. Ketiga, sedimen urin
(tidak ada cell cast) atau fractional excretion of sodium (FENa) kurang dari 1%.
Keempat, setelah koreksi hipoperfusi, fungsi ginjal kembali normal dalam waktu 24 –
48 jam.

2. Postrenal Azotemia
Obstruksi pada kedua ureter, bladder/urethra, atau obstruksi pada salah satu
ginjal dapat menyebabkan postrenal azotemia.

3. Intrarenal Azotemia

Intrarenal Azotemia dapat ditegakkan setelah kriteria ekslusi pada prerenal


dan postrenal azotemia dilakukan (Robbins, et al., 2007).

Anda mungkin juga menyukai