Disusun Oleh:
Dwi Handayani Sundoro
115070200111017
REGULER 1
2. Klasifikasi Inkontinensia
a. Inkontinensia Urin Akut Reversibel
Pasien delirium mungkin tidak sadar saat mengompol
atau tak dapat pergi ke toilet sehingga berkemih tidak pada
tempatnya. Bila delirium teratasi maka inkontinensia urin
umumnya juga akan teratasi. Setiap kondisi yang
menghambat mobilisasi pasien dapat memicu timbulnya
inkontinensia urin fungsional atau memburuknya inkontinensia
persisten, seperti fraktur tulang pinggul, stroke, arthritis dan
sebagainya. Resistensi urin karena obat-obatan, atau
obstruksi anatomis dapat pula menyebabkan inkontinensia
urin. Keadaan inflamasi pada vagina dan urethra (vaginitis
dan urethritis) mungkin akan memicu inkontinensia urin.
Konstipasi juga sering menyebabkan inkontinensia akut.
Berbagai kondisi yang menyebabkan poliuria dapat memicu
terjadinya inkontinensia urin, seperti glukosuria atau kalsiuria.
Gagal jantung dan insufisiensi vena dapat menyebabkan
edema dan nokturia yang kemudian mencetuskan terjadinya
inkontinensia urin nokturnal. Berbagai macam obat juga dapat
mencetuskan terjadinya inkontinensia urin seperti Calcium
Channel Blocker, agonist adrenergic alfa, analgesic narcotic,
psikotropik, antikolinergik dan diuretic. Untuk mempermudah
mengingat penyebab inkontinensia urin akut reversible dapat
dilihat akronim di bawah ini :
D --> Delirium
R --> Restriksi mobilitas, retensi urin
I --> Infeksi, inflamasi, Impaksi
P --> Poliuria, pharmasi
b. Inkontinensia Urin Persisten
Inkontinensia urin persisten dapat diklasifikasikan dalam
berbagai cara, meliputi anatomi, patofisiologi dan klinis. Untuk
kepentingan praktek klinis, klasifikasi klinis lebih bermanfaat
karena dapat membantu evaluasi dan intervensi klinis.
Kategori klinis meliputi :
1) Inkontinensia urin stress (stres inkontinence)
Tak terkendalinya aliran urin akibat meningkatnya tekanan
intraabdominal, seperti pada saat batuk, bersin atau
berolah raga. Umumnya disebabkan oleh melemahnya otot
dasar panggul, merupakan penyebab tersering
inkontinensia urin pada lansia di bawah 75 tahun. Lebih
sering terjadi pada wanita tetapi mungkin terjadi pada laki-
laki akibat kerusakan pada sfingter urethra setelah
pembedahan transurethral dan radiasi. Pasien mengeluh
mengeluarkan urin pada saat tertawa, batuk, atau berdiri.
Jumlah urin yang keluar dapat sedikit atau banyak.
2) Inkontinensia urin urgensi (urgency inkontinence)
Keluarnya urin secara tak terkendali dikaitkan dengan
sensasi keinginan berkemih. Inkontinensia urin jenis ini
umumnya dikaitkan dengan kontraksi detrusor tak
terkendali (detrusor overactivity). Masalah-masalah
neurologis sering dikaitkan dengan inkontinensia urin
urgensi ini, meliputi stroke, penyakit Parkinson, demensia
dan cedera medula spinalis. Pasien mengeluh tak cukup
waktu untuk sampai di toilet setelah timbul keinginan untuk
berkemih sehingga timbul peristiwa inkontinensia urin.
Inkontinensia tipe urgensi ini merupakan penyebab
tersering inkontinensia pada lansia di atas 75 tahun. Satu
variasi inkontinensia urgensi adalah hiperaktifitas detrusor
dengan kontraktilitas yang terganggu. Pasien mengalami
kontraksi involunter tetapi tidak dapat mengosongkan
kandung kemih sama sekali. Mereka memiliki gejala seperti
inkontinensia urin stress, overflow dan obstruksi. Oleh
karena itu perlu untuk mengenali kondisi tersebut karena
dapat menyerupai ikontinensia urin tipe lain sehingga
penanganannya tidak tepat.
3) Inkontinensia urin luapan/overflow (overflow incontinence)
Tidak terkendalinya pengeluaran urin dikaitkan dengan
distensi kandung kemih yang berlebihan. Hal ini
disebabkan oleh obstruksi anatomis, seperti pembesaran
prostat, faktor neurogenik pada diabetes melitus atau
sclerosis multiple, yang menyebabkan berkurang atau tidak
berkontraksinya kandung kemih, dan faktor-faktor obat-
obatan. Pasien umumnya mengeluh keluarnya sedikit urin
tanpa adanya sensasi bahwa kandung kemih sudah penuh.
4) Inkontinensia urin fungsional
Inkontinensia fungsional merupakan keadaan seseorang yang
mengalami pengeluaran urin secara tanpa disadari dan tidak dapat
diperkirakan. Keadaan inkontinensia ini ditandai dengan tidak adanya
dorongan untuk berkemih, merasa bahwa kandung kemih penuh,
kontraksi kandung kemih cukup kuat untuk mengeluarkan urin
(Hidayat,2006).
Inkontinensia fungsional merupakan inkontinensia dengan fungsi
saluran kemih bagian bawah yang utuh tetapi ada faktor lain, seperti
gangguan kognitif berat yang menyebabkan pasien sulit untuk
mengidentifikasi perlunya urinasi (misalnya, demensia Alzheimer) atau
gangguan fisik yang menyebabkan pasien sulit atau tidak mungkin
menjangkau toilet untuk melakukan urinasi
5) Inkontinensia Refleks
Inkontinensia refleks merupakan keadaan di mana seseorang
mengalami pengeluaran urin yang tidak dirasakan, terjadi pada interval
yang dapat diperkirakan bila volume kandung kemih mencapai jumlah
tertentu. Inkontinensia tipe ini kemungkinan disebabkan oleh adanya
kerusakan neurologis (lesi medulla spinalis). Inkontinensia refleks
ditandai dengan tidak adanya dorongan untuk berkemih, merasa
bahwa kandung kemih penuh, dan kontraksi atau spasme kandung
kemih tidak dihambat pada interval teratur (Hidayat, 2006).
6) Inkontinensia Total
Inkontinensia total merupakan keadaan dimana seseorang mengalami
pengeluaran urin yang terus menerus dan tidak dapat diperkirakan.
Kemungkinan penyebab inkontinensia total antara lain: disfungsi
neorologis, kontraksi independen dan refleks detrusor karena
pembedahan, trauma atau penyakit yang mempengaruhi saraf medulla
spinalis, fistula, neuropati (Hidayat, 2006).
1. 4 Sistem Imun
Kemampuan sistem imun mengalami kemunduran pada masa
penuaan. Walaupun demikian, kemunduran kemampuan sistem
yang terdiri dari sistem limfatik dan khususnya sel darah putih,
juga merupakan faktor yang berkontribusi dalam proses penuaan.
Mutasi yang berulang atau perubahan protein pasca tranlasi,
dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem imun tubuh
mengenali dirinya sendiri. Jika mutasi isomatik menyebabkan
terjadinya kelainan pada antigen permukaan sel, maka hal ini akan
dapat menyebabkan sistem imun tubuh menganggap sel yang
mengalami perubahan tersebut sebagai selasing dan
menghancurkannya. Perubahan inilah yang menjadi dasar
terjadinya peristiwa autoimun. Disisi lain sistem imun tubuh sendiri
daya pertahanannya mengalami penurunan pada proses menua,
daya serangnya terhadap sel kanker menjadi menurun, sehingga
sel kanker leluasa membelah-belah (Azizah, 2011).
1. 5 Teori Menua Akibat Metabolisme
Menurut MC Kay et all., (1935) yang dikutip Darmojo dan Martono
(2004), pengurangan “intake” kalori pada rodentia muda akan
menghambat pertumbuhan dan memperpanjang umur.
Perpanjangan umur karena jumlah kalori tersebut antara lain
disebabkan karena menurunnya salah satu atau beberapa proses
metabolisme. Terjadi penurunan pengeluaran hormon yang
merangsang pruferasi sel misalnya insulin dan hormon
pertumbuhan.
2. Teori Psikologis
2. 1 Aktivitas atau Kegiatan (Activity Theory)
Seseorang yang dimasa mudanya aktif dan terus memelihara
keaktifannya setelah menua. Sense of integrity yang dibangun
dimasa mudanya tetap terpelihara sampai tua. Teori ini
menyatakan bahwa pada lanjut usia yang sukses adalah meraka
yang aktif dan ikut banyak dalam kegiatan sosial (Azizah, 2011).
2. 2 Kepribadian berlanjut (Continuity Theory)
Dasar kepribadian atau tingkah laku tidak berubah pada lanjut
usia. Identity pada lansia yang sudah mantap memudahkan dalam
memelihara hubungan dengan masyarakat, melibatkan diri dengan
masalah di masyarakat, kelurga dan hubungan interpersonal
(Azizah, 2011).
2. 3 Teori Pembebasan (Disengagement Theory)
Teori ini menyatakan bahwa dengan bertambahnya usia,
seseorang secara pelan tetapi pasti mulai melepaskan diri dari
kehidupan sosialnya atau menarik diri dari pergaulan sekitarnya
(Azizah, 2011).
sejak manusia dilahirkan. Terdapat banyak definisi proses menua, namun teori yang
paling banyak dianut saat ini adalah teori radikal bebas dan teori telomer.
radikal bebas yang merusak DNA, protein, lipid, glikasi non-enzimatik, dan
replikasi DNA. Telomer akan memendek setiap kali sel membelah. Bila
replicative senescence.
Masalah umum pada proses menua adalah penurunan fungsi fisiologis dan
kognitif yang bersifat progresif serta peningkatan kerentanan usia lanjut pada kondisi
sakit. Laju dan dampak proses menua berbeda pada setiap individu karena
sensorik, saraf pusat, pencernaan, kardiovaskular, dan sistem respirasi. Selain itu
terjadi pula perubahan komposisi tubuh, yaitu penurunan massa otot, peningkatan
massa dan sentralisasi lemak, serta peningkatan lemak intramuskular. Perlu diingat
bahwa perubahan fisik yang berhubungan dengan proses menua normal bukanlah
aging, sedangkan individu yang tidak atau memiliki sedikit karakteristik menua
psikologis, dan fungsi sosial. Dimensi operasional SA yang paling sering dipakai
adalah menurut Rowe dan Kahn yang meliputi tiga aspek, yaitu bebas dari penyakit
dan hendaya, fungsi kognitif yang baik, dan tetap aktif di dalam kehidupan. SA
berarti memerpanjang usia dan mengupayakan agar penyakit terkait usia terjadi di
usia setua dan sedekat mungkin dengan kematian. Pemeliharaan fungsi fisik yang
baik tercermin pada kemampuan untuk melakukan aktivitas harian, mulai dari hal
sederhana seperti makan, berpakaian, dan naik tangga sampai kegiatan yang lebih
dapat dicapai dengan pencegahan primer seperti berhenti merokok, latihan jasmani,
subjektif tersebut mempunyai nilai yang sama penting dengan penilaian objektif
mengenai kesehatan. Rasa puas akan dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu kebebasan
untuk bertindak, rasa kompeten, dan rasa keterikatan dengan sesama. Model SA
psikologis akan tercapai jika terdapat mekanisme kompensasi yang baik terhadap
keterbatasan akibat usia dan optimalisasi kemampuan yang tersisa, sehingga usia
positif dengan sesama dan aktif dalam kegiatan kemasyarakatan. Fungsi sosial yang
menghadiri kegiatan keagamaan, dan aktif pada kegiatan amal. Aspek sosial juga
dapat menjadi faktor protektif terhadap kejadian mistreatment pada usia lanjut.
3. Gangguan otonom
Pada lansia terjadi penurunan kolin-esterase dan aktivitas reseptor
kolin yang berakibat penurunan fungsi otonom.Beberapa gangguannya
adalah hipotensi ortostatik, gangguan pengaturan suhu, kandung kemih,
gerakan esofagus dan usus besar.
Hipotensi ortostatik adalah penurunan tekanan sistolik/diastolik sebanyak
20 mmHg pada saat berubah dari posisi tidur ke posisi tegak setelah 1-2
menit.Hal ini terjadi akibat penurunan isi sekuncup jantung dan
perpindahan darah ke posisi bawah tubuh.Biasanya tidak menimbulkan
gejala karena mekanisme kompensasi. Namun pada lansia dapat terjadi
adanya penurunan elastisitas pembuluh darah, gangguan barorefleks
akibat tirah baring lama, hipovolemia, hiponatremia, pemberian obat
hipotensif, atau penyakit SSP maupun neuropati lain (parkinson, CVD,
diabetes mellitus). Gejala bisa berupa penurunan kesadaran atau
jatuh.Penatalaksanaannya adalah meninggikan kepala waktu tidur.Terapi
farmakologis dapat menggunakan hormon mineralokortikoid,
simpatomimetik, atau vasokonstriktor lainnya seperti fluorokortison,
kafein, pindolol.
Gangguan regulasi suhu juga ditemukan pada lansia sehingga mereka
rentan mengalami hipertermia maupun hipotermia.Hipertermia adalah
suhu inti tubuh > 40,6oC, disfungsi saraf pusat hebat (psikosis, delirium,
koma).Sementara itu hipotermia adalah penurunan suhu inti tubuh di
bawah 35oC.
4. Inkontinensia
Inkontinensia adalah pengeluaran urin (atau feses) tanpa disadari,
dalam jumlah dan frekuensi yang cukup sehingga mengakibatkan
masalah gangguan kesehatan atau sosial. Ini bukan konsekuensi normal
dari pertambahan usia. Penyebab inkontinensia berasal dari kelainan
urologik (radang, batu, tumor), kelainan neurologik (stroke, trauma
medula spinalis, dementia), atau lainnya (imobilisasi, lingkungan).
Inkontinensia dapat akut di saat timbul penyakit atau yang kronik/lama.
Inkontinensia akut yang biasanya reversibel dapat diformulasi
dengan akronim DRIP yang merupakan Delirium, Restriksi mobilitas
retensi, Infeksi inflamasi impaksi feses, Pharmasi poliuri. Juga dengan
akronim DIAPPERS : Delirium, Infection, Atrophic vaginitis/uretheritis,
Pharmaceuticals, Physiologic factor, Excess urine output, Restricted
mobility, Stool impaction.
Inkontinensia menetap dapat terjadi akibat aktivitas detrusor
berlebih (over active bladder), aktivitas detrusor yang menurun (overflow),
kegagalan uretra (stress type), atau obstruksi uretra.
Tatalaksana inkontinensia urin meliputi behavioral training (bladder
training, pelvic floor exercise), farmakologis, pembedahan. Obat yang
digunakan dapat meliputi antikolinergik antispasmodik (imipramin) untuk
tipe urgensi/stres, α-adrenergik agonis (pseudoefedrin, fenilpropanolamin)
untuk tipe stres atau urgensi, estrogen agonis(oral/topikal) untuk tipe stres
atau urgensi, kolinergik agonis (betanekol), α-arendergik antagonis
(terasozine) untuk tipe overflow atau urgensi karena pembesaran prostat.
Pembedahan meliputi juga kateterisasi sementara (2-4 kali sehari) atau
menetap.
5. Jatuh
Jatuh adalah kejadian tidak diharapkan dimana seorang jatuh dari
tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah atau sama
tingginya. Sebanyak 30% lansia ≥ 65 tahun mengalami jatuh. Kondisi
jatuh dipengaruhi stabilitas badan yang ditunjang oleh sistem sensorik
(penglihatan, pendengaran, vestibuler, proprioseptif), susunan saraf
pusat, kognisi, dan fungsi muskuloskeletal. Ia juga dipengaruhi faktor
ekstrinsik seperti pengaruh obat dan kondisi lingkungan. Penyebab jatuh
ada beragam, antara lain kecelakaan, nyeri kepala dan atau vertigo,
hipotensi ortostatik, obat-obatan (diuretik, antihipertensi, antidepresan
trisiklik, sedatif, antipsikotik, hipoglikemk, alkohol), proses penyakit
(aritmia, TIA, stroke, parkinson), idiopatik, dan sinkop (drop attack,
penurunan CBF).
Jatuh menimbulkan komplikasi perlukaan jaringan lunak dan
fraktur (terutama pelvis, kolum femoris), imobilisasi, disabilitas, risiko
meninggal. Jatuh perlu dicegah dengan identifikasi semua faktor risiko
intrinsik maupun ekstrinsik, penilaian pola berjalan dan keseimbangan
(tes romberg), dan pemeriksaan rutin. Setiap lansia selalu harus
ditanyakan riwayat jatuh dan evaluasi status kesehatan. Tatalaksana
jatuh adalah pencegahan sesuai dengan etiologi yang dirasa memberi
risiko terjadinya jatuh.
7. Dekubitus
Dekubitus adalah kerusakan kulit sampai jaringan di bawah kulit,
menembus otot sampai mengenai tulang akibat adanya penekanan pada
suatu area secara terus menerus sehingga timbul gangguan sirkulasi
darah setempat.Ulkus dekubitus terjadi terutama pada tonjolan
tulang.Usia lanjut memiliki potensi dekubitus karena jaringan lemak
subkutan berkurang, jaringan kolagen dan elastis berkurang, efisiensi
kapiler pada kulit berkurang. Pada penderita imobil, tekanan jaringan
akan melebihi tekanan kapiler, sehingga timbul iskemi dan nekrosis.
Proses ini dipengaruhi oleh tekanan, daya regang, gesekan, dan
kelembaban.
Semua pasien lansia yang imobil harus dinilai skala Norton untuk risiko
dekubitus.Skor di bawah 14 berkaitan dengan risiko tinggi timbulnya
ulkus.Pencegahan ulkus dapat dilakukan dengan membersihkan kulit,
mengurangi gesekan dan regangan dengan berpindah posisi, asupan gizi
yang cukup, menjaga kelembaban kulit.Perlu diingat komplikasi ulkus
dekubitus adalah sepsis.
2. Pencegahan (Preventif)
a. Melakukan pencegahan primer, meliputi pencegahan pada lansia
sehat, terdapat faktor risiko, tidak ada penyakit, dan promosi
kesehatan. Jenis pelayanan pencegahan primer adalah: program
imunisasi, konseling, berhenti merokok dan minum beralkohol,
dukungan nutrisi, keamanan di dalam dan sekitar rumah, manajemen
stres, penggunaan medikasi yang tepat.
b. Melakukan pencegahan sekunder, meliputi pemeriksaan terhadap
penderita tanpa gejala dari awal penyakit hingga terjadi gejala penyakit
belum tampak secara klinis dan mengindap faktor risiko. Jenis pelayan
pencegahan sekunder antara lain adalah sebagai berikut: kontrol
hipertensi, deteksi dan pengobatan kangker, screening: pemeriksaan
rektal, papsmear, gigi mulut dan lain-lain.
c. Melakukan pencegahan tersier, dilakukan sebelum terdapat gejala
penyakit dan cacat, mecegah cacat bertambah dan ketergantungan,
serta perawatan dengan perawatan di rumah sakit, rehabilisasi pasien
rawat jalan dan perawatan jangka panjang.
1. Genetik
Riwayat keluarga juga merupakan masalah yang memicu
terjadinya hipertensi karena cenderung merupakan penyakit
keturunan. Jika seorang dari orang tua kita memiliki riwayat
hipertensi maka sepanjang hidup kita memiliki kemungkinan
25% terkena hipertensi ( Astawan,2002 ).
Gen yang berperan pada patofisiologi penyakit hipertensi
adalah:
a. Gen simetrik yang mengandung promoter gen 11β-
hidroksilase dan gen urutan selnajutnya untuk memberi
kode pada gen aldosteron sintase, sehingga
menghasilkan ektopik aldosteron.
b. Saluran Natrium endotel yang sensitive terhadap amilorid
yang terdapat pada tubulus pengumpul. Mutasi gen ini
mengakibatkan aktivitas aldosteron, menekan aktivitas
rennin plasma dan hipokalemia.
c. Kerusakan gen 11β-hidroksilase dehidrogenase
menyebabkan sirkulasi konsentrasi kortisol normal untuk
mengaktifkan reseptor mineralakortikoid, sehingga
menyebabkan sindrom kelebihan mineralkortikoid (Sani,
2008).
2. Umur
Insidensi hipertensi meningkat seiring dengan pertambahan
umur. Pasien berumur di atas 60 tahun, 50 – 60% mempunyai
tekanan darah lebih besar atau sama dengan 140/90 mmHg.
Hal ini merupakan pengaruh degenerasi yang terjadi pada orang
yang bertambah usianya.
Dengan bertambahnya umur, maka tekanan darah juga akan
meningkat. Setelah umur 45 tahun, dinding arteri akan
mengalami penebalan oleh karena adanya penumpukan zat
kolagen pada lapisan otot, sehingga pembuluh darah akan
berangsur-angsur menyempit dan menjadi kaku. Tekanan darah
sistolik meningkat karena kelenturan pembuluh darah besar
yang berkurang pada penambahan umur sampai dekade
ketujuh sedangkan tekanan darah diastolik meningkat sampai
dekade kelima dan keenam kemudian menetap atau cenderung
menurun. Peningkatan umur akan menyebabkan beberapa
perubahan fisiologis, apda usia lanjut terjadi peningkatan
resistensi perifer dan aktivitas simpatik. Pengaturan tekanan
darah yaitu reflekx baroreseptor pada usia lanjut sensitivitasnya
sudah berkurang, sedangkan peran ginjal juga sudah berkurang
dimana aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus menurun.
3. Jenis Kelamin
Prevalensi terjadinya hipertensi pada pria sama dengan
wanita. Namun wanita terlindung dari penyakit kardiovaskuler
sebelum menopause. Wanita yang belum mengalami
menopause dilindungi oelh hormon estrogen yang berperan
dalma meningkatkan kadar High Density Lipoprotein (HDL).
Kadar kolesterol HDL yang tinggi merupakan faktor pelindung
dalam mencegah terjadinya proses aterosklerosis. Efek
perlindungan estrogen dianggap sebagai penjelasn adanya
imunitas wanita pada usia premenopause. Pada premenopause
wanita ini mulai kehilangan sedikit demi sedikit hormon estrogen
yang selama ini melindungi pembuluh darah dari kerusakan.
4. Etnis
Hipertensi lebih banyak terjadi pada orang berkulit hitam dari
pada yang berkulit putih. Sampai saat ini, belum diketahui
secara pasti penyebabnya. Namun pada orang kulit hitam
ditemukan kadar renin yang lebih rendah dan sensitifitas
terhadap vasopressin lebih besar.
Selain beberapa faktor risiko diatas ada pula faktor risisko lainnya.
Yaitu
2. Merokok
nikotin menyebabkan peningkatan tekanan darah karena
nikotin akan diserap pembuluh darah kecil dalam paru-paru dan
diedarkan oleh pembuluh darah hingga ke otak, otak akan
bereaksi terhadap nikotin dengan member sinyal pada kelenjar
adrenal untuk melepas efinefrin (Adrenalin). Hormon yang kuat
ini akan menyempitkan pembuluh darah dan memaksa jantung
untuk bekerja lebih berat karena tekanan yang lebih
tinggi.Selain itu, karbon monoksida dalam asap rokok
menggantikan oksigen dalam darah. Hal ini akan
mengakibatkan peningkatan tekanan darah karena jantung
dipaksa memompa untuk memasukkan oksigen yang cukup ke
dalam organ dan jaringan tubuh ( Astawan, 2002 ).
3. Aktivitas
Aktivitas sangat mempengaruhi terjadinya hipertensi, dimana
pada orang yang kurang aktvitas akan cenderung mempunyai
frekuensi denyut jantung yang lebih tinggi sehingga otot jantung
harus bekerja lebih keras pada tiap kontraksi.Makin keras dan
sering otot jantung memompa maka makin besar tekanan yang
dibebankan pada arteri ( Amir, 2002 ).
4. Alkohol
Alkohol dalam darah merangsang adrenalin dan hormone–
hormon lain yang membuat pembuluh darah menyempit atau
menyebabkan penumpukan natrium dan air. Minum-minuman
yang beralkohol yang berlebih juga dapat menyebabkan
kekurangan gizi yaitu penurunan kadar kalsium.Mengurangi
alkohol dapat menurunkan tekanan sistolik 10 mmhg dan
diastolik 7 mmhg.
B. Etiologi
Berdasarkan penyebabnya, Hipertensi terdiri dari hipertensi
primer (primary hypertension) dan hipertensi sekunder
(secondary hypertension).
1. Hipertensi Primer
Hipertensi primer adalah suatu kondisi yang lebih
sering terjadi pada banyak orang. Penyebab dasar yang
mendasarinya tidak selalu diketahui/idiopatik, namun dapat
terdiri dari beberapa faktor antara lain:
- Tekanan darah tidak terdeteksi (diastolik < 90 mm Hg,
sistolik > 105 mm Hg)
- Peningkatan kolesterol plasma (> 240-250 mg/dl)
- Kebiasaan merokok / alkohol
- Kelebihan Berat Badan / Kegemukan / Obesitas
- Kurang olah raga
- Penggunaan garam yang berlebihan
- Peradangan ditandai peningkatan C reactive
- Gagal ginjal (renal insufficiency)
- Faktor genetic / keturunan
- Usia
- Jenis kelamin
2. Hipertensi Sekunder
Hipertensi sekunder disebabkan oleh suatu kelainan
spesifik dari suatu organ tertentu atau pembuluh darah,
seperti ginjal, kelenjar adrenal, atau arteri aorta.
II. Patofisiologi
Terlampir
- Sakit kepala
- Jantung berdebar-debar
- Sulit bernafas
- Mudah lelah
- Penglihatan kabur
- Wajah merah
- Hidung berdarah
- Telinga berdenging
- Mual
B. Klasifikasi
1. Menurut WHO
V. Definisi
Hipertensi adalah suatu keadaan dimana dijumpai tekanan
darah lebih dari 140/90 mmHg atau lebih untuk usia 13-50 tahun
dan tekanan darah mencapai 160/95 mmHg untuk usia di atas 50
tahun. Dan harus dilakukan pengukuran tekanan darah minimal
sebanyak dua kali untuk memastikan keadaan tersebut
(WHO,2001).
Menurut Joint National Comittee On Prevention, Detection,
Evaluation and Treatment Of High Blood Pressure VI/JNC VI, 2001
hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah yang lebih tinggi dari
140/90 mmHg dapat diklasifikasikan sesuai derajat keparahannya,
mempunyai rentang dari tekanan darah normal tinggi sampai
hipertensi maligna. Keadaan ini dikategorikan sebagai primer atau
esensial (hampir 90% dari semua kasus) dan hipertensi sekunder,
terjadi sebagai akibat dari kondisi patologi yang dapat dikenali,
sering kali dapat diperbaiki.
Hipertensi juga dapat diartikan sebagai tekanan darah
persisten dimana tekanan darahnya diatas 140/90 mmHg. Pada
manula hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistoliknya 160
mmHg dan tekanan diastoliknya 90 mmHg (Brunner dan Suddarth,
2002)
Hipertensi dapat pula disebut sebagai keadaan dimana
tekanan arteri rata-rata lebih tinggi daripada batas atas yang
dianggap normal yaitu 140/90 mmHg (Guyton and Hall, 2001)
NM Kaplan (Bapak Ilmu Penyakit Dalam), memberikan
batasan dengan membedakan usia dan jenis kelamin sebagai
berikut:
1. Pria, usia < 45 tahun, dikatakan hipertensi apabila tekanan
darah pada waktu berbaring > 130/90 mmHg
2. Pria, usia > 45 tahun, dikatakan hipertensi apabila tekanan
darahnya > 145/95 mmHg
3. Pada wanita tekanan darah > 160/95 mmHg, dinyatakan
hipertensi.
Sheps (2005), Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan
darah persisten dimana tekanan sistoliknya diatas 140 mmHg dan
tekanan diastolik diatas 90 mmHg. Pada populasi lanjut usia,
hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan
tekanan diastolik 90 mmHg
VI. Penatalaksanaan
A. Non Farmakologi
1. Diet
2. Latihan Fisik
Latihan fisik atau olah raga yang teratur dan terarah yang
dianjurkan untuk penderita hipertensi adalah olah raga yang
mempunyai empat prinsip yaitu :
a). Macam olah raga yaitu isotonis dan dinamis seperti lari,
jogging, bersepeda, berenang dan lain-lain. Pada olah raga
isotonik mampu menyusutkan hormone noradrenalin dan
hormone – hormone lain penyebab naiknya tekanan darah.
Hindari olah raga Isometrik seperti angkat beban, karena
justru dapat menaikkan tekanan darah (Mayer,1980).
3. Edukasi Psikologis
4. Pendidikan Kesehatan
B. Farmakologi
Secara garis besar terdapat bebrapa hal yang perlu diperhatikan
dalam pemberian atau pemilihan obat anti hipertensi yaitu:
1. Mempunyai efektivitas yang tinggi.
2. Mempunyai toksitas dan efek samping yang ringan atau
minimal.
3. Memungkinkan penggunaan obat secara oral.
4. Tidak menimbulakn intoleransi.
5. Harga obat relative murah sehingga terjangkau oleh klien.
6. Memungkinkan penggunaan jangka panjang.
Eprosartan (Teveten)
Acebutolol (Sectral)
Pindolol (Visken)
Bisoprolol (Zebeta)
Kombinasi dari
triamterene dan
hydrochlorothiazide
(Dyazide)
Metolazone
(Zaroxolyn)
VII. Komplikasi
Beberapa komplikasi pada penderita hipertensi:
A. Stroke
Dapat timbul akibat perdarahan tekanan tinggi di otak,
atau akibat embolus yang terlepas dari pembuluh non otak
yang terpajan tekanan tinggi. Stroke dapat terjadi pada
hipertensi kronik apabila arteri-arteri yang memperdarahi
otak mengalami hipertropi dan menebal, sehingga aliran
darah ke daerah-daerah yang diperdarahinya berkurang.
Arteri-arteri otak yang mengalami arterosklerosis dapat
melemah sehingga meningkatkan kemungkinan
terbentuknya aneurisma (Corwin, 2000).
Gejala terkena stroke adalah sakit kepala secara tiba-
tiba, seperti, orang bingung, limbung atau bertingkah laku
seperti orang mabuk, salah satu bagian tubuh terasa lemah
atau sulit digerakan (misalnya wajah, mulut, atau lengan
terasa kaku, tidak dapat berbicara secara jelas) serta tidak
sadarkan diri secara mendadak (Santoso, 2006).
B. Infark Miokard
Dapat terjadi apabila arteri koroner yang
arterosklerosis tidak dapat menyuplai cukup oksigen ke
miokardium atau apabila terbentuk trombus yang
menghambat aliran darah melalui pembuluh darah tersebut.
Karena hipertensi kronik dan hipertensi ventrikel, maka
kebutuhan oksigen miokardium mungkin tidak dapat
terpenuhi dan dapat terjadi iskemia jantung yang
menyebabkan infark. Demikian juga hipertropi ventrikel
dapat menimbulkan perubahan-perubahan waktu hantaran
listrik melintasi ventrikel sehingga terjadi disritmia, hipoksia
jantung, dan peningkatan resiko pembentukan bekuan
(Corwin, 2000).
C. Pengerasan dari arteri-arteri (atherosclerosis atau
arteriosclerosis).
Peningkatan tekanan darah pada arteri diseluruh
jaringan tubuh yang terlalu sering akan membuat arteri
menjadi keras
D. Gagal ginjal
Dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat
tekanan tinggi pada kapiler-kepiler ginjal, glomerolus.
Dengan rusaknya glomerolus, darah akan mengalir ke unit-
unit fungsional ginjal, nefron akan terganggu dan dapat
berlanjut menjadi hipoksia dan kematian. Dengan rusaknya
membran glomerolus, protein akan keluar melalui urin
(proteinuria) sehingga tekanan osmotik koloid plasma
berkurang, menyebabkan edema yang sering dijumpai pada
hipertensi kronik (Corwin, 2000).
E. Kerusakan mata
Peningkatan tekanan darah mengakibatkan
penyempitan arteri kecil, kebocoran retina, dan
pembengkakkan syaraf mata
F. Gagal jantung
Atau ketidakmampuan jantung dalam memompa
darah yang kembalinya ke jantung dengan cepat
mengakibatkan cairan terkumpul di paru, kaki dan jaringan
lain sering disebut edema.Cairan didalam paru–paru
menyebabkan sesak napas (Amir, 2002)
Peningkatan tekanan darah pada arteri diseluruh
jaringan tubuhnya, dimana mengakibatkan otot jantung
bekerja lebih keras untuk memompa darah melalui pembuluh
darah ini yang mengakibatkan pembesaran otot jantung.
Dan ini dapat menjadi suatu pertanda dari gagal jantung,
penyakit jantung koroner, dan suatu kelainan irama jantung
(cardiac arrhythmias).
G. Ensefalopati
Dapat terjadi terjadi terutama pada hipertensi maligna
(hipertensi yang cepat). Tekanan yang tinggi pada kelainan
ini menyebabkan peningkatan tekanan kapiler dan
mendorong cairan ke dalam ruang intertisium diseluruh
susunan saraf pusat. Neron-neron disekitarnya kolap dan
terjadi koma serta kematian (Corwin, 2000).
H. Asuhan Keperawatan
DAFTAR PUSTAKA
John EC, Vincent AC. Vision impairment and hearing loss among community
dwelling older American: implications for health and functioning. Am J of
Pub Health. 2004;94(5):823-9.
Kane RL, Ouslander JG, Abrass IB, Resnick B. 2008. Essentials of clinical
geriatris. 6th ed. New York, NY:McGraw-Hill.
Setiati S, Harimurti K, Roosheroe AG. 2006. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid
III.
Setiati S, Rizka A. Sarkopenia dan frailty: sindrom geriatri baru. Dalam: Setiati S,
Dwimartutie N, Harimurti K, Dewiasty E (editor). Chronic degenerative
disease in elderly: update in diagnostic & management. Jakarta;
Perhimpunan Gerontologi Medik Indonesia; 2011:69-75.
Sullivan DH, Johnson LE. Nutrition and aging. In: Halter JB, Ouslander JG. Tinetti
ME. Studenski S, High KP, Astana S (editors). Hazzard’s geriatric
medicine and gerontology. 6th ed. New York: Mc Graw Hill; 2009.p.439-
57.
JKI 9. Cocsco TD, Prina AM, Parales J, Stephan BCM, Brayne C. Lay