Anda di halaman 1dari 52

LAPORAN PENDAHULUAN

GERIATRIC SYNDROME dan HIPERTENSI

Untuk Memenuhi Tugas Clinical Studies 2

Disusun Oleh:
Dwi Handayani Sundoro
115070200111017
REGULER 1

JURUSAN ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2015
A. PENGERTIAN USIA LANJUT (GERIATRI)
Lanjut usia merupakan istilah tahap akhir dari proses penuaan.
Dalam mendefinisikan batasan penduduk lanjut usia menurut Badan
Koordinasi Keluarga Berencana Nasional ada tiga aspek yang perlu
dipertimbangkan yaitu aspek biologi, aspek ekonomi dan aspek sosial
(BKKBN 1998). Secara biologis penduduk lanjut usia adalah penduduk
yang mengalami proses penuaan secara terus menerus, yang ditandai
dengan menurunnya daya tahan fisik yaitu semakin rentannya terhadap
serangan penyakit yang dapat menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan
terjadinya perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan, serta
sistem organ. Secara ekonomi, penduduk lanjut usia lebih dipandang
sebagai beban dari pada sebagai sumber daya. Banyak orang
beranggapan bahwa kehidupan masa tua tidak lagi memberikan banyak
manfaat, bahkan ada yang sampai beranggapan bahwa kehidupan
masa tua, seringkali dipersepsikan secara negatif sebagai beban keluarga
dan masyarakat.
WHO dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang
kesejahteraan lanjut usia pada Bab 1 Pasal 1 Ayat 2 menyebutkan
bahwa usia 60 tahun adalah usia permulaan tua. Menua bukanlah
suatu penyakit, tetapi merupakan proses yang berangsur-angsur
mengakibatkan perubahan kumulatif, merupakan proses menurunya
daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam dan luar
tubuh.
Kelompok lanjut usia adalah kelompok penduduk yang berusia 60
tahun ke atas (Hardywinoto dan Setiabudhi, 1999). Pada lanjut usia akan
terjadi proses menghilangnya kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri
atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya secara perlahan-
lahan sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki
kerusakan yang terjadi (Constantinides, 1994). Karena itu di dalam tubuh
akan menumpuk makin banyak distorsi metabolik dan struktural disebut
penyakit degeneratif yang menyebabkan lansia akan mengakhiri hidup
dengan episode terminal (Darmojo dan Martono, 1999).
B. FISIOLOGI LANSIA dan PROSES MENUA
Proses penuaan adalah normal, berlangsung secara terus menerus
secara alamiah. Dimulai sejak manusia lahir bahkan sebelumnya dan
umunya dialami seluruh makhluk hidup. Menua merupakan proses
penurunan fungsi struktural tubuh yang diikuti penurunan daya tahan tubuh.
Setiap orang akan mengalami masa tua, akan tetapi penuaan pada tiap
seseorang berbeda-beda tergantung pada berbagai faktor yang
mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut dapat berupa faktor herediter,
nutrisi, stress, status kesehatan dan lain-lain (Stanley, 2006).
Pada hakekatnya menjadi tua merupakan proses alamiah yang berarti
seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya yaitu masa anak, masa
dewasa dan masa tua (Nugroho, 1992). Tiga tahap ini berbeda baik secara
biologis maupun psikologis. Memasuki masa tua berarti mengalami
kemuduran secara fisik maupun psikis. Kemunduran fisik ditandai dengan
kulit yang mengendor, rambut memutih, penurunan pendengaran,
penglihatan memburuk, gerakan lambat, kelainan berbagai fungsi organ
vital, sensitivitas emosional meningkat dan kurang gairah.
Meskipun secara alamiah terjadi penurunan fungsi berbagai organ,
tetapi tidak harus menimbulkan penyakit oleh karenanya usia lanjut harus
sehat. Sehat dalam hal ini diartikan:
a. Bebas dari penyakit fisik, mental dan sosial,
b. Mampu melakukan aktivitas untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari,
c. Mendapat dukungan secara sosial dari keluarga dan masyarakat
(Rahardjo, 1996)
Akibat perkembangan usia, lanjut usia mengalami perubahan-
perubahan yang menuntut dirinya untuk menyesuakan diri secara terus-
menerus. Apabila proses penyesuaian diri dengan lingkungannya kurang
berhasil maka timbullah berbagai masalah. Hurlock (1979) seperti dikutip
oleh MunandarAshar Sunyoto (1994) menyebutkan masalah – masalah yang
menyertai lansia yaitu:
a. Ketidakberdayaan fisik yang menyebabkan ketergantungan pada orang
lain
b. Ketidakpastian ekonomi sehingga memerlukan perubahan total dalam
pola hidupnya
c. Membuat teman baru untuk mendapatkan ganti mereka yang telah
meninggal atau pindah
d. Mengembangkan aktifitas baru untuk mengisi waktu luang yang
bertambah banyak
e. Belajar memperlakukan anak-anak yang telah tumbuh dewasa. Berkaitan
dengan perubahan fisk, Hurlock mengemukakan bahwa perubahan fisik
yang mendasar adalah perubahan gerak.
Berkaitan dengan perubahan, kemudian Hurlock (1990) mengatakan
bahwa perubahan yang dialami oleh setiap orang akan mempengaruhi
minatnya terhadap perubahan tersebut dan akhirnya mempengaruhi pola
hidupnya. Bagaimana sikap yang ditunjukkan apakah memuaskan atau tidak
memuaskan, hal ini tergantung dari pengaruh perubahan terhadap peran
dan pengalaman pribadinya. Perubahan ynag diminati oleh para lanjut usia
adalah perubahan yang berkaitan dengan masalah peningkatan kesehatan,
ekonomi/pendapatan dan peran sosial (Goldstein, 1992)
Dalam menghadapi perubahan tersebut diperlukan penyesuaian. Ciri-
ciri penyesuaian yang tidak baik dari lansia (Hurlock, 1979 dalam Munandar,
1994) adalah:
a. Minat sempit terhadap kejadian di lingkungannya.
b. Penarikan diri ke dalam dunia fantasi
c. Selalu mengingat kembali masa lalu
d. Selalu khawatir karena pengangguran,
e. Kurang ada motivasi,
f. Rasa kesendirian karena hubungan dengan keluarga kurang baik, dan
g. Tempat tinggal yang tidak diinginkan.
Di lain pihak ciri penyesuaian diri lanjut usia yang baik antara lain
adalah: minat yang kuat, ketidaktergantungan secara ekonomi, kontak sosial
luas, menikmati kerja dan hasil kerja, menikmati kegiatan yang dilkukan saat
ini dan memiliki kekhawatiran minimla trehadap diri dan orang lain.

C. DEFINISI SINDROM GERIATRI


Sindrom geriatri adalah serangkaian kondisi klinis pada orang tua
yang dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien dan dikaitkan dengan
kecacatan. Tampilan klinis yang tidak khas sering membuat sindrom geriatri
tidak terdiagnosis.
Sindrom geriatri meliputi gangguan kognitif, depresi, inkontinensia,
ketergantungan fungsional, dan jatuh. Sindrom ini dapat menyebabkan
angka morbiditas yang signifikan dan keadaan yang buruk pada usia tua
yang lemah. Sindrom ini biasanya melibatkan beberapa sistem organ.
Sindrom geriatrik mungkin memiliki kesamaan patofisiologi meskipun
presentasi yang berbeda,dan memerlukan intervensi dan strategi yang fokus
terhadap faktor etiologi (Panitaetal., 2011).
Dalam menilai kesehatan lansia perlu dibedakan antara perubahan
akibat penuaan dengan perubahan akibat proses patologis. Beberapa
problema klinik dari penyakit pada lanjut usia yang sering dijumpai.
Sindroma geriatri antara lain adalah:
 “the O complex” :fall, confusion, incontinence,
iatrogenic disorders, impaired homeostasis
 “the big three” :intelectual failure, instability,
incontinence
 “the 14 I” :Immobility, Impaction, Instability,
Iatrogenic, Intelectual Impairment, Insomnia,
Incontinence, Isolation, Impotence,
Immunodefficiency, Infection, Inanition, Impairment
of Vision, smelling, hearing, Impecunity
Imobilisasi adalah keadaan tidak bergerak/tirah baring selama 3 hari
atau lebih, diiringi gerak anatomis tubuh yang menghilang akibat perubahan
fungsi fisiologis. Gangguan keseimbangan (instabilitas) akan memudahkan
pasien geriatri terjatuh dan dapat mengalami patah tulang. Inkontinensia urin
didefinisikan sebagai keluarnya urin yang tidak terkendali pada waktu yang
tidak dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi dan jumlahnya, sehingga
mengakibatkan masalah sosial dan higienis. Inkontinensia urin seringkali
tidak dilaporkan oleh pasien atau keluarganya karena malu atau tabu untuk
diceritakan, ketidaktahuan dan menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar
pada orang usia lanjut serta tidak perlu diobati. Gangguan depresi pada usia
lanjut kurang dipahami sehingga banyak kasus tidak dikenali. Gejala depresi
pada usia lanjut seringkali dianggap sebagai bagian dari proses menua.
Infeksi sangat erat kaitannya dengan penurunan fungsi sistem imun pada
usia lanjut. Infeksi yang sering dijumpai adalah infeksi saluran kemih,
pneumonia, sepsis, dan meningitis. Kondisi lain seperti kurang gizi,
multipatologi, dan faktor lingkungan memudahkan usia lanjut terkena infeksi.
Gangguan penglihatan dan pendengaran juga sering dianggap sebagai hal
yang biasa akibat proses menua. Gangguan penglihatan berhubungan
dengan penurunan kegiatan waktu senggang, status fungsional, fungsi
sosial, dan mobilitas. Gangguan penglihatan dan pendengaran berhubungan
dengan kualitas hidup, meningkatkan disabilitas fisik, ketidakseimbangan,
jatuh, fraktur panggul, dan mortalitas. Pasien geriatri sering disertai penyakit
kronis degeneratif. Masalah yang muncul sering tumpang tindih dengan
gejala yang sudah lama diderita sehingga tampilan gejala menjadi tidak
jelas. Penyakit degeneratif yang banyak dijumpai pada pasien geriatri adalah
hipertensi, diabetes melitus, dislipidemia, osteoartritis, dan penyakit
kardiovaskular.

D. KLASIFIKASI GERIATRIC SYNDROME


1. Klasifikasi Demensia
Klasifikasi demensia vaskuler secara klinis menurut Kelompok Studi
Fungsi Luhur PERDOSSI adalah:
a. Demensia pasca stroke
- Demensia infark serebri
- Demensia perdarahan intraserebral
b. Demensia vaskuler subkortikal
- Lesi iskemik substansia alba
- Infark lakuner subkortikal
- Infark non lakuner subkortikal
- Demensia vaskuler tipe campuran (Demensia Alzheimer dan
Demensia Vaskuler)

Klasifikasi demensia (Sjahrir,1999) terbagi atas 2 dimensi:


a. Menurut umur; terbagi atas:
- Demensia senilis onset > 65 tahun
- Demensia presenilis < 65 tahun
b. Menurut level kortikal:
- Demensia kortikal
- Demensia subkorti

2. Klasifikasi Inkontinensia
a. Inkontinensia Urin Akut Reversibel
Pasien delirium mungkin tidak sadar saat mengompol
atau tak dapat pergi ke toilet sehingga berkemih tidak pada
tempatnya. Bila delirium teratasi maka inkontinensia urin
umumnya juga akan teratasi. Setiap kondisi yang
menghambat mobilisasi pasien dapat memicu timbulnya
inkontinensia urin fungsional atau memburuknya inkontinensia
persisten, seperti fraktur tulang pinggul, stroke, arthritis dan
sebagainya. Resistensi urin karena obat-obatan, atau
obstruksi anatomis dapat pula menyebabkan inkontinensia
urin. Keadaan inflamasi pada vagina dan urethra (vaginitis
dan urethritis) mungkin akan memicu inkontinensia urin.
Konstipasi juga sering menyebabkan inkontinensia akut.
Berbagai kondisi yang menyebabkan poliuria dapat memicu
terjadinya inkontinensia urin, seperti glukosuria atau kalsiuria.
Gagal jantung dan insufisiensi vena dapat menyebabkan
edema dan nokturia yang kemudian mencetuskan terjadinya
inkontinensia urin nokturnal. Berbagai macam obat juga dapat
mencetuskan terjadinya inkontinensia urin seperti Calcium
Channel Blocker, agonist adrenergic alfa, analgesic narcotic,
psikotropik, antikolinergik dan diuretic. Untuk mempermudah
mengingat penyebab inkontinensia urin akut reversible dapat
dilihat akronim di bawah ini :
D --> Delirium
R --> Restriksi mobilitas, retensi urin
I --> Infeksi, inflamasi, Impaksi
P --> Poliuria, pharmasi
b. Inkontinensia Urin Persisten
Inkontinensia urin persisten dapat diklasifikasikan dalam
berbagai cara, meliputi anatomi, patofisiologi dan klinis. Untuk
kepentingan praktek klinis, klasifikasi klinis lebih bermanfaat
karena dapat membantu evaluasi dan intervensi klinis.
Kategori klinis meliputi :
1) Inkontinensia urin stress (stres inkontinence)
Tak terkendalinya aliran urin akibat meningkatnya tekanan
intraabdominal, seperti pada saat batuk, bersin atau
berolah raga. Umumnya disebabkan oleh melemahnya otot
dasar panggul, merupakan penyebab tersering
inkontinensia urin pada lansia di bawah 75 tahun. Lebih
sering terjadi pada wanita tetapi mungkin terjadi pada laki-
laki akibat kerusakan pada sfingter urethra setelah
pembedahan transurethral dan radiasi. Pasien mengeluh
mengeluarkan urin pada saat tertawa, batuk, atau berdiri.
Jumlah urin yang keluar dapat sedikit atau banyak.
2) Inkontinensia urin urgensi (urgency inkontinence)
Keluarnya urin secara tak terkendali dikaitkan dengan
sensasi keinginan berkemih. Inkontinensia urin jenis ini
umumnya dikaitkan dengan kontraksi detrusor tak
terkendali (detrusor overactivity). Masalah-masalah
neurologis sering dikaitkan dengan inkontinensia urin
urgensi ini, meliputi stroke, penyakit Parkinson, demensia
dan cedera medula spinalis. Pasien mengeluh tak cukup
waktu untuk sampai di toilet setelah timbul keinginan untuk
berkemih sehingga timbul peristiwa inkontinensia urin.
Inkontinensia tipe urgensi ini merupakan penyebab
tersering inkontinensia pada lansia di atas 75 tahun. Satu
variasi inkontinensia urgensi adalah hiperaktifitas detrusor
dengan kontraktilitas yang terganggu. Pasien mengalami
kontraksi involunter tetapi tidak dapat mengosongkan
kandung kemih sama sekali. Mereka memiliki gejala seperti
inkontinensia urin stress, overflow dan obstruksi. Oleh
karena itu perlu untuk mengenali kondisi tersebut karena
dapat menyerupai ikontinensia urin tipe lain sehingga
penanganannya tidak tepat.
3) Inkontinensia urin luapan/overflow (overflow incontinence)
Tidak terkendalinya pengeluaran urin dikaitkan dengan
distensi kandung kemih yang berlebihan. Hal ini
disebabkan oleh obstruksi anatomis, seperti pembesaran
prostat, faktor neurogenik pada diabetes melitus atau
sclerosis multiple, yang menyebabkan berkurang atau tidak
berkontraksinya kandung kemih, dan faktor-faktor obat-
obatan. Pasien umumnya mengeluh keluarnya sedikit urin
tanpa adanya sensasi bahwa kandung kemih sudah penuh.
4) Inkontinensia urin fungsional
Inkontinensia fungsional merupakan keadaan seseorang yang
mengalami pengeluaran urin secara tanpa disadari dan tidak dapat
diperkirakan. Keadaan inkontinensia ini ditandai dengan tidak adanya
dorongan untuk berkemih, merasa bahwa kandung kemih penuh,
kontraksi kandung kemih cukup kuat untuk mengeluarkan urin
(Hidayat,2006).
Inkontinensia fungsional merupakan inkontinensia dengan fungsi
saluran kemih bagian bawah yang utuh tetapi ada faktor lain, seperti
gangguan kognitif berat yang menyebabkan pasien sulit untuk
mengidentifikasi perlunya urinasi (misalnya, demensia Alzheimer) atau
gangguan fisik yang menyebabkan pasien sulit atau tidak mungkin
menjangkau toilet untuk melakukan urinasi
5) Inkontinensia Refleks
Inkontinensia refleks merupakan keadaan di mana seseorang
mengalami pengeluaran urin yang tidak dirasakan, terjadi pada interval
yang dapat diperkirakan bila volume kandung kemih mencapai jumlah
tertentu. Inkontinensia tipe ini kemungkinan disebabkan oleh adanya
kerusakan neurologis (lesi medulla spinalis). Inkontinensia refleks
ditandai dengan tidak adanya dorongan untuk berkemih, merasa
bahwa kandung kemih penuh, dan kontraksi atau spasme kandung
kemih tidak dihambat pada interval teratur (Hidayat, 2006).
6) Inkontinensia Total
Inkontinensia total merupakan keadaan dimana seseorang mengalami
pengeluaran urin yang terus menerus dan tidak dapat diperkirakan.
Kemungkinan penyebab inkontinensia total antara lain: disfungsi
neorologis, kontraksi independen dan refleks detrusor karena
pembedahan, trauma atau penyakit yang mempengaruhi saraf medulla
spinalis, fistula, neuropati (Hidayat, 2006).

E. TEORI PROSES MENUA


1. Teori – teori biologi
1. 1 Teori genetik dan mutasi (somatic mutatie theory)
Menurut teori ini menua telah terprogram secara genetik untuk
spesies – spesies tertentu. Menua terjadi sebagai akibat dari
perubahan biokimia yang diprogram oleh molekul – molekul / DNA
dan setiap sel pada saatnya akan mengalami mutasi. Sebagai
contoh yang khas adalah mutasi dari sel – sel kelamin (terjadi
penurunan kemampuan fungsional sel)
1. 2 Pemakaian dan rusak
Kelebihan usaha dan stres menyebabkan sel – sel tubuh lelah
(rusak)
1. 3 Reaksi dari kekebalan sendiri (auto immune theory)
Di dalam proses metabolisme tubuh, suatu saat diproduksi suatu
zat khusus. Ada jaringan tubuh tertentu yang tidaktahan terhadap
zat tersebut sehingga jaringan tubuh menjadi lemah dan sakit.
1. 4 Teori “immunology slow virus” (immunology slow virus theory)
Sistem imune menjadi efektif dengan bertambahnya usia dan
masuknya virus kedalam tubuh dapat menyebabkab kerusakan
organ tubuh.
1. 5 Teori stres
Menua terjadi akibat hilangnya sel-sel yang biasa digunakan
tubuh. Regenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan
kestabilan lingkungan internal, kelebihan usaha dan stres
menyebabkan sel-sel tubuh lelah terpakai.
1. 6 Teori radikal bebas
Radikal bebas dapat terbentuk dialam bebas, tidak stabilnya
radikal bebas (kelompok atom) mengakibatkan osksidasi oksigen
bahan-bahan organik seperti karbohidrat dan protein. Radikal
bebas ini dapat menyebabkan sel-sel tidak dapat regenerasi.
1. 7 Teori rantai silang
Sel-sel yang tua atau usang , reaksi kimianya menyebabkan
ikatan yang kuat, khususnya jaringan kolagen. Ikatan ini
menyebabkan kurangnya elastis, kekacauan dan hilangnya fungsi.
1. 8 Teori program
Kemampuan organisme untuk menetapkan jumlah sel yang
membelah setelah sel-sel tersebut mati.
2. Teori kejiwaan sosial
2. 1 Aktivitas atau kegiatan (activity theory)
 Ketentuan akan meningkatnya pada penurunan jumlah
kegiatan secara langsung. Teori ini menyatakan bahwa usia
lanjut yang sukses adalah mereka yang aktif dan ikut banyak
dalam kegiatan sosial.
 Ukuran optimum (pola hidup) dilanjutkan pada cara hidup dari
lanjut usia.
 Mempertahankan hubungan antara sistem sosial dan individu
agar tetap stabil dari usia pertengahan ke lanjut usia.
2. 2 Kepribadian berlanjut (continuity theory)
Dasar kepribadian atau tingkah laku tidak berubah pada lanjut
usia. Teori ini merupakan gabungan dari teori diatas. Pada teori ini
menyatakan bahwa perubahan yang terjadi pada seseorang yang
lanjut usia sangat dipengaruhi oleh tipe personality yang dimiliki.
2. 3 Teori pembebasan (disengagement theory)
Teori ini menyatakan bahwa dengan bertambahnya usia,
seseorang secara berangsur-angsur mulai melepaskan diri dari
kehidupan sosialnya. Keadaan ini mengakibatkan interaksi sosial
lanjut usia menurun, baik secara kualitas maupun kuantitas
sehingga sering terjaadi kehilangan ganda (triple loss), yakni :
 Kehilangan peran
 hambatan kontak sosial
 Berkurangnya kontak komitmen

Sedangkan Teori penuaan secara umum menurut Lilik Ma’rifatul (2011)


dapat dibedakan menjadi dua yaitu teori biologi dan teori penuaan
psikososial
1. Teori Biologi
1. 1 Teori seluler
Kemampuan sel hanya dapat membelah dalam jumlah tertentu
dan kebanyakan sel–sel tubuh “diprogram” untuk membelah 50
kali. Jika sel pada lansia dari tubuh dan dibiakkan di laboratrium,
lalu diobrservasi, jumlah sel–sel yang akan membelah, jumlah sel
yang akan membelah akan terlihat sedikit. Pada beberapa sistem,
seperti sistem saraf, sistem musculoskeletal dan jantung, sel pada
jaringan dan organ dalam sistem itu tidak dapat diganti jika sel
tersebut dibuang karena rusak atau mati. Oleh karena itu, sistem
tersebut beresiko akan mengalami proses penuaan dan
mempunyai kemampuan yang sedikit atau tidak sama sekali untuk
tumbuh dan memperbaiki diri (Azizah, 2011)
1. 2 Sintesis Protein (Kolagen dan Elastis)
Jaringan seperti kulit dan kartilago kehilangan elastisitasnya pada
lansia. Proses kehilangan elastiaitas ini dihubungkan dengan
adanya perubahan kimia pada komponen protein dalam jaringan
tertentu. Pada lansia beberapa protein (kolagen dan kartilago, dan
elastin pada kulit) dibuat oleh tubuh dengan bentuk dan struktur
yang berbeda dari protein yang lebih muda. Contohnya banyak
kolagen pada kartilago dan elastin pada kulit yang kehilangan
fleksibilitasnya serta menjadi lebih tebal, seiring dengan
bertambahnya usia (Tortora dan Anagnostakos, 1990). Hal ini
dapat lebih mudah dihubungkan dengan perubahan permukaan
kulit yang kehilangan elastisitanya dan cenderung berkerut, juga
terjadinya penurunan mobilitas dan kecepatan pada system
musculoskeletal (Azizah, 2011).
1. 3 Keracunan Oksigen
Teori tentang adanya sejumlah penurunan kemampuan sel di
dalam tubuh untuk mempertahankan diri dari oksigen yang
mengandung zat racun dengan kadar yang tinggi, tanpa
mekanisme pertahan diri tertentu. Ketidakmampuan
mempertahankan diri dari toksink tersebut membuat struktur
membran sel mengalami perubahan dari rigid, serta terjadi
kesalahan genetik (Tortora dan Anaggnostakos, 1990). Membran
sel tersebut merupakan alat untuk memfasilitas sel dalam
berkomunikasi dengan lingkungannya yang juga mengontrol
proses pengambilan nutrisi dengan proses ekskresi zat toksik di
dalam tubuh. Fungsi komponen protein pada membran sel yang
sangat penting bagi proses di atas, dipengaruhi oleh rigiditas
membran tersebut. Konsekuensi dari kesalahan genetik adalah
adanya penurunan reproduksi sel oleh mitosis yang
mengakibatkan jumlah sel anak di semua jaringan dan organ
berkurang. Hal ini akan menyebabkan peningkatan kerusakan
sistem tubuh (Azizah, 2011).

1. 4 Sistem Imun
Kemampuan sistem imun mengalami kemunduran pada masa
penuaan. Walaupun demikian, kemunduran kemampuan sistem
yang terdiri dari sistem limfatik dan khususnya sel darah putih,
juga merupakan faktor yang berkontribusi dalam proses penuaan.
Mutasi yang berulang atau perubahan protein pasca tranlasi,
dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem imun tubuh
mengenali dirinya sendiri. Jika mutasi isomatik menyebabkan
terjadinya kelainan pada antigen permukaan sel, maka hal ini akan
dapat menyebabkan sistem imun tubuh menganggap sel yang
mengalami perubahan tersebut sebagai selasing dan
menghancurkannya. Perubahan inilah yang menjadi dasar
terjadinya peristiwa autoimun. Disisi lain sistem imun tubuh sendiri
daya pertahanannya mengalami penurunan pada proses menua,
daya serangnya terhadap sel kanker menjadi menurun, sehingga
sel kanker leluasa membelah-belah (Azizah, 2011).
1. 5 Teori Menua Akibat Metabolisme
Menurut MC Kay et all., (1935) yang dikutip Darmojo dan Martono
(2004), pengurangan “intake” kalori pada rodentia muda akan
menghambat pertumbuhan dan memperpanjang umur.
Perpanjangan umur karena jumlah kalori tersebut antara lain
disebabkan karena menurunnya salah satu atau beberapa proses
metabolisme. Terjadi penurunan pengeluaran hormon yang
merangsang pruferasi sel misalnya insulin dan hormon
pertumbuhan.
2. Teori Psikologis
2. 1 Aktivitas atau Kegiatan (Activity Theory)
Seseorang yang dimasa mudanya aktif dan terus memelihara
keaktifannya setelah menua. Sense of integrity yang dibangun
dimasa mudanya tetap terpelihara sampai tua. Teori ini
menyatakan bahwa pada lanjut usia yang sukses adalah meraka
yang aktif dan ikut banyak dalam kegiatan sosial (Azizah, 2011).
2. 2 Kepribadian berlanjut (Continuity Theory)
Dasar kepribadian atau tingkah laku tidak berubah pada lanjut
usia. Identity pada lansia yang sudah mantap memudahkan dalam
memelihara hubungan dengan masyarakat, melibatkan diri dengan
masalah di masyarakat, kelurga dan hubungan interpersonal
(Azizah, 2011).
2. 3 Teori Pembebasan (Disengagement Theory)
Teori ini menyatakan bahwa dengan bertambahnya usia,
seseorang secara pelan tetapi pasti mulai melepaskan diri dari
kehidupan sosialnya atau menarik diri dari pergaulan sekitarnya
(Azizah, 2011).

F. ETIOLOGI GERIATRIC SYNDROME


Aging merupakan proses alamiah yang terjadi terus menerus dan dimulai

sejak manusia dilahirkan. Terdapat banyak definisi proses menua, namun teori yang

paling banyak dianut saat ini adalah teori radikal bebas dan teori telomer.

1. Teori radikal bebas menyatakan proses menua terjadi akibat akumulasi

radikal bebas yang merusak DNA, protein, lipid, glikasi non-enzimatik, dan

turn over protein. Kerusakan di tingkat selular akhirnya menurunkan fungsi

jaringan dan organ.

2. Teori telomer menyatakan hilangnya telomer secara progresif menyebabkan

proses menua. Telomer merupakan sekuens DNA yang terletak di ujung

kromosom yang berfungsi mencegah pemendekan kromosom selama

replikasi DNA. Telomer akan memendek setiap kali sel membelah. Bila

telomer terlalu pendek maka sel berhenti membelah dan menyebabkan

replicative senescence.

Masalah umum pada proses menua adalah penurunan fungsi fisiologis dan

kognitif yang bersifat progresif serta peningkatan kerentanan usia lanjut pada kondisi

sakit. Laju dan dampak proses menua berbeda pada setiap individu karena

dipengaruhi faktor genetik serta lingkungan.


Proses menua mengakibatkan penurunan fungsi sistem organ seperti sistem

sensorik, saraf pusat, pencernaan, kardiovaskular, dan sistem respirasi. Selain itu

terjadi pula perubahan komposisi tubuh, yaitu penurunan massa otot, peningkatan

massa dan sentralisasi lemak, serta peningkatan lemak intramuskular. Perlu diingat

bahwa perubahan fisik yang berhubungan dengan proses menua normal bukanlah

penyakit. Individu yang menunjukkan karakteristik menua dikatakan mengalami usual

aging, sedangkan individu yang tidak atau memiliki sedikit karakteristik menua

disebut successful aging (SA).

SA merupakan konsep multidimensi yang berkaitan dengan kondisi fisik,

psikologis, dan fungsi sosial. Dimensi operasional SA yang paling sering dipakai

adalah menurut Rowe dan Kahn yang meliputi tiga aspek, yaitu bebas dari penyakit

dan hendaya, fungsi kognitif yang baik, dan tetap aktif di dalam kehidupan. SA

berarti memerpanjang usia dan mengupayakan agar penyakit terkait usia terjadi di

usia setua dan sedekat mungkin dengan kematian. Pemeliharaan fungsi fisik yang

baik tercermin pada kemampuan untuk melakukan aktivitas harian, mulai dari hal

sederhana seperti makan, berpakaian, dan naik tangga sampai kegiatan yang lebih

kompleks seperti belanja dan menggunakan alat transportasi. Model SA biologis

dapat dicapai dengan pencegahan primer seperti berhenti merokok, latihan jasmani,

penggunaan vaksin yang tepat, dan penurunan kolesterol.

Aspek SA yang kedua adalah aspek psikologis yang menekankan pada

pentingnya kepuasan subjektif usia lanjut terhadap kehidupannya. Perspektif

subjektif tersebut mempunyai nilai yang sama penting dengan penilaian objektif

mengenai kesehatan. Rasa puas akan dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu kebebasan

untuk bertindak, rasa kompeten, dan rasa keterikatan dengan sesama. Model SA

psikologis akan tercapai jika terdapat mekanisme kompensasi yang baik terhadap

keterbatasan akibat usia dan optimalisasi kemampuan yang tersisa, sehingga usia

lanjut, bahkan dengan multipatologi, dapat mengalami SA.


Aspek sosial menekankan pada kemampuan usia lanjut untuk berinteraksi

positif dengan sesama dan aktif dalam kegiatan kemasyarakatan. Fungsi sosial yang

baik ditunjukkan dengan mempunyai pekerjaan yang mendapat penghasilan,

menghadiri kegiatan keagamaan, dan aktif pada kegiatan amal. Aspek sosial juga

dapat menjadi faktor protektif terhadap kejadian mistreatment pada usia lanjut.

G. MANIFESTASI KLINIS GERIATRIC SYNDROME


Menurut Brocklehurst, Allen et al dikenal istilah geriatric giants sebagai
berikut:
1. Sindroma serebral
Pada lanjut usia terjadi penurunan aliran darah otak sekitar 30
mL/100gram jaringan otak/menit. Metabolisme otak juga menurun karena
terjadi atrofi neuron. Normal pada dewasa nilainya 50 mL/100 gram/menit.
Penurunan aliran darah otak hingga 23 mL/100 gram/menit dapat
menimbulkan sindroma serebral, yaitu perubahan patologik pembuluh darah
otak. Gejala yang timbul dapat berupa gejala umum (rigiditas, peningkatan
refleks, tendensi condong ke belakang, sulit berjalan) gejala klinis daerah
yang diperdarahi karotis (TIA, stroke, arteritis) dan vertebrobasiler (drop
attack, TIA).
Penurunan aliran darah otak pada lansia dapat disebabkan oleh
sebab mekanik maupun akibat perubahan autoregulasi aliran darah otak.
Secara mekanik didapatkan bahwa pada lansia terbentuk osteofit pada
vertebra sehingga menimbulkan jepitan pada arteri vertebralis yang
menyuplai darah ke otak lewat susunan vertebrobasiler. Selain itu
degenerasi diskus intervertebralis membuat arteri vertebralis menjadi
berkelok-kelok dengan akibat turunnya aliran darah menuju ke otak. Dengan
demikian gerakan leher dapat membuat lansia kekurangan sirkulasi darah
otak dan tiba-tiba terjatuh.
Karena autoregulasi sebagai mekanisme proteksi otak mengalami
penurunan, sedikit perubahan tekanan darah atau diameter arteri otak akan
mengurangi aliran darah otak yang sulit dikompensasi oleh lansia. Kelainan
vaskuler arteriosklerosis mengurangi perfusi otak yang menimbulkan infark
lakuner. Hipoksemia akibat gangguan respirasi atau kardiovaskuler (gagal
jantung, bronkopneumonia, interaksi obat) juga menurunkan aliran darah
otak. Diabetes dan hipertensi menurunkan aliran darah otak dengan
timbulnya angiopati.

2. Konfusio Akut dan Dementia


A. Konfusio akut adalah gangguan menyeluruh fungsi kognitif yang
ditandai oleh memburuknya secara mendadak derajat kesadarah dan
kewaspadaan dan proses berpikir yang berakibat terjadinya
disorientasi. Hampir semua penyakit dan obat-obatan menyebabkan
konfusi akut, yaitu:
 Hipoperfusi serebral (mis: hipotensi, infark miokardial, kondisi curah
jantung rendah, aritmia)
 Hipoxia serebral (mis: pneumonia, PPOK, gagal jantung kongestif,
emboli paru) atau hiperkarbia
 Dehidrasi (dehidrasi ringan , kekurangan volume intravascular)
 Gangguan elektrolit ( mis: hipo dan hipernatremia, hipo dan
hipercalcemia, hipo dan hipermagnesemia)
 Hipo dan hipercalcemia dan kondisi hiperosmolar
 Infeksi ( mis: sistitis, urosepsis, pneumonia, peritonitis, dan infeksi
SSP s2perti meningitis dan encephalitis)
 Demam atau hipotermia
 Nyeri atau ketidaknyamanan ( termasuk retensi urin atau konstipasi
atau impaksi fecal berat)
 Proses intrakranial (mis: stroke, hematoma subdural, neoplasma,
infeksi)
 Intoksikasi atau “withdrawal states” (mis: alkohol, dan obat lainnya)
 Efek obat yang tidak diinginkan (mis: efek kolinergik sentral,
antihistamin)
Daftar kemungkinan penyebab termasuk kondisi yang biasa terjadi
pada lanjut usia ini kemungkinan tidak menyeluruh. Pada kebanyakan
kasus konfusi akut atau delirium, tidak mungkin untuk mengidentifikasi
atau memastikan penyebab tunggalnya. Lebih sering, mengidentifikasi
denga faktor-faltor multipel yang mengakibatkan, membatu ataupun
memperburuk konfusi.

Pada hakekatnya semua obat yang mempengaruhi fungsi SSP


mempunyai kemungkinan mengakibatkan konfusi:
 Obat-obatan Sedatif atau hinoptik (mis: benzodiazepine,
barbiturat)
 Analgesik (mis: opiat, OAINS?)
 Penghambat histamin ( untuk gangguan GI, insomnia, pruritus,
alergi)
 Agen antisekretorik ( obat-obatan yang menyerupai atropinik)
 Antidiare
 Agen inkontinensia
 Antidepresan trisiklik
 Antipsikotik ( mis: chlorpromazine, thioridazine, mesoridazine)
 Obat-obatan antiaritmia (mis: lidokain, prokainamid)
 obat-obatan antineoplasma
B. Dementia adalah suatu sindrom klinik yang meliputi hilangnya fungsi
intelektual dan ingatan sedemikian berat sehingga menyebabkan
disfungsi hidup sehari-hari. Perjalanannya bertahap dan tidak ada
gangguan kesadaran. Biasanya dementia tidak didiagnosis karena
dianggap wajar oleh masyarakat. Gangguan memori yang menurun
tanpa perubahan fungsi kognitif dan ADL dinamakan Mild Cognitive
Impairment. Sebagian keadaan ini akan berkembang menjadi
dementia.
Diagnosis dementia ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan
Mini Mental State Examination dan penyebab pastinya dengan
pemeriksaan patologi. Dementia dibagi menjadi 4 golongan: dementia
degeneratif primer/Alzheimer (50-60%), dementia multi infark (10-20%),
dementia reversibel/sebagian reversibel (20-30%), dan gangguan lain
(5-10%).
Penyebab dementia yang reversibel dapat dibuat matriks jembatan
keledai berikut:
D : drugs
E : emotional (emosi, depresi)
M : metabolik/endokrin
E : eye and ear (mata dan telinga)
N : nutrisi
T : tumor trauma
I : infeksi
A : arteriosklerosis
Prinsip tatalaksana dementia adalah optimalisasi fungsi pasien,
mengenali dan mengatasi komplikasi, rawat berkelanjutan, informasi pada
keluarga, dan nasihat pada keluarga.

3. Gangguan otonom
Pada lansia terjadi penurunan kolin-esterase dan aktivitas reseptor
kolin yang berakibat penurunan fungsi otonom.Beberapa gangguannya
adalah hipotensi ortostatik, gangguan pengaturan suhu, kandung kemih,
gerakan esofagus dan usus besar.
Hipotensi ortostatik adalah penurunan tekanan sistolik/diastolik sebanyak
20 mmHg pada saat berubah dari posisi tidur ke posisi tegak setelah 1-2
menit.Hal ini terjadi akibat penurunan isi sekuncup jantung dan
perpindahan darah ke posisi bawah tubuh.Biasanya tidak menimbulkan
gejala karena mekanisme kompensasi. Namun pada lansia dapat terjadi
adanya penurunan elastisitas pembuluh darah, gangguan barorefleks
akibat tirah baring lama, hipovolemia, hiponatremia, pemberian obat
hipotensif, atau penyakit SSP maupun neuropati lain (parkinson, CVD,
diabetes mellitus). Gejala bisa berupa penurunan kesadaran atau
jatuh.Penatalaksanaannya adalah meninggikan kepala waktu tidur.Terapi
farmakologis dapat menggunakan hormon mineralokortikoid,
simpatomimetik, atau vasokonstriktor lainnya seperti fluorokortison,
kafein, pindolol.
Gangguan regulasi suhu juga ditemukan pada lansia sehingga mereka
rentan mengalami hipertermia maupun hipotermia.Hipertermia adalah
suhu inti tubuh > 40,6oC, disfungsi saraf pusat hebat (psikosis, delirium,
koma).Sementara itu hipotermia adalah penurunan suhu inti tubuh di
bawah 35oC.
4. Inkontinensia
Inkontinensia adalah pengeluaran urin (atau feses) tanpa disadari,
dalam jumlah dan frekuensi yang cukup sehingga mengakibatkan
masalah gangguan kesehatan atau sosial. Ini bukan konsekuensi normal
dari pertambahan usia. Penyebab inkontinensia berasal dari kelainan
urologik (radang, batu, tumor), kelainan neurologik (stroke, trauma
medula spinalis, dementia), atau lainnya (imobilisasi, lingkungan).
Inkontinensia dapat akut di saat timbul penyakit atau yang kronik/lama.
Inkontinensia akut yang biasanya reversibel dapat diformulasi
dengan akronim DRIP yang merupakan Delirium, Restriksi mobilitas
retensi, Infeksi inflamasi impaksi feses, Pharmasi poliuri. Juga dengan
akronim DIAPPERS : Delirium, Infection, Atrophic vaginitis/uretheritis,
Pharmaceuticals, Physiologic factor, Excess urine output, Restricted
mobility, Stool impaction.
Inkontinensia menetap dapat terjadi akibat aktivitas detrusor
berlebih (over active bladder), aktivitas detrusor yang menurun (overflow),
kegagalan uretra (stress type), atau obstruksi uretra.
Tatalaksana inkontinensia urin meliputi behavioral training (bladder
training, pelvic floor exercise), farmakologis, pembedahan. Obat yang
digunakan dapat meliputi antikolinergik antispasmodik (imipramin) untuk
tipe urgensi/stres, α-adrenergik agonis (pseudoefedrin, fenilpropanolamin)
untuk tipe stres atau urgensi, estrogen agonis(oral/topikal) untuk tipe stres
atau urgensi, kolinergik agonis (betanekol), α-arendergik antagonis
(terasozine) untuk tipe overflow atau urgensi karena pembesaran prostat.
Pembedahan meliputi juga kateterisasi sementara (2-4 kali sehari) atau
menetap.

5. Jatuh
Jatuh adalah kejadian tidak diharapkan dimana seorang jatuh dari
tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah atau sama
tingginya. Sebanyak 30% lansia ≥ 65 tahun mengalami jatuh. Kondisi
jatuh dipengaruhi stabilitas badan yang ditunjang oleh sistem sensorik
(penglihatan, pendengaran, vestibuler, proprioseptif), susunan saraf
pusat, kognisi, dan fungsi muskuloskeletal. Ia juga dipengaruhi faktor
ekstrinsik seperti pengaruh obat dan kondisi lingkungan. Penyebab jatuh
ada beragam, antara lain kecelakaan, nyeri kepala dan atau vertigo,
hipotensi ortostatik, obat-obatan (diuretik, antihipertensi, antidepresan
trisiklik, sedatif, antipsikotik, hipoglikemk, alkohol), proses penyakit
(aritmia, TIA, stroke, parkinson), idiopatik, dan sinkop (drop attack,
penurunan CBF).
Jatuh menimbulkan komplikasi perlukaan jaringan lunak dan
fraktur (terutama pelvis, kolum femoris), imobilisasi, disabilitas, risiko
meninggal. Jatuh perlu dicegah dengan identifikasi semua faktor risiko
intrinsik maupun ekstrinsik, penilaian pola berjalan dan keseimbangan
(tes romberg), dan pemeriksaan rutin. Setiap lansia selalu harus
ditanyakan riwayat jatuh dan evaluasi status kesehatan. Tatalaksana
jatuh adalah pencegahan sesuai dengan etiologi yang dirasa memberi
risiko terjadinya jatuh.

6. Kelainan tulang dan patah tulang


Setiap tahun 0,5-1% dari berat tulang wanita pasca menopause
dan pria > 80 tahun menurun. Penurunan ini timbul di bagian trabekula.
Kelainan tulang yang timbul dapat berupa osteoporosis, osteomalasia,
osteomielitis, dan keganasan tulang.
Patah tulang/fraktur pada usia lanjut terutama akibat osteoporosis, ada 3
jenis yang terutama, yaitu fraktur sendi koksa (collum femoris), fraktur
pergelangan tangan (colles), dan kolumna vertebralis (crush, multipel,
atau baji).

7. Dekubitus
Dekubitus adalah kerusakan kulit sampai jaringan di bawah kulit,
menembus otot sampai mengenai tulang akibat adanya penekanan pada
suatu area secara terus menerus sehingga timbul gangguan sirkulasi
darah setempat.Ulkus dekubitus terjadi terutama pada tonjolan
tulang.Usia lanjut memiliki potensi dekubitus karena jaringan lemak
subkutan berkurang, jaringan kolagen dan elastis berkurang, efisiensi
kapiler pada kulit berkurang. Pada penderita imobil, tekanan jaringan
akan melebihi tekanan kapiler, sehingga timbul iskemi dan nekrosis.
Proses ini dipengaruhi oleh tekanan, daya regang, gesekan, dan
kelembaban.
Semua pasien lansia yang imobil harus dinilai skala Norton untuk risiko
dekubitus.Skor di bawah 14 berkaitan dengan risiko tinggi timbulnya
ulkus.Pencegahan ulkus dapat dilakukan dengan membersihkan kulit,
mengurangi gesekan dan regangan dengan berpindah posisi, asupan gizi
yang cukup, menjaga kelembaban kulit.Perlu diingat komplikasi ulkus
dekubitus adalah sepsis.

H. PENATALAKSANAAN GERIATRIC SYNDROME


Dalam merawat dan menatalaksana pasien geriatri tercakup dua
komponen penting yakni pendekatan tim dan P3G yang merupakan bagian
comprehensive geriatric management (CGM). Pendekatan paripurna pasien
geriatri merupakan prosedur pengkajian multidimensi. Diperlukan instrumen
diagnostik yang bersifat multidisiplin untuk mengumpulkan data medik,
psikososial, kemampuan fungsional, dan keterbatasan pasien usia lanjut.
Pendekatan multidimensi berusaha untuk menguraikan berbagai masalah
pada pasien geriatri, mengidentifikasi semua aset pasien, mengidentifikasi
jenis pelayanan yang dibutuhkan, dan mengembangkan rencana asuhan
yang berorientasi pada kepentingan pasien. Pendekatan paripurna pasien
geriatri berbeda dengan pengkajian medik standar dalam tiga hal, yaitu fokus
pada pasien usia lanjut yang memiliki masalah kompleks; mencakup status
fungsional dan kualitas hidup; memerlukan tim yang bersifat interdisiplin
(Soedjono, 2007). Berikut beberapa penatalaksanaan secara umum sindrom
geriatrik, diantaranya :
1. Pemberian asupan diet protein, vitamin C,D,E, & mineral yang cukup.
Orang usia lanjut umumnya mengonsumsi protein kurang dari angka
kecukupan gizi (AKG). Penelitian multisenter di 15 propinsi di Indonesia
mendapatkan bahwa 47% usia lanjut mengonsumsi protein kurang dari
80% AKG. Proporsi protein yang adekuat merupakan faktor penting;
bukan dalam jumlah besar pada sekali makan. Hal penting lainnya adalah
kualitas protein yang baik, yaitu protein sebaiknya mengandung asam
amino esensial. Leusin adalah asam amino esensial dengan kemampuan
anabolisme protein tertinggi sehingga dapat mencegah sarkopenia.
Leusin dikonversi menjadi hydroxy-methyl-butyrate (HMB). Suplementasi
HMB meningkatkan sintesis protein dan mencegah proteolisis (Setiati et
al, 2013)
2. Pengaturan olah raga secara teratur. Perlu pemantauan rutin kemampuan
dasar seperti berjalan, keseimbangan, fungsi kognitif. Aktivitas fisik dapat
menghambat penurunan massa dan fungsi otot dengan memicu
peningkatan massa dan kapasitas metabolik otot sehingga memengaruhi
energy expenditure, metabolise glukosa, dan cadangan protein tubuh.
Resistance training merupakan bentuk latihan yang paling efektif untuk
mencegah sarkopenia dan dapat ditoleransi dengan baik pada orang tua.
Program resistance training dilakukan selama 30 menit setiap sesi, 2 kali
seminggu (Waters et al, 2010). Aktivitas fisik tanpa asupan nutrisi yang
adekuat menyebabkan keseimbangan protein negatif dan menyebabkan
degradasi otot (Sullivan et al, 2009). Kombinasi resistance training
dengan intervensi nutrisi berupa asupan protein yang cukup dengan
kandungan leusin, khususnya HMB yang adekuat, merupakan intervensi
terbaik untuk memelihara kesehatan otot orang usia lanjut (Setiati et al,
2013)
3. Pencegahan infeksi dengan vaksin
4. Antisipasi kejadian yang dapat menimbulkan stres misalnya pembedahan
elektif dan reconditioning cepat setelah mengalami stres dengan renutrisi
dan fisioterapi individual (Setiati et al, 2011)
5. Terapi pengobatan pada pasien usia lanjut secara signifikan berbeda dari
pasien pada usia muda, karena adanya perubahan kondisi tubuh yang
disebabkan oleh usia, dan dampak yang timbul dari penggunaan obat-
obatan yang digunakan sebelumnya. Masalah polifarmasi pada pasien
geriatri sulit dihindari dikarenakan oleh berbagai hal yaitu penyakit yang
diderita banyak dan biasanya kronis, obat diresepkan oleh beberapa
dokter, kurang koordinasi dalam pengelolaan, gejala yang dirasakan
pasien tidak jelas, pasien meminta resep, dan untuk menghilangkan efek
samping obat justru ditambah obat baru. Karena itu diusulkan prinsip
pemberian obat yang benar pada pasien geriatri dengan cara mengetahui
riwayat pengobatan lengkap, jangan memberikan obat sebelum
waktunya, jangan menggunakan obat terlalu lama, kenali obat yang
digunakan, mulai dengan dosis rendah, naikkan perlahan-lahan, obati
sesuai patokan, beri dorongan supaya patuh berobat dan hati-hati
mengguakan obat baru (Setiati dkk., 2006).
Penatalaksanaan Resiko Jatuh:
a. Perhatikan penggunaan alat bantu melihat (kacamata) dan alat bantu
dengar (earphone)
b. Evaluasi dan ciptakan lingkungan yang aman dan nyaman
c. Evaluasi kemampuan kognitif
d. Beri lansia alat bantu berjalan seperti hand rails, walkers, dsb

Penatalaksanaan Gangguan Tidur:


a. Tingkatkan aktifitas rutin setiap hari
b. Ciptakan lingkungan yang nyaman
c. Kurangi konsumsi kopi
d. Berikan benzodiazepine seperti Temazepam (7,5-15 mg)
e. Anti depresan seperti Trazadone untuk insomnia kronik

I. PENCEGAHAN GERIATRIC SYNDROME


Jenis pelayanan kesehatan terhadap lansia meliputi lima upaya
kesehatan yaitu: peningkatan (promotif), pencegahan (preventif), diagnosis
dini dan pengobatan, pembatasan kecacatan dan pemulihan.
1. Promosi (Promotif)
Upaya promotif merupakan tindakan secara langsung dan tidak langsung
untuk meningkatkan derajat kesehatan dan mencegah penyakit. Upaya
promotif juga merupakan proses advokasi kesehatan untuk meningkatkan
dukungan klien, tenaga provesional dan masyarakat terhadap praktik
kesehatan yang positif menjadi norma-norma sosial. Upaya promotif di
lakukan untuk membantu organ-organ mengubah gaya hidup mereka dan
bergerak ke arah keadaan kesehatan yang optimal serta mendukung
pemberdayaan seseorang untuk membuat pilihan yang sehat tentang
perilaku hidup mereka.

Upaya perlindungan kesehatan bagi lansia adalah sebagai berikut :


a. Mengurangi cedera, di lakukan dengan tujuan mengurangi
kejadian jatuh, mengurangi bahaya kebakaran dalam rumah,
meningkatkan penggunaan alat pengaman dan mengurangi
kejadian keracunan makanan atau zat kimia.
b. Meningkatkan keamanan di tempat kerja yang bertujuan untuk
mengurangi terpapar dengan bahan-bahan kimia dan
meningkatkan pengunaan sistem keamanan kerja.
c. Meningkatkan perlindungan dari kualitas udara yang buruk,
bertujuan untuk mengurangi pengunaan semprotan bahan-bahan
kimia, mengurangi radiasi di rumah, meningkatkan pengolahan
rumah tangga terhadap bahan berbahaya, serta mengurangi
kontaminasi makanan dan obat-obatan.
d. Meningkatkan perhatian terhadap kebutuhan gigi dan mutu yang
bertujuan untuk mengurangi karies gigi serta memelihara
kebersihan gigi dan mulut.

2. Pencegahan (Preventif)
a. Melakukan pencegahan primer, meliputi pencegahan pada lansia
sehat, terdapat faktor risiko, tidak ada penyakit, dan promosi
kesehatan. Jenis pelayanan pencegahan primer adalah: program
imunisasi, konseling, berhenti merokok dan minum beralkohol,
dukungan nutrisi, keamanan di dalam dan sekitar rumah, manajemen
stres, penggunaan medikasi yang tepat.
b. Melakukan pencegahan sekunder, meliputi pemeriksaan terhadap
penderita tanpa gejala dari awal penyakit hingga terjadi gejala penyakit
belum tampak secara klinis dan mengindap faktor risiko. Jenis pelayan
pencegahan sekunder antara lain adalah sebagai berikut: kontrol
hipertensi, deteksi dan pengobatan kangker, screening: pemeriksaan
rektal, papsmear, gigi mulut dan lain-lain.
c. Melakukan pencegahan tersier, dilakukan sebelum terdapat gejala
penyakit dan cacat, mecegah cacat bertambah dan ketergantungan,
serta perawatan dengan perawatan di rumah sakit, rehabilisasi pasien
rawat jalan dan perawatan jangka panjang.

3. Diagnosis dini dan Pengobatan


a. Diagnosis dini dapat dilakukan oleh lansia sendiri atau petugas
profesional dan petugas institusi. Oleh lansia sendiri dengan
melakukan tes dini, skrining kesehatan, memanfaatkan Kartu Menuju
Sehat (KMS) Lansia, memanfaatkan Buku Kesehatan Pribadi (BKP),
serta penandatangan kontrak kesehatan.
b. Pengobatan: Pengobatan terhadap gangguan sistem dan gejala yang
terjadi meliputi sistem muskuloskeletal, kardiovaskular, pernapasan,
pencernaan, urogenital, hormonal, saraf dan integumen.
PEMBAHASAN

I. Faktor Risiko dan Etiologi


A. Faktor Risiko
Faktor risiko hipertensi dapat terbagi menjadi dua. Faktor
risiko yang dapat dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi.
Faktor-faktor yang tidak dimodifikasi antara lain faktor genetik,
umur, jenis kelamin, dan etnis. Sedangkan faktor yang dapat
dimodifikasi meliputi stress, obesitas dan nutrisi.

Faktor risiko yang dapat dimodifikasi:


1. Stress
Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalui
aktivitas saraf simpatis. peningkatan aktivitas saraf simpatis
menyebabkan kontriksi fungsional dan hipertrofi struktural
sehingga dapat menaikkan tekanan darah. Stres tidak
menyebabkan hipertensi yang menetap, tetapi stress berat
dapat menyebabkan kenaikan tekanan darah yang bersifat
sementara yang sangat tinggi. Jika periode stress sering terjadi
maka akan mengalami kerusakan pada pembuluh darah,
jantung dan ginjal sama halnya seperti yang menetap
(Amir,2002).
2. Obesitas
Obesitas erat kaitannya dengan kegemaran mengkonsumsi
makanan yang mengandung tinggi lemak. Obesitas
meningkatkan risiko terjadinya hipertensi karena beberapa
sebab. Makin besar massa tubuh, makin banyak darah yang
dibutuhkan untuk memasok oksigen dan makanan ke jaringan
tubuh. Ini berarti volume darah yang beredar melalui pembuluh
darah menjadi meningkat sehingga memberi tekanan lebih
besar pada dinding arteri. Kelebihan berat badan juga
meningkatkan frekuensi denyut jantung dan kadar insulin dalam
darah. Peningkatan insulin menyebabkan tubuh menahan
natrium dan air.
Curah jantung dan sirkulasi volume darah penderita
hipertensi yang obesitas lebih tinggi dari penderita hipertensi
yang tidak obesitas. Pada obesitas tahanan perifer berkurang
atau normal, sedangkan aktivitas saraf simpatis meninggi
dengan aktivitas renin plasma yang rendah.
3. Nutrisi
Dalam hal ini terkait dengan konsumsi garam (Natrium).
Garam berhubungan erat dengan terjadinya tekanan darah
tinggi karena garam mempunyai sifat menahan air yang dapat
menyebabkan penumpukan cairan dalam tubuh, karena menarik
cairan diluar sel agar tidak keluar, sehingga akan meningkatkan
volume dan tekanan darah. Pada manusia yang mengkonsumsi
garam 3 gram atau kurang ditemukan tekanan darah rata-rata
rendah, sedangkan asupan garam sekitar 7-8 gram tekanan
darahnya rata-rata lebih tinggi. Konsumsi garam yang
dianjurkan tidak lebih dari 6 gram/hari setara dengan 110 mmol
Natrium atau 2400 mg/hari.

Faktor risiko yang tidak dapat dimodofikasi:

1. Genetik
Riwayat keluarga juga merupakan masalah yang memicu
terjadinya hipertensi karena cenderung merupakan penyakit
keturunan. Jika seorang dari orang tua kita memiliki riwayat
hipertensi maka sepanjang hidup kita memiliki kemungkinan
25% terkena hipertensi ( Astawan,2002 ).
Gen yang berperan pada patofisiologi penyakit hipertensi
adalah:
a. Gen simetrik yang mengandung promoter gen 11β-
hidroksilase dan gen urutan selnajutnya untuk memberi
kode pada gen aldosteron sintase, sehingga
menghasilkan ektopik aldosteron.
b. Saluran Natrium endotel yang sensitive terhadap amilorid
yang terdapat pada tubulus pengumpul. Mutasi gen ini
mengakibatkan aktivitas aldosteron, menekan aktivitas
rennin plasma dan hipokalemia.
c. Kerusakan gen 11β-hidroksilase dehidrogenase
menyebabkan sirkulasi konsentrasi kortisol normal untuk
mengaktifkan reseptor mineralakortikoid, sehingga
menyebabkan sindrom kelebihan mineralkortikoid (Sani,
2008).
2. Umur
Insidensi hipertensi meningkat seiring dengan pertambahan
umur. Pasien berumur di atas 60 tahun, 50 – 60% mempunyai
tekanan darah lebih besar atau sama dengan 140/90 mmHg.
Hal ini merupakan pengaruh degenerasi yang terjadi pada orang
yang bertambah usianya.
Dengan bertambahnya umur, maka tekanan darah juga akan
meningkat. Setelah umur 45 tahun, dinding arteri akan
mengalami penebalan oleh karena adanya penumpukan zat
kolagen pada lapisan otot, sehingga pembuluh darah akan
berangsur-angsur menyempit dan menjadi kaku. Tekanan darah
sistolik meningkat karena kelenturan pembuluh darah besar
yang berkurang pada penambahan umur sampai dekade
ketujuh sedangkan tekanan darah diastolik meningkat sampai
dekade kelima dan keenam kemudian menetap atau cenderung
menurun. Peningkatan umur akan menyebabkan beberapa
perubahan fisiologis, apda usia lanjut terjadi peningkatan
resistensi perifer dan aktivitas simpatik. Pengaturan tekanan
darah yaitu reflekx baroreseptor pada usia lanjut sensitivitasnya
sudah berkurang, sedangkan peran ginjal juga sudah berkurang
dimana aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus menurun.
3. Jenis Kelamin
Prevalensi terjadinya hipertensi pada pria sama dengan
wanita. Namun wanita terlindung dari penyakit kardiovaskuler
sebelum menopause. Wanita yang belum mengalami
menopause dilindungi oelh hormon estrogen yang berperan
dalma meningkatkan kadar High Density Lipoprotein (HDL).
Kadar kolesterol HDL yang tinggi merupakan faktor pelindung
dalam mencegah terjadinya proses aterosklerosis. Efek
perlindungan estrogen dianggap sebagai penjelasn adanya
imunitas wanita pada usia premenopause. Pada premenopause
wanita ini mulai kehilangan sedikit demi sedikit hormon estrogen
yang selama ini melindungi pembuluh darah dari kerusakan.
4. Etnis
Hipertensi lebih banyak terjadi pada orang berkulit hitam dari
pada yang berkulit putih. Sampai saat ini, belum diketahui
secara pasti penyebabnya. Namun pada orang kulit hitam
ditemukan kadar renin yang lebih rendah dan sensitifitas
terhadap vasopressin lebih besar.

Selain beberapa faktor risiko diatas ada pula faktor risisko lainnya.
Yaitu

1. Konsumsi Lemak Jenuh


Kebiasaan konsumsi lemak jenuh erat kaitannya dengan
peningkatan berat badan yang berisiko terjadinya hipertensi.34
Konsumsi lemak jenuh juga meningkatkan risiko aterosklerosis
yang berkaitan dengan kenaikan tekanan darah.26,34
Penurunan konsumsi lemak jenuh, terutama lemak dalam
makanan yang bersumber dari hewan dan peningkatan
konsumsi lemak tidak jenuh secukupnya yang berasal dari
minyak sayuran, biji-bijian dan makanan lain yang bersumber
dari tanaman dapat menurunkan tekanan darah.

2. Merokok
nikotin menyebabkan peningkatan tekanan darah karena
nikotin akan diserap pembuluh darah kecil dalam paru-paru dan
diedarkan oleh pembuluh darah hingga ke otak, otak akan
bereaksi terhadap nikotin dengan member sinyal pada kelenjar
adrenal untuk melepas efinefrin (Adrenalin). Hormon yang kuat
ini akan menyempitkan pembuluh darah dan memaksa jantung
untuk bekerja lebih berat karena tekanan yang lebih
tinggi.Selain itu, karbon monoksida dalam asap rokok
menggantikan oksigen dalam darah. Hal ini akan
mengakibatkan peningkatan tekanan darah karena jantung
dipaksa memompa untuk memasukkan oksigen yang cukup ke
dalam organ dan jaringan tubuh ( Astawan, 2002 ).
3. Aktivitas
Aktivitas sangat mempengaruhi terjadinya hipertensi, dimana
pada orang yang kurang aktvitas akan cenderung mempunyai
frekuensi denyut jantung yang lebih tinggi sehingga otot jantung
harus bekerja lebih keras pada tiap kontraksi.Makin keras dan
sering otot jantung memompa maka makin besar tekanan yang
dibebankan pada arteri ( Amir, 2002 ).
4. Alkohol
Alkohol dalam darah merangsang adrenalin dan hormone–
hormon lain yang membuat pembuluh darah menyempit atau
menyebabkan penumpukan natrium dan air. Minum-minuman
yang beralkohol yang berlebih juga dapat menyebabkan
kekurangan gizi yaitu penurunan kadar kalsium.Mengurangi
alkohol dapat menurunkan tekanan sistolik 10 mmhg dan
diastolik 7 mmhg.
B. Etiologi
Berdasarkan penyebabnya, Hipertensi terdiri dari hipertensi
primer (primary hypertension) dan hipertensi sekunder
(secondary hypertension).
1. Hipertensi Primer
Hipertensi primer adalah suatu kondisi yang lebih
sering terjadi pada banyak orang. Penyebab dasar yang
mendasarinya tidak selalu diketahui/idiopatik, namun dapat
terdiri dari beberapa faktor antara lain:
- Tekanan darah tidak terdeteksi (diastolik < 90 mm Hg,
sistolik > 105 mm Hg)
- Peningkatan kolesterol plasma (> 240-250 mg/dl)
- Kebiasaan merokok / alkohol
- Kelebihan Berat Badan / Kegemukan / Obesitas
- Kurang olah raga
- Penggunaan garam yang berlebihan
- Peradangan ditandai peningkatan C reactive
- Gagal ginjal (renal insufficiency)
- Faktor genetic / keturunan
- Usia
- Jenis kelamin
2. Hipertensi Sekunder
Hipertensi sekunder disebabkan oleh suatu kelainan
spesifik dari suatu organ tertentu atau pembuluh darah,
seperti ginjal, kelenjar adrenal, atau arteri aorta.

Penyebab hipertensi pada orang dengan lanjut usia adalah


terjadinya perubahan–perubahan pada:
a. Elastisitas dinding aorta menurun
b. Katub jantung menebal dan menjadi kaku
c. Kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap
tahun sesudah berumur 20 tahun kemampuan jantung
memompa darah menurun menyebabkan menurunnya kontraksi
dan volumenya.
d. Kehilangan elastisitas pembuluh darah. Hal ini terjadi karena
kurangnya efektifitas pembuluh darah perifer untuk oksigenasi
e. Meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer

II. Patofisiologi
Terlampir

III. Manifestasi dan Klasifikasi


A. Manifestasi
Manifestasi yang terjadi pada hipertensi antara lain:

- Sakit kepala

- Jantung berdebar-debar

- Sulit bernafas

- Mudah lelah

- Penglihatan kabur

- Wajah merah

- Hidung berdarah

- Sering buang air kecil pada malam hari

- Telinga berdenging

- Mual

- Jalan tidak normal. Akibat hipertensi menyerang sistem saraf.


- Nokturia akibat peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi
glomerulus.

- Edema dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan


kapiler.

- Tengkuk terasa pegal

B. Klasifikasi

1. Menurut WHO

Klasifikasi Sistolik Diastolik


(mmHg) (mmHg)
Optimal <120 <80
Normal <130 <85
Normal-Tinggi 130-139 85-89
Hipertensi Derajat 1 (Ringan) 140-159 90-99
Subkelompok: borderline 140-149 90-94
Hipertensi Derajat 2 (Sedang) 160-179 100-109
Hipertensi Derajat 3 (Berat) >180 >110
Hipertensi Sistolik Terisolasi >140 <90
Sub kelompok: boderline 140-149 <90

2. Menurut JNC VII

Klasifikasi Tekanan Darah TD Sistol TD Diastol


(mmHg) (mmHg)
Normal <120 Dan < 80
Prehipertensi 120-139 Atau 80-89
Hipertensi Stadium 1 140-159 Atau 90-99
Hipertensi Stadium 2 >160 Atau >100
3. Berdasarkan Bentuk Hipertensi

a. Hipertensi diastolik (diastolic hypertension) yaitu peningkatan


tekanan diastolik tanpa diikuti peningkatan tekanan sistolik.
Biasanya ditemukan pada anak-anak dan dewasa muda.
b. Hipertensi campuran yaitu peningkatan tekanan darah pada
sistol dan diastol.
c. Hipertensi sistolik (isolated systolic hypertension) yaitu
peningkatan tekanan sistolik tanpa diikuti peningkatan
tekanan diastolik. Umumnya ditemukan pada usia lanjut.
(Gunawan, 2001)

4. Menurut Hasil Consensus Perhimpunan Hipertensi Indonesia

Kategori Tekanan Darah TD Sistol TD Diastol


(mmHg) (mmHg)
Normal <120 Dan <80
Prehipertensi 120-139 Atau 80-89
Hipertensi Stadium 1 140-159 Atau 90-99
Hipertensi Stadium 2 >160 Atau >100
Hipertensi Sistol Terisolasi ≥140 <90

IV. Pemeriksaan Diagnostik


Pemeriksaan penunjang pasien hipertensi terbagi atas:
1. Riwayat dan pemeriksaan fisik secara menyeluruh
Kontrol tekanan darah secara rutin dan berkelanjutan akan
menjadi pencegahan yang paling baik untuk mengantisipasi
komplikasi stroke. Tekanan darah diukur setelah seseorang
duduk atau berbaring selama 5 menit. Angka 140/90 mmHg
atau lebih dapat diartikan sebagai hipertensi, tetapi diagnosis
tidak dapat ditegakkan hanya berdasarkan satu kali
pengukuran.
Jika pada pengukuran pertama memberikan hasil yang
tinggi, maka tekanan darah diukur kembali dan kemudian diukur
sebanyak 2 kali pada 2 hari berikutnya untuk meyakinkan
adanya hipertensi. Hasil pengukuran bukan hanya menentukan
adanya tekanan darah tinggi, tetepi juga digunakan untuk
menggolongkan beratnya hipertensi.
2. Pemeriksaan Mata
Pemeriksaan mata pada pasien dengan hipertensi berat
guna mendeteksi kerusakan, penyempitan arteri kecil,
kebocoran kecil pada retina, dan pembengkakkan syaraf mata.
3. Pemeriksaan Laboratorium
Tes darah:
- Untuk mengetahui kadar serum kreatinin (serum
creatinine)/BUN didalam darah guna memberikan informasi
tentang perfusi/fungsi ginjal.
- Hb/Ht untuk mengkaji hubungan dari sel-sel terhadap
volume cairan (viskositas) dan dapat mengindikasikan factor
resiko seperti: hipokoagulabilitas, anemia.
- Glukosa : Hiperglikemi (DM adalah pencetus hipertensi)
dapat diakibatkan oleh pengeluaran kadar ketokolamin.
Tes urine untuk mengetahui kehadiran protein didalam air seni
(proteinuria), darah dan glukosa, mengisaratkan disfungsi ginjal
dan ada DM.
4. Foto Thorax
Menunjukkan destruksi klasifikasi pada area katup,
pembesaran jantung.
5. EKG (elektrokardiogram)
Untuk mengetahui hipertropi ventrikel kiri dan dapat
menunjukan pola regangan dimana peninggian gelombang
P adalah salah satu tanda dini penyakit jantung hipertensi.
Echocardiography (pemeriksaan jantung dengan ultrasound).
Echocardiography berguna dalam menentukan ketebalan
(pembesaran) dari jantung bagian kiri (sisi pompa utama).

V. Definisi
Hipertensi adalah suatu keadaan dimana dijumpai tekanan
darah lebih dari 140/90 mmHg atau lebih untuk usia 13-50 tahun
dan tekanan darah mencapai 160/95 mmHg untuk usia di atas 50
tahun. Dan harus dilakukan pengukuran tekanan darah minimal
sebanyak dua kali untuk memastikan keadaan tersebut
(WHO,2001).
Menurut Joint National Comittee On Prevention, Detection,
Evaluation and Treatment Of High Blood Pressure VI/JNC VI, 2001
hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah yang lebih tinggi dari
140/90 mmHg dapat diklasifikasikan sesuai derajat keparahannya,
mempunyai rentang dari tekanan darah normal tinggi sampai
hipertensi maligna. Keadaan ini dikategorikan sebagai primer atau
esensial (hampir 90% dari semua kasus) dan hipertensi sekunder,
terjadi sebagai akibat dari kondisi patologi yang dapat dikenali,
sering kali dapat diperbaiki.
Hipertensi juga dapat diartikan sebagai tekanan darah
persisten dimana tekanan darahnya diatas 140/90 mmHg. Pada
manula hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistoliknya 160
mmHg dan tekanan diastoliknya 90 mmHg (Brunner dan Suddarth,
2002)
Hipertensi dapat pula disebut sebagai keadaan dimana
tekanan arteri rata-rata lebih tinggi daripada batas atas yang
dianggap normal yaitu 140/90 mmHg (Guyton and Hall, 2001)
NM Kaplan (Bapak Ilmu Penyakit Dalam), memberikan
batasan dengan membedakan usia dan jenis kelamin sebagai
berikut:
1. Pria, usia < 45 tahun, dikatakan hipertensi apabila tekanan
darah pada waktu berbaring > 130/90 mmHg
2. Pria, usia > 45 tahun, dikatakan hipertensi apabila tekanan
darahnya > 145/95 mmHg
3. Pada wanita tekanan darah > 160/95 mmHg, dinyatakan
hipertensi.
Sheps (2005), Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan
darah persisten dimana tekanan sistoliknya diatas 140 mmHg dan
tekanan diastolik diatas 90 mmHg. Pada populasi lanjut usia,
hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan
tekanan diastolik 90 mmHg

VI. Penatalaksanaan
A. Non Farmakologi
1. Diet

Diet yang dianjurkan untuk penderita hipertensi adalah :

a). Restriksi garam secara moderat dari 10gr/hr menjadi


5gr/hr untuk menurunkan tekanan darah dan untuk
mencegah edema dan penyakit jantung (lemah jantung).
Adapun yang disebut rendah garam bukan hanya
membatasi konsumsi garam dapur tetapi mengkonsumsi
makanan rendah sodium atau natrium (Na). Sumber
sodium antara lain makanan yang mengandung soda
kue, baking powder, MSG ( Mono Sodium Glutamat ),
pengawet makanan atau natrium benzoat (Biasanya
terdapat didalam saos, kecap, selai, jelly), makanan
yang dibuat dari mentega serta obat yang mengandung
natrium ( obat sakit kepala ).

b). Diet rendah kolesterol dan rendah asam lemak jenuh


c). Diet tinggi serat

Diet tinggi serat sangat penting pada penderita


hipertensi, serat terdiri dari dua jenis yaitu serat kasar
(Crude fiber) dan serat kasar banyak terdapat pada
sayuran dan buah – buahan, sedangkan serat makanan
terdapat pada makanan karbohidrat yaitu : kentang,
beras, singkong dan kacang hijau. Serat kasar dapat
berfungsi mencegah penyakit tekanan darah tinggi
karena serat kasar mampu mengikat kolestrol maupun
asam empedu dan selanjutnya membuang bersama
kotoran. Keadaan ini dapat dicapai jika makanan yang
dikonsumsi mengandung serat kasar yang cukup tinggi
(Mayo, 2005 ).

d). Rendah kalori:


Penurunan berat badan dapat menurunkan tekanan
darah dibarengi dengan penurunan aktivitas rennin
dalam plasma dan kadar adosteron dalam plasma.
Asupan kalori dikurangi sekitar 25% dari kebutuhan
energi atau 500 kalori untuk penurunan 500 gram atau
0.5 kg berat badan per minggu.

e). Penurunan asupan etanol

f). Menghentikan merokok

g). Diet tinggi kalium

2. Latihan Fisik

Latihan fisik atau olah raga yang teratur dan terarah yang
dianjurkan untuk penderita hipertensi adalah olah raga yang
mempunyai empat prinsip yaitu :
a). Macam olah raga yaitu isotonis dan dinamis seperti lari,
jogging, bersepeda, berenang dan lain-lain. Pada olah raga
isotonik mampu menyusutkan hormone noradrenalin dan
hormone – hormone lain penyebab naiknya tekanan darah.
Hindari olah raga Isometrik seperti angkat beban, karena
justru dapat menaikkan tekanan darah (Mayer,1980).

b). Intensitas olah raga yang baik antara 60-80 % dari


kapasitas aerobik atau 72-87 % dari denyut nadi maksimal
yang disebut zona latihan. Denyut nadi maksimal dapat
ditentukan dengan rumus 220-umur

c). Lamanya latihan berkisar antara 20-25 menit berada dalam


zona latihan

d). Frekuensi latihan sebaiknya 3 x perminggu dan paling baik


5 x perminggu

3. Edukasi Psikologis

Pemberian edukasi psikologis untuk penderita hipertensi


meliputi :

a). Tehnik Biofeedback

Biofeedback adalah suatu tehnik yang dipakai untuk


menunjukkan pada subyek tanda-tanda mengenai keadaan
tubuh yang secara sadar oleh subyek dianggap tidak normal.

Penerapan biofeedback terutama dipakai untuk mengatasi


gangguan somatik seperti nyeri kepala dan migrain, juga
untuk gangguan psikologis seperti kecemasan dan
ketegangan.

b). Tehnik relaksasi


Relaksasi adalah suatu prosedur atau tehnik yang bertujuan
untuk mengurangi ketegangan atau kecemasan, dengan cara
melatih penderita untuk dapat belajar membuat otot-otot
dalam tubuh menjadi rileks

4. Pendidikan Kesehatan

Tujuan pendidikan kesehatan yaitu untuk meningkatkan


pengetahuan pasien tentang penyakit hipertensi dan
pengelolaannya sehingga pasien dapat mempertahankan
hidupnya dan mencegah komplikasi lebih lanjut.

B. Farmakologi
Secara garis besar terdapat bebrapa hal yang perlu diperhatikan
dalam pemberian atau pemilihan obat anti hipertensi yaitu:
1. Mempunyai efektivitas yang tinggi.
2. Mempunyai toksitas dan efek samping yang ringan atau
minimal.
3. Memungkinkan penggunaan obat secara oral.
4. Tidak menimbulakn intoleransi.
5. Harga obat relative murah sehingga terjangkau oleh klien.
6. Memungkinkan penggunaan jangka panjang.

Contoh obat hipertensi:


1. Diuretik thiazide biasanya merupakan obat pertama yang
diberikan untuk mengobati hipertensi. Diuretik membantu
ginjal membuang garam dan air, yang akan mengurangi
volume cairan diseluruh tubuh sehingga menurunkan
tekanan darah. Diuretik juga menyebabkan pelebaran
pembuluh darah. Diuretik menyebabkan hilangnya kalium
melalui air, sehingga harus diberikan tambahan kalium atau
obat penahan kalium
2. Penghambat adrenergik merupakan sekelompok obat yang
terdiri dari alfa-blocker, beta-blocker dan alfa-beta-blocker
labetalol, yang menghambat efek sistem saraf simpatis.
System saraf simpatis adalah sistem saraf yang dengan
segera akan memberikan respon terhadap stres, dengan
cara meningkatkan tekanan darah.
3. Angiotensin Conferting Enzyme Inhibitor (ACE-Inhibitor)
menyebabkan penurunan tekanan darah dengan cara
melebarkan arteri
4. Angiotensin II Blocker menyebabkan penurunan tekanan
darah dengan suatu mekanisme yang mirip dengan ACE-
Inhibitor
5. Antagonis kalsium menyebabkan melebarkan pembuluh
darah dengan mekanisme yang berbeda-beda
6. Vasodilator langsung menyebabkan melebarnya pembuluh
darah. Obat dari golongan ini hampir selalu digunakan
sebagai tambahan terhadap obat anti hipertensi lainnya.

Pengobatan hipertensi dapat dilakukan seperti berikut:

1. Step 1 : Obat pilihan pertama yaitu diuretika, beta blocker, Ca


antagonis, ACE inhibitor

2. Step 2 : Alternatif yang bisa diberikan

1) Dosis obat pertama dinaikan

2) Diganti jenis lain dari obat pilihan pertama

3) Ditambah obat ke-2 jenis lain, dapat berupa diuretika , beta


blocker, Ca antagonis, Alpa blocker, clonidin, reserphin,
vasodilator
3. Step 3 : alternatif yang bisa ditempuh

1) Obat ke-2 diganti

2) Ditambah obat ke-3 jenis lain

4. Step 4 : alternatif pemberian obatnya

1) Ditambah obat ke-3 dan ke-4

2) Re-evaluasi dan konsultasi

Berbagai jenis obat-obatan yang banyak dikonsumsi pasien


hipertensi beserta manfaatnya adalah sebagai berikut:

Jenis Obat Fungsi Contoh obat

ACE inhibitors untuk Enalapril (Vasotec)


memperlambat
Captopril (Capoten)
aktivitas dari enzim
ACE, yang Lisinopril (Zestril and
mengurangi Prinivil)
produksi dari
Benazepril (Lotensin)
angiotensin II
Quinapril (Accupril)
angiotensin II adalah
zat kimia yng sangat Perindopril (Aceon)
kuat yang
Ramipril (Altace)
menyebabkan otot-
otot yang Trandolapril (Mavik)
mengelilingi
Fosinopril (Monopril)
pembuluh darah
untuk berkontraksi, Moexipril (Univasc)
jadi menyempitkan
pembuluh

Angiotensin untuk menghalangi Losartan (Cozaar)


receptor blocker aksi dari angiotensin
Irbesartan (Avapro)
(ARB) II. ARB mencegah
angiotensin II Valsartan (Diovan)
mengikat pada
Candesartan (Atacand)
reseptor angiotensin
II pada pembuluh- Olmesartan (Benicar)
pembuluh darah
Telmisartan (Micardis)

Eprosartan (Teveten)

Beta-blockers Untuk menghalangi Atenolol (Tenormin)


norepinephrine dan
Propranolol (Inderal)
epinephrine
(adrenaline) Metoprolol (Toprol)
mengikat pada
Nadolol (Corgard)
reseptor beta pada
syaraf. Betaxolol (Kerlone)

Acebutolol (Sectral)

Pindolol (Visken)

Bisoprolol (Zebeta)

Calcium channel Untuk menghalangi Amlodipine (Norvasc)


blockers (CCBs) gerakan dari calcium
Sustained release
kedalam sel otot dari
nifedipine (Procardia
jantung dan arteri-
XL, Adalat CC)
arteri.
Calcium diperlukan Felodipine (Plendil)
oleh otot ini untuk
Nisoldipine (Sular)
berkontraksi.
Hydrochlorothiazide
(Hydrodiuril)

The loop diuretics


furosemide (Lasix) dan
torsemide (Demadex)

Kombinasi dari
triamterene dan
hydrochlorothiazide
(Dyazide)

Metolazone
(Zaroxolyn)

Alpha-blockers Untuk menurunkan Terazosin (Hytrin)


tekanan darah
Doxazosin (Cardura)
dengan
menghalangi
reseptor alpha pada
otot halus dari arteri
peripheral diseluruh
jaringan tubuh.

Alpha-beta Cara kerja yang Carvedilol (Coreg)


blockers sama seperti alpha-
Labetalol (Normodyne,
blockers dan juga
Trandate)
memperlambat
denyut jantung,
seperti yang
dilakukan beta-
blockers, sehingga
lebih sedikit darah
yang dipompa
melalui pembuluh-
pembuluh dan
tekanan darah
menurun.

Clonidine Penghalang- Clonidine


penghalang sistim
syaraf bekerja
dengan
menstimulasi
reseptor-reseptor
pada syaraf-syaraf
di otak yang
mengurangi
transmisi dari pesan-
pesan dari syaraf
dalam otak ke syaraf
pada lain dari tubuh.

Minoxidil Sebagai Minoxidil


vasodilators, yaitu
pengendur
(relaxants) otot yang
bekerja secara
langsung pada otot
halus dari arteri
peripheral diseluruh
tubuh, sehingga
arteri melebar dan
tekanan darah
berkurang.

VII. Komplikasi
Beberapa komplikasi pada penderita hipertensi:
A. Stroke
Dapat timbul akibat perdarahan tekanan tinggi di otak,
atau akibat embolus yang terlepas dari pembuluh non otak
yang terpajan tekanan tinggi. Stroke dapat terjadi pada
hipertensi kronik apabila arteri-arteri yang memperdarahi
otak mengalami hipertropi dan menebal, sehingga aliran
darah ke daerah-daerah yang diperdarahinya berkurang.
Arteri-arteri otak yang mengalami arterosklerosis dapat
melemah sehingga meningkatkan kemungkinan
terbentuknya aneurisma (Corwin, 2000).
Gejala terkena stroke adalah sakit kepala secara tiba-
tiba, seperti, orang bingung, limbung atau bertingkah laku
seperti orang mabuk, salah satu bagian tubuh terasa lemah
atau sulit digerakan (misalnya wajah, mulut, atau lengan
terasa kaku, tidak dapat berbicara secara jelas) serta tidak
sadarkan diri secara mendadak (Santoso, 2006).
B. Infark Miokard
Dapat terjadi apabila arteri koroner yang
arterosklerosis tidak dapat menyuplai cukup oksigen ke
miokardium atau apabila terbentuk trombus yang
menghambat aliran darah melalui pembuluh darah tersebut.
Karena hipertensi kronik dan hipertensi ventrikel, maka
kebutuhan oksigen miokardium mungkin tidak dapat
terpenuhi dan dapat terjadi iskemia jantung yang
menyebabkan infark. Demikian juga hipertropi ventrikel
dapat menimbulkan perubahan-perubahan waktu hantaran
listrik melintasi ventrikel sehingga terjadi disritmia, hipoksia
jantung, dan peningkatan resiko pembentukan bekuan
(Corwin, 2000).
C. Pengerasan dari arteri-arteri (atherosclerosis atau
arteriosclerosis).
Peningkatan tekanan darah pada arteri diseluruh
jaringan tubuh yang terlalu sering akan membuat arteri
menjadi keras
D. Gagal ginjal
Dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat
tekanan tinggi pada kapiler-kepiler ginjal, glomerolus.
Dengan rusaknya glomerolus, darah akan mengalir ke unit-
unit fungsional ginjal, nefron akan terganggu dan dapat
berlanjut menjadi hipoksia dan kematian. Dengan rusaknya
membran glomerolus, protein akan keluar melalui urin
(proteinuria) sehingga tekanan osmotik koloid plasma
berkurang, menyebabkan edema yang sering dijumpai pada
hipertensi kronik (Corwin, 2000).
E. Kerusakan mata
Peningkatan tekanan darah mengakibatkan
penyempitan arteri kecil, kebocoran retina, dan
pembengkakkan syaraf mata
F. Gagal jantung
Atau ketidakmampuan jantung dalam memompa
darah yang kembalinya ke jantung dengan cepat
mengakibatkan cairan terkumpul di paru, kaki dan jaringan
lain sering disebut edema.Cairan didalam paru–paru
menyebabkan sesak napas (Amir, 2002)
Peningkatan tekanan darah pada arteri diseluruh
jaringan tubuhnya, dimana mengakibatkan otot jantung
bekerja lebih keras untuk memompa darah melalui pembuluh
darah ini yang mengakibatkan pembesaran otot jantung.
Dan ini dapat menjadi suatu pertanda dari gagal jantung,
penyakit jantung koroner, dan suatu kelainan irama jantung
(cardiac arrhythmias).
G. Ensefalopati
Dapat terjadi terjadi terutama pada hipertensi maligna
(hipertensi yang cepat). Tekanan yang tinggi pada kelainan
ini menyebabkan peningkatan tekanan kapiler dan
mendorong cairan ke dalam ruang intertisium diseluruh
susunan saraf pusat. Neron-neron disekitarnya kolap dan
terjadi koma serta kematian (Corwin, 2000).
H. Asuhan Keperawatan
DAFTAR PUSTAKA

Hidayat, A. Alimul. (2006). Pengantsar kebutuhan dasar manusia: aplikasi


konsep dan proses keperawatan. Jakarta: Salemba Medika Indonesia.
hlm. 1335-1340.

John EC, Vincent AC. Vision impairment and hearing loss among community
dwelling older American: implications for health and functioning. Am J of
Pub Health. 2004;94(5):823-9.

Kane RL, Ouslander JG, Abrass IB, Resnick B. 2008. Essentials of clinical
geriatris. 6th ed. New York, NY:McGraw-Hill.

Panita L , Kittisak S, Suvanee S, Wilawan H. 2011. Prevalence and recognition of


geriatri syndromes in an outpatient clinic at a tertiary care hospital of
Thailand. Medicine Department; Medicine Outpatient Department, Faculty
of Medicine, Srinagarind Hospital, Khon Kaen University, Khon Kaen
40002, Thailand. Asian Biomedicine.5(4): 493-497.

Pranarka, Kris. 2011. Simposium geriatric syndromes:revisited. Semarang:Badan


Penerbit Universitas Diponegoro.

Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006.


Jakarta: Prima Medika

Setiati S, Harimurti K, Dewiasty E, Istanti R, Sari W, Verdinawati T. Prevalensi


geriatric giant dan kualitas hidup pada pasien usia lanjut yang dirawat di
Indonesia: penelitian multisenter. In Rizka A (editor). Comprehensive
prevention & management for the elderly: interprofessional geriatric care.
Jakarta: Perhimpunan Gerontologi Medik Indonesia; 2013:183.

Setiati S, Harimurti K, Dewiasty E, Istanti R, Yudho MN, Purwoko Y, et al. Profile


of nutrient intake in urban metropolitan and urban non-metropolitan
Indonesia elderly population and factors associated with energy intake:
multi-centre study. In press. 2013.

Setiati S, Harimurti K, Roosheroe AG. 2006. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid
III.
Setiati S, Rizka A. Sarkopenia dan frailty: sindrom geriatri baru. Dalam: Setiati S,
Dwimartutie N, Harimurti K, Dewiasty E (editor). Chronic degenerative
disease in elderly: update in diagnostic & management. Jakarta;
Perhimpunan Gerontologi Medik Indonesia; 2011:69-75.

Setiati S, Santoso B, Istanti R. Estimating the annual cost of overactive bladder in


Indonesia. Indones J Intern Med. 2006:38(4):189-92.

Stanley M, Patricia GB.2006. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Edisi 2. Jakarta:


EGC

Sullivan DH, Johnson LE. Nutrition and aging. In: Halter JB, Ouslander JG. Tinetti
ME. Studenski S, High KP, Astana S (editors). Hazzard’s geriatric
medicine and gerontology. 6th ed. New York: Mc Graw Hill; 2009.p.439-
57.

Waters DL, Baumgartner RN, Garry PJ, Vellas B. Advantages of dietary,


exercise-related, and therapeutic interventions to prevent and treat
sarkopenia in adult patients: an update. Clinical Interventions in Aging.
2010(5):259-70.

JKI 9. Cocsco TD, Prina AM, Parales J, Stephan BCM, Brayne C. Lay

perspectives of successful ageing: a systematic review and meta-

ethnography. BMJ Open 2013;3:200-70.

Marina L, Ionas L. Active aging and successful ageing as explicative models of

positive evolutions to elderly people. Scientific Annals of the ‘Al. I. Cuza’

University. Sociology & Social Work. 2012;5:79-91.

Kanning M, Schlicht. A bio-psycho-social model of successful aging through the

variable “physical activity”. Eur Rev Aging Phys Act. 2008;5:79-87.

Anda mungkin juga menyukai