Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

SYNDROME GERIATRI

A. PENGERTIAN USIA LANJUT (GERIATRI)


WHO  dan  Undang-Undang  Nomor  13  Tahun  1998  tentang kesejahteraan 
lanjut  usia  pada  Bab  1  Pasal  1  Ayat  2  menyebutkan bahwa  usia  60  tahun 
adalah  usia  permulaan  tua.  Menua  bukanlah suatu  penyakit,  tetapi  merupakan 
proses  yang  berangsur-angsur mengakibatkan  perubahan  kumulatif,  merupakan 
proses  menurunya daya  tahan  tubuh  dalam  menghadapi  rangsangan  dari  dalam 
dan  luar tubuh.
Kelompok lanjut usia adalah kelompok penduduk yang berusia 60 tahun ke
atas (Hardywinoto dan Setiabudhi, 1999). Pada lanjut usia akan terjadi proses
menghilangnya kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan
mempertahankan fungsi normalnya secara perlahan-lahan sehingga tidak dapat
bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang terjadi (Constantinides,
1994). Karena itu di dalam tubuh akan menumpuk makin banyak distorsi metabolik
dan struktural disebut penyakit degeneratif yang menyebabkan lansia akan
mengakhiri hidup dengan episode terminal (Darmojo dan Martono, 1999).
B. FISIOLOGI LANSIA & PROSES MENUA
Pada hakekatnya menjadi tua merupakan proses alamiah yang berarti
seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya yaitu masa anak, masa dewasa dan
masa tua (Nugroho, 1992). Tiga tahap ini berbeda baik secara biologis maupun
psikologis. Memasuki masa tua berarti mengalami kemuduran secara fisik maupun
psikis. Kemunduran fisik ditandai dengan kulit yang mengendor, rambut memutih,
penurunan pendengaran, penglihatan memburuk, gerakan lambat, kelainan berbagai
fungsi organ vital, sensitivitas emosional meningkat dan kurang gairah.
Meskipun secara alamiah terjadi penurunan fungsi berbagai organ, tetapi tidak
harus menimbulkan penyakit oleh karenanya usia lanjut harus sehat. Sehat dalam hal
ini diartikan:
a. Bebas dari penyakit fisik, mental dan sosial,
b. Mampu melakukan aktivitas untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari,
c. Mendapat dukungan secara sosial dari keluarga dan masyarakat (Rahardjo, 1996)
Akibat perkembangan usia, lanjut usia mengalami perubahan-perubahan yang
menuntut dirinya untuk menyesuakan diri secara terus-menerus. Apabila proses
penyesuaian diri dengan lingkungannya kurang berhasil maka timbullah berbagai
masalah. Hurlock (1979) seperti dikutip oleh MunandarAshar Sunyoto (1994)
menyebutkan masalah – masalah yang menyertai lansia yaitu:
a. Ketidakberdayaan fisik yang menyebabkan ketergantungan pada orang lain
b. Ketidakpastian ekonomi sehingga memerlukan perubahan total dalam pola
hidupnya
c. Membuat teman baru untuk mendapatkan ganti mereka yang telah meninggal
atau pindah
d. Mengembangkan aktifitas baru untuk mengisi waktu luang yang bertambah
banyak
e. Belajar memperlakukan anak-anak yang telah tumbuh dewasa. Berkaitan dengan
perubahan fisk, Hurlock mengemukakan bahwa perubahan fisik yang mendasar
adalah perubahan gerak.
C. DEFINISI SINDROM GERIATRI
Sindrom geriatri adalah serangkaian kondisi klinis pada orang tua yang
dapat  mempengaruhi  kualitas  hidup  pasien  dan  dikaitkan  dengan  kecacatan. 
Tampilan klinis yang tidak khas sering membuat sindrom geriatri tidak terdiagnosis.
Sindrom geriatri meliputi gangguan kognitif, depresi, inkontinensia,
ketergantungan fungsional, dan jatuh. Sindrom ini dapat menyebabkan angka
morbiditas yang signifikan dan keadaan yang buruk pada usia tua yang lemah.
Sindrom ini biasanya melibatkan beberapa sistem organ. Sindrom geriatrik mungkin
memiliki kesamaan patofisiologi meskipun presentasi yang berbeda,dan memerlukan
intervensi dan strategi yang fokus terhadap faktor etiologi (Panitaetal., 2011).
Dalam menilai kesehatan lansia perlu dibedakan antara perubahan akibat
penuaan dengan perubahan akibat proses patologis. Beberapa problema klinik dari
penyakit pada lanjut usia yang sering dijumpai. Sindroma geriatri antara lain adalah:
 “the O complex” :fall, confusion, incontinence, iatrogenic disorders, impaired
homeostasis
 “the big three” :intelectual failure, instability, incontinence
 “the 14 I” :Immobility, Impaction, Instability, Iatrogenic, Intelectual Impairment,
Insomnia, Incontinence, Isolation, Impotence, Immunodefficiency, Infection,
Inanition, Impairment of Vision, smelling, hearing, Impecunity
Imobilisasi adalah keadaan tidak bergerak/tirah baring selama 3 hari atau
lebih, diiringi gerak anatomis tubuh yang menghilang akibat perubahan fungsi
fisiologis. Gangguan keseimbangan (instabilitas) akan memudahkan pasien geriatri
terjatuh dan dapat mengalami patah tulang. Inkontinensia urin didefinisikan sebagai
keluarnya urin yang tidak terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa
memperhatikan frekuensi dan jumlahnya, sehingga mengakibatkan masalah sosial
dan higienis. Inkontinensia urin seringkali tidak dilaporkan oleh pasien atau
keluarganya karena malu atau tabu untuk diceritakan, ketidaktahuan dan
menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar pada orang usia lanjut serta tidak perlu
diobati. Gangguan depresi pada usia lanjut kurang dipahami sehingga banyak kasus
tidak dikenali. Gejala depresi pada usia lanjut seringkali dianggap sebagai bagian
dari proses menua. Infeksi sangat erat kaitannya dengan penurunan fungsi sistem
imun pada usia lanjut. Infeksi yang sering dijumpai adalah infeksi saluran kemih,
pneumonia, sepsis, dan meningitis. Kondisi lain seperti kurang gizi, multipatologi,
dan faktor lingkungan memudahkan usia lanjut terkena infeksi. Gangguan
penglihatan dan pendengaran juga sering dianggap sebagai hal yang biasa akibat
proses menua. Gangguan penglihatan berhubungan dengan penurunan kegiatan
waktu senggang, status fungsional, fungsi sosial, dan mobilitas. Gangguan
penglihatan dan pendengaran berhubungan dengan kualitas hidup, meningkatkan
disabilitas fisik, ketidakseimbangan, jatuh, fraktur panggul, dan mortalitas. Pasien
geriatri sering disertai penyakit kronis degeneratif. Masalah yang muncul sering
tumpang tindih dengan gejala yang sudah lama diderita sehingga tampilan gejala
menjadi tidak jelas. Penyakit degeneratif yang banyak dijumpai pada pasien geriatri
adalah hipertensi, diabetes melitus, dislipidemia, osteoartritis, dan penyakit
kardiovaskular.
D. KLASIFIKASI GERIATRIC SYNDROME
1. Klasifikasi Demensia
Klasifikasi demensia vaskuler secara klinis menurut Kelompok Studi Fungsi
Luhur PERDOSSI adalah:
a. Demensia pasca stroke
- Demensia infark serebri
- Demensia perdarahan intraserebral
b. Demensia vaskuler subkortikal
- Lesi iskemik substansia alba
- Infark lakuner subkortikal
- Infark non lakuner subkortikal
- Demensia vaskuler tipe campuran (Demensia Alzheimer dan Demensia
Vaskuler)
Klasifikasi demensia (Sjahrir,1999) terbagi atas 2 dimensi:
a. Menurut umur; terbagi atas:
- Demensia senilis onset > 65 tahun
- Demensia presenilis < 65 tahun
b. Menurut level kortikal:
- Demensia kortikal
- Demensia subkorti
2. Klasifikasi Inkontinensia
a. Inkontinensia Urin Akut Reversibel
Pasien delirium mungkin tidak sadar saat mengompol atau tak dapat pergi
ke toilet sehingga berkemih tidak pada tempatnya. Bila delirium teratasi maka
inkontinensia urin umumnya juga akan teratasi. Setiap kondisi yang menghambat
mobilisasi pasien dapat memicu timbulnya inkontinensia urin fungsional atau
memburuknya inkontinensia persisten, seperti fraktur tulang pinggul, stroke,
arthritis dan sebagainya. Resistensi urin karena obat-obatan, atau obstruksi
anatomis dapat pula menyebabkan inkontinensia urin. Keadaan inflamasi pada
vagina dan urethra (vaginitis dan urethritis) mungkin akan memicu inkontinensia
urin. Konstipasi juga sering menyebabkan inkontinensia akut. Berbagai kondisi
yang menyebabkan poliuria dapat memicu terjadinya inkontinensia urin, seperti
glukosuria atau kalsiuria. Gagal jantung dan insufisiensi vena dapat menyebabkan
edema dan nokturia yang kemudian mencetuskan terjadinya inkontinensia urin
nokturnal.
b. Inkontinensia Urin Persisten
Inkontinensia urin persisten dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara, meliputi
anatomi, patofisiologi dan klinis. Untuk kepentingan praktek klinis, klasifikasi
klinis lebih bermanfaat karena dapat membantu evaluasi dan intervensi klinis.
Kategori klinis meliputi :
1) Inkontinensia urin stress (stres inkontinence)
Tak terkendalinya aliran urin akibat meningkatnya tekanan intraabdominal,
seperti pada saat batuk, bersin atau berolah raga. Umumnya disebabkan oleh
melemahnya otot dasar panggul, merupakan penyebab tersering inkontinensia
urin pada lansia di bawah 75 tahun. Lebih sering terjadi pada wanita tetapi
mungkin terjadi pada laki-laki akibat kerusakan pada sfingter urethra setelah
pembedahan transurethral dan radiasi. Pasien mengeluh mengeluarkan urin
pada saat tertawa, batuk, atau berdiri. Jumlah urin yang keluar dapat sedikit
atau banyak.
2) Inkontinensia urin urgensi (urgency inkontinence)
Keluarnya urin secara tak terkendali dikaitkan dengan sensasi keinginan
berkemih. Inkontinensia urin jenis ini umumnya dikaitkan dengan kontraksi
detrusor tak terkendali (detrusor overactivity). Masalah-masalah neurologis
sering dikaitkan dengan inkontinensia urin urgensi ini, meliputi stroke,
penyakit Parkinson, demensia dan cedera medula spinalis. Pasien mengeluh
tak cukup waktu untuk sampai di toilet setelah timbul keinginan untuk
berkemih sehingga timbul peristiwa inkontinensia urin. Inkontinensia tipe
urgensi ini merupakan penyebab tersering inkontinensia pada lansia di atas 75
tahun. Satu variasi inkontinensia urgensi adalah hiperaktifitas detrusor dengan
kontraktilitas yang terganggu. Pasien mengalami kontraksi involunter tetapi
tidak dapat mengosongkan kandung kemih sama sekali. Mereka memiliki
gejala seperti inkontinensia urin stress, overflow dan obstruksi. Oleh karena
itu perlu untuk mengenali kondisi tersebut karena dapat menyerupai
ikontinensia urin tipe lain sehingga penanganannya tidak tepat.
3) Inkontinensia urin luapan/overflow (overflow incontinence)
Tidak terkendalinya pengeluaran urin dikaitkan dengan distensi kandung
kemih yang berlebihan. Hal ini disebabkan oleh obstruksi anatomis, seperti
pembesaran prostat, faktor neurogenik pada diabetes melitus atau sclerosis
multiple, yang menyebabkan berkurang atau tidak berkontraksinya kandung
kemih, dan faktor-faktor obat-obatan. Pasien umumnya mengeluh keluarnya
sedikit urin tanpa adanya sensasi bahwa kandung kemih sudah penuh.
4) Inkontinensia urin fungsional
Inkontinensia fungsional merupakan keadaan seseorang yang mengalami
pengeluaran urin secara tanpa disadari dan tidak dapat diperkirakan. Keadaan
inkontinensia ini ditandai dengan tidak adanya dorongan untuk berkemih,
merasa bahwa kandung kemih penuh, kontraksi kandung kemih cukup kuat
untuk mengeluarkan urin (Hidayat,2006).
Inkontinensia fungsional merupakan inkontinensia dengan fungsi saluran
kemih bagian bawah yang utuh tetapi ada faktor lain, seperti gangguan
kognitif berat yang menyebabkan pasien sulit untuk mengidentifikasi
perlunya urinasi (misalnya, demensia Alzheimer) atau gangguan fisik yang
menyebabkan pasien sulit atau tidak mungkin menjangkau toilet untuk
melakukan urinasi
5) Inkontinensia Refleks
Inkontinensia refleks merupakan keadaan di mana seseorang mengalami
pengeluaran urin yang tidak dirasakan, terjadi pada interval yang dapat
diperkirakan bila volume kandung kemih mencapai jumlah tertentu.
Inkontinensia tipe ini kemungkinan disebabkan oleh adanya kerusakan
neurologis (lesi medulla spinalis). Inkontinensia refleks ditandai dengan tidak
adanya dorongan untuk berkemih, merasa bahwa kandung kemih penuh, dan
kontraksi atau spasme kandung kemih tidak dihambat pada interval teratur
(Hidayat, 2006).
6) Inkontinensia Total
Inkontinensia total merupakan keadaan dimana seseorang mengalami
pengeluaran urin yang terus menerus dan tidak dapat diperkirakan.
Kemungkinan penyebab inkontinensia total antara lain: disfungsi neorologis,
kontraksi independen dan refleks detrusor karena pembedahan, trauma atau
penyakit yang mempengaruhi saraf medulla spinalis, fistula, neuropati
(Hidayat, 2006).
E. TEORI PROSES MENUA
1. Teori – teori biologi
1. 1 Teori genetik dan mutasi (somatic mutatie theory)
Menurut teori ini menua telah terprogram secara genetik untuk spesies – spesies
tertentu. Menua terjadi sebagai akibat dari perubahan biokimia yang
diprogram oleh molekul – molekul / DNA dan setiap sel pada saatnya akan
mengalami mutasi. Sebagai contoh yang khas adalah mutasi dari sel – sel
kelamin (terjadi penurunan kemampuan fungsional sel)
1. 2 Pemakaian dan rusak
Kelebihan usaha dan stres menyebabkan sel – sel tubuh lelah (rusak)
1. 3 Reaksi dari kekebalan sendiri (auto immune theory)
Di dalam proses metabolisme tubuh, suatu saat diproduksi suatu zat khusus. Ada
jaringan tubuh tertentu yang tidaktahan terhadap zat tersebut sehingga
jaringan tubuh menjadi lemah dan sakit.
1. 4 Teori “immunology slow virus” (immunology slow virus theory)
Sistem imune menjadi efektif dengan bertambahnya usia dan masuknya virus
kedalam tubuh dapat menyebabkab kerusakan organ tubuh.
1. 5 Teori stres
Menua terjadi akibat hilangnya sel-sel yang biasa digunakan tubuh. Regenerasi
jaringan tidak dapat mempertahankan kestabilan lingkungan internal,
kelebihan usaha dan stres menyebabkan sel-sel tubuh lelah terpakai.
1. 6 Teori radikal bebas
Radikal bebas dapat terbentuk dialam bebas, tidak stabilnya radikal bebas
(kelompok atom) mengakibatkan osksidasi oksigen bahan-bahan organik
seperti karbohidrat dan protein. Radikal bebas ini dapat menyebabkan sel-sel
tidak dapat regenerasi.
1. 7 Teori rantai silang
Sel-sel yang tua atau usang , reaksi kimianya menyebabkan ikatan yang kuat,
khususnya jaringan kolagen. Ikatan ini menyebabkan kurangnya elastis,
kekacauan dan hilangnya fungsi.
1. 8 Teori program
Kemampuan organisme untuk menetapkan jumlah sel yang membelah setelah sel-
sel tersebut mati.
2. Teori kejiwaan sosial
2. 1 Aktivitas atau kegiatan (activity theory)
 Ketentuan akan meningkatnya pada penurunan jumlah kegiatan secara
langsung. Teori ini menyatakan bahwa usia lanjut yang sukses adalah mereka
yang aktif dan ikut banyak dalam kegiatan sosial.
 Ukuran optimum (pola hidup) dilanjutkan pada cara hidup dari lanjut usia.
 Mempertahankan hubungan antara sistem sosial dan individu agar tetap stabil
dari usia pertengahan ke lanjut usia.
2. 2 Kepribadian berlanjut (continuity theory)
Dasar kepribadian atau tingkah laku tidak berubah pada lanjut usia. Teori ini
merupakan gabungan dari teori diatas. Pada teori ini menyatakan bahwa
perubahan yang terjadi pada seseorang yang lanjut usia sangat dipengaruhi
oleh tipe personality yang dimiliki.
2. 3 Teori pembebasan (disengagement theory)
Teori ini menyatakan bahwa dengan bertambahnya usia, seseorang secara
berangsur-angsur mulai melepaskan diri dari kehidupan sosialnya. Keadaan
ini mengakibatkan interaksi sosial lanjut usia menurun, baik secara kualitas
maupun kuantitas sehingga sering terjaadi kehilangan ganda (triple loss),
yakni :
 Kehilangan peran
 hambatan kontak sosial
 Berkurangnya kontak komitmen

F. ETIOLOGI GERIATRIC SYNDROME


Aging merupakan proses alamiah yang terjadi terus menerus dan dimulai sejak
manusia dilahirkan. Terdapat banyak definisi proses menua, namun teori yang paling
banyak dianut saat ini adalah teori radikal bebas dan teori telomer.

1. Teori radikal bebas menyatakan proses menua terjadi akibat akumulasi radikal
bebas yang merusak DNA, protein, lipid, glikasi non-enzimatik, dan turn over
protein. Kerusakan di tingkat selular akhirnya menurunkan fungsi jaringan dan
organ.
2. Teori telomer menyatakan hilangnya telomer secara progresif menyebabkan
proses menua. Telomer merupakan sekuens DNA yang terletak di ujung
kromosom yang berfungsi mencegah pemendekan kromosom selama replikasi
DNA. Telomer akan memendek setiap kali sel membelah. Bila telomer terlalu
pendek maka sel berhenti membelah dan menyebabkan replicative senescence.

Masalah umum pada proses menua adalah penurunan fungsi fisiologis dan
kognitif yang bersifat progresif serta peningkatan kerentanan usia lanjut pada kondisi
sakit. Laju dan dampak proses menua berbeda pada setiap individu karena dipengaruhi
faktor genetik serta lingkungan.

Proses menua mengakibatkan penurunan fungsi sistem organ seperti sistem


sensorik, saraf pusat, pencernaan, kardiovaskular, dan sistem respirasi. Selain itu terjadi
pula perubahan komposisi tubuh, yaitu penurunan massa otot, peningkatan massa dan
sentralisasi lemak, serta peningkatan lemak intramuskular. Perlu diingat bahwa perubahan
fisik yang berhubungan dengan proses menua normal bukanlah penyakit. Individu yang
menunjukkan karakteristik menua dikatakan mengalami usual aging, sedangkan individu
yang tidak atau memiliki sedikit karakteristik menua disebut successful aging (SA).

G. MANIFESTASI KLINIS GERIATRIC SYNDROME


Menurut Brocklehurst, Allen et al dikenal istilah geriatric giants sebagai berikut:
1. Sindroma serebral
Pada lanjut usia terjadi penurunan aliran darah otak sekitar 30 mL/100gram
jaringan otak/menit. Metabolisme otak juga menurun karena terjadi atrofi neuron.
Normal pada dewasa nilainya 50 mL/100 gram/menit. Penurunan aliran darah otak
hingga 23 mL/100 gram/menit dapat menimbulkan sindroma serebral, yaitu
perubahan patologik pembuluh darah otak. Gejala yang timbul dapat berupa gejala
umum (rigiditas, peningkatan refleks, tendensi condong ke belakang, sulit berjalan)
gejala klinis daerah yang diperdarahi karotis (TIA, stroke, arteritis) dan
vertebrobasiler (drop attack, TIA).
Penurunan aliran darah otak pada lansia dapat disebabkan oleh sebab
mekanik maupun akibat perubahan autoregulasi aliran darah otak. Secara mekanik
didapatkan bahwa pada lansia terbentuk osteofit pada vertebra sehingga
menimbulkan jepitan pada arteri vertebralis yang menyuplai darah ke otak lewat
susunan vertebrobasiler. Selain itu degenerasi diskus intervertebralis membuat arteri
vertebralis menjadi berkelok-kelok dengan akibat turunnya aliran darah menuju ke
otak. Dengan demikian gerakan leher dapat membuat lansia kekurangan sirkulasi
darah otak dan tiba-tiba terjatuh.
Karena autoregulasi sebagai mekanisme proteksi otak mengalami
penurunan, sedikit perubahan tekanan darah atau diameter arteri otak akan
mengurangi aliran darah otak yang sulit dikompensasi oleh lansia. Kelainan vaskuler
arteriosklerosis mengurangi perfusi otak yang menimbulkan infark lakuner.
Hipoksemia akibat gangguan respirasi atau kardiovaskuler (gagal jantung,
bronkopneumonia, interaksi obat) juga menurunkan aliran darah otak. Diabetes dan
hipertensi menurunkan aliran darah otak dengan timbulnya angiopati.

2. Konfusio Akut dan Dementia


A. Konfusio akut adalah gangguan menyeluruh fungsi kognitif yang ditandai oleh
memburuknya secara mendadak derajat kesadarah dan kewaspadaan dan
proses berpikir yang berakibat terjadinya disorientasi. Hampir semua penyakit
dan obat-obatan menyebabkan konfusi akut, yaitu:
 Hipoperfusi serebral (mis: hipotensi, infark miokardial, kondisi curah
jantung rendah, aritmia)
 Hipoxia serebral (mis: pneumonia, PPOK, gagal jantung kongestif, emboli
paru) atau hiperkarbia
 Dehidrasi (dehidrasi ringan , kekurangan volume intravascular)
 Gangguan elektrolit ( mis: hipo dan hipernatremia, hipo dan hipercalcemia,
hipo dan hipermagnesemia)
 Hipo dan hipercalcemia dan kondisi hiperosmolar
 Infeksi ( mis: sistitis, urosepsis, pneumonia, peritonitis, dan infeksi SSP
s2perti meningitis dan encephalitis)
 Demam atau hipotermia
 Nyeri atau ketidaknyamanan ( termasuk retensi urin atau konstipasi atau
impaksi fecal berat)
 Proses intrakranial (mis: stroke, hematoma subdural, neoplasma, infeksi)
 Intoksikasi atau “withdrawal states” (mis: alkohol, dan obat lainnya)
 Efek obat yang tidak diinginkan (mis: efek kolinergik sentral, antihistamin)
Daftar kemungkinan penyebab termasuk kondisi yang biasa terjadi pada lanjut
usia ini kemungkinan tidak menyeluruh. Pada kebanyakan kasus konfusi akut
atau delirium, tidak mungkin untuk mengidentifikasi atau memastikan
penyebab tunggalnya. Lebih sering, mengidentifikasi denga faktor-faltor
multipel yang mengakibatkan, membatu ataupun memperburuk konfusi.

Pada hakekatnya semua obat yang mempengaruhi fungsi SSP mempunyai


kemungkinan mengakibatkan konfusi:
 Obat-obatan Sedatif atau hinoptik (mis: benzodiazepine, barbiturat)
 Analgesik (mis: opiat, OAINS?)
 Penghambat histamin ( untuk gangguan GI, insomnia, pruritus, alergi)
 Agen antisekretorik ( obat-obatan yang menyerupai atropinik)
 Antidiare
 Agen inkontinensia
 Antidepresan trisiklik
 Antipsikotik ( mis: chlorpromazine, thioridazine, mesoridazine)
 Obat-obatan antiaritmia (mis: lidokain, prokainamid)
 obat-obatan antineoplasma
B. Dementia adalah suatu sindrom klinik yang meliputi hilangnya fungsi
intelektual dan ingatan sedemikian berat sehingga menyebabkan disfungsi
hidup sehari-hari. Perjalanannya bertahap dan tidak ada gangguan kesadaran.
Biasanya dementia tidak didiagnosis karena dianggap wajar oleh masyarakat.
Gangguan memori yang menurun tanpa perubahan fungsi kognitif dan ADL
dinamakan Mild Cognitive Impairment. Sebagian keadaan ini akan
berkembang menjadi dementia.
Diagnosis dementia ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan Mini
Mental State Examination dan penyebab pastinya dengan pemeriksaan patologi.
Dementia dibagi menjadi 4 golongan: dementia degeneratif primer/Alzheimer
(50-60%), dementia multi infark (10-20%), dementia reversibel/sebagian
reversibel (20-30%), dan gangguan lain (5-10%).
Penyebab dementia yang reversibel dapat dibuat matriks jembatan keledai
berikut:
D : drugs
E : emotional (emosi, depresi)
M : metabolik/endokrin
E : eye and ear (mata dan telinga)
N : nutrisi
T : tumor trauma
I : infeksi
A : arteriosklerosis
Prinsip tatalaksana dementia adalah optimalisasi fungsi pasien, mengenali dan
mengatasi komplikasi, rawat berkelanjutan, informasi pada keluarga, dan nasihat
pada keluarga.
3. Gangguan otonom
Pada lansia terjadi penurunan kolin-esterase dan aktivitas reseptor kolin
yang berakibat penurunan fungsi otonom.Beberapa gangguannya adalah hipotensi
ortostatik, gangguan pengaturan suhu, kandung kemih, gerakan esofagus dan usus
besar.
Hipotensi ortostatik adalah penurunan tekanan sistolik/diastolik sebanyak 20
mmHg pada saat berubah dari posisi tidur ke posisi tegak setelah 1-2 menit.Hal
ini terjadi akibat penurunan isi sekuncup jantung dan perpindahan darah ke posisi
bawah tubuh.Biasanya tidak menimbulkan gejala karena mekanisme kompensasi.
Namun pada lansia dapat terjadi adanya penurunan elastisitas pembuluh darah,
gangguan barorefleks akibat tirah baring lama, hipovolemia, hiponatremia,
pemberian obat hipotensif, atau penyakit SSP maupun neuropati lain (parkinson,
CVD, diabetes mellitus). Gejala bisa berupa penurunan kesadaran atau
jatuh.Penatalaksanaannya adalah meninggikan kepala waktu tidur.Terapi
farmakologis dapat menggunakan hormon mineralokortikoid, simpatomimetik,
atau vasokonstriktor lainnya seperti fluorokortison, kafein, pindolol.
Gangguan regulasi suhu juga ditemukan pada lansia sehingga mereka rentan
mengalami hipertermia maupun hipotermia.Hipertermia adalah suhu inti tubuh >
40,6oC, disfungsi saraf pusat hebat (psikosis, delirium, koma).Sementara itu
hipotermia adalah penurunan suhu inti tubuh di bawah 35oC.
4. Inkontinensia
Inkontinensia adalah pengeluaran urin (atau feses) tanpa disadari, dalam
jumlah dan frekuensi yang cukup sehingga mengakibatkan masalah gangguan
kesehatan atau sosial. Ini bukan konsekuensi normal dari pertambahan usia.
Penyebab inkontinensia berasal dari kelainan urologik (radang, batu, tumor),
kelainan neurologik (stroke, trauma medula spinalis, dementia), atau lainnya
(imobilisasi, lingkungan). Inkontinensia dapat akut di saat timbul penyakit atau
yang kronik/lama.
Inkontinensia akut yang biasanya reversibel dapat diformulasi dengan
akronim DRIP yang merupakan Delirium, Restriksi mobilitas retensi, Infeksi
inflamasi impaksi feses, Pharmasi poliuri. Juga dengan akronim DIAPPERS :
Delirium, Infection, Atrophic vaginitis/uretheritis, Pharmaceuticals, Physiologic
factor, Excess urine output, Restricted mobility, Stool impaction.
Inkontinensia menetap dapat terjadi akibat aktivitas detrusor berlebih (over
active bladder), aktivitas detrusor yang menurun (overflow), kegagalan uretra
(stress type), atau obstruksi uretra.
Tatalaksana inkontinensia urin meliputi behavioral training (bladder
training, pelvic floor exercise), farmakologis, pembedahan. Obat yang digunakan
dapat meliputi antikolinergik antispasmodik (imipramin) untuk tipe urgensi/stres,
α-adrenergik agonis (pseudoefedrin, fenilpropanolamin) untuk tipe stres atau
urgensi, estrogen agonis(oral/topikal) untuk tipe stres atau urgensi, kolinergik
agonis (betanekol), α-arendergik antagonis (terasozine) untuk tipe overflow atau
urgensi karena pembesaran prostat. Pembedahan meliputi juga kateterisasi
sementara (2-4 kali sehari) atau menetap.
5. Jatuh
Jatuh adalah kejadian tidak diharapkan dimana seorang jatuh dari tempat
yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah atau sama tingginya. Sebanyak
30% lansia ≥ 65 tahun mengalami jatuh. Kondisi jatuh dipengaruhi stabilitas
badan yang ditunjang oleh sistem sensorik (penglihatan, pendengaran, vestibuler,
proprioseptif), susunan saraf pusat, kognisi, dan fungsi muskuloskeletal. Ia juga
dipengaruhi faktor ekstrinsik seperti pengaruh obat dan kondisi lingkungan.
Penyebab jatuh ada beragam, antara lain kecelakaan, nyeri kepala dan atau
vertigo, hipotensi ortostatik, obat-obatan (diuretik, antihipertensi, antidepresan
trisiklik, sedatif, antipsikotik, hipoglikemk, alkohol), proses penyakit (aritmia,
TIA, stroke, parkinson), idiopatik, dan sinkop (drop attack, penurunan CBF).
Jatuh menimbulkan komplikasi perlukaan jaringan lunak dan fraktur
(terutama pelvis, kolum femoris), imobilisasi, disabilitas, risiko meninggal. Jatuh
perlu dicegah dengan identifikasi semua faktor risiko intrinsik maupun ekstrinsik,
penilaian pola berjalan dan keseimbangan (tes romberg), dan pemeriksaan rutin.
Setiap lansia selalu harus ditanyakan riwayat jatuh dan evaluasi status kesehatan.
Tatalaksana jatuh adalah pencegahan sesuai dengan etiologi yang dirasa memberi
risiko terjadinya jatuh.
6. Kelainan tulang dan patah tulang
Setiap tahun 0,5-1% dari berat tulang wanita pasca menopause dan pria >
80 tahun menurun. Penurunan ini timbul di bagian trabekula. Kelainan tulang
yang timbul dapat berupa osteoporosis, osteomalasia, osteomielitis, dan
keganasan tulang.
Patah tulang/fraktur pada usia lanjut terutama akibat osteoporosis, ada 3 jenis
yang terutama, yaitu fraktur sendi koksa (collum femoris), fraktur pergelangan
tangan (colles), dan kolumna vertebralis (crush, multipel, atau baji).
7. Dekubitus
Dekubitus adalah kerusakan kulit sampai jaringan di bawah kulit,
menembus otot sampai mengenai tulang akibat adanya penekanan pada suatu area
secara terus menerus sehingga timbul gangguan sirkulasi darah setempat.Ulkus
dekubitus terjadi terutama pada tonjolan tulang.Usia lanjut memiliki potensi
dekubitus karena jaringan lemak subkutan berkurang, jaringan kolagen dan elastis
berkurang, efisiensi kapiler pada kulit berkurang. Pada penderita imobil, tekanan
jaringan akan melebihi tekanan kapiler, sehingga timbul iskemi dan nekrosis.
Proses ini dipengaruhi oleh tekanan, daya regang, gesekan, dan kelembaban.
Semua pasien lansia yang imobil harus dinilai skala Norton untuk risiko
dekubitus.Skor di bawah 14 berkaitan dengan risiko tinggi timbulnya
ulkus.Pencegahan ulkus dapat dilakukan dengan membersihkan kulit, mengurangi
gesekan dan regangan dengan berpindah posisi, asupan gizi yang cukup, menjaga
kelembaban kulit.Perlu diingat komplikasi ulkus dekubitus adalah sepsis.

H. PENATALAKSANAAN GERIATRIC SYNDROME


Dalam merawat dan menatalaksana pasien geriatri tercakup dua komponen
penting yakni pendekatan tim dan P3G yang merupakan bagian comprehensive
geriatric management (CGM). Pendekatan paripurna pasien geriatri merupakan
prosedur pengkajian multidimensi. Diperlukan instrumen diagnostik yang bersifat
multidisiplin untuk mengumpulkan data medik, psikososial, kemampuan fungsional,
dan keterbatasan pasien usia lanjut. Pendekatan multidimensi berusaha untuk
menguraikan berbagai masalah pada pasien geriatri, mengidentifikasi semua aset
pasien, mengidentifikasi jenis pelayanan yang dibutuhkan, dan mengembangkan
rencana asuhan yang berorientasi pada kepentingan pasien. Pendekatan paripurna
pasien geriatri berbeda dengan pengkajian medik standar dalam tiga hal, yaitu fokus
pada pasien usia lanjut yang memiliki masalah kompleks; mencakup status
fungsional dan kualitas hidup; memerlukan tim yang bersifat interdisiplin (Soedjono,
2007). Berikut beberapa penatalaksanaan secara umum sindrom geriatrik,
diantaranya :
1. Pemberian asupan diet protein, vitamin C,D,E, & mineral yang cukup.
Orang usia lanjut umumnya mengonsumsi protein kurang dari angka kecukupan
gizi (AKG). Penelitian multisenter di 15 propinsi di Indonesia mendapatkan
bahwa 47% usia lanjut mengonsumsi protein kurang dari 80% AKG. Proporsi
protein yang adekuat merupakan faktor penting; bukan dalam jumlah besar pada
sekali makan. Hal penting lainnya adalah kualitas protein yang baik, yaitu protein
sebaiknya mengandung asam amino esensial. Leusin adalah asam amino esensial
dengan kemampuan anabolisme protein tertinggi sehingga dapat mencegah
sarkopenia. Leusin dikonversi menjadi hydroxy-methyl-butyrate (HMB).
Suplementasi HMB meningkatkan sintesis protein dan mencegah proteolisis
(Setiati et al, 2013)
2. Pengaturan olah raga secara teratur. Perlu pemantauan rutin kemampuan dasar
seperti berjalan, keseimbangan, fungsi kognitif. Aktivitas fisik dapat menghambat
penurunan massa dan fungsi otot dengan memicu peningkatan massa dan
kapasitas metabolik otot sehingga memengaruhi energy expenditure, metabolise
glukosa, dan cadangan protein tubuh. Resistance training merupakan bentuk
latihan yang paling efektif untuk mencegah sarkopenia dan dapat ditoleransi
dengan baik pada orang tua. Program resistance training dilakukan selama 30
menit setiap sesi, 2 kali seminggu (Waters et al, 2010). Aktivitas fisik tanpa
asupan nutrisi yang adekuat menyebabkan keseimbangan protein negatif dan
menyebabkan degradasi otot (Sullivan et al, 2009). Kombinasi resistance
training dengan intervensi nutrisi berupa asupan protein yang cukup dengan
kandungan leusin, khususnya HMB yang adekuat, merupakan intervensi terbaik
untuk memelihara kesehatan otot orang usia lanjut (Setiati et al, 2013)
3. Pencegahan infeksi dengan vaksin
4. Antisipasi kejadian yang dapat menimbulkan stres misalnya pembedahan elektif
dan reconditioning cepat setelah mengalami stres dengan renutrisi dan fisioterapi
individual (Setiati et al, 2011)
5. Terapi pengobatan pada pasien usia lanjut secara signifikan berbeda dari pasien
pada usia muda, karena adanya perubahan kondisi tubuh yang disebabkan oleh
usia, dan dampak yang timbul dari penggunaan obat-obatan yang digunakan
sebelumnya. Masalah polifarmasi pada pasien geriatri sulit dihindari dikarenakan
oleh berbagai hal yaitu penyakit yang diderita banyak dan biasanya kronis, obat
diresepkan oleh beberapa dokter, kurang koordinasi dalam pengelolaan, gejala
yang dirasakan pasien tidak jelas, pasien meminta resep, dan untuk
menghilangkan efek samping obat justru ditambah obat baru. Karena itu
diusulkan prinsip pemberian obat yang benar pada pasien geriatri dengan cara
mengetahui riwayat pengobatan lengkap, jangan memberikan obat sebelum
waktunya, jangan menggunakan obat terlalu lama, kenali obat yang digunakan,
mulai dengan dosis rendah, naikkan perlahan-lahan, obati sesuai patokan, beri
dorongan supaya patuh berobat dan hati-hati mengguakan obat baru (Setiati dkk.,
2006).
Penatalaksanaan Resiko Jatuh:
a. Perhatikan penggunaan alat bantu melihat (kacamata) dan alat bantu dengar
(earphone)
b. Evaluasi dan ciptakan lingkungan yang aman dan nyaman
c. Evaluasi kemampuan kognitif
d. Beri lansia alat bantu berjalan seperti hand rails, walkers, dsb
Penatalaksanaan Gangguan Tidur:
a. Tingkatkan aktifitas rutin setiap hari
b. Ciptakan lingkungan yang nyaman
c. Kurangi konsumsi kopi
d. Berikan benzodiazepine seperti Temazepam (7,5-15 mg)
e. Anti depresan seperti Trazadone untuk insomnia kronik
I. PENCEGAHAN GERIATRIC SYNDROME
Jenis pelayanan kesehatan terhadap lansia meliputi lima upaya kesehatan
yaitu: peningkatan (promotif), pencegahan (preventif), diagnosis dini dan
pengobatan, pembatasan kecacatan dan pemulihan.
1. Promosi (Promotif)
Upaya promotif merupakan tindakan secara langsung dan tidak langsung untuk
meningkatkan derajat kesehatan dan mencegah penyakit. Upaya perlindungan
kesehatan bagi lansia adalah sebagai berikut :
a. Mengurangi cedera, di lakukan dengan tujuan mengurangi kejadian jatuh,
mengurangi bahaya kebakaran dalam rumah, meningkatkan penggunaan alat
pengaman dan mengurangi kejadian keracunan makanan atau zat kimia.
b. Meningkatkan keamanan di tempat kerja yang bertujuan untuk mengurangi
terpapar dengan bahan-bahan kimia dan meningkatkan pengunaan sistem
keamanan kerja.
c. Meningkatkan perlindungan dari kualitas udara yang buruk, bertujuan untuk
mengurangi pengunaan semprotan bahan-bahan kimia, mengurangi radiasi di
rumah, meningkatkan pengolahan rumah tangga terhadap bahan berbahaya,
serta mengurangi kontaminasi makanan dan obat-obatan.
d. Meningkatkan perhatian terhadap kebutuhan gigi dan mutu yang bertujuan
untuk mengurangi karies gigi serta memelihara kebersihan gigi dan mulut.
2. Pencegahan (Preventif)
a. Melakukan pencegahan primer, meliputi pencegahan pada lansia sehat,
terdapat faktor risiko, tidak ada penyakit, dan promosi kesehatan. Jenis
pelayanan pencegahan primer adalah: program imunisasi, konseling, berhenti
merokok dan minum beralkohol, dukungan nutrisi, keamanan di dalam dan
sekitar rumah, manajemen stres, penggunaan medikasi yang tepat.
b. Melakukan pencegahan sekunder, meliputi pemeriksaan terhadap penderita
tanpa gejala dari awal penyakit hingga terjadi gejala penyakit belum tampak
secara klinis dan mengindap faktor risiko. Jenis pelayan pencegahan sekunder
antara lain adalah sebagai berikut: kontrol hipertensi, deteksi dan pengobatan
kangker, screening: pemeriksaan rektal, papsmear, gigi mulut dan lain-lain.
c. Melakukan pencegahan tersier, dilakukan sebelum terdapat gejala penyakit
dan cacat, mecegah cacat bertambah dan ketergantungan, serta perawatan
dengan perawatan di rumah sakit, rehabilisasi pasien rawat jalan dan
perawatan jangka panjang.
3. Diagnosis dini dan Pengobatan
a. Diagnosis dini dapat dilakukan oleh lansia sendiri atau petugas profesional
dan petugas institusi. Oleh lansia sendiri dengan melakukan tes dini, skrining
kesehatan, memanfaatkan Kartu Menuju Sehat (KMS) Lansia, memanfaatkan
Buku Kesehatan Pribadi (BKP), serta penandatangan kontrak kesehatan.
b. Pengobatan: Pengobatan terhadap gangguan sistem dan gejala yang terjadi
meliputi sistem muskuloskeletal, kardiovaskular, pernapasan, pencernaan,
urogenital, hormonal, saraf dan integumen.
DAFTAR PUSTAKA

Hidayat, A. Alimul. (2006). Pengantsar kebutuhan dasar manusia: aplikasi konsep dan
proses keperawatan. Jakarta: Salemba Medika Indonesia. hlm. 1335-1340.
Pranarka, Kris. 2011. Simposium geriatric syndromes:revisited. Semarang:Badan
Penerbit Universitas Diponegoro.
Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006. Jakarta:
Prima Medika
Setiati S, Harimurti K, Dewiasty E, Istanti R, Sari W, Verdinawati T. Prevalensi geriatric
giant dan kualitas hidup pada pasien usia lanjut yang dirawat di Indonesia:
penelitian multisenter. In Rizka A (editor). Comprehensive prevention &
management for the elderly: interprofessional geriatric care. Jakarta:
Perhimpunan Gerontologi Medik Indonesia; 2013:183.
Setiati S, Harimurti K, Dewiasty E, Istanti R, Yudho MN, Purwoko Y, et al. Profile of
nutrient intake in urban metropolitan and urban non-metropolitan Indonesia
elderly population and factors associated with energy intake: multi-centre study.
In press. 2013.
Setiati S, Rizka A. Sarkopenia dan frailty: sindrom geriatri baru. Dalam: Setiati S,
Dwimartutie N, Harimurti K, Dewiasty E (editor). Chronic degenerative disease
in elderly: update in diagnostic & management. Jakarta; Perhimpunan
Gerontologi Medik Indonesia; 2011:69-75.
Setiati S, Santoso B, Istanti R. Estimating the annual cost of overactive bladder in
Indonesia. Indones J Intern Med. 2006:38(4):189-92.
Stanley M, Patricia GB.2006. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Edisi 2. Jakarta: EGC
Waters DL, Baumgartner RN, Garry PJ, Vellas B. Advantages of dietary, exercise-
related, and therapeutic interventions to prevent and treat sarkopenia in adult
patients: an update. Clinical Interventions in Aging. 2010(5):259-70.
Marina L, Ionas L. Active aging and successful ageing as explicative models of positive
evolutions to elderly people. Scientific Annals of the ‘Al. I. Cuza’ University.
Sociology & Social Work. 2012;5:79-91.
Kanning M, Schlicht. A bio-psycho-social model of successful aging through the variable
“physical activity”. Eur Rev Aging Phys Act. 2008;5:79-87.

Anda mungkin juga menyukai