Anda di halaman 1dari 57

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Otak
Otak terdiri dari sel-sel otak yang disebut neuron, sel-sel penunjang yang
dikenal sebagai sel glia, cairan serebrospinal, dan pembuluh darah. Semua
orang memiliki jumlah neuron yang sama sekitar 100 miliar, tetapi koneksi di
antara berbagi neuron berbeda-beda. Pada orang dewasa, otak membentuk
hanya sekitar 2% (sekitar 1,4 kg) dari berat tubuh total, tetapi mengkonsumsi
sekitar 20% oksigen dan 50% glukosa yang ada di dalam darah arterial. Otak
diselimuti oleh selaput otak yang disebut selaput meninges. Selaput meninges
terdiri dari 3 lapisan :

1. Lapisan durameter yaitu lapisan yang terdapat di paling luar dari otak dan
bersifat tidak kenyal. Lapisan ini melekat langsung dengan tulang
tengkorak. Berfungsi untuk melindungi jaringan-jaringan yang halus dari
otak dan medula spinalis.
2. Lapisan araknoid yaitu lapisan yang berada dibagian tengah dan terdiri
dari lapisan yang berbentuk jaring laba-laba. Ruangan dalam lapisan ini
disebut dengan ruang subaraknoid dan memiliki cairan yang disebut cairan
serebrospinal. Lapisan ini berfungsi untuk melindungi otak dan medulla
spinalis dari guncangan.
3. Lapisan piameter yaitu lapisan yang terdapat paling dalam dari otak dan
melekat langsung pada otak. Lapisan ini banyak memiliki pembuluh darah.
Berfungsi untuk melindungi otak secara langsung.

Otak dibagi kedalam lima kelompok utama, yaitu :


1. Telensefalon (endbrain), terdiri atas: hemisfer serebri yang disusun oleh
korteks serebri, system limbic, basal ganglia dimana basal ganglia disusun
oleh nucleus kaudatum, nucleus klaustrum dan amigdala.
2. Diensefalon (interbrain) yang terbagi menjadi epitalamus, thalamus,
subtalamus, dan hipotalamus.
3. Mesensefalon (midbrain) corpora quadrigemina yang memiliki dua
kolikulus yaitu kolikulus superior dan kolikulus inferior dan terdiri dari
tegmentum yang terdiri dari nucleus rubra dan substansia nigra
4. Metensefalon (afterbrain), pons dan medulla oblongata
5. Cerebellum

Gambar 1. Struktur Otak

Kebutuhan energi oksigen jaringan otak adalah sangat tinggi oleh karena
out aliran darah ke otaj harus berjalan lancar. Adapun pembuluh darah yang
memperdarahi otak diantaranya adalah :
1. Arteri Karotis
Arteri karotis interna dan arteri karotis eksterna bercabang dari
arteri karotis komunis setinggi tulang rawan carotid. Arteri karotis kiri
langsung bercabang dari arkus aorta, tetapi arteri karotis komunis kanan
berasal dari arteri brakiosefalika. Arteri karotis eksterna memperdarahi
wajah, tiroid, lidah dan taring. Cabang dari arteri karotis eksterna yaitu
arteri meningea media, memperdarahi struktur-struktur di daerah wajah dan
mengirimkan satu cabang yang besar ke daerah duramater. Arteri karotis
interna sedikit berdilatasi tepat setelah percabangannya yang dinamakan
sinus karotikus. Dalam sinus karotikus terdapat ujung-ujung saraf
khususnya berespon terhadap perubahan tekanan darah arteri, yang secara
reflex mempertahankan suplai darah ke otak dan tubuh.
Arteri karotis interna masuk ke otak dan bercabang kira-kira
setinggi kiasma optikum, menjadi arteri serebri anterior dan media. Arteri
serebri media adalah lanjutan langsung dari arteri karotis interna. Setelah
masuk ke ruang subaraknoid dan sebelum bercabang-cabang arteri karotis
interna mempercabangkan arteri ophtalmica yang memperdarahi orbita.
Arteri serebri anterior menyuplai darah pada nucleus kaudatus, putamen,
bagian-bagian kapsula interna dan korpus kalosum dan bagian-bagian lobus
frontalis dan parietalis.
Arteri serebri media menyuplai darah untuk bagian lobus
temporalis, parietalis dan frontalis. Arteri ini sumber darah utama girus
presentralis dan postsentralis.
2. Arteri Vertebrobasilaris
Arteri vertebralis kiri dan kanan berasal dari arteri subclavia sisi yang sama.
Arteri subclavia kanan merupakan cabang dari arteri inomata, sedangkan
arteri subklavia kiri merupakan cabang langsung dari aorta. Arteri
vertebralis memasuki tengkorak melalui foramen magnum, setinggi
perbatasan pons dan medulla oblongata. Kedua arteri tersebut bersatu
membentuk arteri basilaris. Tugasnya mendarahi sebagian diensfalon,
sebaian lobus oksipitalis dan temporalis, apparatus koklearis dan organ-
prgan vestibular.
3. Sirkulus Arteriosus Willisi
Arteri karotis interna dan arteri vertebrobasilaris disatukan oleh pembuluh-
pembuluh darah anastomosis ya itu sirkulus arteriosus willisi.
Gambar 2. Vaskularisasi Otak

B. Fisiologi Otak
Ada dua hemisfer di otak yang memiliki masing-masing fungsi. Fungsi-
fungsi dari otak adalah otak merupakan pusat gerakan atau motorik, sebagai
pusat sensibilitas, sebagai area broca atau pusat bicara motorik, sebagai area
Wernicke atau pusat bicara sensoris, sebagai area visuosensoris, dan otak kecil
yang berfungsi sebagai pusat koordinasi serta batang otak yang merupakan
tempat jalan serabut-serabut saraf ke target organ.
Gambar 3. Area Broadmann

Otak dibagi menjadi beberapa bagian :


1. Cerebrum
Merupakan bagian otak yang memenuhi sebagian besar dari otak kita yaitu
7/8 dari otak. Mempunyai 2 bagian belahan otak yaitu otak besar belahan
kiri yang berfungsi mengatur kegaiatan organ tubuh bagian kanan.
Kemudian otak besar belahan kanan yang berfungsi mengatur kegiatan
organ tubuh bagian kiri. Bagian kortex cerebrum berwarna kelabu yang
banyak mengandung badan sel saraf. Sedangkan bagian medulla berwarna
putih yang bayak mengandung dendrite dan neurit. Bagian kortex dibagi
menjadi 3 area yaitu area sensorik yang menerjemahkan impuls menjadi
sensasi. Kedua adalah area motorik yang berfungsi mengendalikan
koordinasi kegiatan otot rangka. Ketiga adalah area asosiasi yang berkaitasn
dengan ingatan, memori, kecedasan, nalar/logika, kemauan. Mempunyai 4
macam lobus yaitu :
a. Lobus frontal berfungsi sebagai pusat penciuman, indera peraba.
b. Lobus temporal berungsi sebagai pusat pendengaran
c. Lobus oksipetal berfungsi sebagai pusat pengliihatan.
d. Lobus parietal berfungsi sebagai pusat ingatan, kecerdasan, memori,
kemauan, nalar, sikap.
2. Mesencephalon
Merupakan bagian otak yang terletak di depan cerebellum dan jembatan
varol. Berfungsi sebagai pusat pengaturanan refleks mata, refleks
penyempitan pupil mata dan pendengaran.
3. Diencephalaon
Merupakan bagian otak yang terletak dibagian atas dari batang otak dan di
depan mesencephalon. Terdiri dari talamus yang berfungsi untuk pemancar
bagi impuls yang sampai di otak dan medulla spinalis. Bagian yang kedua
adalah hipotalamus yang berfungsi sebagai pusat pengaturan suhu tubuh,
selera makan dan keseimbangan cairan tubuh, rasalapar, sexualitas, watak,
emosi.
4. Cerebellum
Merupakan bagian otak yang terletak di bagian belakang otak besar.
Berfungsi sebagai pusat pengaturan koordinasi gerakan yang disadari dan
keseimbangan tubuh serta posisi tubuh.Terdapat 2 bagian belahan yaitu
belahan cerebellum bagian kiri dan belahan cerebellum bagian kanan yang
dihubungkan dengan jembatan varoli yang berfungsi untuk menghantarkan
impuls dari otot-otot belahan kiri dan kanan. Cerebellum divaskularisasi
oleh sistem arteri vertebrobasiller yang juga memvaskularisasi batang otak.
Bagian cerebellum terdiri atas :
a. Archicerebellum, berfungsi untuk mempertahankan agar seseorang
berorientasi di dalam ruangan. Lesi di daerah ini akan menyebabkan
ataksia tubuh, linglung, dan terhuyung – huyung
b. Paleocerebellum, berfungsi untuk mengendalikan otot-otot antigravitasi
tubuh
c. Neocerebellum, berfungsi sebagai rem pada gerakan di bawah kemauan,
terutama gerakan yang memerlukan pengawasan dan penghentian serta
gerakan halus dari tangan. Lesi pada daerah ini akan menghasilkan
dismetria, tremor, dan ketidakmampuan untuk melakukan gerakan
mengubah-ubah yang cepat.
Gambar 4. Anatomi dan vaskularisasi cerebellum

5. Medulla oblongata
Disebut juga dengan sumsum lanjutan atau penghubung atau batang otak.
Terletak langsung setelah otak dan menghubungkana dengan medulla
spinalis, di depan cerebellum. Susunan kortexmya terdiri dari neeurit dan
dendrite dengan warna putih dan bagian medulla terdiri dari bdan sel saraf
dengan warna kelabu. Berfungsi sebagai pusat pengaturan ritme respirasi,
denyut jantung, penyempitan dan pelebaran pembuluh darah, tekanan darah,
gerak alat pencernaan, menelan, batuk, bersin,sendawa.
6. Medulla spinalis
Disebut denga sumsum tulang belakang dan terletak di dalam ruas-ruas
tulang belakang yaitu ruas tulang leher sampaia dengan tulang pinggang
yang kedua. Berfungsi sebagai pusat gerak refleks dan menghantarkan
impuls dari organ ke otak dan dari otak ke organ tubuh.

C. Pengertian Stroke
Menurut definisi WHO, stroke adalah suatu tanda klinis yang
berkembang secara cepat akibat gangguan otak fokal (atau global) dan gejala-
gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih dan dapat
menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain
vaskular. Secara garis besar stroke dibagi menjadi 2 golongan yaitu stroke yang
paling banyak dijumpai yaitu stroke non hemoragik dan stroke hemoragik.
Stroke non hemoragik disebabkan oleh trombus dan emboli, hal ini terjadi
akibat penutupan aliran darah ke sebagian otak tertentu, maka terjadi
serangkaian proses patologis pada daerah iskemik, sedangkan stroke
hemoragik terjadi apabila lesi vaskular intraserebrum mengalami ruptur
sehingga terjadi perdarahan ke dalam ruang subaraknoid atau langsung ke
dalam jaringan otak.
Tabel 1. Sindroma stroke

D. Pengertian Stroke dan Stroke Hemoragik


Menurut definisi WHO, stroke adalah suatu tanda klinis yang berkembang
secara cepat akibat gangguan otak fokal (atau global) dan gejala-gejala yang
berlangsung selama 24 jam atau lebih dan dapat menyebabkan kematian
tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskular. Stroke hemoragik adalah
stroke yang terjadi apabila lesi vaskular intraserebrum mengalami ruptur sehingga
terjadi perdarahan ke dalam ruang subaraknoid atau langsung ke dalam jaringan
otak [3]

1. Epidemiologi Stroke dan Stroke Hemoragik


Stroke merupakan penyebab kematian ketiga dan penyebab
utama kecacatan. [2] Sekitar 0,2% dari populasi barat terkena stroke setiap
tahunnya yang sepertiganyaakan meninggal pada tahun berikutnya dan
sepertiganya bertahan hidup dengan kekacauan , dan sepertiga
sisanya dapat sembuh kembali seperti semula. Dari keseluruhan
data di dunia, ternyata stroke sebagai penyebab kematian
mencapai 9% (sekitar 4 juta)dari total kematian per tahunnya.
[4]

Insidens kejadian stroke di Amerika Serikat yaitu 500.000


pertahunnya dimana 10-15% merupakan stroke hemoragik khususnya
perdarahan intraserebral. M o r t a l i t a s dan morbiditas pada stroke
h e m o r a g i k l e b i h b e r a t d a r i p a d a s t r o k e iskemik. Dilaporkan hanya
sekitar 20% saja pasien yang mendapatkan kembali
kemandirian fungsionalnya. S e l a i n itu ada sekitar 40-80%
a k h i r n y a meninggal pada 30 hari pertama setelah serangan dan sekitar 50%
meninggal pada 48 jam pertama. Penelitian menunjukkan dari 251 penderita
stroke, a d a 4 7 % wanita dan 53% kali-laki dengan rata-rata umur 69 tahun (78%)
berumur lebih dari 60 tahun. Pasien dengan umur lebih dari 75 tahun dan
berjenis kelamin laki-lakimenunjukkan outcome yang lebih buruk. [2]

2. Etiologi Stroke Hemoragik

Penyebab stroke hemoragik sangat beragam, yaitu:[5]


 Perdarahan intraserebral primer (hipertensif)
 Ruptur kantung aneurisma
 Ruptur malformasi arteri dan vena
 Trauma (termasuk apopleksi tertunda pasca trauma)
 Kelainan perdarahan seperti leukemia, anemia aplastik, ITP,
gangguan fungsi hati, komlikasi obat trombolitik atau anti
koagulan, hipofibrinogenemia, dan hemofilia.
 Perdarahan primer atau sekunder dari tumor otak.
 Septik embolisme, myotik aneurisma
 Penyakit inflamasi pada arteri dan vena
 Amiloidosis arteri
 O b a t v a s o p r e s s o r, k o k a i n , h e r p e s s i m p l e k s e n s e f a l i t i s ,
d i s e k s i a r t e r i veretbral, dan acute necrotizing haemorrhagic encephalitis

3. Faktor Resiko Stroke Hemoragik


Faktor yang berperan dalam meningkatkan resiko terjadinya stroke
hemoragik dijelaskan dalam table berikut : [6]
Faktor Resiko Keterangan
Umur Umur merupakan faktor risiko yang paling kuat untuk stroke.
Sekitar 30% dari stroke terjadi sebelum usia 65; 70% terjadi pada
mereka yang 65 ke atas. Risiko stroke adalah dua kali ganda untuk
setiap 10 tahun di atas 55 tahun.
Hipertensi Risiko stroke berkaitan dengan tingkat sistolik hipertensi. Hal ini
berlaku untuk kedua jenis kelamin, semua umur, dan untuk resiko
perdarahan, atherothrombotik, dan stroke lakunar, menariknya,
risiko stroke pada tingkat hipertensi sistolik kurang dengan
meningkatnya umur, sehingga ia menjadi kurang kuat, meskipun
masih penting dan bisa diobati, faktor risiko ini pada orang tua.
Seks Infark otak dan stroke terjadi sekitar 30% lebih sering pada laki-laki
berbanding perempuan, perbedaan seks bahkan lebih tinggi sebelum
usia 65.
Riwayat keluarga Terdapat lima kali lipat peningkatan prevalensi stroke antara
kembar monozigotik dibandingkan dengan pasangan kembar laki-
laki dizigotik yang menunjukkan kecenderungan genetik untuk
stroke. Pada 1913 penelitian kohort kelahiran Swedia menunjukkan
tiga kali lipat peningkatan kejadian stroke pada laki-laki yang ibu
kandungnya meninggal akibat stroke, dibandingkan dengan laki-laki
tanpa riwayat ibu yang mengalami stroke. Riwayat keluarga juga
tampaknya berperan dalam kematian stroke antara populasi
Kaukasia kelas menengah atas di California.
Diabetes mellitus Setelah faktor risiko stroke yang lain telah dikendalikan, diabetes
meningkatkan risiko stroke tromboemboli sekitar dua kali lipat
hingga tiga kali lipat berbanding orang-orang tanpa diabetes.
Diabetes dapat mempengaruhi individu untuk mendapat iskemia
serebral melalui percepatan aterosklerosis pembuluh darah yang
besar, seperti arteri koronari, arteri karotid atau dengan, efek lokal
pada mikrosirkulasi serebral.
Penyakit jantung Individu dengan penyakit jantung dari jenis apa pun memiliki lebih
dari dua kali lipat risiko stroke dibandingkan dengan mereka yang
fungsi jantungnya normal.

Penyakit Arteri koroner :


Indikator kuat kedua dari keberadaan penyakit difus vaskular
aterosklerotik dan potensi sumber emboli dari thrombi mural karena
miocard infarction.

Gagal Jantung kongestif, penyakit jantung hipertensi :


Berhubungan dengan meningkatnya kejadian stroke
Fibrilasi atrial :
Sangat terkait dengan stroke emboli dan fibrilasi atrial
karena penyakit jantung rematik; meningkatkan risiko stroke
sebesar 17 kali.

Lainnya :
Berbagai lesi jantung lainnya telah dikaitkan dengan stroke, seperti
prolaps katup mitral, patent foramen ovale, defek septum atrium,
aneurisma septum atrium, dan lesi aterosklerotik dan trombotik dari
ascending aorta.
Merokok Beberapa laporan, termasuk meta-analisis angka studi,
menunjukkan bahwa merokok jelas menyebabkan peningkatan
risiko stroke untuk segala usia dan
kedua jenis kelamin, tingkat risiko berhubungan dengan jumlah
batang rokok yang dihisap, dan penghentian merokok mengurangi
risiko, dengan resiko kembali seperti bukan perokok dalam masa
lima tahun setelah penghentian.
Peningkatan Penigkatan viskositas menyebabkan gejala stroke ketika hematokrit
hematokrit melebihi 55%. Penentu utama viskositas darah keseluruhan adalah
dari isi sel darah merah;
plasma protein, terutamanya fibrinogen, memainkan peranan
penting. Ketika meningkat viskositas hasil dari polisitemia,
hyperfibrinogenemia, atau paraproteinemia, biasanya menyebabkan
gejala umum, seperti sakit kepala, kelesuan, tinnitus, dan
penglihatan kabur. Infark otak fokal dan oklusi vena retina jauh
kurang umum, dan dapat mengikuti disfungsi trombosit akibat
trombositosis. Perdarahan Intraserebral dan subarachnoid kadang-
kadang dapat terjadi.
Peningkatan Tingkat fibrinogen tinggi merupakan faktor risiko untuk stroke
tingkat fibrinogen trombotik. Kelainan sistem pembekuan darah juga telah dicatat,
dan kelainan seperti antitrombin III dan kekurangan protein C serta protein S dan
system pembekuan berhubungan dengan vena thrombotic.
Penyalahgunaan Obat yang telah berhubungan dengan stroke termasuk
obat methamphetamines, norepinefrin, LSD, heroin, dan kokain.
Amfetamin menyebabkan sebuah vaskulitis nekrosis yang dapat
mengakibatkan pendarahan petechial menyebar, atau fokus bidang
iskemia dan infark. Heroin dapat timbulkan sebuah hipersensitivitas
vaskular menyebabkan alergi . Perdarahan subarachnoid dan
difarction otak telah dilaporkan setelah penggunaan kokain.
Hiperlipidemia Meskipun tingkat kolesterol tinggi telah jelas berhubungan dengan
penyakit jantung koroner, mereka sehubungan dengan stroke kurang
jelas. Peningkatan kolesterol tidak muncul untuk menjadi faktor
risiko untuk aterosklerosis karotis, khususnya pada laki-laki di
bawah 55 tahun. Kejadian hiperkolesterolemia menurun dengan
bertambahnya usia. Kolesterol berkaitan dengan perdarahan
intraserebral atau perdarahan subarachnoid. Tidak ada hubungan
yang jelas antara tingkat kolesterol dan infark lakunar.
Kontrasepsi oral Pil KB, estrogen tinggi yang dilaporkan meningkatkan risiko stroke
pada wanita muda. Penurunan kandungan estrogen menurunkan
masalah ini, tetapi tidak dihilangkan sama sekali. Ini adalah faktor
risiko paling kuat pada wanita yang lebih dari 35 tahun . Mekanisme
diduga meningkat koagulasi, karena stimulasi estrogen tentang
produksi protein liver, atau jarang penyebab autoimun
Diet Konsumsi alkohol :
Ada peningkatan risiko infark otak, dan perdarahan subarakhnoid
dikaitkan dengan penyalahgunaan alkohol pada orang dewasa
muda. Mekanisme dimana etanol dapat menghasilkan stroke
termasuk efek pada darah tekanan, platelet, osmolalitas plasma,
hematokrit, dan sel-sel darah merah. Selain itu, alkohol bisa
menyebabkan miokardiopati, aritmia, dan perubahan di darah aliran
otak dan autoregulasi.

Kegemukan :
Diukur dengan berat tubuh relatif atau body mass indexs, obesitas
telah secara konsisten meramalkan berikutnya
stroke. Asosiasi dengan stroke dapat dijelaskan sebagian oleh
adanya hipertensi dan diabetes. Sebuah berat relatif lebih dari 30%
di atas rata-rata kontributor independen ke-atherosklerotik infark
otak berikutnya.
Infeksi Infeksi meningeal dapat mengakibatkan infark serebral melalui
pengembangan perubahan inflamasi dalam dinding pembuluh darah.
Sifilis meningovaskular dan mucormycosis dapat menyebabkan
arteritis otak dan infark.
Sirkadian dan Variasi sirkadian dari stroke iskemik, puncaknya antara pagi dan
faktor musim siang hari. Hal ini telah menimbulkan hipotesis bahwa perubahan
diurnal fungsi platelet dan fibrinosis mungkin relevan untuk stroke.
Hubungan antara variasi iklim musiman dan stroke iskemik telah
didalihkan. Peningkatan dalam arahan untuk infark otak diamati di
Iowa. Suhu lingkungan rata-rata menunjukkan korelasi negatif
dengan kejadian cerebral infark di Jepang. Variasi suhu musiman
telah berhubungan dengan resiko lebih tinggi cerebral infark dalam
usia 40-64 tahun pada penderita yang nonhipertensif, dan pada
orang dengan kolesterol serum bawah 160mg/dL.

4. Patogenesis Stroke Hemoragik

A. Perdarahan Intraserebral
Perdarahan intraserebral paling sering terjadi ketika tekanan darah tinggi
kronis melemahkan arteri kecil, menyebabkannya robek. Penggunakan kokain
atau amfetamin dapat menyebabkan tekanan darah dan perdarahan sementara tapi
sangat tinggi. Pada beberapa orang tua, sebuah protein abnormal yang disebut
amiloid terakumulasi di arteri otak. Akumulasi ini (disebut angiopati amiloid)
melemahkan arteri dan dapat menyebabkan perdarahan.[6]
Penyebab umum yang kurang termasuk kelainan pembuluh darah saat
lahir, luka, tumor, peradangan pembuluh darah (vaskulitis), gangguan perdarahan,
dan penggunaan antikoagulan dalam dosis yang terlalu tinggi. Pendarahan
gangguan dan penggunaan antikoagulan meningkatkan resiko kematian dari
perdarahan intraserebral.[6]

B. Perdarahan Subaraknoid
Perdarahan subaraknoid biasanya hasil dari cedera kepala. Namun,
perdarahan karena cedera kepala menyebabkan gejala yang berbeda dan tidak
dianggap sebagai stroke.[6]
Perdarahan subaraknoid dianggap stroke hanya jika terjadi secara spontan
yaitu, ketika perdarahan tidak hasil dari kekuatan-kekuatan eksternal, seperti
kecelakaan atau jatuh. Sebuah perdarahan spontan biasanya hasil dari pecahnya
aneurisma mendadak di sebuah arteri otak, yaitu pada bagian aneurisma yang
menonjol di daerah yang lemah dari dinding arteri itu.[6]
Aneurisma biasanya terjadi di percabangan arteri. Aneurisma dapat
muncul pada saat kelahiran (bawaan), atau dapat berkembang kemudian, yaitu
setelah bertahun-tahun dimana tekanan darah tinggi melemahkan dinding arteri.
Kebanyakan perdarahan subaraknoid adalah hasil dari aneurisma kongenital.7
Mekanisme lain yang kurang umum adalah perdarahan subaraknoid dari
pecahnya koneksi abnormal antara arteri dan vena (malformasi arteri) di dalam
atau di sekitar otak. Sebuah malformasi arteri dapat muncul pada saat kelahiran,
tetapi biasanya hanya diidentifikasi jika gejala berkembang. Jarang sekali suatu
bentuk bekuan darah pada katup jantung yang terinfeksi, perjalanan (menjadi
emboli) ke arteri yang memasok otak, dan menyebabkan arteri menjadi meradang.
arteri kemudian dapat melemah dan pecah.[6]

5. Patofisiologi Stroke Hemoragik

Penghentian total aliran darah ke otak menyebabkan hilangnya kesadaran


dalam waktu 15-20 detik dan kerusakan otak yang irreversibel terjadi setelah tujuh
hingga sepuluh menit. Penyumbatan pada satu arteri menyebabkan gangguan di
area otak yang terbatas (stroke). Mekanisme dasar kerusakan ini adalah selalu
defisiensi energi yang disebabkan oleh iskemia. Perdarahan juga menyebabkan
iskemia dengan menekan pembuluh darah di sekitarnya.[7]
Pembengkakan sel, pelepasan mediator vasokonstriktor, dan penyumbatan
lumen pembuluh darah oleh granulosit kadang-kadang mencegah reperfusi,
meskipun pada kenyataannya penyebab primernya telah dihilangkan. Kematian
sel menyebabkan inflamasi, yang juga merusak sel di tepi area iskemik
(penumbra). Gejala ditentukan oleh tempat perfusi yang terganggu, yakni daerah
yang disuplai oleh pembuluh darah tersebut.[7]
Penyumbatan pada arteri serebri media yang sering terjadi menyebabkan
kelemahan otot dan spastisitas kontralateral, serta defisit sensorik (hemianestesia)
akibat kerusakan girus lateral presentralis dan postsentralis. Akibat selanjutnya
adalah deviasi okular, hemianopsia, gangguan bicara motorik dan sensorik,
gangguan persepsi spasial, apraksia, dan hemineglect.[7]
Penyumbatan arteri serebri anterior menyebabkan hemiparesis dan defisit
sensorik kontralateral, kesulitan berbicara serta apraksia pada lengan kiri jika
korpus kalosum anterior dan hubungan dari hemisfer dominan ke korteks motorik
kanan terganggu. Penyumbatan bilateral pada arteri serebri anterior menyebabkan
apatis karena kerusakan dari sistem limbik.[7]
Penyumbatan arteri serebri posterior menyebabkan hemianopsia
kontralateral parsial dan kebutaan pada penyumbatan bilateral. Selain itu, akan
terjadi kehilangan memori.[7]
Penyumbatan arteri karotis atau basilaris dapat menyebabkan defisit di
daerah yang disuplai oleh arteri serebri media dan anterior. Jika arteri koroid
anterior tersumbat, ganglia basalis (hipokinesia), kapsula interna (hemiparesis),
dan traktus optikus (hemianopsia) akan terkena. Penyumbatan pada cabang arteri
komunikans posterior di talamus terutama akan menyebabkan defisit sensorik.[7]
Penyumbatan total arteri basilaris menyebabkan paralisis semua
eksteremitas dan otot-otot mata serta koma. Penyumbatan pada cabang arteri
basilaris dapat menyebabkan infark pada serebelum, mesensefalon, pons, dan
medula oblongata. Efek yang ditimbulkan tergantung dari lokasi kerusakan:[7]
 Pusing, nistagmus, hemiataksia (serebelum dan jaras aferennya, saraf
vestibular).
 Penyakit Parkinson (substansia nigra), hemiplegia kontralateral dan
tetraplegia (traktus piramidal).
 Hilangnya sensasi nyeri dan suhu (hipestesia atau anastesia) di bagian
wajah ipsilateral dan ekstremitas kontralateral (saraf trigeminus [V] dan
traktus spinotalamikus).
 Hipakusis (hipestesia auditorik; saraf koklearis), ageusis (saraf traktus
salivarus), singultus (formasio retikularis).
 Ptosis, miosis, dan anhidrosis fasial ipsilateral (sindrom Horner, pada
kehilangan persarafan simpatis).
 Paralisis palatum molle dan takikardia (saraf vagus [X]). Paralisis otot
lidah (saraf hipoglosus [XII]), mulut yang jatuh (saraf fasial [VII]),
strabismus (saraf okulomotorik [III], saraf abdusens [V]).
 Paralisis pseudobulbar dengan paralisis otot secara menyeluruh
(namun kesadaran tetap dipertahankan).

6. Gejala Klinis Stroke Hemoragik


Gejala klinis stroke ada berbagai macam, diantaranya adalah ditemukan
perdarahan intraserebral (ICH) yang dapat dibedakan secara klinis dari stroke
iskemik, hipertensi biasanya ditemukan, tingkat kesadaran yang berubah atau
koma lebih umum pada stroke hemoragik dibandingkan dengan stroke iskemik.
Seringkali, hal ini disebabkan peningkatan tekanan intrakranial. Meningismus
dapat terjadi akibat adanya darah dalam ventrikel.[2]
Defisit neurologis fokal. Jenis defisit tergantung pada area otak yang
terlibat. Jika belahan dominan (biasanya kiri) terlibat, suatu sindrom yang terdiri
dari hemiparesis kanan, kerugian hemisensory kanan, meninggalkan tatapan
preferensi, bidang visual kana terpotong, dan aphasia mungkin terjadi. Jika
belahan nondominant (biasanya kanan) terlibat, sebuah sindrom hemiparesis kiri,
kerugian hemisensory kiri, preferensi tatapan ke kanan, dan memotong bidang
visual kiri. Sindrom belahan nondominant juga dapat mengakibatkan pengabaian
dan kekurangan perhatian pada sisi kiri.[2]
Jika cerebellum yang terlibat, pasien beresiko tinggi untuk herniasi dan
kompresi batang otak. Herniasi bisa menyebabkan penurunan cepat dalam tingkat
kesadaran, apnea, dan kematian. Tanda-tanda lain dari keterlibatan cerebellar atau
batang otak antara lain: ekstremitas ataksia, vertigo atau tinnitus, mual dan
muntah, hemiparesis atau quadriparesis, hemisensori atau kehilangan sensori dari
semua empat anggota, gerakan mata yang mengakibatkan kelainan diplopia atau
nistagmus, kelemahan orofaringeal atau disfagia, wajah ipsilateral dan
kontralateral tubuh.[2]
A. Perdarahan Intraserebral
Sebuah perdarahan intraserebral dimulai tiba-tiba. Di sekitar setengah dari jumlah
penderita, serangan dimulai dengan sakit kepala parah, sering selama aktivitas.
Namun, pada orang tua, sakit kepala mungkin ringan atau tidak ada. Gejala
disfungsi otak menggambarkan perkembangan yang terus memburuk sebagai
perdarahan. Beberapa gejala, seperti kelemahan, kelumpuhan, hilangnya sensasi,
dan mati rasa, sering hanya mempengaruhi satu sisi tubuh. Orang mungkin tidak
dapat berbicara atau menjadi bingung. Visi dapat terganggu atau hilang. Mata
dapat menunjukkan arah yang berbeda atau menjadi lumpuh. Mual, muntah,
kejang, dan hilangnya kesadaran yang umum dan dapat terjadi dalam beberapa
detik untuk menit.[8]

B. Perdarahan Subaraknoid
Sebelum robek, aneurisma yang biasanya tidak menimbulkan gejala kecuali
menekan pada saraf atau kebocoran sejumlah kecil darah, biasanya sebelum pecah
besar (yang menyebabkan sakit kepala), menghasilkan tanda-tanda peringatan,
seperti berikut:[8]
 Sakit kepala, yang mungkin luar biasa tiba-tiba dan parah (kadang-kadang
disebut sakit kepala halilintar)
 Sakit pada mata atau daerah fasial
 Penglihatan ganda
 Kehilangan penglihatan tepi
Tanda-tanda peringatan dapat terjadi menit ke minggu sebelum pecahnya
aneurisma. Individu harus melaporkan setiap sakit kepala yang tidak biasa ke
dokter segera.[8]
Aneurisma yang pecah biasanya menyebabkan sakit kepala, tiba-tiba parah
dan mencapai puncak dalam beberapa detik. Hal ini sering diikuti dengan
kehilangan kesadaran singkat. Hampir setengah dari orang yang terkena
meninggal sebelum mencapai rumah sakit. Beberapa orang tetap berada dalam
koma atau tidak sadar dan sebagian lainnya bangun, merasa bingung, dan
mengantuk. Dalam beberapa jam atau bahkan menit, penderita mungkin menjadi
tidak responsif dan sulit untuk dibangunkan. [8]
Dalam waktu 24 jam, darah dan cairan serebrospinal di sekitar otak
mengiritasi lapisan jaringan yang menutupi otak (meninges), menyebabkan leher
kaku serta sakit kepala terus, sering dengan muntah, pusing, dan nyeri pinggang. [2]

Sekitar 25% dari orang yang mengalami gejala-gejala yang


mengindikasikan kerusakan pada bagian tertentu dari otak, seperti berikut: [2,8]
 Kelemahan atau kelumpuhan pada satu sisi tubuh (paling umum)
 Kehilangan sensasi pada satu sisi tubuh
 Kesulitan memahami dan menggunakan bahasa
Gangguan berat dapat berkembang dan menjadi permanen dalam beberapa
menit atau jam. Demam adalah gejala umum selama 5 sampai 10 hari pertama.
Sebuah perdarahan subaraknoid dapat menyebabkan beberapa masalah serius
lainnya, seperti: [2,8]
 Hydrocephalus: Dalam waktu 24 jam, darah dari perdarahan subaraknoid
dapat membeku. Darah beku dapat mencegah cairan di sekitar otak
(cairan serebrospinal) dari pengeringan seperti biasanya tidak. Akibatnya,
darah terakumulasi dalam otak, peningkatan tekanan dalam tengkorak.
Hydrocephalus mungkin akan menyebabkan gejala seperti sakit kepala,
mengantuk, kebingungan, mual, dan muntah-muntah dan dapat
meningkatkan risiko koma dan kematian.
 Vasospasme: Sekitar 3 sampai 10 hari setelah pendarahan itu, arteri di otak
dapat kontrak (kejang), membatasi aliran darah ke otak. Kemudian,
jaringan otak tidak mendapatkan oksigen yang cukup dan dapat mati, seperti
pada stroke iskemik. Vasospasm dapat menyebabkan gejala mirip dengan
stroke iskemik, seperti kelemahan atau hilangnya sensasi pada satu sisi
tubuh, kesulitan menggunakan atau memahami bahasa, vertigo, dan
koordinasi terganggu.
 Pecah kedua: Kadang-kadang pecah kedua terjadi, biasanya dalam
seminggu.
7. Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang Stroke Hemoragik
Diagnosis stroke dapat ditegakkan berdasarkan riwayat dan keluhan utama
pasien. Beberapa gejala/tanda yang mengarah kepada diagnosis stroke antara lain:
hemiparesis, gangguan sensorik satu sisi tubuh, hemianopia atau buta mendadak,
diplopia. Vertigo, afasia, disfagia, disartria, ataksia, kejang atau penurunan
kesadaran yang keseluruhannya terjadi secara mendadak. [1]
Pada manifestasi perdarahan intraserebral, terdapat pembagian
berdasarkan Luessenhop et al. Pembagian ini juga berguna dalam menentukan
prognosis pada pasien stroke dengan perdarahan intraserebral.[9]

Khusus untuk manifestasi perdarahan subaraknoid, pada banyak studi


mengenai perdarahan subaraknoid ini dipakai sistem skoring untuk menentukan
berat tidaknya keadaan perdarahan subaraknoid ini dan dihubungkan dengan
keluaran pasien. [10]
Sistem grading yang dipakai antara lain :

 Hunt & Hess Grading of Sub-Arachnoid Hemorrhage


Grade Kriteria
I Asimptomatik atau minimal sakit keoala atau leher kaku
II Sakit kepala sedang hingga berat, kaku kuduk, tidak ada defisit
neurologis
III Mengantuk, kebingungan, atau gejala fokal ringan
IV Stupor, hemiparese sedang hingga berat, kadang ada gejala
deselerasi awal
V Koma

 WFNS SAH grade


WFNS grade GCS Score Major facal deficit
0
1 15 -
2 13-14 -
3 13-14 +
4 7-12 + or -
5 3-6 + or -

Sistem skoring pada no 1 dan 2 dipakai pada kasus SAH primer akibat
rupturnya aneurisma. [10]
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mendukung diagnosis stroke dan
menyingkirkan diagnosis bandingnya. Laboratorium yang dapat dilakukan pada
penderita stroke diantaranya adalah hitung darah lengkap, profil pembekuan
darah, kadar elektrolit, dan kadar serum glukosa. [2]
Pemeriksaan pencitraan juga diperlukan dalam diagnosis. Pencitraan otak
adalah langkah penting dalam evaluasi pasien dan harus didapatkan dalam basis
kedaruratan. Pencitraan otak membantu dalam diagnosis adanya perdarahan, serta
dapat menidentifikasi komplikasi seperti perdarahan intraventrikular, edem otak,
dan hidrosefalus. Baik CT non kontras ataupun MRI otak merupakan pilihan yang
dapat digunakan.2
CT non kontras otak dapat digunakan untuk membedakan stroke
hemoragik dari stroke iskemik. Pencitraan ini berguna untuk membedakan stroke
dari patologi intrakranial lainnya. CT non kontras dapat mengidentifikasi secara
virtual hematoma yang berdiameter lebih dari 1 cm.2
MRI telah terbukti dapat mengidentifikasi stroke lebih cepat dan lebih bisa
diandalkan daripada CT scan, terutama stroke iskemik. MRI dapat
mengidentifikasi malformasi vaskular yang mendasari atau lesi yang
menyebabkan perdarahan.2
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah elektrokardiogram (EKG)
untuk memulai memonitor aktivitas hantung. Disritmia jantung dan iskemia
miokard memiliki kejadian signifikan dengan stroke.2
Oleh karena tidak seluruh Rumah Sakit memiliki alat-alat di atas, maka
untuk memudahkan pemeriksaan dapat dilakukan dengan sistem lain, misalnya
sistem skoring yaitu sistem yang berdasarkan gejala klinis yang ada pada saat
pasien masuk Rumah Sakit. Sistem skoring yang sering digunakan antara lain:

Siriraj Hospital Score [11]

Versi orisinal:
= (0.80 x kesadaran) + (0.66 x muntah) + (0.33 x sakit kepala) + (0.33x tekanan darah
diastolik) – (0.99 x atheromal) – 3.71.

Versi disederhanakan:
= (2.5 x kesadaran) + (2 x muntah) + ( 2 x sakit kepala) + (0.1 x tekanan darah diastolik) – (3
x atheroma) – 12.

Kesadaran:
Sadar = 0; mengantuk, stupor = 1; semikoma, koma = 2
Muntah: tidak = 0 ; ya = 1
Sakit kepala dalam 2 jam: tidak = 0 ; ya = 1
Stroke dapat didiagnosa banding dengan penyakit-penyakit lain seperti:
ensefalitis, meningitis, migrain, neoplasma otak, hipernatremia, stroke iskemik,
perdarahan subaraknoid, hematoma subdural, kedaruratan hipertensif,
hipoglikemia, labirinitis, dan Transient Ischemic Attack (TIA).2

8. Penatalaksanaan Stroke Hemoragik

A. Penatalaksanaan di Ruang Gawat Darurat


1. Evaluasi cepat dan diagnosis
2. Terapi umum (suportif)
a. stabilisai jalan napas dan pernapasan
b. stabilisasi hemodinamik/sirkulasi
c. pemeriksaan awal fisik umum
d. pengendalian peninggian TIK
e. penanganan transformasi hemoragik
f. pengendalian kejang
g. pengendalian suhu tubuh
h. pemeriksaan penunjang

B. Penatalaksanaan Stroke Perdarahan Intra Serebral (PIS)


Terapi medik pada PIS akut:
a. Terapi hemostatik 1
 Eptacog alfa (recombinant activated factor VII [rF VIIa]) adalah obat
haemostasis yang dianjurkan untuk pasien hemofilia yang resisten
terhadap pengobatan faktor VIII replacement dan juga bermanfaat
untuk penderita dengan fungsi koagulasi yang normal.
 Aminocaproic acid terbuktitidak mempunyai efek menguntungkan.
 Pemberian rF VIIa pada PIS pada onset 3 jam hasilnya adalah highly-
significant, tapi tidak ada perbedaan bila pemberian dilakukan setelah
lebih dari 3 jam.
b. Reversal of anticoagulation 1
 Pasien PIS akibat dari pemakaian warfarin harus secepatnya diberikan
fresh frozen plasma atau prothrombic complex concentrate dan vitamin
K.
 Prothrombic-complex concentrates suatu konsentrat dari vitamin K
dependent coagulation factor II, VII, IX, dan X, menormalkan INR
lebih cepat dibandingkan FFP dan dengan jumlah volume lebih rendah
sehingga aman untuk jantung dan ginjal.
 Dosis tunggal intravena rFVIIa 10-90µg/kg pada pasien PIS yang
memakai warfarin dapat menormalkan INR dalam beberapa menit.
Pemberian obat ini harus tetap diikuti dengan coagulation-factor
replacement dan vitamin K karena efeknya hanya beberapa jam.
 Pasien PIS akibat penggunaan unfractionated atau low moleculer
weight heparin diberikan Protamine Sulfat, dan pasien dengan
trombositopenia atau adanya gangguan fungsi platelet dapat diberikan
dosis tunggal Desmopressin, transfusi platelet, atau keduanya.
 Pada pasien yang memang harus menggunakan antikoagulan maka
pemberian obat dapat dimulai pada hari ke-7-14 setelah erjadinya
perdarahan.
c. Tindakan bedah pada PIS berdasarkan EBM
 Keputusan mengenai apakah dioperasi dan kapan dioperasi masih tetap
kontroversial.
 Tidak dioperasi bila: 1
 Pasien dengan perdarahan kecil (<10cm3) atau defisit neurologis
minimal.
 Pasien dengan GCS <4. Meskipun pasien GCS <4 dengan
perdarahan intraserebral disertai kompresi batang otak masih
mungkin untuk life saving.
 Dioperasi bila: 1
 Pasien dengan perdarahan serebelar >3cm dengan perburukan
klinis atau kompresi batang otak dan hidrosefalus dari obstruksi
ventrikel harus secepatnya dibedah.
 PIS dengan lesi struktural seperti aneurisma malformasi AV atau
angioma cavernosa dibedah jika mempunyai harapan outcome
yang baik dan lesi strukturnya terjangkau.
 Pasien usia muda dengan perdarahan lobar sedang s/d besar yang
memburuk.
 Pembedahan untuk mengevakuasi hematoma terhadap pasien usia
muda dengan perdarahan lobar yang luas (>50cm3) masih
menguntungkan.

B. Penatalaksanaan Perdarahan Sub Arakhnoid


1. Pedoman Tatalaksana 1
a. Perdarahan dengan tanda-tanda Grade I atau II (H&H PSA):
 Identifikasi yang dini dari nyeri kepala hebat merupakan petunjuk
untuk upaya menurunkan angka mortalitas dan morbiditas.
 Bed rest total dengan posisi kepala ditinggikan 30 dalam ruangan
dengan lingkungan yang tenang dan nyaman, bila perlu diberikan
O2 2-3 L/menit.
 Hati-hati pemakaian obat-obat sedatif.
 Pasang infus IV di ruang gawat darurat dan monitor ketat kelainan-
kelainan neurologi yang timbul.
b. Penderita dengan grade III, IV, atau V (H&H PSA), perawatan harus lebih
intensif: 1
 Lakukan penatalaksanaan ABC sesuai dengan protocol pasien di
ruang gawat darurat.
 Intubasi endotrakheal untuk mencegah aspirasi dan menjamin
jalang nafas yang adekuat.
 Bila ada tanda-tanda herniasi maka dilakukan intubasi.
 Hindari pemakaian sedatif yang berlebhan karena aan menyulitkan
penilaian status neurologi.

2. Tindakan untuk mencegah perdarahan ulang setelah PSA 1


a. Istirahat di tempat tidur secara teratur atau pengobatan dengan
antihipertensi saja tidak direkomendasikan untuk mencegah perdarahan
ulang setelah terjadi PSA, namun kedua hal tersebut sering dipakai dalam
pengobatan pasien dengan PSA.
b. Terapi antifibrinolitik untuk mencegah perdarahan ulang direkomendasikan
pada keadaan klinis tertentu. Contohnya pasien dengan resiko rendah untuk
terjadinya vasospasme atau memberikan efek yang bermanfaat pada
operasi yang ditunda.
c. Pengikatan karotis tidak bermanfaat pada pencegahan perdarahan ulang.
d. Penggunaan koil intra luminal dan balon masih uji coba.

3. Operasi pada aneurisma yang rupture 1


a. Operasi clipping sangat direkomendasikan untuk mengurangi perdarahan
ulang setelah rupture aneurisma pada PSA.
b. Walaupun operasi yang segera mengurangi resiko perdarahan ulang
setelah PSA, banyak penelitian memperlihatkan bahwa secara keseluruhan
hasil akhir tidak berbeda dengan operasi yang ditunda. Operasi yang
segera dianjurkan pada pasien dengan grade yang lebih baik serta lokasi
aneurisma yang tidak rumit. Untuk keadaan klinis lain, operasi yang
segera atau ditunda direkomendasikan tergantung pada situasi klinik
khusus.
c. Aneurisma yang incompletely clipped mempunyai resiko yang tinggi
untuk perdarahan ulang.

4. Tatalaksana pencegahan vasospasme 1


a. Pemberian nimodipin dimulai dengan dosis 1-2 mg/jam IV pada hari ke-3
atau secara oral 60 mg setiap 6 jam selama 21 hari. Pemakaian nimodipin
oral terbukti memperbaiki deficit neurologi yang ditimbulkan oleh
vasospasme. Calcium antagonist lainnya yang diberikan secara oral atau
intravena tidak bermakna.
b. Pengobatan dengan hyperdinamic therapy yang dikenal dengan triple H
yaitu hypervolemic-hypertensive-hemodilution, dengan tujuan
mempertahankan “cerebral perfusion pressure” sehingga dapat
mengurangi terjadinya iskemia serebral akibat vasospasme. Hati-hati
terhadap kemungkinan terjadinya perdarahan ulang pada pasien yang tidak
dilakukan embolisasi atau clipping.
c. Fibrinolitik intracisternal, antioksidan, dan anti-inflamasi tidak begitu
bermakna.
d. Angioplasty transluminal dianjurkan untuk pengobatan vasospasme pada
pasien-pasien yang gagal dengan terapi konvensional.
e. Cara lain untuk manajemen vasospasme adalah sebagai berikut:
 Pencegahan vasospasme:
 Nimodipine 60 mg per oral 4 kali sehari.
 3% NaCl IV 50 mL 3 kali sehari.
 Jaga keseimbangan cairan.
 Delayed vasospasm:
 Stop Nimodipine, antihipertensi, dan diuretika.
 Berikan 5% Albumin 250 mL IV.
 Pasang Swan-Ganz (bila memungkinkan), usahakan wedge
pressure 12-14 mmHg.
 Jaga cardiac index sekitar 4 L/menit/m2.
 Berikan Dobutamine 2-15 µg/kg/menit.
5. Antifibrinolitik
Obat-obat anti-fibrinolitik dapat mencegah perdarahan ulang. Obat-obat yang
sering dipakai adalah epsilon aminocaproic acid dengan dosis 36 g/hari atau
tranexamid acid dengan dosis 6-12 g/hari.1

6. Antihipertensi 1
a. Jaga Mean Arterial Pressure (MAP) sekitar 110 mmHg atau tekanan darah
sistolik (TDS) tidak lebih dari 160 dan tekanan darah diastolic (TDD) 90
mmHg (sebelum tindakan operasi aneurisma clipping).
b. Obat-obat antihipertensi diberikan bila TDS lebih dari 160 mmHg dan
TDD lebih dari 90 mmHg atau MAP diatas 130 mmHg.
c. Obat antihipertensi yang dapat dipakai adalah Labetalol (IV) 0,5-2
mg/menit sampai mencapai maksimal 20 mg/jam atau esmolol infuse
dosisnya 50-200 mcg/kg/menit. Pemakaian nitroprussid tidak danjurkan
karena menyebabkan vasodilatasi dan memberikan efek takikardi.
d. Untuk menjaga TDS jangan meurun (di bawah 120 mmHg) dapat diberikan
vasopressors, dimana hal ini untuk melindungi jaringan iskemik penumbra
yang mungkin terjadi akibat vasospasme.

7. Hiponatremi
Bila Natrium di bawah 120 mEq/L berikan NaCl 0,9% IV 2-3 L/hari. Bila perlu
diberikan NaCl hipertonik 3% 50 mL, 3 kali sehari. Diharapkan dapat terkoreksi
0,5-1 mEq/L/jam dan tidak melebihi 130 mEq/L dalam 48 jam pertama.1
Ada yang menambahkan fludrokortison dengan dosis 0,4 mg/hari oral atau
0,4 mg dalam 200 mL glukosa 5% IV 2 kali sehari. Cairan hipotonis sebaiknya
dihindari karena menyebabkan hiponatremi. Pembatasan cairan tidak dianjurkan
untuk pengobatan hiponatremi.1

8. Kejang
Resiko kejang pada PSA tidak selalu terjadi, sehingga pemberian antikonvulsan
tidak direkomendasikan secara rutin, hanya dipertimbangkan pada pasien-pasien
yang mungkin timbul kejang, umpamanya pada hematom yang luas, aneurisma
arteri serebri media, kesadaran yang tidak membaik. Akan tetapi untuk
menghindari risiko perdarahan ulang yang disebabkan kejang, diberikan anti
konvulsan sebagai profilaksis.1
Dapat dipakai fenitoin dengan dosis 15-20 mg/kgBB/hari oral atau IV.
Initial dosis 100 mg oral atau IV 3 kali/hari. Dosis maintenance 300-400
mg/oral/hari dengan dosis terbagi. Benzodiazepine dapat dipakai hanya untuk
menghentikan kejang.1
Penggunaan antikonvulsan jangka lama tidak rutin dianjurkan pada
penderita yang tidak kejang dan harus dipertimbangkan hanya diberikan pada
penderita yang mempunyai faktor-faktor risiko seperti kejang sebelumnya,
hematom, infark, atau aneurisma pada arteri serebri media.1

9. Hidrosefalus 1
a. Akut (obstruksi)
Dapat terjadi setelah hari pertama, namun lebih sering dalam 7 hari pertama.
Kejadiannya kira-kira 20% dari kasus, dianjurkan untuk ventrikulostomi
(atau drainase eksternal ventrikuler), walaupun kemungkinan risikonya
dapat terjadi perdarahan ulang dan infeksi.
b. Kronik (komunikan)
Sering terjadi setelah PSA. Dilakukan pengaliran cairan serebrospinal secara
temporer atau permanen seperti ventriculo-peritoneal shunt.

10. Terapi Tambahan 1


a. Laksansia (pencahar) iperlukan untuk melembekkan feses secara regular.
Mencegah trombosis vena dalam, dengan memakai stocking atau
pneumatic compression devices.
b. Analgesik:
 Asetaminofen ½-1 g/4-6 jam dengan dosis maksimal 4 g/hari.
 Kodein fosfat 30-60 mg oral atau IM per 4-6 jam.
 Tylanol dengan kodein.
 Hindari asetosal.
 Pada pasien dengan sangat gelisah dapat diberikan:
 Haloperidol IM 1-10 mg tiap 6 jam.
 Petidin IM 50-100 mg atau morfin SC atau IV 5-10 mg/4-6 jam.
 Midazolam 0,06-1,1 mg/kg/jam.
 Propofol 3-10 mg/kg/jam.
 Cegah terjadinya “stress ulcer” dengan memberikan:
 Antagonis H2
 Antasida
 Inhibitor pompa proton selama beberapa hari.
 Pepsid 20 mg IV 2 kali sehari atau zantac 50 mg IV 2 kali
sehari.
 Sucralfate 1 g dalam 20 mL air 3 kali sehari.
9. Komplikasi dan Prognosis Stroke Hemoragik
Peningkatan tekanan intrakranial dan herniasi adalah komplikasi yang
paling ditakutkan pada perdarahan intraserebral. Perburukan edem serebri sering
mengakibatkan deteoriasi pada 24-48 jam pertama. Perdarahan awal juga
berhubungan dengan deteorisasi neurologis, dan perluasan dari hematoma tersebut
adalah penyebab paling sering deteorisasi neurologis dalam 3 jam pertama. Pada
pasien yang dalam keadaan waspada, 25% akan mengalami penurunan kesadaran
dalam 24 jam pertama. Kejang setelah stroke dapat muncul. Selain dari hal-hal
yang telah disebutkan diatas, stroke sendiri adalah penyebab utama dari disabilitas
permanen.2
Prognosis bervariasi bergantung pada tingkap keparahan stroke dan lokasi
serta ukuran dari perdarahan. Skor dari Skala Koma Glasgow yang rendah
berhubungan dengan prognosis yang lebih buruk dan mortalitas yang lebih tinggi.
Apabila terdapat volume darah yang besar dan pertumbuhan dari volume
hematoma, prognosis biasanya buruk dan outcome fungsionalnya juga sangat
buruk dengan tingkat mortalitas yang tinggi. Adanya darah dalam ventrikel bisa
meningkatkan resiko kematian dua kali lipat. Pasien yang menggunakan
antikoagulasi oral yang berhubungan dengan perdarahan intraserebral juga
memiliki outcome fungsional yang buruk dan tingkat mortilitas yang tinggi.2

10. Pencegahan Stroke Hemoragik


Pencegahan primer pada stroke meliputi upaya memperbaiki gaya hidup dan
mengatasi berbagai faktor risiko. Upaya ini ditujukan pada orang sehat maupun
kelompok risiko tinggi yang berlum pernah terserang stroke. Beberapa
pencegahan yang dapat dilakukan adalah:1
 Mengatur pola makan yang sehat
 Melakukan olah raga yang teratur
 Menghentikan rokok
 Menhindari minum alkohol dan penyalahgunaan obat
 Memelihara berat badan yang layak
 Perhatikan pemakaian kontrasepsi oral bagi yang beresiko tinggi
 Penanganan stres dan beristirahat yang cukup
 Pemeriksaan kesehatan teratur dan taat advis dokter dalam hal diet dan obat
 Pemakaian antiplatelet
Pada pencehagan sekunder stroke, yang harus dilakukan adalah
pengendalian faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi, dan pengendalian faktor
risiko yang dapat dimodifikasi seperti hipertensi, diabetes mellitus, riwayat TIA,
dislipidemia, dan sebagainya.1

J. Perdarahan Intra Serebral

A. DEFINISI
Perdarahan intraserebral (PIS) adalah perdarahan yang terjadi di
otak yang disebabkan oleh pecahnya (ruptur) pada pembuluh darah
otak. Perdarahan dalam dapat terjadi di bagian manapun di otak.
Darah dapat terkumpul di jaringan otak, ataupun di ruang antara otak
dan selaput membran yang melindungi otak. Perdarahan dapat terjadi
hanya pada satu hemisfer (lobar intracerebral hemorrhage), atau
dapat pula terjadi pada struktur dari otak, seperti thalamus, basal
ganglia, pons, ataupun cerebellum (deep intracerebral hemorrhage).15

B. EPIDEMIOLOGI
Di seluruh dunia insiden perdarahan intraserebral berkisar 10
sampai 20 kasus per 100.000 penduduk dan meningkat seiring dengan
usia. Perdarahan intraserebral lebih sering terjadi pada pria daripada
wanita, terutama yang lebih tua dari 55 tahun, dan dalam populasi
tertentu, termasuk orang kulit hitam dan Jepang. Selama periode 20
tahun studi The National Health and Nutrition Examination Survey
Epidemiologic menunjukkan insiden perdarahan intraserebral antara
orang kulit hitam adalah 50 per 100.000, dua kali insiden orang kulit
putih. Perbedaan dalam prevalensi hipertensi dan tingkat pendidikan
berhubungan dengan perbedaan resiko. Peningkatan risiko terkait
dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah mungkin terkait dengan
kurangnya kesadaran akan pencegahan primer dan akses ke perawatan
kesehatan. Insiden perdarahan intraserebral di Jepang yaitu 55 per
100.000 jumlah ini sama dengan orang kulit hitam.
Tingginya prevalensi hipertensi dan pengguna alkohol pada populasi
Jepang dikaitkan dengan insiden. Rendahnya observasi kadar
kolesterol serum pada populasi ini juga dapat meningkatkan resiko
perdarahan intraserebral. Usia rata-rata pada umur 53 tahun, interval
40 – 75 tahun. Insiden pada laki-laki sama dengan pada wanita.
Angka kematian 60 – 90 %.15,16
C. ANATOMI
Otak terdiri dari sel-sel otak yang disebut neuron, sel-sel penunjang
yang dikenal sebagai sel glia, cairan serebrospinal, dan pembuluh
darah. Semua orang memiliki jumlah neuron yang sama sekitar 100
miliar, tetapi koneksi di antara berbagi neuron berbeda-beda. Pada
orang dewasa, otak membentuk hanya sekitar 2% (sekitar 1,4 kg) dari
berat tubuh total, tetapi mengkonsumsi sekitar 20% oksigen dan 50%
glukosa yang ada di dalam darah arterial.
Otak harus menerima lebih kurang satu liter darah per menit, yaitu
sekitar 15% dari darah total yang dipompa oleh jantung saat istirahat
agar berfungsi normal. Otak mendapat darah dari arteri. Yang pertama
adalah arteri karotis interna yang terdiri dari arteri karotis (kanan dan
kiri), yang menyalurkan darah ke bagian depan otak disebut sebagai
sirkulasi arteri cerebrum anterior. Yang kedua adalah vertebrobasiler,
yang memasok darah ke bagian belakang otak disebut sebagai
sirkulasi arteri cerebrum posterior. Selanjutnya sirkulasi arteri
cerebrum anterior bertemu dengan sirkulasi arteri cerebrum posterior
membentuk suatu sirkulus willisi.
Ada dua hemisfer di otak yang memiliki masing-masing fungsi.
Fungsi-fungsi dari otak adalah otak merupakan pusat gerakan atau
motorik, sebagai pusat sensibilitas, sebagai area broca atau pusat
bicara motorik, sebagai area wernicke atau pusat bicara sensoris,
sebagai area visuosensoris, dan otak kecil yang berfungsi sebagai
pusat koordinasi serta batang otak yang merupakan tempat jalan
serabut-serabut saraf ke target organ. Jika terjadi kerusakan gangguan
otak maka akan mengakibatkan kelumpuhan pada anggota gerak,
gangguan bicara, serta gangguan dalam pengaturan nafas dan tekanan
darah. Gejala di atas biasanya terjadi karena adanya serangan stroke.16

D. ETIOLOGI
Hipertensi merupakan penyebab terbanyak (72-81%). Perdarahan
intraserebral spontan yang tidak berhubungan dengan hipertensi,
biasanya berhubungan dengan diskrasia darah, hemartroma,
neoplasma, aneurisma, AVM, tumor otak metastasis, pengobatan
dengan antikoagulans, gangguan koagulasi seperti pada leukemia atau
trombositopenia, serebralarteritis, amyloid angiopathy dan adiksi
narkotika.
Perdarahan intraserebral dapat disebabkan oleh :17,18
1. Hipertensi
Hipertensi lama akan menimbulkan lipohialinosis dan nekrosis fibrinoid
yang memperlemah dinding pembuluh darah yang kemudian
menyebabkan ruptur intima dan menimbulkan aneurisma. Selanjutnya
dapat menyebabkan mikrohematoma dan edema. Hipertensi kronik
dapat juga menimbulkan sneurisma-aneurisma kecil (diameternya 1
mm) yang tersebar di sepanjang pembuluh darah, aneurisma ini
dikenal sebagai aneurisma Charcot Bouchard.
2. Cerebral Amyloid Angiopathy
Cerebral Amyloid Angiopathy adalah suatu perubahan vaskular yang unik
ditandai oleh adanya deposit amiloid di dalam tunika media dan
tunika adventisia pada arteri kecil dan arteri sedang di hemisfer
serebral. Arteri-arteri yang terkena biasanya adalah arteri-arteri
kortical superfisial dan arteri-arteri leptomening. Sehingga perdarahan
lebih sering di daerah subkortikal lobar ketimbang daerah basal
ganglia. Deposit amiloid menyebabkan dinding arteri menjadi lemah
sehingga kemudian pecah dan terjadi perdarahan intraserebral. Di
samping hipertensi, amyloid angiopathy dianggap faktor penyebab
kedua terjadinya perdarahan intraserebral pada penderita lanjut usia.
3. Arteriovenous Malformation
4. Neoplasma intrakranial. Akibat nekrosis dan perdarahan oleh jaringan
neoplasma yang hipervaskular.
Perdarahan di putamen, thalamus, dan pons biasanya akibat ruptur
a. lentikulostriata, a. thalamoperforating dan kelompok basilar-
paramedian. Sedangkan perdarahan di serebelum biasanya terdapat di
daerah nukleus dentatus yang mendapat pendarahan dari cabang a.
serebelaris superior dan a. serecelaris inferior anterior.

Gambar 1. Lokasi tersering sumber perdarahan intraserebral18

E. PATOFISIOLOGI
Kasus PIS umumnya terjadi di kapsula interna (70 %), di fossa
posterior (batang otak dan serebelum) 20 % dan 10 % di hemisfer (di
luar kapsula interna). Gambaran patologik menunjukkan ekstravasasi
darah karena robeknya pembuluh darah otak dan diikuti adanya
edema dalam jaringan otak di sekitar hematom. Akibatnya terjadi
diskontinuitas jaringan dan kompresi oleh hematom dan edema pada
struktur sekitar, termasuk pembuluh darah otak dan penyempitan
atau penyumbatannya sehingga terjadi iskemia pada jaringan yang
dilayaninya, maka gejala klinis yang timbul bersumber dari destruksi
jaringan otak, kompresi pembuluh darah otak / iskemia dan akibat
kompresi pada jaringan otak lainnya.18

F. GEJALA KLINIS
Secara umum gejala klinis PIS merupakan gambaran klinis akibat
akumulasi darah di dalam parenkim otak. PIS khas terjadi sewaktu
aktivitas, onset pada saat tidur sangat jarang. Perjalanan penyakitnya,
sebagian besar (37,5-70%) per akut. Biasanya disertai dengan
penurunan kesadaran. Penurunan kesadaran ini bervariasi frekuensi
dan derajatnya tergantung dari lokasi dan besarnya perdarahan tetapi
secara keseluruhan minimal terdapat pada 60% kasus. dua pertiganya
mengalami koma, yang dihubungkan dengan adanya perluasan
perdarahan ke arah ventrikel, ukuran hematomnya besar dan
prognosis yang jelek. Sakit kepala hebat dan muntah yang merupakan
tanda peningkatan tekanan intrakranial dijumpai pada PIS, tetapi
frekuensinya bervariasi. Tetapi hanya 36% kasus yang disertai dengan
sakit kepal sedang muntah didapati pada 44% kasus. Jadi tidak adanya
sakit kepala dan muntah tidak menyingkirkan PIS, sebaliknya bila
dijumpai akan sangat mendukung diagnosis PIS atau perdarahn
subarakhnoid sebab hanya 10% kasus stroke oklusif disertai gejala
tersebut. Kejang jarang dijumpai pada saat onset PIS.19

G. PEMERIKSAAN FISIK
Hipertensi arterial dijumpai pada 91% kasus PIS. Tingginya
frekuensi hipertensi berkorelasi dengan tanda fisik lain yang
menunjukkan adanya hipertensi sistemik seperti hipertrofi ventrikel
kiri dan retinopati hipertensif. Pemeriksaan fundus okuli pada kasus
yang diduga PIS mempunyai tujuan ganda yaitu mendeteksi adanya
tanda-tanda retinopati hipertensif dan mencari adanya perdarahan
subhialoid (adanya darah di ruang preretina, yang merupakan tanda
diagnostik perdarahan subarakhnoid) yang mempunyai korelasi
dengan ruptur aneurisma. Kaku kuduk terdapat pada 48% kasus PIS.
Gerakan mata, pada perdarahan putamen terdapat deviation
conjugae ke arah lesi, sedang pada perdarahan nukleus kaudatus
terjadi kelumpuhan gerak horisontal mata dengan deviation conjugae
ke arah lesi. Perdarahan thalamus akan berakibat kelumpuhan gerak
mata atas (upward gaze palsy), jadi mata melihat ke bawah dan kedua
mata melihat ke arah hidung. Pada perdarahan pons terdapat
kelumpuhan gerak horisontal mata dengan ocular bobbing.
Pada perdarahan putamen, reaksi pupil normal atau bila terjadi
herniasi unkus maka pupil anisokor dengan paralisis N. III ipsilateral
lesi. Perdarahan di thalamus akan berakibat pupil miosis dan
reaksinya lambat. Pada perdarahan di mesensefalon, posisi pupil di
tengah, diameternya sekitar 4-6 mm, reaksi pupil negatif. Keadaan ini
juga sering dijumpai pada herniasi transtentorial. Pada perdarahn di
pons terjadi pinpoint pupils bilateral tetapi masih terdapat reaksi,
pemeriksaannya membutuhkan kaca pembesar.19,20
Pola pernafasan pada perdarahan diensefalon adalah Cheyne-
Stroke, sedang pada lesi di mesensefalon atau pons pola
pernafasannya hiperventilasi sentral neurogenik. Pada lesi di bagian
tengah atau caudal pons memperlihatkan pola pernafasan apneustik.
Pola pernafasan ataksik timbul pada lesi di medula oblongata. Pola
pernafasan ini biasanya terdapat pada pasien dalam stadium agonal.20

H. KLASIFIKASI PERDARAHAN INTRASEREBRAL


Tipe perdarahan intaserebral yang tersering adalah seperti berikut :20
1. Putaminal Hemorrhage
Antara sindroma klinis perdarahan yang tersering adalah disebabkan
oleh perdarahan putaminal dengan terjadinya penekanan pada daerah
berdekatan dengan kapsula interna. Gejala dan kelainan neurologic
hampir bervariasi berdasarkan kedudukan dan ukuran penekanan.
Perdarahan putaminal khas dengan onset progresif pada hampir
duapertiga pasien, dan kurang dari sepertiga mempunyai gejala
mendadak dan hampir maksimal saat onset. Nyeri kepala tampil saat
onset gejala hanya pada 14% kasus dan pada setiap waktu hanya 28%;
semua pasien menunjukkan berbagai bentuk defisit motorik dan
sekitar 65% mengalami perubahan reaksi terhadap pin-prick.
Perdarahan putaminal kecil menyebabkan defisit sedang motorik dan
sensori kontralateral. Perdarahan berukuran sedang mula-mula
mungkin tampil dengan hemiplegia flaksid, defisit hemisensori,
deviasi konjugasi mata pada sisi perdarahan, hemianopia homonim,
dan disfasia bila yang terkena hemisfer dominan. Progresi
menjadi perdarahan masif berakibat stupor dan lalukoma, variasi
respirasi, pupil tak berreaksi yang berdilatasi, hilangnya gerak ekstra-
okuler, postur motor abnormal, dan respons Babinski bilateral.
Gejala muntah terjadi hampir setengah daripada penderita. Sakit
kepala adalah gejala tersering
tetapi tidak seharusnya ada.
Dengan jumlah perdarahan
yang banyak, penderita dapat
segera masuk kepada kondisi
stupor dengan hemiplegi dan
kondisi penderita akan
tampak memburuk dengan
berjalannya masa.
Walau bagaimanapun, penderita akan lebih sering mengeluh dengan
sakit kepala atau gangguan kepala yang dirasakan pusing. Dalam
waktu beberapa menit wajah penderita akan terlihat mencong ke satu
sisi, bicara cadel atau aphasia, lemas tangan dan tungkai dan bola
mataakan cenderung berdeviasi menjauhi daripada ekxtremitas yang
lemah. Hal ini terjadi, bertahap mengikuti waktu dari menit ke jam di
mana sangat kuat mengarah kepada perdarahan intraserebral. Paralisis
dapat terjadi semakin memburuk dengan munculnya refleks Babinski
yang mana pada awalnya dapat muncul unilateral dan kemudian bisa
bilateral dengan ekstremitas menjadi flaksid, stimulasi nyeri
menghilang, tidak dapat bicara dan memperlihatkan tingkat kesadaran
stupor. Karekteristik tingkat keparahan paling parah adalah dengan
tanda kompresi batang otak atas (koma); tanda Babinski bilateral;
respirasi dalam, irregular atau intermitten; pupil dilatasi dengan posisi
tetap pada bagian bekuan dan biasanya adanya kekakuan yang
deserebrasi.
Gambar 2. Perdarahan Putaminal20

2. Thalamic Hemorrhage
Sindroma klinis akibat perdarahan
talamus sudah dikenal.
Umumnya perdarahan talamus kecil
menyebabkan defisit neurologis lebih
berat dari perdarahan putaminal.
Seperti perdarahan putaminal, hemiparesis kontralateral terjadi bila
kapsula internal tertekan. Namun khas dengan hilangnya hemisensori
kontralateral yang nyata yang mengenai kepala, muka, lengan, dan
tubuh. Perluasan perdarahan ke subtalamus dan batang otak berakibat
gambaran okuler klasik yaitu terbatasnya gaze vertikal, deviasi mata
kebawah, pupil kecil namun bereaksi baik atau lemah. Anisokoria,
hilangnya konvergensi, pupil tak bereaksi, deviasi serong, defisit
lapang pandang, dan nistagmus retraksi juga tampak. Anosognosia
yang berkaitan dengan perdarahan sisi kanan dan gangguan bicara
yang berhubungan dengan lesi sisi kiri tidak jarang terjadi. Nyeri
kepala terjadi pada 20-40 % pasien. Hidrosefalus dapat terjadi akibat
penekanan jalur CSS.

Gambar 3. Perdarahan Thalamus20

3. Perdarahan Pons
Perdarahan pons merupakan hal yang jarang terjadi dibandingkan
dengan perdarahan intraserebral supratentorial, tetapi 50% dari
perdarahan infratentorial terjadi di pons. Gejala klinik yang sangat
menonjol pada perdarahan pons ialah onset yang tiba-tiba dan terjadi
koma yang dalam dengan defisit neurologik bilateral serta progresif
dan fatal. Perdarahan ponting paling umum menyebabkan kematian
dari semua perdarahan otak. Bahkan perdarahan kecil segera
menyebabkan koma, pupil pinpoint (1 mm) namun reaktif, gangguan
gerak okuler lateral, kelainan saraf kranial, kuadriplegia, dan postur
ekstensor. Nyeri kepala, mual dan muntah jarang.20

4. Perdarahan Serebelum
Lokasi yang pasti dari tempat asal perdarahan di serebelum sulit
diketahui. Tampaknya sering terjadi di daerah nukleus dentatus
dengan arteri serebeli superior sebagai suplai utama. Perluasan
perdarahan ke dalam ventrikel IV sering terjadi pada 50% dari kasus
perdarahan di serebelum. Batang otak sering mengalami kompresi dan
distorsi sekunder terhadap tekanan oleh gumpalan darah. Obstruksi
jalan keluar cairan serebrospinal dapat menyebabkan dilatasi ventrikel
III dan kedua ventrikel lateralis sehingga dapat terjadi hidrosefalus
akut dan peningkatan tekanan intrakranial dan memburuknya keadaan
umum penderita. Kematian biasanya disebabkan tekanan dari
hematoma yang menyebabkan herniasi tonsil dan kompresi medula
spinalis.20
Sindroma klinis perdarahan serebeler pertama dijelaskan secara jelas
oleh Fisher. Yang khas adalah onset mendadak dari mual, muntah,
tidak mampu bejalan atau berdiri. Tergantung dari evolusi perdarahan,
derajat gangguan neurologis terjadi. Hipertensi adalah faktor etiologi
pada kebanyakan kasus. Duapertiga dari pasien dengan perdarahan
serebeler spontan mengalami gangguan tingkat kesadaran dan tetap
responsif saat datang; hanya 14% koma saat masuk. 50% menjadi
koma dalam 24 jam, dan 75% dalam seminggu sejak onset. Mual dan
muntah tampil pada 95%, nyeri kepala (umumnya bioksipital) pada
73%, dan pusing (dizziness) pada 55 %. Ketidakmampuan berjalan
atau berdiri pada 94 %. Dari pasien non koma, tanda-tanda serebeler
umum terjadi termasuk ataksia langkah (78 %), ataksia trunkal (65
%), dan ataksia apendikuler ipsilateral (65 %). Temuan lain adalah
palsi saraf fasial perifer (61%), palsi gaze ipsilateral (54 %),
nistagmus horizontal (51 %), dan miosis (30%). Hemiplegia dan
hemiparesis jarang, dan bila ada biasanya disebabkan oleh stroke
oklusif yang terjadi sebelumnya atau bersamaan. Triad klinis ataksia
apendikuler, palsi gaze ipsilateral, dan palsi fasial perifer
mengarahkan pada perdarahan serebeler. Perdarahan serebeler garis
tengah menimbulkan dilema diagnostik atas pemeriksaan klinis.
Umumnya perjalanan pasien lebih ganas dan tampil dengan
oftalmoplegia total, arefleksia, dan kuadriplegia flaksid. 20
Pada pasien koma, diagnosis klinis perdarahan serebeler lebih sulit
karena disfungsi batang otak berat. Dari pasien koma, 83 % dengan
oftalmoplegia eksternal yang lengkap, 53 % dengan irreguleritas
pernafasan, 54 % dengan kelemahan fasial ipsilateral. Pupil umumnya
kecil; tak ada reaksi pupil terhadap sinar pada 40 % pasien.
5. Perdarahan Lober
Sindroma klinis akut perdarahan lober dijelaskan Ropper dan Davis.
Hipertensi kronik tampil hanya pada 31 % kasus, dan 4 % pasien yang
koma saat datang. Perdarahan oksipital khas menyebabkan nyeri berat
sekitar mata ipsilateral dan hemianopsia yang jelas. Perdarahan
temporal kiri khas dengan nyeri ringan pada atau dekat bagian
anterior telinga, disfasia fluent dengan pengertian pendengaran yang
buruk namun repetisi relatif baik. Perdarahan frontal menyebabkan
kelemahan lengan kontralateral berat, kelemahan muka dantungkai
ringan, dan nyeri kepala frontal. Perdarahan parietal mulai dengan
nyeri kepala temporal anterior ('temple') serta defisit hemisensori,
terkadang mengenai tubuh ke garis tengah. Evolusi gejala yang lebih
cepat, dalam beberapa menit, namun tidak seketika bersama dengan
satu dari sindroma tersebut membantu membedakan perdarahan lober
dari stroke jenis lain. Kebanyakan AVM dan tumor memiliki lokasi
lober.20
6. Perdarahan intraserebral akibat trauma
Adalah perdarahan yang terjadi di dalam jaringan otak. Hematom
intraserebral pascatraumatik merupkan koleksi darah fokal yang
biasanya diakibatkan cedera regangan atau robekan rasional terhadap
pembuluh-pembuluh darah intraparenkimal otak atau kadang-kadang
cedera penetrans. Ukuran hematom ini bervariasi dari beberapa
milimeter sampai beberapa sentimeter dan dapat terjadi pada 2%-16%
kasus cedera. Intracerebral hematom mengacu pada hemorragi /
perdarahan lebih dari 5 ml dalam substansi otak (hemoragi yang lebih
kecil dinamakan punctate atau petechial/bercak).20

I. DIAGNOSIS
Cara yang paling akurat untuk mendefinisikan stroke hemoragik
dengan stroke non hemoragik adalah dengan CT scan tetapi alat ini
membutuhkan biaya yang besar sehingga diagnosis ditegakkan atas
dasar adanya suatu kelumpuhan gejala yang dapat membedakan
manifestasi klinis antara perdarahan infark.21
Pemeriksaan Penunjang
 Kimia darah
 Lumbal punksi
 EEG
 CT scan
 Arteriografi
Pemeriksaan koagulasiharus dikerjakan pada pasien.
J. KOMPLIKASI
o Stroke hemoragik
o Kehilangan fungsi otak permanen
o Efek samping obat-obatan dalam terapi medikasi

K. PENANGANAN PERDARAHAN INTRASEREBRAL


Semua penderita yang dirawat dengan ‟intracerebral hemorrhage‟
harus mendapat
pengobatan untuk :
1. ”Normalisasi” tekanan darah
2. Pengurangan tekanan intrakranial
3. Pengontrolan terhadap edema serebral
4. Pencegahan kejang.
Hipertensi dapat dikontrol dengan obat, sebaiknya tidak berlebihan
karena adanya beberapa pasien yang tidak menderita hipertensi;
hipertensi terjadi karena cathecholaminergic discharge pada fase
permulaan. Lebih lanjut autoregulasi dari aliran darah otak akan
terganggu baik karena hipertensi kronik maupun oleh tekanan
intrakranial yang meninggi. Kontrol yang berlebihan terhadap tekanan
darah akan menyebabkan iskemia pada miokard, ginjal dan otak.22
Dalam suatu studi retrospektif memeriksa dengan CT-Scan untuk
mengetahui hubungan tekanan darah dan pembesaran hematoma
terhadap 79 penderita dengan PISH, mereka menemukan penambahan
volume hematoma pada 16 penderita yang secara bermakna
berhubungan dengan tekanan darah sistolik. Tekanan darah sistolik ≥
160 mmHg tampak berhubungan dengan penambahan volume
hematoma dibandingkan dengan tekanan darah sistolik ≤ 150 mmHg.
Obat-obat anti hipertensi yang dianjurkan adalah dari golongan :22
1. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitors
2. Angiotensin Receptor Blockers
3. Calcium Channel Blockers
Tindakan segera terhadap pasien dengan PIS ditujukan langsung
terhadap pengendalian TIK serta mencegah perburukan neurologis
berikutnya. Tindakan medis seperti hiperventilasi, diuretik osmotik
dan steroid (bila perdarahan tumoral) digunakan untuk mengurangi
hipertensi intrakranial yang disebabkan oleh efek massa perdarahan.
Sudah dibuktikan bahwa evakuasi perdarahan yang luas meninggikan
survival pada pasien dengan koma, terutama yang bila dilakukan
segera setelah onset perdarahan.
Walau begitu pasien sering tetap dengan defisit neurologis yang
jelas. Pasien memperlihatkan tanda-tanda herniasi unkus memerlukan
evakuasi yang sangat segera dari hematoma. Angiogram
memungkinkan untuk menemukan kelainan vaskuler. Adalah sangat
serius untuk memikirkan pengangkatan PIS yang besar terutama bila
ia bersamaan dengan hipertensi intrakranial yang menetap dan diikuti
atau telah terjadi defisit neurologis walau telah diberikan tindakan
medis maksimal.
Adanya hematoma dalam jaringan otak bersamaan dengan adanya
kelainan neurologis memerlukan evakuasi bedah segera sebagai
tindakan terpilih. Beratnya perdarahan inisial menggolongkan pasien
ke dalam tiga kelompok :22,23
1. Perdarahan progresif fatal.
Kebanyakan pasien berada pada keadaan medis buruk. Perubahan
hebat tekanan darah mempengaruhi kemampuan otak untuk mengatur
darahnya, gangguan elektrolit umum terjadi dan pasien sering
dehidrasi. Hipoksia akibat efek serebral dari perdarahan serta
obstruksi jalan nafas memperburuk keadaan. Perburukan dapat diikuti
sejak saat perdarahan dengan bertambahnya tanda-tanda peninggian
TIK dan gangguan batang otak. Pengelolaan inisial pada kasus berat
ini adalah medikal dengan mengontrol tekanan darah ke tingkat yang
tepat, memulihkan kelainan metabolik, mencegah hipoksia dan
menurunkan tekanan intrakranial dengan manitol, steroid ( bila
penyebabnya perdarahan tumoral) serta tindakan hiperventilasi. GCS
biasanya kurang dari 6.
2. Kelompok sakit ringan (GCS 13-15).
3. Kelompok intermediet, dimana perdarahan cukup berat untuk
menimbulkan defisit neurologis parah namun tidak cukup untuk
menyebabkan pasien tidak dapat bertahan hidup (GCS 6-12).
Tindakan medikal di atas diberikan hingga ia keluar dari keadaan
berbahaya, namun keadaan neurologis tidak menunjukkan tanda-tanda
perbaikan. Pada keadaan ini pengangkatan hematoma dilakukan
secara bedah.

PENGELOLAAN SECARA MEDIKAL


Penilaian dan Pengelolaan Inisial
Pengelolaan spontan terutama tergantung keadaan klinis pasien
serta etiologi, ukuran serta lokasi perdarahan. Tak peduli apakah
tindakan konservatif atau bedah yang akan dilakukan, penilaian dan
tindakan medikal inisial terhadap pasien adalah sama.
Saat pasien datang atau berkonsultasi, evaluasi dan pengelolaan
awal harus dilakukan bersama tanpa penundaan yang tidak perlu.
Pemeriksaan neurologis inisial dapat dilakukan dalam 10 menit, harus
menyeluruh. Informasi ini untuk memastikan prognosis, juga untuk
membuat rencana tindakan selanjutnya. Pemeriksaan neurologis serial
harus dilakukan.
Tindakan standar adalah untuk mempertahankan jalan nafas,
pernafasan, dan sirkulasi. Hipoksia harus ditindak segera untuk
mencegah cedera serebral sekunder akibat iskemia. Pengamatan ketat
dan pengaturan tekanan darah penting baik pada pasien hipertensif
maupun nonhipertensif. Jalur arterial dipasang untuk pemantauan
yang sinambung atas tekanan darah. Setelah PIS, kebanyakan pasien
adalah hipertensif. Penting untuk tidak menurunkan tekanan darah
secara berlebihan pada pasien dengan lesi massa intrakranial dan
peninggian TIK, karena secara bersamaan akan menurunkan tekanan
perfusi serebral. Awalnya, usaha dilakukan untuk mempertahankan
tekanan darah sistolik sekitar 160 mmHg pada pasien yang sadar dan
sekitar 180 mmHg pada pasien koma, walau nilai ini tidak mutlak dan
akan bervariasi tergantung masing-masing pasien. Pasien dengan
hipertensi berat dan tak terkontrol mungkin diperkenankan untuk
mempertahankan tekanan darah sistoliknya di atas 180 mmHg, namun
biasanya di bawah 210 mmHg, untuk mencegah meluasnya
perdarahan oleh perdarahan ulang. Pengelolaan awal hipertensinya,
lebih disukai labetalol, suatu antagonis alfa-1, beta-1 dan beta-2
kompetitif. Drip nitrogliserin mungkin perlu untuk kasus tertentu.
Gas darah arterial diperiksa untuk menilai oksigenasi dan status
asam-basa. Bila jalan nafas tidak dapat dijamin, atau diduga suatu lesi
massa intrakranial pada pasien koma atau obtundan, dilakukan
intubasi endotrakheal. Cegah pemakaian agen anestetik yang akan
meninggikan TIK seperti oksida nitro. Agen anestetik aksi
pendek lebih disukai. Bila diduga ada peninggian TIK, dilakukan
hiperventilasi untuk mempertahankan PCO2 sekitar 25-30 mmHg, dan
setelah kateter Foley terpasang, diberikan mannitol 1,5 g/kg IV.
Tindakan ini juga dilakukan pada pasien dengan perburukan
neurologis progresif seperti perburukan hemiparesis, anisokoria
progresif, atau penurunan tingkat kesadaran. Dilakukan
elektrokardiografi, dan denyut nadi dipantau.
Darah diambil saat jalur intravena dipasang. Hitung darah lengkap,
hitung platelet, elektrolit, nitrogen urea darah, creatinin serum, waktu
protrombin, waktu tromboplastin parsial, dan tes fungsi hati dinilai.
Foto polos dilakukan bila perlu.
Setelah penilaian secara cepat dan stabilisasi pasien, dilakukan CT-
scan kepala tanpa kontras. Sekali diagnosis PIS ditegakkan, pasien
dibawa untuk mendapatkan pemeriksaan radiologis lain yang
diperlukan, ke unit perawatan intensif, kamar operasi atau ke bangsal,
tergantung status klinis pasien, perluasan dan lokasi perdarahan, serta
etiologi perdarahan. Sasaran awal pengelolaan adalah pencegahan
perdarahan ulang dan mengurangi efek massa, sedang tindakan
berikutnya diarahkan pada perawatan medikal umum serta
pencegahan komplikasi.22

Pencegahan atas Perdarahan Ulang


Perdarahan ulang jarang pada perdarahan hipertensif. Saat pasien
sampai di dokter, perdarahan aktif biasanya sudah berhenti. Risiko
perdarahan ulang dari AVM dan tumor juga jarang. Tindakan utama
yang dilakukan adalah mengontrol tekanan darah seperti dijelaskan di
atas. Pada perdarahan karena aneurisma yang ruptur, risiko
perdarahan ulang lebih tinggi. Pertahankan tekanan darah 10-20 % di
atas tingkat normotensif untuk mencegah vasospasme, namun cukup
rendah untuk menekan risiko perdarahan. Beberapa menganjurkan
asam aminokaproat, suatu agen antifibrinolitik. Namun manfaat serta
indikasinya tetap belum jelas.
Kasus dengan koagulasi abnormal, risiko perdarahan ulang atau
perdarahan yang berlanjut sangat nyata kecuali bila koagulopati
dikoreksi. Pasien dengan kelainan perdarahan lain dikoreksi sesuai
dengan penyakitnya.

Mengurangi Efek Massa


Pengurangan efek massa dapat dilakukan secara medikal maupun
bedah. Pasien dengan peninggian TIK dan atau dengan area yang
lebih fokal dari efek massa, usaha nonbedah untuk mengurangi efek
massa penting untuk mencegah iskemia serebral sekunder dan
kompresi batang otak yang mengancam jiwa. Tindakan untuk
mengurangi peninggian TIK antara lain :22
1. Elevasi kepala higga 30o untuk mengurangi volume vena intrakranial
serta memperbaiki drainase vena.
2. Manitol intravena (mula-mula 1,5 g/kg bolus, lalu 0,5 g/kg tiap 4-6
jam untuk mempertahankan osmolalitas serum 295-310 mOsm/L).
3. Restriksi cairan ringan (67-75% dari pemeliharaan) dengan
penambahan bolus cairan koloid bila perlu.
4. Ventrikulostomi dengan pemantauan TIK serta drainase CSS untuk
mempertahankan TIK kurang dari 20 mmHg.
5. Intubasi endotrakheal dan hiperventilasi, mempertahankan PCO 2 25-
30 mmHg.
Pada pasien sadar dengan efek massa regional akibat PIS,
peninggian kepala, restriksi cairan, dan manitol biasanya memadai.
Tindakan ini dilakukan untuk memperbaiki tekanan perfusi serebral
dan mengurangi cedera iskemik sekunder. Harus ingat bahwa tekanan
perfusi serebral adalah sama dengan tekanan darah arterial rata-rata
dikurangi tekanan intrakranial, hingga tekanan darah sistemik harus
dipertahankan pada tingkat normal, atau lebih disukai sedikit lebih
tinggi dari tingkat normal. Diusahakan tekanan perfusi serebral
setidaknya 70 mmHg, bila perlu memakai vasopresor seperti dopamin
intravena atau fenilefrin.
Pasien sadar dipantau dengan pemeriksaan neurologis serial,
pemantauan TIK jarang diperlukan. Pada pasien koma yang tidak
sekarat (moribund), TIK dipantau secara rutin. Disukai
ventrikulostomi karena memungkinkan mengalirkan CSS, karenanya
lebih mudah mengontrol TIK. Perdarahan intraventrikuler menjadi
esensial karena sering terjadi hidrosefalus akibat hilangnya jalur
keluar CSS. Lebih disukai pengaliran CSS dengan ventrikulostomi
dibanding hiperventilasi untuk pengontrolan TIK jangka lama.
Pemantauan TIK membantu menilai manfaat tindakan medikal dan
membantu memutuskan apakah intervensi bedah diperlukan.
Pemakaian kortikosteroid untuk mengurangi edema serebral akibat
PIS pernah dilaporkan bermanfaat pada banyak kasus anekdotal.
Namun penelitian menunjukkan bahwa deksametason tidak
menunjukkan manfaat, di samping jelas meningkatkan komplikasi
(infeksi dan diabetes). Namun digunakan deksametason pada
perdarahan parenkhimal karena tumor yang berdarah dimana CT-scan
memperlihatkan edema serebral yang berat.

Perawatan Umum
Pasien dengan perdarahan intraventrikuler atau kombinasi dengan
perdarahan subarakhnoid atau parenkhimal akibat robeknya
aneurisma nimodipin diberikan 60 mg melalui mulut atau NGT setiap
4 jam. Belum ada bukti pemberian intravena lebih baik. Namun
penggunaan pada PIS non-aneurismal belum pasti.
Antikonvulsan diberikan begitu diagnosis PIS supratentorial
ditegakkan, kecuali bila perdarahan terbatas pada thalamus atau
ganglia basal. Secara inisial disukai fenitoin, karena kadar darah
terapeutik dapat dicapai dalam 1 jam dengan pemberian IV, mudah
pemberiannya, dan efektif mencegah kejang umum. Pada dewasa,
pembebanan 1 g IV (50 mg/menit) diikuti 300-400 mg IV atau oral
perhari. Tekanan darah harus dipantau selama pembebanan IV karena
infus yang terlalu cepat dapat berakibat penurunan tekanan darah
mendesak. Sebagai tambahan, EKG harus dipantau karena fenitoin
berkaitan dengan aritmia cardiac termasuk pelebaran interval PR dan
gelombang Q dengan diikuti kolaps vaskuler. Kadar fenitoin dipantau
ketat dan dosis disesuaikan hingga kadar fenitoin serum dalam
jangkauan terapeutik (10-20 µg/ml) dan pasien bebas kejang.
Antikonvulsan lain seperti fenobarbital (60 mg/IV atau oral, dua
kali sehari, kadar terapeutik darah 20-40 µg/ml) dan Carbamazepin
(200 mg oral, 3-4 kali sehari, kadar terapeutik 4-12 µg/ml). Kejang
bisa bersamaan dengan peninggian dramatik TIK dan tekanan darah
sistemik, yang dapat menyebabkan perdarahan, karenanya harus
dicegah. Selain itu hipoksia dan asidosis sering tampak selama
aktifitas kejang, potensial untuk menambah cedera otak sekunder.
Pengelolaan metabolik yang baik diperlukan pada pasien dengan
PIS. Status cairan, elektrolit serum, dan fungsi renal harus ditaksir
berulang, terutama pada pasien dengan restriksi cairan, mendapat
manitol atau diuretika lain, atau tidak makan. Nutrisi memadai adalah
esensial.

PENGOBATAN DENGAN CARA OPERASI


Untuk menentukan pasien mana yang harus dioperasi adalah suatu
masalah yang sulit. Ada beberapa pandangan yang dapat dijadikan
patokan atau pedoman :
1. Dari seluruh penderita PISH hanya sedikit kasus yang harus dioperasi.
2. Kriteria memilih pasien untuk operasi harus ketat dan sesuai dengan
norma-norma kemanusiaan. Harapan terhadap hasil tindakan operasi
harus terfokus terhadap quality of survival yang dapat diterima oleh
pasien, keluarganya dan masyarakat.
Segera yang ingin dicapai dari operasi adalah kembalinya
pergeseran garis tengah, kembalinya tekanan intrakanial ke dalam
batas normal, kontrol pendarahan dan mencegah pendarahan ulang.
Indikasi operasi pada cedera kepala harus mempertimbangkan status
neurologis, status radiologis, pengukuran tekanan intrakranial
Secara umum indikasi operasi pada hematoma intrakranial :21,22,25
1. Massa hematoma kira-kira 40 cc
2. Massa dengan pergeseran garis tengah lebih dari 5 mm
3. IED dan SDH ketebalan lebih dari 5 mm dan pergeseran garis tengah
dengan GCS 8 atau kurang.
4. Konstusio serebri dengan diameter 2 cm dengan efek massa yang
jelas atau pergeseran garis tengah lebih dari 5 mm.
5. Pasien-pasien yang menurun kesadarannya dikemudian waktu disertai
berkembangnya tanda- tanda lokal dan peningkatan tekanan intraknial
lebih dari 25 mmHg.
Tindakannya :
 Pemasangan kateter yang melewati pembuluh darah otak untuk
melebarkan pembuluh darah otak, guna menghindari prosedur operasi
yang invasif.
 Aspirasi dengan stereotactic surgery atau endoscopic drainage
digunakan untuk basal ganglia hemorrhage, meskipun angka
keberhasilannya masih sedikit.

Penggunaan manitol
Pada gangguan neurologis, Diuretic Osmotik (Manitol) merupakan
jenis diuretik yang paling banyak digunakan. Manitol adalah suatu
Hiperosmotik Agent yang digunakan dengan segera meningkat.
Volume plasma untuk meningkatkan aliran darah otak dan
menghantarkan oksigen (Norma D McNair dalam Black, Joyce M,
2005). Ini merupakan salah satu alasan manitol sampai saat ini masih
digunakan untuk mengobati klien menurunkan peningkatan tekanan
intrakranial. Manitol selalu dipakai untuk terapi edema otak,
khususnya pada kasus dengan Hernisiasi. Manitol masih merupakan
obat magic untuk menurunkan tekanan intrakranial, tetapi jika hanya
digunakan sebagai mana mestinya. Bila tidak semestinya akan
menimbulkan toksisitas dari pemberian manitol, dan hal ini harus
dicegah dan dimonitor.
Indikasi dan dosis pada terapi menurunkan tekanan intrakranial.
Terapi penatalaksanaan untuk menurunkan peningkatan tekanan
intrakranial dimulai bilamana tekanan Intrakranial 20-25 mmHg.
Management penatalaksanaan peningkatan tekanan Intrakranial salah
satunya adalah pemberian obat diuretik osmotik (manitol), khususnya
pada keadaan patologis edema otak. Tidak direkomendasikan untuk
penatalaksanaan tumor otak. Seperti yang telah dijelaskan di atas,
diuretik osmotik (manitol) menurunkan cairan total tubuh lebih dari
kation total tubuh sehingga menurunkan volume cairan intraseluler.
Dosis : Untuk menurunkan tekanan intrakranial, dosis manitol 0,25 – 1
gram/kgbb diberikan bolus intravena, atau dosis tersebut diberikan
intravena selama lebih dari 10 – 15 menit. Manitol dapat
jugadiberikan atau dicampur dalam larutan Infus 1,5 – 2 gram/kgbb
sebagai larutan 15-20% yang diberikan selama 30-60 menit. Manitol
diberikan untuk menghasilkan nilai serum osmolalitas 310 – 320
mOsm/L. Osmolalitas serum sering kali dipertahankan antara
290 – 310 mOsm. Tekanan Intrakranial harus dimonitor, harus turun
dalam waktu 60 - 90 menit, karena efek manitol dimulai setelah 0,5 -
1 jam pemberian. Fungsi ginjal, elektrolit, osmolalitas serum juga
dimonitor selama pasien mendapatkan manitol. Perawat perlu
memperhatikan secara serius, pemberian manitol bila osmolalitas
lebih dari 320 mOsm/L. Karena diureis, hipotensi dan dehidrasi dapat
terjadi dengan pemberian manitol dalam jumlah dosis yang banyak.
Foley catheter harus dipasang selama pasien mendapat terapi manitol.
Dehidrasi adalah manisfestasi dari peningkatan sodium serum dan
nilai osmolalitas.
Obat Neuroprotektor :
1. Piracetam 1200 mg/kaplet
Indikasi : Kemunduran daya pikir, astenia, gangguan adaptasi, gangguan
reaksi psikomotor. Alkoholisme kronik dan adiksi. Disfungsi serebral
sehubungan dengan akibat pasca trauma.
Dosis : Oral sindroma psikoorganik yang berhubungan dengan penuaan,
awal 6 kapsul atau 3 kaplet/hari dalam 2-3 dosis terbagi untuk 6
minggu. Pemeliharaan : 1,2 g/hr. Sindroma pasca trauma, awal 2
kapsul atau 1 kaplet 3x/hari sampai mencapai efek yang diinginkan,
lalu 1 kapsul atau ½ kaplet/hari. Inj IM atau IV 1 g 3x/hari.
Pemberian obat : sesudah makan.
Kontra indikasi : Kerusakan ginjal parah, hipersensitif.
Efek samping : Keguguran, lekas marah, sukar tidur, gelisah, gemetar,
agitasi, lelah, gangguan GI, mengantuk.
Mekanisme kerja : piracetam adalah suatu nootropic agent.
Rencana edukasi :
 Oleh karena piracetam seluruhnya dieliminasi melalui ginjal,
peringatan harus diberikan pada penderita gangguan fungsi ginjal,
oleh karena itu dianjurkan melakukan pengecekan fungsi ginjal.
 Oleh karena efek piracetam pada agregasi platelet, peringatan harus
diberikan pada penderita dengan gangguan hemostatis atau
perdarahan hebat.

2. Injeksi Citicoline
Indikasi : Gangguan kesadaran yang menyertai kerusakan atau cedera
serebral, trauma serebral, operasi otak, dan infark serebral.
Mempercepat rehabilitasi tungkai atas dan bawah pada pasien
hemiplegia apopleksi.
Dosis : Gangguan kesadaran karena cedera kepala atau operasi otak 100-
500 mg 1-2x/hari secara IV drip atau injeksi. Gangguan kesadaran
karena infark serebral 1000 mg 1x/hari secara injeksi IV. Hemiplegia
apopleksi 1000 mg 1x/hari secara oral atau injeksi IV.
Pemberian obat : berikan pada saat makan atau di antara waktu makan.
Efek samping : hipotensi, ruam, insomnia, sakit kepala, diplopia.
Mekanisme kerja :
 Citicoline meningkatkan kerja formatio reticularis dari batang otak,
terutama sistem pengaktifan formatio reticularis ascendens yang
berhubungan dengan kesadaran.
 Citicoline mengaktifkan sistem pyramidal dan memperbaiki
kelumpuhan sistem motoris.
 Citicoline menaikkan konsumsi O2 dari otak dan memperbaiki
metabolisme otak.

L. PROGNOSIS
Perdarahan yang besar jelas mempunyai morbiditas dan mortalitas
yang tinggi. diperkirakan mortalitas seluruhnya berkisar 26-50%.
Mortalitas secara dramatis meningkat pada perdarahan talamus dan
serebelar yang diameternya lebih dari 3 cm, dan pada perdarahan pons
yang lebih dari 1 cm. Untuk perdarahan lobar mortalitas berkisar dari
6-30 %. Bila volume darah sesungguhnya yang dihitung (bukan
diameter hematomnya), maka mortalitas kurang dari 10% bila volume
darahnya kurang dari 20 mm3 dan 90% bila volume darahnya lebih
dari 60 mm3.
Kondisi neurologik awal setelah terserang perdarahan juga penting
untuk prognosis pasien. Pasien yang kesadarannya menurun
mortalitas meningkat menjadi 63%. Mortalitas juga meningkat pada
perdarahan yang besar dan letaknya dalam, pada fossa posterior atau
yang meluas masuk ke dalam ventrikel. Felmann E mengatakan
bahwa 45% pasien meninggal bila disertai perdarahan
intraventrikular. Suatu penilaian dilakukan untuk memperkirakan
mortalitas dalam waktu 30 hari pertama dengan menggunakan 3
variabel pada saat masuk rumah sakit yaitu Glasgow Coma Scale
(GCS), ukuran perdarahan dan tekanan nadi. Perdarahan kecil bila
ukurannya kurang dari satu lobus, sedangkan perdarahan besar bila
ukurannya lebih dari satu lobus. Bila GCS lebih dari 9, perdarahannya
kecil, tekanan nadi kurang dari 40 mmHg, maka probabilitas
hidupnya dalam waktu 30 hari adalah 98%. Tetapi bila pasien koma,
perdarahannya besar dan tekanan nadinya lebih dari 65 mmHg, maka
probabilitas hidupnya dalam waktu 30 hari hanya 8%. Pada PIS
hipertensif jarang terjadi perdarahan ulang.24
DAFTAR PUSTAKA

1. Kelompok Studi Stroke Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf


Indonesia.Guideline Stroke 2007. Edisi Revisi. Perhimpunan Dokter
Spesialis Saraf Indonesia: Jakarta, 2007.
2. Price, Sylvia A. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit
ed.6.EGC, Jakarta. 2006
3. Sjahrir, Hasan. Stroke Iskemik. Yandira Agung: Medan, 2003
4. Ropper AH, Brown RH. Adams dan Victor’s Principles of Neurology.
Edisi 8. BAB 4. Major Categories of Neurological Disease:
Cerebrovascular Disease. McGraw Hill: New York.2005
5. Sotirios AT,. Differential Diagnosis in Neurology and Neurosurgery.New
York. Thieme Stuttgart. 2000.
6. Silbernagl, S., Florian Lang. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi. EGC:
Jakarta, 2007.
7. Samino. Perjalanan Penyakit Peredaran Darah Otak. FK UI/RSCM, 2006.
Diunduh dari:
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/13PerjalananPenyakitPeredaranDara
hOtak021.pdf/13PerjalananPenyakitPeredaranDarahOtak021.html
8. Thiruma V Arumugam Biswas, M. Sen, S. Simmons, J. Etiology and
Risk Factors ofIschemic Stroke in Indian-American Patients from a
Hospital-based Registry in New Jersey, USA. Neurology Asie. 2009;
14(2): 81-86
9. Poungvarin, N. Skor Siriraj stroke dan studi validasi untuk membedakan
perdarahan intraserebral supratentorial dari infark. Diunduh dari:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1670347/
10. Hinkle, JL. Guanci, MM. Acute Ischemic Stroke Review. J Neurosci
Nurs. 2007; 39(5): 285-293, 310
11. Bruce F, Barbara CF. Mechanisms of Thrombus Formation. New England
Journal Medical. 2008; 359: 938- 49
12. Maas, MB. Safdieh, JE. Ischemic Stroke: Pathophysiology and
Principles of Localization. Neurology Board Review Manual. Neurology.
2009; 13(1): 2-16
13. Budi RW. Vertigo: aspek neurologi. J Cermin Dunia Kedokteran. 2004;
144:41-6.
14. Marill KA. Central vertigo [internet]. USA:Medscape; 2014 [diakses
tanggal 7 September 2018]. Tersedia dari: http://emedicine.medscape.
com/article/794789-overview.
15. Lumbantobing SM. Vertigo tujuh keliling. Jakarta: Balai penerbit FKUI;
2013.
16. Castel JP, Kissel P. Spontaneous intracerebral and infratentorial
hemorrhage. In:Youmans JR. ed. Neurological Surgery, 3rd ed, vol.IIIl.
Philadelphia: WB Saunders Company; 2006 .p. 1890-1913.

17. Luyendijk W. Intracerebral hemorrhage. In : Vinken FG, Bruyn GW,


editors. Handbook of Clinical Neurology. New York : Elsevier ; 2005;
660-719.

18. Perdarahan Intraserebral Hipertensif Abdul Gofar Sastrodiningrat Divisi


Ilmu Bedah Saraf Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara, Medan Suplemen Majalah Kedokteran
Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006.

19. Rumantir CU. Gangguan peredaran darah otak. Pekanbaru : SMF Saraf
RSUD Arifin Achmad/FK UNRI. Pekanbaru. 2007.

20. Goetz Christopher G. Cerebrovascular Diseases. In : Goetz: Textbook of


Clinical Neurology, 3rd ed. Philadelphia : Saunders. 2007.

21. Rumantir CU. Pola Penderita Stroke Di Lab/UPF Ilmu Penyakit Saraf
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Hasan Sadikin
Bandung Periode 1984-1985. Laporan Penelitian Pengalaman Belajar
Riset Dokter Spesialis Bidang Ilmu Penyakit Saraf. 2000.

22. Ropper AH, Brown RH. Cerebrovascular Diseases. In : Adam and Victor’s
Priciples of Neurology. Eight edition. New York : Mc Graw-Hill. 2005.

23. Kelompok Studi Stroke PERDOSSI. Pencegahan Primer Stroke. Dalam :


Guideline Stroke 2007. Jakarta.

24. Baehr M, Frotscher M. Duus’ : Topical Diagnosis in Neurology. 4th revised


edition. New York : Thieme. 2005.

25. El-Mitwalli, A., Malkoff, M D.,.2008. Intracerebral Hemorrhage. The


Internet Journal of Advanced Nursing Practice.

Anda mungkin juga menyukai