Pada praktikum kali ini dilakukan pembuatan sediaan parenteral berupa
injeksi dengan menggunakan zat aktif natrium thiosulfat. Natrium thiosulfat merupakan garam yang dapat diberikan secara empiris pada pasien yang mengalami keracunan sianida, zat ini pun stabil dalam larutan pembawa air. Natrium thiosulfat biasa digunakan sebagai zat aktif yang memiliki khasiat sebagai antidotum atau penawar racun. Injeksi natrium thiosulfat dikemas dalam wadah dosis tunggal. Terdapat berbagai rute pemberian parenteral yaitu intravena, intraspinal, intramuscular, subkutis, dan intradermal. Rute yang digunakan pada sediaan parenteral kali ini yaitu rute intravena. Rute intravena ini sangat tepat untuk sediaan injeksi natrium thiosulfat karena natrium thiosulfat ini digunakan sebagai antidotum zat sianida. Pemberian obat secara intravena ini tidak ada fase absorpsi, obat langsung masuk ke dalam vena, onset of action nya cepat, sehingga sangat baik digunakan untuk sediaan antidotum. Pembuatan sediaan injeksi natrium thiosulfat ini dibuat dengan menggunakan pelarut aqua pro injeksi. Menurut Farmakope Indonesia, natrium thiosulfat sangat mudah larut dalam air, sehingga pembuatannya juga lebih stabil dengan pelarut tersebut. Pembawa air yang digunakan pun aqua pro injeksi. Sebelum membuat sediaan injeksi natrium thiosulfat, perlu dilakukan perhitungan tonisitas. Syarat sediaan steril adalah isotonis. Maka dari itu perlu diketahui terlebih dahulu tonisitas dari sediaan injeksi natrium thiosulfat tersebut. Isotonis adalah tekanan yang dihasilkan sediaan sama dengan tekanan dalam cairan tubuh. Pada proses pembuatan sediaan ini, pertama natrium thiosulfat dilarutkan terlebih dahulu ke dalam sebagian aqua pro injeksi. Setelah itu ditambahkan larutan dapar. Pada pembuatan injeksi natrium thiosulfat ini digunakan NaH₂PO₄ dan Na₂HPO₄ sebagai larutan penyangga atau buffer. Larutan penyangga sangat penting dalam pembuatan sediaan injeksi, karena kultur jaringan dan bakteri mengalami proses yang sangat sensitive terhadap perubahan pH. Selain itu, darah dalam tubuh manusia mempunyai kisaran pH 7,35 sampai 7,45 dan apabila pH sediaan injeksi di atas kisaran pH normal tubuh manusia akan menyebabkan organ tubuh manusia menjadi rusak, sehingga harus dijaga pH nya dengan larutan penyangga. Dapar fosfat mempunyai selisih pH yang tidak boleh melebihi dari 3, dikarenakan dapar harus mempunyai rentang tipis yang berupa penyangga agar tidak terjadi lingkungan yang terlalu asam, sebab dapar fosfat mempunyai sifat yang agak sedikit basa yang fungsinya untuk menstabilkan pH sediaan injeksi natrium thiosulfat yaitu 8 - 9,5. Dalam pembuatan sediaan injeksi perlu dilakukan penyaringan dengan menggunakan kertas saring yang bertujuan untuk menyaring partikel-partikel yang berukuran besar sehingga pada saat disaring dengan bakteri filter tidak akan terjadi penyumbatan. Setelah disaring dengan kertas saring selanjutnya disaring dengan menggunakan bakteri filter berukuran 0.45 µm. Penyaringan ini berfungsi untuk menyaring partikel-partikel yang tidak bisa tersaring oleh kertas saring dan juga untuk menyaring mikroba yang mungkin terdapat pada larutan yang terbawa dari udara ataupun dari alat-alat yang digunakan. Larutan yang telah disaring kemudian dimasukkan ke dalam wadah ampul, masing-masing berisi 5 mL. Ampul yang telah diisi kemudian dilas. Kemudian sediaan disterilkan. Metode sterilisasi yang digunakan untuk membuat injeksi natrium thiosulfat ini dibuat dengan metode sterilisasi cara A yaitu menggunakan uap basah dengan autoklaf dan menggunakan uap air dengan tekanan tinggi. Metode ini dipilih karena natrium thiosulfat memiliki karakteristik tahan terhadap pemanasan. Mekanisme penghancuran bakteri oleh uap air panas adalah karena terjadinya denaturasi dan koagulasi beberapa protein esensial organisme tersebut. Adanya uap air yang panas dalam sel mikroba, menimbulkan kerusakan pada temperatur yang relatif rendah. Setelah sediaan selesai dibuat, seharusnya dilakukan evaluasi sediaan yaitu evaluasi kejernihan, kebocoran, uji penampilan fisik wadah, dan uji keseragaman volume. Akan tetapi dikarenakan seluruh sediaan bocor setelah disterilisasi, sehingga tidak ada satupun sediaan yang dapat dievaluasi. Kebocoran sediaan kemungkinan dikarenakan teknik pengelasan yang kurang tepat, sehingga ampul tidak tertutup sempurna dan tahan terhadap tekanan uap dari autoklaf tersebut. KESIMPULAN Sediaan steril injeksi natrium thiosulfat yang telah dibuat dengan teknik sterilisasi uap menggunakan autoklaf dinyatakan tidak cukup baik. Hal ini didasarkan pada bocornya seluruh sediaan yang telah disterilisasi.