Pembimbing :
dr. Ismiralda Oke Putranti, Sp. KK.
Disusun oleh :
Marselia Wulansari Utami 1610221107
1
LEMBAR PENGESAHAN
Disusun Oleh :
Marselia Wulansari Utami 1610221107
Laporan Kasus
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Kepaniteraan Klinik
di Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Prof. Margono Soekarjo
Purwokerto
Pembimbing
2
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas karunia-Nya
penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan kasus yang berjudul “Tinea
Korporis et Kruris” tepat pada waktunya. Penulisan laporan kasus merupakan
salah satu syarat untuk mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Prof. dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Pada
kesempatan ini, penulis ucapkan terima kasih kepada :
1. dr. Ismiralda Oke Putranti, Sp. KK. selaku pembimbing yang telah
memberikan bimbingan dan masukan dalam penyusunan presentasi kasus.
2. Rekan-rekan FK UPN Veteran Jakarta dan semua pihak yang telah membantu
dalam penyusunan presentasi kasus.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan kasus ini masih
terdapat kekurangan. Oleh karena itu, segala masukan yang bersifat membangun
sangat diharapkan.
Penyusun
3
DAFTAR ISI
4
I. PENDAHULUAN
5
II. KASUS
A. Identitas
No CM : 02-09043026
Nama : Ny.L
Usia : 53 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan Terakhir : SD
Status Pernikahan : Menikah
Suku Bangsa : Jawa
Agama : Islam
Tanggal Pemeriksaan : Rabu, 10 April 2019
B. Anamnesis
1. Keluhan Utama
Pasien mengeluh gatal pada kedua kaki, selangkangan , bokong,
punggung, perut, lipatan payudara.
2. Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke poliklinik kulit dan kelamin RSMS dengan keluhan
gatal di bawah lipatan kedua payudara, perut, punggung, selangkangan,
kedua kaki .sejak tiga bulan lalu dan semakin memberat sejak dua minggu
yang lalu. Keluhan gatal dirasakan terus – menerus, semakin meluas dan
mengganggu aktivitasnya. Keluhan tersebut dirasakan semakin memberat
saat pasien beraktivitas banyak, berkeringat dan saat cuaca panas.
Keluhan berkurang saat di garuk. Awalnya keluhan dirasakan timbul
bercak kemerahan pada kedua kaki kemudian semakin meluas sampai ke
bokong, selangkangan, punggung, perut dan lipatan payudara.
Gatal tidak muncul bila pasien makan-makanan tertentu seperti telur
dan makanan laut. Gatal juga tidak timbul ketika bersentuhan dengan
benda tertentu seperti logam maupun deodorant. Pasien mengaku sudah
pernah mengobati penyakitnya di Rawalo dan diberikan suntikan, namun
tidak membaik, malah bertambah gatal.
6
Pasien mengaku mandi dua kali sehari. Setelah BAB dan BAK tidak
pernah mengeringkan dengan tissue atau handuk. Pasien mengaku jarang
cuci tangan setelah menggaruk badannya yang gatal. Pasien mengaku
badan mudah berkeringat. Pasien memiliki penyakit DM sejak dua tahun
yang lalu.
3. Riwayat Penyakit Dahulu:
Riwayat keluhan serupa sebelumnya disangkal
Riwayat penyakit kulit lain disangkal
Riwayat alergi makanan dan obat-obatan disangkal
Riwayat konsumsi obat di akui ( obat untuk DM)
Riwayat asma dan rhinitis disangkal
Riwayat penyakit hipertensi disangkal
Riwayat penyakit Diabetes melitus diakui.
C. Pemeriksaan Fisik
Keadaaan umum : baik
Kesadaran : Compos mentis
7
BB : 49 kg
TB : 150 cm
IMT : 21,78 (normal)
Vital Sign
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Nadi : 82x/menit
Pernafasan : 20x/menit
Suhu : 36.7⁰C
Status Generalis
Kepala : Mesochepal
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung : Nafas cuping hidung (-/-) deformitas (-/-)
Telinga : Deformitas (-/-) sekret (-/-)
Mulut : Pucat (-/-)
Tenggorokan : T1 – T1 tenang , tidak hiperemis
Leher : Tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening
Thorax : Simetris, retraksi (-)
Jantung : BJ I – II reguler, murmur (-), Gallop (-)
Paru : SD vesikuler, ronki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen : Supel, datar, BU (+) normal, nyeri tekan (-)
8
skuama halus di regio abdominalis, regio intertriginosa
mammae dextra et sinistra, dan di regio cruris.
9
10
11
D. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Kerokan Kulit dengan KOH 10%. Hasil positif ditemukan
hifa bersepta atau bercabang dan berspora
E. Resume
F. Diagnosis Banding
1. Kandidiasis cutis intertriginosa
Lesi makula dan plak kemerahan, relatif lebih basah, berbatas tegas
disertai lesi satelit berada pada daerah lipatan
2. Psoriasis
Lesi berupa plakat eritema multiple berbatas tegas disertai skuama lebih
tebal dan berlapis-lapis. Keluhan biasanya menahun dan berulang.
3. Eritrasma
Makula eritema berbatas lebih tegas, jarang disertai infeksi, flouresensi
merah bata yang khas dengan sinar Wood
G. Diagnosis Kerja
Tinea Korporis et Kruris
H. Pemeriksaan Anjuran
1. Lampu Wood
2. Kultur media saboround agar
I. Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
a. Sistemik:
Antimikotik sitemik : Itrakonazol 100 mg /hari 2x1 (30 hari)
Antihistamin : Cetirizine 10 mg 1x1 tab
b. Antimikotik topikal : Mikonazole krim 2% dioles 2x sehari
(pagi dan malam) (30 hari)
2. Edukasi
a. Menggunakan handuk bersih dipakai sendiri.
b. Sering mengganti handuk.
c. Mencuci dan menjemur handuk.
d. Meningkatkan kebersihan badan dan menghindari keringat berlebih.
e. Menghindari pemakaian baju dalam yang terbuat dari bahan yang tidak
menyerap keringat.
f. Menghindari kontak langsung dengan orang yang mengalami infeksi
jamur.
g. Edukasi penyebab penyakit, pemakaian obat baik topikal maupun oral
sesuai anjuran dokter
h. Edukasi pasien supaya tidak menggaruk lesi karena dapat
menyebabkan infeksi sekunder.
J. Prognosis
a. Quo ad vitam : ad bonam
b. Quo ad sanasionam : ad bonam
c. Quo ad fungsionan : ad bonam
d. Quo ad cosmeticam : ad bonam
III. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Tinea korporis tergolong dalam dermatofitosis superficial yang
ditemukan pada leher, badan, lengan, tungkai dan gluteal.Sedangkan tinea
kruris adalah dermatofitosis yang ditemukan pada pangkal paha, genital,
pubis, serta perineum dan kulit perianal. Tinea korporis dan kruris disebabkan
oleh jamur golongan dermatofita, terutama suatu kelas fungi imperfecti,yaitu
genus Epidermophyton, Mycrosporum dan Trycophyton( Adiguna, 2011).
B. Epidemiologi
G. Pemeriksaan Penunjang
Gejala klinis dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan
laboratorium.Pemeriksaan mikologik untuk membantu menegakkan diagnosis
terdiri atas pemeriksaan langsung sediaan basah dan biakan. Pemeriksaan lain
seperti pemeriksaan histopatologik dan imunologik tidak diperlukan.
1. Kerokan kulit dengan larutan KOH 10%
Pada pemeriksaan mikologik untuk mendapatkan jamur diperlukan
bahan klinis yang berupa kerokan kulit. Bahan-bahan kerokan kulit ini
diambil dengan cara mengerok bagian kulit yang mengalami lesi.
Sebelumnya kulit dibersihkan, lalu dikerok dengan skalpel steril dan
jatuhannya ditampung dalam lempeng-lempeng steril. Kemudian
sediaan dituangi larutan KOH 10%. Hasil positif jika ditemukan hifa
bersepta atau bercabang dan berspora (Hidayati et al., 2009).
J. Penatalaksanaan
1. Non medikamentosa
Beberapa edukasi dapat diberikan kepada pasien antara lain (Yosella,
2015; Gohary et al, 2012) :
a. Bersihkan kulit setiap hari menggunakan sabun dan air untuk
menghilangkan sisa-sisa kotoran agar jamur tidak mudah tumbuh
b. Bila gatal, diusahakan jangan digaruk karena garukan dapat
menyebabkan luka dan infeksi
c. Jaga kebersihan kulit dan kaki. Bila berkeringat keringkan dengan
handuk dan mengganti pakaian yang lembab
d. Gunakan pakaian yang terbuat dari bahan yang dapat menyerap
keringat seperti katun, tidak ketat, dan diganti setiap hari
e. Untuk menghindari penularan penyakit, pakaian dan handuk yang
digunakan penderita harus segera dicuci dan direndam air panas
f. Tidak menggunakan pakaian, handuk, dan peralatan mandi secara
bersama-sama dengan orang lain
2. Medikamentosa
Menurut Suganti (2017) indikasi antifungi sistemik pada
dermatofitosis antara lain; tinea kapitis; tinea yang mengenai kuku; tinea
yang melibatkan lebih dari 1 regio tubuh secara bersamaan misalnya tinea
kruris dan korporis, atau tine kruris dan pedis; tinea korporis yang
memiliki lesi luas, walaupun belum ada definisi lesi luas yang diterima;
tenia pedis yang memiliki keterlibatan lesi luas pada plantar, talus, dan
dorsum pedis, atau rekurensi dan vesikel yang mengganggu. Dari seluruh
antijamur sistemik, terbinafine dan itrakonazol adalah yang paling banyak
digunakan. Terbinafin diketahui lebih efektif daripada griseofulvin,
sedangkan efikasi terbinafin dengan itrakonazol hampir sama (Sahoo et
Mahajan, 2016).
A. Penegakkan diagnosis
Penyakit kulit yang terdapat pada pasien dalam kasus adalah tinea
korporis dan kruris. Hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik status
dermatologis yang mendukung ke arah diagnosis kerja adalah sebagai berikut :
Hasilanamnesis :
1. Keluhan utama gatal pada area yang tertutup pakaian dan area lipatan
kulit.
2. Keluhan gatal memberat apabila pasien berkeringat maupun saat
beraktivitas.
3. Pasien tinggal di tempat bercuaca panas dan beraktivitas menggunakan
baju tebal dengan bahan yang tidak menyerap keringat.
4. Pasien jarang mencuci tangan setelah menggaruk badannya yang gatal.
5. Setelah BAB dan BAK tidak pernah mengeringkan dengan tissue atau
handuk
6. Badan pasien mudah berkeringat.
7. Pasien memiliki riwayat penyakit Diabetes Melitus.
B. Diagnosis banding
Berdasarakan tempat lesinya, diagnosis banding untuk penyakit Tinea
korporis et cruris pada kasus ini adalah sebagai berikut :
1. Kandidiasis Kutis Intertriginosa
Kandidiasis memiliki kesamaan keluhan berupa gatal
yangmemberat bila berkeringat. Rasa gatal dirasakan pada lesi kulit yang
muncul pada area-area yang berkeringat, seperrti lipatan, atau area yang
lembab. Efloresensi pada kandidiasis adalah makula dan papul eritem
numular hingga plakat dengan papul eritem disekitarnya sebagai lesi satelit
yang tidak diteukan padda lesi kulit pasien (Budimulia, 2014).
2. Psoriasis
Psoriasis merupakan penyakit kronik residif yang memiliki wujud
kelainan kulit serupa dermatofitosis. Pasien umumnya mengeluhkan
muncul bercak yang bersisik disertai rasa gatal. Efloresensi kulit yang
muncul berupa maukla eritem anular multipel dengan sisik putih tebal
seperti mika. Sedangkan pada pasien ini terdapat central healing dan tidak
terdapat skuama tebal berlapis seperti mika maupun auspitz, candle sign.
Serta pada pemeriksaan KOH tidak ditemukan hifa panjang Sedangkan
pada pasien ini ditemukan hifa panjang bersepta pada tes KOH (Siregar,
2014).
4. Eritrasma
Eritrasma memiliki efloresensi berupa makula eritematosa tanpa
adanya central healing. Sedangkan pada pasien ini terdapat central
healing. Selain itu pada pemeriksaan lampu wood didapatkan pendaran
coral red sedangkan pada pasien ini kuning kehijauan. Serta pada
pemeriksaan KOH tidak ditemukan hifa panjang dan pewarnaan Gram
adanya bakteri Gram positif yakni Corynebacterium minutissimum.
Sedangkan pada pasien ini ditemukan hifa panjang bersepta pada tes KOH
dan pada pewarnaan Gram tidak ditemukan bakteri.
C. Pemeriksaan penunjang
Selain dari gejala khas tinea korporis, diagnosis harus dibantu dengan
pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan mikroskopis, kultur,
pemeriksaan lampu wood, biopsi dan histopatologi, pemeriksaan serologi,
dan pemeriksaan dengan menggunakan PCR (Djuanda, 2007).
Pemeriksaan mikroskopis dilakukan dengan membuat preparat
langsung dari kerokan kulit, kemudian sediaan dituangi larutan KOH 10%.
Sesudah 15 menit atau sesudah dipanaskan dengan api kecil, dilihat di bawah
mikroskop. Pemeriksaan ini memberikan hasil positif hifa ditemukan hifa
(benang-benang) yang bersepta atau bercabang, selain itu tampak juga spora
berupa bola kecil (Czaika, 2013).
Pemeriksaan lampu wood adalah pemeriksaan yang menggunakan sinar
ultraviolet. Bila sinar ini diarahkan ke kulit yang mengalami infeksi oleh
jamur dermatofita tertentu, sinar ini akan berubah menjadi dapat dilihat
dengan memberi warna kuning kehijauan. Pada kasus tinea korporis dan
kruris, lampu Wood digunakan untuk menyingkirkan diagnosis banding dari
eritrasma yang akan tampak sebagai efloresensi merah bata (El-Gohary et al,
2014).
Pada pasien dilakukan pemeriksaan kerokan kulit dengan KOH 10%. Hasil
positif ditemukan hifa bersepta atau bercabang dan berspora
D. Penatalaksanaan
1. Non Farmakologis
a. Meningkatkan kebersihan badan dan menghindari berkeringat yang
berlebihan
b. Menggunakan baju dari bahan yang menyerap keringat (misal: katun),
dan menghindari mengenaan baju dari bahan yang tidak menyerap
keringat (misal: karet, nylon)
c. Tidak bertukar handuk dan dengan orang lain
d. Menjemur handuk dan pakaian di luar, tidak di dalam rumah agar
tidak lebab
e. Memberitahukan untuk tidak menggaruk luka atau daerah kulit yang
gatal karena akan memperparah luka dan menimbulkan tempat infeksi
baru.
2. Farmakologis
a. Cetirizine tablet; 1 x 10 mg/ hari
Cetirizine adalah antihistamin kerja panjang yang mempunyai
selektivitas tinggi terhadap reseptor histamin-H1 perifer dan afinitas
yang rendah terhadap reseptor-H1 di susunan saraf pusat, sehingga
tidak menimbulkan efek sedasi atau antikolinergik gatal dan terbakar
pada mata. Selain itu loratadine juga mengobati gejala-gejala seperti
urtikaria kronik dan gangguan alergi pada kulit lainnya.Pada kasus ini
digunakan untuk mengatasi keluhan gatal yang dirasakan oleh pasien
(Katzung, 2004).
b. Ketokonazol tablet; 2 x 200 mg/ hari.
Ketokonazol merupakan fungistatik yang bekerja melalui inhibisi
sintesis ergosterol dependen-sitokrom p450 yang berperang dalam
pembentukan membran sel. Ketokonazol memiliki hepatotksik sehigga
tidak dianjurkan sebagai terapi lini pertama (El-Gohary et al, 2014).
c. Krim Mikonazol 2%
Obat topikal dala sediaan krim diberikan pada pasien untuk dioleskan
tipis pada area yang gatal secara teratur sebanyak 2 kali sehari.
Mikonazol merupakan obat antifungal bekerja secara fungistatik dengan
mengubah permebilitas membran sel fungi sehingga merusak sistem
barier selektif yang berdampak pada ketidaksimbangan komponen sel.
(El-Gohary et al, 2014; Djuanda, 2007).
E. Prognosis
Pada pasien lesi tinea korporis cukup luas sehingga dibutuhkan waktu
yang cukup lama untuk memulihkannya. Namun secara umum tingkat
kesembuhan untuk dermatofitosis superfisialis cukup tinggi (Hube et al,
2015). Pengobatan tinea membutuhkan waktu antara 2-4 minggu tanpa putus
obat bahkan dapat lebih dari itu bila lesi sangat luas dan proses penyembuhan
lambat. Apabila terdapat kegagalan terapi, maka jamur pada kulit masih dapat
berkembang dan menimbulkan lesi yang lebih luas. Selain itu faktor ekternal
seperti higienitas diri dan lingkungan, faktor internal berupa riwayat penyakit
diabetes melitus, serta perlu diperhatikan dengan cara menciptakan gaya
hidup yang bersih dan sehat.
V. KESIMPULAN
Adiguna, MS. 2011. Update treatment in inguinal intertrigo and its differential.
Denpasar: Fakultas Kedokteran Udayana.
Gohary, M., Zuuren,J., Fedorowics, Z., Burgess, H., Doney,L. 2014. Topical
Antifungal Treatment for Tinea Cruris and Tinea Corporis. Cochrane
Databse System Review.
James W., Berger, T., Elston, D. 2011.Andrews’ Disease of the Skin, Clinical
Dermatology 11th Ed. Philadelphia: Saunders Elsevier.
Menaldi, SW, Bramono, K, Indriatmi W. 2015. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Jakarta: FK UI.
Nadalo, D., Montoya, C. 2006. What is The Best Way to Treat Tinea Cruris. The
Journal of Family Practice. 55(3): 256-258.
Paramata,NR, Maidin A, Massi N. 2009. The Comparison of Sensitivity Test of
Itraconazole Agent The Causes of Dermatophytosis in Glabrous Skin In
Makassar. Makassar: Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanudin. Makassar.
Sahoo, Alok Kumar; et Rahul Mahajan. 2016 Management of tinea corporis, tinea
cruris, and tinea pedis: Indian Dermatology Online Journal 7(12): 77 – 86
Schieke, M., Garg, A. 2012. Fungal Disease: Superficial Fungal Infection. In:
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolf K, eds.
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th Edition Volume 2. New
York: McGraw-Hill. p.2277-97
Siregar, R. 2002. Atlas Berwarna Saripati Kulit dan Kelamin. Jakarta: EGC.
Siswati, S., Ervianti, E. 2013.Tinea Korporis dan Tinea Kruris. Dalam Bramono,
Kusmarinah, dkk. (Editor).Dermatomikosis Superfisialis Edisi ke-2. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal. 58-74
Wiratma, MK. 2011. Laporan kasus tinea kruris pada penderita diabetes mellitus.
Denpasar : Fakultas Kedokteran Udayana