Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN KASUS

TINEA KORPORIS ET KRURIS

Pembimbing :
dr. Ismiralda Oke Putranti, Sp. KK.

Disusun oleh :
Marselia Wulansari Utami 1610221107

SMF ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO
2019

1
LEMBAR PENGESAHAN

TINEA KORPORIS ET KRURIS

Disusun Oleh :
Marselia Wulansari Utami 1610221107

Laporan Kasus
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Kepaniteraan Klinik
di Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Prof. Margono Soekarjo
Purwokerto

Telah disetujui dan dipresentasikan


Pada tanggal April 2019

Purwokerto, April 2019


Mengetahui,

Pembimbing

dr. Ismiralda Oke Putranti, Sp. KK.

2
PRAKATA

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas karunia-Nya
penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan kasus yang berjudul “Tinea
Korporis et Kruris” tepat pada waktunya. Penulisan laporan kasus merupakan
salah satu syarat untuk mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Prof. dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Pada
kesempatan ini, penulis ucapkan terima kasih kepada :
1. dr. Ismiralda Oke Putranti, Sp. KK. selaku pembimbing yang telah
memberikan bimbingan dan masukan dalam penyusunan presentasi kasus.
2. Rekan-rekan FK UPN Veteran Jakarta dan semua pihak yang telah membantu
dalam penyusunan presentasi kasus.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan kasus ini masih
terdapat kekurangan. Oleh karena itu, segala masukan yang bersifat membangun
sangat diharapkan.

Purwokerto, April 2019

Penyusun

3
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................... 2


PRAKATA .............................................................................................................. 3
I. PENDAHULUAN ........................................................................................... 5
II. KASUS ........................................................................................................ 6
A. Identitas .................................................................................................... 6
B. Anamnesis ................................................................................................ 6
C. Pemeriksaan Fisik .................................................................................... 7
D. Pemeriksaan Penunjang.......................................................................... 12
E. Resume ................................................................................................... 12
F. Diagnosis Banding ..................................................................................... 13
G. Diagnosis Kerja ...................................................................................... 13
H. Pemeriksaan Anjuran ............................................................................. 13
I. Penatalaksanaan ......................................................................................... 13
J. Prognosis .................................................................................................... 14
III. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 15
A. Definisi ................................................................................................... 15
B. Epidemiologi .......................................................................................... 15
C. Etiologi ................................................................................................... 15
D. Faktor Predisposisi ................................................................................. 15
E. Patogenesis ............................................................................................. 16
F. Manifestasi Klinis ...................................................................................... 18
G. Pemeriksaan Penunjang.......................................................................... 18
H. Penegakan Diagnosis.............................................................................. 19
I. Diagnosis Banding ..................................................................................... 20
J. Penatalaksanaan ......................................................................................... 20
K. Prognosis ................................................................................................ 23
L. Komplikasi .............................................. Error! Bookmark not defined.
IV. PEMBAHASAN ........................................................................................ 23
V. KESIMPULAN .......................................................................................... 28
DAFTARPUSTAKA ............................................................................................ 29

4
I. PENDAHULUAN

Mikosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh jamur. Mikosis dibagi


menjadi mikosis profunda dan mikosis superfisialis.. Mikosis superfisialis
diklasifikasikan menjadi dermatofitosis dan nondermatofitosis (Budimulia, 2015).
Dermatofitosis adalah kelompok penyakit jamur kulit superfisial akibat jamur
dermatofita yang menyerang jaringan zat tanduk, pada epidermis, rambut, dan
kuku, Dermatofita adalah golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis.
Golongan jamur dermatofita mempunyai sifat mencernakan keratin, yang dibagi
dalam 3 genus yaitu; Microsporum, Trichophyton dan Epidermphyton. Penyebab
tersering tinea kruris dan korporis adalah Epidermophyton floccosum, diikuti
Tricophyton rubrum, dan Tricophyton mentagrophytes (Schieke & Garg, 2012).
Infeksi dermatofitosis dikenal dengan nama tinea dan diklasifikasikan
berdasarkan lokasi. Pembagian dermatofitosis yang banyak di berdasarkan lokasi,
antara lain tinea kapitis (dermatofitosis pada kulit dan rambut kepala), tinea barbe
(dermatofitosis pada dagu dan jenggot), tinea kruris (dermatofitosis pada daerah
genitokrural, sekitar anus, bokong, kadang sampai perut bagian bawah), tenia
pedis et manum (dermatofitosis pada kaki dan tangan), tinea unguium
(dermatofitosis pada kuku jari dan kaki), dan tinea korporis (dermatofitosis pada
bagian lain yang tidak termasuk bentuk dari 5 tinea yang telah disebutkan)
(James, 2011; Djuanda, 2007).
Kejadian dermatofitosis dipengaruhi dari beberapa faktor, diantaranya
Faktor risiko internal , yaitu: pengetahuan dan perilaku higienitas yang kurang,
mengalami keringat yang berlebihan, obesitas (BMI ≥ 25), diabetes melitus,
defisiensi imunitas, riwayat penggunaan obat-obatan seperti antibiotik,
kortikosteroid, dan imunosupresan lainnya. Selain itu, dermatofitosis juga
dipengaruhi oleh faktor risiko eksternal berupa Iklim yang panas, lingkungan
yang kotor dan lembab, pemakaian bahan pakaian yang tidak menyerap keringat,
lingkungan sosial budaya dan ekonomi, suka bertukar handuk, pakaian dan celana
dalam dengan teman atau anggota keluarga yang menderita tinea (Wolf, 2007).

5
II. KASUS

A. Identitas
No CM : 02-09043026
Nama : Ny.L
Usia : 53 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan Terakhir : SD
Status Pernikahan : Menikah
Suku Bangsa : Jawa
Agama : Islam
Tanggal Pemeriksaan : Rabu, 10 April 2019

B. Anamnesis
1. Keluhan Utama
Pasien mengeluh gatal pada kedua kaki, selangkangan , bokong,
punggung, perut, lipatan payudara.
2. Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke poliklinik kulit dan kelamin RSMS dengan keluhan
gatal di bawah lipatan kedua payudara, perut, punggung, selangkangan,
kedua kaki .sejak tiga bulan lalu dan semakin memberat sejak dua minggu
yang lalu. Keluhan gatal dirasakan terus – menerus, semakin meluas dan
mengganggu aktivitasnya. Keluhan tersebut dirasakan semakin memberat
saat pasien beraktivitas banyak, berkeringat dan saat cuaca panas.
Keluhan berkurang saat di garuk. Awalnya keluhan dirasakan timbul
bercak kemerahan pada kedua kaki kemudian semakin meluas sampai ke
bokong, selangkangan, punggung, perut dan lipatan payudara.
Gatal tidak muncul bila pasien makan-makanan tertentu seperti telur
dan makanan laut. Gatal juga tidak timbul ketika bersentuhan dengan
benda tertentu seperti logam maupun deodorant. Pasien mengaku sudah
pernah mengobati penyakitnya di Rawalo dan diberikan suntikan, namun
tidak membaik, malah bertambah gatal.

6
Pasien mengaku mandi dua kali sehari. Setelah BAB dan BAK tidak
pernah mengeringkan dengan tissue atau handuk. Pasien mengaku jarang
cuci tangan setelah menggaruk badannya yang gatal. Pasien mengaku
badan mudah berkeringat. Pasien memiliki penyakit DM sejak dua tahun
yang lalu.
3. Riwayat Penyakit Dahulu:
 Riwayat keluhan serupa sebelumnya disangkal
 Riwayat penyakit kulit lain disangkal
 Riwayat alergi makanan dan obat-obatan disangkal
 Riwayat konsumsi obat di akui ( obat untuk DM)
 Riwayat asma dan rhinitis disangkal
 Riwayat penyakit hipertensi disangkal
 Riwayat penyakit Diabetes melitus diakui.

4. Riwayat Penyakit dalam Keluarga :


 Riwayat keluhan serupa disangkal
 Riwayat penyakit kulit lain disangkal
 Riwayat alergi makanan dan obat-obatan disangkal
 Riwayat konsumsi obat-obatan dalam jangka waktu lama disangkal
 Riwayat asma dan rhinitis disangkal
 Riwayat penyakit hipertensi disangkal
 Riwayat penyakit Diabetes melitus disangkal.

6. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien tinggal di sebuah rumah bersama suami dan kedua orang
anaknya .Pasien menyangkal sering menggunakan pakaian ketat.
Penghasilan pasien bergantung kepada suami dan anaknya yang telah
bekerja.

C. Pemeriksaan Fisik
Keadaaan umum : baik
Kesadaran : Compos mentis

7
BB : 49 kg
TB : 150 cm
IMT : 21,78 (normal)
Vital Sign
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Nadi : 82x/menit
Pernafasan : 20x/menit
Suhu : 36.7⁰C
Status Generalis
Kepala : Mesochepal
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung : Nafas cuping hidung (-/-) deformitas (-/-)
Telinga : Deformitas (-/-) sekret (-/-)
Mulut : Pucat (-/-)
Tenggorokan : T1 – T1 tenang , tidak hiperemis
Leher : Tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening
Thorax : Simetris, retraksi (-)
Jantung : BJ I – II reguler, murmur (-), Gallop (-)
Paru : SD vesikuler, ronki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen : Supel, datar, BU (+) normal, nyeri tekan (-)

Ekstremitas :Akral hangat, edema ( ), sianosis ( )

Status Lokalis (Dermatologis)


Lokasi : Regio intertriginosa mammae dextra et sinistra, regio
abdominalis, regio lumbalis posterior, regio inguinalis
dextra et sinistra, regio intergluteal dexra et sinistra, regio
cruris dextra et sinistra.
Efloresensi : Makula eritematosa plakat polimorfik disertai dengan
central healing di regio inguinalis, intergluteal dextra et
sinistra dan lumbalis posterior. Makula eritematosa
berbatas tegas tepi aktif dan central healing dengan

8
skuama halus di regio abdominalis, regio intertriginosa
mammae dextra et sinistra, dan di regio cruris.

9
10
11
D. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Kerokan Kulit dengan KOH 10%. Hasil positif ditemukan
hifa bersepta atau bercabang dan berspora

E. Resume

Pasien datang ke poliklinik kulit dan kelamin RSMS dengan keluhan


gatal di bawah lipatan kedua payudara, perut, punggung, selangkangan,
kedua kaki .sejak tiga bulan lalu dan semakin memberat sejak dua minggu
yang lalu. Keluhan gatal dirasakan terus – menerus, semakin meluas dan
mengganggu aktivitasnya. Keluhan tersebut dirasakan semakin memberat
saat pasien beraktivitas banyak, berekeringat dan saat cuaca panas.
Keluhan berkurang saat di garuk. Awalnya keluhan dirasakan timbul
bercak kemerahan pada kedua kaki kemudian semakin meluas sampai ke
bokong, selangkangan, punggung, perut dan lipatan payudara.
Pasien mengaku sudah pernah mengobati penyakitnya di Rawalo dan
diberikan suntikan, namun tidak membaik, malah bertambah gatal.
Pasien mengaku mandi dua kali sehari. Setelah BAB dan BAK tidak
pernah mengeringkan dengan tissue atau handuk. Pasien mengaku jarang
cuci tangan setelah menggaruk badannya yang gatal. Pasien mengaku
badan mudah berkeringat. Pasien memiliki penyakit DM sejak dua tahun
yang lalu.
Lokasi di regio intertriginosa mammae dextra et sinistra, regio
abdominalis, regio lumbalis posterior, regio inguinalis dextra et sinistra,
regio intergluteal dexra et sinistra, regio cruris dextra et sinistra.
Efloresensi : makula eritematosa plakat polimorfik disertai dengan
central healing di regio inguinalis, intergluteal dextra et sinistra dan lumbalis
posterior. Makula eritematosa berbatas tegas tepi aktif dan central healing
dengan skuama halus di regio abdominalis, regio intertriginosa mammae
dextra et sinistra, dan di region cruris.
Pemeriksaan Kerokan Kulit dengan KOH 10%. Hasil positif ditemukan
hifa bersepta atau bercabang dan berspora

F. Diagnosis Banding
1. Kandidiasis cutis intertriginosa
Lesi makula dan plak kemerahan, relatif lebih basah, berbatas tegas
disertai lesi satelit berada pada daerah lipatan
2. Psoriasis
Lesi berupa plakat eritema multiple berbatas tegas disertai skuama lebih
tebal dan berlapis-lapis. Keluhan biasanya menahun dan berulang.
3. Eritrasma
Makula eritema berbatas lebih tegas, jarang disertai infeksi, flouresensi
merah bata yang khas dengan sinar Wood
G. Diagnosis Kerja
Tinea Korporis et Kruris
H. Pemeriksaan Anjuran
1. Lampu Wood
2. Kultur media saboround agar
I. Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
a. Sistemik:
Antimikotik sitemik : Itrakonazol 100 mg /hari 2x1 (30 hari)
Antihistamin : Cetirizine 10 mg 1x1 tab
b. Antimikotik topikal : Mikonazole krim 2% dioles 2x sehari
(pagi dan malam) (30 hari)

2. Edukasi
a. Menggunakan handuk bersih dipakai sendiri.
b. Sering mengganti handuk.
c. Mencuci dan menjemur handuk.
d. Meningkatkan kebersihan badan dan menghindari keringat berlebih.
e. Menghindari pemakaian baju dalam yang terbuat dari bahan yang tidak
menyerap keringat.
f. Menghindari kontak langsung dengan orang yang mengalami infeksi
jamur.
g. Edukasi penyebab penyakit, pemakaian obat baik topikal maupun oral
sesuai anjuran dokter
h. Edukasi pasien supaya tidak menggaruk lesi karena dapat
menyebabkan infeksi sekunder.
J. Prognosis
a. Quo ad vitam : ad bonam
b. Quo ad sanasionam : ad bonam
c. Quo ad fungsionan : ad bonam
d. Quo ad cosmeticam : ad bonam
III. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Tinea korporis tergolong dalam dermatofitosis superficial yang
ditemukan pada leher, badan, lengan, tungkai dan gluteal.Sedangkan tinea
kruris adalah dermatofitosis yang ditemukan pada pangkal paha, genital,
pubis, serta perineum dan kulit perianal. Tinea korporis dan kruris disebabkan
oleh jamur golongan dermatofita, terutama suatu kelas fungi imperfecti,yaitu
genus Epidermophyton, Mycrosporum dan Trycophyton( Adiguna, 2011).
B. Epidemiologi

Tinea korporis dan korporis lebih sering terjadi di daerah dengan


iklim panas dan lembab. Angka kejadian tinea korporis terjadi sama antara
pria dan wanita, sedangkan tinea kruris terjadi 2 kali lebih banyak pada pria
dibandingkan wanita. Tinea korporis terjadi pada semua umur denga
prevalensi tertinggi tertinggi pada umur praremaja, sedangkan tinea kruris
lebih banyak terjadi pada dewasa dibandingkan anak-anak (Lesher, 2018;
Wiederkehr, 2018). Sekitar 20 hingga 25% populasi dunia pernah menderita
penyakit ini dan dapat menyerang semua ras dan kelompok umur. iklim panas
dan kelembaban yang tinggi menjadi predisposisi tertinggi memperkuat
kejadian infeksi dermatofita (Budimulia, 2016).
C. Etiologi
Etiologi penyakit ini merupakan jamur golongan dermatofita, aantara lain
Trichophyton rubrum (90%),Epidermophyton floccosum, Trichophyton
mentagrophytes, dan Trichophyton verrucosum (Schieke, 2015).
Golongan jamur ini mempunyai sifat mencerna keratin sehingga jamur
jenis ini menyerang lapisan-lapisan kulit mulai dari stratum korneum hingga
stratum basalis. Penularan penyakit ini terjadi karena adanya kontak dengan
debris keratin yang mengandung hifa jamur (Kurniati, 2008).
D. Faktor Predisposisi
Faktor resiko yang dapat menimbulkan penyakit tinea kruris, dapat
dibagi menjadi 2 yaitu faktor risiko internal dan faktor risiko ekternal (Behzadi
dkk, 2014) :
1. Faktor risiko Internal
Faktor risiko internal lebih banyak pada usia remaja dan dewasa, jenis
kelamin laki-laki tapi tidak menutup kemungkinan pada wanita, memiliki
pengetahuan dan perilaku higienitas yang kurang, mengalami keringat
yang berlebihan, obesitas (BMI ≥ 25), memiliki penyakitmetabolik seperti
diabetes melitus, mengalami defisiensi imunitas, riwayat penggunaan obat-
obatan seperti antibiotik, kortikosteroid, dan imunosupresan lainnya.
2. Faktor risiko eksternal
Faktor risiko eksternal yang dapat menyebabkan infek diantaranyau Iklim
yang panas, lingkungan yang kotor dan lembab, pemakaian bahan pakaian
yang tidak menyerap keringat, lingkungan sosial budaya dan ekonomi,
suka bertukar handuk, pakaian dan celana dalam dengan teman atau
anggota keluarga yang menderita tinea.
E. Patogenesis
Dermatofita mampumenyerang dan bertahan pada stratum korneum
kulit manusia karena stratum korneum merupakan sumber nutrisi untuk
pertumbuhan dermatofita dan untuk pertumbuhan miselia jamur(Schieke &
Garg, 2012). Cara penularan jamur dapat secara langsung maupun tidak
langsung. Penularan langsung melalui epitel, rambut yang mengandung jamur
baik dari manusia, binatang, atau tanah. Penularan tidak langsung dapat
melalui tanaman, kayu yang dihinggapi jamur, pakaian, dan debu. Agen
penyebab juga dapat ditularkan melalui kontaminasi dengan pakaian, handuk
atau sprei penderita atau autoinokulasi dari tinea pedis, tinea inguium, dan
tinea manum (Schieke & Garg, 2012).
Patogen menginvasi lapisan kulit yang paling atas, yaitu pada stratum
korneum, lalu menghasilkan enzim keratinase dan menginduksi reaksi
inflamasi pada tempat yang terinfeksi. Inflamasi ini dapat menghilangkan
patogen dari tempat infeksi sehingga patogen akan mecari tempat yang baru
di bagian tubuh. Perpindahan organisme inilah yang menyebabkan gambaran
klinis yang khas berupa central healing(Schieke & Garg, 2012).
Infeksi dermatofita terjadi melalui tiga tahap: perlekatan pada keratinosit,
penetrasi diantara dan melewati sel, dan pembentukan respon pejamu
(Kurniati, 2018) :
1. Perlekatan ke keratinosit
Jamur superfisial harus melewati berbagai rintangan untuk dapat
melekat pada jaringan keratin di antaranya sinar UV, suhu, kelembaban,
kompetisi dengan flora normal lain, sphingosin yang diproduksi oleh
keratinosit, dan asam lemak yang diproduksi oleh kelenjar sebasea bersifat
fungistatik(Lakshmipathy et al., 2010).
2. Penetrasi menembus stratum korneum
Setelah terjadi perlekatan, spora berkembang dan menembus
stratum korneum pada kecepatan yang lebih cepat daripada proses
deskuamasi. Penetrasi juga dibantu oleh sekresi proteinase, lipase dan
enzim musinolitik yang juga menyediakan nutrisi untuk jamur. Adanya
trauma jaringan kulit dan maserasi juga membantu penetrasi jamur ke
jaringan sebagai jalur masuk yang menguntungkan bagi
jamur(Lakshmipathyet al., 2010).
Mannan yang terdapat pada dinding sel jamurdapat menghalangi
proliferasi dari keratinosit dan respon imunitas seluler yang memperlambat
penyembuhan epidermis (Lakshmipathyet al., 2010).
3. Perkembangan respon host
Derajat inflamasi dipengaruhi oleh dua faktor yaitu status imun
penderita dan organisme itu sendiri. Pertahanan baru muncul ketika begitu
jamur mencapai lapisan terdalam epidermis, yakni terjadi reaksi
hipersensitivitas tipe IV atau reaksi hipersensitivitas tipe lambat,yang
memainkan peran yang sangat penting dalam melawan dermatofita. Infeksi
menghasilkan sedikit eritema dan skuama yang dihasilkan oleh
peningkatan pergantian keratinosit. Inflamasi yang terjadi menyebabkan
barier epidermal menjadi permeabel terhadap transferin dan sel-sel yang
bermigrasi menyebabkan jamur segera berpindah ke lokasi yang baru
meninggalkan lokasi yang lama menjadi sembuh (central healing) dan
membentuk tepi aktif (Lakshmipathyet al., 2010).
F. Manifestasi Klinis
1. Anamnesis
Keluhan utama dan keluhan tambahan pasien biasanya adalah rasa
gatal pada badan dan daerah kruris (lipat paha), intergluteal sampai ke
gluteus, dan genitalia.Dapat pula meluas ke supra pubis dan abdomen
bagian bawah. Pasien biasanya pernah memiliki keluhan yang serupa
sebelumnya. Faktor risiko dari tinea yaitu pasien berada pada tempat yang
beriklim agak lembab, memakai pakaian ketat, bertukar pakaian dengan
orang lain, berkeringat banyak, dan menderita diabetes melitus
(Janik&Heffernan, 2008).
2. Pemeriksaan Fisik
Efloresensi terdiri atas bermacam-macam bentuk, baik yang primer
maupun sekunder, pada tinea kruris berupa makula/ plak eritematosa,
berbatas tegas meluas dari lipat paha hingga ke paha bagian dalam dan
seringkali bilateral.Peradangan di bagian tepi lesi lebih terlihat dengan
bagian tengah tampak seperti menyembuh (central clearing). Pada tepi lesi
dapat disertai vesikel, pustul, dan papul, terkadang terlihat erosi disertai
keluarnya serum akibat garukan. Pada lesi kronis dapat ditemukan adanya
likenifikasi disertai skuama dan hiperpigmentasi (Yosella, 2015; Schieke
& Garg, 2012).

G. Pemeriksaan Penunjang
Gejala klinis dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan
laboratorium.Pemeriksaan mikologik untuk membantu menegakkan diagnosis
terdiri atas pemeriksaan langsung sediaan basah dan biakan. Pemeriksaan lain
seperti pemeriksaan histopatologik dan imunologik tidak diperlukan.
1. Kerokan kulit dengan larutan KOH 10%
Pada pemeriksaan mikologik untuk mendapatkan jamur diperlukan
bahan klinis yang berupa kerokan kulit. Bahan-bahan kerokan kulit ini
diambil dengan cara mengerok bagian kulit yang mengalami lesi.
Sebelumnya kulit dibersihkan, lalu dikerok dengan skalpel steril dan
jatuhannya ditampung dalam lempeng-lempeng steril. Kemudian
sediaan dituangi larutan KOH 10%. Hasil positif jika ditemukan hifa
bersepta atau bercabang dan berspora (Hidayati et al., 2009).

Gambar 1. Hifa pada Sediaan KOH


2. Pemeriksaan dengan lampu wood
Pemeriksaan lampu Wood adalah pemeriksaan yang menggunakan
sinar ultraviolet dengan panjang gelombang 360 nm. Sinar ini tidak
dapat dilihat. Bila sinar ini diarahkan ke kulit yang mengalami infeksi
oleh jamur dermatofita tertentu, sinar ini akan berubah menjadi dapat
dilihat dengan memberi warna (fluoresensi). Beberapa jamur yang
memberikan fluoresensi yaitu M. canis, M. audouini, M. ferrugineum
dan T. schoenleinii (Hay dan Moore, 2004). Pada kasus tinea korporis
dan kruris, lampu Wood digunakan untuk menyingkirkan diagnosis
banding dari eritrasma yang akan tampak sebagai efloresensi merah
bata (Hidayati et al., 2009).
3. Biakan jamur dengan media Sabouroud
Kultur dilakukan dalam media agar sabaroud dextrose agar (SDA)
pada suhu kamar (25-30⁰C), kemudian satu minggu dilihat dan dinilai
apakah ada pertumbuhan jamur.Spesies jamur dapat ditentukan melalui
bentuk koloni, bentuk hifa dan bentuk spora.Kultur jamur merupakan
metode diagnostik yang lebih spesifik, namun membutuhkan waktu
yang lebih lama dan sensitivitas ynag rendah, harga lebih mahal dan
biasanya digunakan pada kasus yang berat dan tidak respon terhadap
pengobatan sistemik (Wiratma, 2011).
H. Penegakan Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dengam melihat gambaran klinis dan lokasi terjadinya lesi dan pemeriksaan
penunjang.Gejala klinis yaitu berupa rasa gatal yang meningkat pada saat
berkeringat.Pemeriksaan fisik didapatkan adanya lesi papulovesikel
eritematosa yang multipel dengan batas tegas dan tepi yang meninggi,
berbentuk polisiklik atau bulat berbatas tegas, polimorfik dan tepi lebih aktif.
Pada pemeriksaan laboratorium yaitu dilakukan mikroskopis langsung dengan
kerokan tetes KOH dan kultur (Yossela, 2015).
I. Diagnosis Banding
1. Kandidosis cutis intertriginosa
Pada kandidosis cutis intertriginosa lesi relatif lebih basah, berbatas jelas
disertai lesi-lesi satelit (Siregar, 2004)
2. Psoriasis
Pada psoriasis skuama lebih tebal dan berlapis-lapis, tidak terdapat central
healing, pada pemeriksaan KOH negatif (Siregar, 2004)
3. Eritrasma
Ertrasma ditandai oleh lesi kulit berupa lebih eritema, batas lesi tegas,
kering tidak ada satelit, pemeriksaan dengan sinar Wood positif
memperlihatkan fluorensensi merah bata (Hidayati et al., 2009)

J. Penatalaksanaan
1. Non medikamentosa
Beberapa edukasi dapat diberikan kepada pasien antara lain (Yosella,
2015; Gohary et al, 2012) :
a. Bersihkan kulit setiap hari menggunakan sabun dan air untuk
menghilangkan sisa-sisa kotoran agar jamur tidak mudah tumbuh
b. Bila gatal, diusahakan jangan digaruk karena garukan dapat
menyebabkan luka dan infeksi
c. Jaga kebersihan kulit dan kaki. Bila berkeringat keringkan dengan
handuk dan mengganti pakaian yang lembab
d. Gunakan pakaian yang terbuat dari bahan yang dapat menyerap
keringat seperti katun, tidak ketat, dan diganti setiap hari
e. Untuk menghindari penularan penyakit, pakaian dan handuk yang
digunakan penderita harus segera dicuci dan direndam air panas
f. Tidak menggunakan pakaian, handuk, dan peralatan mandi secara
bersama-sama dengan orang lain
2. Medikamentosa
Menurut Suganti (2017) indikasi antifungi sistemik pada
dermatofitosis antara lain; tinea kapitis; tinea yang mengenai kuku; tinea
yang melibatkan lebih dari 1 regio tubuh secara bersamaan misalnya tinea
kruris dan korporis, atau tine kruris dan pedis; tinea korporis yang
memiliki lesi luas, walaupun belum ada definisi lesi luas yang diterima;
tenia pedis yang memiliki keterlibatan lesi luas pada plantar, talus, dan
dorsum pedis, atau rekurensi dan vesikel yang mengganggu. Dari seluruh
antijamur sistemik, terbinafine dan itrakonazol adalah yang paling banyak
digunakan. Terbinafin diketahui lebih efektif daripada griseofulvin,
sedangkan efikasi terbinafin dengan itrakonazol hampir sama (Sahoo et
Mahajan, 2016).

Tabel 3.1 Dosis dan Durasi Penggunaan Antijamur Sisemik (Sahoo et


Mahajan, 2016).
Nama Antijamur Dosis Durasi
Terbinafin 250/hari, 3 – 6 mg/kg/day 2 – 3 minggu
Itrakonazol 200 mg/day 1 – 2 mingg
Flukonazol 150 – 300 mg/minggu 3 -4 minggu
Gresiofulvin 2 – 4 minggu
Micro size 500 mg/hari, 10 – 20 mg/kg/hari
Ultra-microsize 300 – 375 mg/hari, 5 – 10
mg/kg/hari

Golongan antijamur topikal dapat digunkan pada infeksi tinea tanpa


komplikasi. Lama pengobatan umumnya sampai 1-2 minggu. Untuk
pengobatan topikal dengan antijamur yang bersifat fungistatik, pengobatan
dilanjutkan 1-2 minggu setelah lesi hilang/sembuh.Hal ini bertujuan untuk
mencegah terjadinya kekambuhan. Untuk pengobatan topikal dengan
antijamur yang bersifat fungisidal Terbinafin, pengobatan cukup diberikan
selama 1-2 minggu, tidak perlu diteruskan setelah lesi hilang/ sembuh.
Obat dioles di atas lesi menjadi satu lapisan tipis yang menutupi paling
sedikit sampai 3 cm ke arah luar lesi (Siswati & Ervianti, 2013).
Pengobatan anti jamur untuk tinea dapat digolongkan dalam empat
golongan yaitu: golongan azole, golongan allilamin, benzilamin dan
golongan lainnya seperti siklopiros, tolnaftan, haloprogin. Obat secara
topikal yang digunakan dalam tinea antara lain (Siswati & Ervianti, 2013;
Gohary et al, 2012; Nadalo & Montoya, 2006) :
a. Golongan Azole
1) Clotrimazole
Merupakan obat pilihan pertama yang digunakan dalam
pengobatan tinea cruris karena bersifat anti jamur broad spektrum
yang mekanismenya menghambat pertumbuhan ragi dengan
mengubah permeabilitas membran sel sehingga sel-sel jamur mati.
Pengobatan dengan clotrimazole ini bisa dievaluasi setelah 4
minggu jika tanpa ada perbaikan klinis. Penggunaan pada anak-
anak sama seperti dewasa. Obat ini tersedia dalam bentuk cream
1%, solution, lotion. Diberikan 2 kali sehari selama 4 minggu.
Tidak ada kontraindikasi obat ini, namun tidak dianjurkan pada
pasien yang menunjukan hipersensitivitas, peradangan infeksi yang
luas dan hindari kontak mata.
2) Mikonazole
Mekanisme kerjanya merusak selaput dinding sel jamur dengan
menghambat biosintesis dari ergosterol sehingga permeabilitas
membran sel jamur meningkat menyebabkan sel jamur mati.
Tersedia dalam bentuk cream 2%, solution, lotion dan bedak.
Diberikan 2 kali sehari selama 4 minggu. Penggunaan pada anak
sama dengan dewasa. Tidak dianjurkan pada pasien yang
menunjukkan hipersensitivitas dan hindari kontak dengan mata.
3) Ketokonazole
Mekanisme kerja ketokonazole sebagai turunan imidazole yang
bersifat broadspektrum akan menghambat sintesis ergosterol
sehingga komponen sel jamur meningkat dan menyebabkan sel
jamur mati. Pengobatan dengan ketokonazole dapat dilakukan
selama 2-4 minggu. Tidak dianjurkan pada pasien yang
menunjukkan hipersensitivitas, hindari kontak dengan mata.
K. Prognosis
Prognosis tinea merupakan cenderung bonam apabila diobati secara
rutin dalam jangka waktu minimal 14 hari. Prognosis tinea korporis secara
umum baik. Namun, penyakit ini erat kaitannya dengan higienitas pasien
sehingga dapat terjadi infeksi beulang apabila kebersihan tidak terpelihara
meskipun keluhan sudah tidak muncul. Faktor-faktor yang menjadi
penyulit kesembuhan dan atau menunjang kekambuhan tinea korporis
diantaranyaluas lesi, higienitias personal buruk, bertahan pada lingkungan
dan kebiasaan berpakian yang lembab, dan terapi tidak adekuat (El-
Gohary et al, 2014).
IV. PEMBAHASAN

A. Penegakkan diagnosis
Penyakit kulit yang terdapat pada pasien dalam kasus adalah tinea
korporis dan kruris. Hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik status
dermatologis yang mendukung ke arah diagnosis kerja adalah sebagai berikut :
Hasilanamnesis :
1. Keluhan utama gatal pada area yang tertutup pakaian dan area lipatan
kulit.
2. Keluhan gatal memberat apabila pasien berkeringat maupun saat
beraktivitas.
3. Pasien tinggal di tempat bercuaca panas dan beraktivitas menggunakan
baju tebal dengan bahan yang tidak menyerap keringat.
4. Pasien jarang mencuci tangan setelah menggaruk badannya yang gatal.
5. Setelah BAB dan BAK tidak pernah mengeringkan dengan tissue atau
handuk
6. Badan pasien mudah berkeringat.
7. Pasien memiliki riwayat penyakit Diabetes Melitus.

Lokasi di regio intertriginosa mammae dextra et sinistra, regio


abdominalis, regio lumbalis posterior, regio inguinalis dextra et sinistra,
regio intergluteal dexra et sinistra, regio cruris dextra et sinistra.

Efloresensi : makula eritematosa plakat polimorfik disertai dengan


central healing di regio inguinalis, intergluteal dextra et sinistra dan
lumbalis posterior. Makula eritematosa berbatas tegas tepi aktif dan central
healing dengan skuama halus di regio abdominalis, regio intertriginosa
mammae dextra et sinistra, dan di regio cruris.

B. Diagnosis banding
Berdasarakan tempat lesinya, diagnosis banding untuk penyakit Tinea
korporis et cruris pada kasus ini adalah sebagai berikut :
1. Kandidiasis Kutis Intertriginosa
Kandidiasis memiliki kesamaan keluhan berupa gatal
yangmemberat bila berkeringat. Rasa gatal dirasakan pada lesi kulit yang
muncul pada area-area yang berkeringat, seperrti lipatan, atau area yang
lembab. Efloresensi pada kandidiasis adalah makula dan papul eritem
numular hingga plakat dengan papul eritem disekitarnya sebagai lesi satelit
yang tidak diteukan padda lesi kulit pasien (Budimulia, 2014).
2. Psoriasis
Psoriasis merupakan penyakit kronik residif yang memiliki wujud
kelainan kulit serupa dermatofitosis. Pasien umumnya mengeluhkan
muncul bercak yang bersisik disertai rasa gatal. Efloresensi kulit yang
muncul berupa maukla eritem anular multipel dengan sisik putih tebal
seperti mika. Sedangkan pada pasien ini terdapat central healing dan tidak
terdapat skuama tebal berlapis seperti mika maupun auspitz, candle sign.
Serta pada pemeriksaan KOH tidak ditemukan hifa panjang Sedangkan
pada pasien ini ditemukan hifa panjang bersepta pada tes KOH (Siregar,
2014).
4. Eritrasma
Eritrasma memiliki efloresensi berupa makula eritematosa tanpa
adanya central healing. Sedangkan pada pasien ini terdapat central
healing. Selain itu pada pemeriksaan lampu wood didapatkan pendaran
coral red sedangkan pada pasien ini kuning kehijauan. Serta pada
pemeriksaan KOH tidak ditemukan hifa panjang dan pewarnaan Gram
adanya bakteri Gram positif yakni Corynebacterium minutissimum.
Sedangkan pada pasien ini ditemukan hifa panjang bersepta pada tes KOH
dan pada pewarnaan Gram tidak ditemukan bakteri.

C. Pemeriksaan penunjang
Selain dari gejala khas tinea korporis, diagnosis harus dibantu dengan
pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan mikroskopis, kultur,
pemeriksaan lampu wood, biopsi dan histopatologi, pemeriksaan serologi,
dan pemeriksaan dengan menggunakan PCR (Djuanda, 2007).
Pemeriksaan mikroskopis dilakukan dengan membuat preparat
langsung dari kerokan kulit, kemudian sediaan dituangi larutan KOH 10%.
Sesudah 15 menit atau sesudah dipanaskan dengan api kecil, dilihat di bawah
mikroskop. Pemeriksaan ini memberikan hasil positif hifa ditemukan hifa
(benang-benang) yang bersepta atau bercabang, selain itu tampak juga spora
berupa bola kecil (Czaika, 2013).
Pemeriksaan lampu wood adalah pemeriksaan yang menggunakan sinar
ultraviolet. Bila sinar ini diarahkan ke kulit yang mengalami infeksi oleh
jamur dermatofita tertentu, sinar ini akan berubah menjadi dapat dilihat
dengan memberi warna kuning kehijauan. Pada kasus tinea korporis dan
kruris, lampu Wood digunakan untuk menyingkirkan diagnosis banding dari
eritrasma yang akan tampak sebagai efloresensi merah bata (El-Gohary et al,
2014).
Pada pasien dilakukan pemeriksaan kerokan kulit dengan KOH 10%. Hasil
positif ditemukan hifa bersepta atau bercabang dan berspora
D. Penatalaksanaan
1. Non Farmakologis
a. Meningkatkan kebersihan badan dan menghindari berkeringat yang
berlebihan
b. Menggunakan baju dari bahan yang menyerap keringat (misal: katun),
dan menghindari mengenaan baju dari bahan yang tidak menyerap
keringat (misal: karet, nylon)
c. Tidak bertukar handuk dan dengan orang lain
d. Menjemur handuk dan pakaian di luar, tidak di dalam rumah agar
tidak lebab
e. Memberitahukan untuk tidak menggaruk luka atau daerah kulit yang
gatal karena akan memperparah luka dan menimbulkan tempat infeksi
baru.
2. Farmakologis
a. Cetirizine tablet; 1 x 10 mg/ hari
Cetirizine adalah antihistamin kerja panjang yang mempunyai
selektivitas tinggi terhadap reseptor histamin-H1 perifer dan afinitas
yang rendah terhadap reseptor-H1 di susunan saraf pusat, sehingga
tidak menimbulkan efek sedasi atau antikolinergik gatal dan terbakar
pada mata. Selain itu loratadine juga mengobati gejala-gejala seperti
urtikaria kronik dan gangguan alergi pada kulit lainnya.Pada kasus ini
digunakan untuk mengatasi keluhan gatal yang dirasakan oleh pasien
(Katzung, 2004).
b. Ketokonazol tablet; 2 x 200 mg/ hari.
Ketokonazol merupakan fungistatik yang bekerja melalui inhibisi
sintesis ergosterol dependen-sitokrom p450 yang berperang dalam
pembentukan membran sel. Ketokonazol memiliki hepatotksik sehigga
tidak dianjurkan sebagai terapi lini pertama (El-Gohary et al, 2014).
c. Krim Mikonazol 2%
Obat topikal dala sediaan krim diberikan pada pasien untuk dioleskan
tipis pada area yang gatal secara teratur sebanyak 2 kali sehari.
Mikonazol merupakan obat antifungal bekerja secara fungistatik dengan
mengubah permebilitas membran sel fungi sehingga merusak sistem
barier selektif yang berdampak pada ketidaksimbangan komponen sel.
(El-Gohary et al, 2014; Djuanda, 2007).

E. Prognosis
Pada pasien lesi tinea korporis cukup luas sehingga dibutuhkan waktu
yang cukup lama untuk memulihkannya. Namun secara umum tingkat
kesembuhan untuk dermatofitosis superfisialis cukup tinggi (Hube et al,
2015). Pengobatan tinea membutuhkan waktu antara 2-4 minggu tanpa putus
obat bahkan dapat lebih dari itu bila lesi sangat luas dan proses penyembuhan
lambat. Apabila terdapat kegagalan terapi, maka jamur pada kulit masih dapat
berkembang dan menimbulkan lesi yang lebih luas. Selain itu faktor ekternal
seperti higienitas diri dan lingkungan, faktor internal berupa riwayat penyakit
diabetes melitus, serta perlu diperhatikan dengan cara menciptakan gaya
hidup yang bersih dan sehat.
V. KESIMPULAN

1. Tinea korporis dan kruris adalah salah satu jenis dermatofitosis


2. Etiologi berupadermatofita Trichophyton rubrum, Trichophyton
mentagrophytes.
3. Gejala klinis yaitu berupa rasa gatal yang meningkat pada saat berkeringat
pada badan, lipat paha, genital, sekitar anus, dan daerah perineum.
4. Pemeriksaan fisik didapatkan adanya lesi makula plak eritematosa yang
multipel dengan batas tegas dan tepi yang meninggi dan tepi lebih aktif,
mempunyai central healing dan squama halus.
5. Pada pemeriksaan penunjang yang dapat dilkaukan adalah kerokan kulit +
KOH 10 %, kultur, dan lampu wood untuk menyingkirkan diagnosis.
6. Pengobatannya dapat secara sistemik, dan topikal dilakukan sesuai dengan
luas lesi. Pengobatan harus dilakukan selama 2-4 minggu tanpa putus obat.
7. Penyembuhan dan pencegahan kekambuhan penyakit ini bergantung oleh
higienitas
DAFTARPUSTAKA

Adiguna, MS. 2011. Update treatment in inguinal intertrigo and its differential.
Denpasar: Fakultas Kedokteran Udayana.

Budimulja U. Mikosis. Dalam Sri Luniwih, Menaldi,Hamzah M, dan Aisah,


Kusmarinah. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-7. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2016. Hal. 89-100

Behzadi P, dkk. 2014. Dermatophyte fungi: Infections, Diagnosis and Treatment.


Sikkim Manipal University Medical Journal. 1(2): 53-54

Djuanda, A. 2007.Ilmu Penyakit Kulitdan Kelamin Edisi 5.Jakarta : FKUI.

Gohary, M., Zuuren,J., Fedorowics, Z., Burgess, H., Doney,L. 2014. Topical
Antifungal Treatment for Tinea Cruris and Tinea Corporis. Cochrane
Databse System Review.

Haber, M. 2007.Dermatological fungal infections.Canadian Journal of


Diagnosis University of Calgary’s.

Hidayati, NA, Suyoso S, Hinda D, Sandra E. 2009. Mikosis superfisialis di


divisi mikologi unit rawat jalan penyakit kulit dan kelamin RSUD dr.
Soetomo surabaya tahun 2003–2005.Surabaya: Department Kesehatan
Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. 2009;
21(1)1-8

James W., Berger, T., Elston, D. 2011.Andrews’ Disease of the Skin, Clinical
Dermatology 11th Ed. Philadelphia: Saunders Elsevier.

Janik, M., Heffernan, P. 2008. Superficial Fungal Infection: Dermathopytosis,


Onycomycosis, Tinea nigra, Piedra. Dalam Fitzpatrick Dermatology in
General Medicine. McGraw-Hill: USA. 807-812.

Kurniati, Cita Rosita. 2008. Etiopatogenesis Dermatofitosis. Berkala Ilmu


Kesehatan Kulit & Kelamin 20(3): 243 – 250

Lakshmipathy, DT., Krishnan K.. 2010. Review on dermatomycosis: pathogenesis


and treatment. Natural Science 2 (2010) 726-731.

Lesher, Jack L. 2018. Tinea corporis (online).


https://emedicine.medscape.com/article/1091473-overview#showall

Menaldi, SW, Bramono, K, Indriatmi W. 2015. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Jakarta: FK UI.

Nadalo, D., Montoya, C. 2006. What is The Best Way to Treat Tinea Cruris. The
Journal of Family Practice. 55(3): 256-258.
Paramata,NR, Maidin A, Massi N. 2009. The Comparison of Sensitivity Test of
Itraconazole Agent The Causes of Dermatophytosis in Glabrous Skin In
Makassar. Makassar: Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanudin. Makassar.

Sahoo, Alok Kumar; et Rahul Mahajan. 2016 Management of tinea corporis, tinea
cruris, and tinea pedis: Indian Dermatology Online Journal 7(12): 77 – 86

Schieke, M., Garg, A. 2012. Fungal Disease: Superficial Fungal Infection. In:
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolf K, eds.
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th Edition Volume 2. New
York: McGraw-Hill. p.2277-97

Siregar, R. 2002. Atlas Berwarna Saripati Kulit dan Kelamin. Jakarta: EGC.

Siswati, S., Ervianti, E. 2013.Tinea Korporis dan Tinea Kruris. Dalam Bramono,
Kusmarinah, dkk. (Editor).Dermatomikosis Superfisialis Edisi ke-2. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal. 58-74

Wiederkehr, Michael.2018. Tinea cruris (online).


https://emedicine.medscape.com/article/1091806-overview#showall

Wolff K, Johnson RA, Suurmond D. 2007 Cutaneus Fungal Infection.


Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology. The
McGraw Hill Company

Wiratma, MK. 2011. Laporan kasus tinea kruris pada penderita diabetes mellitus.
Denpasar : Fakultas Kedokteran Udayana

Yosella, T. 2015. Diagnosis and Treatment of Tinea Cruris.J MAJORITY,


4(2):122-28

Anda mungkin juga menyukai