Azmi LAPORAN - PRAKTIKUM - FIX Kologi
Azmi LAPORAN - PRAKTIKUM - FIX Kologi
PENDAHULUAN
A. Judul Percobaan
Pengenalan karakteristik hewan coba
B. Tujuan Percobaan
a. Mengenal cara-cara pemberian obat melalui berbagai rute pemberian obat.
b. Menyadari pengaruh rute pembrian obat terhadap efek yang timbul.
c. Memahami berbagai karakteristik hewan coba
C. Latar Belakang
Farmakologi ialah ilmu mengenai pengaruh senyawa terhadap sel hidup, lewat proses
kimia khususnya lewat reseptor. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
193/Kab/B.VII/71, obat merupakan suatu bahan atau paduan bahan-bahan yang dimaksudkan
untuk digunakan dalam menetapkan diagnosis, mencegah, mengurangi, menghilangkan,
menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, atau kelainan badaniah dan rohaniah pada
manusia atau hewan dan untuk memperelok atau memperindah badan atau bagian badan
manusia.Mayoritas obat bekerja secara spesifik terhadap suatu penyakit. Namun tidak jarang
juga obat yang bekerjanya secara menyeluruh. Beberapa hewan coba yang digunakan untuk
mengamati efek farmakologi diantaranya adalah mencit, tikus, kelinci, marmot. Setiap hewan
coba memiliki karekteristik berbeda-beda, berikut penjelasannya:
1. Mencit
Karakteristik utama mencit : hewan mencit di laboraturium mudah ditangani ia bersifat
penakut, fotofobia, cenderung berkumpul sesamanya, mempunyai kecenderungan untuk
bersembunyi dan lebih aktif dimalam hari dari pada siang hari. Kehadiran manusia akan
menghambat aktivitas mencit. Suhu normal 37,4oC. Laju respirasi normal 163 kali tiap
menit.
2. Tikus
Karakteristik utama tikus : tikus relatif resisten terhadap infeksi dan cerdas. Tikus putih
pada umumnya tenang dan mudah ditangani. Ia tidak begitu bersifat fotofobik
dibandingkan dengan mencit,dan kecenderungan untuk berkumpul sesamanya, ukuran
tidak begitu besar. Aktivitasnya tidak begitu terganggu dengan adanya manusia
disekitanya. Suhu tubuh normal : 37,5-38,00C. Laju respirasi normal 210 tiap menit. Bila
diperlakukan kasar (atau apabila ia mengalami defisiensi nutrisi) tikus menjadi galak dan
sering menyerang si pemegang.
3. Kelinci
Karakteristik utama kelinci : kelinci jarang sekali bersuara, hanya dalam keadaan nyeri
luar biasa ia bersuara. Kelinci pada umumnya cenderung untuk berontak apabila merasa
keamanannya terganggu. Suhu rektal kelinci sehat adalah antara 38,5-400C, pada
umunyan 39,50C. Suhu rektal ini berubah apabila hewan tersebut tereksitasi, ataupun
karena gangguan lingkungan. Laju respirasi kelinci dewasa normal adalah 38-65
permenit, pada umumnya 50 (pada kelinci muda, laju ini dipercepat, dan pada kelinci
bayi bisa mencapai 100 permenit).
4. Marmot
Karakteristik utama marmot : marmot agak jinak tidak menimbulkan kesukaran pada
waktu dipegang dan jarang menggigit. Marmot yang sehat selalu bersikap awas: kulitnya
halus dan berkilat, tidak dikotori oleh feses maupun urin. Bila dipegang, bulunya tebal,
kuat tapi tidak kasar, marmot berdaging tebal. Tidak ada caran keluar dari hidung
ataupun telinga, juga tidak meneteskan air luar atau diare. Pernafasannya teratur dan tidak
bersembunyi. Sikapnya dan cata berjalannya normal. Dalam satu species, variasi bobot
badan dan ukuran badan antara sikap dan cara berjalannya normal. Dalam satu spesies,
variasi bobot badan dan ukuran badan antara tiap marmot yang berumur sama, tidak
besar. Laju denyut jantung marmot normal adalah 150-160 per menit, laju respirasi 110-
115 per menit, dan suhu rektal antara 39-400C.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Mencit
Mencit adalah hewan yang mudah di tangani, bersifat penakut, fotofobia, cenderung
berkumpul dengan sesamanya serta lebih aktif di malam hari di bandingkan siang hari.
Berikut adalah anatomi fisiologi dari hewan mencit:
1. Mulut mencit: terdiri atas 2 bagian yakni bagian eksternal (luar) yang sempit berupa
vestibula yang terdiri dari ruang diantara gusi, gigi, bibir dan pipi. bagian dalam (internal)
atau rongga mulut yang dibatasi dengan tulang maksilaris, palatum serta mandibularis di
bagian belakang bersambung dengan faring. Selaput lendir mulut ditutupi oleh jaringan
epitel berlapis yang dibawahnya terdapat kelenjar halus penghasil lendir. Selaput tersebut
penuh dengan pembuluh darah dan ujung akhir dari saraf sensoris. Bibir mencit terletak
di sebelah luar mulut dan ditutupi dengan kulit serta dan di bagian dalam ditutupi dengan
mukosa.
2. Faring mencit di bagian dalamnya terdapat lengkung faring yang terdapat tonsil atau
amandel yang tersusun atas kumpulan kelenjar limfe. Kelenjar tersebut banyak
mengandung limfosit yang berfungsi sebagai pertahanan terhadap infeksi. Letak faring
bersimpangan antara saluran respirasi dengan saluran makanan
3. Laring mencit secara fisiologi adalah saluran udara yang berfungsi sebagai pembentuk
suara yang lokasinya berada di depan bagian faring sampai di ketinggian vertebra
servikalis serta masuk ke dalam trakea. Pangkal trakea tersebut ditutup dengan epiglotis
yang tersusun atas dari tulang-tulang rawan.
4. Jantung mencit berada di atas rongga dada sebelah kiri, diatas diafragma. Jantung terdiri
dari 4 ruang dan terbungkus oleh selaput pericardia. Perikardia tersusun atas 2 lapisan,
yaitu lamina parietalis dan lamina viseralis . Diantara kedua lapis tersebut
terdapat cavum pericardia yang berisi cairan pericardia. Jantung mencit tersusun atas
empat ruang, yakni dua atrium (serambi) dan dua ventrikel (bilik).
5. Paru-paru mencit lokasinya di dalam rongga dada sebelahnya kanan dan kiri jantung.
Paru-paru bagian kanan terdiri atas tiga kelompok alveolus yang merupakan dua lobus
paru- paru. Di bagian dalam paru-paru, bronkus bagian kanan memiliki tiga cabang,
sementara bronkus bagian kiri memiliki 2 cabang. Cabang dari bronkus dinamakan
bronkiolus. Fungsi paru-paru mencit yakni sebagai sistem pernafasan.
6. Hati mencit berfungsi sebagai homeostasis yang berperan dalam proses metabolisme.
Warna hati coklat kemerahan yang terletak di bagian bawah diafragma. Fungsi hati
mencit yakni mengubah zat makanan yang diserap dari usus dan kemudian disimpan di
organ tubuh lain; mengubah hasil metabolisme untuk diekskresikan kedalam empedu dan
urin.
7. Kantung empedu mencit memiliki bentuk seperti buah pir yang mana organ tersebut
sebagai penghubung antara hati dengan usus dua belas jari. Kandung empedu berfungsi
untuk menghasilkan getah empedu, sehingga membuat getah empedu menjadi kental.
8. Lambung mencit adalah organ yang berbentuk seperti kacang keledai. Lambung
tersusun atas 3 bagian, yakni kardia, fundus, antrum. Makanan yang masuk ke dalam
lambung melalui kerongkongan serta melewati otot sfingter.
9. Usus dua belas jari (duodenum) mencit adalah bagian pertama dari usus halus.
Makanan yang masuk ke dalam duodenum bisa dicerna oleh usus halus. Jika duodenum
sudah penuh, maka duodenum akan memberikan sinyal kepada lambung untuk berhenti
menyuplai sari makanan.
10. Usus besar mencit terdiri atas dari kolon asendens (naik), kolon transversum (mendatar),
kolon desendens (menurun), dan kolon sigmoid (yang berhubungan dengan rektum).
Usus besar menghasilkan sekret yang berfungsi menyerap air dan elektrolit dari tinja.
Pada saat mencapai usus besar, isi usus berbentuk cairan, namun pada saat mencapai
rektum bentuknya menjadi padat.
11. Ginjal mencit terdiri dari sepasang organ dengan bentuk seperti kacang dan letaknya
berada di retroperitoneal di bagian kedua sisi tulang punggung. Ginjal mencit tidak
melekat langsung pada bagian dinding tubuh namun dilapisi oleh jaringan lemak. Pada
bagian ginjal kanan memiliki ukuran lebih besar, lebih berat dan letaknya lebih anterior.
Ginjal mencit jantan memiliki massa lebih berat dan lebih besar.
B. Cara Pemberian Obat
Cara pemberian obat akan menentukan kecepatan dan banyak obat dapat diabsorpsi dan efek
yang diperoleh, yaitu :
1. Efek Sistemik, yaitu obat beredar ke seluruh tubuh melalui aliran darah.
2. Efek local, yaitu efek hanya setempat di mana obat digunakan.
a. Inhalasi, yaitu larutan obat disemprotkan ke dalam mulut atau hidung dengan suatu alat
seperti ; inhaler, nebulizer atau aerosol.
b. Penggunaan obat pada mukosa seperti ; mata, telinga, hidung, vagina, dengan obat tetes,
dsb.
c. Penggunaan pada kulit dengan salep, krim, lotion, dsb.
Pada praktikum yang digunakan hanya yang bersifat sistemik yaitu oral dan injeksi.
Terdapat beberapa injeksi melalui intravena, intrapetoneal, intra muscular, dan subkutan.
Masing-masing rute pemberian obat memiliki efek yang berbeda-beda yang di maksud
adalah kecepatan obat untuk memberikan efek.
C. Pengaruh Variasi Biologis Hewan Percobaan
Variasi biologis berarti tidak ada dua akan memberikan atau lebih sediaan uji yang
diharapkan akan memberikan hasil yang identic dan sediaan yang sama pada saat yang sama
diharapkan menimbulkan reaksi yang berbeda.
Telah dilakukan pengamatan berupa hewan percobaan yaitu mencit. Prilaku mencit tersebut
di bandingkan dengan teori yang terdapat pada buku
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada praktikum ini dilakukan pengenalan karakteristik dan cara memperlmeakukan pada
hewan percobaan yaitu Mencit. Mencit adalah hewan percobaan yang sering dan banyak di
gunakan di dalam laboratorium farmakologi sebagai hewan percobaan. Beberapa alasan
mencit sebagai hewan percobaan dikarenakan mencit memiliki beberapa sifat yang
menguntungkan, antara lain:
1. Cepat berkembangbiak.
2. Ukuran tubuhnya relatif lebih kecil dibandingkan berbagai jenis hewan percobaan
lainnya.
3. Mudah dipelihara dalam jumlah banyak.
4. Karakter anatomi dan fisiloginya mudah diamati.
5. Mus musculus memiliki aktivitas reproduksi yang panjang (2-14 bulan).
6. Variasi genetiknya cukup besar.
Mencit bersifat penakut, artinya ketika ada banyak orang yang akan menyendiri atau
takut terhadap lingkungan sekitarnya. Fotofobia yaitu mencit takut terhadap cahaya dan
cenderung lebih suka tempat yang gelap oleh sebab itu mencit tidak boleh terkena cahaya
silau misal senter atau hp. Mencit cenderung berkumpul sesame mncit lainnya. Mencit lebih
aktif di malam hari di bandingkan siang hari, karena mencit takut terhadap cahaya.
Pada praktikum ini tidak dilakukan penyuntikan pada mencit hanya dilakukan pegenalan
karakteristik, membedakan mencit jantan dan betina dan cara memperlakukan mencit.
Dalam memperlakukan mencit haruslah berhati-hati, jika lengah sedikit mencit akan
menggingit. Pertama dilakukan usapan pada punggung mencit sampai mencit merasa
tenang, setelah itu baru lah lakukan beberapa langkah berikut ini:
a. Mencit di angkat dengan memegangnya pada ujing ekornya menggunakan tangan kanan
dan letakan pada tempat yang permukaannya tidak licin, misal jaring-jaring kawat
b. Jangan menarik ekor mencit dengan paksa dan kuat, ikutilah gerakan dari mencit.
c. Dalam memegang mencit, telunjuk dan ibu jari tangan kiri menjepit kulit tengkuknya
sedangan tangan kanan masih memegang ekornya setelah itu tubuh mencit dapat
diangkat dan di balikkan.
d. Untuk memudahan pemberian obat, ekor mencit yang di pegang tangan kanan di
pindahkan dan di jepitkan di antara jari manis dan jari kelingking tangan kiri.
Cara membedakan mencit jantan dan betina. Mencit jantan memiliki area kemaluan yang
lebih jauh dari anus dibandingkan mencit betina. Dapat dilihat adanya testikel jika
menggantung turun. Cara untuk membedakan testikel dengan uretra mencit betina adalah
dengan melihat adanya lubang vagina di belakang tonjolan.sedangkan mencit betina
memiliki area kemaluan yang lebih dekat dengan anus. Uretra biasanya berjarak sekitar 1/2
cm pada mencit betina memiliki lubang vagina di belakang uretra yang bisa tampak seperti
tonjolan.
1. Rute oral :
Bahan dan Alat
Bahan :
Obat diberikan : Phenobarbital 100mg/1ml
Hewan percobaan : Tikus putih
Alat :
Alat suntik 1ml, jarum oral
Dosis0,02 ml
Prosedur :
Tikus dipegang pada tengkuknya, jarum oral yang telah dipasang pada alat suntik berisi
obat, diselipkan dekat langit-langit tikus dan diluncurkan masuk ke esophagus. Larutan
diberikan dengan menekan spuit pendorong sambil badan spuit ditahan agar ujung jarum
oral tidak melukai esophagus. Volume maksimum yang dapat diberikan adalah 5 ml/ 100
gram bobot badan ( bb ).
2. Rute subkutan ( SK )
Bahan dan Alat
Bahan :
Obat diberikan : Phenobarbital50mg/1ml
Hewan percobaan : Tikus putih
Alat :
Alat suntik 1ml, jarum suntik No. 26, 3/4 – 1 inchi
Dosis0,25 ml
Prosedur :
Penyuntikan biasanya dilakukan di bawah kulit tengkuk atau abdomen; seluruh jarum
disuntikkan langsung ke bawah kulit dan larutan obat didesak keluar dari alat suntik.
Prosedur :
Tikus dimasukkan ke dalam alat khusus yang memungkinkan ekornya keluar sebelum
disuntikkan. Sebaiknya pembuluh balik vena pada ekor dilatasi dengan penghangatan/
pengolesan memakai pelarut organic seperti aseton/ eter. Bila jarum suntik tidak masuk ke
vena, terasa ada tahanan, jaringan ikat daerah sekitar penyuntikan terlihat memutih dan bila
piston alat suntik ditarik, tidak ada darahyang mengalir masuk ke dalamnya. Dalam keadaan
di mana harus dilakukan penyuntikan berulang, penyuntikan dimulai dari bagian distal ekor.
Prosedur :
Tikus dipegang tengkuknya sedemikian sehingga posisi badan abdomen lebih tinggi dari
kepala. Larutan obat disuntikkan ke dalam abdomen bawah dari tikus di sebelah garis
midsagital.
Prosedur :
Larutan obat disuntikkan ke dalam otot sekitar gluteus maximus atau ke dalam otot paha lain
dari kaki belakang. Selalu perlu diperiksa apakah jarum tidak masuk ke dalam vena, dengan
menarik kembali piston alat suntik.
6. Rute Rektal
Bahan dan Alat
Bahan :
Obat diberikan : Phenobarbital50mg/1ml
Hewan percobaan : Tikus putih
Alat :
Kateter dari logam atau slikon, alat suntik 1 ml
Dosis0,2 ml
Prosedur :
Kateter dibasahi lebih dahulu dengan paraffin atau gliserin, setelah itu masukan kateter
kedalam rectum tikus, sejauh kira-kira 4cm dan larutan obat di desak ke luar sehingga
masuk ke rektrum
BAB IV
Tikus 1 – Oral
Tikus 6 – Subkutan
4.2 Perhitungan
Perhitungan Dosis
1. Tikus 1 – Oral
Dosis Fenobarbital pada manusia : 100 mg
BB tikus-1 = 109 g
109 𝑔
Dosis konversi Tikus = 200 𝑔 x 100 mg x 0,018
= 0,981 mg
Pengenceran :
50 mg/ml = 10x
0,02 x 10
= 0,2 ml
= 0,945 mg
Pengenceran :
50 mg/ml = 10x
0,02 x 10
= 0,2 ml
= 0,999 mg
Pengenceran :
50 mg/ml = 10x
0,02 x 10
= 0,2 ml
= 1,26 mg
Pengenceran :
50 mg/ml = 10x
0,025 x 10
= 0,25 ml
= 1,107 mg
Pengenceran :
50 mg/ml = 10x
0,02 x 10
= 0,2 ml
6. Tikus 6 – Subkutan
Dosis Fenobarbital pada manusia : 100 mg
BB tikus-6 = 130 g
130 𝑔
Dosis konversi Tikus = 200 𝑔 x 100 mg x 0,018
= 1,17 mg
Pengenceran :
50 mg/ml = 10x
0,025 x 10
= 0,25 ml
4.3 Pembahasan
Pada cara pemberian obat secara Oral mulai mengamati pada jam 12:14, terjadinya efek
perubahan aktivitas pada jam12:16 dan selesai efek perubahan aktivitas pada jam12:30,
durasi pada efek perubahan aktivitas selama 14 menit. Sedangkan terjadinya perubahan
efek sedativ pada jam 12:30 dan selesai efek sedativ pada jam 12:50, durasi pada efek
sedativ selama 20 menit dan tikus 1 yang diberikan obat secara Oral kembali aktif pada
jam 12:50.
Pada cara pemberian obat secara Intravena mulai mengamati pada jam 12:24, terjadinya
perubahan aktivitas pada jam 12:27 dan selesai efek perubahan aktivitas pada 12:30, durasi
pada efek perubahan aktivitas selama 3 menit. Sedangkan terjadinya perubahan efek
sedatif pada jam 12:30 dan selesai efek sedativ pada jam 12:43, durasi pada efek sedativ
selama 13 menit. Pada tikus 2, obat yang diberikan secara Intravena kembali aktif pada jam
12:43.
Pada tikus ke-3 cara pemberian obatnya secara Intrarektal mulai mengatinya pada jam
12:27, terjadinya efek perubahan aktivitas pada jam 12:33 dan selesai efek perubahan
aktivitas pada jam 12:37, durasi obat yang diberikan selama 4 menit. Sedangkan terjadinya
efek sedativ pada jam 12:37 dan selsai efek sedativ pada jam 12:49, durasi obat yang
diberikan selma 12 menit. Pada tikus ke-3 mulai aktif kembali pada jam 12:49.
Pada cara pemberian obat secara Intraperitoneal mulai mengamati pada jam 12:29.
Terjadinya efek perubahan aktivitas pada jam 12:32 dan selesai efek perubahan aktivitas
pada jam 12:39, durasi pada efek perubahan aktivitas selama 7 menit. Sedangkan
terjadinya efek sedativ pada jam 12:39 dan selesai efek sedativ pada jam 13:02, durasi
terjadinya efek sedativ selama 23 menit dan pada tikus ke-4 kembali aktif pada jam 13:02
Pada tikus ke-5 cara pemeberian obatnya yaitu secara Intramuskular, mulai mengamati
pada jam 12:31. Terjadinya efek perubahan aktivitas pada jam 12:35 dan selesai efek
perubahan aktivitas pada jam 12:44, durasi efek pada perubahan aktivitas selama 9 menit.
Sedangkan terjadinya efek sedativ pada jam 12:44 dan selesai efek sedativ pada jam 12:48,
durasi pada efek tersebut selama 4 menit. Pada tikus ke-5 aktif kembali pada jam 12:48.
Pada tikus ke-6 cara pemberian obatnya secara Subkutan, mulai mengamati pada jam
12:34. Terjadinya perubahan aktifitas pada jam 12:38, selesai efek pada jam 12:41 dan
durasi pada efek perubahan aktivitas selama 3 menit. Sedangkan pada efek sedativ mulai
terjadinya efek pada jam 12:41, selesai efek pada jam 12:57 dan durasi pada efek sedativ
selama 16 menit. Pada tikus ke-6 terjadinya juga efek hipnotik, mulai terjadinya efek pada
jam 12:52 dan selesai efek pada jam 12:57, durasi pada efek hipnotik selama 5 menit saja.
Tikus ke-6 kembali aktif pada jam 12:57.
Pada percobaan cara pemberian obat, pengamatan yang di dapat diketauhi bahwa efek
sedativ pada pemberian obat Fenobarbital yaitu Oral, Intravena (IV), Intrarektal (IR), Intra
peritoneal (IP), dan Subkutan memiliki efek yang lebih lambat. Tetapi pada pemberian
obat secara Intramuskular (IM) memiliki efek sedativ yang lebih cepat. Sedangkan pada
efek hipnotik hanya terjadi pada tikus ke-6 yang diberikan obat Fenobarbital secara
Subkutan.
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Dari praktikum yang telah dilakukan dapat ditarik beberapa kesimpulan, sebagai berikut :
1. Data menunjukkan bahwa pemberian obat dengan cara IM memiliki efek sedatif lebih
cepat daripada cara-cara lainnya.
2. Sedangkan pada efek hipnotik hanya terjadi pada tikus ke-6 yang diberikan obat
Fenobarbital secara Subkutan.
3. Peningkatan dosis dapat mempengaruhi onset dan durasi yang dihasilkan dari pada
dosis awal yang diberikan.
4. Berat badan dapat mempengaruhi onset dan durasi yang dihasilkan.
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA
Anief, Moh., 2000, Ilmu Meracik Obat, Gadjah Mada University Press, hal.
Anonim, 1995, Farmakope Indonesia Edisi,IV, Depkes RI, Jakarta, hal.
Ansel, Howard.C., 1989 Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, Universitas Indonesia Press,
Jakarta,hal.
BAB I
PENDAHULUAN
Obat biasanya diberikan dalam dosis biasa atau dosis rata-rata, yang cocok untuk
sebagian besar pasien. Untuk pasien lainnya, dosis biasa ini bisa terlalu besar sehingga
menimbulkan efek toksik atau terlalu kecil sehingga tidak efektif. Tanpa adanya kesalahan
medikasi, kepatuhan pasien menentukan jumlah obat yang diminum. Pada pemberian per oral,
jumlah obat yang diserap ditentukan oleh bioavailabilitas obat tersebut, dan bioavailabilitas
ditentukan dengan mutu obat tersebut. Faktor-faktor farmakokinetik menentukan berapa dari
jumlah obat yang diminum dapat mencapai tempat kerja obat untuk bereaksi dengan reseptornya.
Faktor-faktor farmakodinamik menentukan intensitas efek farmakologik yang ditimbulkan oleh
kadar obat di sekitar tempat reseptor tersebut.
Untuk kebanyakan obat, keragaman respons pasien terhadap obat terutama disebabkan
oleh adanya perbedaan individual yang besar dalam faktor-faktor farmakokinetik; kecepatan
biotransformasi suatu obat menunjukkan variasi yang terbesar. Untuk beberapa obat, perubahan
dalam faktor-faktor farmakodinamik merupakan sebab utama yang menimbulkan keragaman
respon pasien. Variasi dalam berbagai faktor farmakokinetik dan farmakodinamik ini berasal dari
perbedaan individual dalam kondisi fisiologik, kondisi patologik, faktor genetik, interaksi obat
dan toleransi. (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI, 2007)
Variasi-variasi metabolisme obat yang tergantung pada jenis kelamin telah dikenal baik
pada hewan tikus tetapi tidak ditemukan pada binatang pengerat lainnya. Tikus-tikus jantan
muda dewasa menunjukkan metabolisme obat yang jauh lebih cepat daripada tikus-tikus betina
muda dewasa atau tikus jantan pubertas. Perbedaan ini disebabkan oleh hormon androgenik.
Beberapa laporan klinik menyarankan bahwa perbedaan metabolisme yang sex dependent ini
terjadi juga pada obat-obat seperti etanol, propanolol, benzodiazepin, estrogen, dan salisilat.
wanita cenderung memiliki persentase dari lemak tubuh yang lebih tinggi dan memiliki
persentase cairan tubuh yang lebih rendah dari pada pria pada berat badan yang sama. (Mary K.
and Jim K., 2005)
Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi dosis, salah satunya yaitu variasi biologi.
Variasi biologi dapat diuji dengan perbandingan tikus dengan berat badan yang berbeda,
perbandingan tikus dengan perbedaan kondisi tubuh, dan dari perbedaan jenis kelamin jantan
dan betina.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kerja obat dalam tubuh dipengaruhi oleh banyak variabel. Perbedaan-perbedaan nya
adalah perbedaan-perbedaan fisik di antara pasien, faktor-faktor psikologi, bentuk sediaan, rute
pemberian obat dan efek samping serta reaksi yang berlawanan. Perbedaan Fisik Usia pasien
memiliki pengaruh yang nyata terhadap kerja obat. Baik anak-anak dan orang tua memerlukan
dosis yang lebih sedikit pada beberapa pengobatan.
Ukuran tubuh adalah suatu faktor yang berhubungan terhadap kerja obat. Seseorang yang
berbadan besar memerlukan dosis yang lebih banyak daripada dosis rata-rata yang digunakan
untuk menghasilkan suatu efek tertentu, sedangkan bagi orang yang kurus, akan mendapatkan
efek walaupun pada dosis yang sedikit.
Dosis obat untuk anak-anak biasanya dihitung menurut berat badan, luas permukaan
tubuh dan umur. Jumlah makanan yang terdapat dalam lambung secara langsung mempengaruhi
kerja obat. Obat yang terdapat dalam lambung yang kosong biasanya mencapai aliran darah lebih
cepat daripada ketika lambung penuh.
Obat-obat yang mengiritasi lambung sering diminum setelah makan, obat-obat yang lain
diberikan ketika lambung kosong. Adanya penyakit dapat mengubah kerja obat. Perubahan
fungsi gastrointestinal, misalnya, dapat menghambat atau mempercepat penyerapan obat yang
diberikan secara oral. Fungsi ginjal yang terganggu dapat menurunkan jumlah obat yang
diekskresikan. Jika dosis obat yang diberikan tinggi dapat menyebabkan akumulasi yang serius.
Dalam kasus ini, obat-obat tersebut merupakan kontraindikasi untuk pasien dengan gangguan
ginjal. Faktor Psikologi Banyak kerja obat adalah hasil dari kepercayaan pasien tersebut. Jika
seorang percaya bahwa obat akan bekerja, kesempatan akan ada. Efek ini didokumentasikan oleh
penelitian ”efek palebo”. Sebaliknya, ketidakpercayaan pasien, sebuah tingkah laku umum yang
depresi, dan perasaan putus asa biasa mengurangi aktivitas obat.
Takaran pemakaian yang dimuat dalam Farmakope Indonesia dan farmakope negara-
negara lain hanya dimaksudkan sebagai pedoman saja. Begitu pula dosis maksimal (MD), yang
bila dilampaui dapat mengakibatkan efek toksis, bukan merupakan batas yang mutlak untuk
ditaati. Dosis maksimal dari banyak obat dimuat di semua farmakope, tetapi kebiasaan ini sudah
ditinggalkan Farmakope Eropa dan Negara-negara Barat, karena kurang adanya kepastian
mengenai ketepatannya, antara lain berhubung dengan variasi biologi dan factor-faktor tersebut
di atas. Sebagai gantinya kini digunakan dosis lazim, yaitu dosis rata-rata yang biasanya (lazim)
memberikan efek yang diinginkan. Doses farmakope luar negeri sebetulnya berlaku untuk orang
Barat dewasa berdasarkan bobot rata-rata 150 pound (68 kg). tubuh orang Indonesia umumnya
lebih kecil dengan berat rata-rata 56 kg, sehingga seharusnya mendapatkan takaran yang lebih
rendah pula.
Usia Manula, yaitu orang berusia di atas 65 tahun, lazimnya lebih peka terhadap obat dan
efek sampingnya, karena-karena perubahan-perubahan fisiologis, seperti menurunnya fungsi
ginjal dan metaboisme hati, meningkatnya resiko lemak-air dan berkurangnya sirkulasi darah.
Karena fungsi hati dan ginjal menurun, maka eliminasi obat pun berlangsung lebih laambat.
Lagipula jumlah albumin dalam darahnya lebih sedikit, oleh karena itu pengikatan obat pun
berkurang, terutama obat-obat dengan PP besar, seperti anti-koagulansia dan fenilbutazon. Hal
ini berarti bahwa bentuk bebas dan aktif dari obat-obat ini menjadi lebih besar dan bahaya
keracunan semakin meningkat. Selanjutnya, pada manula tak jarang terjadi kerusakan umum
(difus) pada sel-sel otak, yang meningkatkan kepekaan bagi obat dengan kerja pusat, misalnya
obat tidur (barbiturat, nitrazepam), opioida dan psikofarmaka. Obat ini pada dosis biasa dapat
menyebabkan reaksi keracunan yang hebat pada manula, juga obat jantung digoksin, hormone
insulin dan adrenalin. Anak kecil, terutama bayi yang baru lahir, menunjukkan kerentanan yang
lebih besar terhadap obat karena fungsi hati dan ginjal serta system enzimnya belum berkembang
secara lengkap.
BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM
BAB IV
Tikus I
- Berat badan : 121g
- Dosis Fenobarbital pada manusia : 100mg
- Faktor konversi dari 70kg manusia- 200g tikus : 0,018
- Dosis fenobarbital pada tikus
121𝑔
𝑥 100𝑚𝑔 𝑥 0,018 = 1,089𝑚𝑔
200𝑔
Tikus II
- Berat badan : 146g
- Dosis Fenobarbital pada manusia : 100mg
- Faktor konversi dari 70kg manusia- 200g tikus : 0,018
- Dosis fenobarbital pada tikus
146𝑔
𝑥 100𝑚𝑔 𝑥 0,018 = 1,314𝑚𝑔
200𝑔
Tikus III
- Berat badan : 118g
- Faktor konversi dari 70kg manusia- 200g tikus : 0,018
- Dosis NaCl pada tikus
118𝑔
𝑥 100𝑚𝑔 𝑥 0,018 = 1,062𝑚𝑔
200𝑔
4.3 Pembahasan
Dari hasil percobaan diperoleh data bahwa tikus I dan tikus II yang diberikan larutan
fenobarbital tidak memberikan efek obat yang diharapkan pada menit yang ditetapkan,
melainkan hanya memberikan efek resisten seperti tidak tidur tetapi mengalami ataksia. Pada
menit ke 45 pada tikus I (berat badan 121 g), tikus mengalami ataksia ringan sedangkan pada
tikus II berat badan (146 g), tikus mengalami ataksia sedang. Hal ini dapat dilihat pada saat tikus
I diberikan rangsangan, respon yang di berikan tikus I sedikit lebih cepat dibanding tikus II.
Namun, meskipun tikus II mengalami respon yang sedikit lebih lambat dari tikus I tidak menutup
kemungkinan bahwa tikus II dapat mencapai efek yang diharapkan namun dalam waktu lebih
dari 45 menit.
Hal ini kurang sesuai dengan teori yang menyatakan efek biologi tiap hewan berdasarkan
berat badan.Ketidaksesuaian efek yang diharapkan dengan data yang diperoleh dapat disebabkan
karena efek fisiologis tikus yang sudah mengalami stres sebelum obat diberikan, atau lokasi
tempat pemberian obat (dalam percobaan ini intraperitonial) yang kurang sesuai.
Sedangkan pada tikus III (berat badan 118 g) yang diberikan larutan fisiologis NaCl tidak
memberikan efek. Hal ini sesuai karena pada percobaan ini tikus III hanya dijadikan tikus
kontrol. Sifat NaCl yang isotonis tidak memberikan efek terapi obat sehingga tikus III yang
diberikan larutan NaCl hanya sebagai baku pembanding saja.
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Variasi biologi mempengaruhi pemberian dosis obat, pada tikus I (berat badan 121 g),
tikus mengalami ataksia ringan sedangkan pada tikus II berat badan (146 g), tikus mengalami
ataksia sedang.
Hal ini dapat dilihat pada saat tikus I diberikan rangsangan, respon yang di berikan tikus I
sedikit lebih cepat dibanding tikus II. Namun, meskipun tikus II mengalami respon yang sedikit
lebih lambat dari tikus I tidak menutup kemungkinan bahwa tikus II dapat mencapai efek yang
diharapkan namun dalam waktu lebih dari 45 menit.
Ketidaksesuaian efek yang diharapkan dengan data yang diperoleh dapat disebabkan
karena efek fisiologis tikus yang sudah mengalami stres sebelum obat diberikan, atau lokasi
tempat pemberian obat (dalam percobaan ini intraperitonial) yang kurang sesuai.
Sedangkan pada tikus III (berat badan 118 g) yang diberikan larutan fisiologis NaCl tidak
memberikan efek. Hal ini sesuai karena pada percobaan ini tikus III hanya dijadikan tikus
kontrol.
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK-UI. (2007). ” Farmakologi Dan Terapi ”. Edisi
5.Gaya Baru; Jakarta, Hal 886, 894-895
Gan, S. (1980). ” Farmakologi Dan Terapi ”. Edisi 2, Penerbit buku Bagian Farmakologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; Jakarta. Halaman 120-122
Hitner, H., and Nagle, B. (1999). ”Basic Pharmacology”. Fourth Edition. Mc Graw Hill ; USA.
Pages 231 – 232.
Katzung, B.G. (2002). “Farmakologi Dasar dan Klinik”. Edisi VIII. Penerbit Buku Salemba
Medika ; Jakarta. Halaman 44-46.
Mary, K., and Keogh, J. (2005). ”Pharmacology Demistified”. Mc Graw Hill ; New Jersey.
Pages 42-44
Maksum Radji. (2005). ”Pendekatan Farmakogenomik Dalam Pengembangan Obat Baru”
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Judul
Variasi kelamin
1.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengaruh variasi jenis kelamin terhadap dosis obat yang diberikan
kepada hewan percobaan
2. Mampu membedakan terjadinya efek antara hewan coba yang berkelamin berbeda
antara hewan jantan dan betina sebagai dasar pertimbangan percobaan dengan
memakai hewan coba
1.3 Teori.
Cara pemberian obat sangat penting artinya karena setiap obat berbeda
penyerapannya oleh tubuh dan sangat bergantung pada lokasi pemberian. Rute pemberian
obat merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi efek obat, terutama laju
penyerapan obat. Hal ini disebabkan karena perbedaan karakteristik lingkungan
fisiologis, anatomi dan biokimiawi pada daerah kontak permulaan obat dan tubuh.
Perbedaan karakteristik ini mengakibatkan perbedaan jumlah obat yang dapat mencapai
tempat kerja pada rentang waktu tertentu sehingga mengakibatkan perbedaan onset (mula
kerja obat) dan durasi (lama kerja obat).
Pemilihan rute pemberian obat tergantung dari tujuan terapi, sifat obat serta
kondisi pasien. Bentuk sediaan obat yang diberikan akan mempengaruhi kecepatan dan
efek terapi obat. Bentuk sediaan obat dapat memberikan efek local maupun sistemik.
Efek sistemik diperoleh jika obat beredar ke seluruh tubuh melalui peredaran darah,
sedangkan efek lokal adalah efek obat yang bekerja setempat.
BAB II
METODOLOGI PRAKTIKUM
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Mencit betina 1
28𝑔 0.364
x 0.0026 x 100mg = 0,364 mg , vol. yang diambil = x 1 ml =0.7 ml
20𝑔 0.5
2. Mencit betina 2
23𝑔 0.299
x 0.0026 x 100mg = 0,299 mg , vol. yang diambil = x 1 ml =0.5 ml
20𝑔 0.5
3. Mencit betina 3
28𝑔 0.364
x 0.0026 x 100mg = 0,364 mg , vol. yang diambil = x 1 ml =0.7 ml
20𝑔 0.5
4. Mencit jantan 1
40𝑔 0.52
x 0.0026 x 100mg = 0,52 mg , vol. yang diambil = x 1 ml =0.1 ml
20𝑔 5
5. Mencit jantan 2
44𝑔 0.572
x 0.0026 x 100mg = 0,572 mg , vol. yang diambil = x 1 ml =0.1 ml
20𝑔 5
6. Mencit jantan 3
41𝑔 0.533
x 0.0026 x 100mg = 0,533 mg , vol. yang diambil = x 1 ml =0.1 ml
20𝑔 5
2. Mencit betina 2
Efek Mulai efek Selesai efek Durasi
Perubahan aktivitas 03:45 10:13 6 menit 28 detik
Sedatif 10:13 15:05 4 menit 52 detik
Hipnotik 15:05 20:04 4 menit 59 detik
Anatesi - -
3. Mencit betina 3
Efek Mulai efek Selesai efek Durasi
Perubahan aktivitas 04:02 05:26 1 menit 24 detik
Sedatif 05:26 13:27 8 menit 1 detik
Hipnotik 13:27 20:00 6 menit 33 detik
Anatesi - -
4. Mencit jantan 1
Efek Mulai efek Selesai efek Durasi
Perubahan aktivitas 03:15 06:08 2 menit 53 detik
Sedatif 06:08 11:08 5 menit
Hipnotik 11:08 16:11 5 menit 3 detik
Anatesi - -
5. Mencit jantan 2
Efek Mulai efek Selesai efek Durasi
Perubahan aktivitas 07:40 10:11 2 menit 31 detik
Sedatif 10:11 22:30 12 menit 19 detik
Hipnotik 22:30 23.30 1 menit
Anatesi - -
6. Mencit jantan 3
Efek Mulai efek Selesai efek Durasi
Perubahan aktivitas 04:00 07:48 3 menit 48 detik
Sedatif 07:48 13:23 5 menit 35 detik
Hipnotik 13:23 14:40 1 menit 17 detik
Anatesi 14:40 22:37 7 menit 57 detik
3.4 Pembahasan
Pemberian obat secara Intra Peritonial yaitu pemberian cairan obat disuntikkan di
rongga perut dibawah diagfragma. Mencit dipegang dengan cara membalikkan badannya.
Bersihkan area kulit yang akan disuntik dengan alcohol 70%. Masukkan obat dengan
menggunakan alat suntik 1 ml.
Pada mencit betina 1, awalnya aktivitasnya normal, setelah disuntik pada menit ke
2 : 57 mencit mengalami perubahan aktifitas. Untuk mengalami sedative, membutuhkan
waktu yang lama yaitu pada menit ke 13 : 23 mencit mulai tenang. Pada menit ke 18 : 43
mencit mengalami keadaan hipnotik yang membuat mencit tidur. Setelah itu mencit
terbangun kembali dan tidak mengalami anastesi.
Pada awalnya betina, awalnya aktivitasnya normal, setelah disuntik pada menit ke
9:56 mencit mengalami perubahan aktifitas. Untuk mengalami sedative dalam waktu
yang lama yaitu pada menit ke 17:17 mencit mulai tenang. Setelah itu mencit sadar dan
dalam keadaan normal kembali sampai 17 : 20 dan kemudian, mencit pun masuk kedalam
fase hipnotik hingga menit ke 37 : 25 yang membuat mencit tidur. Setelah itu mencit
terbangun kembali dan tidak mengalami anastesi.
Pada mencit betina ke 2 dalam keadaan normal (sebelum disuntik), lalu diamati
setelah disuntik, mencit mengalami perubahan aktivitas pada menit ke 03.45, kemudian
mencit mulai mengalami efek sedativ pada menit ke 10:13, setelah diamati kembali
mencit mulai memasuki fase hipnotik pada menit ke 15:05, hingga pada menit ke 20:04
mencit kembali normal, tanpa mengalami anastesi.
Pada mencit betina ke 3 diamati dalam keadaan normal (sebelum disuntik), lalu
diamati setelah disuntik, mencit mengalami perubahan aktivitas pada menit ke 04:02,
kemudian mencit menjadi lebih tenang atau mulai mengalami efek sedativ pada menit ke
05:26, setelah diamati kembali mencit mulai memasuki fase hipnotik pada menit ke
13:27, hingga pada menit ke 20:00 mencit kembali bergerak normal, tanpa mengalami
anastesi.
Mencit jantan 1 diamati dalam keadaan normal (sebelum disuntik), lalu diamati
setelah disuntik, telihat mencit ,mulai mengalami perubahan aktivitas pada menit ke
03:15, kemudian mencit menjadi lebih tenang atau mulai mengalami efek sedativ pada
menit ke 06:08, setelah diamati kembali mencit mulai memasuki fase hipnotik pada menit
ke 11:08, hingga pada menit ke 16:11 mencit kembali bergerak normal, tanpa mengalami
anastesi.
Pada mencit jantan III, aktifitas awal normal,setelah disuntikkan pada menit ke 4 :
00 terjadi perubahan aktifitas dimana mencit mulai memojok. Pada menit ke 7 : 48
mencit mulai mengalami sedative yang menenangkan mencit. Mencit mengalami sedative
cukup lama, kemudian pada menit ke 13 : 23 mencit mengalami hipnotik yang
meningkatkan keinginan untuk tidur. Pada menit ke 14 : 40 mencit mengalami anastesi
sampai ke 22 : 37, setelah itu mencit terbangun dan melakukan aktifitas seperti biasa.
Adanya perbedaan lama durasi pada hewan uji, kemungkinan disebabkan oleh
perbedaan berat badan hewan, yang mempengaruhi dosis. Adanya kesalahan pada saat
penyuntikan juga dapat mempengaruhi lama kerja obat atau durasi. Kesulitan pada saat
penyuntikan karna hewan coba yamg selalu bergerak atau stess juga menyebabkan
kesalahan pada penyuntika tidak tepat.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Dari praktikum yang telah dilakukan dapat ditarik beberapa kesimpulan, sebagai berikut :
1. Adanya perbedaan jenis kelamin hewan mempengaruhi pennyerapan obat dan
metabolismenya
2. Pada mencit betina terjadi efek yang cepat namun durasi yang cepat dikarenakan tidak
memiliki kadar lemak dan air yang kecil dibandingkan dengan mencit jantan yang
memiliki kadar minyak dan air yang lebih banyak.
3. Jenis kelamin akan mempengaruhi respon obat yang diberikan, dimana jantan lebih
cepat memberika respon dari pada betina karena pengaruh hormone androgen.
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Dosis yang menimbulkan efek terapi pada 50 % individu disebut dosis terapi median atau
dosis efektif median ( ED50 ). Dosis letal median ( LD50 ) ialah dosis yang menimbulkan
kematian pada 50 % individu, sedangkan TD50 ialah dosis toksik 50 %.
Dalam studi farmakodinamik di laboratorium, indeks terapi suatu obat dinyatakan dalam
rasio berikut :
Indek terapi = TD50/ED50 atau LD50/ED50
Akan tetapi, nilai-nilai ekstrim tersebut tidak dapat ditentukan dengan teliti karena letaknya di
bagian kurva yang melengkung dan bahkan hampir mendatar.
Obat biasanya diberikan dalam dosis biasa atau dosis rata-rata, yang cocok untuk sebagian
besar pasien. Untuk pasien lainnya, dosis biasa ini terlalu besar sehingga menimbulkan efek
toksis atau terlalu kecil sehingga tidak efektif.
Tanpa adanya kesalahan medikasi, kepatuhan pasien menentukan jumlah obat yang
diminum. Pada pemberian per oral, jumlah obat yang diserap ditentukan oleh biavailabilitas obat
ditentukan dengan mutu obat tersebut. Faktor-faktor farmakokinetik menentukan berapa dari
jumlah obat untuk bereaksi dengan reseptornya. Faktor-faktor farmakodinamik menentukan
intensitas efek farmakologik yang ditimbulkan oleh kadar obat di sekitar tempat reseptor
tersebut.
Untuk kebanyakan obat, keragaman respon pasien terhadap obat terutama disebabkan oleh
adanya perbedaan individual yang besar dalam faktor-faktor farmakokinetik, kecepatan
biotransformasi suatu obat menunjukkan variasai yang terbesar. Untuk beberapa obat, perubahan
dalam faktor-faktor farmakokinetik merupakan sebab utama yang menimbulkan keragaman
respon pasien. Faktor-faktor yang mempengaruhi respons pasien terhadap obat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam farmakologi, dasar-dasar kerja obat diuraikan dalam dua fase yaitu fase
farmakokinetik dan fase farmakodinamik. Dalam terapi obat, obat yang masuk dalam tubuh
melalui berbagai cara pemberian umumnya mengalami absorpsi, distribusi, dan pengikatan untuk
sampai ke tempat kerja (reseptor) dan menimbulkan efek, kemudian dengan atau tanpa
biotransformasi (metabolisme) lalu di ekskresi kan dari tubuh. Proses tersebut dinyatakan
sebagai proses farmakokinetik. Farmakodinamik, menguraikan mengenai interaksi obat dengan
reseptor obat; fase ini berperan dalam efek biologik obat pada tubuh.
Dosis lazim suatu obat dapat ditentukan sebagai jumlah yang dapat diharapkan
menimbulkan efek pada pengobatan orang dewasa yang sesuai dengan gejalanya. Dosis tunggal
diberikan untuk beberapa macam obat dan dosis harian untuk yang lainnya, tergantung pada
bahan obat, bentuk sediaan dan keadaan yang diberi obat. Jika suatu obat dipakai dalam jangka
waktu yang lama seperti aspirin untuk artritis, maka dosis obat harian lebih tepat. Dosis bahan
obat dapat berbeda-beda, tergantung pada cara pemakaiannya. Hal ini sebagian besar karena
perbedaan tingkat penyerapan obat dan kelanjutan kerja obat melalui berbagai cara setelah
pemakaiannya. Selama aktivitas biologik, produk-produk yang berlainan seperti penisilin,
poliomielitis vaksin, dan insulin berbeda-beda, maka setiap unit dari aktivitasnya, tersendiri bagi
setiap obat dan tidak ada hubungan antara satu obat dan yang lainnya.
BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM
Prosedur
Mencit ke 2
No. Efek Mulai Efek Selesai Efek Durasi
1 Perubahan Aktivitas 08:02 25:33 17:31
2. Sedatif 25:33 55:00 30:07
3. Hipnotik 55:00 - -
4. Anastesi - - -
5. Mati (Dosis Letal) - - -
Mencit ke 3
Mencit ke 4
Mencit ke 5
4.2 Perhitungan
BB mencit-1 = 41g
BB mencit-2 = 39g
BB mencit-3 = 35g
BB mencit-4 = 41g
BB mencit-5 = 39g
Jawab :
= 0,533 mg
Tiap ml sediaan mengandung phenobarbital 50 mg
Kadar phenobarbital dalam sediaan = 50 mg /ml
0,533 mg
Volume sediaan yang diambil = x 1 ml
50 mg
= 0,01 ml
0,533 mg
Jadi, volume sediaan yang diambil = x 1 ml
5 mg
= 0,1 ml
b. Mencit-2 = 39 g
39 g
Dosis phenobarbital mencit-2 = x 0,0026 x (2 x 100 mg)
20 g
= 1,014 mg
1,014 mg
Volume sediaan yang diambil = x 1 ml
5 mg
= 0,2 ml
c. Mencit-3 = 35 g
35 g
Dosis phenobarbital mencit-3 = x 0,0026 x (4 x 100 mg)
20 g
= 1,82 mg
1,82 mg
Volume sediaan yang diambil = x 1 ml
5 mg
= 0,36 ml
d. Mencit-4 = 41 g
41 g
Dosis phenobarbital mencit-4 = x 0,0026 x (8 x 100 mg)
20 g
= 4,264 mg
4,264 mg
Volume sediaan yang diambil = x 1 ml
5 mg
= 0,8 ml
e. Mencit-5 = 39 g
39 g
Dosis phenobarbital mencit-5 = x 0,0026 x (2 x 100 mg)
20 g
= 8,112 mg
8,112 mg
Volume sediaan yang diambil = x 1 ml
5 mg
=1,6 ml
4.3 Pembahasan
Pada percobaan dosis obat & respon dilakukan dengan menggunakan hewan coba berupa
mencit jantan sebanyak 5 ekor. Langkah awal yang dilakukan adalah menimbang berat badan
masing-masing mencit dan memberi penandaan pada masing-masing mencit. Kemudian hitung
dosis dan volume pemberian phenobarbital untuk masing-masing mencit. Pada mencit ke-1
dengan berat badan 41 g dengan dosis yang diberikan sebanyak 0,533 mg, kemudian volume
phenobarbital yang diambil sebanyak 0,1 ml. Suntikan secara intravena pada bagian ekor mencit
yang berwarna keungu-an. Setelah disuntik, amati perubahan efek yang terjadi. Pada menit ke
04:33 terjadi mulai efek perubahan aktivitas yang ditandai dengan perubahan mencit yang sudah
tidak terlalu aktif dan selesai efek perubahan aktivitas pada menit ke 09:56. Durasi efek
perubahan aktifitas berlangsung selama 05:23. Pada menit ke 09:56 berlanjut ke efek sedatif
yang ditandai dengan efek ataksia atau mengantuk namun tidak tidur dan selesai efek sedatif
pada menit ke 36:57. Durasi efek sedatif berlangsung selama 27:01 menit. Pada menit ke 36:57
terjadi mulai efek hipnotik yang ditandai tidurnya mencit, namun jika diberi rangsangan dapat
tegak kembali dan selesai efek hipnotik tidak dapat diperkirakan karena keterbatasan waktu
dalam praktikum. Pada mencit-1, efek yang terjadi diperkirakan hanya sampai efek hipnotik. Hal
ini dapat terjadi karena dosis yang diberikan sebesar 0,533 mg sehingga tidak menimbulkan efek
anestesi bahkan letal (mati).
Pada mencit ke-2 dengan berat badan 39 g dengan dosis yang diberikan sebanyak 1,014
mg, kemudian volume phenobarbital yang diambil sebanyak 0,2 ml. Suntikan secara intravena
pada bagian ekor mencit yang berwarna keungu-an. Setelah disuntik, amati perubahan efek yang
terjadi. Pada menit ke 08:02 terjadi mulai efek perubahan aktivitas yang ditandai dengan
perubahan mencit yang sudah tidak terlalu aktif dan selesai efek perubahan aktivitas pada menit
ke 25:33. Durasi efek perubahan aktifitas berlangsung selama 17:31. Selanjutnya, pada menit ke
25:33 berlanjut ke efek sedatif yang ditandai dengan efek ataksia atau mengantuk namun tidak
tidur dan selesai efek sedatif pada menit ke 55:00. Durasi efek sedatif berlangsung selama 30:07
menit. Kemudian, pada menit ke 55:00 terjadi mulai efek hipnotik yang ditandai tidurnya mencit,
namun jika diberi rangsangan dapat tegak kembali dan selesai efek hipnotik tidak dapat
diperkirakan karena keterbatasan waktu dalam praktikum. Pada mencit-2, efek yang terjadi
diperkirakan hanya sampai efek hipnotik. Hal ini dapat terjadi karena dosis yang diberikan
sebesar 1,014 mg sehingga tidak menimbulkan efek anestesi bahkan letal (mati). Pada mencit-2,
mulai efek perubahan aktifitas lebih lama dari mencit-1. Hal ini disebabkan karena pada mencit-
1 terjadi kesalahan penyuntikan saat praktikum, sehingga tidak semua larutan obat masuk ke
pembuluh vena melainkan sebagian obat masuk ke dalam muskular (otot).
Pada mencit ke-3 dengan berat badan 35 g dengan dosis yang diberikan sebanyak 1,82
mg, kemudian volume phenobarbital yang diambil sebanyak 0,36 ml. Suntikan secara intravena
pada bagian ekor mencit yang berwarna keungu-an. Setelah disuntik, amati perubahan efek yang
terjadi. Pada menit ke 03:57 terjadi mulai efek perubahan aktivitas yang ditandai dengan
perubahan mencit yang sudah tidak terlalu aktif dan selesai efek perubahan aktivitas pada menit
ke 08:14. Durasi efek perubahan aktifitas berlangsung selama 04:57. Kemudian, pada menit ke
08:14 berlanjut dengan mulainya efek sedatif yang ditandai dengan efek ataksia atau mengantuk
namun tidak tidur dan selesai efek sedatif pada menit ke 10:49. Durasi efek sedatif berlangsung
selama 02:35 menit. Selanjutnya, pada menit ke 10:49 terjadi mulai efek hipnotik yang ditandai
tidurnya mencit, namun jika diberi rangsangan dapat tegak kembali dan selesai efek hipnotik
pada menit ke 38:26. Durasi efek hipnotik berlangsung selama 28:17 menit. Pada menit ke 38:26
terjadi mulai efek anestesi yang ditandai dengan tidurnya mencit, namun jika diberi rangsangan
tidak dapat tegak kembali dan selesai efek anestesi tidak dapat di perkirakan karena keterbatasan
waktu dalam praktikum, sehingga dosis yang diberikan pada mencit ke-3 tidak diketahui dapat
menyebabkan letal (mati) atau tidak.
Percobaan pada mencit ke-4 dengan berat badan 41 g dengan dosis yang diberikan
sebanyak 4,264 mg dan volume yang diambil sebanyak 0,8 ml. Kemudian larutan disuntikan
secara Intravena pada bagian ekor mencit yang berwarna keungu-an. Setelah disuntikkan, amati
perubahan efek yang terjadi. Pada menit ke 08:26 terjadi mulai efek perubahan aktivitas yang
ditandai dengan perubahan mencit yang sudah tidak terlalu aktif dan selesai efek perubahan
aktivitas pada menit ke 12:46. Durasi efek perubahan aktifitas berlangsung selama 04:20 menit.
Pada menit ke 12:46 berlanjut ke efek sedatif yang ditandai dengan efek ataksia atau mengantuk
namun tidak tidur dan selesai efek sedatif pada menit ke 29:22. Durasi efek sedatif berlangsung
selama 17:16 menit. Pada menit ke 29:22 terjadi mulai efek hipnotik yang ditandai tidurnya
mencit, namun jika diberi rangsangan dapat tegak kembali dan selesai efek hipnotik pada menit
ke 30:28. Durasi efek hipnotik berlangsung selama 01:05 menit. Pada menit ke 30:28 terjadi
mulai efek anestesi yang ditandai dengan tidurnya mencit, namun jika diberi rangsangan tidak
dapat tegak kembali dan selesai efek anestesi tidak dapat di perkirakan karena keterbatasan
waktu dalam praktikum, sehingga dosis yang diberikan pada mencit ke-4 tidak diketahui dapat
menyebabkan letal (mati) atau tidak.
Percobaan pada mencit ke-5 dengan berat badan 39 g dengan dosis yang diberikan
sebanyak 8,112 mg dan volume yang diambil sebanyak 1,6 ml. Kemudian larutan disuntikan
secara Intravena pada bagian ekor mencit. Pada proses penyuntikkan pembuluh vena mencit
kemungkinan pecah yang menyebabkan banyaknya darah yang keluar, hal ini disebabkan karena
dosis obat yang diberikan terlalu tinggi. Oleh karena itu sisa obat diberikan melalui
intraperitoneal. Setelah disuntik, amati perubahan efek yang terjadi. Pada menit ke 01:40 terjadi
mulai efek perubahan aktivitas yang ditandai dengan perubahan mencit yang sudah tidak terlalu
aktif dan selesai efek perubahan aktivitas pada menit ke 5:46. Durasi efek perubahan aktifitas
berlangsung selama 04:06 menit. Pada menit ke 05:46 berlanjut ke efek sedatif yang ditandai
dengan efek ataksia atau mengantuk namun tidak tidur dan selesai efek sedatif pada menit ke
24:07. Durasi efek sedatif berlangsung selama 19:01 menit. Pada menit ke 24:07 terjadi mulai
efek hipnotik yang ditandai tidurnya mencit, namun jika diberi rangsangan dapat tegak kembali
dan selesai efek hipnotik pada menit ke 32:40. Durasi efek hipnotik berlangsung selama 08:33
menit. Pada menit ke 32:40 terjadi mulai efek anestesi yang ditandai dengan tidurnya mencit,
namun jika diberi rangsangan tidak dapat tegak kembali dan selesai efek anestesi tidak dapat di
perkirakan karena keterbatasan waktu dalam praktikum, sehingga dosis yang diberikan pada
mencit ke-5 tidak diketahui dapat menyebabkan letal (mati) atau tidak.
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Pada mencit-1, efek yang terjadi diperkirakan hanya sampai efek hipnotik. Hal ini dapat
terjadi karena dosis yang diberikan sebesar 0,533 mg sehingga tidak menimbulkan efek anestesi
bahkan letal (mati).
Pada mencit-2, mulai efek perubahan aktifitas lebih lama dari mencit-1. Hal ini disebabkan
karena pada mencit-1 terjadi kesalahan penyuntikan saat praktikum, sehingga tidak semua
larutan obat masuk ke pembuluh vena melainkan sebagian obat masuk ke dalam muskular (otot).
dosis yang diberikan pada mencit ke-3,4,5 tidak diketahui dapat menyebabkan letal (mati)
atau tidak, efek anestesi tidak dapat di perkirakan karena keterbatasan waktu dalam praktikum.
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA
Ganiswarna. 1995. Farmakologi dan Terapi, edisi keempat. Jakarta: Universitas
IndonesiaKatzung, BG. 1997. Farmakologi Dasar dan Klinik, edisi keenam. Jakarta: EGC
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 judul percobaan
hipnotik-sedativ
1.2 Latar Belakang
Susunan saraf pusat berkaitan dengan sistem saraf manusia yang merupakan suatu
jaringan saraf yang kompleks, sangat khusus dan saling berhubungan satu dengan yang lain.
Fungsi sistem saraf antara lain : mengkoordinasi, menafsirkan dan mengontrol interaksi
antara individu dengan lingkungan sekitarnya. Sistem saraf dapat dibagi menjadi sistem saraf
pusat atau sentral dan sistem saraf tepi (SST). Pada sistem syaraf pusat, rangsang seperti
sakit, panas, rasa, cahaya, dan suara mula-mula diterima oleh reseptor, kemudian dilanjutkan
ke otak dan sumsum tulang belakang. Rasa sakit disebabkan oleh perangsangan rasa sakit
diotak besar. Sedangkan analgetik narkotik menekan reaksi emosional yang ditimbulkan rasa
sakit tersebut. Sistem syaraf pusat dapat ditekan seluruhnya oleh penekan saraf pusat yang
tidak spesifik, misalnya sedatif hipnotik. Obat yang dapat merangsang SSP disebut
analeptika.
Hipnotik sedatif merupakan golongan obat depresan susunan saraf pusat (SSP) yang
realtif tidak selektif, mulai dari yang ringan yaitu menyebabkan tenang atau kantuk,
menidurkan, hingga yang berat (kecuali benzodiazepin) yaitu hilangnya kesadaran, keadaan
anestesi, koma dan mati, bergantung pada dosis. Pada dosis terapi obat sedatif menekan
aktivitas, menurunkan respons terhadap perangsangan emosi dan menenangkan. Sedatif
menekan reaksi terhadap perangsangan, terutama rangsangan emosi tanpa menimbulkan
kantuk yang berat. Obat yang tergolong sedative, yaitu chloralhidrat. Hipnotik menyebabkan
tidur yang sulit dibangunkan disertai penurunan refleks hingga kadang-kadang kehilangan
tonus otot. Obat hipnotik menyebabkan kantuk dan mempermudah tidur serta
mempertahankan tidur yang menyerupai tidur fisiologis.
BAB II
METODOLOGI PRAKTIKUM
2.1 Alat dan bahan
Alat
1. Jarum suntik
2. Timbangan hewan coba
Bahan
1. Tikus Jantan
2. Fenobarbibatal
3. NaCl
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Data Biologis Hewan Coba
= 1,179 mg
Kadar fenobarbital dalam sediaan 50 mg/ml
1,179 𝑚𝑔
Volume sdiaan yang di ambil = X 1 ml
50 𝑚𝑔
= 0,2 ml
131 𝑔
= 200 𝑔 X 0,018
= 1,179 mg
Kadar fenobarbital dalam sediaan 50 mg/ml
1,188 𝑚𝑔
Volume sdiaan yang di ambil = X 1 ml
5 𝑚𝑔
1,188 𝑚𝑔
Volume sediaan yang diambil = X 1 ml
5 𝑚𝑔
= 0,2 ml
Tikus 2
Efek Mulai efek Selsai efek Durasi
Perubahan aktifitas 10 : 40 18 : 15 07 : 75
Sedatif 18 : 15 30 : 34 12 : 19
Hipnotik 30 : 34 36 : 52 06 : 18
Tikus 3 ( kontrol )
3.4 Pembahasan
Tikus 1 dengan berat badan 131g disuntikkan phenobarbital secara intravena
sebanyak 0,2 ml mengalami perubahan aktivitas dengan durasi selama 13:95 menit, efek
sedatif berlangsung selama 10:99 menit, dan efek hipnotik durasinya selama 08:92 menit.
Pada tikus 2 dengan berat badan 132g disuntikkan phenobarbital secara intravena
sebanyak 0,2 ml mengalami perubahan aktifitas dengan durasi selama 07:75 menit, efek
sedatif berlangsung selama 12:19 menit, dan efek hipnotik durasinya selama 06:18 menit.
Pada tikus kontrol, tidak mengalami perubahan aktivitas karen hanya diberikan larutan
NaCl saja. Digunakan larutan ini karena kandungan dan sifat larutan tersebut merupakan
bahan yang juga terkandung dalam tubuh tikus. Oleh sebab itu tidak akan memberikan
pengaruh apapun terhadap tikus yang diuji coba.
Dari kedua hewan uji tersebut, didapat perbedaan lama durasi yang dicapai pada
masing-masing hewan uji. Hal ini kemungkinan dapat disebabkan oleh perbedaan berat
badan hewan uji. Obat phenobarbital ini merupakan golongan barbiturat yang mudah
larut dalam lemak, dapat ditimbun dijaringan lemat dan otot sehingga menyebabkan
kadar obat dalam plasma dan otak menurun dengan cepat.
Adanya kesalahan pada saat penyuntikan juga dapat mempengaruhi durasi obat
pada hewan uji. Pada tikus 2 saat proses penyuntikan, obat phenobarbital tersebut tidak
masuk seluruhnya kedalam jaringan tubuh tikus. Hal ini terjadi karena hewan uji tersebut
bergerak-gerak sehingga mengganggu pada saat penyuntikan berlangsung. Pada tikus 2
didapatkan hasil pengamatan berupa durasi yang lebih pendek dibandingkan dengan tikus
1. Hal ini dapat terjadi karena obat yang masuk lebih sedikit sehingga efek yang
ditimbulkan lebih cepat, sedangkan pada tikus 1 durasi yang dihasilkan lebih panjang.
Hal ini disebabkan karena obat yang masuk kedalam tubuh hewan uji sesuai dengan dosis
yang telah dihitung sehingga jumlah obat yang harus dieliminasi lebih banyak.
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Dari kedua hewan uji tersebut, didapat perbedaan lama durasi yang dicapai pada masing-
masing hewan uji. Hal ini kemungkinan dapat disebabkan oleh perbedaan berat badan
hewan uji.
Adanya kesalahan pada saat penyuntikan juga dapat mempengaruhi durasi obat pada
hewan uji.
Pada tikus 2 didapatkan hasil pengamatan berupa durasi yang lebih pendek dibandingkan
dengan tikus 1. Hal ini dapat terjadi karena obat yang masuk lebih sedikit sehingga efek
yang ditimbulkan lebih cepat, sedangkan pada tikus 1 durasi yang dihasilkan lebih
panjang.
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA